Anda di halaman 1dari 19

HUKUM HAK ASASI MANUSIA

PELANGGARAN HAM BERAT ATAS KORBAN KASUS LUMPUR LAPINDO

Kelompok
Winda

Ayu

Larasati

110111090052

Angga Sez Muttaqin

110111090040

Karina Purnamasari

110111090018

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS
PADJADJARAN 2013

I.

Pendahuluan

Latar Belakang
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia
yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan
hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan
instansi. Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Selanjutnya
dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 Poin
1 ialah, Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Masa Esa dan merupakan anugerahnya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
Konsep HAM ini dibidani oleh sebuah komisi PBB yang dipimpin oleh
Elenor Roosevelt dan secara resmi disebut Universal Decralation of Human
Rights. Universal Decralation of Human Rights menyatakan bahwa setiap
orang mempunyai:
1. Hak untuk hidup
2.

Kemerdekaan dan keamanan

3.

Hak untuk diakui kepribadiannya menurut hukum

4.

Hak untuk mendapat jaminan hukum dalam perkara pidana

5.

Hak untuk masuk dan keluar wilayah suatu Negara

6. Hak untuk mendapat hak milik atas benda

7.

Hak untuk bebas mengutarakan pikiran dan perasaan

8.

Hak untuk bebas memeluk agama

9.

Hak untuk mendapat pekerjaan

10. Hak untuk berdagang


11. Hak untuk kesejahteraan
12. Hak untuk mendapatkan pendidikan
13. Hak untuk turut serta dalam gerakan kebudayaan masyarakat
14. Hak untuk menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan
keilmuan.
Masalah HAM adalah sesuatu hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas
terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih
diperhatikan

dalam

era

reformasi

dari

pada

era

sebelum

reformasi.

Masalah HAM dapat juga disebut sebagai Pelanggaran HAM dalam UU No.
39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 Poin 6 adalah, Setiap
perbuatan sesorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
sengaja maupun tidak sengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum
menggurangi, menghalangi, membatasi dan/atau mencabut HAM seseorang
atau kelompok orang yang dijamin oleh UU ini dan tidak mendapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan
benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Pada tahun 2006 lalu terjadi pelanggaran HAM ringan yang dilakukan oleh
Lapindo Brantas Inc, yang dikenal sebagai Kasus Lumpur Lapindo. Semburan
lumpur panas itu muncul pertama kalinya pada 29 Mei 2006 sekitar pukul
05.00.

Terjadinya di areal persawahan Desa Siring, Kecamatan Porong. Kabupaten


Sidoarjo sekitar 150 meter barat daya sumur Banjar Panji 1 yang dikerjakan
oleh Lapindo Brantas Inc. Kondisi ini terus memprihatinkan karena semakin hari
debit lumpur yang keluar dari perut bumi semakin membesar. Lumpur mulai
menggenangi

areal

pemukiman

penduduk

dusun

Renomencil

Desa

Renokenongo dan Dusun Siring Tangungan, Desa Siring. Akibat dari peristiwa
ini 993 KK atau 3815 Jiwa terpaksa mengungsi ke Pasar Baru Porong, atau
ke rumah-rumah sanak famili yang tersebar di sejumlah tempat. Sampai
November 2008, terdapat 18 desa yang tenggelam dan/ atau terendam dan/
atau tergenang lumpur, yang meliputi: Desa Renokenongo, Jatirejo, Siring,
Kedung Bendo, Sentul, Besuki, Glagah Arum, Kedung Cangkring, Mindi,
Ketapang,

Pajarakan,

Permisan,

Ketapang,

Pamotan,

Keboguyang,

Gempolsari, Kesambi, dan Kalitengah.


Sebagaimana

dijelaskan

diatas,

maka

kami

tertarik

untuk

menelitinya

dengan judul makalah : PELANGGARAN HAM BERAT TERHADAP KORBAN


KASUS LUMPUR LAPINDO.

II.

Pembahasan

Kasus Posisi
Tragedi Lumpur Lapindo dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini
menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi areal
persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar
mengingat volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50.000 meter
kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran
besar).

Setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya semburan


lumpur panas tersebut :
Pertama, adalah aspek teknis. Pada awal tragedi, Lapindo bersembunyi di balik
gempa tektonik Yogyakarta yang terjadi pada hari yang sama. Hal ini didukung
pendapat yang menyatakan bahwa pemicu semburan lumpur adalah gempa
Yogya yang mengakibatkan kerusakan sedimen. Namun, hal itu dibantah
oleh para ahli, bahwa gempa di Yogyakarta yang terjadi karena pergeseran
Sesar Opak tidak berhubungan dengan Surabaya. Akhirnya, kesalahan
prosedural yang mengemuka, seperti dugaan lubang galian belum sempat
disumbat dengan cairan beton sebagai sampul. Hal itu diakui bahwa semburan
gas Lapindo disebabkan pecahnya

formasi

sumur

pengeboran.

Sesuai

dengan desain awalnya, Lapindo harus sudah memasang casing 30 inchi pada
kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi
pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki. Ketika Lapindo
mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki,
mereka belum memasang casing 9-

5/8 inci. Akhirnya, sumur menembus satu zona bertekanan tinggi yang
menyebabkan kick, yaitu masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur.
Jika hal itu benar maka telah terjadi kesalahan teknis dalam pengeboran yang
berarti pula telah terjadi kesalahan pada prosedur operasional standar.

Kedua, aspek ekonomis. Dalam kasus semburan lumpur panas ini, Lapindo
diduga sengaja menghemat biaya operasional dengan tidak memasang
casing. Jika dilihat dari perspektif ekonomi, keputusan pemasangan casing
berdampak pada besarnya biaya yang dikeluarkan Lapindo.

Akibatnya, semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi
masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur:
genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman; total warga yang
dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa; rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak
1.683 unit; areal pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha;
lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan
merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak berfungsinya sarana pendidikan;
kerusakan

lingkungan wilayah

yang

tergenangi;

rusaknya

sarana

dan

prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon); terhambatnya ruas jalan tol
Malang-Surabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan
Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu
kawasan industri utama di Jawa Timur.

Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam


berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya
0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi
kulit dan kanker. Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah
(hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.

Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir


lumpur tidak bisa dipandang remeh. Setelah lebih dari 100 hari tidak
menunjukkan perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah,
terganggunya

pendidikan

dan

sumber

penghasilan,

ketidakpastian

penyelesaian, dan tekanan psikis yang bertubi-tubi, krisis sosial mulai


mengemuka. Perpecahan warga mulai muncul menyangkut biaya ganti rugi,
teori konspirasi penyuapan oleh Lapindo, rebutan truk pembawa tanah urugan
hingga penolakan menyangkut lokasi pembuangan lumpur setelah skenario
penanganan teknis kebocoran 1

(menggunakan

snubbing unit) dan 2

(pembuatan relief well) mengalami kegagalan.

Analisis
Kasus
Kasus Lumpur Lapindo Brantas terjadi pelanggaran HAM sesuai dengan
ketentuan

Undang-Undang nomor

39 Tahun

1999 tentang

HAM dan

Undang- undang nomer 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sesuai dengan
Undang- undang nomor 39 Tahun 1999, dalam kasus Lumpur Lapindo
Brantas terjadi pelanggaran HAM yaitu:

1. Hak untuk hidup.


Masyarakat tidak dapat meningkatkan taraf hidupnya karena mereka
kehilangan mata pencahariannya, tidak bisa hidup tentram, damai,
bahagia dan sejahtera serta luapan lumpur berakibat pada gangguan
kesehatan pada mereka karena lumpur mengandung logam berat
yang membahayakan kesehatan.
2. Hak memperoleh keadilan.
Pemerintah seperti tidak menindak tegas kepada PT Lapindo Brantas
untuk segera menyelesaikan ganti rugi/bertanggung jawab kepada
masyarakat atas kasus tersebut, sehingga pemerintah seperti tidak
peduli dan masyarakat tidak memperoleh keadilan.
3. Hak rasa aman.
Selain luapan lumpur yang membuat masyarakat tidak aman, terjadi
masalah lain dari kasus tersebut misalnya perpecahan warga yang
menyangkut ganti rugi sehingga membuat masyarakat tidak aman.
4. Hak atas kesejahteraan.
Kehidupan masyarakat di sekitar luapan lumpur lapindo menjadi tidak
sejahtera

karena

selain

mereka

kehilangan

harta

benda

juga

kehilangan mata pencaharian dan sampai saat ini ganti rugi yang
diberikan kepada masyarakat juga belum dilunasi.

