Anda di halaman 1dari 14

Jurnal Psikologi Indonesia

2009, Vol VI, No. 1, 12-25, ISSN. 0853-3098

Himpunan Psikologi Indonesia

ADAPTASI FAIRY TALE TEST (FTT)


DALAM BAHASA INDONESIA:

SUATU STUDI AWAL


[ADAPTATION OF THE FAIRY TALE TEST (FTT) INTO BAHASA INDONESIA:
A PRELIMINARY STUDY]
Magdalena S. Halim
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
Perkembangan alat ukur kepribadian di Indonesia masih sangat terbatas sampai saat ini. Beranjak dari keterbatasan perkembangan alat ukur kepribadian untuk anak-anak di Indonesia, peneliti mengadaptasi Fairy Tale Test
(Coulacoglou, 2004) ke dalam bahasa Indonesia. Tujuan utamanya adalah memperkaya ketersediaan alat ukur kepribadian bagi anak-anak di Indonesia yang reliabel dan valid. Sampel penelitian ini adalah 200 anak yang tinggal di
Jakarta dan sekitarnya. Mereka berusia antara 6-12 tahun dan memiliki latar belakang sosial ekonomi dari rendah
ke tinggi. Reliabilitas alat ukur ini secara umum cukup memuaskan, namun validitasnya dalam bahasa Indonesia
relatif belum memuaskan, khususnya validitas konstruk beberapa subskala. Banyak hal yang mempengaruhi hasil
tersebut dicoba dibahas lebih lanjut.
Kata kunci: alat ukur kepribadian, adaptasi, Fairy Tale Test.
The development of personality measurement in Indonesia has been very scarce so far. Based on the scarcity of
the development of personality measurement for children in Indonesia, the author adapted the Fairy Tale Test (Coulacoglou, 2004) into bahasa Indonesia. The main purpose is to enrich the availability of reliable and valid personality
measures for children in Indonesia. The sample comprised 200 children living in Jakarta and its vicinities. They
were between 6 and 12 years old and came from lower to higher socio-economic backgrounds. The reliability of this
measure is in general quite satisfactory, but the validity of the bahasa Indonesia version is relatively unsatisfactory,
especially the construct validity of some sub-scales. Various factors influencing such results were discussed.
Key words: personality measurement, adaptation, Fairy Tale Test.

Kemampuan untuk melakukan asesmen


dalam berbagai aspek perilaku manusia
merupakan salah satu tuntutan pekerjaan
profesi psikolog. Dari berbagai macam
asesmen yang dapat dilakukan, asesmen
kepribadian merupakan salah satu yang cukup
banyak menarik perhatian para psikolog di
Indonesia. Hal ini terbukti dengan hampir
selalu dilibatkannya asesmen kepribadian
dalam setiap evaluasi psikologik sekalipun
dengan tujuan dan maksud yang berbedabeda.
Asesmen memang bukan satu-satunya hal
yang mutlak dilakukan oleh seorang psikolog.
Bahkan tidak jarang muncul pandangan di
kalangan para psikolog bahwa bidang ilmu
psikologi seharusnya tidak terlalu berfokus
hanya pada area ini. Pandangan semacam
ini agaknya lebih ditujukan bagi mereka yang
cenderung mendewakan tes-tes psikologi
dan terkadang kurang mengindahkan
apakah tes-tes tersebut sudah memenuhi

kriteria suatu alat ukur yang baik.


Walaupun kritik terhadap asesmen
psikologis, khususnya dalam perkembangan
asesmen kepribadian, tidak dapat dihindari
bahkan sampai batas tertentu senantiasa
dibutuhkan, peneliti tetap yakin bahwa di
masa-masa mendatang area ini masih akan
terus berkembang seiring dengan bertambah
peliknya masalah yang ada di tengah
kehidupan
masyarakat.
Bagaimanapun
juga, asesmen secara umum dan asesmen
kepribadian secara khusus masih merupakan
salah satu kekuatan yang dimiliki para
psikolog dalam menjelaskan kompleksitas
tingkah laku di tengah masyarakat baik secara
individual maupun kelompok. Ke depannya,
yang tampaknya perlu lebih mendapatkan
perhatian adalah bagaimana pelaksanaan
asesmen itu sendiri. Pelaksanaan asesmen
hendaknya benar-benar disesuaikan dengan
kebutuhan dan tujuan yang akan dicapai,
dan bukan sekedar untuk memenuhi rasa

MAGDALENA S. HALIM

ingin tahu bagi psikolog atau menutupi


kekhawatiran karena data yang diperoleh
mungkin belum mencukupi sehingga tidak
bisa memberikan evaluasi psikologik seperti
yang diharapkan.
Berbicara lebih lanjut tentang asesmen
kepribadian dan perkembangannya di
Indonesia , sampai saat ini area tersebut
masih belum berkembang sepesat di luar
negeri (baca Halim dkk., 2004). Bahkan
rasanya kita harus berbesar hati untuk
mengakui bahwa perkembangan asesmen
kepribadian di Indonesia tertinggal cukup
jauh sekitar 1020 tahun dibandingkan
dengan negara-negara maju atau bahkan
beberapa negara berkembang lain seperti
Malaysia, Thailand dan Vietnam. Peneliti
menduga ada banyak kendala yang membuat
lambatnya perkembangan di area ini,
beberapa diantaranya adalah faktor biaya,
waktu dan minat untuk mengembangkan
alat ukur baru melalui penelitian. Rumitnya
prosedur penerjemahan yang harus dilakukan mengikuti standar yang ditetapkan
secara internasional agaknya merupakan
faktor lain yang membuat adaptasi alat
tes menjadi sesuatu yang kurang diminati
walaupun hal itu dirasakan penting. Latar
belakang budaya yang berbeda, seringkali
menjadi masalah tersendiri dalam melakukan
adaptasi terhadap alat ukur kepribadian
yang mayoritas dikembangkan di dunia
Barat. Sebagai dampaknya, penelitianpenelitian di bidang asesmen kepribadian
menjadi kurang berkembang dibandingkan
penelitian di bidang psikologi lainnya di
Indonesia. Kalaupun pengembangan tes
telah dilakukan, kegiatan ini biasanya hanya
terbatas pada unit tertentu, dengan sampel
yang terbatas, hasil tidak dipublikasikan dan
belum dikembangkan ke arah yang sifatnya
nasional atau bahkan internasional sehingga
dapat digunakan oleh kalangan yang lebih
luas.
Sejauh ini cukup banyak alat ukur
kepribadian yang telah beredar dan dipergunakan sesuai dengan kepentingannya masingmasing, meskipun hampir sebagian besar
dari alat ukur yang ada tersebut sudah sangat
tua usianya. Di antara berbagai macam alat
ukur kepribadian yang ada, tes-tes proyeksi
tampaknya masih lebih mendominasi
penggunaannya dibandingkan dengan tes-

