Test Pendengaran
Test Pendengaran
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Telinga merupakan organ yang penting bagi kehidupan manusia. Fungsi
telinga sebagai indra pendengaran mutlak membantu proses komunikasi, proses
belajar pada anak-anak terutama, bahkan ada profesi yang membutuhkan kejelian
indra pendengaran dalam menerima suara.
Dalam fungsinya sebagai indra pendengaran, terkadang mengalami gangguan
atau penurunan fungsi, dapat diakibatkan oleh adanya gangguan hantaran udara dan
atau tulang, trauma, ataupun karena proses usia. Untuk itu, kita dapat melakukan
pemeriksaan tes fungsi pendengaran.
Ada beberapa macam test fungsi pendengaran yang lazim dilakukan. Dimulai
dari tes yang masih sederhana yakni Tes dengan Penala meliputi Tes Rinne,
Webber, dan Swabach. Tes Berbisik, lebih canggih lagi dengan tes audiometri, dan
kini sudah kita kenal tes BERA yang merupakan tes neurologik untuk fungsi
pendengaran batang otak terhadap rangsangan suara.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam referat ini adalah tes apa
saja yang digunakan untuk menilai fungsi pendengaran?
C. TUJUAN
Dari rumusan masalah diatas, penulis mempunyai tujuan untuk dapat
mengetahui dan mengerti jenis-jenis tes yang digunakan untuk menilai fungsi
pendengaran.
D. MANFAAT PENULISAN
Dari penulisan referat ini diharapkan tercapai manfaat :
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI PENDENGARAN
A. ANATOMI TELINGA
1. Anatomi Telinga Luar
Telinga luar, yang terdiri dari aurikula (atau pinna) dan kanalis auditorius
eksternus, dipisahkan dari telinga tengah oleh struktur seperti cakram yang
dinamakan membrana timpani. 1
Telinga terletak pada kedua sisi kepala kurang lebih setinggi mata. Aurikulus
melekat ke sisi kepala oleh kulit dan tersusun terutama oleh kartilago, kecuali
lemak dan jaringan bawah kulit pada lobus telinga. Aurikulus membantu
pengumpulan gelombang suara dan perjalanannya sepanjang kanalis auditorius
eksternus. Tepat di depan meatus auditorius eksternus adalah sendi temporal
mandibular. Kaput mandibula dapat dirasakan dengan meletakkan ujung jari di
meatus auditorius eksternus ketika membuka dan menutup mulut. Kanalis
auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga lateral
mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat di mana kulit terlekat. Dua pertiga
medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis. Kanalis auditorius eksternus
berakhir pada membrana timpani. Kulit dalam kanal mengandung kelenjar khusus,
glandula seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin yang disebut serumen.
Mekanisme pembersihan diri telinga mendorong sel kulit tua dan serumen ke
bagian luar telinga. Serumen nampaknya mempunyai sifat antibakteri dan
memberikan perlindungan bagi kulit. 2
: membran timpani
Batas depan
: tuba eustachius
Batas bawah
Batas belakang
Batas atas
Batas dalam
horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round
window), dan promontorium. 3
Dinding superior telinga tengah berbatasan dengan lantai fossa kranii media.
Pada dinding bagian atas dinding posterior terdapat auditus ad antrum tulang
mastoid dan dibawahnya adalah saraf fasialis. Otot stapedius timbul pada daerah
saraf fasialis dan tendonnya menembus melalui suatu piramid tulang menuju ke
leher stapes. Saraf korda timpani timbul dari saraf fasialis di bawah stapedius dan
berjalan ke lateral depan menuju inkus tetapi di medial maleus, untuk keluar dari
telinga tengah lewat sutura petrotimpanika. Korda timpani kemudian bergabung
dengan saraf lingualis dan menghantarkan serabut-serabut sekretomotorik ke
ganglion submandibularis dan serabut-serabut pengecap dari duapertiga anterior
lidah. 1,2
Dasar telinga tengah adalah atap bulbus jugularis yang berada di sebelah
superolateral menjadi sinus sigmoideus dan lebih ke tengah menjadi sinus
transversus. Keduanya adalah aliran vena utama rongga tengkorak. Cabang
aurikularis saraf vagus masuk ke telinga tengah dari dasarnya. Bagian bawah
dinding anterior adalah kanalis karotikus. Di atas kanalis tersebut, muara tuba
eustakius dan otot tensor timpani yang menempati daerah superior tuba kemudian
membalik, melingkari prosesus cochleariformis dan berinsersi pada leher maleus.1,2
Dinding lateral dari telinga tengah adalah tulang epitimpanum di bagian atas,
membrana timpani, dan dinding tulang hipotimpanum di bagian bawah. Bangunan
yang paling menonjol pada dinding medial adalah promontorium yang menutup
lingkaran cochlea yang pertama. Saraf timpanikus berjalan melintas promontorium.
