Anda di halaman 1dari 25

1.

Memahami dan menjelaskan bakteri Salmonella Thypi


1.1 Definisi
Salmonella enterica adalah bakteri yang menyerang saluran gastrointestin
yang mencakup perut, usus halus dan usus besar. Salmonella bersifat host
adapted pada hewan dan infeksi pada manusia yang biasanya mengenai
usus. Pada beberapa kesempatan organisme ini dapat menyebabkan
penyakit yang invasif, meliputi bakteremia dan septikemia yang
mengancam. Organisme ini ditemukan pada hewan domestik dan
transmisinya melalui fekal oral yang mengingesti makanan yang
terkontaminasi.
(Pelczar, 2005)
1.2

morfologi dan struktur


Berbentuk batang (basil)
Berwarna merah ( gram negatif)
Bermotil
Tidak membentuk spora
Memiliki flagela
Dapat memfermentasi glukosa
Tidak memfermentasi laktosa dan
sukrosa
Membentuk gas dari hasil
fermentasi glukosa

1.3

Sifat
Siklus hidup Salmonella typhi:
1

Infeksi terjadi dari memakan makanan yang tercontaminasi dengan


feses yang terdapat bakteri Salmonella typhimurium dari
organisme pembawa (hosts).

Setelah masuk dalam saluran pencernaan maka Salmonella


typhimurium menyerang dinding usus yang menyebabkan
kerusakan dan peradangan.

Infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah


karena dapat menembus dinding usus tadi ke organ-organ lain
seperti hati, paru-paru, limpa, tulang-tulang sendi, plasenta dan
dapat menembusnya sehingga menyerang fetus pada wanita atau
hewan betina yang hamil, dan ke membran yang menyelubungi
otak.

Subtansi racun diproduksi oleh bakteri ini dan dapat dilepaskan


dan mempengaruhi keseimbangan tubuh.

Di dalam hewan atau manusia yang terinfeksi Salmonella


typhimurium, pada fesesnya terdapat kumpulan Salmonella

typhimurium yang bisa bertahan sampai berminggu-minggu atau


berbulan-bulan.
Bakteri ini tahan terhadap range yang lebar dari temperatur sehingga
dapat bertahan hidup berbulan-bulan dalam tanah atau air.
1.4

cara transmisi
Prinsip penularan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
adalah melalui oral. Kuman berasal dari tinja atau urin penderita atau
bahkan carrier (pembawa penyakit yang tidak sakit) yang masuk ke dalam
tubuh manusia melalui air dan makanan. Kontaminasi juga terjadi pada
sayuran mentah dan buah-buahan yang pohonnya dipupuk dengan kotoran
manusia. Vektor berupa serangga, misalnya lalat juga berperan dalam
penularan penyakit demam tifoid. Organisme ini ditemukan pada hewan
dosmetik. Transmisinya melalui fekal-oral, biasanya dari mengingesti
makanan yang terkontaminasi.
Kuman salmonella dapat berkembang biak untuk mencapai kadar infektif
dan bertahan lama dalam makanan. Makanan yang sudah dingin dan
dibiarkan ditempat terbuka merupakan media mikroorganisme yang lebih
disukai. Di daerah endemik, air yang tercemar merupakan penyebab
utama penularan penyakit. Dan di daerah non-endemik makanan yang
terkontaminasi oleh carrier dianggap paling bertanggungjawab terhadap
penularan.
(Widoyono, 2011)

2. Memahami dan menjelaskan demam


2.1 Definisi
Peningkatan suhu tubuh di atas normal; hal ini dapat disebabkan oleh
stress fisiolgik seperti pada ovulasi. Sekresi hormon tiroid
berlebihan/olahraga berat oleh lesi sistem saraf pusat/infeksi
mikroorganisme atau oleh sejumlah proses non-infeksi, misalnya
radang/pelepasan bahan tertentu, seperti pada leukemia.
(Dorland, 2010)

Suhu normal tubuh:


36,5C sampai 37,2C
2.2

pola demam
Demam septik: Suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali
pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas
normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil
dan berkeringat. Bila demam yuang tinggi tersebut turun
ke tingkat yang normal dinamakan juga demam hektik.
Demam remiten: Suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah
mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yamg
mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak
sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik.
Demam intermiten: Suhu badan turun ke tingkat yang normal selama
beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini
terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila
terjadi dua hari bebas demam dianatara dua serangan
demam disebut kuartana.

Demam kontinyu: Suhu sepanjang hari tudak berbeda lebih dari satu
derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi
sekali disebut hiperpireksia.
Demam siklik: Terjadi kenaikan suhu bnadan selama beberapa hari yang
diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari
yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti
semula.
2.3