Menurut UU 26/2000 menjelaskan bahwa ada dua macam pelanggaran


HAM berat yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam

kasus Lumpur Lapindo, terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan. Kasus


Lumpur

Lapindo

sesuai

dengan

Pasal

UU

26/2000

yang

salah

satu

perbuatan

yang

menyebutkan,
Kejahatan

terhadap

kemanusiaan

adalah

dilakukan sebagai bagian dan serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil, serta point d. yaitu pengusiran atau pemindahan penduduk
secara paksa dan e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan
fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan
pokok hukum internasional
Unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran
HAM berat yang dirumuskan dalam pasal pasal 9 huruf d dan e UU No.
26/2000 tersebut adalah:

Salah satu perbuatan;

Salah satu perbuatan (bersifat alternatif) yang disebutkan dalam pasal 9 UU


No. 26/2000. Dalam perkara lumpur Lapindo ini dapat ditentukan bentuk
perbuatan menurut pasal 9 huruf d dan huruf e yang akan diuraikan dalam
analisis selanjutnya ini.

Dilakukan

sebagai

bagian

dari

serangan

yang meluas

atau

sistematik;
Pengertian kata serangan ini tidak harus ditafsirkan sebagai perbuatan
yang bentuknya seperti segerombolan tentara yang menggunakan kekuatan
militer

untuk secara ofensif membunuh atau mengusir kelompok penduduk, tapi


dapat dalam bentuk serangan dengan menggunakan kekuasaan atau
kekuatan atau kemampuan teknis, konspirasi kekuasaan. Di jaman yang
semakin moderen, bentuk serangan bisa bermacam-macam cara dengan
metode yang moderen pula. Misalnya serangan dengan menggunakan senjata
kimia, kuman atau virus penyakit, meracuni tempat atau media hidup
penduduk. Dalam kasus lumpur Lapindo, bentuk serangan tersebut terletak
pada melubernya semburan lumpur Lapindo yang dapat atau patut diduga
sebelumnya bahwa semburan lumpur tersebut akan bisa terjadi. Cara-cara
yang tidak memenuhi kaidah teknis yang baik dalam penanggulangan lumpur
yang mengakibatkan tanggul lumpur jebol berkali-kali juga merupakan cara lain
dari serangan tersebut. Pada intinya, dalam kasus lumpur Lapindo, perbuatan
serangan ini baru dapat dilihat ketika semburan lumpur Lapindo itu terjadi
akibat kesengajaan pelanggaran kaidah- kaidah hukum dan keteknikan yang
baik karena konspirasi sehingga dengan terpaksa para penduduk korban
lumpur Lapindo harus pergi untuk mengungsi atau berpindah dari tempat
tinggal mereka yang sah.
Sedangkan sifatnya yang meluas dapat dilihat dari jumlah korban yang
mencapai ribuan penduduk sipil yang berasal dari beberapa desa yang
tergenang lumpur Lapindo. Sistematisasi serangan tersebut tampak pada
fakta konspirasi antara para petinggi Lapindo (pengambil keputusan strategis)
dengan aparatur negara yang berwenang mengeluarkan perijinan.

Diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara


langsung terhadap penduduk sipil;

Dalam kasus lumpur Lapindo, serangan tersebut sudah jelas ditujukan


langsung terhadap penduduk sipil yang berada di sekitar wilayah Sumur
BJP-1

Porong

Sidoarjo

tersebut.

Masyarakat

korban

lumpur

Lapindo

merupakan penduduk sipil.

