Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH TOH 1

Curcuma xanthrorriza

KELAS D
NAMA ANGGOTA:
KOMANG AYU SANDRA DEWI A

110114437

INDAH NUR HAYATI

110114441

CECILIA EMANUELLE NUGRAHA

110114442

SIRILUS DEODATUS SAWU

110114445

BELINDA ADMAN DALENI

110114458

NUR LAILI RAHMATIN

110114462

LINDA YOSANTI MAYANGSARI

110114463

AYU ERIA SUZI SISKA YOLANDA

110114464

UNIVERSITAS SURABAYA
2015-2016

1. Preparasi Simplisia Temulawak


Pada tahap preparasi memiliki 2 jenis preparasi yaitu panen dan pasca panen.
a. PANEN TEMULAWAK
Rimpang dipanen dari tanaman yang telah berumur 9-10 bulan. Tanaman yang siap panen
memiliki daun-daun dan bagian tanaman yang telah menguning dan mengering, memiliki
rimpang besar dan berwarna kuning-kecoklatan. Tanah disekitar rumpun digali dan rumpun
diangkat bersama akar dan rimpangnya. Panen dilakukan pada akhir masa pertumbuhan tanaman
yaitu pada musim kemarau. Saat panen biasanya ditandai dengan mengeringnya bagian atas
tanah. Namun demikian apabila tidak sempat dipanen pada musim kemarau tahun pertama ini
sebaiknya dilakukan pada musim kemarau tahun berikutnya. Pemanenan pada musim hujan
menyebabkan rusaknya rimpang dan menurunkan kualitas rimpang sehubungan dengan
rendahnya bahan aktif karena lebih banyak kadar airnya. Tanaman yang sehat dan terpelihara
menghasilkan rimpang segar sebanyak 10-20 ton/hektar.
b.

PASCA-PANEN TEMULAWAK

Penyortiran( segar )
Temulawak yang akan dibuat simplisia ini disortir untuk memisahkan kotoran-kotoran
atau bahan-bahan asing, untuk memisahkan bahan yang busuk atau tidak layak serta untuk
mengurangi jumlah pengotor yang ikut terbawa dalam bahan.
Pencucian
Setelah disortir, temulawak dicuci untuk menghilangkan kotoran-kotorandan mengurangi
mikroba-mikroba yang melekat pada temulawak. Pencucian ini menggunakan air bersih seperti
air dari mata air, sumur / PAM. Pada saat pencucian perhatikan air cucian dan air biasanya, jika
masih kotor ulangi pencucian / pembilasan sekali atau dua kali lagi pencucian dilakukan pada
waktu sesingkat mungkin untuk menghindari larut dan terbuangnya zat yang terkandung dalam
bahan. Pencucian ini dilakukan dengan air bertekanan tinggi, untuk lebih meyakinkan, kotoran
pada bahan dapat dihilangkan dengan tangan.
Penirisan
Setelah temulawak dicuci kemudian ditiriskan di rak-rak pengering supaya temulawak
tidak basah.
Pengirisan
Setelah temulawak tidak basah maka bisa diiris dengan ketebalan irisan pada temulawak
adalah sebesar 7-8 mm yang dilakukan secara manual dengan pisau yang tajam dan terbuat dari
stainlees maupun mesin potong. Untuk tujuan mendapatkan minyak atsiri yang tinggi bentuk
irisan sebaiknya adalah membujur( split ). Bentuk irisanny aMelintang( slice ) untuk
mempercepat keringnya temulawak.