mekanisme demam
Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh akibat dari peradangan
atau infeksi. Proses perubahan suhu yang terjadi saat tubuh dalam keadaan
sakit lebih dikarenakan oleh zat toksin yang masuk kedalam tubuh.
Umumnya, keadaan sakit terjadi karena adanya proses peradangan
(inflamasi) di dalam tubuh. Proses peradangan itu sendiri sebenarnya
merupakan mekanisme pertahanan dasar tubuh terhadap adanya serangan
yang mengancam keadaan fisiologis tubuh. Proses peradangan diawali
dengan masuknya zat toksin (mikroorganisme) kedalam tubuh kita.
Mikroorganisme (MO) yang masuk kedalam tubuh umumnya memiliki
suatu zat toksin tertentu yang dikenal sebagai pirogen eksogen.
Dengan masuknya MO tersebut, tubuh akan berusaha melawan dan
mencegahnya dengan pertahanan tubuh antara lain berupa leukosit,
makrofag, dan limfosit untuk memakannya (fagositosit). Dengan adanya
proses fagositosit ini, tubuh akan mengeluarkan senjata, berupa zat kimia
yang dikenal sebagai pirogen endogen (khususnya IL-1) yang berfungsi
sebagai anti infeksi. Pirogen endogen yang keluar, selanjutnya akan
merangsang sel-sel endotel hipotalamus untuk mengeluarkan suatu
substansi yakni asam arakhidonat. Asam arakhidonat dapat keluar dengan
adanya bantuan enzim fosfolipase A2. Asam arakhidonat yang
dikeluarkan oleh hipotalamus akan pemacu pengeluaran prostaglandin
(PGE2).
Pengeluaran prostaglandin dibantu oleh enzim siklooksigenase (COX).
Pengeluaran prostaglandin akan mempengaruhi kerja dari termostat
hipotalamus. Sebagai kompensasinya, hipotalamus akan meningkatkan
titik patokan suhu tubuh (di atas suhu normal). Adanya peningkatan titik
patokan ini dikarenakan termostat tubuh (hipotalamus) merasa bahwa
suhu tubuh sekarang dibawah batas normal. Akibatnya terjadilah respon
dingin/ menggigil. Selain itu vasokontriksi kulit juga berlangsung untuk
mengurangi pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut mendorong
suhu naik. Adanya proses menggigil (pergerakan otot rangka) ini
ditujukan untuk menghasilkan panas tubuh yang lebih banyak. Dan
terjadilah demam.

3. Memahami dan menjelaskan demam typhoid


3.1 Definisi
Demam tifoid adalah infeksi akut dari saluran pencernaan yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Demam paratifoid adalah penyakit sejenis yang
disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, B, dan C. Gejala dan tanda kedua
penyakit tersebut hampir sama, tetapi manifestasi klinis paratifoid lebih
ringan. Kedua penyakit diatas disebut tifoid. Terminologi lain yang sering
digunakan adalah typhoid fever, paratyphoid fever, typhus, dan paratyphus
abdominalis atau demam enteric
3.2

Etiologi
Penyebab dema tifoid adalah bakteri Salmonella typhi. Salmonella adalah
bakteri gram negative, tidak berkapsul, mempunya flagel peritrik dan
tidak mempunyai spora. Bakteri ini akan mati pada pemanasan 54C
selama beberapa menit. Kuman ini mempunyai 3 antigen yang penting
yaitu antigen O (somatik) antigen H (flagel), dan antigen Vi (yang
menyebabkan gejala klinis).
Salmonella enterica mempunyai 2000 serovar atau strain dan hanya
sekitar 200 yang berhasil terseteksi di Amerika Serikat. Dari sekian
banyak strain, Salmonella enterica serovar Typhimurium (S.

Typhimurium) dan Salmonella enterica serovar Entiritidis (S. Entiridis)


adalah strain yang paling banyak ditemukan.
Manifestasi demam tifoid tergantung dari virulensi dan daya tahan tubuh.
Sutu percobaan pada manusia dewasa menunjukana bahwa 107
mikroba dapat menyebabkan 50% sukarelawan menderita sakit, meskipun
1000 mikroba juga dapat menyebabkan penyakit. Masa inkubasinya
adalah 10-20 hari, meskipun ada yang menyebut 8-14 hari. Adapun pada
gejala gastroenteritis yang diakibatkan oleh paratifoid, masa inkubasinya
berlangsung lebih cepat, yaitu sekitar 1-10 hari. Mikroorganisme dapat
ditemukan pada urin sekitar 1 minggu demam (hari ke-8 demam). Jika
penderita diobati dengan benar, makan kuman tidak akan itemukan pada
tinja dan urin pada minggu ke-4, akan tetapi jika masih terdapat kuman
pada minggu ke-4 melalui pemeriksaa kultur tinja, maka penderita
dinyatakan sebagai carrier.
Seorang carrier biasanya berusia dewasa, sangat jarang terjadi pada anak.
Kuman Salmonella bersembunyi dalam kandung empedu orang dewasa.
Jika carrier tersebut mengonsumsi makanan berlemak, maka cairan
empedu akan dikeluarkan dalam saluran pencernaan untuk mencerna
lemak, bersamaan dengan mikroorganisme (kuman Salmonella). Setelah
itu, cairan empedu dan mikroorganisme dibuang melalui tinja yang
berpotensi menjadi sumber penularan penyakit.
Prinsip penularan penyakit ini adalah fekal-oral. Kuman berasal dari tinja
atau urin penderita atau bahkan carrier yang masuk kedalam tubuh
manusia melalui air dan makanan. Pernah dilaporkan dibeberapa Negara
bahwa penularan terjadi karena masyarakat mengonsumsi kerangkerangan yang airnya tercemar kuman. Kontaminasi juga dapat terjadi ada
sayuran mentah dan buah-buahan yang pohonnya dipupuk dengan kotoran
manusia. Vector berupa serangga (antara lain lalat) juga berperan dalam
penularan penyakitt.
Kuman Salmonella dapat berkembangbiak untuk mencapai kadar infektif
dan bertahan lama dalam makanan. Makanan yang sudah dingin dan
dibiarkan di tempat terbkamerupakan media mikroorganisme yang paling
disukai. Pemakaia air minum yang dipakai secara massal sering
bertanggung jawab terhadap terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB).
Selain penderita tofoid, sumber penularan utama berasal dari carrier. Di
daerah endemic, air yang tercemar meurupakn penyebab utama penularan
penyakit. Adapun di daerah non-endemik, makana yang terkontaminasi
oleh carrier dianggap paling bertanggung jawab terhadap penularan.
3.3

Epidemiologi
Insidens demam tifoid yang tergolong tinggi terjadi di wilayah Asia
Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan
(Insiden >100 kasus per 100.000 populasi per tahun). Insiden demam
tifoid yang tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per
tahun) berada di wilayah Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali
Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per
100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.
Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang
berusia 3-19 tahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan
dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat

terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan,


menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya
tempat buang air besar dalam rumah.
Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI
tahun 2010, melaporkan demam tifoid menempati urutan ke-3 dari 10 pola
penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia
(41.081 kasus).
3.4