Berupa: d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

Pemindahan atau pengusiran penduduk secara paksa dalam kasus lumpur


Lapindo dengan cara sengaja membiarkan semburan lumpur menggenangi
tempat tinggal penduduk, melakukan upaya penyelesaian semburan lumpur
secara tidak serius dengan lebih memilih pertimbangan ekonomi (efesiensi)
dibandingkan dengan orientasi penyelamatan penduduk di sekitar Sumur BJP1 tersebut. Hal itu juga terjadi dalam contoh penggunaan metode relief well
yang ditunda-tunda dan tidak dilanjutkan, penggunaan metode insersi bola
beton yang direncanakan 400 bola tapi hanya dilakukan dengan 250 bola, dan
lain-lain yang menunjukkan

bahwa

akibat

dari

ketidakseriusan

dalam

penghentian semburan lumpur tersebut akan mengakibatkan luberan lumpur


terus bertambah sehingga memaksa penduduk untuk berpindah tempat
(mengungsi) dan terusir.

Atau:

Berupa:

e.

perampasan

kemerdekaan

atau

perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang;

Bentuk perampasan kemerdekaan dalam kasus lumpur Lapindo bermula dari


pembiaran nasib ribuan penduduk korban lumpur Lapindo yang diserahkan
kepada Lapindo di mana negara (pemerintah) tidak memberikan tindakan
perlindungan yang maksimum kepada para korban. Kondisi penderitaan
luar biasa (great suffering) para korban dimanfaatkan pihak Lapindo dengan
penyodoran kontrak baku transaksi jual-beli yang disusun pihak Lapindo yang
memuat klausul untuk tidak menuntut atau menggugat Lapindo, memuat
pernyataan pengakuan bahwa semburan lumpur tersebut akibat bencana
alam, dan lain-lain yang tidak memberikan pilihan secara wajar bagi
masyarakat korban untuk mengemukakan hak-hak mereka selaku korban.
Hal itu tampak dengan adanya Paguyuban korban lumpur Lapindo yang
bernama PAGAR REKONTRAK yang menolak menandatangani kontrak atau
perjanjian baku jual- beli tanah mereka yang telah terendam lumpur yang tidak
diberikan opsi apapun untuk mengemukakan hak-hak mereka yang bahkan
beberapa kali diminta dan diintimidasi dengan ancaman akan dipaksa untuk
meninggalkan tempat pengungsian di Pasar Porong Baru. Hal itu membuktikan
bahwa korban lumpur Lapindo tidak diberikan kebebesan atau dirampas
kemerdekaan

mereka

untuk memperoleh ganti kerugian atau keadilan,

diperdaya dengan memanfaatkan kondisi lemah mereka. Di sini terjadi


penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).


Dalam

Melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.


Preamble

(Pembukaan)

International

Covenant

on

Civil

and

Political Rights ditentukan bahwa setiap negara yang yang dimaksudkan


kovenan tersebut :
Recognizing that, in accordance with the Universal Declaration of
Human Rights, the ideal of free human beings enjoying civil and political
freedom and freedom from fear and want can only be achieved if
conditions are created whereby everyone may enjoy his civil and
political rights, as well as his economic, social and cultural rights.
Considering the obligation of States under the Charter of the United
Nations to promote universal respect for, and observance of, human rights
and freedoms.
Dalam

kasus

lumpur

Lapindo

justru

dilakukan

pelanggaran

hak-hak

ekonomi, sosial, politik, hak kebebasan berupaya memperoleh keadilan, serta


diciptakan ketakutan dengan ancaman pengusiran dari tempat pengungsian
sehingga masyarakat korban tidak mungkin dapat menikmati hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya mereka.
Pemerintah yang seharusnya berkewajiban untuk mendorong penghormatan,
menegakkan serta memenuhi HAM, tetapi dalam kasus lumpur Lapindo
justru sebaliknya memberikan impunitas kepada Lapindo dan memberikan alat
legalitas pelanggaran HAM berupa Perpres No. 14/2007.