13

tes objektif lainnya. Fakta menunjukkan


bahwa suatu tes seperti Tes Pohon, Tes
Gambar Orang, atau Tes Wartegg adalah
bentuk-bentuk tes kepribadian yang paling
sering dipergunakan dalam suatu rangkaian
pemeriksaan psikologik sampai saat ini.
Meskipun penggunaan ketiga macam tes
proyeksi ini tidak jarang diragukan validitas
dan reliabilitasnya, cukup banyak psikolog
yang meyakini bahwa tes-tes ini masih lebih
mampu untuk menggambarkan kepribadian
seseorang secara akurat. Tentunya keyakinan
semacam ini tidak bisa dipersalahkan
mengingat ketersediaan alat ukur kepribadian
yang lebih objektif dan telah distandardisasi
serta terbukti valid dalam bahasa Indonesia
masih sangat terbatas. Keterbatasan inilah
yang tampaknya menjadi salah satu alasan
mengapa tes-tes proyeksi jauh lebih sering
dipergunakan dan bahkan mungkin relatif
lebih disukai.
Berkaitan dengan tes-tes proyeksi yang
ada di Indonesia, peneliti melihat bahwa
sejauh ini alat tes proyeksi yang digunakan
untuk orang dewasa lebih banyak berkembang
dibandingkan untuk kelompok usia anak.
Alat tes proyeksi untuk kelompok usia anak
yang umum digunakan hanyalah HTP, Blacky
Test dan CAT, tentu saja dengan segala
keterbatasan yang dimiliki. Sedangkan alat
ukur kepribadian yang sifatnya objektif dan
ditujukan bagi kelompok usia anak masih
terbilang cukup langka di Indonesia.
Sementara itu, fenomena di lapangan
setidaknya dalam 5 tahun terakhir menunjukkan semakin banyaknya masalah-masalah
perilaku pada anak yang muncul baik dalam
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah
maupun lingkungan lainnya, yang tidak jarang
diduga berkaitan erat dengan perkembangan
aspek kepribadian pada anak. Upaya untuk
menjawab
permasalahan-permasalahan
tingkah laku pada anak dengan mengacu
pada metode pengukuran melalui wawancara
dan observasi saja seringkali dirasa kurang
mencukupi. Di sisi lain, alat ukur kepribadian
yang valid untuk digunakan pada anak di
Indonesia masih sangat terbatas jumlahnya
merupakan kenyataan pahit yang tidak
dapat dipungkiri.
Sejalan dengan fenomena tersebut, peneliti
memandang perlu dikembangkannya suatu
alat ukur baru yang cukup menarik bagi anak

14

MAGDALENA S. HALIM

dalam kaitan dengan prosedur administrasi


yang mudah dan tidak membosankan bagi
anak dan sekaligus dapat memberikan
masukan yang bermanfaat bagi orangtua,
guru, maupun kelompok-kelompok lain yang
berkepentingan. Dari sekian banyak alat ukur
kepribadian pada anak yang berkembang
dewasa ini, Fairy Tale Test (FTT) merupakan
alat tes yang menurut pandangan peneliti
cukup potensial dan menarik untuk bisa
dikembangkan lebih lanjut di Indonesia. FTT
(Coulacoglou, 2004) ini merupakan alat tes
proyeksi yang diperuntukkan bagi anakanak usia 6 12 tahun. Namun demikian,
tidak seperti tes-tes proyeksi lain yang
umumnya memiliki keterbatasan dalam
hal validitas dan reliabilitas, Coulacoglou
dalam mengembangkan alat ini mencoba
memadukan antara pendekatan kualitatif
yang merupakan kekhasan alat ukur proyeksi
dan pendekatan kuantitatif dengan uji analisis
psikometri yang dapat diandalkan. Dengan
demikian, sebagai suatu alat tes proyeksi,
FTT tampaknya berusaha mengatasi permasalahan mendasar pada penggunaan alatalat proyeksi dengan memberikan ruang
untuk dapat melakukan kuantifikasi pada
hasil jawaban yang diperoleh, serta yang
lebih penting lagi adalah memungkinkan
untuk dilakukan uji psikometri sebagaimana
umumnya alat ukur inventori dan bahkan
dibuat norma sesuai dengan kelompok usia
anak. Oleh karena itu, hasil yang diperoleh
melalui alat ini diperkirakan akan lebih dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah (baca:
Kline, 2001). Hal lain yang juga menjadi
pertimbangan penulis untuk melakukan
adaptasi terhadap alat ini berkenaan dengan
materi yang didasarkan atas cerita dongeng.
Anak-anak umumnya sangat menyukai
dongeng. Melalui dongeng anak dapat
belajar mengenai banyak hal termasuk nilainilai dalam kehidupan. Daya imajinasi dan
kreativitas anak secara tidak langsung juga
dapat berkembang melalui dongeng yang
didengarnya. Sebagai suatu media untuk
kepentingan pengukuran aspek psikologik,
dongeng diperkirakan akan jauh lebih menarik
bagi anak daripada pemberian kuesioner.
Sekalipun demikian, keputusan peneliti untuk
mengadaptasi FTT dalam bahasa Indonesia
juga bukan berarti akan terhindar dari kendala
budaya. Bagaimanapun juga tidak tertutup