Patogenesis

Masuknya Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi terjadi melalui


makanan yang terkontaminasi makanan. Sebagian ada yang dimusnahkan
didalam lambung, sebagian lolos ke dalam usus halus dan berkembang
biak. Apabila respons IgA usus kurang baik makan kuman akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina
propia. Di lamina propia, kuman berkembang biak dan difagosit oleh selsel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman berkembang biak di dalam
fagosit lalu dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar
getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman
masuk ke peredaran darah (bakterimia 1 yang asimtomatik) dan menyebar
ke seluruh organ retikuloendotenial (terutama hati dan limpa). Di organorgan ini kuman meninggalkan makrofag dan kemudian berkembang biak
di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke peredaran darah
lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tandatanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
(Setiati, 2014)
3.5

patofisiologi

Kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi di organ


retikuloendotelial (terutama hati dan limpa), meniggalkan sel-sel fagosit
dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah, mengakibatkan bakterima II
dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen
usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi
ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, karena makrofag telah teraktivasi, hiperaktif; maka saat
fagositosis kuman Salmonella, terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
gangguan vaskular, mental, dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan
dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan, dan gangguan organ lainnya.

(Setiati, 2014)
3.6

3.7

manifestasi klinik
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan
rata-rata 10-14 hari.
Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi dari gejala klinis ringan
dan tidak memerlukan perawatan khusu sampai dengan berat sehingga
harus di rawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur salmonella,
status nutrisi dan imunologik penderita serta lama sakit di rumahnya.
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal
penyakit. Sebelum penggunaan antibiotik, penampilan demam pada
kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder
temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidius,
kemudia naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi
pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi
dan pada minggu keempat akan turun secara lisis, kecuali apabila
terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka
demam akan menetap. Banyak pasien yang melaporkan bahwa demam
lebih tinggi di sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya.
Pada saat demam sudah tinggi, dapat disertai gejala sistem saraf pusat
seperti kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi, atau
penurunan kesadaran mulai apatis sampai koma.
Gejala sistemik lainnya adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia,
nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokan. Pada kasus yang
berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak
toksik/sakit berat. Bahkan dijumpai juga syok hipovolemik akibat
kurangnya masukan cairan.
Gejala gastrointestinal: Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi, atau
obstipasi kemudian disusul episode diare, pada sebagian pasien lidah
tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya
kemerahan. Banyak dijumpai gejala meteorismus, di Indonesia lebih
banyak dijumpai kasus hepatomegali daripada splenomegali.
Rose spot: Suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan
ukuran 1-5mm, sering dijumpai pada daerah abdomen, toraks,
ekstremitas dan punggung, muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan 2-3
hari. Bronkitis banyak dijumpai,dan bradikardi relatif.

diagnosis dan diagnosis banding


Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam,
gangguan gastrointestinal dan mungkin disertai gangguan kesadaran,
dengan kriteria ini maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis
tersangka demam tifoid. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S.typhi
dari darah. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan
keberhasilannya lebih kecil. Biakan spesimen yang berasal dari aspirasi
sumsum tulang mempunyai sensitivitas tinggi yaitu 90%, tetapi sangat
invasif. Pada keadaan tertentu biakan yang diambil dari spesimen empedu
dan duodenum dapat memberikan hasil yang cukup baik.
Pemeriksaan Laboratorium:

Pemeriksaan Rutin:
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan
leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis.
Leukositosis dapat terjadi Walaupun tanpa diserta infeksi sekunder.
Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopeni.
Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia
maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat
meningkat.
Uji Widal:
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi.
Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.
typhi dengan antibody yang disebut agglutinin. Antigen yang
digunakan pada uji widal adalah suspesi Salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk
menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita tersangka
demam tifoid yaitu:
a. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
b. Aglutinin H (flagel kuman)
c. Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut, hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu
pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai
puncak pada minggu ke-empat dan tetap tinggi pada beberapa minggu.
Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemuadian diikuti
dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih
tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih
lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk
menentukan kesembuhan penyakit.
Uji Typhidot:
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji
typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi
secara spesifik antibody IgM dan IgG terhadap antigen S. typhi seberat
50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.
Pada kasus reinfeksi, respons imun sekunder (IgG) teraktivasi secra
berlebihan sehingga IgM sulit dideteksi. IgGdapat bertahan sampai 2
tahun sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk
membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau
konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi masalah
tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total
IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji
Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik
yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi yang dilaukan oleh Khoo
KE dkk pada tahun 1997 terhadap uji Typhidot-M menjukkan bahwa
uji ini bahka lebih sensitive (sensitivits mencapai 100%) dan lebih
cepat (3 jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur.
Uji IgM Dipstik:

Uji ini secara khusus mendeteksi atibodi IgM spesifik terhadap S.


typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan
strip yang mengadung antigen lipopolisakarida (LPS) S. typhoid dan
anti IgM (sebagai kontrol), ragaen deteksi yang mengandung antibody
anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip
sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabug uji.
Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada
suhu 4-25 C ditempat kering tanpa paparan sinar matahari.
Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan
campuranreagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar.
Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan.
Secara resmi kuantitatif, diberikan penilaian terhadap garis uji dengan
membandigkannya dengan reference strip. Garis kontrol harus
terwarna dengan baik.

