Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Walaupun telah banyak hasil yang diperoleh dibidang penanggulangan
diare, namun hingga kini diare masih merupakan penyebab kesakitan dan
kematian pada bayi dan anak-anak di negara yang sedang berkembang, termasuk
Indonesia. Episode diare di Indonesia setiap tahunnya masih berkisar sekitar 60
juta dengan jumlah kematiannya sebanyak 200.000-250. Selain menyebabkan
kesakitan dan kematian, diare akut dan kronik juga merupakan penyebab utama
malnutrisi dan penghuni rawat inap di rumah sakit. (3)
Kolera merupakan salah satu penyakit diare yang sudah diketahui beriburibu tahun yang lalu. Penyakit ini telah endemis di Asia selama berabad-abad
dengan pusat endemis di daerah delta sungai Gangga dan Brahmaputra. Namun
demikian pada tahun 1882, 1849 dan 18867 terjadi endemi di Amerika Utara
menjalar sampai dataran Eropa. Pada tahun 1961 dan 1966 pernah terjadi
pandemi yang hebat sekali di daerah Pasifik Barat sampai ke Asia Tengah
dengan pusat letusan di Sulawesi, Kalimantan Barat, Sarawak, Filiphina,
Hongkong, Taiwan, Korea, Vietnam, dataran Cina, Malaysia, Birma, Pakistan,
India, Afganistan, Iran dan Rusia bagian selatan. Sampai saat ini masih
ditemukan beberapa daerah di Indonesia yang mengalami letusan penyakit ini. (1)
Kolera ditandai dengan berak-berak disertai muntah yang akut,
ditimbulkan oleh suatu enterotoksin yang dihasilkan oleh vibrio cholerae dalam
usus halus. Bentuk manifestasi klinis yang khas adalah dehidrasi, berlanjut
dengan renjatan hipovolemik dan asidosis metabolik yang tercapai dalam waktu
yang amat singkat akibat diare sekretorik dan dapat berakhir dengan kematian
bila tidak ditanggulangi dengan adekuat. (7)
2. Tujuan
Mengetahui secara umum mengenai definisi, etiologi, patogenesis,
patofisiologis, gejala klinis, penegakan diagnosis, terapi dan prognosis dari
kolera.
1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Kolera adalah suatu penyakit usus akut yang ditimbulkan oleh suatu
enterotoksin yang dihasilkan oleh vibrio cholerae dalam usus halus. (4)
B. Etiologi
Kolera disebabkan oleh vibrio cholerae, kuman gram negatif yang
berukuran 0,2 0,4 m x 1,5 4,0 m, berbentuk koma, bergerak dengan
flagelum (single polar flagelum), tidak membentuk spora dan tumbuh secara
aerob pada pH 7,0 9,0. (1, 2, 4, 5, 7)
Ada dua macam vibrio yaitu vibrio cholerae yang menyebabkan cholerae
Asiatica dan vibrio pharacholerae yang menyebabkan cholerae El-Tor. Keduanya
hampir sama, hanya cholerae Asiatica berjalan lebih keras, karena vibrio
cholerae lebih virulen dan mortalitasnya sangat tinggi. (5)
Identifikasi vibrio cholerae biotipe El-Tor penting untuk tujuan-tujuan
epidemiologis. Sifat-sifat penting yang membedakannya dengan biotipe kolera
klasik ialah resistensi terhadap polimiksin B, resistensi terhadap kolerafaga tipe
IV (Mukerjee) dan menyebabkan hemolisis pada eritrosit kambing. (7)
Beberapa ahli dari Jepang, membagi kuman kolera sesuai dengan reaksi
aglutinasi dengan anti serum menjadi tipe Inaba, tipe Ogawa dan tipe Hikojima.
Abdurrachman (1944 dan 1945) membagi vibrio El-Tor menjadi 2 tipe yaitu tipe
egyptian (zam-zam) dan tipe Sulawesi. (1)
Untuk pengobatan, klasifikasi di atas tidak ada gunanya, karena
pengobatannya sama. (3)

C. Patogenesis
Tertelannya vibrio cholerae dan masuk ke usus halus.
Vibrio cholerae berkembang biak di usus halus.
Vibrio cholerae mengeluarkan enterotoksin yang akan mempengaruhi sel-sel
mukosa usus halus (menstimulasi enzim Adenilsiklase). Enzim Adenilsiklase
mengubah Adenosin Triphosat (ATP) menjadi siklik Adenosin Monophospat
(cAMP).
Dengan peningkatan cAMP akan terjadi peningkatan rangsang sekresi Na+,
Cl- dan H2O dari dalam sel ke lumen usus, serta menghambat absorbsi Na +,
Cl- dan H2O.
Adanya peningkatan sekresi Na+, Cl- dan H2O mengakibatkan peningkatan
tekanan osmotik di lumen usus (hiperosmolar).
Kemudian akan terjadi hiperperistaltik usus untuk mengeluarkan cairan yang
berlebihan di lumen usus tersebut. (1, 3, 4, 6)

V. Cholera
Masuk

bakteri
berkembang biak

enterotoksin
kolera

hiperosmolar
H2O
Na
Cl

diare hebat

sekresi cairan
isotonik

Adenilsiklase
ATP

35 cAMP
5 AMP

Mekanisme terjadinya diare pada kolera (3)

D. Patofisiologi
Dalam keadaan alamiah, vibrio cholerae hanya patogen untuk
manusia. (6)
Kolera ditularkan melalui mulut dengan media makanan atau minuman yang
terkontaminasi oleh vibrio cholerae. Bila bakteri ini lolos dari pertahanan primer
dalam mulut dan tertelan, bakteri ini akan cepat terbunuh oleh asam lambung
yang tidak diencerkan. Bila pertahanan inipun dilalui, maka bakteri akan
mencapai usus halus. Suasana alkalis di bagian usus ini sangat menguntungkan
bagi vibrio untuk hidup dan memperbanyak diri. (7)
Vibrio cholerae bukanlah infeksi yang infasif, bakteri ini tidak menembus
permukaan epitel, apalagi mencapai peredaran darah. Bakteri ini hanya
terlokalisasi di saluran pencernaan saja. (4, 6)
Selanjutnya, vibrio cholerae akan mengeluarkan enterotoksin yang akan
menstimulasi enzim Adenilsiklase sehingga terjadi perubahan ATP menjadi
cAMP. Adanya peningkatan cAMP akan merangsang sekresi Na+, Cl- dan H2O ke
lumen usus, sehingga tekanan osmotik dalam lumen usus akan meningkat.
Dengan demikian akan timbul hiperperistaltik dari usus untuk mengeluarkan
cairan yang berlebihan dalam lumen usus tersebut. (1, 3, 4, 6)
Selain

itu,

enterotoksin

kolera

juga

dapat

menyebabkan

terlepasnya

(deskwamasi) seluruh selaput lendir usus secara dangkal, sehingga diare yang
terjadi akan berwarna putih seperti air cucian beras (rice water stools). (5)
Pada orang dewasa dalam keadaan normal, usus halus mampu menyerap
cairan sebanyak 7 8 liter per hari, usus besar 1 2 liter per hari. Bahkan usus
besar dapat meningkatkan kemampuan penyerapan sampai 4,4 liter sehari, bila
terjadi sekresi berlebihan dari usus halus. Bila sekresi cairan dari usus halus
melebihi 4,4 liter, maka usus besar tidak mampu untuk menyerap seluruhnya,
selebihnya akan dikeluarkan bersama tinja sehingga terjadilah diare.
Diare juga dapat terjadi karena terbatasnya kemampuan penyerapan usus
besar dalam keadaan sakit, misalnya dalam keadaan kolitis atau terdapat
perubahan ekskresi cairan pada penyakit di usus besar misalkan karena virus,
disentri basiler, ulkus, tumor ulkus san sebagainya. (3)
4

Secara garis besar, diare dapat disebabkan oleh diare sekretorik, diare
osmotik, diare akibat peningkatan / penurunan motilitas usus dan diare akibat
defisiensi imun terutama SigA. (1, 3)
Kolera termasuk diare sekretorik, karena terjadi hipersekresi cairan dari
usus halus yang melebihi kapasitas penyerapan kolon.
Pada kolera, sekresi cairan dari usus halus ke usus besar dapat mencapai 10 liter
sehari. (3)
Akibat diare dengan/tanpa muntah yang disebabkan oleh kolera akan
terjadi :
1. Gangguan keseimbangan air (dehidrasi) dan elektrolit.
Gutman dan Pierce (19690 berpendapat bahwa dalam tinja penderita kolera
ditemukan lebih sedikit jumlah ion natrium dan lebih banyak ion kalium pada
penderita kolera anak dari pada orang dewasa. Walaupun demikian, kadar
natrium, kalium chlorida dan bicarbonat pada tinja penderita kolera anak,
lebih tinggi dibandingkan dengan tinja penderita diare yang disebabkan oleh
sebab yang lain.
Gambar tabel
Kolera dewasa
(Pierce)
Kolera anak
(Guttman)
(Pierce)
Diare infantil
Plasma (Nelson)

Na
130 10

K
12 3

Cl
110

HCO3
45

94
(76-108)
105
56
133-134

32
(22-48)
26
25
4,1-5,6

84
(68-97)
95
55
100-106

34
(27-40)
31
14
19-30

Akibat hilangnya cairan, maka berat badan akan menurun. Atas dasar
penurunan berat badan dan kehilangan cairan, dehidrasi dapat dibagi menjadi
ringan, sedang dan berat.
Tabel Penentuan Derajat Dehidrasi Menurut WHO (1980)
1.

Tanda dan Gejala


Keadaan
Umum dan
Kondisi
- Bayi dan
anak kecil

Dehidrasi Ringan

Dehidrasi Sedang

Haus, sadar, gelisah

Haus, gelisah atau


letargi tetapi iritabel

- Anak lebih
besar dan
dewasa

Haus, sadar, gelisah

Haus, sadar,
merasa, pusing
pada perubahan
posisi

2.

Nadi radialis
(1)

Normal (frekuensi
dan isi)

3.

Pernafasan

Normal

Cepat dan lemah

4.

Ubun-ubun
besar ( 2 )

Normal

5.

Elastisitas
kulit ( 3 )

6.
7.
8.

Mata
Air mata
Selaput lendir
(4)
Pengeluaran
urin ( 5 )

Pada pencubitan,
elastisitas kembali
segera
Normal
Ada
Lembab

Dalam, mungkin
cepat
Cekung
Lambat

9.

10.

Tekanan darah
sistolik ( 6 )
% Kehilangan berat
Prakiraan kehilangan
cairan

Dehidrasi Berat

Mengantuk, lemas,
ekstremitas dingin,
berkeringat,
sianotik, mungkin
koma
Biasanya sadar,
gelisah, extremitas
dingin, berkeringat
dan sianostik, kulit
jari-jari tangan dan
kaki berkeriput,
kejang otot
Cepat, halus,
kadang-kadang tak
teraba
Dalam dan cepat
Sangat cekung
Sangat lambat (<2
detik)

Cekung
Kering
Kering

Sangat cekung
Sangat kering
Sangat kering

Normal

Berkurang dan
warna tua

Normal

Normal-rendah

Tidak ada urin


untuk beberapa jam,
kandung kencing
kosong
> 80 mmHg,
mungkin tak terukur
10 % atau lebih
100-110 ml/kg

4-5 %
40-50 ml/kg

6-9 %
60-90 ml/kg

Gangguan lain ialah terjadinya asidosis metabolik dikarenakan banyaknya


bicarbonas yang hilang keluar bersama tinja.
6

Akibat asidosis metabolik, dapat terjadi :


a. Pernafasan yang cepat dan dalam (kusmaull) sebagai kompensasi.
b. Bertambahnya pemindahan ion hidrogen ke dalam sel dan keluarnya ion
kalium dari dalam sel ke cairan ekstrasel.
c. Cardiac reserve menurun sehingga dapat terjadi gagal jantung, bila
asidosis tidak segera diatasi.
Akibat kehilangan cairan dan elektrolit yang banyak dalam waktu yang
singkat, dapat timbul gangguan sirkkulasi darah berupa renjatan (syok
hipovelamik). Gagal ginjal akut juga dapat terjadi akibat nekrosis tubular akut
yang disebabkan gangguan sirkulasi darah ke ginjal yang terlalu lama.
2. Gangguan gizi (penurunan berat badan dalam waktu singkat)
Gangguan gizi terjadi karena kehilangan air dalam waktu yang sangat singkat
ditambah dengan terdapatnya kelaparan karena tidak ada masukan makanan
selama sakit.
3. Hipoglikemi (terutama pada anak yang sebelumnya menderita malnutrisi)
Hipoglikemi sering terjadi pada anak sebagai akibat habisnya persediaan
glocogen dalam tubuh. Kelainan ini akan menimbulkan gejala kejang, stupor
sampai koma. (1)
E. Gejala Klinis
Setelah masa inkubasi selama 48 72 jam, kolera yang khas, di mulai
dengan diare yang encer dan berlimpah, tanpa didahului rasa mulas dan tanpa
disertai tenesmus. Dalam waktu singkat, tinja yang berwarna dan berbau feses
berubah menjadi cairan putih dengan bau amis yang khas.
Cairan ini akan dilimpahkan berkali-kali dari anus pasien dalam jumlah yang
besar.
Muntah timbul kemudian setelah diare, berlangsung tanpa mual-mual. Kejang
otot dapat menyusul, baik dalam bentuk fibrilasi atau fasikulasi maupun kejang
klonik yang nyeri dan mengganggu. Otot yang sering terlibat adalah betis,
biseps, triseps pectoralis dan dinding perut. Kejang otot ini disebabkan oleh
kehilangan cairan dan elektrolit serta asidosis. Pasien dalam keadaan lunglai,
7

namun kesadarannya tetap baik, dibandingkan dengan berat penyakitnya. Pada


bayi dan anak-anak, pada sekitar 10 % penderita dapat dijumpai kejang-kejang
sentral dan stupor yang dikaitkan dengan keadaan hipoglikemi. Tanda-tanda
dehidrasi tampak jelas, perubahan suara menjadi serak seperti suara bebek
Manila (vox cholerica), kelopak mata cekung memberi kesan hidung yang
macung dan tipis, tulang pipi yang menonjol, mulut yang menyeringai karena
bibir kering, turgor kulit berkurang, perut cekung (skafoid), tanpa ada steifung
maupun kontour usus, suara peristaltik usus bila ada jarang sekali. Jari-jari
tangan dan kaki tampak kurus dan lipatan-lipatan kulit terutama ujung jari yang
keriput (washer women hand) diuresis berangsur-angsur kurang dan berakhir
dengan anuria. (1, 2, 4, 5, 7)
Berkurangnya volume cairan disertai dengan viscositas darah yang
meningkat, akhirnya menyebabkan kegagalan sirkulasi darah.
Adapun tanda-tanda yang dianggap khas dari gagal sirkulasi ialah :
-

Suhu badan yang rendah (34 - 24,5 C) walaupun sedang terjadi infeksi.

Nadi yang cepat dan kecil.

Tekanan darah yang menurun, sebagai tanda renjatan hipovolemik, yang


hanya dapat terukur dengan palpasi.

Warna kulit, bibir, selaput mukosa dan kuku berwarna ungu akibat sianosis
(sianosis bersifat perifer).

