188921149-Pelanggaran-HAM-Lumpur-Lapindo V 1.0
188921149-Pelanggaran-HAM-Lumpur-Lapindo V 1.0
Kelompok
Winda
Ayu
Larasati
110111090052
110111090040
Karina Purnamasari
110111090018
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS
PADJADJARAN 2013
I.
Pendahuluan
Latar Belakang
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia
yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan
hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan
instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Selanjutnya
dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 Poin
1 ialah, Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Masa Esa dan merupakan anugerahnya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
Konsep HAM ini dibidani oleh sebuah komisi PBB yang dipimpin oleh
Elenor Roosevelt dan secara resmi disebut Universal Decralation of Human
Rights. Universal Decralation of Human Rights menyatakan bahwa setiap
orang mempunyai:
1. Hak untuk hidup
2.
3.
4.
5.
7.
8.
9.
dalam
era
reformasi
dari
pada
era
sebelum
reformasi.
Masalah HAM dapat juga disebut sebagai Pelanggaran HAM dalam UU No.
39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 Poin 6 adalah, Setiap
perbuatan sesorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
sengaja maupun tidak sengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum
menggurangi, menghalangi, membatasi dan/atau mencabut HAM seseorang
atau kelompok orang yang dijamin oleh UU ini dan tidak mendapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan
benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Pada tahun 2006 lalu terjadi pelanggaran HAM ringan yang dilakukan oleh
Lapindo Brantas Inc, yang dikenal sebagai Kasus Lumpur Lapindo. Semburan
lumpur panas itu muncul pertama kalinya pada 29 Mei 2006 sekitar pukul
05.00.
areal
pemukiman
penduduk
dusun
Renomencil
Desa
Renokenongo dan Dusun Siring Tangungan, Desa Siring. Akibat dari peristiwa
ini 993 KK atau 3815 Jiwa terpaksa mengungsi ke Pasar Baru Porong, atau
ke rumah-rumah sanak famili yang tersebar di sejumlah tempat. Sampai
November 2008, terdapat 18 desa yang tenggelam dan/ atau terendam dan/
atau tergenang lumpur, yang meliputi: Desa Renokenongo, Jatirejo, Siring,
Kedung Bendo, Sentul, Besuki, Glagah Arum, Kedung Cangkring, Mindi,
Ketapang,
Pajarakan,
Permisan,
Ketapang,
Pamotan,
Keboguyang,
dijelaskan
diatas,
maka
kami
tertarik
untuk
menelitinya
II.
Pembahasan
Kasus Posisi
Tragedi Lumpur Lapindo dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini
menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi areal
persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar
mengingat volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50.000 meter
kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran
besar).
formasi
sumur
pengeboran.
Sesuai
dengan desain awalnya, Lapindo harus sudah memasang casing 30 inchi pada
kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi
pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki. Ketika Lapindo
mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki,
mereka belum memasang casing 9-
5/8 inci. Akhirnya, sumur menembus satu zona bertekanan tinggi yang
menyebabkan kick, yaitu masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur.
Jika hal itu benar maka telah terjadi kesalahan teknis dalam pengeboran yang
berarti pula telah terjadi kesalahan pada prosedur operasional standar.
Kedua, aspek ekonomis. Dalam kasus semburan lumpur panas ini, Lapindo
diduga sengaja menghemat biaya operasional dengan tidak memasang
casing. Jika dilihat dari perspektif ekonomi, keputusan pemasangan casing
berdampak pada besarnya biaya yang dikeluarkan Lapindo.
Akibatnya, semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi
masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur:
genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman; total warga yang
dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa; rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak
1.683 unit; areal pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha;
lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan
merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak berfungsinya sarana pendidikan;
kerusakan
lingkungan wilayah
yang
tergenangi;
rusaknya
sarana
dan
prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon); terhambatnya ruas jalan tol
Malang-Surabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan
Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu
kawasan industri utama di Jawa Timur.
pendidikan
dan
sumber
penghasilan,
ketidakpastian
(menggunakan
Analisis
Kasus
Kasus Lumpur Lapindo Brantas terjadi pelanggaran HAM sesuai dengan
ketentuan
Undang-Undang nomor
39 Tahun
1999 tentang
HAM dan
Undang- undang nomer 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sesuai dengan
Undang- undang nomor 39 Tahun 1999, dalam kasus Lumpur Lapindo
Brantas terjadi pelanggaran HAM yaitu:
karena
selain
mereka
kehilangan
harta
benda
juga
kehilangan mata pencaharian dan sampai saat ini ganti rugi yang
diberikan kepada masyarakat juga belum dilunasi.
