Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Ilmiah Farmasi Vol. 10 No.

1 Tahun 2013

PENGARUH PRA-PERLAKUAN MADU TERHADAP FARMAKOKINETIKA


ELIMINASI RIFAMPISIN PADA TIKUS WISTAR JANTAN
1*

Dimas Adhi Pradana , Farida Hayati , Dian Sukma

Prodi Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam


Universitas Islam Indonesia

*email : adhi_pradana85@yahoo.com

ABSTRAK
the group II were given a single doses of
honey 7.65 mL/kg orally once daily for seven
th
days. On the day 8
the rats were given
concurrently with rifampicin dose of 50 mg/kg
orally. 0.2 mL of blood was taken through the
rats lateral tail vein at 0.25; 0.5, 1.0, 1.5, 2.0,
3.0; 4.0; 6.0; 8, 0; 10.0; 12.0, and 24.0 hours.
Determination of rifampicin levels in plasma
were analyzed by HPLC at a wavelength of
244.6 nm. Parameters obtained from the two
groups were statistically analyzed through
the normality test followed by unpaired t test
with a level of 95%. The results showed that
the pretreatment of honey does not have a
significant effect on the elimination phase of
rifampicin based on t1/2

Rifampisin merupakan salah satu


obat yang dipergunakan sebagai terapi lini
pertama dalam pengobatan tuberkulosis.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui
pengaruh pra-perlakuan pemberian madu
terhadap profil farmakokinetika fase eliminasi
rifampisin pada tikus Wistar Jantan. Dalam
penelitian ini hewan uji dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu kelompok kontrol dan
perlakuan. Setiap kelompok terdiri dari 5
ekor tikus.
Kelompok kontrol diberikan
rifampisin dosis tunggal 50 mg/kg tikus
sedangkan kelompok perlakuan diberikan
madu 7,65 ml/kg secara oral sekali sehari
selama 7 hari dan pada hari ke-8 diberikan
rifampisin dosis 50 mg/kg BB tikus secara
per oral. Sebanyak 0,2 ml sampel darah
diambil dari vena lateralis ekor pada 0.25;
0.5, 1.0, 1.5, 2.0, 3.0; 4.0; 6.0; 8, 0; 10.0;
12.0, dan 24.0 jam.
Penetapan kadar
rifampisin dalam plasma dilakukan dengan
metode HPLC pada panjang gelombang
244.6 nm. Parameter farmakokinetika fase
eliminasi yang ditetapkan adalah k, t , dan
ClT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian pra perlakuan madu tidak
mempengaruhi
farmakokinetika
fase
eliminasi dari rifampisin.

Keywords: honey, HPLC, pharmacokinetics,


rifampicin

PENDAHULUAN
Interaksi obat pada fase eliminasi
merupakan hal yang penting untuk diketahui
karena terkait dengan efektivitas proses
metabolism dan atau ekskresi obat. Profil
farmakokinetika eliminasi suatu obat dapat

Keywords : HPLC, madu, farmakokinetika,


ricampicin

berubah oleh adanya obat lain, obat herbal

ABSTRACT

tersebut dapat disebabkan karena terjadinya

bahkan

interaksi
Rifampicin is one of the first-line drug
for the therapy of Tuberculosis (TB), which is
still commonly used. The aim of the study is
to determine the effect of pretreatment with
honey on the pharmacokinetic profile of
orally administered rifampicin on male Wistar
rats. In this study, animals were divided into
two groups, each group consists of 5 rats.
The group I were given a single dose of
rifampicin 50 mg/kg orally as a control, while

makanan

dan

minuman.

farmakokinetika

merubah

profil

yang

absorbsi,

Hal

dapat

distribusi,

metabolisme dan eksresi dari suatu obat


(Baxter, 2008). Rifampisin merupakan obat
lini

pertama

pengobatan

TB

yang
(Debra

berguna
et

al,

dalam
1999).

Rifampisin merupakan obat yang bersifat

18

19 | Dimas Adhi Pradana

autoinducer, hal ini dikarenakan rifampisin

10,92 ml/kg BB yang diberikan bersamaan

merupakan substrat CYP 3A4 sekaligus

dengan parasetamol pada mencit betina

sebagai induktor kuat CYP 3A4 (Goodman &

galur Swiss dapat menyebabkan kenaikan

Gilmans, 2000).

efek analgetika parasetamol (Trisnawati,

Madu merupakan minuman yang

2005).