Tahap Penimbangan Awal


Setelah diiris, temulawak ditimbang untuk mengetahui bobot awal temulawak.
Pengeringan
Temulawak yang sudah diiris dan ditimbang dapat dikeringkan dengan sinar
matahari( tidakl angsung ). Tetapi untuk irisan temulawak yang dikeringkan dengan sinar
matahari langsung, sebelum dikeringkan terlebih dahulu irisan temulawak direndam dengan
larutan asam sitrat 3% selama 3 jam. Selesai perendaman irisan dicuci kembali sampai bersih,
ditiriskan kemudian dijemur di panas matahari. Tujuan dari perendaman adalah untuk mencegah
terjadinya degradasi kurkuminoid pada simplisia pada saat penjemuran juga mencegah
penguapan minyak atsiri yang berlebihan.
Irisan temulawak dijemur dengan menggunakan nampan yang mempunyail ubang. Pada saat
pegeringan irisan temulawak diletakkan pada nampan agak diberi jarak antara irisan yang satu
dengan yang lain agar tidak saling tumpang tindih dan cepat kering. Pengeringan dilakukan
selama 3-5 hari . Ciri waktu pengeringan sudah berakhir apabila irisan temulawak sudah dapat
dipatahkan dengan mudah atau setelah kadar airnya dibawah 8%.
Penimbangan Akhir
Setelah dikeringkan, temulawak ditimbang lagi untuk diketahui berapa penyusutan yang
telah terjadi. Maka setelah dikeringkan dan ditimbang akhirnya temulawak sudah menjadi
simplisia.
Penyortiran ( Kering )
Selanjutnya dilakukan penyortiran kering pada simplisia yang telah kering dan
ditimbang, dengan cara memisahkan bahan-bahan dari benda-benda asing seperti kerikil, tanah,
atau kotoran-kotoran lain.
Pengemasan
Setelah bersih, simplisia yang kering dikumpulkan dalam wadah kantong plastik atau
karung yang bersih dan kedap udara( belum pernah dipakai sebelumnya ). Berikan label yang
jelas pada wadah tersebut, yang menjelaskan nama simplisia, bagian dari tanaman, nomor / kode
produksi, nama / alamat penghasil, berat bersih dan metode penyimpanannya.
Penyimpanan
Simplisia yang telah dikemas, kemudian disimpan dalam gudang. Kondisi ruangan harus
dijaga agar tidak lembab dan suhu tidak melebihi 30C dan harus memiliki ventilasi baik dan
lancar, terhindar dari kontaminasi bahan lain yang menurunkan kualitas simplisia, memiliki
penerangan yang cukup ( hindari dari sinar matahari langsung ), serta bersih dan bebas dari hama
gudang.

2. Parameter Evaluasi Mutu Temulawak


Ada tiga Parameter standarisasi simplisia sebagai bahan baku yang diperlukan dalam
analisa mutu simplisia , yaitu :

231 . P ae rn a g m u je i at en r P NS e pon end s-a Si fih p ku e l su i afi nk


1. Pengujian Pendahuluan
a. Pengujian Organoleptik
Dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kekhususan bau dan rasa simplisia yang
diuji. Juga dapat diamati perubahan fisik dari simplisia temulawak yaitu dengan cara melihat
Perubahan Fisik Simplisia Temulawak.
Air merupakan komponen utama dalam bahan makanan yang mempengaruhi rupa,
tekstur maupun cita rasa bahan. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan
acceptability suatu bahan makanan kesegaran dan daya tahan suatu bahan
Rimpang temulawak segar mengandung air sekitar 75%-80%.

Sedangkan kadar air

simplisia yang diinginkan oleh industri jamu maksimal adalah 10%. Pengeringan merupakan
proses yang sangat penting dalam pembuatan simplisia.

Tujuan pengeringan adalah

menurunkan kadar air, sehingga tidak mudah ditumbuhi kapang dan bakteri, menghilangkan
aktivitas enzim yang bisa menguraikan kandungan zat aktif, memudahkan proses pengolahan

selanjutnya, sehingga dapat lebih ringkas, tahan lama dan mudah disimpan.

Proses

pengeringan selain memperpanjang umur simpan juga menentukan kualitas simplisia. Hal
yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban
udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas permukaan bahan. Selama proses
pengeringan bahan simplisia, faktor-faktor tersebut harus diperhatikan sehingga diperoleh
simplisia kering yang tidak mudah mengalami kerusakan selama penyimpanan.