Kultur Darah:
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan
tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin
disebabkan beberapa hal seperti berikut:
1. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan
kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam
media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif
2. Volume darah kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila
darah yang dibiakan terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah
yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke
dalam media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman
3. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi
dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan
bakteremia hingga biakan darah dapat negatif
4. Waktu pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat
aglutinin semakin meningkat.
(Setiati, 2014)

Diagnosis banding:
Pada stadium dini demam tifoid, bebrapa penyakit kadang-kadang secara
klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu, influenza,
gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang
disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi
jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria perlu
diperhatikan. Pada demam tifoid berat, sepsis, leukimia, imfoma dan
penyakit hodgkin dapat dijadikan sebagai diagnosis banding.

3.8

Penatalaksanaan
A. Non farmakologi:
Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
kompikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat
seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar
akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam

perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan


perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk
mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene
perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif)
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan
penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan
keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses
penyembuhan akan menjadi lama.
Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring,
kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan
nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat
kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujuan untuk
menghindari komplikasi pendarahan saluran cerna atau perforasi usus.
Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus diistirahatkan.
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini
yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara
sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien
demam tifoid.
3.9

Komplikasi

A. Komplikasi intestinal:

Pendarahan usus
Perforasi usus
Ileus paralitik
Pankreatitis

B. Komplikasi ekstra-intestinal:

Komplikasi kardiovaskular : gagal sirkulasi perifer, miokarditis


dan tromboflebitis
Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, KID
dan trombosis
Komplikasi paru : pneumonia, empiema dan pleuritis
Komplikasi hepatobilier : hepatitis dan kolesistitis
Komplikasi ginjal : glomerulunefritis, pelonefritis dan
perinefritis
A. Komplikasi Intestinal:
Perdarahan usus
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum
terminalis) dapat terbentuk luka yang berbentuk
lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila
luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh
darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya, jika luka
menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi.
Selain faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi

karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan


kedua faktor
Perforasi Usus
Komplikasi ini biasanya timbul pada minggu ketiga
namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain
gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka
penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh
nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran
kanan bawah yang kemudia menyebar ke seluruh perut
dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus
melemah dan pekak hati terkadang tidak ditemukan
karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda
perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah
turun dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan
pergeseran ke kiri dapat menyokonh adanya perforasi.
B. Komplikasi Ekstra Intestinal:
Komplikasi hematologi
Trombositopenia, hipofibrino-genemia, peningkatan
prothrombin time, peningkatan partial thromboplastin
time, peningkatan fibrin degradation products dan
koagulasi intravaskular diseminata (KID) merupakan
komplikasi hematologi pada pasien demam tifoid.
Trombositopenia sering terjadi pada pasien demam
tifoid karena menurunnya produksi trombosit pada
sumsum
tulang
selama
prosesinfeksi
atau
retikuloendetolial. Sedangkan penyebab KID pada
demam tifoid sering dikemukakan jika endotoksin
mengaktifkan beberapa sistem biologik, koagulasi dan
fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandindan dan
histamin menyebabkan vasokontriksi dan kerusakan
endotel
pembuluh
darah
dan
selanjutnya
mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi.
Baik KID kompensata maupun dekompensata.
Hepatitis Tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dapat
dijumpai pada pasien tifoid dan lebih banyak
disebabkan karena S.typhi daripada S.paratyphi. Untuk
membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid,
virus, malaria atau amoeba maka perlu diperhatikan
kelainan
fisik,
parameter
laboratorium
dan
histopatologik hati.
Pankreatitis Tifosa
Pankreatitis tifosa merupakan komplikasi yang jarang
terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri dapat
disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri,

cacing maupun zat farmakologik. Penatalaksanaan


pankreatitis
tifosa
sama
seperti
penanganan
pankreatitis pada umumnya ; antibiotik yang diberikan
adalah antibiotik intravena seperti seftriakson atau
kuinolon.
Miokarditis
Pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala
kardiovaskular atau dapat berupa keluhan sakit dada,
gagal jantung kongestif, aritmia atau syok kardiogenik.
Sedangkan
perikarditis
sangat
jarang
terjadi.
Perubahan elektrokardiografi yang menetap disertai
aritmia mempunya prognosis yang buruk. Kelainan
inidisebabkan kerusakan miokardium oleh kumana
S.typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab
kematian. Biasanya dijumpai pada pasien yang sakit
berat, keadaan akut dan fulminan.
Manifestasi Neuropsikiatrik / Tifoid Toksik
Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium
dengan atau tanpa kejang, semi-koma atau koma,
Parkinson ragidity/ transient parkinsonism, sindrom
otak akut, mioklonus generalisata, meningismus
skizofrenia
sitotoksik,
mania
akut,
hipnomia,
ensefalomielitis, meningitis, polineuritis perifer dan
psikosis.
Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom
klinis berupa gangguan atau penurusan kesadaran akut
(kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, sopor
atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan
neurologis lainnya dan dalam pemerisaan cairan otak
masih dalam batas normal. Sindrom klinis seperti ini
oleh beberapa peneliti disebut tifoid toksik, sedangkan
oleh peneliti lainnya menyebutnya dengan demam
tifoid berat, demam tifoid ensefalopati atau demam
tifoid dengan toksemia.
(Setiati, 2014)

3.10 Pencegahan
1. Penyediaan sumber air minum yang baik
2. Penyediaan jamban yang sehat
3. Sosialisasi budaya cuci tangan
4. Sosialisasi budaya merebus air sampai mendidih
sebelum diminum
5. Pemberantasan lalat
6. Pengawasan kepada para penjual makanan dan
minuman