Pemberian

madu

juga

dapat

memiliki nilai gizi tinggi dan berkhasiat untuk

mempengaruhi profil farmakokinetika teofilin

mengobati berbagai penyakit. Setiap orang

berupa penurunan nilai Ka dan Cp maks, serta

dapat mengonsumsi madu, baik anak-anak,

peningkatan nilai Tmaks, Vd, dan ClT secara

dewasa, maupun orang tua (Suranto, 2004).

bermakna (Paramitasari, 2012).

Madu memiliki pengaruh besar sebagai

Beberapa

uraian

yang

telah

nutraceutical. Madu juga memiliki aktivitas

dikemukakan

sebagai

penelitian tentang interaksi antara madu

antimikroba,

antiparasit,

antivirus,

antimutagenik,

dan

antitumor,

dengan

diatas

melatarbelakangi

rifampisin

yang

berperan sebagai antioksidan, dan juga

mempengaruhi

profil

memiliki efek antiinflamasi (Bogdanov et al,

rifampisin khususnya fase eliminasi.

dapat

farmakokinetika

2008). Selain itu, madu juga diyakini dapat


meningkatan

daya

tahan

tubuh

pasien

METODE PENELITIAN

tuberkulosis (Suranto, 2007). Kandungan


flavonoid pinocembrin, pinobanksin, chrysin,

Alat alat yang digunakan alat-alat

galangin, quercetin and luteolin pada madu

gelas seperti kaca arloji, gelas beker, gelas

diketahui dapat menginduksi aktivitas enzim

ukur, labu ukur, erlenmeyer, dan batang

sitokrom P450, terutama enzim CYP3A4,

pengaduk, timbangan elektrik, stopwatch,

sehingga

dimungkinkan

dapat

spatula, pipet volume, pipet ukur, mikropipet,

metabolisme

rifampisin

spuit injeksi 1-5 mL, flacon, jarum oral,

mempengaruhi

(Tushar et al, 2006)

madu

ependorf, sentrifuge Hanil MF 80, vortex type

Penggunaan Rifampisin bersama

16700

memungkinkan

spekrofotometer Shimadzu UV-Vis 1800,

sehingga

dapat

adanya

interaksi

dan

seperangkat

alat

profil

HPLC Water e2695, detektor UV 2487 pada

antituberkulosis

244,6 nm, kolom Sunfire C18 (5 m) 4,6 x 150

terutama pada fase eliminasi. Penelitian

mm, injektor SM7, perangkat lunak Empower

sebelumnya

(versi 2.0, Waters Corporation).

farmakokinetika

mempengaruhi

mixer

obat

menunjukkan

bahwa

madu

dapat mempengaruhi profil farmakokinetika


dan

efektifitas

penelitian ini meliputi rifampisin serbuk murni

penelitian mengenai pengaruh praperlakuan

yang diperoleh dari PT Sanbe Farma, madu

madu

kelengkeng

profil

obat.

Bahan-bahan yang digunakan dalam

Sebuah

terhadap

beberapa

farmakokinetika

Seribu

Bunga,

kalium

sulfametazin pada tikus jantan menunjukkan

dihidrogen fosfat (kualitas analisis, Merck),

bahwa madu dapat meningkatkan nilai Tmaks,

asetonitril (kualitas ultra gradient solvent

Vd, t1/2, ClT, dan menurunkan harga ka,

untuk HPLC, J.T. Baker), metanol (kualitas

Cmaks, AUC, dan k sulfametazin (Maulidah,

solvent

2005). Penelitian lain mengenai pemberian

askorbat (kualitas analisis, Merck), heparin

untuk

madu dosis 46 ml/kg BB; 8,19 ml/kg BB; dan

Jurnal Ilmiah Farmasi Vol. 10 No. 1 Tahun 2013

HPLC,

J.T.Baker),

asam

20 | Dimas Adhi Pradana

sodium (Inviclot ), asam ortofosfat (Merck)

Rifampisin murni dilarutkan dalam metanol

dan akuabidestilata.