Cara

pengeringan yang salah dapat mengakibatkan terjadinya face hardening yaitu bagian luar
bahan sudah kering sedangkan bagian dalamnya masih basah. Hal ini dapat disebabkan oleh
irisan bahan simplisia terlalu tebal, suhu pengeringan yang terlalu tinggi atau oleh suatu
keadaan lain yang menyebabkan penguapan air permukaan bahan jauh lebih cepat daripada
difusi air dari dalam ke permukaan tersebut, sehingga permukaan bahan menjadi keras dan
menghambat pengeringan selanjutnya.
Warna irisan rimpang temulawak kering kualitas baik adalah merah bata/merah oranye
merata. Apabila dipatahkan bekas patahan berwarna oranye cerah dan aromanya segar.
Kalau dikunyah rasanya tajam dan pahit.Dari ketiga cara pengeringan, yang memberikan
hasil tampilan fisik simplisia yang terbaik adalah cara pengeringan dengan ditutup kain hitam
yaitu warna kedua sisi irisan rimpang temulawak merah oranye.
b. Pengujian Botani (Makroskpik dan Mikroskopik)
Pengujian Makroskpik dapat dilakukan dengan menggunakan kaca pembesar atau tanpa
alat, untuk mencari kekhususan morfologi, ukuran dan warna simplisia yang diuji.
Pengujian Mikroskpik dapat dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang derajat
pembesarannya disesuaikan dengan keperluan. Simplisia yang diuji dapat berupa sayatan
maupun serbuk. Tujuannya adalah untuk mencari unsur-unsur anatomi jaringan yang khas.
Dari pengujian ini akan diketahui jenis simplisia berdasarkan fragmen pengenal yang
spesifik bagi masing-masing simplisia. Serbuk yang diperiksa adalah serbuk yang homogen
dengan derajat kehalusan 4/18 yang dipersyaratkan oleh MMI.

2. Parameter Non-Spesifik

a.

Penetapan Kadar Air ( MMI )

Tujuan dari penetapan kadar air adalah utuk mengetahui batasan maksimal atau
rentang tentang besarnya kandungan air dalam bahan. Hal ini terkait dengan kemurnian dan
adanya kontaminan dalam simplisia tersebut. Dengan demikian, penghilangan kadar air
hingga jumlah tertentu berguna untuk memperpanjang daya tahan bahan selama
penyimpanan. Simplisia dinilai cukup aman bila mempunyai kadar air kurang dari 10%.
Kandungan air yang berlebihan pada bahan / sediaan obat tradisional akan mempercepat
pertumbuhan mikroba dan juga dapat mempermudah terjadinya hidrolisa terhadap
kandungan kimianya sehingga dapat mengakibatkan penurunan mutu dari obat tradisional.
Oleh karena itu batas kandungan air pada suatu simplisia sebaiknya dicantumkan dalam
suatu uraian yang menyangkut persyaratan dari suatu simplisia. Penetapan kadar air pada
temulawak dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu:
i. Metode Titrimetri
Metode ini berdasarkan atas reaksi secara kuantitatif air dengan larutan anhidrat belerang
dioksida dan iodium dengan adanya dapar yang bereaksi dengan ion hydrogen. Kelemahan
metode ini adalah stoikiometri reaksi tidak tepat dan reprodusibilitas bergantung pada
beberapa faktor seperti kadar relatif komponen pereaksi, sifat pelarut inert yang digunakan
untuk melarutkan zat dan teknik yang digunakan pada penetapan tertentu. Metode ini juga
perlu pengamatan titik akhir titrasi yang bersifat relatif dan diperlukan sistem yang terbebas
dari kelembaban udara.
ii.

Metode Azeotropi ( Destilasi Toluena ).