kemungkinan bahwa dongeng-dongeng yang


dijadikan dasar bagi pengembangan alat
ini hanya dikenal oleh kalangan terbatas di
antara anak-anak Indonesia, namun demikian
mendongengkan
cerita-cerita
tersebut
sebelum proses administrasi dilakukan
diyakini peneliti akan dapat mengurangi
kendala budaya. Disamping itu, pembuktian
adanya kendala budaya yang bisa jadi akan
menyulitkan aplikasi alat tes ini di kemudian
hari tidak akan mungkin bisa dilakukan
apabila proses adaptasi ini tidak pernah
dilakukan. Peneliti juga meyakini bahwa ada
nilai-nilai kehidupan yang sifatnya universal
yang tetap bisa dimaknai oleh anak melalui
cerita dongeng yang mereka dengar atau
baca, sekalipun dongeng itu berasal dari latar
belakang budaya yang berbeda.
Fairy Tale Test dan Perbedaannya dengan
Tes-tes Proyektif Lain
Apabila dibandingkan dengan tes-tes
tematik lainnya, FTT berbeda dalam beberapa
aspek, yaitu:
a. Gambar-gambar yang menjadi stimulus.
Anak akan dihadapkan pada tiga gambar
dalam setiap set kartu dan diminta untuk
berespon terhadap beberapa pertanyaan
yang diajukan berkaitan dengan gambargambar tersebut, jadi bukan diminta
untuk membuat cerita. Pembuatan cerita
merupakan tugas yang bisa jadi dirasakan
sulit atau bahkan menimbulkan frustrasi
pada anak-anak, khususnya mereka yang
memiliki keterbatasan dalam imajinasi
atau mengalami hambatan. Di dalam FTT,
cerita-cerita tersebut telah tersedia dan
anak diminta mengingat bagian-bagian
dari cerita yang telah didongengkan
terlebih dahulu.
Berlawanan dengan tes-tes tematik lain,
karakter-karakter yang dipilih dianggap
cukup dikenal dan populer di antara anakanak sebagai bagian dari kenyataan dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Hubungan
yang erat antara cerita-cerita dongeng dan
proses ketidaksadaran sudah ditekankan
oleh banyak tokoh yang kebanyakan
berasal dari aliran psikoanalisa dan
Jungian (contoh: Fromm, 1951; Von
Franz, 1982; Bettelheim, 1976)
Teknik
yang
dipergunakan
dalam
mengilustrasikan gambar berbeda antara

MAGDALENA S. HALIM

satu set kartu dengan satu set kartu yang


lainnya. Variasi dalam teknik menggambar
pada setiap kartu diyakini Coulacoglou
akan dapat membuat prosedur administrasi
tes terasa kurang membosankan dan
bahkan lebih menstimulasi anak untuk
memberikan responnya.
b. Parameter-parameter yang diukur.
Sebagian besar tes-tes tematik hanya
berfokus pada hubungan keluarga dan
situasi interpersonal, sedangkan FTT
mengukur variabel-variabel kepribadian
yang lebih luas, dan semua variabel
tersebut dapat diskor.
c. Skoring. Cara skoring untuk setiap
variabel yang diukur melalui FTT secara
eksplisit dituliskan dalam manual FTT,
termasuk pula sejumlah contoh untuk
setiap skor yang diberikan pada masingmasing kartu (Coulacoglou, 2004).
FTT sendiri merupakan alat tes proyektif
yang tergolong cukup baru dan mulai
dikembangkan oleh Coulacoglou (1992)
sebagai bagian dari disertasinya. Alat ini
pertama kali dikembangkan di Yunani.
Dalam perkembangannya sampai saat ini
FTT sudah diadaptasi ke dalam berbagai
bahasa, termasuk Inggris, Perancis, Jerman,
Mandarin, Hindi, Italia, dan Turki. Pada saat
ini FTT juga sedang diadaptasi di beberapa
negara di Eropa Timur, selain di Indonesia
sendiri.
FTT terdiri atas tujuh set kartu (tiga kartu
untuk setiap setnya). Ketujuh set kartu ini
merepresentasikan karakter-karakter yang
terdapat pada dongeng Gadis Kerudung
Merah, Putri Salju dan Jack & Kacang
Buncis. Dongeng-dongeng ini diyakini
Coulacoglou (2004) sebagai refleksi simbolik
dari situasi yang dialami manusia seperti
ketakutan untuk ditinggalkan, kecemasan
menghadapi situasi yang tidak dikenal
atau tidak pasti, hubungan anak-orangtua,
keinginan untuk meraih sesuatu, perasaanperasaan antagonis, cemburu, marah, benci,
tulus, juga bimbang. Dongeng-dongeng ini
dianggap pula mencerminkan nilai-nilai yang
sifatnya universal seperti persahabatan,
toleransi, keadilan, kasih, rasa maaf dll. (www.
fairytaletest.com). Latar belakang teoritis
pengembangan alat ukur ini didasarkan atas
teori psikoanalisa, ego analytic, dan object
relation theories of personality. Aplikasi

15

penggunaan alat ini antara lain untuk


kepentingan studi tentang perkembangan
kepribadian anak, evaluasi diagnostik dan
studi kepribadian lintas budaya. Di negara
asalnya, alat ini banyak pula digunakan bagi
anak-anak berkesulitan belajar dan anakanak dengan keterbelakangan mental.
Berkaitan dengan paparan di atas,
maka adaptasi terhadap FTT dalam bahasa
Indonesia akan dilakukan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Bagaimana reliabilitas Fairy Tale Test
(FTT) dalam bahasa Indonesia ?
2. Bagaimana validitas Fairy Tale Test (FTT)
dalam bahasa Indonesia, berdasarkan
kriteria internal dan eksternal?
Secara umum penelitian ini ditujukan
untuk:
1. Melakukan evaluasi psikometrik terhadap
FTT dalam bahasa Indonesia, termasuk
di dalamnya melakukan uji reliabilitas dan
validitas terhadap skala-skala yang ada.
2. Membuat norma standard untuk FTT yang
dapat berlaku secara nasional.
3. Melakukan studi lintas budaya dengan
menggunakan alat ini.
Manfaat yang ingin dipetik dari penelitian
ini adalah:
1. Menambah perbendaharaan alat tes
proyeksi kepribadian yang ditujukan pada
anak, dan yang dapat diuji secara empiris
sehingga terbukti valid dan reliabel untuk
digunakan di Indonesia.
2. Membuka kesempatan untuk melakukan
studi lintas budaya tentang gangguan
kepribadian dan abnormalitas perilaku
lainnya.
3. Memberikan masukan yang lebih lengkap
dan relevan untuk para praktisi di bidang
psikologi pendidikan, perkembangan dan
klinis anak khususnya dalam menentukan
intervensi yang lebih akurat.
4. Memperluas jaringan komunikasi dan
pertukaran informasi berkaitan dengan
pengaplikasian FTT untuk kepentingan
penelitian, pendidikan maupun dalam
praktek-praktek klinis.
5. Menjadi salah satu acuan jika di kemudian
hari ingin dikembangkan suatu alat tes
kepribadian Indonesia bagi kelompok
usia anak yang dapat digunakan untuk
populasi normal maupun abnormal.