hingga konsentrasi 5 g/ml. Hasil larutan

Hewan uji dalam penelitian ini

dimasukkan dalam vial injektor, diambil

adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan

secara autoinjeksi dalam jumlah 20 L ke

galur Wistar yang diperoleh dari LPPT

dalam HPLC dengan menggunakan kolom

(Laboratorium

Pengujian

C18, fase gerak 0,05 M buffer fosfat :

Terpadu) UGM, berat badan tikus 180-250 g

asetonitril (55:45 v/v) dengan laju alir 1,2

dan berumur 2-3 bulan.

ml/menit dan panjang gelombang maksimum

Penelitian

Pada

metode

dan

penetapan

kadar

yang

sudah

didapatkan

sebelumnya,

rifampisin dalam darah dilakukan proses

kemudian ditetapkan waktu retensi dan

sentrifuge dilakukan selama 5 menit dengan

selektivitas rifampisin.

kecepatan

3. Penetapan

10.000

rpm.

Analisis

kadar

rifampisin dalam darah dilakukan dengan

persamaan

kurva

baku

rifampisin dalam darah

menggunakan HPLC metode fase terbalik

Dalam pembuatan kurva baku dilakukan

(fase gerak bersifat polar dan fase diam

pembuatan larutan stok rifampisin dengan

bersifat non polar), menggunakan kolom

cara melarutkan 10 mg rifampisin dalam 10

ODS C18. Sebanyak 200 l plasma dipipet

ml metanol dan ditambahkan dengan 0,5

ke flacon kemudian tambahkan 400 l

mg/ml asam askorbat. Diambil sejumlah

asetonitril, vortex selama 1 menit dan

rifampisin

disentrifuse
kecepatan

selama
4.000

dari

30

menit

dengan

ditambahkan

rpm.

Darah

diambil

dikurangi

larutan

0,2
volume

ml

stok

kemudian

plasma

larutan

setelah

stock

yang

beningannya dan dimasukkan kedalam vial

ditambahkan untuk membuat konsentrasi

injektor lalu diinjeksikan ke HPLC sebanyak

0,5; 1; 2; 5, dan 10 g/ml dalam 200 l

20 l secara auto injeksi. Fase gerak yang

darah.

digunakan adalah 0,05 M buffer fosfat (pH

dilakukan dalam range konsentrasi 0,5-10

2,6) : asetonitril (55:45 v/v) dengan laju alir

(0,5; 1; 2; 5, dan 10) g/ml dan tambahkan

1,2 ml/menit pada panjang gelombang 244,6

400 L asetonitril. Vortex selama 1 menit

nm (Kumar et al, 2004).

dan disentrifuse selama 30 menit dengan

Pengerjaan

standar

rifampisin

kecepatan 4.000 rpm. Diambil beningannya


Uji pendahuluan

dan diinjeksikan ke HPLC sebanyak 20 l

a. Optimasi metode analisis

secara auto injeksi. Regresi linear ditentukan

1. Penetapan

panjang

gelombang

maksimum

dengan analisis tinggi puncak terhadap


kurva

konsentrasi.

Linearitas

ditentukan

Rifampisin dilarutkan dalam fase gerak 0,05

dengan koefisien korelasi (r) (Kumar et al,

M buffer fosfat : asetonitril (55:45 v/v)

2004).

dengan kadar 20 g/ml kemudian di baca

4. Penetapan stabilitas rifampisin dalam

pada

spektrofotometer

UV-Vis

dengan

pelarut

panjang gelombang pada range 200-400

Diambil 200 L darah dari hewan uji yang

nm.

telah diberikan rifampisin secara oral dosis

2. Penetapan waktu retensi dan selektivitas

50 mg/Kg BB dan ditambahkan 400 L

rifampisin

asetonitril, kemudian divortex selama 1

Jurnal Ilmiah Farmasi Vol. 10 No. 1 Tahun 2013

21 | Dimas Adhi Pradana

menit dan disentrifuse selama 30 menit


dengan

diambil

Dosis rifampisin yang digunakan sesuai

beningannya. Larutan bening di simpan

dengan dosis pada penelitian sebelumnya

pada

kecepatan

suhu

4.000

Kadar

yaitu 50 mg/kgBB tikus (setara dengan 560

rifampisin ditetapkan dengan HPLC pada

mg/70 kg BB manusia) (Wahyono dkk,

jam ke-0 dan 24. Hasil yang diperoleh

2007),

dinyatakan

dipergunakan sebesar 7,65 mL/kgBB tikus

rifampisin

2-8 C

rpm,

b. Penetapan dosis

selama

sebagai
selama

24.

persen

degradasi

penyimpanan

dalam

sedangkan

dosis

madu

yang

(Trisnawati, 2005).

pelarut metanol dengan penambahan asam


askorbat (Anonim, 2009).
5.