Metode ini efektif untuk penetapan kadar air karena terjadi penyulingan berulang ulang
kali di dalam labu dan menggunakan pendingin balik untuk mencegah adanya penguapan
berlebih. Sistem yang digunakan tertutup dan tidak dipengaruhi oleh kelembaban ( Anonim,
1995 ).
Kadar air (V/B) = Vol. Air yang terukur / bobot awal simplisia x 100%.

iii. Metode Gravimetri.


Dengan menghitung susut pngeringan hingga tercapai bobot tetap.
b.

Penetapan Susut Pengeringan ( MMI )

Susut pengeringan adalah kadar bagian yang menguap suatu zat.kecuali dinyatakan lain ,
suhu penetapan adalah 105oC , keringkan pada suhu penetapan hingga bobot tetap. Jika suhu
lebur zat lebih rendah dari suhu penetapan, pengeringan dilakukan pada suhu antara 5 oC dan
10oC dibawah suhu leburnya selama 1 jam sampai 2 jam, kemudian pada suhu penetapan
selama waktu yang ditentukan atau hingga bobot tetap.
Susut pengeringan = (bobot awal bobot akhir) / bobot awal x 100% Untuk simplisia
yang tidak mengandung minyak atsiridan sisa pelarut organik menguap, susut pengeringan
diidentikkan dengan kadar air, yaitu kandungan air karena simplisia berada di atmoster dan
ligkungan terbuka sehingga dipengaruhi oleh kelembaban lingkungan penyimpanan.
c.

Penetapan Kadar Abu (MMI)

Penetapan kadar abu merupakan cara untuk mengetahui sisa yang tidak menguap dari
suatu simplisia pada pembakaran. Pada penetapan kadar abu total, abu dapat berasal dari
bagian jaringan tanaman sendiri atau dari pengotoran lain misalnya pasir atau tanah.
d. Penetapan Kadar Abu yang tidak larut Asam (MMI)
Ditujukan untuk mengetahui jumlah pengotoran yang berasal dari pasir atau tanah silikat.
e. Penetapan Kadar Sari yang larut dalam air (MMI)
Pengujian ini dimaksutkan untuk mengetahui jumlah senyawa yang dapat tersari dengan
air dari suatu simplisia.
f.

Penetapan Kadar Sari yang larut dalam etanol (MMI)

Pengujian ini dimaksutkan untuk mengetahui jumlah senyawa yang dapat tersari dengan
etanol dari suatu simplisia.
g.

Uji Cemaran Mikroba

Uji Aflatoksin
Uji ini bertujuan untuk mengetahui cemaran aflatoksin yang dihasilkan oleh jamur
Aspergillus flavus.
Uji Angka Lempeng Total
Untuk mengetahui jumlah mikroba/bakteri dalam sample. Batasan angka lempengan total
yang ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan yaitu 10oC FU/gram.
Uji Angka Kapang
Untuk mengetahui adanya cemaran kapang, batasan angka lempeng total yang ditetapkan
oleh Kemenkes yaitu 104 CFU/gram.
3. Parameter Spesifik ( Pengujian Secara Kimia )
Parameter ini digunakan untuk mengetahui identitas kimia dari simplisia. Uji kandungan
kimia simplisia digunakan untuk menetapkan kandungan senyawa tertentu dari simplisia.
Biasanya dilakukan dengan analisa kromatografi lapis tipis (KLT). Sebelum dilakukan KLT
perlu dilakukan preparasi dengan penyarian senyawa kimia aktif dari simplisia yang masih
kasar.
Kandungan kimia simplisia nabati pada umumnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :
minyak atsiri, karotenoid, steroid, triterpenoid, alkaloid, asam lemak, senyawa fenolik
( fenol-fenol asam fenolat, fenil propanolol, flavonoid, antrakuinon, antosianin, xanton)
asam organik, glikosida, saponin, tani, karbohidrat dan lain-lain

Simplisia yang diuji adalah simplisia tunggal yang berupa rajangan serbuk, ekstrak atau
dalam bentuk sediaan. Mula-mula serbuk simplisia disari dengan larutan penyari yang
berbeda-beda polaritasnya berturut-turut pelarut non polar, pelarut kurang polar hingga
pelarut polar.
Komposisi kimia terbesar dari rimpang temulawak adalah protein pati (48%-54%),
minyak atsiri (3%-12%), dan zat warna kuning yang disebut kurkumin.