7. Sosialisasi pemberian ASI pada ibu menyusui


8. Pengawasan kepada para penjual makanan dan
minuman
9. Imunisasi
Imunisasi pencegahan tifoid termasuk dalam program
pengembangan imunisasi yang dianjurkan di Indonesia.
Namun, program ini masih belum diberikan secara gratis
karena keterbatasan sumber daya pemerintah Indonesia.
Oleh sebab itu, orangtua harus membayar biaya imunisasi
untuk anaknya.
Jenis vaksinasi yang tersedia adalah:
1. Vaksin oral Ty21a:
Vaksin oral yang mengandung S.Typhi strain Ty21a
hidup. Vaksin diberikan pada usia minimal 6 tahun
dengan dosis 1 kapsul setiap 2 hari selama 1 minggu.
Menurut laporan, vaksin oral Ty21a bisa memberikan
perlindungan selama 5 tahun.
2. Vaksin parental polisakarida:
Berasal dari polisakarida Vi dari kuman Salmonella.
Vaksin diberikan secara parental dengan dosis tunggal
0,5 cc intramuskular pada usia mulai 2 tahun dengan
dosis ulangan (booster) setiap 3 tahun. Lama
perlindungan sekitar 60%-70%.
Jenis vaksin ini
menjadi pilihan utama karena relatif paling aman.
(Widoyono, 2011)

3.11 Prognosis
Tergantung (terutama) pada kecepatan diagnosa dan memulai
pengobatan yang benar
Demam tifoid tidak diobati: Tingkat kematian 10% - 20%
Demam tifoid diobati: Tingkat kematian <1%
Pasien yang tidak ditentukan: Komplikasi jangka panjang atau
permanen,
termasuk
gejala
neuropsikiatri
dan
kanker
gastrointestinal.
(Medscape, 2015)

4. farmakologi (antibiotic untuk kuman demam thypoid)


Trilogi penatalaksanaan demam tifoid, adalah Istirahat dan perawatan : Tirah
baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi,
buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan memperepat masa
penyembuhan. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan
pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan
dijaga.

Diet dan terapi penunjang : Diet merupakan hal yang cukup penting dalam
proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makan yang kurang akan
menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses
penyembuhan akan menjadi lama.
Pemberian antimikroba :

Kloramfenikol : Dosis : 4 x 500mg/hari . Diberikan sampai dengan 7


hari bebas panas.
Tiamfenikol: Dosis ; 4500 mg.
Kotrimoksazol : Dosis : 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung
sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2
minggu.
Ampisilin dan amoksisilin : dosis : 50-150 mg/kgBB dan digunakan
selama 2 minggu.
Sefalosporin generasi ketiga : dosis 3-4 gram dalam dektrosa 100 cc
diberikan selama jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3
hingga 5 hari.
Golongan fluorokuinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan
dan aturan pemberiannya:
Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
Siproflaksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin dosis 2 x 400mg/hari selama 7 hari
Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Farmakologi :
Dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman. Obat-obat
antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid:
Kloramfenikol
Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk
mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4500 mg per hari
dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7
hari bebas panas. Penyuntikan intramuscular tidak dianjurkan oleh karena
hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.
Dari pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam rata-rata
7,2 hari. Penulis lain menyebutkan penurunan demam dapat terjadi ratarata setelah hari ke-5. Pada penelitian yang dilakukan selama 2002 hingga
2008 oleh Moehario LH dkk didapatkan 90% kuman masih memiliki
kepekaan terhadap antibiotic ini.

Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hamper sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan
terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4500 mg,dengan rata-rata
menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.

Kontrimoksazol

Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis


untuk orang dewasa adalah 22 tablet (1 tablet mengandungb
sulfametaksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2
minggu.

Ampisilin dan amoksisilin


Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan
dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150
mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.

Sefalosporin
Generasi Ketiga Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3 yang
terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis 100 cc
diberikan selama jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5
hari.

Golongan fluorokuinon Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan


aturan pemberiannya:
-Norfloksasin dosis 2400 mg/hari selama 14 hari
-Siprofloksasin 2500 mg/hari selama 6 hari
-Ofloksasin dosis 2400 mg/hari selama 7 hari
-Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
-Fleroksasin dosis 400 mg/hariselama 7 hari
Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke-3 atau menjelang harike-4.
Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada penggunaan norfloksasin
yang merupakan fluorokuinon pertama yang memiliki biovailabilitas tidak
sebaik fluorokuinon yang dikembangkan kemudian.

Azitromisin Tinjauan yang dilakukan oleh Eeva EW dan Bukirwa H pada


tahun 2008 terhadap 7 penelitian yang membandingkan penggunaan
azitromisin (dosis 2500 mg) menunjukkan bahwa penggunaan obat ini jika
dibandingkan dengan fluorokuinon, azitromisin secara signifikan mengurangi
kegagalan klinis dan durasi rawat inap, terutama jika penelitian
mengikutsertakan pula strain MDR (multi drug resistance) maupun NARST
(Nalidixic Acid Resistant S. typi). Jika dibandingkan dengan ceftriakson,
penggunaan azitromisin dapat mengurangi angka relaps. Azitromisisn mampu
menghasilkan konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun konsentrasi
dalam jaringan yang tinggi walaupun konsentrasi dalam darah cenderung
rendah. Antibiotika akan terkonsentrasi di dalam sel, sehingga antibiotika ini
menjadi ideal untuk digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S. typi yang
meupakan kuman intraselular. Keuntungan lain adalah azitromisisn tersedia
dalam bentuk sediaan oral maupun suntikan intravena.
1. KLORAMFENIKOL

A. Farmakodinamik
1. Efek Antimikroba
Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman.
Efek toksik kloramfenikol pada sistem hemopoetik sel mamalia diduga
berhubungan dengan mekanisme keja obat ini.

Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi


tinggi kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman
tertentu.
Spektrum antibakteri kloramfenikol kebanyakan kuman anaerob.
2. Resistensi
Mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui inaktivasi
obat oleh asetil transferase yang diperantarai oleh faktor-R dan adapula
dengan merubah permeabilitas membran yang mengurangi masuknya
obat ke dalam sel bakteri.
B. Farmakokinetik
1. Absorbsi
Diabsorbsi secara cepat di GIT, bioavailability 75% sampai 90%.
Kloramfenikol oral : bentuk aktif dan inaktif prodrug,
Mudah berpenetrasi melewati membran luar sel bakteri.
Pada sel eukariotik menghambat sintesa protein mitokondria sehingga
menghambat perkembangan sel hewan & manusia.
Sediaan kloramfenikol untuk penggunaan parenteral (IV) adalah watersoluble.
2. Distribusi
Kloramfenikol berdifusi secara cepat dan dapat menembus plasenta.
Konsentrasi tertinggi : hati dan ginjal
Konsentrasi terendah : otak dan CSF (Cerebrospinal fluid).
Dapat juga ditemukan di pleura dan cairan ascites, saliva, air susu, dan
aqueousdan vitreous humors.
3. Metabolisme
Metabolisme : hati dan ginjal
Half-life kloramfenikol berhubungan dengan konsentrasi bilirubin.
Kloramfenikol terikat dengan plasma protein 50%; pasien sirosis dan
pada bayi.
4. Eliminasi
Rute utama dari eliminasi kloramfenikol adalah pada metabolisme
hepar ke inaktif glukuronida.

C. Indikasi
Sebagai pilihan utama pengobatan tipus, paratipus. Untuk infeksi-infeksi
berat yang disebabkan oleh :
Salmonella spp
H. Influenza (terutama infeksi meningual)
Rickettsia
Lymphogranuloma-psitacosis
Gram negatif yang menyebabkan bekteremia meningitis

2. AMOXICILLIN
A. Farmakodinamik
Amoxicillin (alpha-amino-p-hydoxy-benzyl-penicillin) adalah derivat
dari 6 aminopenicillonic acid, merupakan antibiotika berspektrum luas
yang mempunyai daya kerja bakterisida. Amoxicillin, aktif terhadap
bakteri
gram
positif
maupun
bakteri
gram
negatif.
Bakteri gram positif: Streptococcus pyogenes, Streptococcus viridan,
Streptococcus faecalis, Diplococcus pnemoniae, Corynebacterium sp,
Staphylococcus aureus, Clostridium sp, Bacillus anthracis. Bakteri gram
negatif: Neisseira gonorrhoeae, Neisseriameningitidis, Haemophillus
influenzae, Bordetella pertussis, Escherichia coli, Salmonella sp,
Proteus mirabillis, Brucella sp.
B. Farmakokinetik
Amoxicillin diserap secara baik sekali oleh saluran pencernaan.
Kadar bermakna didalam serum darah dicapai 1 jam setelah pemberian
per-oral. Kadar puncak didalam serum darah 5,3 mg/ml dicapai 1,5-2
jam setelah pemberian per-oral. Kurang lebih 60% pemberian per-oral
akan diekskresikan melalui urin dalam 6 jam
C. Indikasi
Infeksi saluran pernafasan atas: Tonsillitis, pharyngitis (kecuali
pharyngitis gonorrhoae), Sinusitis, laryngitis, otitis media.

Infeksi saluran pernafasan bawah: Acute dan chronic bronchitis,


bronchiectasis, pneumonia.

Infeksi saluran kemih dan kelamin: gonorrhoeae yang tidak


terkomplikasi, cystitis, pyelonephritis.

Infeksi kulit dan selapu lendir: Cellulitis, wounds, carbuncles,


furunculosis.

3. FLUOROKUINOLON
Dalam garis besarnya golongan kuinolon dapat dibagi menjadi 2 kelompok:

Kuinolon, kelompok ini tidak punya manfaat klinik untuk pengobatan


sistemik karena kadarnya dalam darah terlalu rendah.Selain itu daya
antibakterinya agak lemah dan resistensi juga cepat timbul.Indikasi
kliniknya terbatas sebagai antiseptik saluran saluran kemih.Yang
termasuk kelompok ini ialah asam nalidiksilat dan asam pipemidat.

Fluorokuinolon, kelompok ini disebut demikian karena adanya atom


flour pada posisi 6 dalam struktur molekulnya.Daya antibakteri
fluorokuinolon jauh lebih kuat dibandingkan kelompok kuinolon
lama.Selain itu kelompok obat ini diserap baik pada pemberian oral
dan beberapa derivatnya tersedia juga dalam bentuk parenteral
sehingga dapat digunakan untuk penanggulangan infeksi
berat,khususnya yang disebabkan oleh kuman Gram negatif.Daya
bakterinya terhada kuman Gram positif relatif lemah.Yang termasuk
golongan
ini
adalah
siprofloksasin
,ofloksasin,norfloksasin

A. Farmakodinamik
Fluorokuinolon bekerja dengan mekanisme yang sama dengan kelompok
kuinolon terdahulu. Fluorokuinolon baru menghambat topoisomerase II
(=DNA Girase) dan IV pada kuman. Golongan kuinolon memiliki
aktifitas sebagai inhibitor dna gyrase. Gyrase sendiri termasuk dalam
kelas enzim topoisomerase, gyrase atau topoisomerase II.
B. Farmakokinetik

Fluorokuinolon diserap lebih baik melalui saluran cerna.

Bioavailablitasnya pada pemberian oral sama dengan pemberian


parenteral. Fluorokuinolon hanya sedikit terikat dengan protein.

Golongan obat ini hanya didistribusi dengan baik pada berbagai


organ.

Golongan obat ini mampu mencapai kadar tinggi dalam jaringan


prostat dan masa paruh eliminasinya panjang sehingga obat cukup
diberikan 2 kali sehari.

Kebanyakan fluorokuinolon dimetabolisme di hati dan di


ekskresikan melalui ginjal.