Penentuan

c. Penetapan waktu sampling

kriteria

kecermatan

(accurate)
Kadar

Waktu sampling yang digunakan pada


penelitian ini berdasarkan waktu sampling

dibuat

penelitian sebelumnya yakni pada jam ke

dengan dengan cara melarutkan sejumlah

rifampisin

dalam

darah

0,25; 0,5; 1; 1,5; 2; 3; 4; 6; 8; 10; 12; dan 24

tertentu rifampisin dalam 10 ml metanol dan

(Wahyono & Hakim, 2005)

ditambahkan dengan 0,5 mg/ml asam


askorbat. Dibuat konsentrasi 5, 10 dan 15

HASIL DAN PEMBAHASAN

l/ml dengan replikasi 3 kali. Divortex


Penelitian

selama 1 menit dan disentrifuse selama 30

ini

sudah

memenuhi

menit dengan kecepatan 4.000 rpm lalu

syarat secara etik dan mendapatkan surat

diambil beningannya dan diinjeksikan ke

kelayakan etik (ethical clearance) nomor

HPLC sebanyak 20 l secara auto injeksi

103/KEC-LPPT/V/2013

(Anonim, 2009).

Penelitian

6. Penentuan kriteria ketepatan (precise)

Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT)

Nilai kesalahan acak mencerminkan presisi

Universitas Gadjah Mada

yang

1. Penetapan

diperoleh

dalam

suatu

metode.

Rentang penerimaan yang diperbolehkan

Hewan

dari
Coba

Komite

Etik

Laboratorium

panjang

gelombang

maksimum rifampisin

untuk metode HPLC adalah kurang dari

Penetapan panjang gelombang maksimum

15% (Anonim, 2009)

(maks)

7. Penetapan

batas

deteksi

dan

kuantifikasi kadar rifampisin

rifampisin

menggunakan

dibaca

spektrofotometer

dengan
UV-Vis.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa

Penetapan batas deteksi dan kuantifikasi

panjang gelombang maksimum rifampisin

dihitung melalui persamaan regresi linier

terdapat pada panjang gelombang 244,6 nm

yang sudah didapat pada penetapan kurva


baku.

Jurnal Ilmiah Farmasi Vol. 10 No. 1 Tahun 2013

22 | Dimas Adhi Pradana

Gambar 1. Kromatogram spektrofotometri UV-Vis panjang gelombang Rifampisin

2.

Penetapan waktu retensi

Gambar 2. Kromatogram rifampisin dalam darah (in vivo) sampel jam ke 8 pada tikus
kontrol 1 dengan fase gerak 0,05 M buffer fosfat : asetonitril (55:45 v/v)
Penetapan

persamaan

rifampisin

5,215

dengan membuat beberapa seri kadar

sedangkan

senyawa

diukur

dilakukan

endogen darah terdekat memiliki waktu

yang

retensi 3,451.

dibawah

3.

dengan menggunakan HPLC.

Penetapan persamaan kurva baku

kemudian

darah

baku

Berdasarkan hasil penelitian, retensi


menit,

dalam

kurva

puncak

rifampisin dalam darah


Tabel 1. Pembacaan luas area dibawah puncak kromatogram
pada beberapa seri kadar rifampisin dalam darah

No
1
2
3
4
5

Seri Kadar
(g/mL)
0,5
1
2
5
10

Luas Area
9959
19153
47880
91928
197905

Jurnal Ilmiah Farmasi Vol. 10 No. 1 Tahun 2013

luas

area

kromatogramnya

23 | Dimas Adhi Pradana

Persamaan kurva baku yang diperoleh

5.

adalah y = 19438,99676x+1440,71197;

Tabel 1 menunjukkan nilai dari perolehan

x adalah kadar rifampisin dalam darah

kembali, kesalahan sistematik, kesalahan

dan y adalah luas area dibawah puncak

acak, dan HORRAT dari metode penetapan

kromatogram

kadar rifampisin dalam darah pada penelitian

rifampisin

hasil

dari

pengukuran dengan HPLC. Nilai r yang

Penetapan kriteria akurasi dan presisi

ini.

diperoleh adalah 0,9953. Nilai r pada

Berdasarkan data yang tersaji pada

hasil regresi linier menunjukkan linieritas

tabel 2, diperoleh informasi bahwa nilai rata-

yang

rata perolehan kembali dan kesalahan acak

baik

karena

mendekati

satu

(Watson, 2000).

dari

4. Penetapan kriteria sensitivitas

masing-masing

seri

kadar

masih

memenuhi rentang yang diperbolehkan, yaitu

Kriteria yang digunakan untuk menilai

untuk perolehan kembali sebesar 100

sensitivitas metode pada penelitian ini

20%, sedangkan untuk kesalahan acak

adalah

LLOQ.

sebesar kurang dari 15% untuk metode yang

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh

menggunakan HPLC (Anonim, 2009). Nilai

nilai LOD sebesar 0,938 g/mL, nilai

HORRAT yang bernilai 0,01, 0,005, 0,89

LOQ sebesar 3,128 g/mL, dan nilai

menunjukkan

LLOQ sebesar 1,564 g/mL.

digunakan memiliki presisi yang baik, yaitu

LOD,

LOQ,

dan

bahwa

metode

yang

kurangdari2.
Tabel 2. Nilai perolehan kembali, kesalahan sistematik, kesalahan acak, dan HORRAT pada
penetapan kadar rifampisin dalam darah

Diketahui
(g/mL)
5

Kadar rifampisin
Luas
Terukur
Area
(g/mL)
79707
81130
80919

RatarataSD
10

201400
200133
200069

RatarataSD
15
RatarataSD

259390
262664
242551

Recovery
(%)

Kesalahan
Sistematik
(%)

4,03
4,10
4,09

80,53
81,99
81,77

19,48
18,01
18,23

4,070,04

81,430,79

18,570,79

10,29
10,22
10,22

102,87
102,21
102,18

-2,87
-2,21
-2,18

10,240,04

102,420,39

-2,420,39

13,27
13,44
13,04

88,47
89,59
82,69

11,54
10,41
17,31

13,040,56

86,913,70

13,093,70

Jurnal Ilmiah Farmasi Vol. 10 No. 1 Tahun 2013

Kesalahan
Acak (%)

HORRAT

0,07

0,01

0,03

0,003

4,73

0,44

24 | Dimas Adhi Pradana

Tabel 3. Persentase degradasi rifampisin dalam asetonitril (in vivo) pada pemberian rifampisin 50
mg/kg BB tikus setelah dilakukan penyimpanan dalam lemari pendingin
Jam ke-

Kadar rifampisin dalam darah (g/mL)

Degradasi (%)

Luas area
68872

3,468867

24

66997

3,372411

2,88

Berdasarkan nilai parameter kesalahan acak

term. Setelah penyimpanan 24 jam, kadar

dan recovery, dapat disimpulkan bahwa

rifampisin berkurang,

metode analisis yang digunakan dalam

degradasi yang terjadi tidak lebih dari 10%

penelitian ini memenuhi kriteria presisi dan

sehingga kadar teofilin yang dianalisis masih

akurasi.

stabil

6. Penetapan stabilitas rifampisin dalam

Data

rifampisin

untuk

selama

menilai

proses

stabilitas

penyimpanan

adalah persentase degradasi. Uji stabilitas

penelitian

rifampisin

yang

farmakokinetika

diberikan

peroral

pada

kelompok kontrol dan perlakuan masingmasing disajikan pada tabel 4.

rifampisin ini dilakukan selama 24 jam (shortterm temperature stability).

persentase

7. Hasil Uji Farmakokinetika

asetonitril
Parameter

namun

Parameter farmakokinetika diperlukan


untuk

menginterpretasi

perubahan-

Stabilitas obat dalam spesimen biologis

perubahan disposisi obat di dalam tubuh

dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,

seperti yang terwujud dalam perubahan nilai

diantaranya adalah sifat kimia obat, matriks,

parameter. Parameter farmakokinetika terdiri

suhu, wadah dan kondisi penyimpanan.

