Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan


jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun
terutama lazim dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 1530% pasien dengan
cedera pelvis berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang mungkin
secara langsung dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera pelvis. Perdarahan
merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur pelvis, dengan
keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi
rangkaian besar.1
Perdarahan sehubungan fraktur pelvis menuntut evaluasi yang efisien dan
intervensi yang cepat. Evaluasi dan perawatan pasien dengan fraktur pelvis
membutuhkan sebuah pendekatan multidisiplin. Meskipun ahli trauma bedah umum
pada akhirnya mengarahkan pengobatan seseorang dengan cedera multipel, penting
bagi pasien dengan fraktur pelvis agar ahli bedah ortopedi ikut terlibat dalam setiap
fase pengobatan, termasuk resusitasi primer. Penilaian dini oleh ahli bedah ortopedi
yang mengenal pola fraktur pelvis memudahkan tim pengobatan untuk membangun
diagnosa dan prioritas pengobatan, dan mempercepat pembentukan manuver
penyelamatan-hidup. Sebuah pemahaman seksama terhadap sumber perdarahan
potensial dan kesadaran akan pilihan pengobatan adalah penting bagi semua dokter
yang terlibat.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1

Definisi
Patah tulang panggul adalah gangguan struktur tulang dari pelvis. Pada orang

tua, penyebab paling umum adalah jatuh dari posisi berdiri. Namun, fraktur
yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas terbesar melibatkan pasukan
yang signifikan misalnya dari kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari
ketinggian. 2
II.2

Etiologi
Dengan makin meningkatnya kecelakaan lalu lintas mengakibatkan dislokasi

sendi panggul sering ditemukan. Dislokasi panggul merupakan suatu trauma hebat.
Patah tulang pelvis harus dicurigai apabila ada riwayat trauma yang menekan
tubuh bagian bawah atau apabila terdapat luka serut, memar, atau hematom di
daerah pinggang, sacrum, pubis atau perineum. 2
II.3

Epidemiologi
Dua pertiga dari fraktur panggul terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.

Sepuluh persen diantaranya di sertai trauma pada alat-alat dalam rongga panggul
seperti uretra,buli-buli,rektum serta pembuluh darah dengan angka mortalitas sekitar
10 %. 2

II.4

Anatomi Pelvis

Pelvis merupakan struktur mirip-cincin yang terbentuk dari tiga tulang:


sacrum dan dua tulang innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium, ischium
dan pubis. Tulang-tulang innominata menyatu dengan sacrum di bagian posterior
pada dua persendian sacroiliaca; di bagian anterior, tulang-tulang ini bersatu pada
simfisis pubis. Simfisis bertindak sebagai penopang sepanjang memikul beban berat
badan untuk mempertahankan struktur cincin pelvis.1
Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis stabil oleh
struktur ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah ligamentum-ligamentum
sacroiliaca posterior. Ligamentum-ligamentum ini terbuat dari serat oblik pendek
yang melintang dari tonjolan posterior sacrum sampai ke spina iliaca posterior
superior (SIPS) dan spina iliaca posterior inferior (SIPI) seperti halnya serat
longitudinal yang lebih panjang melintang dari sacrum lateral sampai ke spina iliaca
posterior superior (SIPS) dan bergabung dengan ligamentum sacrotuberale.
Ligamentum sacroiliaca anterior jauh kurang kuat dibandingkan dengan ligamentum
sacroiliaca posterior. Ligamentum sacrotuberale adalah sebuah jalinan kuat yang
melintang dari sacrum posterolateral dan aspek dorsal spina iliaca posterior sampai ke
tuber ischiadicum. Ligamentum ini, bersama dengan ligamentum sacroiliaca
posterior, memberikan stabilitas vertikal pada pelvis. Ligamentum sacrospinosum
melintang dari batas lateral sacrum dan coccygeus sampai ke ligamentum
sacrotuberale dan masuk ke spina ischiadica. Ligamentum iliolumbale melintang dari
processus transversus lumbalis keempat dan kelima sampai ke crista iliaca posterior;
ligamentum lumbosacrale melintang dari processus transversus lumbalis ke lima
sampai ke ala ossis sacri (gambar 1).1

Gambar 1. Pandangan posterior (A) dan anterior (B) dari ligamentum pelvis.

Arteri iliaca communis terbagi, menjadi arteri iliaca externa, yang terdapat
pada pelvis anterior diatas pinggiran pelvis. Arteri iliaca interna terletak diatas
pinggiran pelvis. Arteri tersebut mengalir ke anterior dan dalam dekat dengan sendi
sacroliliaca. Cabang posterior arteri iliaca interna termasuk arteri iliolumbalis, arteri
glutea superior dan arteri sacralis lateralis. Arteri glutea superior berjalan ke
sekeliling menuju bentuk panggul lebih besar, yang terletak secara langsung diatas
tulang. Cabang anterior arteri iliaca interna termasuk arteri obturatoria, arteri
umbilicalis, arteri vesicalis, arteri pudenda, arteri glutea inferior, arteri rectalis dan
arteri hemoroidalis. Arteri pudenda dan obturatoria secara anatomis berhubungan
dengan rami pubis dan dapat cedera dengan fraktur atau perlukaan pada struktur ini.
Arteri-arteri ini dan juga vena-vena yang menyertainya seluruhnya dapat cedera
selama adanya disrupsi pelvis (gambar 2). Pemahaman tentang anatomi pelvis akan
membantu ahli bedah ortopedi untuk mengenali pola fraktur mana yang lebih
mungkin menyebabkan kerusakan langsung terhadap pembuluh darah mayor dan
mengakibatkan perdarahan retroperitoneal signifikan. 1

Gambar 2. Aspek internal pelvis yang memperlihatkan pembuluh darah mayor


yang terletak pada dinding dalam pelvis

II.5

Mekanisme Trauma
Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas: 3

Kompresi Antero-Posterior (APC)


Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki kendaraan.
Ramus pubis mengalami fraktur , tulang inominata terbelah dan mengalami
rotasi eksterna disertai robekan simfisis . Keadaan ini disebut sebagai open
book injury. Bagian posterior ligamen sakro iliaka mengalami robekan parsial

atau dapat disertai fraktur bagian belakang ilium.


Kompresi Lateral (LC)
Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan . Hal
ini terjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh
dari ketinggian . Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua
sisinya mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakro

iliaka atau fraktur ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang

sama.
Trauma Vertikal (SV)
Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertikal disertai
fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakro iliaka pada sisi yang sama. Hal

II.6

ini terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai.
Trauma Kombinasi (CM)
Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan diatas.