Daya antibakteri fluirokuinolon jauh lebih kuat dibandingkan


kuinolon lama. Selain itu diserap dengan baik pada pemberian oral, dan
beberapa derivatnya parenteral sehingga dapat digunakan untuk infeksi
berat khususnya yang disebabkan oleh kuman gram-negatif. Daya
antibakterinya terhadap kuman gram-positif relatif lemah. Yang
termasuk golongan ini ialah siprofloksasin, pefloksasin, ofloksasin,
norfloksasin, enoksasin, levofloksasin, fleroksasin, dll. Terdapat
golongan kuinolon baru yaitu moksifloksasin, gatifloksasin, dan
gemifloksasin.
C. Indikasi

Fluorokuinolon digunakan untuk indikasi yang jauh lebih luas


antara lain:
INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK): Fluorokuinolon efektif untuk ISK
dengan atau tanpa penyulit. Siprofloksasin, norfloksasin, dan ofloksasin
dapat mencapai kadar yang cukup tinggi di jaringan prostat dan dapat
digunakan untuk terapi prostatitis bakterial akut maupun kronik.
INFEKSI SALURAN CERNA: Fluorokuinolon juga efektif untuk diare
yang disebabkan oleh Shigella, Salmonella, E.coli dan Campylobacter.
Siprofloksasin dan ofloksasin mempunyai efektivitas yang baik
terhadap demam tifoid.
INFEKSI SALURAN NAPAS (ISN): Secara umum efektivitas
flurokuinolon generasi pertama untuk infeksi bakterial saluran napas
bawah adalah cukup baik. Namun perlu diperhatikan bahwa kuman
S.pneumoniae dan S.aureus yang sering menjadi penyebab ISN kurang
peka terhadap golongan obat ini.

PENYAKIT YANG DITULARKAN MELALUI HUBUNGAN


SEKSUAL: Siprofloksasin oral dan levofloksasin oral merupakan obat
pilihan utama disamping seftriakson dan sefiksim untuk pengobatan
uretris dan servitis oleh gonokokus.
INFEKSI TULANG DAN SENDI: Siprofloksasin oral yang diberikan
selama 4-6 minggu efektif untuk mengatasi infeksi pada tulang dan
sendi yang disebabkan oleh kuman yang peka.
INFEKSI KULIT DAN JARINGAN LUNAK: Fluorokuinolon oraal
mempunyai efektivitas sebanding dengan sefalosporin parenteral
generasi ketiga untuk pengobatan infeksi berat pada kulit atau jaringan
lunak.
4. SEFALOSPORIN GOLONGAN KETIGA
A. Farmakokinetik
Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya sefuroksim, seftriakson,
sefepim, sefotaksim dan seftizoksim mencapai kadar yang tinggi di
cairan serebrospinal (CSS), sehingga dapat bermanfaat untuk
pengobatan meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati
sawar darah uri, mencapai kadar tinggi di cairan sinovial dan cairan
perikardium. Pada pemberian sistemik, kadar sefalosporin generasi
ketiga di cairan mata relatif tinggi, tetapi tidak mencapai vitreus. Kadar
sefalosporin dalam empedu umumnya tinggi, terutama sefoperazon.
B. Farmakodinamik
Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh melalui ginjal,
dengan proses sekresi tubuli, kecuali sefoperazon yang sebagian besar
diekskresi melalui empedu. Karena itu dosis sefalosporin umumnya
harus dikurangi pada pasien insufisiensi ginjal. Probenesid mengurangi
ekskresi sefalosporin, kecuali moksalaktam dan beberapa lainnya.
Sefalotin, sefapirin dan sefotaksim mengalami deasetilasi; metabolit
yang aktivitas antimikrobanya lebih rendah juga diekskresi melalui
ginjal.
C. Indikasi
Sefalosporin generasi ketiga tunggal atau dalam kombinasi dengan
aminoglikosida merupakan obat pilihan utama untuk infeksi berat oleh
Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Provedencia, Serratia dan
Haemophillus spesies. Seftriakson dewasa ini merupakan obat pilihan
untuk semua bentuk gonore dan infeksi berat penyakit Lyme.
5. CEFTRIAXONE
A. Farmakodinamik
Ceftriaxone adalah golongan cefalosporin dengan spektrum luas, yang
membunuh bakteri dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri.

Ceftriaxone secara relatif mempunyai waktu paruh yang panjang dan


diberikan dengan injeksi dalam bentuk garam sodium.
B. Farmakokinetik
Ceftriaxone secara cepat terdifusi kedalam cairan jaringan, diekskresikan
dalam bentuk aktif yang tidak berubah oleh ginjal (60%) dan hati (40%).
Setelah pemakaian 1 g, konsentrasi aktif secara cepat terdapat dalam urin
dan empedu dan hal ini berlangsung lama, kira-kira 12-24 jam. Rata-rata
waktu paruh eliminasi plasma adalah 8 jam. Waktu paruh pada bayi dan
anak-anak adalah 6,5 dan 12,5 jam pada pasien dengan umur lebih dari
70 tahun. Jika fungsi ginjal terganggu, eliminasi biliari terhadap
Ceftriaxone meningkat.
C. Indikasi

Sepsis
Meningitis
Infeksi abdominal
Infeksi tulang, persendian, jaringan lunak, kulit, dan luka-luka
Pencegah infeksi prabedah
Infeksi dengan pasien gangguan mekanisme daya tahan tubuh
Infeksi ginjal dan saluran kemih
Infeksi saluran pernafasan
Infeksi kelamin termasuk gonorrhea