16

MAGDALENA S. HALIM

Metode
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian dalam studi awal ini
adalah anak-anak sekolah dasar di Jakarta
dan sekitarnya. Secara lebih spesifik,
karakteristik dari populasi yang dikehendaki
adalah sebagai berikut:
1. Anak SD, baik swasta maupun negeri
berusia antara 612 tahun
2. Latar belakang sosial ekonomi dari rendah
sampai tinggi
Dari populasi tersebut, sampai saat ini
peneliti telah mengumpulkan sebanyak 243
orang anak, dari berbagai latar belakang
kelas ekonomi di kelima wilayah di DKI Jaya
dengan menggunakan teknik convenience
sampling. Gambaran lebih lanjut tentang
sampel penelitian dapat dilihat di tabel pada
bagian hasil.
Instrumen Penelitian
Di dalam penelitian awal ini ada dua
alat ukur yang digunakan, yaitu: Fairy Tale
Test(FTT) dan Children Personality Questionnaire (CPQ, Catell), sebagai alat ukur
pembanding untuk mengukur validitas
konstruk dengan kriteria eksternal.
Fairy Tale Test (FTT). FTT terdiri atas
tujuh set kartu, dengan masing-masing set
terdiri atas tiga kartu yang berbeda. Stimulus
dalam
masing-masing
kartu
memiliki
perbedaan dalam hal ekspresi, postur
ataupun pakaian, akan tetapi semua kartu
dibuat semirip mungkin dengan karakter yang
dimunculkan atau diilustrasikan dalam cerita
aslinya. Tujuannya adalah untuk menfasilitasi
identifikasi dan proyeksi anak pada setiap
tokoh karakter di masing-masing kartu.
Ketujuh set kartu terdiri atas karakterkarakter sebagai berikut:
1. Gadis Kerudung Merah
Kartu 1: gadis kerudung merah digambarkan sebagai figur kartun
yang muda, tidak terbebani
masalah, dan gembira.
Kartu 2: gadis kerudung merah adalah
seorang gadis dengan senyum
yang aneh, oleh anak dapat
diinterpretasikan sebagai ketidaknyamanan, ambiguitas, dan
ketidakjujuran
Kartu 3: gadis kerudung merah adalah
gadis muda dengan ekspresi

sedih pada wajahnya. Anak


dapat
mengintepretasikan
sebagai ekspresi kecemasan,
perasaan bersalah, kesedihan,
dan ketakutan.
2. Serigala
Kartu 1: serigala kurus yang tampak
lapar
Kartu 2: serigala yang sedang duduk
tenang dan mempunyai sedikit
ekspresi
pada
wajahnya
Serigala tidak menunjukkan
tanda-tanda yang jelas akan
kelaparan dan berperilaku
kejam.
Kartu 3: serigala yang kejam. Serigala
ini lebih besar dibandingkan
dua serigala lainnya. Ia
tampak siap untuk menyerang
karena mulutnya yang terbuka
dengan gigi dan lidah terjulur
keluar.
3. Kurcaci
Kartu 1: kurcaci tua, dengan muka
kartun, berdiri dengan ekspresi
wajah naif dan terkejut
Kartu 2: kurcaci muda, maskulin yang
dimunculkan
dengan
figur
seperti manusia, sedang berdiri
tanpa ekspresi pada wajahnya.
Kartu 3: kurcaci tua dengan figur seperti
manusia, tanpa ekspresi pada
wajahnya
4. Penyihir
Kartu 1: peri cantik, muda, menggunakan
pakaian glamour, memegang
tongkat penyihir pada salah
satu tangannya. Peri mengekspresikan kekuatan. Figur ini
merepresentasikan
penyihir
pada cerita putri tidur atau ratu
pada cerita putri salju.
Kartu 2: penyihir-ibu tiri setengah baya,
dengan pakaian model lama.
Wajahnya tidak menunjukkan
ekspresi
tertentu,
daerah
mulut berkerut membuatnya
tampak kejam, kasar dan
keras. Dia mengangkat salah
satu tangannya ke atas, seperti

MAGDALENA S. HALIM

siap memukul orang, yang


memberikan kesan negatif.
Figur ini merepresentasikan ibu
tiri pada cerita Cinderella dan
pada cerita Hansel dan Gretel.
Kartu 3: penyihir jaman dulu yang tua
dan jelek. Wajahnya buruk
dan berkeriput, rambut yang
tidak disisir, dan pakaian
yang
ketinggalan
jaman,
memberikan kesan penampilan
yang mengancam ditambah
dengan
tangan
yang
memegang tongkat sihir. Figur
ini
menampilkan
penyihir
pada cerita Rapunzel, ratu yang
bertransformasi pada cerita
Putri Salju, atau penyihir pada
cerita Hansel dan Gretel.
5. Raksasa
Kartu 1: Raksasa muda yang menyerupai
manusia,
terlihat
kuat dan kelaki-lakian, menggunakan pakaian dan sepatu
boot sederhana. Wajahnya tidak
mengandung
ekspresi. Ta-ngannya terangkat
ke atas seperti hendak memukul atau menampakkan gesture
hendak menyapa. Penampakan secara keseluruhan dapat
menempatkannya pada segala
usia dan kebudayaan.
Kartu 2: Raksasa yang menyerupai
manusia dengan penampilan
yang aneh, dengan ekspresi
yang naif, menjadikan wajahnya
tampak tolol atau
bodoh.
Pakaiannya yang sobek-sobek,
dan sepatu boot yang talinya
terlepas membuatnya tampak
seperti badut.
Kartu 3: raksasa
yang
menyerupai
manusia dengan penampilan
primitif, menggunakan pakaian lusuh. Gaya raksasa
menunjukkan raksasa tradisional yang banyak ditemukan
di dalam cerita dongeng. Wajahnya tidak memiliki ekspresi
tertentu, akan tetapi rambut
dan janggut yang tidak terawat,

