Anda di halaman 1dari 10

POTENSI DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN NILAM DI

PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM


Abdullah Puteh
Gubernur Provinsi Nangroe Aceh Darussalam
ABSTRAK
Tanaman nilam pernah mengalami
kejayaan di Provinsi NAD sejak tahun 1921.
Nilam Aceh (Pogostemon cablin) terkenal
diseluruh dunia karena mutunya diakui di
tingkat Internasional. Minyak nilam adalah
komoditi ekspor non migas yang potensial bagi
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, karena
75 persen dari ekspor nilam Indonesia berasal
dari Aceh. Ini menunjukkan bahwa agribisnis
nilam, tidak saja memberi kontribusi terhadap
devisa, tetapi lebih jauh memberi kontribusi
besar bagi terbukanya lapangan kerja yang
luas di perdesaan. Luas areal nilam saat ini
mencapai 2.941 ha, dengan produksi minyak
283 ton per tahun. Sampai saat ini Aceh
merupakan pensuplai minyak nilam terbesar di
Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dunia.
Kabupaten Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh
Barat Daya, dan Aceh Singkil merupakan
sentra produksi nilam karena daerah tersebut
memiliki potensi lahan dan agroklimat yang
sesuai untuk pengembangan nilam. Mengingat
pentingnya kontribusi nilam bagi daerah maka
Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam
mengambil beberapa langkah dan kebijakan
untuk pengembangan agribisnis nilam antara
lain menetapkan kawasan pengembangan
agribisnis nilam, penyediaan bibit berkualitas
dan
bebas
penyakit,
memantapkan
kelembagaan petani nilam dan membantu
permodalan, memfasilitasi pembangunan
sistem usaha pengolahan hasil nilam bersama
investor dalam rangka menumbuhkembangkan
agroindustri (off farm) serta menjajaki peluang
pasar bekerjasama dengan asosiasi pengekpor
minyak atsiri Indonesia.

PENDAHULUAN
Umum
Tanaman nilam (Pogostemon
cablin) merupakan salah satu tanaman
penghasil minyak atsiri yang terpenting
di Indonesia. Dalam dunia perdagangan
minyak nilam dikenal dengan nama
Patchouly Oil, yang banyak
digunakan sebagai bahan baku, bahan
pencampur dan fiksatif (pengikat
wangi-wangian) dalam industri parfum,
farmasi, dan kosmetika, dan industri
makanan dan minuman. Perdagangan
minyak wangi telah sejak lama
berlangsung dinegara-negara timur
serta Yunani dan Roma kuno. Sejarah
minyak atsiri yang diproses dengan
cara penyulingan yang dilakukan
pertama kalinya terutama dinegara
Mesir, Persia dan India (Guenther E,
1987).
Di Indonesia terdapat tiga jenis
nilam yang dibudidayakan masyarakat
yaitu Pogostemon heyneanus (nilam
Jawa), Pogostemon hortensis (nilam
sabun), dan Pogostemon cablin (nilam
Aceh) (Anonimous, 1994). Dari ketiga
jenis tersebut yang paling banyak
dibudidayakan
adalah
varietas
Pogostemon cablin, karena varietas
inilah yang terbaik ditinjau dari segi
mutu dan kadar minyaknya, sehingga
minyak dari varietas inilah yang lebih
diminati di pasar dunia atau dalam

dunia perdagangan atsiri (Anonimous,


1994). Oleh sebab itu, sejak dari zaman
penjajahan
Pemerintahan
Hindia
Belanda, Aceh terkenal sebagai
penghasil nilam terbesar di Indonesia.
Perbanyakan tanaman nilam di
Aceh dilakukan melalui setek batang.
Peluang perbanyakan nilam melalui
kultur jaringan dimungkinkan, namun
cara ini belum dijajaki oleh kalangan
pebisnis. Tanaman nilam dapat
berproduksi setelah enam sampai
delapan bulan masa tanam, dan panen
berikutnya dilakukan tiga sampai lima
bulan sekali. Panen yang baik dapat
menghasilkan sampai 20 ton daun
basah per hektar per tahun, dengan
kadar minyak 2,5 - 4%. Akan tetapi
sampai saat ini kadar minyak yang
diperoleh dari pengolahan yang
dilakukan masyarakat dari jenis nilam
Aceh baru mencapai 2 3%
(Anonimous, 1991).
Pada mulanya yaitu sekitar tahun
1921,
tanaman
nilam
banyak
dibudidayakan di Kabupaten Aceh
Barat dan Aceh Selatan sampai ke
Aceh Singkil. Wilayah tersebut
termasuk dalam type iklim A menurut
Schmidt dan Ferguson, dimana curah
hujan merata sepanjang tahun sehingga
sangat cocok untuk pertumbuhan
nilam. Petani nilam disepanjang pantai
barat selatan pada umumnya adalah
petani kecil, dengan luas areal
pertanaman berkisar 0,5 1 ha.
Pertanaman nilam di wilayah tersebut
pada umumnya diusahakan secara
tradisional, terutama di daerah bukaan
hutan sekunder yang berbukit dan
bergunung atau pada lereng barat dari

