Anda di halaman 1dari 19

Hemodialisa

Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah buangan.


Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien
berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis waktu singkat (DR. Nursalam M. Nurs,
2006).
Haemodialysis adalah pengeluaran zat sisa metabolisme seperti ureum dan zat
beracun lainnya, dengan mengalirkan darah lewat alat dializer yang berisi membrane
yang selektif-permeabel dimana melalui membrane tersebut fusi zat-zat yang tidak
dikehendaki terjadi. Haemodialysa dilakukan pada keadaan gagal ginjal dan beberapa
bentuk keracunan (Christin Brooker, 2001).
Hemodialisa adalah pengobatan bagi orang yang menurun fungsi ginjalnya.
Hemodialisa mengambil alih fungsi ginjal untuk membersihkan darah dengan cara
mengalirkan melalui ginjal buatan. Sampah dan air yang berlebih dibuang dari tubuh
selama proses hemodialisa berlangsung, ini biasanya dilakukan oleh ginjal yang
fungsinya masih baik.
Hemodialisa adalah tindakan yang dilakukan untuk membantu beberapa fungsi
ginjal yang terganggu atau rusak saat ginjal tidak lagi mampu melaksanakannya.
Hemodialisa membantu menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit pada tubuh, juga
membantu mengekskresikan zat-zat sisa atau buangan.
Cara Kerja Hemodialiisa.
Sebuah ginjal buatan disambung dengan mesin hemodialisa. Sebuah selang infus
akan bertugas mengalirkan darah dari tubuh anda untuk dibersihkan di ginjal buatan,
selang infus lainnya akan mengalirkan kembali darah ke tubuh anda. Proses ini yang akan
membuang sampah dan air yang berlebih dari tubuh anda.
Diperlukan suatu cara agar darah bisa masuk ke mesin, hal ini disebut dengan
akses. Akses yang paling umum adalah fistula di lengan . Dokter bedah anda akan
membuat sayatan kecil di lengan dan menyambung 2 pembuluh darah, arteri dan vena.
Hal ini akan membuat pembuluh vena menjadi besar dan memudahkan perawat dialisa
untuk memasang 2 jarum, satu untuk mengalirkan darah menuju mesin, yang lainnya
mengalirkan darah menuju tubuh .
Askep pada hemodialisa.
Pada pasien yang baru pertama kali hemodialisis, jika kondisi pasien
memungkinkan, pasien diorientasikan pada ruangan paviliun II dan alat-alat yang ada.
Selain itu pasien diberikan penjelasan ringkas tentang prosedur yang akan dijalankan,
prinsip hemodialisis, diet, pembatasan cairan, perawatan cimino, hal-hal yang boleh dan
tidak boleh dilakukan selama hemodialisis dan efek dari hemodialisis.

Pada pre hemodialisis, kegiatan perawatan meliputi : menghidupkan mesin,


meyediakan alat-alat, memasang alat pada mesin, sirkulasi cairan NaCl pada mesin,
mengawasi penimbangan berat badan pasien, mengukur suhu badan, mengukur tekanan
darah dan menghitung denyut nadi.
Pada tahap pemasangan alat dan selama pemasangan, kegiatannya meliputi :
desinfeksi daerah penusukan, pemberian anestesi lokal (kalau perlu), penusukan jarum,
pemasukan heparin (bolus), selanjutnya menyambung jarum pada arteri blood line. Lalu
menekan tombol BFR, membuka klem venous dan arteri blood line, memprogram
penurunan berat badan, waktu pelaksanaan, venous pressure, kecepatan aliran heparin
dan UFR. Kemudian menghubungkan heparin contnous ke sirkulasi, monitoring
pernafasan, makan dan minum, pengaturan posisi tubuh, monitoring alat-alat dan
kelancaran sirkulasi darah, mengukur tekanan darah dan menciptakan suasana ruangan
untuk mengisi kegiatan pasien selama hemodialisis berlangsung.
Pada tahap penghentian hemodialisis meliputi : penghentian aliran darah,
mencabut jarum inlet dan menekan bekas tusukan sambil menunggu sampai aliran darah
pada venous blood line habis. Langkah selanjutnya adalah mencabut jarum out line dan
menekan bekas tusukan, mengganti gaas bethadine dan fiksasi dengan plester. Setelah
penghentian hemodialisis, dilakukan pengukuran tekanan darah, mengukur suhu,
mengawasi penimbangan berat badan, membereskan alat-alat dan dilanjutkan dengan
desinfeksi alat.
Semua kegiatan baik pada tahap pre hemodialisis selama pemasangan dan
penghentian hemodialisis dilakukan oleh perawat kecuali penimbangan berat badan dan
minum yang pada beberapa pasien dilakukan sendiri. Disamping itu beberapa pasien
telah dapat melaporkan pada perawat apabila ada ketidakberesan pada mesin atau akses
vaskular, setelah mencoba mengatasi sendiri.
Perawatan sebelum hemodialisa
Hal-hal yang harus di persiapkan :
-Persiapan mesin
-Listrik
-Air (sudah melalui pengolahan)
-Saluran pembuangan
-Dialisat (proportioning sistim, batch sistim)
-Persiapan peralatan + obat-obatan
-Dialyzer/ Ginjal buatan (GB)