17

serta tangan yang memegang


pentungan membuatnya tampak sebagai raksasa yang
mengancam.
6. Gambar Adegan Gadis Kerudung
Merah
Kartu 1: seorang ibu duduk di bangku,
mengangkat jarinya seperti
sedang memberikan peringatan
atau nasehat. Ekspresinya
tampak tegang. Gadis kerudung
merah berdiri di depannya,
dengan kepala menunduk.
Respon pada gambar ini
biasanya merefleksikan derajat
kekerasan yang diterima anak
oleh ibunya.
Kartu 2: gadis kerudung merah sendirian, duduk membungkuk di
tanah. Latar belakang gambar
gelap
dan
samar-samar.
Kartu ini mengikuti kartu 1
merefleksikan kondisi setelah
ia dinasehati ibunya. Kartu ini
mungkin menstimuslasi pikiran,
pengalaman subjektif, atau
ketakutan yang mendalam akan
kesendirian/diabaikan
Kartu 3: ibu dan gadis kerudung
merah
duduk
di
tanah
saling bergandeng tangan.
Mereka berdua tersenyum
dan
tampak
bahagia
Kartu ini digambar untuk
menggarisbawahi
beberapa
hal: apakah hubungan yang
terganggu (diilustrasikan pada
kartu 1) dapat diperbaiki?
Apakah hubungan ibu dan
anak terbentuk dengan dasar
yang kuat? Apakah hubungan
tersebut aman?
7. Gambar Adegan Putri Salju
Kartu 1: pangeran dan Putri Salju
dipilih untuk melukiskan Putri
Salju yang kembali hidup,
hubungan yang menjanjikan
dengan pangeran, hubungan
yang ambigu dengan ayah dan
hubungan yang aman dengan
kurcaci.

MAGDALENA S. HALIM

18

Kartu 2: ayah Putri Salju duduk di sebuah


kursi dan Putri Salju duduk di
tanah bersebelahan dengan
ayahnya. Wajah mereka tidak
mengandung ekspresi tertentu.
Kartu ini digambarkan untuk
melihat kualitas hubungan
antara Putri Salju dengan
ayah.
Kartu 3: Putri Salju berdiri, bertepuk
tangan. Kurcaci berada di
sekitarnya dan mereka menari,
atau
merayakan
sesuatu.
Kartu ini digunakan untuk
melihat derajat ketergantungan
dan kualitas hubungan Putri
Salju dengan kurcaci.

CPQ mengukur empat belas (14) dimensi dari


kepribadian yang diambil berdasarkan hasil
analisis faktor kepribadian yang dilakukan
oleh
Cattell
(http://www.ncela.gwu.edu/
databases/EAC/EAC0067.HTM).
CPQ berbentuk kuesioner yang dapat
diadministrasikan pada individu maupun
kelompok. CPQ tersedia dalam bentuk yang
panjang ataupun pendek (A, B, C, D). Setiap
form CPQ terdiri dari 140 item, dengan 10
item berkorelasi dengan setiap faktor pada
form. Karena 140 item terlalu panjang untuk
subyek yang lebih muda, maka setiap form
dibagi dalam dua bagian, A1 dan A2. Setiap
item (kecuali Faktor B, item intelegensia)
menuntut responden untuk memilih jawaban
ya-tidak (Colacoglou, 2004).

Selain ketujuh set kartu, alat tes ini


dilengkapi dengan satu berkas panduan
wawancara yang berisikan semua pertanyaan
yang perlu ditanyakan oleh administrator pada
setiap kartu. Panduan wawancara tersebut
dilengkapi dengan tempat untuk mencatat
dan memberikan penilaian pada jawaban.
Panduan ini menyediakan petunjuk secara
mendetail dalam memberikan penilaian
pada setiap respon dengan adanya contoh
ilustratif, yang sama dengan kartu-kartu yang
diberikan pada subjek.
Childrens Personality Questionnaire
(CPQ). Alat tes pembanding yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah
Childrens Personality Questionnaire (CPQ),
yang merupakan alat ukur kepribadian yang
terstandardisasi untuk anak usia 8-12 tahun.

Analisis Data
Selain menggunakan statistik deskriptif
untuk perhitungan mean, standard deviasi
dan median, beberapa uji statistik lanjutan
akan digunakan untuk menjawab masalah
dalam penelitian ini. Untuk uji reliabilitas,
inter-scorers test re-test akan dipergunakan;
analisis faktor digunakan untuk pengujian
validitas. Semua bentuk pengujian reliabilitas dan validitas akan diolah dengan
bantuan program SPSS. Sebagai analisis
tambahan, uji t-test akan dilakukan untuk
memperbandingkan rata-rata skor dari hasil
administrasi FTT antara kelompok anak lakilaki dan kelompok anak perempuan.
Hasil

Tabel 1. Jenis Kelamin dan Usia Subjek Penelitian

100
50
0

6-7

8-9

10 - 12

Laki-laki

20

54

55

Perempuan

21

61

32

Laki-laki
Perempuan

MAGDALENA S. HALIM

19

Tabel 2. Tingkat Sosial Ekonomi


Frequency

Percent

Cum Percent

Low

111

46

46

Middle

70

29

75

High

62

25

100.0

Total

243

100.00

Gambaran Umum Subjek


Subjek di dalam penelitian ini terdiri dari
anak laki-laki dan anak perempuan yang
tinggal dan bersekolah di kelima wilayah
Jakarta. Gambaran subjek penelitian akan
dibagi berdasarkan jenis kelamin, usia, dan
tingkat sosial ekonomi.
Tabel 1 di atas menunjukkan mayoritas
subjek berjenis kelamin laki-laki (N=129),
atau sebesar 53% dari total subjek dalam
penelitian ini. Sementara, berdasarkan
kelompok usia, mayoritas subjek penelitian
berusia antara 8 9 tahun (N=115) atau
sebesar 47%.
Tingkat Sosial Ekonomi. Berdasarkan
Tabel 2 frekuensi terbesar ditunjukkan oleh
kelompok tingkat sosial ekonomi rendah
yang meliputi 46 % (N=111) dari total subjek
dalam penelitian ini.
Inter-scorers Reliability untuk Subskalasubskala FTT
Dari hasil uji korelasi Pearson sebagaimana
disajikan dalam Tabel 3 terlihat bahwa semua
subskala dalam FTT memiliki korelasi yang
signifikan antar skor yang diberikan oleh
4 scorer yang berbeda. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa alat tes ini reliabel
berdasarkan teknik reliabilitas inter-scorers.
Analisis Faktor untuk Subskala-Subskala
FTT
Analisis faktor digunakan untuk menentukan validitas alat FTT berdasarkan kriteria
internal. Metode yang dipergunakan adalah
principal component analysis. Hasil yang
dipaparkan dalam Tabel 4 menunjukkan
adanya 11 faktor yang diperoleh dari hasil uji
analisis faktor tersebut, dengan total variance
explained = 63,53%. Factor loading yang