Dalam menerapkan ketentuan pasal 9 UU No. 26/2000 berkaitan dengan


kasus lumpur Lapindo tersebut - haruslah melihat pada tujuan keadilan
substansialnya dimana yang sangat dan lebih penting untuk dilihat adalah
luasnya penderitaan dan banyaknya korban akibat konspirasi pelanggaran
kaidah-kaidah hukum keselamatan rakyat serta kaidah-kaidah keteknikan
yang baik pada praktik usaha pertambangan yang sengaja dilakukan di wilayah
padat penduduk. Kejahatan kemanusiaan dalam kasus itu tampak pada
kuatnya pertimbangan

ekonomi

korporasi

yang

mengabaikan

hak-hak

keselamatan manusia (penduduk). Tafsir demikian itu mutlak dilakukan untuk


melindungi hak- hak para korban dan guna mencegah agar peristiwa
semacam itu tidak akan terulang di masa depan. Jika kasus sebesar itu
dengan ekskalasi korban yang sedemikian luas tidak dapat dikategorikan
sebagai kejahatan kemanusiaan, justru itu tidak masuk akal.
Tanggung Jawab Negara Terhadap Kasus Lumpur Lapindo
Dalam tataran hukum nasional, konsep mengenai tanggung jawab negara
terhadap pemenuhan, penghormatan dan perlindungan HAM diwujudkan
dalam bentuk pengaturan didalam konstitusi negara/dasar hukum negara, yaitu
dalam UUD 1945 amandemen ke II, tepatnya pada Pasal 28 A sampai
dengan 28 J dan beberapa pasal lain yang terkait dengan perlindungan dan
Pemenuhan HAM yaitu pada Pasal 29, Pasal 31, Pasal 33 dan Pasal 34.
Pengaturan beberapa hak dalam konstitusi/UUD 1945 amandemen ke II
telah menyiratkan bahwa

negara memiliki kewajiban moral/state obilgation untuk memberikan jaminan


bagi pengakuan dan penegakaan HAM setiap warga Negara Indonesia.
Sementara itu di dalam sistim perundang-undangan Indonesia pada hakiktanya
telah dikenal konsep tanggung jawab negara dan pengakuan negara
terhadap HAM. Ketentuan tersebut telah diatur di dalam UU No 39 Tahun
1999 tentang HAM tepatnya dalam Pasal 2 yang menyatakan :

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak


asasi manusia dan kebebasan dasar manusia yang secara kodrati
melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi,
dihormati

dan

ditegakkan

demi

penigkatan

martabat

manusia,

kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan

Bunyi ketentuan pasal tersebut, memberikan ruang penafsiran yang tegas.


Bahwa setiap pemenuhan dan penegakkan HAM warga Negara merupakan
kewajiban Negara sebagai organisasi kekuasaan melalui perangkatnya.
Perangkatnya disini bermakna setiap penyelenggara negara baik eksekutif,
yudikatif maupun legislatif sebagai kesatuan negara.
Dalam kasus lumpur lapindo, jika pemerintah tidak ikut memikul tanggung jawab
untuk mengatasi masalah yang diderita oleh rakyat Sidoarjo yang berada di
luar wilayah PAT yang sebelumnya tidak ditetapkan menjadi tanggung jawab
PT. Lapindo Brantas Inc, maka rakyat Sidoarjo yang berada di luar PAT akan
mengalami penderitaan tanpa kepastian hukum. menurut MK Pasal 18
UU

4/2012 dan Pasal 19 UU 22/2011 yang pada pokoknya mengatur mengenai dana
APBN untuk pos anggaran BPLS, di antaranya digunakan untuk pembelian
tanah dan bangunan di luar PAT dan untuk kegiatan mitigasi penanggulangan
semburan lumpur, telah bersesuaian pula dengan UU 24/2007 tentang
Penanggulangan Bencana. Dengan demikian tidak bertentangan dengan
Pasal 23 ayat (1) UUD1945, Hal demikian dikuatkan juga dengan UU 32/2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam hal ini, asas
tanggung jawab

negara

mengandung

makna

bahwa

negara

menjamin

pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini
maupun generasi mendatang. Negara menjamin hak warga negara atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta mencegah