dari

Tujuan dari penetapan stabilitas rifampisin

turunan. Parameter primer terdiri dari ka, Vd,

dalam asetonitril adalah untuk mengetahui

dan ClT, yang dipengaruhi oleh perubahan

kestabilan

terkandung

salah satu atau lebih variabel fisiologis.

didalam spesimen biologis selama beberapa

Parameter sekunder meliputi k, t1/2, dan tmaks

waktu jika disimpan dalam lemari pendingin

dimana

atau

rifampisin

freezer

yang

dengan

suhu

5-10 C

parameter

primer,

sekunder,

parameter-parameter

dipengaruhi

oleh

perubahan

dan

tersebut
parameter

dikarenakan penginjeksian sampel ke HPLC

primer yang dikarenakan adanya perubahan

tidak memungkinkan untuk dibaca secara

suatu

langsung dan selesai dalam satu hari.

parameter turunan nilainya tidak hanya

Penetapan

stabilitas

bergantung pada parameter primer tapi juga

spesimen

biologis

rifampisin
dihitung

dalam
sebagai

variabel

dipengaruhi

oleh

fisiologis,

dosis

dan

sedangkan

kecepatan

persentase degradasi terhadap kadar awal.

pemberian obat, contohnya adalah AUC0-~,

Pemilihan waktu penetapan stabilitas 24 jam

AUMC, Cpmaks, dan MRT.

dikarenakan penginjeksian sampel ke HPLC


setelah dipreparasi adalah maksimal 24 jam.
Jenis stabilitas yang digunakan adalah short

Jurnal Ilmiah Farmasi Vol. 10 No. 1 Tahun 2013

25 | Dimas Adhi Pradana

Tabel 4. Data kadar rifampisin dalam darah (g/mL) pada kelompok kontrol dan perlakuan (n=5)
Kadar (g/mL)
Waktu sampling
(jam ke-)

Kelompok Kontrol
(Rata-rataSE)

Kelompok Perlakuan
(Rata-rataSE)

0,25

0,490,23

0,090,03

0,5

1,220,53

0,170,03

1,780,58

0,220,05

1,5

2,431,08

0,240,05

1,170,46

0,340,09

4,211,06

0,570,12

1,350,47

0,290,12

1,790,47

0,590,12

2,510,65

0,770,24

10

2,270,90

1,080,09

12

1,400,40

0,910,11

24

0,780,27

0,600,11

Keterangan :
Kelompok kontrol adalah tikus yang diberikan rifampisin secara peroral dengan dosis
50 mg/kgBB
Kelompok perlakuan adalah tikus yang diberikan madu peroral dengan dosis 7,65
mL/kgBB satu kali sehari selama tujuh hari berturut-turut dan pada hari kedelapan
diberikan
bersamaan
dengan
rifampisin
dosis
50
mg/kgBB

Tabel 5. Harga parameter farmakokinetika dan uji t tidak berpasangan untuk rifampisin pada
kelompok kontrol dan perlakuan
Nilai Parameter
Parameter
Farmakokinetika
k
(/jam)
t1/2
(jam)

Kontrol
(Rata-rataSE)

Perlakuan
(Rata-rataSE)

% Beda

Uji t tidak
berpasangan
(nilai P)

0,080,02

0,050,01

-37,50

0,228

11,672,80

18,192,97

+55,87

0,149

0,930,17

1,760,37

+89,25

0,077

ClT
(L/jam)

*) perubahan nilai parameter yang signifikan (p<0,05)


eliminasi
1.

Tetapan laju eliminasi (K)

volume

dipengaruhi
distribusi

oleh

klirens

dan

(Hakim,

2011).

Laju

Laju eliminasi suatu obat merupakan suatu

eliminasi secara langsung mempengaruhi

ukuran yang berguna untuk menggambarkan

besarnya

eliminasi

eliminasi) (Shargel, 2005). Semakin besar

obat

dari

dalam

tubuh.

Laju

waktu

Jurnal Ilmiah Farmasi Vol. 10 No. 1 Tahun 2013

paruh

eliminasi

(t 1/2

26 | Dimas Adhi Pradana

nilai K maka semakin singkat waktu paruh

fisiologi,

eliminasi,

semakin

maka

mengeliminasi obat dan kecepatan alir darah

semakin

lama

eliminasi.

menuju organ eliminasi obat (Hakim, 2011).