Terjadinya asidosis metabolik (akibat kehilangan bicarbonat dalam jumlah


yang besar dan metabolisme anaerob akibat gagal sirkulasi) menyebabkan
pernafasan yang cepat, mula-mula dangkal, namun akhirnya dalam dan
sering. (1, 2, 4, 5, 7)
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar hematokrit dan

berat jenis plasma yang meningkat, kadar bicarbonat dan pH darah arteri yang
menurun dan kadar natrium serta kalium plasma yang mungkin normal atau
menurun. (1)
F. Diagnosis
Diagnosis kolera ditegakkan berdasarkan :
8

1. Diagnosis klinik
a. Masa inkubasi 48 72 jam.
b. Tanpa ada panas dan nyeri kepala.
c. Sering disertai muntah.
d. Kram pada dinding perut.
e. Volume tinja banyak.
f. Frekuensi buang air besar sering.
g. Konsistensi tinja cair.
h. Tinja tidak disertai lendir/darah.
i. Bau tinja amis khas.
j. Warna tinja seperti air cucian beras. (3)
2. Diagnosis bakteriologis
a. Penanaman pada agar empedu atau agar GGT (gelatin-telurit-taurokolat)
selama 18 jam. Akan tampak koloni berwarna jernih berkilat yang
merupakan koloni vibrio. (1)
b. Pemeriksaan mikroskopik fluoresens

( 1 )

atau mikroskopik cahaya yang

biasanya memperlihatkan kurang dari 5 sel polimorfonuklear/lapang


pandang besar. (4)
c. Penentuan antibodi-antibodi vibriosidal, aglutinasi dan penetralisasi
toksin. Titer-titer puncak dari ke-3 antibodi tersebut akan terjadi 7-14 hari
setelah awitan penyakit. Titer antibodi vibriosidal dan aglutinasi akan
kembali ke kadar awal dalam waktu 8-12 minggu setelah awitan
penyakit; sedangkan titer antitoksin akan tetap tinggi hingga 12-18 bulan.
Kenaikan sebesar 4 kali atau lebih, selama masa penyakit akut atau
penurunan

titer

selama

masa

penyembuhan,

biasanya

bersifat

diagnostik. (4)
G. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan kolera adalah :
1. Memperbaiki dehidrasi dan gangguan elektrolit.
2. Memperbaiki asidosis dan renjatan.
9

Tabel Pengobatan Dehidrasi Berat


Umur
Berat

Jenis Cairan

0-2 tahun Ringer


(3-10 kg) DG ana

laktat

Oralit
Oralit
> 2 tahun
(10 kg)
dewasa

Ringer laktat

Anak
dewasa

Oralit
Oralit
Oralit

Cara Pemberian

Jumlah Cairan

Intravena

70 ml/kgbb

Bila masih dehidrasi


per os
40 ml/kgbb
Seterusnya rumat (maintenance)
per os
10 ml/kgbb
(ad libitum)
Intravena
110 ml/kgbb

Jadwal
Pemberian
Cairan
3 jam

3 jam
24 jam
4 jam (bila
syok
sebelumnya
guyur sampai
nadi teraba)

Bila masih dehidrasi


per os
200-300 ml
per os
500-700 ml
Seterusnya rumat (maintenance)
per os
10 ml/kgbb
(ad libitum)

Tiap jam
Tiap jam
24 jam

Catatan :
- Jumlah cairan tersebut hanyalah sebagai pedoman saja
- Rehidrasi harus dievaluasi kasus per kasus
- Jumlah cairan dapat ditambah atau dikurangi berdasarkan kebutuhan
- Edem kelopak menunjukkan tanda-tanda overhidrasi bukan hipernatremi
- Pemberian cairan rumat hanya diberikan setelah anak rehidrasi, jangan
sebelumnya.
3. Membunuh kuman dennga antibiotik
- Tetrasiklin peroral (50 mg / kg BB / hari, setiap 6 jam selama 3 hari)
- Doksisiklin, dosis tunggal (4 mg / kg BB)
- Furazolidon (5 mg / kg BB / hari, setiap 6 jam selama 3 hari)

10

- Eritromisin (30 mg / kg BB / hari, setiap 8 jam selama 3 hari)


- Kloramfenicol (75 mg / kg BB / hari, setiap 6 jam selama 3 hari)
- Trimetroprim sulfametoksazol (8 10 mg / kg BB / hari, setiap 6 jam
selama 5 hari). (3)
4. Pemberian makanan yang adekuat
Untuk dapat memberikan makanan yang tepat perlu diketahui umur, pola
makan bayi dan anak, keadaan gizi anak dan ada tidaknya sindrom
malabsorbsi serta alergi pada anak. Bahan makanan yang dapat diberikan
adalah ASI, susu formula yang cocok untuk anak, buah-buahan, biji-bijian,
kacang-kacangan serta sayuran. Makanan harus mengandung cukup kalori,
protein, mineral, vitamin dan tidak menimbulkan diare kembali. Makanan
yang mengandung cukup kalori dan banyak mengandung kalium diantaranya
jeruk, pisang dan air kelapa. Pisang mengandung kalori sebesar 99 kcal/100
gram yang dapat dimakan dan kalium 9,5 mmal/100 gr. Air kelapa
mengandung kalium sebesar 50 meq/l. Karena kolera merupakan diare yang
berat,

maka

kebutuhan

kalori

dan protein

bertambah

dikarenakan

meningkatnya metabolisme protein tubuh. Penambahan kalori dan protein


untuk mengejar laju pertumbuhan membutuhkan kenaikan kalori sebesar 30%
dan protein sebesar 100 % dari metabolisme basal. Sedangkan kebutuhan
lemak bertambah menjadi 40 % dari metabolisme basal. (3)
H. Prognosis
Sejak patofisiologi kolera diketahui dengan baik, terapi pemberian cairan
disesuaikan lebih baik dan ditemukannya obat yang sensitif terhadap vibrio
cholerae, angka kematian yang tinggi (20 70 %) yang dilaporkan pada
pengkajian-pengkajian sebelumnya, sudah tidak terjadi lagi. (3)

11

BAB III
KESIMPULAN
Kolera adalah suatu penyakit usus akut yang ditimbulkan oleh suatu enterotoksin
yang dihasilkan oleh vibrio cholerae dalam usus halus.
Kolera merupakan salah satu bentuk diare sekretorik dimana terjadi hipersekresi
cairan dari usus halus yang melebihi kapasitas penyerapan kolon.
Akibat diare dengan atau tanpa muntah yang disebabkan oleh kolera, akan
terjadi :
- Gangguan keseimbangan air (dehidrasi) dan elektrolit.
- Gangguan gizi (penurunan berat badan yang singkat).
- Hipoglikemia.
Diagnosa kolera ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan bakteriologis.
Prinsip penatalaksanaan kolera adalah :
1. Memperbaiki dehidrasi dan gangguan elektrolit
2. Memperbaiki asidosis dan renjatan
3. Membunuh kuman dengan antibiotik
4. Memberi makanan yang adekuat.

12

DAFTAR PUSTAKA

1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Gastroenterology. Bagian Ilmu


Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Jakarta :
BPFKUI 1985. p 302-6.
2. E. Jawetz, JL. Melnick, EA. Aldelberg. Jasad-jasad renik enterik gram negatif.
Dalam dr. Gerard Bonang. microbiologi untuk profesi kedokteran (Review of
Medical Microbiology). Ed 16 Jakarta : EGC. 1986. p 306-8.
3. Agus firmansyah, Suharyono. Penyakit Radang Usus (Infeksi) Dalam A.H.
Markum dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Jakarta : BPFKUI; 1991.
p. 448-72.
4. Michael H. merson. Kolera. Dalam Waldo E Nelson M.D dkk. Ilmu Kesehatan
Anak Bagian 2. Jakarta EGC; 1992. p 102-7.
5. Surya Widjaja. Infeksi Saluran Pencernaan. Dalam Staf Pengajar Bagian Patologi
Anatomi FKUI. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta : BPFKUI; 1992. p 210-11.
6. Herbert M. Sommers. M.D, Stanford T. Shulman, M.D. Diare Infeksiosa. Dalam
Shulman, Phais, Sommers. Dasar Biologis dan Klinis Penyakit Infeksi. Ed 4.
Yogyakarta : Gajah Mada University Press; 1994. p 307-11.
7. Soemarsono S. Kolera. Dalam Prof. Dr. H.M. Sjaifoellah Noer dkk. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Ed 3. Jakarta; BPFKUI; 1996. p 443-50.

13

Anda mungkin juga menyukai