Menurut

Rismunandar (1988), rimpang temulawak mengandung kurkumin 1,4-4%. Suwiah (1991)


mendapatkan kadar kurkumin dalam rimpang temulawak sebesar 1,93%. Kadar kurkumin
dan minyak atsiri tergantung pada umur rimpang.

Kadar kurkumin dan minyak atsiri

optimum tercapai saat rimpang berumur 10-12 bulan (Sirait, 1985). Sedangkan berdasarkan
hasil penelitian (Zahro dkk 2009), kandungan kurkumin dari pengeringan matahari pada jam
08.00-11.00 yaitu 0,82%, 0,99%, 0,64%, dan 0,89% dan dari pengeringan matahari pada jam
08.00-15.00 yaitu 0,80%, 0,89%, 0,84%, dan 0,93%. Tabel 3 menunjukkan pengaruh cara
pengeringan terhadap kandungan bahan aktif simplisia temulawak. Hasil pengkajian
menjelaskan bahwa kandungan minyak atsiri paling tinggi (5,31%) bila pengeringan
simplisia temulawak dengan cara dijemur dengan matahari tanpa dibalik, namun kandungan
kurkuminnya paling rendah (1,35%).
Kandungan kurkumin paling tinggi bila penjemuran simplisia temulawak ditutup kain
hitam (1,69%), namun kandungan minyak atsirinya paling rendah (4,40%). Sedangkan cara
pengeringan dengan cara penjemuran dengan matahari dan dibalik 1 x sehari memiliki
kandungan xanthorrizol paling tinggi (0,16%).

Secara umum hasil pengkajian ini

menunjukkan bahwa kandungan kurkumin simplisia temulawak yang dihasilkan lebih tinggi
daripada kandungan kurkumin temulawak hasil pengkajian Zahro dkk (2009).

3. Pengujian Variabel Ekstraksi


Beberapa faktor yang berpengaruh dalam operasi ekstraksi adalah sebagai berikut :
a. Penyiapan bahan sebelum ekstraksi
Untuk memudahkan proses ekstraksi perlu dilakukan penyiapan bahan baku yang
meliputi pengeringan bahan dan penggilingan. Sebelum di ekstraksi bahan harus dikeringkan

dahulu untuk mengurangi kadar airnya dan disimpan pada tempat yang kering agar terjaga
kelembabannya. Dengan pengeringan yang sempurna akan dihasilkan ekstrak kurkuminoid
yang memiliki kemurnian yang tinggi.
b. Ukuran partikel
Operasi ekstraksi akan berlangsung dengan baik bila diameter partikel diperkecil.
Pengecilan ukuran ini akan memperluas bidang kontak antara temulawak dengan pelarut,
sehingga produk ekstrak yang diperoleh pun akan semakin besar. Menurut Heath dan
Reineocius (1986), semakin kecil ukuran bahan yang digunakan maka semakin luas bidang
kontak antara bahan dengan pelarut dan semakin besar kecepatan mencapai kesetimbangan
system. Jaringan bahan/simplisia dapat mempengaruhi efektivitas ekstraksi. Ukuran bahan
yang sesuai akan menjadikan proses ekstraksi berlangsung dengan baik dan tidak memakan
waktu yang lama.
c. Waktu ekstraksi
Waktu ekstraksi merupakan
hal yang berpengaruh dalam
ekstraksi kurkuminoid
temulawak ini. Semakin lama
waktu ekstraksi maka semakin
banyak pula kurkuminoid yang
didapat. Namun dalam jangka
waktu tertentu maka hasil
ekstrak yang didapat akan
cenderung menurun. Hal ini
kemungkinan terjadi karena larutan telah mencapai titik jenuh (Suryandari, 1981).
d. Pelarut
Dalam pemilihan jenis pelarut faktor yang perlu diperhatikan antara lain adalah daya
melarutkan kurkuminoid, titik didih, sifat racun, mudah tidaknya terbakar dan pengaruh terhadap
alat peralatan ekstraksi (Gamse, 2002).

e. Suhu ekstraksi
Semakin tinggi suhu maka
jumlah kurkuminoid yang
terekstrak pun semakin banyak.

4. Teknologi Ekstrak
Salah satu tahapan penting dalam memproduksi ekstrak tanaman obat adalah proses
ekstraksi. Secara umum ekstraksi didefenisikan sebagai proses pemisahan dan isolasi zat dari
suatu zat dengan penambahan pelarut tertentu untuk mengeluarkan komponen campuran dari
zat padat atau zat cair. Dalam hal ini fraksi padat yang diinginkan bersifat larut dalam pelarut
(solvent), sedangkan fraksi padat lainnya tidak dapat larut. Proses tersebut akan menjadi
sempurna jika solute dipisahkan dari pelarutnya, misalnya dengan cara destilasi/penguapan
(Jeffery et al. 1989).
Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang akan diekstrak. Mutu ekstrak
dipengaruhi oleh teknik ekstraksi, kehalusan bahan, jenis pelarut, lama ekstraksi, konsentrasi
pelarut, proses penguapan pelarut, pemurnian, dan pengeringan (Bombadelli 1991 ;
Vijesekera 1991). Pemilihan metode ekstraksi yang tepat tergantung pada tekstur dan
kandungan air dalam bahan yang diekstraksi dan jenis senyawa yang diisolasi (Harborne
1996).
Ada 2 jenis metode ekstrasi pada Simplisia Temulawak:
1.

Metode Ekstraksi Kesetimbangan


Farmakope Herbal Indonesia (2008) menyebutkan bahwa ekstraksi temulawak dengan

refluks kurang praktis dan efisien karena membutuhkan peralatan khusus, waktu yang relatif
lebih lama, energi, dan bahan kimia yang cukup banyak. Oleh karena itu, diperlukan
alternatif ekstraksi yang lebih sederhana, cepat, efisien, dan tidak mahal, namun tetap
memenuhi kaidah-kaidah analisis.

Ekstraksi secara sonikasi sangat tepat diterapkan pada analisa dalam jumlah massif
dengan waktu yang terbatas. Sedangkan maserasi merupakan cara yang sangat sederhana dan
tidak membutuhkan peralatan khusus sehingga dapat diterapkan di semua laboratorium.
Selain itu, maserasi mungkin akan memberi hasil yang lebih baik karena akan mengurangi
terjadinya dekomposisi atau degradasi komponen karena pengaruh suhu (Sidik 1992).
Maserasi adalah pencampuran bahan berupa tepung temulawak dengan cara merendam
bahan dengan pelarut (Anonimd, 2009). Prinsip maserasi adalah pengambilan zat aktif yang
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai selama
tiga hari pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, cairan penyari akan masuk ke dalam
sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara
larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak
keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi).
Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di
luar sel dan di dalam sel. Selama proses maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian
cairan penyari setiap hari. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan
(Sembiring dkk, 2006).
Pemilihan pelarut merupakan factor yang menentukan dalam ekstraksi. Pelarut yang
digunakan dalam ekstraksi harus dapta menarik komponen aktif dari campuran. Hal-hal
penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas sifat pelarut,
kemampuan untuk mengekstraksi, tidak bersifat racun, mudah diuapkan, dan harganya
relative lebih murah (Gamse 2002).
Ekstraksi dapat dilakukan menggunakan pelarut dengan polaritas yang berbeda untuk
memperoleh komponen terlarut pada kisaran yang luas (Cowan 1999). Sifat komponen yang
akan diekstrak bergantung pada polaritas, termostabilitas dan pH. Sifat pelarut yang akan
digunakan bergantung pada polaritas, toksisitas, kemudahan terbakar, reaktivitas,
ketersediaan dan harga. Karakteristik pelarut yang dapat digunakan pada ekstraksi temulawak
(Tabel 1).
Pelarut
Etanol
Aceton
Asam asetat

Tabel 1. Karakterisitik pelarut etanol, aceton dan asam asetat


Td (oC)
Kelarutan dalam Indeks polaritas
Viskositas (cP)
air (%)
78
100
5,2
1,20
56,29
100
5,1
0,32
118,1
100
6,2
1,26

2.

Metode Ekstraksi Exhaustive

Metode Ekstraksi exhaustive pada temulawak dapat menggunakan 2 jenis metode yaitu:
2.1 Metode perkolasi
Metode ini menggunakan pelarut segar untuk mengekstrak sampel. Pelarut tersebut dialirkan
melalui alat yang disebut perkolator. Pelarut bersentuhan dengan sampel secara kontinu sehingga
metode ini membutuhkan pelarut yang sangat banyak. Namun, kecepatan alir bahan pada
perlakuan ini diatur sedemikian rupa agar pelarut sebanyak 100 ml habis digunakan sesuai
dengan waktu yang ditentukan. Semakin lama waktu ekstraksi maka kecepatan alir pelarut
semakin kecil dan kontak dengan bahan menjadi lebih lama. Kecepatan alir yang terlalu tinggi
dapat mengakibatkan tercucinya pelarut sebelum sampai ke dalam sel bahan. Caranya yaitu:
Rimpang (temulawak dibersihkan dan dikeringkan kemudian dijadikan serbuk dan
diayak. Serbuk yang telah diayak dibasahi dengan 2,5 sampai 5 bagian etanol 95%
lalu dimasukkan dalam bejana tertutup dan diamkan selama 3 jam.
Pindahkan masa sedikit demi sedikit ke dalam perkolator sambil ditekan perlahanlahan. Tambahkan larutan etanol 95% secukupnya sampai cairan mulai menetes dan
di atas serbuk masih terdapat selapis larutan etanol.
Tutup perkolator, diamkan selama 24 jam. Biarkan cairan filtrat menetes dengan
kecepatan I ml/menit. Tambahkan berulang-ulang etanol 95% secukupnya sampai
selalu terdapat selapis etanol di atas permukaan simplisia.
Tampung 80% filtrat pertama dan pisahkan. Lalu perkolasi dilanjutkan sampai
dicapatitik akhir perkolasi yaitu penguapan 50 mg filtrat yang tidak meninggalkan
sisa. Filtrat yang didapatkan sampai 20%.
Campurkan 80% filtrat pertama dengan 20% filtrat sisa dan divapkan dalam oven
pada suhu 35-40 sampai terdapat ekstrak kental. Didapatkan 60% dari berat serbuk
kering.
2.2 Metode Soxhletasi
Metode menggunakan alat soxhlet merupakan ekstraksi secara berkesinambungan dengan
menggunakan pelarut yang murni. Keuntungan metode ini yaitu pelarut yang diperlukan lebih
sedikit, secara langsung diperoleh hasil yang lebih pekat, bahan yang dilarutkan oleh pelarut

yang murni, ekstraksi dapat diteruskan sesuai dengan keperluan tanpa menambah volume
pelarut. Namun kerugian dari Metode ini yaitu waktu yang dibutuhkan untuk mengekstraksi
cukup lama sampai beberapa jam sehingga kebutuhan energinya (listrik) tinggi, pelarut
dipanaskan terus-menerus sehingga kurang cocok untuk zat aktif yang tidak tahan panas, pelarut
yang digunakan harus murni.
Pada ekstraksi soxhlet bahan yang akan diekstraksi diletakkan dalam sebuah wadah (kertas
saring) dibagian dalam alat ekstraksi Kemudian dimasukkan Kedalam timbal (wadah