pergunungan bukit barisan, dengan


kemiringan lebih dari 30%. Lahan yang
baru dibuka langsung ditanam nilam
tanpa usaha pembuatan teras untuk
pengawetan tanah. Setelah dilakukan
pemanenan maksimal sebanyak tiga
kali, pertanaman nilam tersebut
ditinggalkan oleh petani, dan kemudian
pindah ketempat bukaan baru lagi.
Sistem budidaya nilam tradisional ini
sangat tidak menguntungkan bagi
upaya pelestarian alam (Anonimous,
1979).
Sentra produksi nilam
Di Nanggroe Aceh Darussalam
terdapat beberapa Kabupaten yang
merupakan sentra produksi nilam
karena daerah tersebut memiliki
potensi lahan dan agroklimat yang
sesuai untuk pengembangan nilam,
antara lain Kabupaten Aceh Barat,
Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, dan
Aceh Singkil (Anonimous, 1970).
Sentra produksi nilam di
Kabupaten Aceh Barat antara lain
Kecamatan Woyla, Teunom, Kaway
XVI, dan Kuala Tripa sedangkan di
Kabupaten Aceh Selatan antara lain
Kecamatan Kuala Batee, Klut Utara,
Klut Selatan, Bakongan, Trumon,
Kabupaten Aceh Singkil, Rundeng dan
sebahagian terdapat di Kabupaten Aceh
Barat Daya. Saat ini budidaya nilam
sudah berkembang luas di Kabupaten
lainnya seperti Kabupaten Aceh Timur,
Aceh Utara, Aceh Tengah, Gayo
Luwes,
Aceh
Tenggara,
dan
sebahagian Kabupaten Aceh Besar.
Sedangkan sentra produksi nilam di
Provinsi Sumatera Utara antara lain

Kabupaten Dairi, Tapanuli Tengah,


Langkat dan Deli Serdang.
Potensi dan perkembangan minyak
atsiri di Provinsi NAD
Luas areal dan produksi
Nilam diusahakan oleh petani
sebagai pekerjaan sampingan, oleh
karena itu perkembangan luas areal
penanaman bervariasi dari tahun ke
tahun, dan sangat dipengaruhi oleh
perkembangan harga minyak nilam
dipasaran. Pada tahun 1998/1999 harga
minyak nilam naik drastis mencapai
Rp. 1.000.000,- per kg. Pada saat harga
membaik, banyak petani nilam bahkan
masyarakat non petani berbondongbondong menanam nilam, sehingga
ketersediaan bibit menipis yang pada
akhirnya memicu kenaikan harga bibit
nilam. Perkembangan areal dan
produksi tanaman nilam selama 12
tahun terakhir berfluktuasi. Pada tahun
1990 harga nilam cukup baik
dipasaran, dengan demikian banyak
petani yang mengusahakan nilam. Luas
penanaman nilam saat itu mencapai
5.073,50 ha, namun sejak tahun 1993 1996 disebabkan harga nilam dipasaran
dunia melemah, sehingga petani tidak
bergairah menanam nilam. Akibatnya
pada tahun 1993 terjadi penurunan luas
areal penanaman nilam sebesar 59,28%
dan penurunan produksi sebesar
63,52%. Sejak terjadinya krisis
ekonomi di belahan dunia, terutama di
Asia termasuk di Indonesia, maka
harga nilam sedikit demi sedikit
membaik. Antara tahun 1997 dan 1998
terjadi kenaikan luas areal penanaman
nilam sebesar 130% dan 118%, akibat