-AV Blood line


-AV fistula/abocath
-Infuse set
-Spuit : 50 cc, 5 cc, dll ; insulin
-Heparin inj
-Xylocain (anestesi local)
-NaCl 0,90 %
-Kain kasa/ Gaas steril
-Duk steril
-Sarung tangan steril
-Bak kecil steril
-Mangkuk kecil steril
-Klem
-Plester
-Desinfektan (alcohol + bethadine)
-Gelas ukur (mat kan)
-Timbangan BB
-Formulir hemodialisis
Prosedur Kerja
-Cuci tangan
-Letakkan GB pada holder, dengan posisi merah diatas
-Hubungkan ujung putih pada ABL dengan GB ujung merah
-Hubungkan ujung putih VBL dengan GB ujung biru, ujung biru VBL dihubungkan
dengan alat penampung/ mat-kan

-Letakkan posisi GB terbalik, yaitu yang tanda merah dibawah, biru diatas
-Gantungkan NaCl 0,9 % (2-3 kolf)
-Pasang infus set pada kolf NaCl
-Hubungkan ujung infus set dengan ujung merah ABL atau tempat khusus
-Tutup semua klem yang ada pada slang ABL, VBL, (untuk hubungan tekanan arteri,
tekanan vena, pemberian obat-obatan)
-Buka klem ujung dari ABL, VBL dan infus set
-Jalankan Qb dengan kecepatan 100 ml/m
-Udara yang ada dalam GB harus hilang (sampai bebeas udara) dengan cara menekannekan VBL
-Air trap/Bubble trap diisi 2/3-3/4 bagian
-Setiap kolf NaCl sesudah/ hendak mengganti kolf baru Qb dimatikan
-Setelah udara dalam GB habis, hubungkan ujung ABL dengan ujung VBL, klem tetap
dilepas
-Masukkan heparin dalam sirkulasi darah sebanyak 1500-2000 U
-Ganti kolf NaCl dengan yang baru yang telah diberi heparin 500 U dan klem infus
dibuka
-Jalankan sirkulasi darah + soaking (melembabkan GB) selama 10-15 menit sebelu
dihubungkan dengan sirkulasi sistemik (pasien).
CATATAN !!!!
-PERSIAPAN SIRKULASI
-Rinsing/Membilas GB + VBL + ABL
-Priming/ mengisi GB + VBL + ABL
-Soaking/ melembabkan GB.
-Volume priming : darah yang berada dalam sirkulasi (ABL + GB + VBL )

Cara menghitung volume priming :


NaCl yang dipakai membilas dikurangi jumlah NaCl yang ada didalam mat kan (gelas
tampung/ ukur)
Contoh :
NaCl yang dipakai membilas : 1000 cc
NaCl yang ada didalam mat kan : 750 cc
Jadi volume priming : 1000 cc 750 cc = 250 cc
Cara melembabkan (soaking) GB
Yaitu dengan menghubungkan GB dengan sirkulasi dialisat
Bila mempergunakan dialyzer reuse / pemakaian GB ulang :
Buang formalin dari kompartemen darah dan kompartemen dialisat
Hubungkan dialyzer dengan selang dialisat
Biarkan 15 menit pada posisi rinse
Test formalin dengan tablet clinitest :
Tampung cairan yang keluar dari dialyzer atau drain
Ambil cairan 10 tts (1/2 cc), masukkan ke dalam tabung gelas, masukkan 1 tablet
clinitest ke dalam tabung gelas yang sudah berisi cairan
Lihat reaksi :
Warna biru : / negatif
Warna hijau : + / positif
Warna kuning : + / positif
Warna coklat : +/ positif
Selanjutnya mengisi GB sesuai dengan cara mengisi GB baru
Persiapan pasien

1.Persiapan mental
2.Izin hemodialisis
3.Persiapan fisik :Timbang BB, Posisi, Observasi KU (ukur TTV)
Perawatan saat hemodialisa
Sarana hubungan sirkulasi/ akses sirkulasi :
Dengan internal A-V shunt/ fistula cimino
Pasien sebelumnya dianjurkan cuci lengan & tangan
Teknik aseptic + antiseptic : bethadine + alcohol
Anestesi local (lidocain inj, procain inj)
Punksi vena (outlet). Dengan AV fistula no G.14 s/d G.16/ abocath, fiksasi, tutup dengan
kasa steril
Berikan bolus heparin inj (dosis awal)
Punksi inlet (fistula), fiksasi, tutup dengan kassa steril
Dengan eksternal A-V shunt (Schibner)
Desinfektan
Klem kanula arteri & vena
Bolus heparin inj (dosis awal)
Tanpa 1 & 2 (femora dll)
Desinfektan
Anestesi local
Punksi outlet/ vena (salah satu vena yang besar, biasanya di lengan).
Bolus heparin inj (dosis awal)
Fiksasi, tutup kassa steril
Punksi inlet (vena/ arteri femoralis)

Raba arteri femoralis


Tekan arteri femoralis
Vena femoralis 0,5 1 cm ke arah medial
Anestesi lokal (infiltrasi anetesi)
Vena femoralis dipunksi setelah anestesi lokal 3-5 menit
Fiksasi
Tutup dengan kassa steril
Memulai hemodialisis :
1.Ujung ABL line dihubungkan dengan punksi inlet
2.Ujung VBL line dihubungkan dengan punksi outlet
3.Semua klem dibuka, kecuali klem infus set
4.Jalankan pompa darah (blood pump) dengan Qb 100 ml/m, sampai sirkulasi darah
terisi darah semua.

Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)


Pengertian
Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) atau dialisis peritoneal
ambulatorik kontinyu merupakan suatu bentuk metode pencucuian darah dengan
menggunakan peritoneum (selaput yang melapisis perut dan pembungkus organ
perut). Selaput ini memiliki are permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh darah.
Zat-zat dari perut dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga
perut. CAPD bersifat kontinyu dan biasanya dapat dilakukan sendiri. Metode ini bisa
dikerjakan di rumah oleh pasien. Tekhniknya disesuaikan dengan kebutuhan
fisiologis pasien akan terapi dialisis dan kemampuanya untuk mempelajari prosedur
ini. Metode ini harus dapat dipahami oleh pasien dan keluarga, serta diperlukan
petunjuk yang adekuat untuk menjamin agar mereka merasa aman dan yakin dalam
melaksanakannya.
Prinsip-Prinsip CAPD
CAPD bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yag sama seperti pada bentuk dialisis
lainnya, yaitu difusi dan osmosis. Tetapi karena CAPD merupakan terapi dialisis
yang kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam keadaan
yang stabil. Nilainya bergantung pada:

fungsi ginjal yang masih terpisah


volume dialisa setiap hari
Kecepatan produk limbah tersebut diproduksi.

Fluktuasi hasil-hasil laboratorium ini pada CAPD tidak begitu ekstrim dibandingkan
dengan dialisis peritoneal intermiten, karena proses dialisis berlangsung secara
konstan. Kadar elektrolit biasanya tetap berada dalam kisaran normal. Semakin lama
waktu retensi, klirens molekul yang berukuran sedang semakin baik, molekul ini
merupakan toksin uremik yang signifikan. Dengan CAPD kliren molekul ini
meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah, seperti ureum, akan berdifusi
lebih cepat dalam proses dialisis dari pada molekul berukuran sedang, meskipun
pengeluaranya selama CAPD lebih lambat daripada selama hemodialisis.

Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialisis peritoneal dicapai dengan
menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang
tinggi sehingga tercipta gradien osmotik. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25%
harus tersedia dengan beberapa ukuran volume, mulai dari 500 ml 3000 ml,
sehingga memungkinkan pemilihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran
tubuh dan kebutuhan fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin
besar gradien osmotik dan semakin banyak air yang dikeluarkan. Pasien harus
diajarkan cara memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya.
Prinsip kerja dari CAPD cukup sederhana. Dialisis Peritoneal diawali dengan
memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) ke dalam rongga perut
melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam. Ketika dialisat berada di dalam
rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan dibersihkan dan kelebihan cairan
tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat. Zat-zat racun yang terlarut di dalam
darah akan pindah ke dalam cairan dialisat melalui selaput rongga perut (membran
peritoneum) yang berfungsi sebagai alat penyaring, proses perpindahan ini disebut
Difusi. Cairan dialisat mengandung dekstrosa (gula) yang memiliki kemampuan
untuk menarik kelebihan air, proses penarikan air ke dalam cairan dialisat ini disebut
Ultrafiltrasi.

Gb1. Prinsip Kerja CAPD


Proses penggantian cairan
dialysis dalam prosesnya
tidak menimbulkan rasa
sakit

dan

hanya

membutuhkan waktu singkat ( 30 menit). Proses tersebut terdiri dari 3 langkah:


1) Pengeluaran cairan
Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun
dan kelebihan air akan dikeluarkan dari rongga perut
dan diganti dengan cairan dialisis yang baru. Proses

pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar 20 menit.


2) Memasukkan cairan
Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut
melalui kateter. Proses ini hanya berlangsung selama
10 menit.
3) Waktu tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke
dalam rongga perut selama 4-6 jam, tergantung dari
anjuran dokter.
Pertukaran biasanya dilakukan tiga kali sehari yang berlangsung kontinyu selama 24
jam/hari dan dilakukan dalam 7 hari dalam seminggu. Pasien melaksanakan
pertukaran dengan interfal yang didistribusikan disepanjang hari ( misalnya pada
pukul 06.00 pagi, 16.00 sore dan 24.00 malam ). Setiap pertukaran memerlukan
waktu 30 hingga 60 menit atau lebih tergantung pada lamanya waktu retensi yang
ditentukan oleh dokter. Lama waktu penukaran terdiri atas 5 atau 10 menit periode
infus (pemasukan dialisa), 20 menit periode drainase (pengeluaran cairan dialisa) dan
waktu retensi selama 10 menit, 30 menit atau lebih.
Indikasi CAPD
CAPD merupakan terapi pilihan bagi pasien yang ingin melaksanakan dialisis sendiri
di rumah, indikasi CAPD adalah pasien-pasien yang menjalani HD rumatan
(maintenence) atau HD kronis yang mempunyai masalah dengan cara terapi yang
sekarang, seperti gangguan fungsi atau kegagalan alat untuk akses vaskuler, rasa haus
yang berlebihan, hipertensi berat, sakit kepala pasca dialisis dan anemia berat yang
memerlukan transfusi.
Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat diabetes sering dipertimbangkan
sebagai indikasi untuk dilakukan CAPD karena hipertensi, uremia dan hiperglikemia
lebih mudah diatasi dengan cara ini dari pada HD.
Pasien lansia dapat memanfaatkan teknik CAPD dengan baik jika keluarga atau
masyarakat memberikan dukungan. Pasien yang aktif dalam penanganan
penyakitnya, menginginkan lebih banyak kebebasan dan memiliki motivasi serta

keinginan untuk melaksanakan penanganan yang diperlukan sangat sesuai dengan


terapi CAPD. Selain kemampuan pasien dukungan dari keluarga untuk melasanakan
CAPD harus dipertimbangkan ketika memilih terapi ini.
Pasien memilih CAPD agar bebas dari ketergantungannya pada mesin, mengontrol
sendiri aktifitasnya sehari-hari menghindari pembatasan makanan meningkatkan
asupan cairan, menaikkan nilai hematokrit serum, memperbaiki kontrol tekananan
darah, bebas dari keharusan pemasangan jarum infus(venipuncture) dan merasa sehat
secara umum meskipun CAPD memberi kesan pasien tampak bebas, terapinya
berlangsung secara kontinyu sehingga pasien harus menjalani dialisis selama 24
jam /hari setiap hari. Sebagian pasien menganggap cara ini membatasi kebebasanya
dan memilih HD yang lebih bersifat intermiten.
Kontraindikasi CAPD
Kontraindikasi dilakukan CAPD adalah adanya :
1) Perlekatan akibat pembedahan atau penyakit inflamasi sistemik sebelumnya.
Perlekatan akan mengurangi klirens solut.
2) Nyeri punggung kronis yang rekuren di sertai riwayat kelainan pada diskus
intervertebralis dapat diperburuk oleh tekanan cairan dialisat dalam abdomen
yang kontinyu
3) Adanya riwayat kolostomi, ileostomi, nefrostomi atau ilealconduit dapat
meningkatkan resiko peritonitis walaupun tindakan operasi tersebut bukan
kontraindikasi absolut untuk CAPD.
4) Pasien dengan pengobatan imunosupresif akan mengalami komplikasi akibat
kesembuhan luka yang buruk pada lokasi pemasangan kateter.
5) Diverkulitis mengingat CAPD pernah disertai adanya ruptur divertikulum.
6) Pasien dengan artritis atau kekuatan tangan menurun karena akan memerlukan
bantuan dalam melaksanakan pertukaran cairan.
Komplikasi CAPD
Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi pada CAPD adalah :
1) Peritonitis
Merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dan paling serius, yaitu
antara 60-80 % dari pasien yang menjalani peritoneal dialisis. Hal ini disebabkan
oleh adanya kontaminasi dari Staphylokokus epidermidis yang bersifat aksidental,

dan Staphylococcus aureus dengan angka morbiditas tinggi, prognosis lebih


serius serta lebih lama. Manifestasi dari peritonitis yaitu cairan dialisat yang
keruh, nyeri abdomen yang difus, hipotensi serta tanda-tanda syok lainnya, hal
ini jika penyebabnya S. Aureus. Pemeriksaan cairan drainage untuk penghitungan
jumlah sel, pewarnaan Gram, dan pemeriksaan kultur untuk tahu penyebab
mikroorganisme dan arahan terapi.
Penatalaksanaan Peritonitis di rumah sakit apabila pasien dalam kodisi parah
dan tak mungkin melakukan terapi pertukaran dirumah, dengan menjalani dialisis
peritoneal intermitten selama 48 jam atau lebih atau sepenuhnya dihentikan
selama dapat terapi suntikan antibiotik. Jika gejalanya ringan ditangani secara
rawat jalan dan terapi antibiotik ditambahkan dalam cairan dialisat serta dapat
AB peroral selama 10 hari. Infeksi akan menghilang dalam waktu 2-4 hari . AB
harus diberikan dengan cermat dan tidak bersifat nefrotoksik agar tidak
memperparah fungsi ginjal yang tersisa. Intervensi bedah mungkin diperlukan
jika peritonitis akibat adanya kebocoran dari usus.
Pada infeksi persisten di tempat keluar kateter pelepasan kateter permanen
diperlukan untuk mencegah peritonitis. Peritonitis dengan hasil kultur cairan
peritoneal positif juga merupakan indikasi pelepasan kateter. Untuk sementara
menggunakan HD selama satu bulan sampai dilakukan pemasangan kateter yang
baru. Pasien dengan peritonitis akan kehilangan protein melalui peritoneum
dalam jumlah besar, malnutrisi akut, serta kelambatan penyembuhan.
2) Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat yang biasa terjadi melalui luka insisi atau luka
pemasangan kateter setelah kateter terpasang. Kebocoran akan berhenti spontan
jika terapi dialisis ditunda selama beberapa hari sampai luka insisi dan tempat
keluarnya kateter sembuh. Faktor yang dapat memperlambat kesembuhan adalh
aktifitas abdomen yang tidak semestinya atau mengejan pada saat buang air
besar. Kebocoran dapat dihindari dengan memulai infus cairan dialisat dengan
volume kecil (100-200 ml) dan secara bertahap meningkatkan volume mencapai
2000 ml.
3) Perdarahan
Cairan drainage dialisat yang mengandung darah dapat terlihat khususnya pada
wanita yang sedang haid. Hal ini disebabkan karena cairan hipertonik menarik

darah dari uterus lewat orificium tuba falopii yang bermuara ke dalam kavum
peritoneal. Kejadian ini dapat terjadi selama beberapa kali penggantian cairan
mengingat darah akibat prosedur tersebut tetap berada pada rongga abdomen.
Penyebab lain adanya perdarahan karena pergeseran kateter dari pelvis serta
pada pasien yang habis menjalani pemeriksaan enema atau mengalami trauma.
Adapun intervensi yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pertukaran
cairan lebih sering untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah.
4) Komplikasi lainnya adalah
a) Hernia abdomen karena peningkatan tekanan intra abdomen yang terus
menerus. Tipe hernia yang terjadi adalah insisional, inguinal, diafragmatik,
dan umbilikal. Tekanan intra abdomen yang persisten meningkat juga dapat
memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid.
b) Hipertrigliseridemia sehingga memberi kesan

dapat

mempermudah

aterogenesis. Penyakit Kardiovaskuler tetap merupakan penyebab utama


kematian pada populasi pasien ini.
c) Nyeri Pun ggung bawah dan anoreksia karena cairan dalam rongga
peritoneum selain rasa manis yang selalu tarasa pada indra pengecap juga
berkaitan dengan absorpsi glukose.
d) Pembentukan bekuan dalam kateter peritoneal dan konstipasi.
Keuntungan CAPD
Keuntungan dari CAPD pada klien yang menggunakan antara lain:
1) Fungsi ginjal yang masih tersisa dapat dipertahankan.
2) Dapat dilakukan sendiri di rumah atau di tempat kerja.
3) Tidak tergantung pada bantuan orang lain.
4) Tekanan darah pasien lebih terkendali.
5) Kebutuhan akan suplemen zat besi dan eritropoietin (EPO) jauh lebih sedikit.
6) Lebih bebas mengonsumsi berbagai jenis makanan dan minuman.
7) Kadar kalium darah lebih terkontrol.
Kerugian CAPD
Kerugian CAPD pada klien yang menggunakan antara lain:
1) Risiko terjadinya peritonitis (infeksi peritoneum).
2) Lebih banyak protein yang hilang dari tubuh selama berlangsungnya proses
dialisis peritoneal.
Asuhan Keperawatan
Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal yang dilakukan sebeum perumusan
diagnose keperawatan serta intervensi keperawatan pada klien. Adapun
pengkajian yang dilakukan pada klien dengan tindakan CAPD antara lain:
Sebelum dialisa

a) Tinjau kembali catatan medis untuk menentukan alas an perawatan di


b)
c)
d)
e)

rumah sakit.
Ketidakpatuhan terhadap rencana tindakan.
Fistula tersumbat bekuan.
Pembuatan fistula
Menanyakan tipe diet yang digunakan dirumah,jumlah cairan yang
diijinkan, obat obatan yang saat ini digunakan, jadwal hemodialisa,

jumlah haluaran urin.


f) Kaji kepatenan fistula bila ada. Bilapaten, getaran ( pulsasi ) akan terasa
desiran akan terdengar dengan stetoskop di atas sisi. Tak adanya pulsasi
dan bunyi desiran menandakan fistulatersumbat.
g) Kaji terhadapmanifestasi klinis dan laboratorium tentang kebutuhan
tentang dialisa : Peningkatan berat badan 3 pon / lebih diatas berat badan
pada tindakan dialisa terakhir.
h) Rales, pernafasan cepat pada saat istirahat,peningkatan sesak nafas
dengan kerja fisik maksimal.
i) Kelelahan dan kelemahan menetap.
j) Hipertensi berat
k) Peningkatan kreatinin, BUN, dan elektrolit khususnya kalium.
Kemungkinan perubahan EKG pada adanya hiperkalemia.
Sesudah dialisa
Kaji terhadap hipotensi dan perdarahan. Volume besar dari pembuangan
cairan selama dialisa dapat mengakibatkan hipotensi ortostatik dengan
menggunakan anti koagulan selama tindakan menempatkan pasien pada
resiko perdarahan dari sisi akses dan terhadap perdarahan internal.
Diagnosa Keperawatan
1) Kekurangan volume cairan b.d efek ultrafiltrasi selama CAPD
2) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan keterbatasan pengembangan
diafragma
3) Resiko tinggi untuk cidera b,d akses vascular dan komplikasi sekunder
terhadap

penusukan

dan

pemeliharaan

akses

vascular,

emboli

udara,ketidaktepatan konsentarsi / suhu dialisat


4) Kurang pengetahuan b.d penyakit dan kebutuhan untuk CAPD
Intervensi Keperawatan
1) Kekurangan volume cairan b.d efek ultrafiltrasi selama dialysis
Kriteria Hasil: kekurangan volume cairan dapat teratasi dengan baik
Intervensi:

a.
b.
c.
d.

Kaji TTV : BB, masukan dan haluaran pradialisis.


Kaji derajat penumbunan cairan dalam jaringan pradialisis.
Tentukan ketepatan derajat dan ketepatan ultrafiltrasi untuk tindakan.
Jelaskan pada klien tentang kondisi klien serta tindakan yang akan

dilakukan
e. Berikan cairan pengganti sesuai instruksi dan indikasi.
f. Periksa kadar kalsium, natrium, kalium, CO2 pradialisis.
g. Kolaborasikan dengan tim medis untuk tindakan kolaboratif
h. Pantau konmdisi klien secara berkala setelah tindakan.
2) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan keterbatasan pengembangan
diafragma
Kriteria hasil : menunjukan pola pernapasan efektif dengan bunyi nafas
jelas, GDA dalam batas normal.
Intervensi:
a. Kaji TTV ; RR
b. Jelaskan pada klien terjadinya pola nafas tidak efektif
c. Awasi frekuensi / upaya pernapasan.penurunan kecepatan infuse bila
d.
e.
f.
g.

ada dispnea.
Berikan tambahan O2 sesuai indikasi.
Libatan keluarga dalam proses pelaksanaan tindakan pada klien
Berikan analgesic sesuai indikasi.
Kolaborasikan dengan tim medis dalam pemberian analgesic pada

klien
h. Pantau keefektifan tindakan yang telah diberikan pada klien.
3) Resiko tinggi untuk cidera b,d akses vascular dan komplikasi sekunder
terhadap

penusukan

dan

pemeliharaan

akses

vascular,

emboli

udara,ketidaktepatan konsentarsi / suhu dialisat.


Kriteria Hasil: cidera tidak terjadi pada klien selama tindakan dilakukan.
Intervensi:
a. Kaji kondisi yang memberikan kondisi resiko terhadap cidera
b. Pastikan semua alat berbahaya ditempatkan secara aman
c. Mempertahankan lingkungan steril selama pemasukan kateter.
d. Melakukan radiografi dada setelah pemasukan kateter kevena
subklavia.
e. Amati tanda pneumothorak, ketidakteraturan jantung, perdarahan
hebat, dan periksa bunyi nafas bilateral.
f. Ganti balutan kateter secara rutin sesuai kebijakan unit.
g. Pastikan bahwa detektor udara telah terpasang dan berfungsi baik
selama dialisis.
h. Bantu klien dalam perawatan (baik bantu langsung atau pengawasan)
sehingga terhindar dari cidera.

4) Kurang pengetahuan b.d penyakit dan kebutuhan untuk dialysis


Kriteria hasil: menunjukkan peningkatan pengetahuan tentang konsep
penyakit serta tindakan yang diberikan
Intervensi:
a. Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga tentang fungsi ginjal
dan alasan dialysis.
b. Kaji kesiapan untuk belajar.
c. Berikan informasi yang sesuai untuk kesiapan dan kemampuan belajar
termasuk alasan pasien kehilangan fungsi ginjal: tanda dan gejala
yang b.d kehilangan fungsi ginjal.
d. Berikan dorongan untuk mengungkapkan perasaan takut dan ansietas.
e. Berikan informasi yang sama pada keluarga sehingga keluarga paham
tentang kondisi klien
f. Libatkan keluarga dalam memberikan pemahaman pada klien
g. Anjurkan klien untuk melakukan sharing dengan tenaga kesehatan
terkait proses penyakit serta tindakan yang diberikan
h. Beri semangat pada klien untuk proses pembelajarannya.
Implementasi Keperawatan
Pada tahap ini untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas-aktivitas yang
telah dicatat dalam rencana perawatan pasien. Agar implementasi/
pelaksanaan perencanaan ini dapat tepat waktu dan efektif maka perlu
mengidentifikasi prioritas perawatan, memantau dan mencatat respon pasien
terhadap setiap intervensi yang dilaksanakan serta mendokumentasikan
pelaksanaan perawatan (Doenges E Marilyn, dkk, 2000)
Evaluasi
Pada tahap yang perlu dievaluasi pada klien dengan dengan CAPD adalah,
mengacu pada criteria hasil yang hendak dicapai yakni apakah terdapat :
1) Kurang volume cairan
2) Pola nafas tidak efektif apakah telah teratasi
3) Resiko tinggi cidera masih ada atau tidak
4) Peningkatan pengetahuan pada klien dan keluarga telah tercapai atau
belum.
ProsesCAPD :
1. Proses dialysis peritoneal ini tidak menimbulkan rasa sakit.
2. Membutuhkan waktu yang singkat, terdiri dari 3 langkah.

a. Pertama, masukkan dialisat berlangsung selama 10 menit


b. Kedua, cairan dibiarkan dalam rongga perut untuk selama periode waktu tertentu (4-6
jam)
c. Ketiga, pengeluaran cairan yang berlangsung selama 20 menit
Ketiga proses diatas dilakukan beberapa kali tergantung kebutuhan dan bisa dilakukan
oleh pasien sendiri secara mandiri setelah dilatih dan tidak perlu ke rumah sakit
Perpindahan cairan pada CAPD dipengaruhi oleh :
a) Kualitas membrane
b) Ukuran & karakteristik larutan
c) Volume dialisat
Proses dialysis pada CAPD terjadi karena adanya perbedaan :
a) Tekanan osmotic
b) Konsentrasi zat terlarut antara cairan CAPD dengan plasma darah dalam pembuluh
kapiler
c) Pada saat cairan dialisat dimasukkan dalam peritoneum, air akan diultrafiltrasi dari
plasma ke dialisat, sehingga meningkatkan volume cairan intra peritoneal. Peningkatan
volume cairan intraperitoneal berbanding lurus dengan konsentrasi glukosa dari cairan
dialisat.
d) Kecepatan transport air dan zat terlarut dapat diestimasi secara periodic melalui PET
test (Peritoneal Equilibrum Test)
Standar konsentrasi elektrolit cairan CAPD:
a) Na (132 meq /lt)
b) Cl ( 102 meq /lt)
c) Mg (0,5 meq /lt)
d) K (0 meq /lt)
Beberapa hal yang harus di perhatikan saat pemasangan CAPD
Dalam peritoneal dialysis dilakukan pergantian cairan setiap hari tanpa menimbulkan rasa
sakit. Proses mengeluarkan cairan tersebut dalam jangka waktu tertentu dan kemudian
menggantikannya dengan cairan baru. Proses ini terdiri dalam 3 langkah:
1. Mengeluarkan cairan, proses pengeluaran cairan dari rongga peritoneal berlangsung
dengan bantuan gaya gravitasi dan memerlukan waktu sekitar 20 menit.
2. Memasukan cairan, cairan dialysis ke dalam rongga peritoneal melalui kateter dan
memerlukan proses 10 menit.
3. Waktu tinggal, tahap cairan disimpan di dalam rongga peritoneal selama 4 samapi 6
jam (tergantung anjuran dari dokter). Pergantian cairan diulang setiap 4 atau 6 jam,
dengan maksud minimal 4 kali sehari, 7 hari dalam seminggu. Anda dapat melakukan
pergantian di mana saja seperti di rumah, tempat bekerja, atau di tempat lainnya yang
anda kunjungi, namun tempat-tempat tersebut harus memenuhi syarat agar terhindar
infeksi.

