1.3
Sifat
Siklus hidup Salmonella typhi:
1
cara transmisi
Prinsip penularan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
adalah melalui oral. Kuman berasal dari tinja atau urin penderita atau
bahkan carrier (pembawa penyakit yang tidak sakit) yang masuk ke dalam
tubuh manusia melalui air dan makanan. Kontaminasi juga terjadi pada
sayuran mentah dan buah-buahan yang pohonnya dipupuk dengan kotoran
manusia. Vektor berupa serangga, misalnya lalat juga berperan dalam
penularan penyakit demam tifoid. Organisme ini ditemukan pada hewan
dosmetik. Transmisinya melalui fekal-oral, biasanya dari mengingesti
makanan yang terkontaminasi.
Kuman salmonella dapat berkembang biak untuk mencapai kadar infektif
dan bertahan lama dalam makanan. Makanan yang sudah dingin dan
dibiarkan ditempat terbuka merupakan media mikroorganisme yang lebih
disukai. Di daerah endemik, air yang tercemar merupakan penyebab
utama penularan penyakit. Dan di daerah non-endemik makanan yang
terkontaminasi oleh carrier dianggap paling bertanggungjawab terhadap
penularan.
(Widoyono, 2011)
pola demam
Demam septik: Suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali
pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas
normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil
dan berkeringat. Bila demam yuang tinggi tersebut turun
ke tingkat yang normal dinamakan juga demam hektik.
Demam remiten: Suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah
mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yamg
mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak
sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik.
Demam intermiten: Suhu badan turun ke tingkat yang normal selama
beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini
terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila
terjadi dua hari bebas demam dianatara dua serangan
demam disebut kuartana.
Demam kontinyu: Suhu sepanjang hari tudak berbeda lebih dari satu
derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi
sekali disebut hiperpireksia.
Demam siklik: Terjadi kenaikan suhu bnadan selama beberapa hari yang
diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari
yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti
semula.
2.3
mekanisme demam
Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh akibat dari peradangan
atau infeksi. Proses perubahan suhu yang terjadi saat tubuh dalam keadaan
sakit lebih dikarenakan oleh zat toksin yang masuk kedalam tubuh.
Umumnya, keadaan sakit terjadi karena adanya proses peradangan
(inflamasi) di dalam tubuh. Proses peradangan itu sendiri sebenarnya
merupakan mekanisme pertahanan dasar tubuh terhadap adanya serangan
yang mengancam keadaan fisiologis tubuh. Proses peradangan diawali
dengan masuknya zat toksin (mikroorganisme) kedalam tubuh kita.
Mikroorganisme (MO) yang masuk kedalam tubuh umumnya memiliki
suatu zat toksin tertentu yang dikenal sebagai pirogen eksogen.
Dengan masuknya MO tersebut, tubuh akan berusaha melawan dan
mencegahnya dengan pertahanan tubuh antara lain berupa leukosit,
makrofag, dan limfosit untuk memakannya (fagositosit). Dengan adanya
proses fagositosit ini, tubuh akan mengeluarkan senjata, berupa zat kimia
yang dikenal sebagai pirogen endogen (khususnya IL-1) yang berfungsi
sebagai anti infeksi. Pirogen endogen yang keluar, selanjutnya akan
merangsang sel-sel endotel hipotalamus untuk mengeluarkan suatu
substansi yakni asam arakhidonat. Asam arakhidonat dapat keluar dengan
adanya bantuan enzim fosfolipase A2. Asam arakhidonat yang
dikeluarkan oleh hipotalamus akan pemacu pengeluaran prostaglandin
(PGE2).
Pengeluaran prostaglandin dibantu oleh enzim siklooksigenase (COX).