ditampilkan dalam tabel tersebut adalah faktor


loading yang lebih besar atau sama dengan
0.40. Hasil analisis faktor yang dimaksud
disajikan dalam Tabel 4.
Secara umum, tabel di atas menunjukkan
bahwa tiap subskala memiliki factor loading
lebih besar atau sama dengan 0.40. Jumlah
faktor yang ditemukan melalui analisis faktor
ini sama dengan hasil analisis faktor dari FTT
versi asli pada sampel anak-anak Yunani
(Coulacoglou, 2004). Walaupun demikian,
muatan-muatan di tiap factor loading
menunjukkan adanya beberapa perbedaan
antara hasil analisis faktor dari sampel
Indonesia dan sampel Yunani. Perbedaan
ini diduga ada kaitannya dengan pengaruh
latar belakang budaya dan nilai-nilai yang
berbeda.
Validitas Konstruk berdasarkan Kriteria
Eksternal
Validitas konstruk berdasarkan kriteria
eksternal dilakukan pada beberapa subskala
tertentu, yaitu subskala subskala agresi,
anxiety dan depresi (Rebecca, 2006; Emmy,
2006). Pengukuran ini dilakukan dengan
mengkorelasikan skor total pada subskalasubskala agresi, termasuk agresi oral,
anxiety dan depression pada FTT dengan
skor total pada tiap faktor CPQ. Berikut hasil
yang didapat:
Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa
subskala-subskala agresi pada FTT hanya
berkorelasi dengan sebagian kecil dari
faktor-faktor CPQ, yaitu antara Aggression
Instrumental (AGGINST) dengan faktor B (dull
vs. bright), Aggression Instrumental dengan
faktor G (expedient vs. conscientious), dan
Oral Aggression (OA) dengan faktor B (dull
vs. bright). Sedangkan subskala anxiety (A)
juga ditemukan berkorelasi secara signifikan

20

MAGDALENA S. HALIM

Tabel 3. Hasil Inter-scorers Correlations


Subscales
Ambivalence (AMB)
Desire for Material Things (DMT)
Desire for Superiority (DSUP)
Aggression as Dominance (AGRDOM)
Sense of Property (SPRO)
Aggression as Retaliation (AGRRET)
Aggression as Defense (AGRDEF)
Aggression as Envy (AGRENV)
Aggression Type A (AGRA)
Fear of Aggression (FA)
Oral Aggression (OA)
Oral Needs (ON)
Desire to Help (DH)
Need for Affiliation (NAFIL)
Anxiety (ANX)
Depression (D)
Need for Affection (NAFCT)
Relationship with Mother (REL/MO)
Relationship with Father (REL/FA)
Adaptation to Fairy Tale Content (AFTC)
Repetitions (R)
Self-Esteem (SE)
Need for Protection (NP)
Morality (M)
Sexual Preoccupation (SP)
Bizzare Responses (B)
Need for Approval (NAPRO)
Aggression Instrumental (AGRINST)
Sense of Privacy (SPRIV)

Raw Scores
.890**
.793**
.641**
.708**
.857**
.929**
.405**
.450**
.739**
.606**
.701**
.883**
.882**
.871**
.860**
.805**
.941**
.488**
.746**
.651**
.214*
.821**
.314**
.664**
.801**
.577**
.641**
.842**
.756**

Keterangan: N = 140, ** korelasi signifikan pada = .01; * korelasi signifikan pada = .05

dengan faktor B (Low vs High Intelligence).


Lebih lanjut diketahui pula bahwa keempat
nilai koefisien korelasi tersebut bersifat
negatif. Hal ini berarti, semakin tinggi skor
AGGRINST, OA dan A, semakin rendah skor
pada faktor B dan G dari CPQ. Sebaliknya,
pada
subskala depresi (D) ditemukan
korelasi positif yang signifikan dengan faktor
C (Lower vs Higher Ego Strength).
Analisis Tambahan: Perbedaan Profil
Anak Laki-laki dan Perempuan
Ketika profil kepribadian anak lakilaki dan perempuan yang menjadi sampel
dalam penelitian ini diperbandingkan tanpa

membedakan kelompok usia, maka hasil


perbedaan yang signifikan hanya terlihat pada
subskala aggression retaliation (AGGRET),
aggression instrumental (AGGRINST) dan
desire to help (DH). Pada ketiga subskala
tersebut, skor rata-rata kelompok anak
laki-laki lebih tinggi dibandingkan skor ratarata kelompok anak perempuan. Hasil
selengkapnya dapat dilihat pada tabel 6 di
atas.
Kesimpulan dan Diskusi
Berdasarkan hasil uji psikometri terhadap
FTT sampai sejauh ini diketahui bahwa:
1. Validitas konstruk dengan kriteria internal

MAGDALENA S. HALIM

21

Tabel 4. Hasil Analisis Faktor 29 Subskala FTT


Component
1
desire for material things

.43

desire to help

.49

need for affiliation

.40

need for protection

.75

sexual preoccupation

.69

aggression instrumental

.48

.40

aggression dominance

.78

self esteem

-.64

relation with the mother

-.40

Relation with the father

-.73

oral aggression

.46

.61

depression

-.51

Morality

.69

repetitions

.45

.46

need for affection

.56

fear of aggression

-.70

oral needs

.44

.43

ambivalence

.62

aggression envy

.53

AFTC

.64

need for approval

.40

.55

sense of property

.80

Anxiety

.56

aggression retaliation

.65

Bizarre

.61

sense of privacy

11

.48

.74

aggression defense

10

.41

desire for superiority

aggression type a

.87
.76
.47

22

MAGDALENA S. HALIM

Tabel 5. Hasil Korelasi antara FTT dan CPQ


FTT
CPQS FACTOR
Subscales
B
C
AGGRINT
-.191*
OA
-.177*
A
-.161*
D
.145*
Catatan: N=143, * korelasi signifikan pada 0,05 (1-tailed).