kenaikan harga nilam di pasaran dunia,


sampai pada puncaknya pada tahun
1998/1999 harga nilam naik meroket
hingga Rp. 1 juta per kg, sehingga
banyak petani
yang bergairah
menanam nilam.
Menurunnya luas areal dan
produksi nilam bisa akibat melemahnya harga komoditi nilam itu sendiri
dipasaran dunia. Namun selain faktor
harga, menurunnya luas areal dan
produksi nilam boleh dipicu oleh
dampak naiknya harga komoditi
lainnya yang diusahakan petani, seperti
komoditi kopi dan kakao. Bencana
banjir yang melanda sebahagian besar
Provinsi NAD pada tahun 1986 dan
tahun 1995 telah memusnahkan
sebahagian besar sentra produksi nilam
Aceh.
Eksport dan nilai ekspor nilam
Jumlah ekpor minyak nilam
secara nasional cenderung meningkat
dari tahun ke tahun. Dibandingkan
tahun 1990 volume ekpor pada tahun
1999 meningkat lebih dari 200%.
Ekspor minyak nilam tertinggi
mencapai puncaknya pada tahun 1998
dan 1999 dimana ekpor masing-masing
mencapai 1.355.948 kg, dan 1.592.434
kg, dengan nilai US$ 53.177.052, dan
US$ 62.869.081. Ini menunjukkan
bahwa agribisnis nilam, tidak saja
memberi kontribusi terhadap devisa
negara, tetapi lebih jauh efek
sampingan dari agribisnis nilam dan
ikutannya akan memberi kontribusi
besar bagi terbukanya lapangan kerja
yang luas mulai dari budidaya, pasca
panen, transportasi, pengolahan, dan
kegiatan pemasaran dan ekpor. Negara

tujuan ekpor minyak nilam selama


sepuluh tahun terakhir adalah USA,
Perancis, Jerman, Inggris, Belgia,
Singapura, Switzerland, dan India
(Ditjen Bina Produksi Perkebunan,
2002).
Pospek aribisnis nilam
Minyak atsiri merupakan salah
satu komoditi ekspor Indonesia yang
bahan bakunya berasal dari berbagai
jenis tanaman perkebunan. Minyak
atsiri dari kelompok tanaman tahunan
perkebunan antara lain berasal dari
cengkeh, pala, lada, kayu manis,
sementara yang berasal dari kelompok
tanaman semusim perkebunan berasal
dari tanaman nilam, sereh wangi, akar
wangi dan jahe. Hingga kini minyak
atsiri yang berasal dari tanaman nilam
memiliki pangsa pasar ekspor paling
besar andilnya dalam perdagangan
negara Indonesia yaitu mencapai 60%.
Minyak nilam merupakan produk yang
terbesar untuk minyak atsiri Indonesia
dan pemakaiannya di dunia menunjukkan kecenderungan yang semakin
meningkat. Dapat dikatakan bahwa
hingga saat ini belum ada produk
apapun baik alami maupun sintetis
yang dapat menggantikan minyak
nilam dalam posisinya sebagai fixative.
Data ekspor BPS menunjukkan
bahwa kontribusi minyak nilam
(Patchouli oil) terhadap pendapatan
ekspor minyak atsiri sekitar 60%,
minyak akar wangi (vetiner oil) sekitar
12,47%,
minyak
serai
wangi
(Citronella oil) sekitar 6,89%, dan
minyak jahe (Ginger oil) sekitar 2,74%.
Rata-rata nilai devisa negara yang
diperoleh dari ekspor minyak atsiri

selama sepuluh tahun terakhir


cenderung meningkat dari US$ 10 juta
pada tahun 1991 menjadi sekitar US$
50 - 70 dalam tahun 2001, 2002 dan
2003, dengan nilai rata-rata/kg sebesar
US$ 13,13. Walaupun secara makro
nilai ekspor ini kelihatannya kecil
namun
secara
mikro
mampu
meningkatkan kesejahteraan petani di
perdesaan yang pada gilirannya
diharapkan dapat mengurangi gejolak
sosial.
Kendala dan permasalahan pengembangan nilam
Dalam menekuni agribisnis
nilam banyak kendala dan masalah
yang
dihadapi,
baik
kendala
administratif,
teknis
operasional,
maupun kendala pemasaran. Diakui
bahwa selama terjadinya konflik di
Aceh
terjadi
penurunan
luas
penanaman nilam yang sangat
signifikan
di
Provinsi
NAD.
Permasalahan dan akar permasalahan
yang dihadapi dalam agribisnis nilam
dapat dilihat pada Tabel 1. Beberapa
permasalahan yang dianggap penting
dalam agribisnis nilam antara lain :
Kawasan pengembangan nilam
Sampai saat ini Pemerintah
Daerah belum mempunyai kebijakan
tentang kawasan agribisnis nilam.
Suatu kawasan yang sesuai dengan
agroklimat dan animo masyarakat
setempat yang memiliki naluri dalam
budidaya nilam akan penting artinya
bagi keberlanjutan usaha agribisnis
nilam. Adanya suatu kawasan yang
jelas, memudahkan bagi instansi teknis
dalam hal ini Dinas Perkebunan untuk

membina para kelompok tani. Lebih


jauh lagi penanganan permasalahan
teknis yang ada sejak dari pemilihan
bibit/setek, cara pemupukan, perawatan
dan pengendalian hama dan penyakit
serta perlakuan pasca panen akan lebih
mudah diatasi. Selanjutnya jika pada
kawasan pengembangan tersebut
dinilai sudah layak untuk dibangun
industri pengolahan maka Pemerintah
Daerah akan lebih mudah menilai
kelayakan pembangunan industri
pengolahan beserta pemasarannya.
Ketersediaan bibit
Perbanyakan tanaman nilam di
Aceh dilakukan melalui setek batang.
Biasanya setek tersebut ditanam
langsung kelapangan sebanyak 2 - 3
batang setek/lubang. Namun tingkat
keberhasilannya dilapangan relatif
kecil, dibandingkan dengan setek yang
terlebih dahulu di semai. Perbanyakan
bibit yang dilakukan petani melalui
setek tidak menjamin kualitas dan
kesehatan bibit. Oleh sebab itu tidak
heran bila nilam yang ditanam oleh
petani dilapangan sering terserang oleh
penyakit budok akibat penggunaan
bibit yang tidak sehat. Sampai saat ini
belum tersedia BBI dan penangkar
bibit nilam di Nanggroe Aceh
Darussalam, sehingga menjadi kendala
apabila dilaksanakan pengembangan
nilam yang membutuhkan bibit dalam
skala besar.
Kontinuitas produksi
Selama ini produksi nilam rakyat
sangat tergantung pada harga minyak
nilam dipasaran dunia. Biasanya pada
saat harga minyak nilam rendah,

produksi nilam menurun sebaliknya


jika harga minyak nilam membaik
maka produksi nilam cenderung
meningkat. Terjadinya korelasi antara
produksi dan harga minyak nilam
memang kelihatannya wajar terjadi,
artinya petani tidak ingin memilih
resiko rugi dalam usaha taninya. Oleh
sebab itu, ketika harga minyak nilam
rendah di pasaran dunia, maka petani
nilam beralih mengusahakan tanaman
semusim lainnya yang harganya lebih
menjanjikan dan menguntungkan, dari
pada mengusahakan nilam. Sebaliknya
ketika harga nilam meningkat di
pasaran dunia maka bukan saja petani
nilam, bahkan pengusaha dan pegawai
negeri berbondong-bondong menanam
nilam.
Fenomena ini sebenarnya dapat
diatasi, melalui kebijakan pengendalian
harga minyak nilam lokal sampai pada
batas wajar dan menguntungkan petani
nilam. Apabila kebijakan ini dapat
diambil Pemerintah, maka kuntinuitas
produksi akan dapat dipertahankan.
Kelembagaan dan permodalan
Kelembagaan petani yang ada
saat ini adalah kelompok tani yang
beranggotakan sekitar 20 - 30 orang
petani per kelompok. Dari beberapa
kelompok tani tersebut dibentuk
wilayah kerjasama untuk membangun
kebersamaan yang disebut dengan
kelompok usaha bersama (KUB) yang
merupakan cikal bakal lahirnya
koperasi berbadan hukum. Jumlah
Kelembagaan petani nilam saat ini 13
kelompok tani dengan jumlah anggota
671 orang. Namun demikian kinerja