Tipe Cidera/ Klasifikasi Fraktur


Cidera pelvis dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu : 3

II.6.1 Fraktur yang terisolasi dengan cincin pelvis yang utuh


a. Fraktur avulsi
Sepotong tulang tertarik oleh kontraksi otot yang hebat. Fraktur ini biasanya
ditemukan pada olahragawan dan atlet. Muskulus Sartorius dapat menarik spina iliaca
anterior superior, rektus femoris menarik spina iliaca anterior inferior , adductor
longus menarik sepotong pubis, dan urat-urat lurik menarik bagian-bagian iskium.
Nyeri hilang biasanya dalam beberapa bulan. Avulsi pada apofisis iskium oleh otototot lutut jarang mengakibatkan gejala menetap, dalam hal ini reduksi terbuka dan
fiksasi internal diindikasikan.
b. Fraktur langsung
Pukulan langsung pada pelvis, biasanya setelah jatuh dari tempat tinggi, dapat
menyebabkan fraktur iskium atau ala ossis ilii. Dalam hal ini memerlukan bed rest
total sampai nyeri mereda.
c. Fraktur-tekanan

Fraktur pada rami pubis cukup sering ditemukan dan sering dirasakan yidak
nyeri. Pada pasien osteoporosis dan osteomalasia yang berat. Yang lebih sulit
didiagnosis adalah fraktur-tekanan disekitar sendi sacroiliaca. Ini adalah penyebab
nyeri sacroiliaca yang tak lazim pada orangtua yang menderita osteoporosis.

II.6.2 Fraktur pada cincin pelvis


Telah lama diperdebatkan bahwa karena kakunya pelvis, patah di suatu tempat
cincin pasti diikuti pada tempat yang lainnya, kecuali fraktur akibat pukulan langsung
atau fraktur pada anak-anak yang simfisis dan sendi sacroiliaca masih elastic. Tetapi,
patahan kedua sering tidak ditemukan, baik karena fraktur tereduksi segera atau
karena sendi sacroiliaca hanya rusak sebagian. Dalam hal ini fraktur yang kelihatan
tidak mengalami pergeseran dan cincin bersifat stabil. Fraktur atau kerusakan sendi
yang jelas bergeser, dan semua fraktur cincin ganda yang jelas, bersifat tak stabil.
Perbedaan ini lebih bernilai praktis daripada klasifikasi kedalam fraktur cincin
tunggal dan ganda.
Tekanan anteroposterior, cidera ini biasanya disebabkan oleh tabrakan frontal
saat kecelakaan. Rami pubis mengalami fraktur atau tulang inominata retak terbelah
dan berotasi keluar disertai kerusakan simphisis. Fraktur ini biasa disebut open
book. Bagian posterior ligament sacroiliaca robek sebagian, atau mungkin terdapat
fraktur

pada

bagian

posterior

ilium.

Tekanan lateral, tekanan dari sisi ke sisi pelvis menyebabkan cincin melengkung dan
patah. Di bagian anterior rami pubis, pada satu atau kedua sisi mengalami fraktur dan
di bagian posterior terdapat strain sacroiliaca yang berat atau fraktur pada ilium, baik
pada sisi yang sama seperti fraktur rami pubis atau pada sisi yang sebaliknya pada
pelvis. Apabila terjadi pergeseran sendi sacroiliaca yang besar maka pelvis tidak
stabil.

Pemuntiran vertical, tulang inominata pada satu sisi bergeser secara vertical,
menyebabkan fraktur vertical, menyebabkan fraktur rami pubis dan merusak daerah
sacroiliaca pada sisi yang sama. Ini secara khas terjadi tumpuan dengan salah satu
kaki saat terjatuh dari ketinggian. Cidera ini biasanya berat dan tidak stabil dengan
robekan jaringan lunak dan perdarahan retroperitoneal.
Tile (1988) membagi fraktur pelvis ke dalam cidera yang stabil, cidera yang
secara rotasi tak stabil dan cidera yang secara rotasi dan vertikal tak stabil.

Tipe A/stabil; ini temasuk avulsi dan fraktur pada cincin pelvis dengan sedikit

atau tanpa pergeseran.


o A1 : fraktur panggul tidak mengenai cincin
o A2 : stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur
Tipe B yaitu secara rotasi tidak stabil tapi secara vertikal stabil. Daya rotasi
luar yang mengena pada satu sisi pelvis dapat merusak dan membuka simfisis
biasa disebut fraktur open book atau daya rotasi internal yaitu tekanan lateral
yang dapat menyebabkan fraktur pada rami iskiopubik pada salah satu atau

kedua sisi juga disertai cidera posterior tetapi tida ada pembukaan simfisis.
o B1 : open book
o B2 : kompresi lateral ipsilateral
o B3 : kompresi lateral kontralateral (bucket-handle)
Tipe C yaitu secara rotasi dan vertical tak stabil, terdapat kerusakan pada
ligament posterior yang keras dengan cidera pada salah satu atau kedua sisi
dan pergeseran vertical pada salah satu sisi pelvis, mungkin juga terdapat
fraktur acetabulum.
o C1 : unilateral
o C2 : bilateral
o C3 : disertai fraktur asetabulum

Klasifikasi fraktur menurut Cey dan Conwell :


a. Fraktur pada salah satu tulang tanpa adanya disrupsi cincin
Fraktur avulsi
o Spina iliaka anterior posterior
o Spina iliaka anterior inferior
8

o Tuberositas ischium
Fraktur pubis dan ischium
Fraktur sayap ilium
Fraktur sacrum
Fraktur dan dislokasi tulang koksigeus
b. Keretakan tunggal pada cincin panggul
Fraktur pada kedua ramus ipsilateral
Fraktur dekat atau subluksasi simpisis pubis
Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakroiliaka
c. Fraktur bilateral cincin panggul
Fraktur vertikal ganda dan atau dislokasi pubis
Fraktur ganda dan atau dislokasi
Fraktur multiple yang hebat
d. Fraktur asetabulum
Tanpa pergeseran
Dengan pergeseran
II.7

Gambaran Klinik
Fraktur panggul sering merupakan bagian dari salah satu trauma multipel

yangdapat

mengenai

organ-organ

lain

dalam

panggul

Keluhan

berupa

gejala pembengkakan ,deformitas serta perdarahan subkutan sekitar panggul .


Penderita datang dalam keadaan anemi dan syok karena perdarahan yang hebat.
Terdapat gangguan fungsi anggota gerak bawah.
Dislokasi dan fraktur dislokasi sendi panggul dibagi dalam 3 jenis : 3
1. Dislokasi posterior
Tanpa fraktur
Disertai fraktur rim posterior yang tunggal dan besar
Disertai fraktur komunitif asetabulum bagian posterior dengan atau

tanpakerusakan pada dasar asetabulum.


Disertai fraktur kaput femur
Mekanisme trauma dislokasi posterior disertai adanya fraktur adalah kaput

femur dipaksa keluar ke belakang asetabulum melalui suatu trauma yang dihantarkan
pada diafisis femur dimana sendi pinggul dalama posisi fleksi atau semi fleksi.
9

Trauma biasanya terjadi karena kecelakaan lalu lintas dimana lutut penumpang dalam
keadaan fleksi dan menabrak dengan keras yang berada dibagian depan lutut.
Kelainan ini juga dapat terjadi sewaktu mengendarai motor. 50% dislokasi disertai
fraktur pada pinggir asetabulum dengan fragmen kecil atau besar. Penderita biasanya
datang setelah suatu trauma yang hebat disertai nyeri dan deformitas pada daerah
sendi panggul. Sendi panggul teraba menonjol ke belakang dalam posisi adduksi,
fleksi dan rotasi interna .terdapat pemendekan anggota gerak bawah. Dengan
pemeriksaan rontgen akan diketahui jenis dislokasi dan apakahdislokasi disertai
fraktur atau tidak.3
2.

Dislokasi anterior
Obturator
Iliaka
Pubik
Disertai fraktur kaput femur

3.

Dislokasi sentral asetabulum


Hanya mengenai bagian dalam dinding asetabulum
Fraktur sebagian dari kubah asetabulum
Pergeseran menyeluruh ke panggul disertai fraktur asetabulum yang komunitif
Mekanisme trauma Fraktur dislokasi sentral adalah terjadi apabila kaput

femur terdorong ke dinding medial asetabulum pada rongga panggul. Disini kapsul
tetap utuh. Fraktur asetabulum terjadi karena dorongan yang kuat dari lateral atau
jatuh dariketinggian pada satu sisi atau suatu tekanan yang melalui femur dimana
keadaan abduksi. Didapatkan perdarahan dan pembengkakan di daerah tungkai
bagian proksimal tetapi posisi tetap normal. Nyeri tekan pada daerah trokanter.
Gerakan sendi panggul sangat terbatas. Dengan pemeriksaan radiologis didapatkan
adanya pergeseran dari kaput femur menembus panggul. 3

10

Pada cidera tipe A pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila
berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan local tetapi jarang terdapat kerusakan pada
viscera pelvis. Foto polos pelvis dapat mempelihatkan fraktur.
Pada cidera tipe B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tidak
dapat berdiri, tidak dapat kencing. Mungkin terdapat darah di meatus eksternus. Nyeri
tekan dapt bersifat local tapi sering meluas, dan usaha menggerakkan satu atau kedua
ossis ilii akan sangat nyeri. Salah satu kaki mungkin mengalamai anastetik sebagian
karena mengalami cidera saraf skiatika. Cidera ini sangat hebat sehingga membawa
resiko tinggi terjadinya kerusakan visceral, perdarahan di dalam perut dan
retroperitoneal, syok, sepsis dan ARDS. Angka kematian juga cukup tinggi.(Apley,
1995).3
Anamnesis :
a. Keadaan dan waktu trauma
b. Miksi terakhir
c. Waktu dan jumlah makan dan minum yang terakhir
d. Bila penderita wanita apakah sedang hamil atau menstruasi
e. Trauma lainnya seperti trauma pada kepala
Pemeriksaan Klinik :
a. Keadaan umum
Denyut nadi, tekanan darah dan respirasi
Lakukan survey kemungkinan trauma lainnya
b. Lokal
Pemeriksaan nyeri :
o Tekanan dari samping cincin panggul
o Tarikan pada cincin panggul
Inspeksi perineum untuk mengetahui asanya Perdarahan, pembengkakan

II.8

dan deformitas
Tentukan derajat ketidakstabilan cincin panggul dengan palpasi pada

ramus dan simfisis pubis


Pemeriksaan colok dubur

Diagnosis
11

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan nyeri subjektif dan objektif, dan


pergerakan abnormal pada gelang panggul. Untuk itu, pelvis ditekan ke belakang dan
ke medial secara hati-hati pada kedua spina iliaka anterior superior, ke medial pada
kedua trokanter mayor, ke belakang pada simpisis pubis, dan ke medial pada kedua
krista iliaka. Apabila pemeriksaan ini menyebabkan nyeri, patut dicurigai adanya
patah tulang panggul.4
Kemudian dicari adanya gangguan kencing seperti retensi urin atau
perdarahan melalui uretra, serta dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk melakukan
penilaian pada sakrum, atau tulang pubis dari dalam.
Sinar X dapat memperlihatkan fraktur pada rami pubis, fraktur ipsilateral atau
kontra lateral pada elemen posterior, pemisahan simfisis, kerusakan pada sendi
sacroiliaca atau kombinasi. CT-scan merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan
sifat cidera. 4
II.9

Sistem Klasifikasi dan Nilai Prognostik


Beberapa sistem klasifikasi telah dirumuskan untuk menjelaskan cedera pelvis

berdasarkan sifat dasar dan stabilitas disrupsi pelvis atau berdasarkan besar dan arah
tekanan yang diberikan ke pelvis. Masing-masing klasifikasi telah dikembangkan
untuk memberikan tuntunan pada ahli bedah umum dan ortopedi tentang tipe dan
kemungkinan masalah kesulitan manajemen yang mungkin dihadapi dengan masingmasing tipe fraktur. Sistem klasifikasi fraktur pelvis ini, salah satu yang dijelaskan
oleh Young dan Burgess, paling erat hubungannya dengan kebutuhan resusitasi dan
pola yang terkait dengan cedera. Sistem ini berdasarkan pada seri standar gambaran
pelvis dan gambaran dalam dan luar, sebagaimana dijelaskan oleh Pennal dkk.1
Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera
kompresi anterior-posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS), dan
mekanisme kombinasi (CM) (gambar 3). Kategori APC dan LC lebih lanjut
disubklasifikasi dari tipe I III berdasarkan pada meningkatnya perburukan cedera
12

yang dihasilkan oleh peningkatan tekanan besar. Cedera APC disebabkan oleh
tubrukan anterior terhadap pelvis, sering mendorong ke arah diastase simfisis pubis.
Ada cedera open book yang mengganggu ligamentum sacroiliaca anterior seperti
halnya ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale. Cedera
APC dipertimbangkan menjadi penanda radiografi yang baik untuk cabang-cabang
pembuluh darah iliaca interna, yang berada dalam penjajaran dekat dengan
persendian sacroiliaca anterior.1

Gambar 3. Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess. A, kompresi anteroposterior tipe I. B,


kompresi anteroposterior tipe II. C, kompresi anteroposterior tipe III. D, kompresi lateral tipe
I. E, kompresi lateral tipe II. F, kompresi lateral tipe III. G, shear vertikal. Tanda panah pada
masing-masing panel mengindikasikan arah tekanan yang menghasilkan pola fraktur.

Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis pada
sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum
sacrospinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya
tarik. Disrupsi pembuluh darah besar bernama (misal, arteri iliaca interna, arteri
glutea superior) relatif luar biasa dengan cedera LC; ketika hal ini terjadi, diduga
sebagai akibat dari laserasi fragmen fraktur.

13

Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan


hemipelvis mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola cedera
CM meliputi fraktur pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua
vektor tekanan terpisah.
Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess dan dugaan vektor tekanan juga telah
menunjukkan berkorelasi baik dengan pola cedera organ, persyaratan resusitasi, dan
mortalitas. Secara khusus, kenaikan pada mortalitas telah terbukti sebagaimana
meningkatnya angka APC. Pola cedera yang terlihat pada fraktur APC tipe III telah
berkorelasi dengan kebutuhan cairan 24-jam terbesar. Pada sebuah seri terhadap 210
pasien berurutan dengan fraktur pelvis, Burgess dkk menemukan bahwa kebutuhan
transfusi bagi pasien dengan cedera LC rata-rata 3,6 unit PRC, dibandingkan dengan
rata-rata 14,8 unit bagi pasien dengan cedera APC. Pada seri yang sama, pasien
dengan cedera VS rata-rata 9,2 unit, dan pasien dengan cedera CM memiliki
kebutuhan transfusi rata-rata sebesar 8,5 unit. Angka mortalitas keseluruhan pada seri
ini adalah 8,6%. Angka mortalitas lebih tinggi terlihat pada pola APC (20%) dan pola
CM (18%) dibandingkan pada pola LC (7%) dan pola VS (0%). Burgess dkk
mencatat hilangnya darah dari cedera pelvis yang dihasilkan dari kompresi lateral
jarang terjadi, dan penulis menghubungkan kematian pada pasien dengan cedera LC
pada penyebab lainnya. Penyebab kematian yang teridentifikasi paling umum pada
pasien di seri ini dengan fraktur LC adalah cedera kepala tertutup. Pada kontras,
penyebab kematian yang teridentifikasi pada pasien dengan cedera APC merupakan
kombinasi cedera pelvis dan viseral. Temuan ini mengindikasikan bahwa kemampuan
untuk mengenali pola fraktur pelvis dan arah tekanan cedera yang sesuai dapat
membantu tim resusitasi mengantisipasi kebutuhan transfusi cairan dan darah
sebagaimana halnya membantu untuk penilaian dan pengobatan awal langsung.
Pasien dengan instabilitas posterior lengkap dapat diantisipasi agar tidak menjadi
perdarahan yang berat. 1

14

II.10 Manajemen Penanganan Fraktur Pelvis


II.10.1 Identifikasi dan Pengelolaan Fraktur Pelvis 5
a. Identifikasi mekanisme trauma yang menyebabkan kemungkinan fraktur
pelvis misalnya terlempar dari sepeda motor, crush injury, pejalan kaki
ditabrak kendaraan, tabrakan sepeda motor.
b. Periksa daerah pelvis adanya ekhimosis, perianal atau hematoma scrotal,
darah di meatus uretra.
c. Periksa tungkai akan adanya perbedaan panjang atau asimetri rotasi panggul.
d. Lakukan pemeriksaan rectum, posis dan mobilitas kelenjar prostat, teraba
fraktur, atau adanya darah pada kotoran.
e. Lakukan pemeriksaan vagina, raba fraktur, ukuran dan konsistensi uterus ,
adanya darah. Perlu diingat bahwa penderita mungkin hamil.
f. Jika dijumpai kelainan pada B sampai E, jika mekanisme trauma menunjang
terjadinya fraktur pelvis, lakukan pemeriksaan ronsen pelvis AP (mekanisme
trauma dapat menjelaskan tipe fraktur).
g. Jika B sampai E normal, lakukan palpasi tulang pelvis untuk menemukan
tempat nyeri.
h. Tentukan stabilitas pelvis dengan hati-hati melakukan tekanan anteriorposterior dan lateral-medial pada SIAS. Pemeriksaan mobilitas aksial dengan
melakukan dorongan dan tarikan tungkai secara hati-hati, tentukan stabilitas
kranial-kaudal.
i. Perhatian pemasangan kateter urine, jika tidak ada kontraindikasi, atau
lakukan pemeriksan retrograde uretrogram jika terdapat kecurigaan trauma
uretra.
j. Penilaian foto ronsen pelvis, perhatian kasus pada fraktur yang sering disertai
kehilangan darah banyak, misalnya fraktur yang meningkatkan volume pelvis.
1. Cocokan identitas penderita pada film
2. Periksa foto secara sistemik ;
a. Lebar simpisis pubis-pemisahan lebih dari 1 cm menunjukkan ada
trauma pelvis posterior
b. Integritas ramus superior dan inferior pubis bilateral
c. Integritas asetabulum, kapsul dan kolum femur
15

d.
e.
f.
3. Ingat,

Simetri ileum dan lebarnya sendi sakroiliaka


Simetri foramen sacrum dengan evaluasi linea arkuata
Fraktur prosessus transversus L5
karena tulang pelvis berbentuk lingkaran jarang kerusakan hanya

pada satu tempat saja.


4. Ingat, fraktur yang meningkatkan volume pelvis, misalnya vertical shear
dan fraktur open-book, sering disertai Perdarahan banyak.
k. Teknik mengurangi Perdarahan
1. Cegah manipulasi berlebihan atau berulang-ulang
2. Tungkai bawah di rotasi ke dalam untuk menutup fraktur open-book.
Pasang bantalan pada tonjolan tulang dan ikat kedua tungkai yang
dilakukan rotasi. Tindakan ini akan mengurangi pergeseran simpisis,
mengurangi volume pelvis, bermanfaat untuk tindakan sementara
menunggu pengobatan definitif.
3. Pasang dan kembangkan PASG. Alat ini bermanfaat untuk
4.
5.
6.
7.

membawa/transport penderita.
Pasang external fixator pelvis (konsultasi orthopedi segera)
Pasang traksi skeletal (konsultasi orthopedi segera)
Embolisasi pembuluh darah pelvis melalui angiografi
Lakukan segera konsultasi bedah/ orthopedi untuk menentukan

prioritas
8. Letakkan bantal pasir di bawah bokong kiri-kanan jika tidak terdapat
trauma tulang belakang atau cara menutup pelvis yang lain tidak
tersedia.
9. Pasang pelvic binder
10. Mengatur untul transfer ke fasilitas terapi definitive jika tidak mampu
melakukannya.
II.10.2 Metode Penatalaksanaan1
a. Military Antishock Trousers
Military antishock trousers (MAST) atau celana anti syok militer dapat
memberikan kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan

16

ekstremitas bawah melalui tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan 1980an,
penggunaan MAST dianjurkan untuk menyebabkan tamponade pelvis dan
meningkatkan aliran balik vena untuk membantu resusitasi. Namun, penggunaan
MAST membatasi pemeriksaan abdomen dan mungkin menyebabkan sindroma
kompartemen ekstermitas bawah atau bertambah satu dari yang ada. Meskipun masih
berguna untuk stabilisasi pasien dengan fraktur pelvis, MAST secara luas telah
digantikan oleh penggunaan pengikat pelvis yang tersedia secara komersil.
b. Pengikat dan Sheet Pelvis

Kompresi melingkar mungkin siap dicapai pada keadaan pra rumah-sakit dan
pada awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama pengangkutan dan
resusitasi. Lembaran terlipat yang dibalutkan secara melingkar di sekeliling pelvis
efektif secara biaya, non-invasif, dan mudah untuk diterapkan. Pengikat pelvis
komersial beragam telah ditemukan. Tekanan sebesar 180 N tampaknya memberikan
efektivitas maksimal. Sebuah studi melaporkan pengikat pelvis mengurangi
kebutuhan transfusi, lamanya rawatan rumah sakit, dan mortalitas pada pasien dengan
cedera APC (gambar 4).

17

Gambar 4. Ilustrasi yang mendemonstrasikan aplikasi alat kompresi melingkar pelvis


(pengikat pelvis) yang tepat, dengan gesper tambahan (tanda panah) untuk mengontrol
tekanan

Rotasi eksterna ekstremitas inferior umumnya terlihat pada orang dengan


fraktur pelvis disposisi, dan gaya yang beraksi melalui sendi panggul mungkin
berkontribusi pada deformitas pelvis. Koreksi rotasi eksternal ekstremitas bawah
dapat dicapai dengan membalut lutut atau kaki bersama-sama, dan hal ini dapat
memperbaiki reduksi pelvis yang dapat dicapai dengan kompresi melingkar.
c. Fiksasi Eksternal
Fiksasi Eksternal Anterior Standar
Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis emergensi
pada resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan fraktur pelvis
tidak stabil. Efek menguntungkan fiksasi eksternal pada fraktur pelvis bisa muncul
dari beberapa faktor. Imobilisasi dapat membatasi pergeseran pelvis selama
pergerakan dan perpindahan pasien, menurunkan kemungkinan disrupsi bekuan
darah. Pada beberapa pola (misal, APC II), reduksi volume pelvis mungkin dicapai
dengan aplikasi fiksator eksternal. Studi eksperimental telah menunjukkan bahwa
reduksi cedera pelvis open book mengarah pada peningkatan tekanan
retroperitoneal, yang bisa membantu tamponade perdarahan vena. Penambahan
fraktur disposisi dapat meringankan jalur hemostasis untuk mengontrol perdarahan
dari permukaan tulang kasar.
C-Clamp
Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis posterior
yang adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang melibatkan
disrupsi posterior signifikan atau dalam kasus-kasus dimana ala ossis ilium
18

mengalami fraktur. C-clamp yang diaplikasikan secara posterior telah dikembangkan


untuk menutupi kekurangan ini. Clamp memberikan aplikasi gaya tekan posterior
tepat melewati persendian sacroiliaca. Kehati-hatian yag besar harus dilatih untuk
mencegah cedera iatrogenik selama aplikasi; prosedur umumnya harus dilakukan
dibawah tuntunan fluoroskopi. Penerapan C-clamp pada regio trochanter femur
menawarkan sebuah alternatif bagi fiksasi eksternal anterior standar untuk fiksasi
sementara cedera APC.1
d. Angiografi
Eksplorasi angiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan kehilangan
darah berkelanjutan yang tak dapat dijelaskan setelah stabilisasi fraktur pelvis dan
infus cairan agresif. Keseluruhan prevalensi pasien dengan fraktur pelvis yang
membutuhkan embolisasi dilaporkan <10%. Pada satu seri terbaru, angiografi
dilakukan pada 10% pasien yang didukung sebuah fraktur pelvis. Pasien yang lebih
tua dan yang memiliki Revised Trauma Score lebih tinggi paling sering mengalami
angiografi. Pada studi lain, 8% dari 162 pasien yang ditinjau ulang oleh penulis
membutuhkan angiografi. Embolisasi dibutuhkan pada 20% pola cedera APC, cedera
VS, dan fraktur pelvis kompleks, namun hanya 1,7% pada cedera LC. Eastridge dkk
melaporkan bahwa 27 dari 46 pasien dengan hipotensi persisten dan fraktur pelvis
yang sama sekali tak stabil, termasuk cedera APC II, APC III, LC II, LC III dan VS,
memiliki perdarahan arteri aktif (58,7%). Miller dkk menemukan bahwa 19 dari 28
pasien dengan instabilitas hemodinamik persisten diakibatkan oleh pada fraktur pelvis
menunjukkan perdarahan arteri (67,9%). Pada studi lain, ketika angiografi dilakukan,
hal tersebut sukses menghentikan perdarahan arteri pelvis pada 86-100% kasus. BenMenachem dkk menganjurkan embolisasi bersifat lebih-dulu, menekankan bahwa
jika sebuah arteri yang ditemukan pada angiografi transected, maka arteri tersebut
harus diembolisasi untuk mencegah resiko perdarahan tertunda yang dapat terjadi
bersama dengan lisis bekuan darah. Penulis lain menjelaskan embolisasi non-selektif
19

pada arteri iliaca interna bilateral untuk mengontrol lokasi perdarahan multipel dan
menyembunyikan cedera arteri yang disebabkan oleh vasospasme. 1
Angiografi dini dan embolisasi berikutnya telah diperlihatkan untuk
memperbaiki hasil akhir pasien. Agolini dkk menunjukkan bahwa embolisasi dalam 3
jam sejak kedatangan menghasilkan angka ketahanan hidup yang lebih besar secara
signifikan. Studi lain menemukan bahwa angiografi pelvis yang dilakukan dalam 90
menit izin masuk memperbaiki angka ketahanan hidup. Namun, penggunaan
angiografi secara agresif dapat menyebabkan komplikasi iskemik. Angiografi dan
embolisasi tidak efektif untuk mengontrol perdarahan dari cedera vena dan lokasi
pada tulang, dan perdarahan vena menghadirkan sumber perdarahan dalam jumlah
lebih besar pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Waktu yang digunakan pada
rangkaian angiografi pada pasien hipotensif tanpa cedera arteri mungkin tidak
mendukung ketahanan hidup.

e. Balutan Pelvis
Balutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk mencapai
hemostasis langsung dan untuk mengontrol perdarahan vena yang disebabkan fraktur
pelvis. Selama lebih dari satu dekade, ahli bedah trauma di Eropa telah menganjurkan
laparotomi eksplorasi yang diikuti dengan balutan pelvis. Teknik ini diyakini
terutama berguna pada pasien yang parah. Ertel dkk menunjukkan bahwa pasien
cedera multipel dengan fraktur pelvis dapat dengan aman ditangani menggunakan Cclamp dan balutan pelvis tanpa embolisasi arteri. Balutan lokal juga efektif dalam
mengontrol perdarahan arteri. 1
Akhir-akhir ini, metode modifikasi balutan pelvis balutan retroperitoneal
telah diperkenalkan di Amerika Utara. Teknik ini memfasilitasi kontrol perdarahan
20

retroperitoneal melalui sebuah insisi kecil (gambar 5). Rongga intraperitoneal tidak
dimasuki, meninggalkan peritoneum tetap utuh untuk membantu mengembangkan
efek tamponade. Prosedurnya cepat dan mudah untuk dilakukan, dengan kehilangan
darah minimal. Balutan retroperitoneal tepat untuk pasien dengan beragam berat
ketidakstabilan hemodinamik, dan hal ini dapat mengurangi angiografi yang kurang
penting. Cothren dkk melaporkan tidak adanya kematian sebagai akibat dari
kehilangan darah akut pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik persisten
ketika balutan langsung digunakan. Hanya 4 dari 24 yang bukan responden pada studi
ini membutuhkan embolisasi selanjutnya (16,7%), dan penulis menyimpulkan bahwa
balutan secara cepat mengontrol perdarahan dan mengurangi kebutuhan angiografi
emergensi.

Gambar 5. Ilustrasi yang mendemonstrasikan teknis pembalutan retroperitoneal. A, dibuat


sebuah insisi vertikal midline 8-cm. Kandung kemih ditarik ke satu sisi, dan tiga bagian spons
tak terlipat dibungkus kedalam pelvis (dibawah pinggir pelvis) dengan sebuah forceps. Yang
pertama diletakkan secara posterior, berbatasan dengan persendian sacroiliaca. Yang kedua
ditempatkan di anterior dari spons pertama pada titik yang sesuai dengan pertengahan
pinggiran pelvis. Spons ketiga ditempatkan pada ruang retropubis kedalam dan lateral
kandung kemih. Kandung kemih kemudian ditarik kesisi lainnya, dan proses tersebut
diulangi. B, Ilustrasi yang mendemonstrasikan lokasi umum enam bagian spons yang
mengikuti balutan pelvis.

II.10.3Resusitasi Cairan

21

Resusitasi cairan dianggap cukup penting sebagai usaha yang dilakukan untuk
menilai dan mengontrol lokasi perdarahan. Dua bor besar (16-gauge) kanula
intravena harus dibangun secara sentral atau di ekstremitas atas sepanjang penilaian
awal. Larutan kristaloid 2 L harus diberikan dalam 20 menit, atau lebih cepat pada
pasien yang berada dalam kondisi syok. Jika respon tekanan darah yang cukup dapat
diperoleh, infus kristaloid dapat dilanjutkan sampai darah tipe-khusus atau
keseluruhan cocok bisa tersedia. Darah tipe-khusus, yang di crossmatch untuk tipe
ABO dan Rh, biasanya dapat disediakan dalam 10 menit; namun, darah seperti itu
dapat berisi inkompatibilitas dengan antibodi minor lainnya. Darah yang secara
keseluruhan memiliki tipe dan crossmatch membawa resiko lebih sedikit bagi reaksi
transfusi, namun juga butuh waktu paling banyak untuk bisa didapatkan (rata-rata 60
menit). Ketika respon infus kristaloid hanya sementara ataupun tekanan darah gagal
merespon, 2 liter tambahan cairan kristaloid dapat diberikan, dan darah tipe-khusus
atau darah donor-universal non crossmatch (yaitu, kelompok O negatif) diberikan
dengan segera. Kurangnya respon mengindikasikan bahwa kemungkinan terjadi
kehilangan darah yang sedang berlangsung, dan angiografi dan/atau kontrol
perdarahan dengan pembedahan mungkin dibutuhkan. 1

Produk-produk Darah dan Rekombinan Faktor VIIa


Pasien hipotensif yang tidak merespon resusitasi cairan awal membutuhkan

sejumlah besar cairan sesudah itu, mengarah pada defisiensi jalur hemostasis.
Karenanya, semua pasien yang seperti itu harus diasumsikan membutuhkan trombosit
dan fresh frozen plasma (FFP). Umumnya, 2 atau 3 unit FFP dan 7-8 unit trombosit
dibutuhkan untuk setiap 5 L penggantian volume.
Transfusi darah masif memiliki resiko potensial imunosupresi, efek-efek
inflamasi, dan koagulopati dilusi. Sepertinya, volume optimal dan kebutuhan relatif
produk-produk darah untuk resusitasi masih kontoversial. Sebagai tambahan, jumlah
22