Semakin besar klirens, maka nilai K juga

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

makin besar, sehingga eliminasi obat dari

praperlakuan madu dosis 7,65 mL/kgBB

dalam tubuh semakin cepat. Nilai K dapat

ternyata mengakibatkan peningkatan klirens

ditentukan jika nilai klirens diketahui ataupun

total rifampisin jika dibanding kelompok

dapat diketahui secara langsung dari nilai B

kontrol,

regresi linier log Cp (kadar obat dalam

(p>0,05).

kecil

waktu

nilai
paruh

seperti

tetapi

fungsi

organ

secara

tidak

dalam

signifikan

plasma) vs t (waktu) pada titik-titik eliminasi

Hasil

penelitian

obat atau yang dianggap mewakili titik-titik

menunjukkan

peningkatan

eliminasi suatu obat.

secara bermakna yang menunjukkan bahwa

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

metabolisme rifampisin

praperlakuan madu dosis 7,65 mL/kgBB

akibat pemberian madu. Hal ini dapat terjadi

ternyata hanya sedikit menurunkan laju

karena

eliminasi rifampisin secara tidak signifikan

mungkin adalah karena prednison tidak

jika dibandingkan dengan kontrol(p>0,05).

mampu mempercepat metabolisme teofilin.

2.

Waktu paruh eliminasi (t1/2)


Waktu

menunjukkan
diperlukan

oleh

klirens

total

tidak dipercepat

faktor,

yang

paling

eliminasi

diantaranya adalah nilai Cp yang diperoleh

yang

pada kelompok perlakuan sangat kecil,

waktu

atau

bahkan berada dibawah nilai LLOQ. Hal ini

konsentrasi obat untuk dapat tereliminasi

disebabkan tidak dilakukannya pembuatan

menjadi setengahnya (berkurang menjadi

kurva baku menggunakan kadar terendah

setengahnya) (Shargel, 2005). Nilai waktu

sesuai nilai LLOQ yang diperoleh diawal

paruh eliminasi sangat tergantung kepada

penelitian,

laju eliminasi obat, klirens total dan volume

penyesuaian dosis setelah diketahui nilai Cp

distribusi (Hakim, 2011). Berdasarkan data

yang dihasilkan berada dibawah LLOQ kurva

penelitian

baku,

dapat

sejumlah

tidak

Keterbatasan pada penelitian ini

paruh
lamanya

beberapa

ini

diketahui

obat

bahwa

pada

oleh

selain

itu

karena

tidak

itu

perlu

dilakukan

dilakukan

kelompok perlakuan mengalami peningkatan

penyesuaian atau optimasi kembali terhadap

nilai t walaupun tidak signifikan secara

dosis rifampisin pada tikus. Hal lain yang

statistik.

perlu diperhatikan adalah perlunya dilakukan

3.

Klirens total (Clt)

pembuatan

Klirens obat adalah suatu ukuran


eliminasi

obat

tubuh

baku

pada

setiap

penetapan kadar rifampisin dalam darah.

tanpa

Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa

mempermasalahkan mekanisme prosesnya.

madu dapat menunda absorpsi rifampisin

Eliminasi

proses

akibatnya nilai tmaks meningkat hingga berada

metabolisme dan ekskresi. Klirens dapat

pada jam ke 8-10 waktu sampling, sehingga

didefinisikan sebagai volume bersihan suatu

diperlukan cuplikan yang lebih sering antara

obat dari tubuh per satuan waktu (mL/menit

jam

atau L/jam) (Shargel, 2005).

mengetahui

obat

dari

kurva

terdiri

dari

Nilai klirens

dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

ke-10

hingga
apakah

jam

ke-24

masih

untuk
terdapat

peningkatan Cp diantara waktu tersebut.

Jurnal Ilmiah Farmasi Vol. 10 No. 1 Tahun 2013

27 | Dimas Adhi Pradana

Neal MJ.(2006), At a Glance Farmakologi


Medis [J. Surapsari, trans]. Edisi ke-5.
Jakarta: Erlangga

KESIMPULAN
Hasil

penelitian

pengaruh

praperlakuan

madu dosis 7,65 mL/kgBB tikus terhadap


farmakokinetika rifampisin dosis 50 mg/kgBB
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
parameter fase eliminasi rifampisin.