Untuk

sampel yang ingin diambil zatnya). Kemudian timbal yang berisi bahan yang akan diekstraksi
diletakkan diantara labu leher tiga dan pendingin bola. Labu tersebut berisi bahan pelarut yang
menguap

dan

mencapai

kedalam

pendingin

bola

melalui

pipa,

berkondensasi

di

dalamnya,menetes keatas bahan yang diekstraksi dan menarik keluar bahan yang diekstraksi.
Larutan berkumpul didalam tabung refluks dan apabila sudah memenuhi tinggi maksimal secara
otomatis akan mengalir ke labu leher tiga dan dihitung 1 refluks. Caranya yaitu:
Serbuk temulawak ditimbang seberat 2,5 gram, dimasukkan ke dalam kertas saring yang
telah dibentuk silinder dan ditutup salah satu ujungnya dan diberi kapas.
Silender yang telah diisi dimasukkan ke dalam alat soxhlet dan diatasnya diberi
pemberat.
Labu didih soxhlet diiisi dengan 50 mL pelarut (methanol 96%) dan diberi 3 buah batu
didih, kemudian soxhlet dipasang secara lengkap dan ditempatkan di atas penangas air
yang telah terisi air mendidih (perhatikan aliran kondensor).
Sokletasi dibiarkan berlangsung selama 2 jam.
Setelah itu ekstraksi dihentikan. Ekstrak dalam labu diuapkan dengan rotavapor atau
dalam pinggan porselin di atas penangas, sampai volume menjadi 10 mL
Ekstrak pekat dimasukkan ke dalam botol kecil yang sudah ditimbang.
Penguapan dilanjutkan dalam botol, dengan bantuan gas nitrogen atau dengan oven
hingga kering lalu ditimbang.

Daftar Pustaka
Sembiring, B.B. Mamun dan Edi I.G. 2006. Pengaruh Kehalusan Bahan dan Lama
Ekstraksi terhadap Mutu Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Balai
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor.
Retno Endrasari, Qanytah dan Bambang Prayudi, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Jawa Tengah ,pdf
PENGARUH KEHALUSAN BAHAN DAN LAMA EKSTRAKSI TERHADAP MUTU
EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorriza Roxb). Bagem Br. Sembiring, Mamun
dan Edi Imanuel Ginting. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
PENGARUH SUHU EKSTRAKSI TERHADAP KANDUNGAN KURKUMINOID DAN AIR
SERBUK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza). Budi Nugroho, Daniel Panghibutan
Malau, Fendy Rokhmanto, Nur Laili.PDII-LIPI
EKSTRAKSI SENYAWA KURKUMIN DAN RIMPANG TEMULAWAK DENGAN METODE
MASERASI, Syarifah Aini, Departemen Teknologi Industri Pertanian, IPB, Bogor
Suwiyah. 1991. Pengaruh Perlakuan Bahan dan Jenis Pelarut yang Digunakan Pada
Pembuatan Temulawak Instant (Curcuma xanthorriza Roxb) Terhadap Rendemen dan
Mutunya. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Oktaviana, Prima Riska. 2010. Kajian Kadar Kurkuminoid, Total fenol dan Aktivitas
Antioksidan Ekstrak Temulawak pada berbagai Tekhnik Pengeringan dan Proporsi
Pelarutan. {PDF}. page 25
Balittro. 2005. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb). Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat. Bogor
Anonim. PembuatanSimplisia Temulawak.2012/09/simplisia-temulawak.html.

Anonim. PanenTemulawak. http://agromaret.com/artikel/877/panen_temulawak


BU ENTANG PENGELOLAAN TANAMAN OBAT.pdf

Anda mungkin juga menyukai