kelompok tani dan kelompok usaha


bersama ini belum menggembirakan.
Untuk pengembangan agribisnis
nilam membutuhkan modal yang relatif
besar, sedangkan kemampuan petani
untuk mengembangkan nilam skala 1
hektar sangat terbatas. Sebaliknya
permodalan yang dikucurkan oleh
pemerintah melalui Bank harus
memenuhi persyaratan yang hampir
tidak mungkin dipenuhi oleh petani
kecil. Selain itu, selama ini modal yang
dikucurkan pemerintah terbatas hanya
pada sub-sektor tanaman pangan,
perkebunan besar (sawit) dan industri
serta jasa. Sedangkan untuk agribisnis
nilam belum pernah dinikmati oleh
petani nilam.
Lemahnya sistem pemasaran
Perdagangan bebas produkproduk perkebunan dapat menjadi
ancaman, apabila Daerah tidak siap
menghadapi persaingan bebas. Oleh
karena itu, peningkatan daya saing
merupakan kata kunci yang harus
dipertimbangkan dan ditindaklanjuti
dengan upaya nyata oleh seluruh
stakeholder yang terlibat dalam
agribisnis nilam. Tuntutan pasar
terhadap produk perkebunan yang
mempunyai jaminan mutu semakin
besar. Untuk menghasilkan produk
yang dapat memenuhi permintaan
pasar,
pelaku
agribisnis
perlu
menerapkan jaminan mutu seperti ISO
9000 sehingga produk yang dihasilkan
sesuai dengan standar mutu yang
dipersyaratkan.

Sistem pemasaran minyak nilam


yang diterapkan di Provinsi NAD
masih tradisional. Dari produsen dibeli
oleh pedagang pengumpul Kecamatan
atau Kabupaten kemudian dijual
kepada produsen atau pengusaha
pengolah dan kemudian dijual kepada
eksportir dalam negeri dan akhirnya
kepada importir luar negeri. Rantai
pemasarannya terlalu panjang sehingga
kurang
menguntungkan
petani
produsen.
Industri pengolahan
Penyulingan nilam tradisional
terdapat hampir diseluruh sentra
produksi nilam di Provinsi NAD.
Namun sistem penyulingan ini masih
sangat sederhana, dan kualitas minyak
nilam yang dihasilkan bervariasi dari
suatu tempat ke tempat lainnya,
tergantung dari teknik penyulingan
yang dipakai. Penyulingan minyak
nilam yang telah dilakukan oleh petani
adalah penyulingan menggunakan air
atau uap air, dengan menggunakan
ketel
sederhana,
dan
masih
menggunakan energi pemanas yang
berasal dari pembakaran kayu.
Industri pengolahan nilam skala
menengah yang menghasilkan minyak
nilam bermutu atau menghasilkan
bahan setengah jadi belum terdapat di
Provinsi NAD. Untuk itu, Pemerintah
Daerah harus mempertimbangkan
keberadaan industri tersebut guna
meningkatkan nilai tambah petani dan
pemasukan devisa bagi daerah.

Tabel 1. Permasalahan dan akar permasalahan dalam agribisnis nlam


No

Permasalahan

1.

Belum terbentuknya kawasan


pengembangan
nilam
Tidak
kontinyunya
produksi

2.

3.

Lemahnya
kelembagaan
petani
dan
permodalan
petani

4.

Lemahnya kerjasama industri,


eksportir
dan
petani produsen
serta
belum
terbentuknya
networking yang
kuat

5.

Mutu
nilam
merata

minyak
belum

Kebijakan yang
diambil
Sentra nilam belum Pembangunan
terdatanya
kawasan
Petani nilam sering agribisnis nilam
berpindah lokasi
Mata pencaharian
Peningkatan
petani selalu
produksi
dan
berubah-ubah tidak
keberlanjutan
tergantung pada
nilam
Animo petani
menanam nilam
besar jika harga
tinggi
Harga minyak nilam
di tingkat petani
rendah
Tidak optimalnya
Penguatan dan
fungsi kelembagaan
Pemberdayaan
petani
kelembagaan
Fungsi PPL di
petani
lapangan belum
optimal
Modal usaha petani
sangat terbatas
Belum terbentuknya
Alternatif Pola
pola pengembangan
pengembangan
KIMBUN nilam
agribisnis nilam
Lemahnya jaringan
Penguatan
kerja petani produkerjasama
Net
sen dengan para
working
asosiasi eksportir
atsiri
Belum adanya industri
skala menengah
Serangan penyakit
- Pengembangan
budok
penelitian pe Pengolahan hasil
nyakit budok
masih sangat sedernilam serta
hana
pengendalian
Pencampuran minyak - Pengaturan
nilam dengan bahan
sistem
asing
monitoring dan
pengawasan
produk
Akar permasalahan

Usulan rencana
program/kegiatan
- Pemetaan kawasan
pengembangan
agri-bisnis nilam
- Penetapan luas penanaman
- Pengaturan waktu
dan pola tanam.
- Pengaturan panen
dan pasca panen.

- Pemantapan kelembagaan
tani
dan koperasi
- Meningkatkan sistem perencanaan
- Training para PPL
- Bantuan modal
usahatani
Meningkatnya
hubungan
kerjasama
(networking)
yang
saling
menguntungkan antar subsistem agribisnis
nilam

- Kajian vektor
Penularan
penyakit budok di
lapangan
- Perbanyakan bibit
nilam melalui
kultur jaringan
- Kajian Pengendalian penyakit budok
- Sosialisasi standar
mutu

Tabel 1. Lanjutan
No
6.

7.

8.

Permasalahan

Akar permasalahan

Belum adanya
eksportir nilam yang
mempunyai jaringan
pemasaran ke eropah,
Jepang dan Amerika
Belum digunakannya
informasi pasar
melalui jaringan
internet
Belum
ada Program intensifikasi
sentuhan
dan ekstensifikasi
teknologi dalam
belum terlaksana
budidaya
dan
dalam budidaya
pengolahan
nilam
nilam
Pengolahan nilam
masih memakai ketel
sederhana
Kualitas SDM Kurangnya
petani
nilam
pembinaan bagi
relatif
masih
petani nilam.
rendah
Terbatasnya kegiatan
pelatihan bagi petani
nilam
Terbatasnya kunjungan lapangan oleh
PPL
Lemahnya
sistem
pemasaran

Kebijakan pengembangan agribisnis


nilam
Kebijakan yang diambil dalam
pengembangan agribisnis nilam adalah
mencakup seluruh aspek yang
berkenaan dengan budidaya nilam
sampai dengan proses pemasaran.
Peran stakeholder dalam agribisnis
nilam sangat menentukan keberhasilan
dari pengembangan agribisnis nilam di
Nanggroe Aceh Darussalam. Adapun
kebijakan antara lain :

Kebijakan yang
Usulan rencana
diambil
program/kegiatan
Regularisasi
- Kerjasama
peraturan tentang
pemasaran antara
ekspor
produk
produsen dan
perkebunan dan
asosiasi pengekpor
ikutannya
minyak atsiri
- Penyediaan
informasi pasar

Pelaksanaan
- Intensifikasi dan
program
ekstensifikasi
intensifikasi dan
agribisnis nilam
ekstensifikasi
- Pembangunan
agribisnis nilam
pabrik pengolahan
nilam modern

Peningkatan
- Training petugas
SDM petani dan
PPL
petugas pembina - Training kelompok
tani peserta
- Monitoring dan
pengawasan

A. Kebijakan umum
1. Penyediaan lapangan kerja dan
pemberdayaan ekonomi rakyat
yang bertujuan mempercepat
penyelesaian konflik di Aceh.
2. Berupaya menarik investor untuk
mau menanamkan investasinya
pada bidang agribisnis nilam.
3. Menetapkan kawasan pengembangan agribisnis nilam di
beberapa Kabupaten yang potensial
dan sesuai agroklimatnya, seluas
1.000 ha.

4. Mengembangkan
koperasi
agribisnis nilam dan memfasilitasi
kerjasama dalam bentuk kemitraan
dengan pihak investor.
5. Memfasilitasi pembangunan sistem
usaha pengolahan hasil nilam
bersama investor dan stakeholder
lainnya dalam rangka menumbuhkembangkan agroindustri (off
farm).
6. Melakukan promosi terhadap
program yang diluncurkan melalui
workshop
sehari
dengan
mengundang seluruh stakeholder,
investor dan mitra kerja, seperti
pengusaha
pengekspor
atau
pengimpor minyak nilam dalam
dan luar negeri.
7. Meningkatkan koordinasi dengan
instansi terkait dalam pengembangan agribisnis nilam, terutama
Dinas Perkebunan, Industri dan
Perdagangan, Koperasi, BKPMD,
dan Bappeda.
8. Meningkatkan jaringan kerja antara
petani produsen dengan para
asosiasi eksportir minyak nilam
nasional
dan
menyediakan
informasi pasar terhadap perkembangan harga minyak nilam dunia.
9. Pembangunan sarana dan prasarana
pendukung guna memperlancar
akses transportasi dan pemasaran.
B. Kebijakan khusus
1. Mengembalikan sejarah kejayaan
nilam di Aceh dengan menjadikan
nilam sebagai salah satu komoditas
unggulan daerah.
2. Mempertahankan serta meningkatkan kualitas minyak nilam Aceh
melalui teknologi penyulingan

minyak nilam yang lebih modern


yang lebih efisien, sehingga
rendemen minyak dapat ditingkatkan.
3. Perbaikan pola pengembangan
nilam melalui intensifikasi dan
ekstensifikasi, dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi
dan kelestarian lingkungan.
4. Mengadobsi
teknologi
yang
mendukung budidaya nilam seperti
perbaikan kualitas bibit melalui
perbanyakan secara kultur jaringan
yang menjamin bebas penyakit
budok
bekerjasama
dengan
Perguruan Tinggi dan atau
Lembaga Penelitian setempat.
5. Penguatan dan pemberdayaan
kelembagaan petani nilam serta
peningkatan
SDM
melalui
pelatihan dan magang.
KESIMPULAN
1. Pengembangan agribisnis nilam
mempunyai peluang yang sangat
besar dan sangat menguntungkan
mengingat kebutuhan akan minyak
nilam di pasaran dunia meningkat.
2. Lahan pengembangan nilam masih
tersedia, baik di daerah pesisir barat
selatan maupun pesisir utara timur
serta bahagian tengah.
3. Untuk meningkatkan produksi dan
kuntinuitas produksi maka sistem
budidaya nilam tradisional harus
dirubah menjadi sistem budidaya
intensif, sejak dari pemilihan bibit
sampai ke penangan pasca panen,
pengolahan hasil dan pemasaran
hasil.

4. Untuk mencegah menurunnya


kuantitas dan kualitas hasil akibat
serangan penyakit budok maka
upaya pengendalian hama dan
penyakit secara terpadu, dengan
tetap mempertimbangkan faktor
kelestarian lingkungan.
5. Untuk
memperkuat
dan
memantapkan eksistensi petani
nilam maka kelembagaan tani dan
kelembagaan usaha bersama harus
dibangun,
sejalan
dengan
pembangunan hubungan kemitraan
bersama pengusaha yang tergabung
dalam asosiasi pengekpor minyak
atsiri Indonesia.
6. Pembangunan sarana dan prasarana
pada kawasan pengembangan
mutlak
diperlukan
untuk
memperlancar transportasi dan
perekonomian
wilayah
pengembangan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous,
1970.
Survey
Pengusahaan Nilam Rakyat di
Daerah Aceh Bagian Barat Provinsi
Daerah Istimewa Aceh. Dinas
Perkebunan Rakyat Bekerjasama
Dengan
Balai
Penelitian
Perkebunan Medan.

10

Anonimous, 1979. Minyak Atsiri di


Aceh, Fakta, Masalah, Prospek dan
Langkah-Langkah
Operasional
Yang
Diperlukan.
Proyek
Peningkatan dan Pengembangan
Ekspor.
Anonimous, 1991. Pemberdayaan
Petani Nilam Melalui Institusi
UPP. Dinas Perkebunan Provinsi
NAD.
Anonimous, 1994. Paket Teknologi
Minyak Nilam. Penyunting Ambar
Yoganingrum dan Amsanih. Pusat
Dokumentasi dan Informasi Ilmiah
LIPI.
Ditjen Bina Produksi Perkebunan,
2002. Laporan Ekspor minyak
atsiri. Jakarta
Dinas Perkebunan Provinsi NAD,
2002. Laporan tahunan Dinas
Perkebunan Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam
Dinas Perkebunan Provinsi NAD,
2003. Laporan tahunan Dinas
Perkebunan Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
Guenter E, 1967. Individual Essential
Oil of Plant Families Rutaceae and
Labiatae. Van Nostrand Company
Inc.

Anda mungkin juga menyukai