Kanalis falopii bertulang yang dilalui saraf fasialis terletak di atas fenestra ovalis
mulai dari prosesus cochleariformis di anterior hingga piramid stapedius di
posterior. 1,2
5
Membrana Timpani
Membrana timpani adalah suatu bangunan berbentuk kerucut dengan
puncaknya, umbo, mengarah ke medial. Membrana timpani umumnya bulat.
Penting untuk disadari bahwa bagian dari rongga telinga tengah yaitu epitimpanum
yang mengandung korpus maleus dan inkus, meluas melampaui batas atas
membrana timpani, dan bahwa ada bagian hipotimpanum yang meluas melampaui
batas bawah membrana timpani. Membrana timpani tersusun oleh suatu lapisan
epidermis di bagian luar, lapisan fibrosa di bagian tengah di mana tangkai maleus
dilekatkan dan lapisan mukosa bagian dalam lapisan fibrosa tidak terdapat diatas
prosesus lateralis maleus dan ini menyebabkan bagian membrana timpani yang
disebut membrana Shrapnell menjadi lemas (flaksid). 1,2,3
Tuba Eustachius
Tuba eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring.
Bagian lateral tuba eustakius adalah bagian yang bertulang. Sementara duapertiga
bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani terletak di sebelah
6
untuk
B. FISIOLOGI PENDENGARAN
Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang suara
adalah getaran udara yang merambat dari daerah daerah bertekanan tinggi karena
kompresi (pemadatan) molekul molekul udara yang berselang seling dengan
daerah daerah bertekanan rendah karena penjarangan (rafaction) molekul
tersebut. 3
Suara ditandai oleh nada, intensitas, dan timbre. Nada suatu suara ditentukan
oleh frekuensi getaran. Semakin tinggi frekuensi maka semakin tinggi nada.
Telinga manusia dapat mendeteksi gelombang suara dengan frekuensi dari 20
20000 siklus per detik, tetapi paling peka terhadap frekuensi antara 1000 4000
siklus per detik. Intensitas atau kepekaan suatu suara bergantung pada amplitude
gelombang suara, atau perbedaan tekanan antara daerah pemampatan yang
bertekanan tinggi dan daerah penjarangan yang bertekanan rendah. 3
BAB III
PEMBAHASAN
TEST PENDENGARAN
A. TEST PENALA
Satu perangkat penala yang memberikan skala pendengaran dari frekuensi
rendah hingga tinggi akan memudahkan survei kepekaan pendengaran. Perangkat
yang lazim mengambil beberapa sampel nada C dari skala musik, yaitu 128, 256,
512, 1024, 2048, 4096 dan 8192 Hz. Hz adalah singkatan dari Hertz yang
merupakan istilah kontemporer dari siklus per detik sebagai satuan frekuensi.
Semakin tinggi frekuensi, makin tinggi pula nadanya. Dengan membatasi survei
pada frekuensi bicara, maka frekuensi 512,1024, 2048 sudah memadai. 2
1. Test Rinne
Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan atara hantaran
tulang (HT) dengan hantaran udara (HU) pada satu telinga pasien. 1,2
Ada 2 macam tes rinne , yaitu :
a. Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya
tegak lurus pada planum mastoid pasien (belakang meatus akustikus
eksternus). Setelah pasien tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala kita
pindahkan didepan meatus akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif jika
pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien
tidak dapat mendengarnya.
b. Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya
secara tegak lurus pada planum mastoid pasien. Segera pindahkan garputala
didepan meatus akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah
bunyi garputala didepan meatus akustikus eksternus lebih keras dari pada
dibelakang meatus skustikus eksternus (planum mastoid). Tes rinne positif jika
pasien mendengar didepan maetus akustikus eksternus lebih keras. Sebaliknya
tes rinne negatif jika pasien mendengar didepan meatus akustikus eksternus
lebih lemah atau lebih keras dibelakang.
11
Tabel 3.1
Hasil Uji Rinne, Macam gangguan Pendengaran dan
Lokasi Gangguan Telinga
Negatif HU < HT
Status Pendengaran
Normal
atau
Lokus
sensorineural
retrokoklearis
Gangguan konduksi
Kesalahan pemeriksaan pada tes rinne dapat terjadi baik berasal dari
pemeriksa maupun pasien. Kesalahan dari pemeriksa misalnya meletakkan
garputala tidak tegak lurus, tangkai garputala mengenai rambut pasien dan kaki
garputala mengenai aurikula pasien. 2
Kesalahan dari pasien misalnya pasien lambat memberikan isyarat bahwa ia
sudah tidak mendengar bunyi garputala saat kita menempatkan garputala di
planum mastoid pasien. Akibatnya getaran kedua kaki garputala sudah berhenti
saat kita memindahkan garputala kedepan meatus akustukus eksternus. Juga bisa
karena jaringan lemak planum mastoid pasien tebal. 2
2.
Test Weber
Tujuan tes weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara
kedua telinga pasien. Cara kita melakukan tes weber yaitu: membunyikan
garputala 512 Hz lalu tangkainya kita letakkan tegak lurus pada garis horizontal.
Menurut pasien, telinga mana yang mendengar atau mendengar lebih keras. Jika
telinga pasien mendengar atau mendengar lebih keras 1 telinga maka terjadi
lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua pasien sama-sama tidak mendengar
atau sama-sama mendengar maka berarti tidak ada lateralisasi. 1
Getaran melalui tulang akan dialirkan ke segala arah oleh tengkorak,
sehingga akan terdengar diseluruh bagian kepala. Pada keadaan ptologis pada
MAE atau cavum timpani misal : otitis media purulenta pada telinga kanan. Juga
adanya cairan atau pus di dalam cavum timpani ini akan bergetar, bila ada bunyi
segala getaran akan didengarkan di sebelah kanan. 2
12
3.
Test Swabach
Membandingkan daya transport melalui tulang mastoid antara pemeriksa
Gambar 3.2
Test Swabach
Contoh :
Seorang dengan kurang pendengaran pada telinga kanan:
Hasil tes penala :
UJI
Rinne
TELINGA KANAN
Negative
Positif
Lateralisasi kekanan
Weber
Schwabach
TELINGA KIRI
Memanjang
Tabel 3.2
Kesimpulan hasil tes penala
TEST
RINNE
Positif
Negative
Positif
Catatan
WEBER
Tidak ada lateralisasi
Lateralisasi ke telinga yang
sakit
Lateralisasi ke telinga yang
sehat
SCHWABACH
DIAGNOSIS
Normal
Memanjang
Tuli konduktif
Memendek
Tuli sensorineural
14
B. TES BERBISIK
Pemeriksaan ini bersifat semi-kuantitatif, menentukan derajat ketulian secara
kasar. Hal ini yang diperlukan adalah ruangan yang cukup tenang, dengan panjang
minimal 6 meter. Pada nilai normal tes berbisik : 5/6-6/6.
Normal : 6-8 m
C. AUDIOMETRI
Ketajaman pendengaran sering diukur dengan suatu audiometri. Alat ini
menghasilkan nada-nada murni dengan frekuensi melalui earphone. Pada setiap
frekuensi ditentukan intensitas ambang dan diplotkan pada sebuah grafik sebagai
presentasi dari pendengaran normal. Hal ini menghasilkan pengukuran obyektif
derajat ketulian dan gambaran mengenai rentang nada yang paling terpengaruh. 1
Audiometri berasal dari kata audir dan metrios yang berarti mendengar dan
mengukur (uji pendengaran). Audiometri tidak saja dipergunakan untuk mengukur
ketajaman pendengaran, tetapi juga dapat dipergunakan untuk menentukan
lokalisasi kerusakan anatomis yang menimbulkan gangguan pendengaran. 1
15
diperlukan
bagi
seseorang
yang merasa
memiliki
gangguan
pendengeran atau seseorang yang akan bekerja pada suatu bidang yang
memerlukan ketajaman pendengaran. 1
Dalam mendeteksi kehilangan pendengaran, audiometer adalah satusatunya instrumen diagnostik yang paling penting. Uji audiometri ada dua macam:
(1) audiometri nada-murni, di mana stimulus suara terdiri atas nada murni atau
musik (semakin keras nada sebelum pasien bisa mendengar berarti semakin besar
kehilangan pendengarannya), dan (2) audiometri wicara di mana kata yang
diucapkan digunakan untuk menentukan kemampuan mendengar dan membedakan
suara. 1
Ahli audiologi melakukan uji dan pasien mengenakan earphone dan sinyal
mengenai nada yang didengarkan. Ketika nada dipakai secara langsung pada
meatus kanalis auditorius eksternus, kita mengukur konduksi udara. 1
Bila stimulus diberikan pada tulang mastoid, melintas mekanisme konduksi
(osikulus), langsung menguji konduksi saraf. Agar hasilnya akurat, evaluasi
audiometri dilakukan di ruangan yang kedap suara. Respons yang dihasil-kan
diplot pada grafik yang dinamakan audiogram. 1,2
Frekuensi
Merujuk pada jumlah gelombang suara yang dihasilkan oleh sumber bunyi
per detik siklus perdetik atau hertz (Hz). Telinga manusia normal mampu
mendengar suara dengan kisaran frekwensi dari 20 sampai 20.000Hz. 500 sampai
2000 Hz yang paling penting untuk memahami percakapan sehari-hari yang dikenal
sebagai kisaran wicara. 1
Nada adalah istilah untuk menggambarkan frekuensi; nada dengan
frekwensi 100 Hz dianggap sebagai nada rendah, dan nada 10.000 Hz dianggap
sebagai nada tinggi. Unit untuk mengukur kerasnya bunyi (intensitas suara) adalah
desibel (dB), tekanan yang ditimbulkan oleh suara. Kehilangan pendengaran diukur
16
dalam desibel, yang merupakan fungsi logaritma intensitas dan tidak bisa dengan
mudah dikonversikan ke persentase. Ambang kritis kekerasan adalah sekitas 30 dB.
Beberapa contoh intensitas suara yang biasa termasuk gesekan kertas dalam
lingkungan yang sunyi, terjadi pada sekitar 15 dB; per kapan rendah, 40 dB; dan
kapal terbang jet sejauh kaki, tercatat sekitar 150 dB. 1
Tabel 3.3
Klasifikasi kehilangan pendengaran
Kehilangan
(Desibel)
0-15
Klasifikasi
Pendengaran normal
>15-25
>25-40
>40-55
>55-70
>70-90
>90
17
paling umum digunakan untuk menilai respon yang dibangkitkan oleh rangsangan
suara. Administrasi dan pelaksanaan tes ini biasanya oleh para ahli audiologi. 5
Indikasi BERA :
Berbagai kondisi yang dianjurkan untuk pemeriksaan BERA antara lain bayi baru
lahir untuk mengantisipasi gangguan perkembangan bicara/bahasa. Jika ada anak yang
mengalami gangguan atau lambat dalam berbicara, mungkin salah satu sebabnya karena
anak tersebut tidak mampu menerima rangsangan suara karena adanya gangguan di
telinga.6
BERA juga dapat dimanfaatkan untuk menentukan sumber gangguan pendengaran
apakah di cochlea atau retro choclearis, mengevaluasi brainstem (batang otak), serta
menentukan apakah gangguan pendengaran disebabkan karena psikologis atau fisik.
Pemeriksaan ini relatif aman, tidak nyeri, dan tidak ada efek samping, sehingga bisa juga
dimanfaatkan untuk Screening Medical Check Up.7
BERA mengarah pada pembangkitan potensial yang ditimbulkan dengan suara
singkat atau nada khusus yang ditransmisikan dari transduser akustik dengan
menggunakan earphone atau headphone (headset). Bentuk gelombang yang ditimbulkan
dari respon tersebut dinilai dengan menggunakan elektrode permukaan yang biasannya
diletakkan pada bagian vertex kulit kepala dan pada lobus telinga. Pencatatan rata-rata
grafiknya diambil berdasarkan panjang gelombang/amplitudo (microvoltage) dalam waktu
(millisecond), mirip dengan EEG. Puncak dari gelombang yang timbul ditandai dengan IVII. Bentuk gelombang tersebut normalnya muncul dalam periode waktu 10 millisecond
setelah rangsangan suara (click) pada intensitas tinggi (70-90 dB tingkat pendengaran
normal/normal hearing level [nHL]).5
Meskipun BERA memberikan informasi mengenai fungsi dan sensitivitas
pendengaran, namun tidak merupakan pengganti untuk evaluasi pendengaran formal, dan
hasil yang didapat harus dapat dihubungkan dengan hasil audiometri yang biasa
digunakan, jika tersedia.5
Fisiologi
19
Brainstem
rangsangan suara klik yang menghasilkan respon dari regio basilar cochlea. Sinyalnya
berjalan melalui jalur pendengaran/auditori pathway dari kompleks inti cochlear,
proksimal ke colliculus inferior. Gelombang BERA I dan II berkaitan dengan potensial
aksi yang benar. Gelombang selanjutnya mungkin menggambarkan aktivitas postsinaptik
pada pusat auditori batang otak utama secara bersamaan menimbulkan bentuk gelombang
puncak dan palung. Puncak positif dari bentuk gelombang menunjukkan aktivitas aferen
kombinasi (dan kemungkinan juga eferen) dari jalur axonal pada batang otak auditory.5
Reaksi yang timbul sepanjang jaras-jaras saraf pendengaran dapat dideteksi
berdasarkan waktu yang dibutuhkan (satuan milidetik) mulai dari saat pemberian impuls
sampai menimbulkan reaksi dalam bentuk gelombang. Gelombang yang terjadi sebenarnya
ada 7 buah, namun yang penting dicatat adalah gelombang I, III, dan V.5
20
Gelombang II: gelombang BERA II ditimbulkan oleh nervus VIII proksimal saat
memasuki batang otak.
Gelombang III: gelombang BERA III muncul dari aktivitas aktivitias saraf urutan kedua
arises from (diluar CN VIII) di dalam atau di dekat nukleus cochlearis. Literatur
menyatakan bahwa gelombang III ditimbulkan pada bagian caudal dari pons auditori.
Nukleus cochlearis mengandung hampir 100.000 neuron, kebanykan dipersarafi oleh
sembilan serabut saraf.
Gelombang IV: gelombang BERA IV, yang sering memiliki puncak yang sama dengan
gelombang V, diperkirakan muncul dari neuron urutan ketiga pontine yang kebanyakan
terletak pada kompleks olivary superior, tetapi kontribusi tambahan untuk terbentuknya
gelombang IV dapat datang dari nukleus cochlearis dan nukleus dari lemniskus lateral.
Gelombang V: pembentukan gelombang V kemungkinan merupakan dari aktivitas dari
struktur auditori anatomik multipel. Gelombang BERA V merupakan komponen yang
paling sering di analisa pada aplikasi klinis BERA. Meskipun terdapat beberapa database
mengenai hal yang tepat dalam pembentukan gelombang V, gelombang V dipercaya
berasal dari sekitar colliculus inferior. Aktivitas neuron urutan kedua mungkin secara
sekunder mempengaruhi beberapa hal dalam pembentukan gelombang V. Colliculus
inferior merupakan sebuah struktur yang komplex, dengan lebih dari 99% akson dari regio
auditori batang otak bawah melewati lemniskus lateral ke colliculus inferior.
Gelombang VI dan VII: Gelombang VI dan VII dianggap berasal dari thalamus (medial
geniculate body), tetapi tempat pembentukan sebenarnya masih diragukan.5
Aplikasi
Identifikasi Patologi Retrocochlear
Brainstem Evoke Response Audiometri (BERA) dipertimbangkan sebagai alat
screening yang efektif dalam mengevaluasi audiometry kecurigaan patologi retrocochlear
seperti acoustic neuroma atau vestibular schwannoma. Meskipun demikian, gambaran
BERA yang abnormal yang menyarankan adanya patologi retrocochlear memiliki indikasi
untuk perlu dilakukannya pemeriksaan MRI pada cerebellopontine. 5
21
Tinnitus unilateral
Tingkat mengenali kata-kata yang buruk secara unilateral atau bilateral yang
dibandingkan dengan derajat kehilangan pendengaran sensorineural
Latensi absolut dan latensi interval antar puncak gelombang I-III, I-V, III-V
memanjang dibandingkan dengan data normatif
Tidak adanya respon auditori batang otak pada telinga yang dilakukan
pemeriksaan.5
Secara umum, pemeriksaan BERA menujukkan sensitivitas lebih dari 90% dan spesifisitas
mendekati 70-90%.5
22
Sensitivitas untuk tumor kecil tidak sebesar nilai tersebut diatas. Karena alasan
tersebut, pasien-pasien yang asimptomatik dengan hasil pemeriksaan BERA normal
sebaiknya menjalani audiogram dalam 6 bulan untuk memonitor perubahan yang terjadi
terhadap sensitivitas pendengaran atau tinnitus. Pemeriksaan BERA dapat diulangi jika
terdapat indikasi. Sebagai alternatif lain, MRI yang diperkuat dengan gadolinium, dimana
telah menjadi patokan standard, dapat digunakan untuk mengidentifikasi vestibular
schwannoma yang sangat kecil (3-mm).5
Aplikasi lainnya dari BERA.
Aplikasi lain dari BERA terus dikembangkan. Penelitian yang baru-baru ini
dilakukan menunjukkan bahwa meskipun latensi gelombang BERA keseluruhan masih
dalam batas normal pada pasien dengan tinnitus, pasien-pasien tersebut memiliki latensi
yang lebih panjang dari pada pasien-pasien kontrol tanpa tinnitus. Hal tersebut
menunjukkan bahwa BERA dapat berguna dalam memonitor dan memahami
tinnitus. BERA juga telah digunakan untuk mengetahui prognostik pasien-pasien koma.
Penelitian menemukan bahwa pasien-pasien dengan GCS (Glasgow coma scale) 3 dan
yang memiliki hasil pemeriksaan BERA secara signifikan abnormal memiliki
kemungkinan yang lebih besar terhadap kematian dari pada yang memiliki hasil
pemeriksaan BERA normal.5,7
23
BAB IV
KESIMPULAN
WEBER
Positif
Normal
Memanjang
Tuli konduktif
Memendek
Tuli sensorineural
sakit
Lateralisasi ke telinga yang
Positif
sehat
Pada tuli konduktif < 30
dB, Rinne bisa masih
positif
Catatan
2.
Negative
DIAGNOSIS
SCHWABACH
Tes Berbisik.
Penilaian untuk Tes Berbisik menurut Feldmann adalah sebagai berikut :
Normal : 6-8 m
3. Audiometri, dan
Hasil pemeriksaan audiometri (kehilangan pendengaran)
Kehilangan (Desibel)
0-15
Klasifikasi
Pendengaran normal
>15-25
>25-40
24
>40-55
>55-70
>70-90
>90
25
DAFTAR PUSTAKA
1.
Soepardi, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher. Edisi 6. Penerbit FKUI Jakarta, 2011.
2.
Boies, Adam. Buku Ajar Penyakit THT edisi 6 cetakan VI. Penerbit Buku Kedokteran
EGC : 2010.
3. Guyton,AC, Hall,JE, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 1997, editor: irawati setiawan,
ed. 9, 1997, Jakarta: EGC
4. Pearce, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Gramedia, Jakarta,2004
5. Bhattacharyya, Neil, Auditory Brainstem Response Audiometry, dikutp dari situs:
http://emedicine.medscape.com, 2009
6. Dr. Wijana, Sp.THT, Apakah Bayiku Tuli?, dikutip dari situs: http://pr.qiandra.net.id,
2010
7. Dr. T. Balasubramanian M.S. D.L.O,
BERA, dikutip dari situs:
http://www.drtbalu.co.in/bera.html, 2008
26