Pengeluaran prostaglandin akan mempengaruhi kerja dari termostat
hipotalamus. Sebagai kompensasinya, hipotalamus akan meningkatkan
titik patokan suhu tubuh (di atas suhu normal). Adanya peningkatan titik
patokan ini dikarenakan termostat tubuh (hipotalamus) merasa bahwa
suhu tubuh sekarang dibawah batas normal. Akibatnya terjadilah respon
dingin/ menggigil. Selain itu vasokontriksi kulit juga berlangsung untuk
mengurangi pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut mendorong
suhu naik. Adanya proses menggigil (pergerakan otot rangka) ini
ditujukan untuk menghasilkan panas tubuh yang lebih banyak. Dan
terjadilah demam.
Etiologi
Penyebab dema tifoid adalah bakteri Salmonella typhi. Salmonella adalah
bakteri gram negative, tidak berkapsul, mempunya flagel peritrik dan
tidak mempunyai spora. Bakteri ini akan mati pada pemanasan 54C
selama beberapa menit. Kuman ini mempunyai 3 antigen yang penting
yaitu antigen O (somatik) antigen H (flagel), dan antigen Vi (yang
menyebabkan gejala klinis).
Salmonella enterica mempunyai 2000 serovar atau strain dan hanya
sekitar 200 yang berhasil terseteksi di Amerika Serikat. Dari sekian
banyak strain, Salmonella enterica serovar Typhimurium (S.
Epidemiologi
Insidens demam tifoid yang tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia
Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan
(Insiden >100 kasus per 100.000 populasi per tahun). Insiden demam
tifoid yang tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per
tahun) berada di wilayah Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali
Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per
100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.
Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang
berusia 3-19 tahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan
dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat
Patogenesis
patofisiologi
(Setiati, 2014)
3.6
3.7
manifestasi klinik
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan
rata-rata 10-14 hari.
Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi dari gejala klinis ringan
dan tidak memerlukan perawatan khusu sampai dengan berat sehingga
harus di rawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur salmonella,
status nutrisi dan imunologik penderita serta lama sakit di rumahnya.
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal
penyakit. Sebelum penggunaan antibiotik, penampilan demam pada
kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder
temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidius,
kemudia naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi
pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi
dan pada minggu keempat akan turun secara lisis, kecuali apabila
terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka
demam akan menetap. Banyak pasien yang melaporkan bahwa demam
lebih tinggi di sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya.
Pada saat demam sudah tinggi, dapat disertai gejala sistem saraf pusat
seperti kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi, atau
penurunan kesadaran mulai apatis sampai koma.
Gejala sistemik lainnya adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia,
nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokan. Pada kasus yang
berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak
toksik/sakit berat. Bahkan dijumpai juga syok hipovolemik akibat
kurangnya masukan cairan.
Gejala gastrointestinal: Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi, atau
obstipasi kemudian disusul episode diare, pada sebagian pasien lidah
tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya
kemerahan. Banyak dijumpai gejala meteorismus, di Indonesia lebih
banyak dijumpai kasus hepatomegali daripada splenomegali.
Rose spot: Suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan
ukuran 1-5mm, sering dijumpai pada daerah abdomen, toraks,
ekstremitas dan punggung, muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan 2-3
hari. Bronkitis banyak dijumpai,dan bradikardi relatif.
Pemeriksaan Rutin:
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis.
Leukositosis dapat terjadi Walaupun tanpa diserta infeksi sekunder.
Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopeni.
Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia
maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat
meningkat.
Uji Widal:
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi.
Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.
typhi dengan antibody yang disebut agglutinin. Antigen yang
digunakan pada uji widal adalah suspesi Salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk
menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita tersangka
demam tifoid yaitu:
a. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
b. Aglutinin H (flagel kuman)
c. Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut, hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu
pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai
puncak pada minggu ke-empat dan tetap tinggi pada beberapa minggu.
Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemuadian diikuti
dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih
tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih
lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk
menentukan kesembuhan penyakit.
Uji Typhidot:
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji
typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi
secara spesifik antibody IgM dan IgG terhadap antigen S. typhi seberat
50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.
Pada kasus reinfeksi, respons imun sekunder (IgG) teraktivasi secra
berlebihan sehingga IgM sulit dideteksi. IgGdapat bertahan sampai 2
tahun sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk
membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau
konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi masalah
tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total
IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji
Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik
yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi yang dilaukan oleh Khoo
KE dkk pada tahun 1997 terhadap uji Typhidot-M menjukkan bahwa
uji ini bahka lebih sensitive (sensitivits mencapai 100%) dan lebih
cepat (3 jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur.
Uji IgM Dipstik:
Kultur Darah:
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan
tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin
disebabkan beberapa hal seperti berikut:
1. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan
kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam
media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif
2. Volume darah kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila
darah yang dibiakan terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah
yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke
dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman
3. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi
dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan
bakteremia hingga biakan darah dapat negatif
4. Waktu pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat
aglutinin semakin meningkat.
(Setiati, 2014)
Diagnosis banding:
Pada stadium dini demam tifoid, bebrapa penyakit kadang-kadang secara
klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu, influenza,
gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang
disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi
jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria perlu
diperhatikan. Pada demam tifoid berat, sepsis, leukimia, imfoma dan
penyakit hodgkin dapat dijadikan sebagai diagnosis banding.
3.8
Penatalaksanaan
A. Non farmakologi:
Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
kompikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat
seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar
akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam
Komplikasi
A. Komplikasi intestinal:
Pendarahan usus
Perforasi usus
Ileus paralitik
Pankreatitis
B. Komplikasi ekstra-intestinal:
3.10 Pencegahan
1. Penyediaan sumber air minum yang baik
2. Penyediaan jamban yang sehat
3. Sosialisasi budaya cuci tangan
4. Sosialisasi budaya merebus air sampai mendidih
sebelum diminum
5. Pemberantasan lalat
6. Pengawasan kepada para penjual makanan dan
minuman
3.11 Prognosis
Tergantung (terutama) pada kecepatan diagnosa dan memulai
pengobatan yang benar
Demam tifoid tidak diobati: Tingkat kematian 10% - 20%
Demam tifoid diobati: Tingkat kematian <1%
Pasien yang tidak ditentukan: Komplikasi jangka panjang atau
permanen,
termasuk
gejala
neuropsikiatri
dan
kanker
gastrointestinal.
(Medscape, 2015)
Diet dan terapi penunjang : Diet merupakan hal yang cukup penting dalam
proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makan yang kurang akan
menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses
penyembuhan akan menjadi lama.
Pemberian antimikroba :
Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hamper sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan
terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4500 mg,dengan rata-rata
menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
Kontrimoksazol
Sefalosporin
Generasi Ketiga Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3 yang
terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis 100 cc
diberikan selama jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5
hari.
A. Farmakodinamik
1. Efek Antimikroba
Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman.
Efek toksik kloramfenikol pada sistem hemopoetik sel mamalia diduga
berhubungan dengan mekanisme keja obat ini.
C. Indikasi
Sebagai pilihan utama pengobatan tipus, paratipus. Untuk infeksi-infeksi
berat yang disebabkan oleh :
Salmonella spp
H. Influenza (terutama infeksi meningual)
Rickettsia
Lymphogranuloma-psitacosis
Gram negatif yang menyebabkan bekteremia meningitis
2. AMOXICILLIN
A. Farmakodinamik
Amoxicillin (alpha-amino-p-hydoxy-benzyl-penicillin) adalah derivat
dari 6 aminopenicillonic acid, merupakan antibiotika berspektrum luas
yang mempunyai daya kerja bakterisida. Amoxicillin, aktif terhadap
bakteri
gram
positif
maupun
bakteri
gram
negatif.
Bakteri gram positif: Streptococcus pyogenes, Streptococcus viridan,
Streptococcus faecalis, Diplococcus pnemoniae, Corynebacterium sp,
Staphylococcus aureus, Clostridium sp, Bacillus anthracis. Bakteri gram
negatif: Neisseira gonorrhoeae, Neisseriameningitidis, Haemophillus
influenzae, Bordetella pertussis, Escherichia coli, Salmonella sp,
Proteus mirabillis, Brucella sp.
B. Farmakokinetik
Amoxicillin diserap secara baik sekali oleh saluran pencernaan.
Kadar bermakna didalam serum darah dicapai 1 jam setelah pemberian
per-oral. Kadar puncak didalam serum darah 5,3 mg/ml dicapai 1,5-2
jam setelah pemberian per-oral. Kurang lebih 60% pemberian per-oral
akan diekskresikan melalui urin dalam 6 jam
C. Indikasi
Infeksi saluran pernafasan atas: Tonsillitis, pharyngitis (kecuali
pharyngitis gonorrhoae), Sinusitis, laryngitis, otitis media.
3. FLUOROKUINOLON
Dalam garis besarnya golongan kuinolon dapat dibagi menjadi 2 kelompok:
A. Farmakodinamik
Fluorokuinolon bekerja dengan mekanisme yang sama dengan kelompok
kuinolon terdahulu. Fluorokuinolon baru menghambat topoisomerase II
(=DNA Girase) dan IV pada kuman. Golongan kuinolon memiliki
aktifitas sebagai inhibitor dna gyrase. Gyrase sendiri termasuk dalam
kelas enzim topoisomerase, gyrase atau topoisomerase II.
B. Farmakokinetik
Sepsis
Meningitis
Infeksi abdominal
Infeksi tulang, persendian, jaringan lunak, kulit, dan luka-luka
Pencegah infeksi prabedah
Infeksi dengan pasien gangguan mekanisme daya tahan tubuh
Infeksi ginjal dan saluran kemih
Infeksi saluran pernafasan
Infeksi kelamin termasuk gonorrhea
6. KORTRIMOKSAZOL
A. Farmakodnamik
Trimetroprim dan sulfametoksazol menghambat reaksi enzimatik obligat
pada dua tahap yang berurutan pada mikroba, sehingga kombinasi ke
dua obat memberikan efek sinergi. Penemuan sediaan kombinasi ini
merupakan kemajuan penting dalam usaha meningkatkan efektivitas
klinik timikroba. Kombinasi ini lebih dikenl dengan nama
kotrimoksazol.
Aktivitas kotrimoksazol sinergistik disebabkan oleh inhibisi dua
langkah berturutan pada sintesis asam tertrahidrofolat; sulfametoksazol
menghambat; penggabungan PABA ke dalam asam folat; dan trimetoprin
mencengah reduksi dehidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Kontrimoksazol
menunjukkan aktivitas yang lebih poten dibandingkan sulfametoksazol
atau trimetoprim tunggal.
B. Farmakokinetik
Pemberian dan Metabolisme : Trimetoprim bersifat lebih larut dalam
lemak dibandingkan sulfametoksazol dan mempunyai volume distribusi
yang lebih besar. Pemberian 1 bagian trimetoprim menjadi 5 bagian
sulfa menyebabkan rasio obat dalam plasma 20 bagian sulfametoksazol
terhadap 1 bagian trimetoprim. Rasio ini optimal untuk efek antibiotika.
Kotrimoksazol biasanya diberikan per-oral. Pengecualian pemberian
Kulit : Reaksi pada kulit paling sering dijumpai dan mungkin parah pada
orang tua.
Saluran cerna : Mual, muntah serta glositis dan stomatitis jaringan
terjadi.
Kontra indikasi
1. KLORAMFENIKOL
Penderita yang hipersensitif terhadap Kloramfenikol
Penderita dengan gangguan faal hati yang berat
Penderita dengan gangguan ginjal yang berat
2. AMOXICILLIN
Keadaan peka terhadap penicillin.
3. FLUOROKUINOLON
Golongan kuinolon hingga sekarang tidak diindikasikan untuk anak (sampai
18 tahun) dan wanita hamil karena data dari penelitian hewan menunjukkan
bahwa golongan ini dapat menimbulkan kerusakan sendi.
4. SEFALOSPORIN GOLONGAN KETIGA
Pada pasien dengan alergi penisilin berat, tidak dianjurkan penggunaan
sefalosporin atau jika sangat diperlukan harus diawasi dengan sungguhsungguh.
5. CEFTRIAXONE
Hipersensitif terhadap Cefalosporin