Lapindo
sesuai
dengan
Pasal
UU
26/2000
yang
salah
satu
perbuatan
yang
menyebutkan,
Kejahatan
terhadap
kemanusiaan
adalah
dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil, serta point d. yaitu pengusiran atau pemindahan penduduk
secara paksa dan e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan
fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan
pokok hukum internasional
Unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran
HAM berat yang dirumuskan dalam pasal pasal 9 huruf d dan e UU No.
26/2000 tersebut adalah:
Dilakukan
sebagai
bagian
dari
serangan
yang meluas
atau
sistematik;
Pengertian kata serangan ini tidak harus ditafsirkan sebagai perbuatan
yang bentuknya seperti segerombolan tentara yang menggunakan kekuatan
militer
Porong
Sidoarjo
tersebut.
Masyarakat
korban
lumpur
Lapindo
bahwa
akibat
dari
ketidakseriusan
dalam
Atau:
Berupa:
e.
perampasan
kemerdekaan
atau
mereka
Dalam
(Pembukaan)
International
Covenant
on
Civil
and
kasus
lumpur
Lapindo
justru
dilakukan
pelanggaran
hak-hak
ekonomi
korporasi
yang
mengabaikan
hak-hak
dan
ditegakkan
demi
penigkatan
martabat
manusia,
4/2012 dan Pasal 19 UU 22/2011 yang pada pokoknya mengatur mengenai dana
APBN untuk pos anggaran BPLS, di antaranya digunakan untuk pembelian
tanah dan bangunan di luar PAT dan untuk kegiatan mitigasi penanggulangan
semburan lumpur, telah bersesuaian pula dengan UU 24/2007 tentang
Penanggulangan Bencana. Dengan demikian tidak bertentangan dengan
Pasal 23 ayat (1) UUD1945, Hal demikian dikuatkan juga dengan UU 32/2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam hal ini, asas
tanggung jawab
negara
mengandung
makna
bahwa
negara
menjamin
pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini
maupun generasi mendatang. Negara menjamin hak warga negara atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta mencegah
dilakukannya
harus
memberikan
perlindungan
dan
jaminan
kepada
III.
Penutup
Kesimpulan
:
Kegiatan eksplorasi migas yang berdekatan dengan pemukiman penduduk
sudah pasti mengandung risiko atau dampak yang besar. Dengan hanya dasar
itu pula hukum dapat menyimpulkan bahwa hak pengusahaan Blok Brantas
yang diperoleh Lapindo adalah ilegal sebab melanggar berbagai aturan
keselamatan sosial. Meskipun seandainya semburan lumpur Lapindo tersebut
bukan
suatu
niatan,
tetapi
jika
semburan
lumpur
itu
merupakan
Saran:
PT Lapindo Brantas Inc tetap harus menyelesaikan pertanggung jawaban
atas ganti rugi dan atas hukum dari kasus tersebut. Selain PT. Lapindo, juga
Pemerintah Daerah (Gubernur) dan Pemerintah Pusat, yang harus segera
mencari solusi atau jalan keluarnya, sebagai penanggulangan dari dampak
pencemaran luapan Lumpur lapindo, yaitu keterkaitan pemerintah daerah
maupun pemerintah pusat, didalam hal pemberian izin. Pemerintah harus
mengambil langkah untuk menutup PT Lapindo Brantas Inc, membebankan
tanggung jawab penuh dalam penyelesaian masalah lumpur panas, PT
Lapindo Brantas Inc harus menjamin sepenuhnya hak hidup masyarakat
korban dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup akibat lumpur panas yang
sampai sekarang belum dapat diatasi, aparat penegak hukum konsisten dalam
mengusut aspek kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh PT Lapindo
Brantas Inc,
Presiden
melalui
ESDM,
Dirjen
Migas,
dan
BP
Migas,
daya
mineral
dan
menempatkan
aspek
keselamatan
dan