Pemilihan tempat yang baik untuk pergantian cairan memiliki beberapa kriteria :
1. Pastikan tempat tersebut : bersih, tidak ada hembusan agin (kipas angin, pintu / jendela
terbuka), dan memiliki penerangan yang baik.
2. Tidak diperkenankan adanya binatang disekitar saat pergantian cairan dan di tempat
penyimpanan peralatan anda.
3. Bebas gangguan dari luar.
Peralatan :
1. Ultrabag / twinbag sistem : Kateter, Konektor titanium, Short transfer set, Cairan
dialysis (ultra bag / twin bag system), Minicap, Outlet port clamps (untuk twin bag
system).
2. Sistem Ultraset / Easi-Y_system : Kateter, Konektor titanium, Short transfer set, Cairan
dialysis, Minicap, Outlet port Clamps (untuk sistem kantung kembar), Ultra set / Easi-Y
set, Kantong drainase untuk Easi-Y system.
Pola Makan Pengguna Terapi
Pengguna terapi peritoneal dialysis memerlukan makanan berprotein tinggi guna
melawan infeksi.Dikarenakan sejumlah protein terbawa cairan dialisis pada saat cairan
tersebut dikeluarkan.Sehingga diperlukan protein lebih banyak guna menggantikan
protein yang hilang terbawa cairan dialysis. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan
protein tidak terserap oleh tubuh:
Semakin besar kandungan dextrose pada cairan dialysis (4,25%) semakin banyak
protein yang hilang.
Jika terjadi infeksi dapat menyebabkan kehilangan protein juga.
Selain memerlukan protein tinggi ada beberapa kandungan zat yang perlu di batasi,
dikarenakan ada sejumlah produk sisa di dalam darah yang tidak dapat terbuang dengan
sempurna selama dialysis peritoneal. Produk sisa tersebut adalah:
1. Fosfor
Ketika ginjal tidak dapat mengeluarkan kelebihan fosfor, maka fosfor akan menumpuk
pada tubuh anda. Dalam jangka waktu yang lama fosfor akan menyebabkan tulang lebih
rapuh dan mudah patah, fosfor banyak terdapat pada kacang-kacangan, ikan, dan produk
susu.
2. Kalium
Merupakan elektrolit yang dibutuhkan untuk fungsi syaraf dan otot yang baik. Ginjal
yang tidak berfungsi dengan baik akan sulit untuk membuang kelebihan kalium.
Kelebihan dan kekurangan dalam kalium dapat menyebabkan otot menjadi lemah dan
sering kram. Dan kadar kalium yang tinggi dapat membahayakan jantung. Perlu
diperhatikan dalam mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran hijau yang mengandung
kalium tinggi seperti pisang, jambu biji, pepaya, tomat, kentang dan kacangkacangan.Sebaiknya hindari garam diet dikarenakan mengandung kalium tinggi.
3. Natrium
Adalah elektrolit yang berperan dalam mengontrol cairan dan tekanan darah di dalam

tubuh.Saat ginjal tidak berfungsi, ginjal tidak dapat mengeluarkan natrium yang berlebih
sehingga tetap berada dalam jaringan bersama dengan air.Asupan natrium dan garam
yang tinggi menyebabkan tubuh menahan air dan tekanan darah menjadi tinggi. Dapat
diperhatikan jika mengkonsumsi makanan yang mengandung natrium (garam) akan
menimbulkan rasa haus sehingga akan sulit mengontrol jumah cairan yang diminum.
Makanan yang mengandung natrium tinggi sangat perlu dihindari, makanan ini berupa
makanan kaleng, fast food, kudapan yang asin, bumbu penyedap, kecap, dan keju.Untuk
menggantikan natrium dapat menggunakan bawang putih, bawang, lada, jeruk limau, dan
bumbu rempah lainnya.Hindari menggunakan garam diet / pengganti.
4. Kabohidrat
Pada saat menjalani terapi Dialysis peritoneal, tubuh menerima kalori secara normal dari
makanan yang dikonsumsi, ditambah dari cairan dialysis yang masuk ke dalam rongga
peritoneal mengandung glukosa sejenis gula. Jumlah kalori yang diserap setiap 2 liter
cairan berbeda pada setiap pasien, kurang lebihnya sebagai berikut:
kantung 1,5% mengandung 80 kalori.
kantung 2,5% mengandung 14% kalori.
kantung 4,25% mengandung 230 kalori.
Nilai tersebut tergantung karateristik peritoneal, dan jumlah yang diresepkan oleh dokter.

Anda mungkin juga menyukai