transfusi PRC merupakan faktor resiko independen untuk kegagalan multi-organ


paska cedera. Beberapa penulis telah mengusulkan bahwa pasien trauma koagulopati
terutama harus diresusitasi dengan penggunaan FFP yang lebih agresif, dengan
transfusi yang terdiri atas PRC, FFP dan trombosit dalam rasio 1:1:1 untuk mencegah
kemajuan koagulopati dini.
Rekombinan faktor VIIa (rFVIIa) mungkin dipertimbangkan sebagai intervensi
akhir jika koagulopati dan perdarahan yang mengancam-jiwa menetap disamping
pengobatan lainnya. Ini merupakan penggunaan rFVIIa off-label. Boffard dkk
melakukan sebuah studi multicenter dimana pasien trauma berat yang menerima 6
unit PRC dalam 4 jam setelah masuk diacak pada baik pengobatan rFVIIa atau
plasebo. Pada kelompok rFVIIa, jumlah transfusi sel darah secara signifikan
berkurang (kira-kira 2,6 unit sel darah merah; P = 0,02), dan terdapat kecenderungan
ke arah reduksi mortalitas dan komplikasi.
II.10.4 Evaluasi Status Resusitasi
Titik akhir resusitasi ditentukan berdasarkan kombinasi data laboratorium dan
tanda-tanda fisiologis. Pembacaan tingkat hemoglobin diketahui tidak akurat selama
fase akut resusitasi. Titik akhir resusitasi yang umumnya dipertimbangkan termasuk
tekanan darah normal, menurunnya denyut jantung, urin output yang cukup ( 30
mL/jam), dan tekanan vena sentral (CVP) normal. Namun, bahkan setelah
normalisasi parameter-parameter ini, oksigenasi jaringan yang tidak memadai bisa
menetap. Pengukuran laboratorium tambahan yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi oksigenasi jaringan termasuk defisit basa, bikarbonat dan laktat. Semua
ini menilai glikolisis anaerobik. Istilah defisit basa dan kelebihan basa digunakan
bergantian, satu-satunya perbedaan untuk menjadi defisit basa diperlihatkan sebagai
nomor positif dan kelebihan basa diperlihatkan sebagai nomor negatif. Defisit basa

23

normal adalah 0-3 mmol/L; angka ini secara rutin diukur melalui analisa gas darah
arteri (AGDA). Defisit basa menetap menandakan resusitasi yang tidak mencukupi. 1

II.10.5 Algoritma Pengobatan dan Angka Ketahanan hidup 1


Analisa retrospektif hasil akhir sebelum pembentukan algoritma pengobatan
secara dramatis mengilustrasikan kesulitan buatan bahwa protokol-protokol tersebut
dicari untuk dihindari. Pada satu seri, kematian 43 pasien, mewakili 60% kematian
pada seri ini, dihubungkan secara keseluruhan atau sebagai bagian dari fraktur pelvis.
Pada 26 pasien yang fraktur pelvis-nya dipertimbangkan sebagai penyebab kematian
utama, 24 pasien mengalami syok atau memiliki bukti klinis hipovolemia pada waktu
masuk, dan 18 pasien kehilangan darah akibat fraktur pelvis mereka segera setelah
masuk rumah sakit.
Penetapan algoritma pengobatan klinis yang baku untuk pasien dengan fraktur
pelvis secara hebat meningkatkan kemungkinan stabilisasi dan ketahanan hidup yang
cepat. Bosch dkk melaporkan bahwa pelaksanaan protokol standar pada pusat trauma
mengarah pada menurunnya mortalitas sehubungan dengan fraktur pelvis
berkekuatan-tinggi dari 66,7% menjadi 18,7%. Biffl dkk melaporkan bahwa jalur
klinis mereka, termasuk segera munculnya kehadiran ahli bedah ortopedi di
departemen gawat-darurat, pembalutan pelvis, dan penggunaan C-clamp agresif
berikutnya, mengarah pada menurunnya mortalitas secara signifikan, dari 31% mejadi
15% (P < 0,05). Balogh dkk menetapkan pedoman institusional evidence-based terdiri
atas ikatan pelvis dan pemeriksaan abdomen dalam 15 menit, angiografi pelvis dalam
90 menit, dan fiksasi ortopedi invasif minimal dalam 24 jam. Penggunaan pedoman
ini mengurangi volume transfusi PRC 24-jam dari 16 2 U menjadi 11 1 U (P <
0,05) dan mengurangi mortalitas dari 35% menjadi 7% (P < 0,05).

24

Beberapa algoritma terlalu kompleks yang kelihatannya tidak mungkin untuk


diikuti. Satu alasan kompleksitas ini adalah begitu banyaknya variasi sebagai
penyebab syok dan banyaknya sumber perdarahan pada pasien dengan fraktur pelvis.
Juga, pengobatan cenderung pada ketergantungan-kasus yang tinggi. Alasan lain
adalah kebanyakan algoritma pengobatan yang ditetapkan berdasarkan kapabilitas
institusi untuk dikembangkan. Meskipun prinsip mendasar protokol-protokol tersebut
berguna, mungkin juga penting untuk memodifikasi algoritma-algoritma tersebut agar
sesuai dengan sumber daya dan staf ahli pada masing-masing institusi.
Pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi yang dibawa ke institusi kami
dengan instabilitas hemodinamik pada awalnya diberikan 2 L larutan kristaloid
(gambar 6). Radiografi dada portable, bersama dengan gambaran radiografi pelvis
dan tulang belakang cervical lateral, diperiksa untuk menyingkirkan sumber
kehilangan darah yang berasal dari toraks. Saluran tekanan vena sentral dipasang, dan
defisit basa diukur. Pemeriksaan sonografi abdomen terfokus untuk trauma (focused
abdominal sonography for trauma/FAST) dilakukan. Jika hasilnya positif, pasien
dibawa langsung ke ruang operasi untuk laparotomi eksplorasi. Fiksator eksternal
pelvis dipasang, dan dilakukan balutan pelvis. Pasien yang secara hemodinamik tetap
tidak stabil menjalani angiografi pelvis sebelum dipindahkan ke ICU. Jika stabilitas
hemodinamik pulih, pasien dipindahkan langsung ke ICU. Di ICU, pasien menerima
resusitasi cairan lanjutan dan dihangatkan; berbagai usaha dilakukan untuk
menormalkan status koagulasi. Jika pasien membutuhkan transfusi berkelanjutan di
ICU, penilaian angiografi, jika sebelumnya tidak dilakukan, maka harus dilakukan.
rFVIIa harus dipertimbangkan jika kondisi pasien melawan semua intervensi lainnya.
Jika hasil FAST negatif, transfusi PRC dimulai di departemen gawat darurat.
Jika pasien secara hemodinamik tetap tidak stabil sambil mengikuti PRC unit kedua,
pasien dibawa ke ruang operasi untuk fiksasi eksternal pelvis dan balutan pelvis.
Pasien yang secara hemodinamik tetap tidak stabil mendapat angiografi pelvis
25

sebelum dipindahkan ke ICU. Jika stabilitas hemodinamik pulih, pasien dipindahkan


langsung ke ICU. CT-scan abdomen dapat dilakukan saat ini. Jika pasien
membutuhkan transfusi berkelanjutan ketika di ICU, penilaian angiografi, jika
sebelumnya belum dilakukan, maka harus dilakukan. 1

Gambar 6. Algoritma untuk pengobatan pasien dengan fraktur pelvis yang muncul dengan
instabilitas hemodinamik. Pasien yang belum dilakukan laparotomi biasanya melakukan CTscan abdomen yang dimulai di ICU. Di ICU, pasien menerima resusitasi cairan lebih lanjut
dan dihangatkan; berbagai usaha dilakukan untuk menormalkan status koagulasi. rFVIIa
harus dipertimbangkan jika kondisi pasien melawan semua intervensi lainnya.FAST =
focused abdominal sonography for trauma, PRBCs = packed red blood cells.

II.11

Komplikasi 2

a. Nyeri sacroiliaca sering ditemukan setelah fraktur pelvis tak stabil dan kadang
memerlukan artrodesis pada sendi sacroiliaca. Cidera saraf skiatika biasanya
26

sembuh tetapi kadang memerlukan eksplorasi. Cidera uretra berat bisa


menimbulkan striktur uretra, inkontinensia dan impotensi (Apley, 1995)
b. Ruptur uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis.
Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan
pada cincin pelvis dapat menyebabkan robekan uretra pars prostatemembranacea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada di
kavum pelvis menyebabkan hematom yang luas di kavum retzius sehingga
jika ligamentum pubo-prostatikum ikut robek, prostat beserta buli-buli akan
terangkat ke cranial. (Purnomo, 2007)
Ruptur uretra anterior , cidera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan
uretra anterior adalah straddle injury (cidera selangkangan) yaitu uretra
terjepit diantara tulang pelvis dan benda tumpul. Jenis kerusakan uretra yang
terjadi berupa kontusio dinding uretra, rupture parsial, atau rupture total
dinding uretra. Pada kontusio uretra pasien mengeluh adanya perdarahan peruretram atau hematuria. Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum,
terlihat adanya hematom pada penis atau butterfly hematom. Pada keadaan ini
seringkali pasien tidak dapat miksi. (Purnomo, 2007)
c. Fraktur Acetabulum
Terjadi apabila kaput femoris terdorong ke dalam pelvis. Fraktur ini
menggabungkan antara kerumitan fraktur pelvis dengan kerusakan sendi. Ada
4 tipe fraktur acetabulum yaitu fraktur kolumna anterior, fraktur kolumna
posterior, fraktur melintang, dan fraktur kompleks. Gambaran klinis agak
tersamarkan krena mungkin terdapat cidera lain yang lebih jelas/mengalihkan
perhatian dari cidera pelvis yang lebih mendesak. Pemeriksaan foto sinar-X
perlu dilakukan (Apley, 1995)
d. Cidera pada sacrum dan koksigis
Pukulan dari belakang atau jatuh pada tulang ekor dapat mematahkan sacrum
dan koksigis. Terjadi memar yang luas dan nyeri tekan muncul bila scrum atau
koksigis dipalpasi dari belakang atau melalui rectum. Sensasi dapat hilang
pada distribusi saraf sakralis. Sinar-X dapat memperlihatkan ; 1) fraktur yang
27

melintang pada sacrum dapat disertai fragmen bawah yang terdorong ke


depan, 2) fraktur koksigis kadang disertai fragmen bagian bawah yang
menyudut ke depan, 3) suatu penampilan normal kalau cidera hanya berupa
strain

pada

sendi

sacrokoksigeal.(Apley,

1995)

Kalau fraktur bergeser, sebaiknya docoba untuk melakukan reduksi. Fragmen


bagian bawah dapat terdesak ke belakang lewat rectum. Reduksi bersifat
stabil, suatu keadaan yang menguntungkan. Pasien dibiarkan untuk
melanjutkan aktifitas normal, tetapi dianjurkan untuk menggunakan suatu
cincin karet atau bantalan Sorbo bila duduk. Kadang disertai keluhan sulit
kencing.(Apley, 1995). Nyeri yang menetap, terutama saat duduk sering
ditemukan setelah cidera koksigis. Kalau nyeri tidak berkurang dengan
penggunaan bantalan Sorbo atau oleh injeksi anastetik lokal kedalam daerah
yang nyeri, dapat dipertimbangkan eksisi koksigis (Apley, 1995).

28

BAB III
KESIMPULAN

Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi dengan instabilitas hemodinamik ada


diantara cedera traumatik yang paling berat. Pengobatan dan penilaian terkoordinasi
yang efisien penting untuk memastikan kesempatan terbaik untuk bertahan hidup.
Evaluasi hemodinamik dan pengenalan pola fraktur merupakan langkah pertama
dalam manajemen. Pada kebanyakan pusat trauma, paradigma pengobatan terdiri atas
embolisasi angiografi bersama dengan stabilisasi pelvis mekanik dini. Balutan pelvis
emergensi juga bisa menjadi sebuah pengobatan yang efektif. Resusitasi agresif,
termasuk penggunaan FFP dan trombosit, harus dipertimbangkan, sebagaimana
harusnya penggunaan rFVIIa jika pasien yang mengalami perdarahan tidak
mengalami perubahan terhadap semua metode lain.
Manajemen yang sukses pada perdarahan fraktur pelvis paling baik dikerjakan
oleh sebuah pendekatan tim yang melibatkan profesional dari berbagai macam
spesialisasi. Ahli bedah ortopedi yang berpengalaman dapat menyediakan pengenalan
yang tepat terhadap pola fraktur, mencapai stabilisasi pelvis dengan segera, dan
membantu dengan pembuatan keputusan yang tepat untuk memaksimalkan ketahanan
hidup pasien.

29

DAFTAR PUSTAKA
1. Ningrum, Manajemen Perdarahan pada fraktur pelvis yang mengancam jiwa.
Diakses

dari:www.ejournal.unid.ac.id/manajemen%20%20perdarahan

%padafrakturpelvis%20mengancam%20jiwa%.html.
2. Fraktur

pelvis.

http://www.scribd.com/doc/52302577/24/Fraktur-tulang-

panggul
3. Sulistyanto

R. Fraktur

Pelvis.

2010. Diakses

dari

http://fraktur

%20pelvis/fraktur-pelvis.html
4. Jong Wim de. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit EGC. 2004: 874-6
5. Advanced Trauma Life Support. Seven edition. American college of surgeons.
2004; 252-253

30

Anda mungkin juga menyukai