DAFTAR PUSTAKA
Baxter, K. (2008) Stockleys Drug Interaction.
Eight Edition. USA: Pharmaceutical
Press
Bogdanov S, Jurendic T, Sieber R, Gallmann
P.(2008),
Honey for Nutrition and
Health : A Review. Journal of American
College of Nutrition.; 27(6):677-689

Paramitasari Y. (2012), Pengaruh Pemberian


Madu terhadap Profil Farmakokinetik
Teofilin pada Tikus Putih Jantan Galur
Wistar
dengan
Metode
High
Performance Liquid Chromatography
(HPLC)
[Skripsi].
Yogyakarta:
Universitas Islam Indonesia
Shargel, L., Pong, S.W., Yu, A.B.C., 2004,
Applied
Biopharmaceutics
&
Pharmacokinetics,
Fifth
Edition,
McGraw Hills, New York
Suranto, A.(2004), Khasiat dan Manfaat
Madu Herbal. Jakarta: PT. Agromedia
Pustaka
Suranto A (2007). Terapi Madu. Jakarta:
Penebar Swadaya

Debra C., Quenelle. Jay K., Staas. Gary, A.,


Winchester et.al.(1999) Efficacy Of
Microencapsulated
Rifampin
In
Mycobacterium Tuberculosis-Infected
Mice.
Antimicrobial
Agents
And
Chemotherapy Journal ; 43(5): 1144
1151

Trisnawati, (2005) Pengaruh Pemberian


Madu secara Bersamaan dengan
Parasetamol terhadap Daya Analgetik
Parasetamol pada Mencit Betina Galur
Swiss [Skripsi]. Yogyakarta: Universitas
Islam Indonesia

Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Welss BG,
Posey LM. (2008) Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach. 7th ed. New York:
Mc Graw Hill Medical. Chapter 116,
Tuberculosis; p.1845

Tushar T, Vinod T, Rajan S, Shashindran C,


Adithan, C. (2006) Effect of Honey on
CYP3A4, CYP2D6, and CYP2C19
Enzyme Activity in Healthy Human
Volunteers.
Basic
&
Clinical
Pharmacology; 100:269-272

Goodman, Louis S., Hardman, J. G., Limbird,


L. E., eds. Goodman & Gilmans.
(2000), The Pharmacological Basis of
Therapeutics,
9th
ed.
Elmsford.
McGraw-Hill, New York: McGraw-Hill.
Hakim
L.
(2011),
Farmakokinetik.
Yogyakarta: Bursa Ilmu
Hemanth Kumar, I. Chandra, R. Geetha, K.
Silambu Chelvi. (2004), A validated
high-performance
liquid
chromatography
method
for
the
determination
of
rifampicin
and
desacetyl rifampicin in plasma and
urine. Indian J Pharmacol ; 36(4): 231233
Maulidah, N. (2005) Pengaruh Praperlakuan
Madu
terhadap
Farmakokinetika
Sulfametazin pada Tikus [Skripsi].
Yogyakarta:
Universitas
Islam
Indonesia

United Nations Publication; (2009), Guidance


for the Validation of Analytical
Methodology
and
Calibration
of
Equipment used for Testing Illicit Drug
in Seizxed Materials and Biological
Specimens. New York
Wahyono. D., Hakim. A.R. (2005), Pengaruh
Praperlakuan
Brokoli
(Brassica
oleracea L. Var. Botrytis L.) terhadap
Farmakokinetika
Rifampisin
pada
Tikus. Majalah Farmasi Indonesia. 16
(3): 177 181
Wahyono
D,
Hakim
AR,
Purwatiningsih.(2007),
Pengaruh

Pemberian Syrup Curcuma Plus


terhadap Farmakokinetika Rifampisin
pada
Tikus.
Majalah
Farmasi
Indonesia. 18(4):163-168
Watson
DG.
(2000)
Pharmaceutical
Analysis. London: Churchill Livingstone

Jurnal Ilmiah Farmasi Vol. 10 No. 1 Tahun 2013

28 | Dimas Adhi Pradana

Jurnal Ilmiah Farmasi Vol. 10 No. 1 Tahun 2013

Anda mungkin juga menyukai