melalui uji analis faktor menunjukkan


bahwa FTT dalam bahasa Indonesia
valid untuk digunakan. Analisis faktor
dengan menggunakan metode exploratori
menghasilkan 11 faktor dari 29 sub skala
pada FTT. Semua sub skala terukur dalam
ke-11 faktor yang ada.
2. Validitas konstruk dengan kriteria eksternal pada alat ukur FTT dalam bahasa
Indonesia menunjukkan hasil yang masih
belum terlalu memuaskan, sekalipun
ditemukan adanya korelasi yang signifikan
antara skala Agresi, Anxiety, dan Depresi
pada FTT dengan faktor B dan C pada alat
ukur CPQ. Namun demikian, hasil korelasi
antar skala tersebut relatif lemah.
3. Pengukuran reliabilitas yang dilakukan
terhadap semua subskala FTT dengan
menggunakan
metode
inter-scorers
menunjukkan korelasi yang signifikan antar
skor dari 4 penilai. Hasil ini menunjukkan
bahwa secara keseluruhan alat FTT
dalam bahasa Indonesia reliabel.
4. Profil kepribadian subjek penelitian ini
menunjukkan adanya beberapa perbedaan
yang signifikan antara kelompok anak
laki-laki dan kelompok anak perempuan
pada sub skala aggression of retaliation
(AGGRET), aggression of instrumental
(AGGRINST) dan desire to help (DH).
Hasil pengujian psikometri menunjukkan
bahwa FTT dalam bahasa Indonesia pada
penelitian awal ini terbukti cukup valid dan
reliabel, sehingga memungkinkan untuk dapat
dipergunakan bagi kepentingan pengukuran
aspek kepribadian pada anak-anak di
Indonesia di masa mendatang. Meskipun
demikian, pengujian validitas konstruk
berdasar kriteria eksternal terhadap subskala
yang lain dan dengan menggunakan alat ukur
yang berbeda masih perlu dilakukan melalui

G
-.169*

penelitian lanjutan. Di sisi lain, pengujian


validitas berdasar kriteria internal dengan
menggunakan analisis faktor pada FTT versi
bahasa Indonesia terlihat mendukung hasil
temuan sebelumnya di Yunani (Coulacoglou,
2004), dengan munculnya 11 faktor yang
memiliki faktor loading minimal 0,40. Akan
tetapi, penelusuran lebih lanjut pada
komponen-komponen yang ada dalam setiap
faktor menunjukkan beberapa perbedaan.
Muatan-muatan nilai budaya yang berbeda
tersebut agaknya tidak bisa dihindarkan dari
komponen-komponen yang terdapat pada
masing-masing faktor. Sebagai contoh faktor
possessiveness pada anak-anak Indonesia
tergambar lewat perpaduan antara sense of
property dengan anxiety, sedangkan di Yunani
possessiveness digambarkan lewat sense
of property dan aggression of retaliation.
Sementara subskala anxiety berada satu
faktor dengan need for protection pada
sampel Yunani. Need for protection pada
sampel penelitian ini justru berkaitan dengan
desire for material things, desire to help dan
apabila tidak terpenuhi anak dimungkinkan
untuk menampilkan tingkah laku agresi
dengan menggunakan objek tertentu.
Hasil uji reliabilitas dengan metode
interrater menunjukkan hasil yang signifikan
pada semua subskala yang ada dalam FTT.
Adanya panduan manual FTT yang cukup
detil dalam menjabarkan cara penilaian
tampaknya sangat membantu para raters
dalam memberikan penilain untuk setiap
jawaban subjek. Penilaian yang diberikan
antar raters menjadi tidak jauh berbeda
dan karenanya nilai korelasi menjadi cukup
tinggi.
Satu keterbatasan dalam proses pengujian
psikometri yang cukup menonjol sampai
sejauh ini adalah kurang memuaskannya hasil

MAGDALENA S. HALIM

23

Tabel 6. Hasil uji t-test antara Kelompok Anak Laki-Laki dan Kelompok Anak
Perempuan

AMB

M female
(N=114)
4.1754

4.77687

M male
(N=129)
3.7519

DMT

2.2193

3.30930

3.1938

4.49318

-1.90374

DSUP

2.4035

2.97993

3.2558

3.90368

-1.89383

AGRDOM

.6842

1.42863

.9302

2.11463

-1.04840

SPRO

1.1053

1.84039

1.0930

1.67445

0.05455

AGRRET

1.5877

2.27651

2.7132

4.14991

-2.57333*

AGRDEF

.4123

1.02025

.3488

1.08001

0.46939

AGRENV

2.4825

2.81975

2.5581

3.26895

-0.19179

AGRA

.5439

1.41509

.4651

1.36957

0.44067

FA

4.5000

3.19083

4.5504

3.72903

-0.11244

OA

1.7632

2.06660

1.9147

2.35528

-0.52979

ON

6.3333

3.57886

6.3721

4.04481

-0.07874

DH

1.5088

2.18703

2.3023

2.47678

-2.63195**

NAFIL

3.7193

4.53601

4.1163

4.75761

-0.66346

ANX

12.2456

8.34071

12.3101

10.30306

-0.05319

3.6579

3.36254

3.7984

3.71521

-0.30752

NAFCT

3.0000

3.09724

3.5039

3.98459

-1.09014

RELMO

-.6930

1.78552

-.6512

1.58928

-0.19308

RELFA

.0877

.58840

.0000

.68465

1.06382

AFTC

36.1930

9.18721

34.7442

9.81889

1.18292

.6754

1.06010

.7209

1.38619

-0.28454

SE

-1.5789

2.48142

-1.1860

2.26994

-1.28888

NP

1.4912

2.12130

1.8295

3.05196

-0.99068

2.9561

3.02611

2.6124

3.42625

0.82402

SP

3.1053

2.82958

3.3953

3.09843

-0.75822

.4123

1.26079

.6279

1.50556

-1.20133

NAPRO

.9298

1.49760

.9535

1.71783

-0.11393

AGRINS

.4912

1.09904

1.1240

1.84564

-3.19395**

SPRIV

.2281

.75299

.1628

.51221

0.79804

SD female

* signifikan pada = .05

SD male

Uji t

4.87505

0.68221

** signifikan pada = .01

24

MAGDALENA S. HALIM

pengujian validitas untuk kriteria eksternal.


Dari beberapa subskala yang diasumsikan
berkorelasi, hanya beberapa subskala yang
ditemukan memiliki korelasi signifikan dengan
alat ukur CPQ. Sekalipun hasil signifikan,
namun nilai koefisien korelasi yang diperoleh
termasuk rendah. Masih terlalu dini apabila
dianggap bahwa subskala yang diukur
melalui FTT tidak mengukur konstruk yang
sesungguhnya apabila hanya mengandalkan
pada pengujian korelasi dengan CPQ. Salah
satu kemungkinannya adalah alat ukur CPQ
sendiri belum terstandarisasi dengan baik
untuk versi bahasa Indonesia. Oleh karena itu,
kriteria pembanding dengan menggunakan
alat ukur lain sangat disarankan, untuk lebih
memastikan validitas subskala-subskala
yang ada pada alat FTT ini .
Terlepas dari uji psikometri yang secara
umum cukup memuaskan, sekalipun untuk
pengujian validitas dengan kriteria eksternal
masih perlu dilakukan penelitian lanjutan, ada
beberapa fenomena menarik yang ditemukan
selama proses penelitian berlangsung.
Beberapa fenomena menarik tersebut antara
lain:
1. Anak-anak yang menjadi sampel dalam
penelitian ini menunjukkan kecenderungan
sulit untuk mengembangkan daya fantasi
dan imajinasi mereka dalam memberikan
respon terhadap alat tes ini secara lebih
bebas. Respon-respon yang mereka
berikan sebagian besar terpaku pada alur
cerita dongeng yang dijadikan acuan.
Terlihat cukup jelas kekuatiran pada anakanak untuk dinilai salah dalam berespon,
sekalipun sejak awal mereka sudah
memperoleh informasi bahwa semua
jawaban yang mereka berikan benar
adanya. Ketakutan untuk melakukan
kesalahan atau dinilai salah atau tidak
sesuai dengan mayoritas respon agaknya
tidak bisa terlepas dari peran system
pendidikan dasar di Indonesia selama ini.
Penekanan pada kemampuan mengingat
daripada memahami, secara tidak
langsung menghambat perkembangan
kreativitas mereka dalam berpikir.
2. Ada
kecenderungan
terlalu
kuat
mengendalikan diri pada sebagian anak
dalam penelitian ini. Hal seperti ini diduga
berkaitan erat dengan kesadaran moral
pada mereka. Namun demikian, subskala

morality pada semua kelompok usia masih


tergolong dalam batas normal. Salah satu
alasan yang dapat menjelaskan adanya
kesenjangan antara perilaku kontrol diri
yang kuat di satu sisi dan morality yang
masih dalam batas normal adalah bahwa
kesadaran moral mereka diduga baru
sebatas tataran kognitif dan belum benarbenar terinternalisasi sebagai bagian
penting dari kepribadian mereka.
3. Hasil lain yang cukup menarik untuk dikaji
lebih lanjut adalah begitu besarnya peran
ibu dalam perkembangan kepribadian
anak. Tokoh ibu merupakan tokoh yang
dihayati hampir sebagian besar anak
sebagai pemegang aturan di rumah,
yang akan memberikan hukuman apabila
mereka melakukan kesalahan atau juga
memberikan pujian apabila mereka melakukan sesuatu yang baik. Tidak jarang,
peran ibu yang sedemikian besar justru
membuat anak memiliki masalah dalam
relasi dengan ibu. Sebaliknya, figur ayah
belum terlalu terlihat peranannya dalam
perkembangan kepribadian anak yang
menjadi sampel dalam penelitian ini.
Kebanyakan anak-anak memandang
ayah sebagai figur pemberi nasehat.
Daftar Pustaka
Anastasi, A. (1990). Psychological testing (6th
ed.). NewYork: Macmillan.
Bettelheim, B. (1976). The uses of enchantment: The meaning and importance of
fairy tales. New York: Vintage.
Coulacoglou, C. (1993) The development of
the Fairy Tale Projective Test in the personality assessment of children. Unpublished Ph.D thesis. University of Exeter.
Coulacoglou, C. (2004). The Fairy Tale Test:
Manual (3rd ed.). Toronto: MHS.
Coulacoglou, C. & Kline, P. (1995). The Fairy
Tale Test: A novel approach in projective
assessment. British Journal of Projective
Psychology, 40, 10 31.
Cramer, P. (1991). The development of defense mechanisms: Theory, research &
assessment. New York: Springer-Verlag.
Cronbach, L.J. (1984). Essentials of psycho-

MAGDALENA S. HALIM

25

logical testing (4th ed.). New York: Harper


& Row.

integrated approach. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Emmy (2006). Analisis validitas dan reliabilitas sub skala anxiety dan depression
pada Fairy Tale Test di Indonesia. Skripsi
Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta.

Rebecca, A. V. (2006) Uji psikometri Fairy


Tale Test dalam bahasa Indonesia untuk
subskal-subskala agresi. Skripsi Fakultas
Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta.

Fromm, E. (1951). The forgotten language:


An introduction to the understanding of
dreams, fairy tales and myths. New York:
Holt, Rinehart and Winston.
Halim, M.S., Derksen, J.J.L., & van der Staak,
C.P.F. (2004). Development of the revised
NEO Personality Inventory for Indonesia:
A preliminary study. Dalam B. Setiadi, A.
Supratiknya, Walter J. Lonner, & Ype H.
Poortinga (Eds.), Ongoing themes in psychology and culture (h. 533-548). Yogyakarta: The International Association for
Cross-Cultural Psychology.
Heuscher, J. (1974). A psychiatric study of
myths and fairy tales (2nd ed.) Springfield,
Ill.: Charles C. Thomas.
Luthi, M. (1987). The fairy tale as art form and
portrait of man. Bloomington, IN: Indiana
University Press.
Pedhazur, E.J., & Schmelkin, L.P.(1991).
Measurement, design, and analysis: An

e-mail: magdalena.halim@atmajaya.ac.id

Schwartz, K.E. (1956). A psychoanalytic


study of fairy tale. American Journal of
Psychotherapy, 10, 740-762.
Souyouldzoglou, M. (2001). The application
of the projective technique, Fairy Tale
Test, in assessing the personality of children with learning problems. Ph.D thesis.
Pantion University of Athens.
Spitz, R.A. (1965). The first year of life. New
York: International Universities Press.
Thomas, J. (1989) Inside the wolf belly. Sheffield: Sheffield Academic Press.
Tolkien, J.R.R. (1964). Tree and leaf. Boston:
Houghton Mifflin.
Triandis, H. (1972). The Analysis of subjective culture. New York: Wiley.
Von Franz, M.L. (1982). Interpretation of Fairy
Tales. Texas: Spring Publications.

Anda mungkin juga menyukai