6. KORTRIMOKSAZOL
A. Farmakodnamik
Trimetroprim dan sulfametoksazol menghambat reaksi enzimatik obligat
pada dua tahap yang berurutan pada mikroba, sehingga kombinasi ke
dua obat memberikan efek sinergi. Penemuan sediaan kombinasi ini
merupakan kemajuan penting dalam usaha meningkatkan efektivitas
klinik timikroba. Kombinasi ini lebih dikenl dengan nama
kotrimoksazol.
Aktivitas kotrimoksazol sinergistik disebabkan oleh inhibisi dua
langkah berturutan pada sintesis asam tertrahidrofolat; sulfametoksazol
menghambat; penggabungan PABA ke dalam asam folat; dan trimetoprin
mencengah reduksi dehidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Kontrimoksazol
menunjukkan aktivitas yang lebih poten dibandingkan sulfametoksazol
atau trimetoprim tunggal.
B. Farmakokinetik
Pemberian dan Metabolisme : Trimetoprim bersifat lebih larut dalam
lemak dibandingkan sulfametoksazol dan mempunyai volume distribusi
yang lebih besar. Pemberian 1 bagian trimetoprim menjadi 5 bagian
sulfa menyebabkan rasio obat dalam plasma 20 bagian sulfametoksazol
terhadap 1 bagian trimetoprim. Rasio ini optimal untuk efek antibiotika.
Kotrimoksazol biasanya diberikan per-oral. Pengecualian pemberian

intravena pada pasien pneumonia berat yang disebabkan Pneumocystis


carinii atau terhadap pasien yang tidak dapat menelan obat.
Nasib Obat : Kedua obat didistribusikan ke seluruh tubuh. Trimetoprin
relative terpusat dalam prostat suasana asam dan cairan vagina dan
memberikan hasil kombinasi trimetoprin-sulfametoksazol yang
memuaskan terhadap infeksi di daerah tersebut. Kedua obat ini dan
metabolit-metabolitnya diekskresikan dalam urine.
Efek samping
1. KLORAMFENIKOL
a. Reaksi Hematologik
Terdapat dua bentuk reaksi:
Reaksi toksik dengan manifestasi depresi sumsum tulang.
Berhubungan dengan dosis, progresif dan pulih bila
pengobatan dihentikan.
Prognosisnya sangat buruk karena anemia yang timbul bersifat
ireversibel. Timbulnya tidak tergantung dari besarnya dosis
atau lama pengobatan. Reaksi Alergi
b. Reaksi Alergi
Kemerahan pada kulit, angioudem, urtikaria dan anafilaksis. Kelainan
yang menyerupai reaksi Herxheimer dapat terjadi pada pengobatan
demam typhoid.
c. Reaksi Saluran Cerna
Mual, muntah, glositis, diare dan enterokolitis.
d. Syndrom Gray
Pada neonatus, terutama bayi prematur yang mendapat dosis tinggi (200
mg/kgBB).
e. Reaksi Neurologis
Depresi, bingung, delirium dan sakit kepala. Neuritis perifer atau
neuropati optikdapat juga timbul terutama setelah pengobatan lama.
2. AMOXICILLIN
Diare, gangguan tidur, rasa terbakar di dada, mual, gatal, muntah, gelisah,
nyeri perut, perdarahan dan reaksi alergi lainnya.
3. FLUOROKUINOLON
a. SALURAN CERNA: Paling sering timbul pada penggunan golongan
kuinolon dan bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, dan rasa tidak
enak di perut.
b. SUSUNAN SARAF PUSAT: Yang paling sering dijumpai ialah sakit
kepala dan pusing. Bentuk yang jarang timbul ialah halusinasi, kejang
dan delirium.
c. HEPATOTOKSISITAS: Efek samping ini jarang terjadi.
d. KARDIOTOTOKSISITAS: Beberpa fluorokuinolon
antara lain
sparfloksasin dan grepafloksasin (kedua obat ini sekarang tidak
dipasarkan lagi) dapat memperpanjang interval QTc (corrected QT
interval).

e. DISGLIKEMIA: Gatifloksasin dapat menimbulkan hiper-atau


hipoglikemia, khususnya pada pasien berusia lanjut. Obat ini tidak boleh
diberikan kepada pasien diabetes melitus.
f. FOTOTOKSISITAS: Klinafloksasin (tidak dipasarkan lagi) dan
sparfloksasin adalah fluorokuinolon yang relatif sering menimbulkan
fototoksisitas
4. SEFALOSPORIN GOLONGAN KETIGA
Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi, gejalanya
mirip dengan reaksi alergi yang ditimbulkan oleh penisilin. Reaksi mendadak
yaitu anafilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi
silang umumnya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan
pada alergi penisilin ringan atau sedang kemungkinannya kecil.
Diare dapat timbul terutama pada pemberian sefoperazon, mungkin karena
ekskresinya terutama melalui empedu, sehingga mengganggu flora normal
usus. Selain itu dapat terjadi perdarahan hebat karena hipoprotrombinemia,
dan/atau disfungsi trombosit, khususnya pada pemberian moksalaktam.
5. KORTRIMOKSAZOL

Kulit : Reaksi pada kulit paling sering dijumpai dan mungkin parah pada
orang tua.
Saluran cerna : Mual, muntah serta glositis dan stomatitis jaringan
terjadi.

Kontra indikasi
1. KLORAMFENIKOL
Penderita yang hipersensitif terhadap Kloramfenikol
Penderita dengan gangguan faal hati yang berat
Penderita dengan gangguan ginjal yang berat
2. AMOXICILLIN
Keadaan peka terhadap penicillin.
3. FLUOROKUINOLON
Golongan kuinolon hingga sekarang tidak diindikasikan untuk anak (sampai
18 tahun) dan wanita hamil karena data dari penelitian hewan menunjukkan
bahwa golongan ini dapat menimbulkan kerusakan sendi.
4. SEFALOSPORIN GOLONGAN KETIGA
Pada pasien dengan alergi penisilin berat, tidak dianjurkan penggunaan
sefalosporin atau jika sangat diperlukan harus diawasi dengan sungguhsungguh.
5. CEFTRIAXONE
Hipersensitif terhadap Cefalosporin

Hipersensitif terhadap penisilin/antibiotika -lactam

Anda mungkin juga menyukai