dilakukannya

kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran


dan/atau kerusakan lingkungan hidup,

Meskipun peristiwa Lumpur Lapindo diakibatkan oleh bencana alam atau


bukan bencana alam, terdapat tanggung jawab perusahaan yaitu PT. Lapindo
Brantas Inc. yang mengakibatkan rusaknya lingkungan, yaitu membayar ganti
kerugian dengan melakukan pembelian atas tanah dan bangunan milik rakyat
yang rusak akibat lumpur Lapindo pada PAT dan tanggung jawab negara di luar
PAT. Tanggung jawab negara tersebut adalah bagian dari pelaksanaan fungsi
Negara yang
rakyat atas

harus

memberikan

perlindungan

dan

jaminan

kepada

lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana diamanatkan oleh


konstitusi,

III.

Penutup

Kesimpulan
:
Kegiatan eksplorasi migas yang berdekatan dengan pemukiman penduduk
sudah pasti mengandung risiko atau dampak yang besar. Dengan hanya dasar
itu pula hukum dapat menyimpulkan bahwa hak pengusahaan Blok Brantas
yang diperoleh Lapindo adalah ilegal sebab melanggar berbagai aturan
keselamatan sosial. Meskipun seandainya semburan lumpur Lapindo tersebut
bukan

suatu

niatan,

tetapi

jika

semburan

lumpur

itu

merupakan

kemungkinan yang dapat dipikirkan sebelumnya yang akan mengakibatkan


nasib buruk masyarakat di sekitarnya, maka unsur kesengajaan itu dapat
dilekatkan pada perkara semburan lumpur Lapindo itu, apalagi ternyata BPK
juga menemukan banyaknya pelanggaran kaidah keteknikan yang baik dalam
proses eksplorasi, yang mengakibatkan semburan lumpur tersebut. Jadi,
kasus semburan lumpur Lapindo itu bukan kelalaian tapi sengaja menabrak
rambu-rambu keselamatan sosial.
PT Lapindo Brantas Inc. telah merugikan masyarakat dalam berbagai segi,
misalnya, ekonomi, sosial, dan budaya dan tidak dapat dibayangkan,
dimana ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian, produktivitas kerja
masyarakat menurun, ribuan (bahkan jutaan dimasa yang akan datang) anak
terancam putus sekolah, dan perekonomian Jawa Timur tersendat. Sehingga
Kasus Lumpur Lapindo terjadi pelanggaran HAM yang sesuai dengan
ketentuan Undang- Undang nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan sesuai
Undang-undang nomor
26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM maka
dapat

kasus tersebut juga

digolongkan dalam kasus pelanggaran HAM berat karena terjadi kejahatan


terhadap kemanusiaan.

Saran:
PT Lapindo Brantas Inc tetap harus menyelesaikan pertanggung jawaban
atas ganti rugi dan atas hukum dari kasus tersebut. Selain PT. Lapindo, juga
Pemerintah Daerah (Gubernur) dan Pemerintah Pusat, yang harus segera
mencari solusi atau jalan keluarnya, sebagai penanggulangan dari dampak
pencemaran luapan Lumpur lapindo, yaitu keterkaitan pemerintah daerah
maupun pemerintah pusat, didalam hal pemberian izin. Pemerintah harus
mengambil langkah untuk menutup PT Lapindo Brantas Inc, membebankan
tanggung jawab penuh dalam penyelesaian masalah lumpur panas, PT
Lapindo Brantas Inc harus menjamin sepenuhnya hak hidup masyarakat
korban dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup akibat lumpur panas yang
sampai sekarang belum dapat diatasi, aparat penegak hukum konsisten dalam
mengusut aspek kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh PT Lapindo
Brantas Inc,

Presiden

melalui

ESDM,

Dirjen

Migas,

dan

BP

Migas,

bertanggungjawab untuk memastikan penyelesaian masalah lumpur panas


tanpa membebani anggaran belanja negara maupun daerah, mengkaji ulang
seluruh perundang- undangan yang terkait dengan eksplorasi dan eksploitasi
sumber

daya

mineral

dan

menempatkan

aspek

keselamatan

dan

kesejahteraan rakyat serta keselamatan dan lingkungan hidup sebagai


prioritas pertama dan utama serta meninjau kembali kelayakan proyek-proyek
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai