BERBASIS SEKOLAH
A.
PENDAHULUAN
Salah satu permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya kualitas
pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar yang ada di
Indonesia. Dengan mengetahui rendahnya kualitas pendidikan perlu adanya suatu perbaikan untuk
menciptakan pendidikan kearah yang lebih baik dari yang sebelumnya. Berbagai usaha telah banyak
dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional
dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan-pelatihan, pengadaan buku dan alat
pengajaran, pengadaan dan perbaikan alat sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu
manajemen sekolah. rendahnya mutu pendidikan tentunya dipengeruhi oleh beberapa faktor, Depdiknas
menyatakan ada tiga faktor yang menyebabkan kualitas mutu pendidikan indonesia tidak mengalami
peningkatan secara merata antara lain sebagai berikut.
1.
Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional yang menggunakan pendekatan education
production function atau input-output anilysis tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini
melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input
yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang
dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input pendidikan seperti guru, buku, media
pembelajaran, dan sarana prasarana pendidikan lainnya dipenuhi. Mutu pendidikan (output) secara
otomatis akan meningkat. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak meningkat secara
signifikan, karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education production function terlalu
memusat pada intput pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. padahal, proses
pendidikan sangat menentukan output pendidikan.
2.
Penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratif-sentralistik sehingga
menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi
yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai
dengan kondisi sekolah setempat. Sekolah lebih merupakan subordinasi dari birokrasi di atasnya
sehingga mereka kehilangan kemandirian, keluwesan, motivasi, kreatifitas/inisiatif untuk
mengembangkan dan memajukan sekolahnya. Kinerja sekolah menjadi kurang optimal, baik mutu,
efisiensi, inovasi, efektifitas, relevansi, maupun produktivitasnya.
3.
Peran serta warga sekolah khususnya guru dan peran serta masyarakat khususnya orang tua
siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi guru dalam pengambilan
keputusan sering diabaikan, padahal terjadi atau tidaknya perubahan di sekolah sangat tergantung pada
guru. Dikenalkan pembaharuan apapun jika guru tidak berubah, maka tidak akan terjadi perubahan
disekolah tersebut.
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, tenaga pendidik adalah tenaga kependidikan yang
berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan
sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisi pasi dalam penyelenggaraan
pendidikan. Pendidik mempunyai dua arti yang luas dan arti yang sempit. Dalam arti luas, seorang
pendidik adalah semua orang yang berkewajiban membina peserta didik. Dalam arti sempit, pendidik
adalah orang yang dengan sengaja dipersiapkan menjadi guru atau dosen. Guru dan dosen adalah
jabatan
profesional,
kerena
meraka
mendapatkan
tunjangan
profesional.
Tenaga pendidik khususnya guru sangat berperan penting dalam menunjang pelaksanaan manajemen
berbasis sekolah, untuk meningkatkan mutu sekolah, tanpa peran guru sekolah tidak akan mampu
berkembang
secara
optimal.
B.
TUJUAN
PENERAPAN
MANAJEMEN
BERBASIS
SEKOLAH
Keberadaan manajemen berbasis sekolah sangat penting dalam peningkatan mutu pendidikan khusunya
dalam pendidikan dasar, Menurut Depdiknas (2007: 3) alasan diterapkannya manajemen berbasis
sekolah adalah sebagai berikut.
1.
Dengan pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah, maka sekolah akan lebih
inisiatif/kreatif dalam meningkatkan mutu sekolah.
2.
Dengan pemberian fleksibelitas/keluwesan-keluwesan yang lebih besar kepada sekolah untuk
mengelola sumberdayanya, maka sekolah akan lebih luwes dan lincah dalam mengadalan dan
memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal untuk meningkatkan mutu sekolah.
3.
Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya sehingga
sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya.
4.
Sekolah lebih mengetahui kebutuhannya, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan
dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan
peserta didik.
5.
Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan
sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya.
6.
Penggunaan sumber daya pendidikan lebih efisien dan efektif bilamana dikontrol oleh
masyarakat setempat.
7.
Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah
menciptakan transparansi dan akuntabilitas sekolah.
8.
Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah,
orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umunya, sehingga sekolah akan berupaya semaksimal
mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah dilaksanakan.
9.
Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain dalam
peningkatan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif yang didukung oleh orang tua siswa,
masyarakat sekitar, dan pemerintah daerah setempat.
10.
Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah
dengan cepat.
Berdasarkan hal diatas, dalam pencapaian manajeman berbasis sekolah tentunya memiliki tujuan,
Sagala (2004: 133) menyatakan Tujuan manajemen berbasis sekolah adalah sebagai berikut.
1.
Menjamin mutu pembelajaran anak didik yang berpijak pada asas pelayanan dan prestasi hasil
belajar.
2.
Meningkatkan kualitas transfer ilmu pengetahuan dan membangun karakter bangsa yang
berbudaya.
3.
Meningkatkan mutu sekolah dengan memantapkan pemberdayaan melalu kemandirian,
kreativias, inisiatif dan inovatif dalam mengelola dan memberdayakan seumber daya sekolah.
4.
Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
melalui pengambilan keputusan dengan mengakomodir aspirasi bersama.
5.
Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah tentang
mutu sekolah.
6.
Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
Dalam tujuan manajemen berbasis sekolah mengacu kepada standar pendidikan nasional.
C.
PERANAN
PENDIDIK
DALAM
MANAJEMEN
BERBASIS
SEKOLAH
Pendidik dalam artian guru dalam membantu menyukseskan manajemen berbasis sekolah perlu
meningkatkan diri dan mengembangkan potensi profesionalitas untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Untuk meningkatkan kualifikasi guru dan memiliki kemampuan profesional, pemerintah telah melahirkan
Undang-undang No. 14 Tahun 2005 mengenai guru dan dosen. Salah satu upaya dari undang-undang
tersebut adalah meningkatkan profesionalisme guru serta meningkatkan kualitas hidup ekonomi guru.
Seperti yang kita ketahui jabatan guru adalah jabatan yang paling tidak disukai dalam masyarakat
modern saat ini, hal ini disebabkan karena penghargaan ekonominya relatif sangat kurang dibandingkan
profesi-profesi lainnya. Undang-undang No. 14 Tahun 2005 telah menggariskan upaya untuk
meningkatkan
kualitas
guru
dengan
kualifikasi
sekurang-kurangnnya
ijazah
S-1.
Prinsip-prinsip profesionalisme guru (berdasarkan UU Guru dan Dosen) dapat ditilik dari 9 poin sebagai
berikut.
1.
Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme,
2.
Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan ahlak mulia,
3.
Memiliki kualifikasi akademik dan latarbelakang pendidikan yang sesuai dengan bidang
tugasnya,
4.
Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya,
5.
Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan,
6.
Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja,
7.
Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan
belajar sepanjang hayat,
8.
Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan,
9.
Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan tugas keprofesionalannya.
Guru dalam pengembangan profesional, guru harus menumbuhkan diri secara profesional. Untuk
meningkatkan kualitas guru, seorang guru dalam bekerja dan bertugas mempelajari profesi guru
sepanjang hayat. Hal-hal dipelajari oleh seorang guru adalah sebagai berikut (Dimyati dan Mudjiono,
2009: 249).
Memiliki integritas moral kepribadian.
Mempertinggi mutu keahlian bidang studi sesuai dengan kemampuan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni.
proses
pembelajaran,
serta
kegiatan
lain
yang
menunjang
kemajuan
pendidikan
disekolah.
Dalam sistem gugus, KKG menjadi penting dalam manajemeb berbasis sekolah karena dapat dipandang
sebagai pembinaan profesional guru. Peningkatan mutu pendidikan tidak dapat dilakukan hanya dengan
memperbaharui kurikulum belaka, melainkan juga dengan konsep-konsep pendidikan yang menjadi mind
set guru, menjadikan professional behavior dengan motivasi intrinsiknya, yang dapat dilakukan di kelas,
disekolah,
dan
dalam
hubungannya
antar
guru
sebagaimana
terjadi
dalam
KKG.
D.
Dalam melaksanakan pendidikan, tentunya harus mempunyai tujuan yang mempunyai ukuran (yardstick),
untuk menentukan sampai sejauh mana proses pendidikan itu mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Tujuan pendidikan selalu bersifat sementara, hal ini dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan harus
setiap
saat
perlu
direvisi
dan
disesuaikan
dengan
tuntutan
perubahan.
Pendidikan Nasional Indonesia memerlukan standarisasi untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Standar
tersebut dicapai dalam kurun waktu tertentu, maka dari itu perlu adanya perumusan yang jelas dan
terarah mengenai tujuan pendidikan. Rumusan tujuan pendidikan dapat berupa tujuan ideal, tujuan
jangka panjang, tujuan jangka menengah dan rencana strategis yang terlihat dengan keadaan dan waktu
tertentu. Dengan kejelasan perumusan tujuan pendidikan, guru dapat menentukan langkah-langkah untuk
mencapainya.
Apabila tidak adanya patokan atau yardstick yang dijadikan pedoman untuk dicapai, maka guru akan
bingung menentukan langkah-langkah yang harus diambil untuk menjalankan proses pendidikan, jika
guru sudah bingung tentu proses pendidikan akan menjadi kacau-balau karena tanpa arah yang jelas.
Didalam hal ini, UUD 1945 telah merumuskan suatu tujuan yang ideal yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa. Sistem pendidikan nasional merupakan suatu upaya untuk mewujudkan cita-cita ideal tersebut
ialah warganegara Indonesia yang cerdas. Untuk menciptakan bangsa Indonesia yang cerdas diperlukan
standar yang digunakan sebagai ukuran untuk mencapai tujuan.
Berdasarkan uraian di atas, standarisasi pendidikan amatlah diperlukan dalam meningkatkan pendidikan
di Indonesia, dan standar tersebut akan terus-menerus meningkat seiring dengan perkembangan zaman.
Menurut Tilaar (2006: 76-77) Standarisasi pendidikan sangat diperlukan karena sebagai berikut.
1.
Standarisasi Pendidikan Nasional merupakan suatu tuntutan politik. Negara Indonesia
merupakan negara kesatuan yang memerlukan ukuran untuk menilai sejauh mana warganegara
Indonesia mempunyai visi dan misi yang sama, pengetahuan dan keterampilan yang dapat
mengembangkan negara kesatuan tersebut.
2.
Standarisasi Pendidikan Nasional merupakan suatu tuntutan globalisasi. Dalam kehidupan
globalisasi, terjadi persaingan semakin lama semakin meningkat, dan dampak dari globalisasi seperti
yang kita ketahui bahwa tidak ada hal yang dapat disembunyikan, sehingga negara lain tahu mengenai
keberadaan negara Indonesia, khusunya dalam bidang pendidikan. Oleh sebab itu, stiap warga negara
perlu mengangkat dirinya sendiri didalam kehidupan yang penuh permusuhan tetapi terus-menerus
memperbaiki diri dengan meningkatkan kemampuan diri agar supaya tidak menjadi budak dari bangsabangsa yang lain.
3.
Standarisasi Pendidikan Nasional merupakan tuntutan dari kemajuan (progres). Setiap negara
tentunya tidak ingin bahwa negara menjadi negara yang tertinggal dari negara lain, dan tentunya setiap
negara ingin menjadi negara yang maju dan bermartabat. Untuk menjadi anggota negara yang maju
tentunya diperlukan kualitas sumber daya manusia yang tinggi, yang bukan hanya menjadi konsumen
dari negara-negara yang maju, tetapi juga dapat berpartisipasi di dalam meningkatkan mutu kehidupan
manusia.
Standarisasi merupakan suatu ukuran (yardstick), dimana dalam hal ini sewaktu-waktu standar tersebut
harus di evaluasi dan perlu diketuhi sampai sejauh mana efektivitas dari standarisasi tersebut terhadap
pencapaian pada siswa khususnya pendidikan dasar. Untuk mengetahui efektifitas dari standarisasi
tersebut diperlukan sarana-sarana seperti ujian dan evaluasi nasional. Menurut Tilaar (2006: 109)
menyatakan ujian dan evaluasi nasional tidak perlu meliputi seluruh standar isi, hal ini akan banyak
menimbulkan pengeluaran biaya dan tenaga yang luar biasa. Maka dari itu, dipilihlah beberapa mata
pelajaran yang esensial dalam pendidikan dasar, mata pelajaran itu seperti misalnya Bahasa Indonesia,
Matematika,
IPA,
IPS
dan
PKn.
Tilaar (2006: 109) juga menyatakan di beberapa negara, evaluasi nasional tidak diwajibkan kepada
seluruh wilayah atau negara bagian, melainkan suatu daerah secara sukarela diuji oleh daerah-daerah
itu. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa untuk memperoleh pemetaan terhadap pencapaian standarisasi
yang telah ditetapkan, negara tidak mengharuskan bahwa standarisasi merupakan indikator yang
digunakan sebagai kelulusan seseorang. Dalam evaluasi mengenai pencapaian standarisasi ini bertumpu
pada gurunya sendiri sebagai seseorang yang mendidikan dan mengetahui tingkat pencapaian dari
peserta didik, sampai sejauh mana tingkat pencapaian peserta didik terhadap standar isi dan kurikulum
yang
telah
ditetapkan
secara
nasional.
Sehingga dengan merapkan standarisasi yang tepat, sesuai dengan pekembangan zaman diharapkan
dapat menciptakan sumber daya manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif, tentunya standarisasi
harus menyesuaikan dengan keadaan bangsa yang sangat berpariasi yang berada pada daerah
terpencil, pedesaan dan perkotaan. Dengan penyusunan standarisasi berdasarkan persaingan global di
era reformasi ini, dapat menciptakan sumber daya Indonesia yang prima. Standarisasi merupakan
tuntutan nasional bahkan tantangan global terhadap perkembangan dari bangsa-bangsa lain, untuk
menciptakan sumber daya manusia Indonesia prima diperlukan banyak intervensi baik dari pemerintah,
guru dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan shingga menuju ke arah lebih baik.
Untuk menuju standar yang telah di tetapkan memerlukan sarana dan prasarana yang memadai untuk
mencapai tujuan tersebut, sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang kompeten dan mampu (capable)
menjadi bangsa yang cerdas dan bermartabat. Tanpa adanya sarana dan prasarana, tujuan pendidikan
nasional tidak akan bisa tercapai secara optimal, dan penciptaan sumber daya manusia yang cerdas
tidak
akan
terlaksana
dengan
baik.
Dalam rangka otonomi daerah telah kita ketahui bahwa, pendidikan dasar merupakan wewenang
pemerintah daerah. Demikian pula wajib belajar yang sedang disusun di dalam suatu peraturan
pemerintah menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah. Wajib belajar 6 tahun yang mungkin
dapat ditingkatkan menjad wajib belajar 9 tahun dan mungkin menjadi wajib belajar 12 tahun. Dalam
evaluasi ditingkat pendidikan dasar, tentunya dalam mengadakan suatu evaluasi terhadap ketercapaian
dari standar yang ditetapkan, hal ini juga tidak terlepas dari peran guru yang bertanggung jawab secara
penuh, untuk menciptkan wajib belajar sembilan tahun yang berkualitas sesuai dengan program
pemerintah.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan dan kemajuan
umat manusia. Menurut UU No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan
Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
dari orang lain, sebaliknya jika siswa tidak mempunyai kemandirian belajar
siswa akan merasa malas untuk belajar jika tidak dipaksa oleh orang tua
ataupun oleh gurunya.
Kemandirian belajar juga dapat terlihat dari kebiasaan-kebiasaan belajar
siswa sehari-hari seperti cara siswa merencanakan dan melakukan kegiatan
belajar. Kemandirian belajar yang tinggi dari siswa sangat diperlukan dalam
peningkatan hasil belajar ekonomi karena akan berpengaruh terhadap
terciptanya semangat diri untuk belajar. 4
Hasil belajar merupakan salah satu tolak ukur dalam pencapaian tujuan
kegiatan belajar mengajar. Peningkatan hasil belajar tidak terlepas dari
beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
hasil belajar secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang timbul dari
dalam diri siswa itu sendiri diantaranya keadaan fisik, intelegensi, bakat, minat,
dan motivasi. Sedangkan faktor eksternal yaitu faktor yang timbul dari luar diri
siswa diantaranya guru, teman, fasilitas belajar, lingkungan sekolah, sumber
belajar, pendapatan orang tua dan lain-lain.
Dalam meningkatkan hasil belajar, siswa perlu penguasaan materi
pelajaran. Siswa yang kurang mengusai materi pelajaran akan mempunyai nilai
yang lebih rendah bila dibandingkan dengan siswa yang lebih mengusai materi
pelajaran. Untuk menguasai materi pelajaran maka dituntut adanya aktifitas
dari siswa yang bukan hanya sekedar mengingat, tetapi lebih dari itu yakni
memahami, mengaplikasikan, mensistesis, dan mengevaluasi bahan pelajaran.
Hasil belajar ekonomi dipengaruhi oleh faktor pemberian tugas oleh
guru. Pemberian tugas merupakan metode mengajar guru yang merupakan alat
untuk mencapai tujuan belajar. Metode Resitasi (pemberian tugas) merupakan
salah satu metode mengajar guru yang menunjang dalam kegiatan belajar
mengajar. Tugas dapat diberikan guru dalam berbagai bentuk tugas baik tugas
mandiri maupun tugas kelompok, tugas ini dapat dikerjakan di rumah, di
sekolah ataupun di mana saja. Guru dalam memberikan tugas harus
memperhatikan setiap tugas yang diberikan kepada siswanya, supaya tugas 5
tersebut dapat meningkatkan kemampuan siswa sesuai dengan materi yang
disampaikan. Pemberian tugas dapat membantu siswa dalam meningkatkan
hasil belajarnya. Dengan pemberian tugas oleh guru, siswa akan
mempertanggungjawabkan apa yang telah dikerjakan sehingga dengan
pemberian tugas dapat memudahkan siswa dalam pemahaman materi.
Selain itu metode resitasi ini digunakan dengan tujuan agar siswa
memiliki hasil belajar yang lebih mantap, karena siswa melaksanakan latihanlatihan
selama melakukan tugas, sehingga pengalaman siswa dalam
mempelajari sesuatu dapat lebih terintegrasi. Hal itu terjadi disebabkan siswa
mendalami situasi atau pengalaman yang berbeda, saat mengalami
masalahmasalah baru. Di samping itu untuk memperoleh pengetahuan dengan
melaksanakan tugas akan memperluas dan memperkaya pengetahuan serta
keterampilan siswa di sekolah, melalui kegiatan-kegiatan di luar sekolah.
Dengan kegiatan melaksanakan tugas, siswa aktif belajar dan termotivasi untuk
belajar lebih baik lagi, memupuk inisiatif dan berani bertanggungjawab sendiri.
Tugas yang diberikan atau yang harus dikerjakan oleh siswa diharapkan
mampu menyadarkan siswa untuk selalu memanfaatkan waktu senggangnya
untuk melakukan hal-hal yang menunjang belajarnya, dengan mengisi
kegiatan-kegiatan yang berguna dan konstruktif. Selain itu tugas-tugas yang
diberikan guru juga dapat dijadikan tambahan nilai bagi siswa jika nilai
ulangan masih belum tuntas. Tugas menjadi salah satu pertimbangan bagi guru
dalam memberikan penilaian terhadap siswa. Dengan demikian tugas juga
ekonomi
4. Siswa kurang bisa memanfaatkan waktu senggangnya, yaitu lebih banyak
untuk bergarau dan tidak digunakan untuk belajar.
5. Ketergantungan siswa terhadap kehadiran guru dalam kegiatan belajar
ekonomi masih tinggi sehingga kemandirian belajar siswa dikatakan
rendah.
6. Siswa kurang serius dalam mengikuti pelajaran di kelas
7. Siswa kurang antusias dalam mengerjakan tugas-tugas dari guru.
C. Pembatasan Masalah
Sehubungan dengan keterbatasan waktu, pikiran dan tenaga yang dapat
dijangkau peneliti, maka penelitian ini perlu dibatasi. Oleh karena itu peneliti
hanya membatasi keefektifan penggunaan metode pembelajaran resitasi dalam
meningkatkan kemandirian belajar dan hasil belajar ekonomi kelas X semester
2 SMA Muhammadiyah 1 Muntilan.9
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana keefektifan metode pembelajaran resitasi dalam meningkatkan
kemandirian belajar siswa pada mata pelajaran ekonomi?
2. Bagaimana keefektifan metode pembelajaran resitasi dalam meningkatkan
hasil belajar siswa pada mata pelajaran ekonomi?
3. Bagaimana perbedaan kemandirian belajar siswa yang menggunakan
metode pembelajaran resitasi dengan yang menggunakan metode
konvensional pada mata pelajaran ekonomi?
4. Bagaimana perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan metode
pembelajaran resitasi dengan yang menggunakan metode konvensional pada
Penerapan-penerapan lainya dapat kita lihat disekitar lingkungan kita. Contoh saja penerapan ilmu
ekonomi disekolah. Siswa mendapat mata pelajarn ekonomi yang nantinya akan berguna untuk
mengolah dalam kebutuhannya. Murid harus benar mengerti dalam ilmu ekonomi agar,nantinya ia dapat
menerapkannya. Manusia belajar ilmu ekonomi tidak ada ruginya. Toh,nanti dapat berguna
slalu,maupun dalam rumah tangga bahkan urusan pekerjaan.
ILMU EKONOMI
Kebutuhan manusia tidaklah terbatas, akan tetapi sumber daya yang ada adalah sangat
terbatas, sehingga diperlukan suatu upaya manusia atau masyarakat untuk mengatur atau
menentukan pilihan-pilihan terhadap sumber daya yang terbatas itu untuk memenuhi
kebutuhan manusia atau masyarakat yang tidak terbatas. Sumber daya itu berupa: uang,
modal, tanah, mesin, pendidikan, keahlian, dll.
Misalnya: seseorang yang ingin memiliki sepeda motor, kulkas, mesin cuci dengan
penghasilan pas-pasan yang tidak mungkin bisa membeli semuanya, maka dia harus
menentukan pilihan dengan membeli salah satu diantaranya. Dia menentukan pilihan
tersebut karena pada saat itu dia memiliki keterbatasan sumber daya berupa uang.
Contoh lainnya misalnya dialami sebuah perusahaan yang ingin meningkatkan jumlah
produksinya untuk menyaingi perusahaan lawan, maka perusahaan itu harus menambahkan
juga sumber daya-sumber daya tambahan, misalnya tambahan mesin atau penggantian
mesin kapasitas yang lebih besar, tenaga kerja tambahan dan atau tenaga ahli baru, modal
untuk bahan mentah, tambahan gaji, perluasan pasar dll. Tidak mungkin semua kebutuhan
perusahaan itu akan terpenuhi sekaligus, sehingga perusahaan harus menentukan pilihanpilihan tentang sumber daya mana yang akan dipenuhi terlebih dahulu.
Dari contoh kasus-kasus di atas dapat diketahui pentingnya mempelajari ilmu ekonomi,
karena ilmu ekonomi ini adalah ilmu yang mempelajari tentang upaya manusia baik secara
individu atau masyarakat dalam menentukan sumber daya yang terbatas jumlahnya, untuk
memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas.
Dalam definisi Paul A. Samuelson ilmu ekonomi adalah: studi mengenai bagaimana cara
manusia dan masyarakat sampai pada pilihan (dengan atau tanpa uang) untuk
menggunakan sumber-sumber ekonomi yang terbatas yang dapat mempunyai kegunaankegunaan alternatif untuk menghasilkan berbagai macam barang dan mendistribusikan
untuk konsumsi baik sekarang maupun masa yang akan datang diantara berbgai orang dan
golongan dalam masyarakat.
Kebutuhan yang dimaksud adalah kegunaan yang timbul dalam diri manusia dan
masyarakat dalam bentuk tuntutan untuk memperoleh pemenuhannya.
Lingkup Ilmu Ekonomi
a. Microeconomics adalah bagian dari ilmu ekonomi yang membahas perilaku individu dalam
membuat keputusan penggunaan berbagai unit ekonomi. Di sini ada perusahaan dan rumah
tangga.
b. Macroeconomics adalah bagian dari ilmu ekonomi yang menjelaskan perilaku ekonomi
secara keseluruhan (economic aggregates) akan terkait dengan income, output,
employment, dan lain-laindalam kerangka atau skala nasional.
Pembagian Ilmu Ekonomi (Alferd W. Stonier dan Douglas C. Hague)
1. Descriptive Economics (ilmu ekonomi deskriptif).
Di sini dikumpulkan semua kenyataan yang penting tentang pokok pembicaraan (topik)
yang tertentu, artinya mendiskripsikan data-data yang menjelaskan berbagai fenomena dan
kenyataan yang terjadi.
misalnya: sistem pertanian di Bali, atau industri katun di India.
2. Economic Theory (ilmu ekonomi teori atau teori ekonomi atau analisis ekonomi).
Di sini kita memberikan penjelasan yang disederhanakan tentang caranya suatu sistem
ekonomi bekerja dan ciri-ciri yang penting dari sistem seperti itu. Teori ekonomi dibangun
dengan landasan pengamatan sebab akibat berdasarkan aksi dan reaksi yang terjadi dalam
kehidupan ekonomi masyarakat.
3. Applied Economics (ilmu ekonomi terapan).
Di sini kita mencoba mempergunakan rangka dasar umum dan analisis yang diberikan
oleh ekonomi teori untuk menerangkan sebab-sebab dan arti pentingnya kejadian-kejadian
yang dilaporkan oleh para ahli ekonomi deskriptif.
Metode Ekonomi
a. Positive economics
Ekonomi positif adalah pendekatan ekonomi yang mempelajari berbagai pelaku dan proses
bekerjanya aktivitas ekonomi, tanpa menggunakan suatu pandangan subjektif untuk
menyatakan bahwa sesuatu itu baik atau jelek dari sudut pandang ekonomi.
Ekonomi positif di bagi menjadi dua, yaitu ekonomi deskriptif dan ekonomi teori.
b. Normative economics
Oleh beberapa ahli dari hal ini membangun yang disebut dengan politik ekonomi (political
economics), salah satu cabangnya ekonomi kelembagaan. Ekonomi normatif adalah
pendekatan ekonomi dalam mempelajari perilaku ekonomi yang terjadi, dengan mencoba
memberikan penilaian baik atau buruk berdasarkan pertimbangan subjektif.
Sejak kemerdekaan pada tahun 1945, masa orde lama, masa orde baru sampai masa
sekarang (masa reformasi) Indonesia telah memperoleh banyak pengalaman politik dan
ekonomi. Peralihan dari orde lama dan orde baru telah memberikan iklim politik yang
dinamis walaupun akhirnya mengarah ke otoriter namun pada kehidupan ekonomi
mengalami perubahan yang lebih baik.
1.Masa Orde Lama (1945-1966)
Pada masa ini perekonomian berkembang kurang menggembirakan, sebagai dampak
ketidakstabilan politik dan seringnya pergantian cabinet.
2. Masa Orde Baru (1966-1997)
Menghadapi perekonomian yang sedemikian rupa, pemerintah peralihan menetapkan
beberapa langkah perioritas kebijakan ekonomi sebagai berikut :
a. Memerangi inflasi
b. Mencukupkan stok cadangan bahan pangan terutama beras
c. Merehabilitasi prasarana perekonomian
d. Meningkatkan ekspor
e. Menyediakan/menciptakan lapangan kerja
f. Mengundang kembali investor asing
3. Masa Reformasi (1998-sekarang)
Pada masa reformasi ini perekonomian indoensia ditandai dengan krisis monoter yang
berlanjut menjadi krisis ekonomi yang sampai saat ini belum menunjukkan tanda-tanda kea
rah pemulihan. Walaupun ada pertumbuhan ekonomi sekitar 6% untuk tahun 1997 dan 5,5%
untuk tahun 1998 dimana inflasi sudah duperhitungkan namun laju inflasi masih cukup
tinggi yaitu sekitar 100%. Pada tahun 1998 hampir seluruh sector mengalami pertumbuhan
negatif, hal ini berebeda dengan kondisi ekonomi tahun 1999.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Adapun faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonom Indonesia, secara umum adalah :
1. Faktor produksi
2. Faktor investasi
(Sumargi, 1996) Profesionalisme guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai
utamanya dalam hal bidang keilmuannya.
Memang jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu
dan profesionalisme belum sesuai dengan harapan. Banyak diantaranya yang tidak
berkualitas dan menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka tidak atau kurang
mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas
(Dahrin, 2000).
Banyak faktor yang menyebabkan kurang profesionalismenya seorang guru, sehingga
pemerintah berupaya agar guru yang tampil di abad pengetahuan adalah guru yang
benar-benar profesional yang mampu mengantisipasi tantangan-tantangan dalam dunia
pendidikan.
Guru sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan hati
nuraninya, karena ia paham bagaimana harus menjalankan profesinya namun karena
tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk atau komando maka cara-cara para
guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru selalu diinterpensi. Tidak
adanya kemandirian atau otonomi itulah yang mematikan profesi guru dari sebagai
pendidik menjadi pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru
tidak memiliki otonomi sama sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol
melalui keharusan membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Padahal,
seorang guru yang telah memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya
telah menemukan pola belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap kali
mengajar membuat R+P maka waktu dan energi guru banyak terbuang. Waktu dan
energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya.
Akadum (1999) menyatakan dunia guru masih terselingkung dua masalah yang
memiliki mutual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan
beberapa pihak terutama pengambil kebijakan; (1) profesi keguruan kurang menjamin
kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya; (2)
profesionalisme guru masih rendah.
Selain faktor di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru
disebabkan oleh antara lain; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya
secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan
menulis untuk meningkatkan diri tidak ada; (2) belum adanya standar profesional guru
sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan disebabkan oleh
adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa
mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru
yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4) kurangnya motivasi guru dalam
meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang
diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.
Jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk
menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (1) Guru
mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) Guru menguasai secara
mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada
siswa, (3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara
evaluasi, (4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar
dari pengalamannya, (5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar
dalam lingkungan profesinya.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru
untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu; (1) memiliki
kepribadian yang matang dan berkembang; (2) penguasaan ilmu yang kuat; (3)
keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan (4)
pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan
satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang
ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran
guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan
pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan
mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan
dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation
learning environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki
multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator,
transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator
(Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000).
Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru
memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu
pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu
bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar
mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan
yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek
kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas
mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda
memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis,
baik sebagai individu maupun sebagai profesional.
Memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan
bagi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi
wacana yang sangat penting. Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya
manajemen pendidikan modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan.
Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh
kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa.
Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan
manajemen beserta strategi penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar
pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan
profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang
tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti
pada tataran kematangan yang mempersyaratkan willingness dan ability, baik secara
intelektual maupun pada kondisi yang prima. Profesionalisasi harus dipandang sebagai
proses yang terus menerus. Usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan
tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai pencetak guru, instansi yang membina
guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.
Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan yang
modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan. Lembaga-lembaga
pendidikan diharapkan mampu mewujudkan peranannya secara efektif dengan
keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar, pengembangan
staf, kurikulum, tujuan dan harapan, iklim sekolah, penilaian diri, komunikasi, dan
keterlibatan orang tua/masyarakat. Tidak kalah pentingnya adalah sosok
penampilan guru yang ditandai dengan keunggulan dalam nasionalisme dan jiwa
juang, keimanan dan ketakwaan, penguasaan iptek, etos kerja dan disiplin,
profesionalisme, kerjasama dan belajar dengan berbagai disiplin, wawasan masa
depan, kepastian karir, dan kesejahteraan lahir batin. Pendidikan mempunyai
peranan yang amat strategis untuk mempersiapkan generasi muda yang memiliki
keberdayaan dan kecerdasan emosional yang tinggi dan menguasai megaskills
yang mantap. Untuk itu, lembaga penidikan dalam berbagai jenis dan jenjang
memerlukan pencerahan dan pemberdayaan dalam berbagai aspeknya.
Pengembangan Profesionalisme Guru
Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu
pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister
(1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan
teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan
profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang
tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru
untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu; (1)
memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; (2) penguasaan ilmu yang
kuat; (3) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan
teknologi; dan (4) pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat
aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan
ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru
yang profesional.
Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti pada
tataran kematangan yang mempersyaratkan willingness dan ability, baik secara
intelektual maupun pada kondisi yang prima. Profesionalisasi harus dipandang
sebagai proses yang terus menerus. Usaha meningkatkan profesionalisme guru
merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai pencetak guru, instansi
yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan
masyarakat.
(Pendidikan Network)
Cari artikel...
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia merupakan suatu sistem pendidikan nasional yang diatur
secara sistematis. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU No. 20 Tahun 2003).
Fungsi pendidikan harus betul-betul diperhatikan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional
sebab tujuan berfungsi sebagai pemberi arah yang jelas terhadap kegiatan penyelenggaraan
pendidikan
sehingga
penyelenggaraan
pendidikan
harus
diarahkan
kepada
(1)
pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, (2) pendidikan
diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna, (3)
pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik
yang berlangsung sepanjang hayat, (4) pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan,
membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran, (5)
pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi
segenap warga masyarakat, (6) pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan
pendidikan.
Peningkatan mutu pendidikan ditentukan oleh kesiapan sumber daya manusia yang terlibat dalam
proses pendidikan. Guru merupakan salah satu faktor penentu tinggi rendahnya mutu hasil pendidikan
mempunyai posisi strategis maka setiap usaha peningkatan mutu pendidikan perlu memberikan
perhatian besar kepada peningkatan guru baik dalam segi jumlah maupun mutunya.
Guru adalah figur manusia sumber yang menempati posisi dan memegang peran penting dalam
pendidikan. Ketika semua orang mempersoalkan masalah dunia pendidikan figur guru mesti terlibat
dalam agenda pembicaraan terutama yang menyangkut persoalan pendidikan formal di sekolah.
Pendidik atau guru merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan
proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta
melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan
tinggi. Hal tersebut tidak dapat disangkal kerana lembaga pendidikan formal adalah dunia kehidupan
guru. sebagai besar waktu guru ada di sekolah, sisanya ada di rumah dan di masyarakat (Djamarah,
2000).
Guru merupakan faktor yang sangat dominan dan paling penting dalam pendidikan formal pada
umumnya karena bagi siswa guru sering dijadikan tokoh teladan bahkan menjadi tokoh identifikasi diri.
Di sekolah guru merupakan unsur yang sangat mempengaruhi tercapainya tujuan pendidikan selain
unsur murid dan fasilitas lainnya. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan sangat ditentukan
kesiapan guru dalam mempersiapkan peserta didiknya melalui kegiatan belajar mengajar. Namun
demikian posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat dipengaruhi oleh
kemampuan profesional guru dan mutu kinerjanya.
Guru merupakan ujung tombak pendidikan sebab secara langsung berupaya mempengaruhi, membina
dan mengembangkan peserta didik, sebagai ujung tombak, guru dituntut untuk memiliki kemampuan
dasar yang diperlukan sebagai pendidik, pembimbing dan pengajar dan kemampuan tersebut
tercermin pada kompetensi guru. Berkualitas tidaknya proses pendidikan sangat tergantung pada
kreativitas dan inovasi yang dimiliki guru. Gunawan (1996) mengemukakan bahwa Guru merupakan
perencana, pelaksana sekaligus sebagai evaluator pembelajaran di kelas, maka peserta didik
merupakan subjek yang terlibat langsung dalam proses untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kehadiran guru dalam proses pembelajaran di sekolah masih tetap memegang peranan yang penting.
Peran tersebut belum dapat diganti dan diambil alih oleh apapun. Hal ini disebabkan karena masih
banyak unsur-unsur manusiawi yang tidak dapat diganti oleh unsur lain. Guru merupakan faktor yang
sangat dominan dan paling penting dalam pendidikan formal pada umumnya karena bagi siswa guru
sering dijadikan tokoh teladan bahkan menjadi tokoh identifikasi diri. (Wijaya dan Rusyan, 1994).
Guru dituntut memiliki kinerja yang mampu memberikan dan merealisasikan harapan dan keinginan
semua pihak terutama masyarakat umum yang telah mempercayai sekolah dan guru dalam membina
anak didik. Dalam meraih mutu pendidikan yang baik sangat dipengaruhi oleh kinerja guru dalam
melaksanakan tugasnya sehingga kinerja guru menjadi tuntutan penting untuk mencapai keberhasilan
pendidikan. Secara umum mutu pendidikan yang baik menjadi tolok ukur bagi keberhasilan kinerja
yang ditunjukkan guru.
Guru sebagai pekerja harus berkemampuan yang meliputi penguasaan materi pelajaran, penguasaan
profesional keguruan dan pendidikan, penguasaan cara-cara menyesuaikan diri dan berkepribadian
untuk melaksanakan tugasnya, disamping itu guru harus merupakan pribadi yang berkembang dan
bersifat dinamis. Hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban (1)
menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis, (2)
mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan dan (3) memberi
teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang
diberikan kepadanya. Harapan dalam Undang-Undang tersebut menunjukkan adanya perubahan
paradigma pola mengajar guru yang pada mulanya sebagai sumber informasi bagi siswa dan selalu
mendominasi kegiatan dalam kelas berubah menuju paradigma yang memposisikan guru sebagai
fasilitator dalam proses pembelajaran dan selalu terjadi interaksi antara guru dengan siswa maupun
siswa dengan siswa dalam kelas. Kenyataan ini mengharuskan guru untuk selalu meningkatkan
Menurut Pidarta (1999) bahwa setiap guru adalah merupakan pribadi yang berkembang. Bila
perkembangan ini dilayani, sudah tentu dapat lebih terarah dan mempercepat laju perkembangan itu
sendiri, yang pada akhirnya memberikan kepuasan kepada guru-guru dalam bekerja di sekolah
sehingga sebagai pekerja, guru harus berkemampuan yang meliputi unjuk kerja, penguasaan materi
pelajaran, penguasaan profesional keguruan dan pendidikan, penguasaan cara-cara menyesuaikan diri
dan berkepribadian untuk melaksanakan tugasnya.
Guru pada prinsipnya memiliki potensi yang cukup tinggi untuk berkreasi guna meningkatkan
kinerjanya. Namun potensi yang dimiliki guru untuk berkreasi sebagai upaya meningkatkan kinerjanya
tidak selalu berkembang secara wajar dan lancar disebabkan adanya pengaruh dari berbagai faktor
baik yang muncul dalam pribadi guru itu sendiri maupun yang terdapat diluar pribadi guru. Tidak
dapat dipungkiri bahwa kondisi dilapangan mencerminkan keadaan guru yang tidak sesuai dengan
harapan seperti adanya guru yang bekerja sambilan baik yang sesuai dengan profesinya maupun
diluar profesi mereka, terkadang ada sebagian guru yang secara totalitas lebih menekuni kegiatan
sambilan dari pada kegiatan utamanya sebagai guru di sekolah. Kenyataan ini sangat memprihatinkan
dan mengundang berbagai pertanyaan tentang konsistensi guru terhadap profesinya. Disisi lain kinerja
guru pun dipersoalkan ketika memperbicangkan masalah peningkatan mutu pendidikan. Kontroversi
antara kondisi ideal yang harus dijalani guru sesuai harapan Undang-undang tentang Sistem
Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 dengan kenyataan yang terjadi dilapangan merupakan suatu
hal yang perlu dan patut untuk dicermati secara mendalam tentang faktor penyebab munculnya
dilema tersebut, sebab hanya dengan memahami faktor yang berpengaruh terhadap kinerja guru
maka dapat dicarikan alternatif pemecahannya sehingga faktor tersebut bukan menjadi hambatan
bagi peningkatan kinerja guru melainkan mampu meningkatkan dan mendorong kinerja guru kearah
yang lebih baik sebab kinerja sebagai suatu sikap dan perilaku dapat meningkat dari waktu ke waktu.
Untuk itu, faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru dipandang perlu untuk dipelajari, ditelaah
dan dikaji secara mendalam agar dapat memberikan gambaran yang jelas faktor yang lebih berperan
dan urgen yang mempengaruhi kinerja guru.
A. PROFESI GURU
1. Konsep Profesi Guru
Menurut Dedi Supriyadi (1999) menyatakan bahwa guru sebagai suatu profesi di Indonedia baru dalam
taraf sedang tumbuh (emerging profession) yang tingkat kematangannya belum sampai pada yang
telah dicapai oleh profesi-profesi lainnya, sehingga guru dikatakan sebagai profesi yang setengahsetengah atau semi profesional.
Pekerjaan profesional berbeda dengan pekerja non profesional karena suatu profesi memerlukan
kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan profesinya dengan kata lain pekerjaan yang
bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khususnya
dipersiapkan untuk itu.
Pengembangan profesional guru harus diakui sebagai suatu hal yang sangat fundamental dan penting
guna meningkatkan mutu pendidikan. Perkembangan profesional adalah proses dimana guru dan
kepala sekolah belajar, meningkatkan dan menggunakan pengetahuan, keterampilan dan nilai secara
tepat.
Profesi guru memiliki tugas melayani masyarakat dalam bidang pendidikan. Tuntutan profesi ini
memberikan layanan yang optimal dalam bidang pendidikan kepada msyarakat. Secara khusus guru di
tuntut untuk memberikan layanan professional kepada peserta didik agar tujuan pembelajaran
tercapai. Sehingga guru yang dikatakan profesional adalah orang yang memeiliki kemamapuan dan
keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melaksanakan tugas dan fungsinya
sebagai guru dengan kemampuan maksimal.
Ornstein dsn Levine, 1984 (dalam Soetjipto dan Raflis Kosasi, 1999) menyatakan bahwa profesi itu
adalah jabatan yang sesuai dengan pengertian profesi di bawah ini sebagai berikut :
a. Melayani masyarakat, merupakan karier yang akan dilaksanakan sepanjang hayat ( tidak bergantiganti pekerjaan )
b. Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu diluar jangkauan khalayak ramai ( tidak setiap
orang dapat melakukan )
c. Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktek ( teori baru di kembangkan dari hasil
penelitian )
d. Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang
e. Terkendali berdasarkan lisensi buku dan atau mempunyai persyaratan masuk ( untuk menduduki
jabatan tersebut memerlukan izin tertentu atau ada persyaratan khusus yang ditentukan untuk dapat
mendudukinya ).
f. Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu (tidak diatur oleh orang
lain)
g. Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diabil dan unjuk kerja yang ditampilkan yang
berhubung dengan layanan yang diberikan ( langsung bertanggung jawab terhadap apa yang
diputuskan, tidak dipindahkan ke atasan atau instansi yang lain lebih tinggi ). Mempunyai sekumpulan
unjuk kerja yang baku.
h. Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien dengan penekanan terhadap layanan yang akan
diberikan.
i. Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya relatif bebas dari supervisi dalam
jabatan ( misalnya dokter memakai tenaga adminstrasi untuk mendata klien, sementara tidak ada
supervisi dari luar terhadap pekerjaan dokter sendiri )
j. Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri.
k. Mempunyai asosiasi profesi atau kelompok elit untuk mengetahui dan mengakui keberhasilan
anggotanya ( keberhasilan tugas dokter dievaluasi dan dihargai oleh organisasi Ikatan Dokter
Indonesia (IDI), bukan oleh Departemen Kesehatan).
l. Mempunyai kode etik untuk mejelaskan hal-hal yang meragukan atau menyangsikan yang
berubungan dengan layanan yang diberikan.
m. Mempunyai kadar kepercayaan yang tinggin dari publik dan kepercayaan diri sendiri anggotanya
( anggota masyarakat selalu meyakini dokter lebih tahu tentang penyakit pasien yang dilayaninya).
n. Mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi ( bila dibandingkan dengan jabatan lain ).
Tidak jauh berbeda dengan ciri-ciri di atas, Sanusi et al (1991), mengutarakan ciri-ciri umum suatu
profesi itu sebagai berikut:
a. Suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosisal yang menentukan (crusial).
b. Jabatan yang menuntut keterampilan/keahlian tertentu.
c. Keterampilan / keahlian yang dituntut jabatan itu dapat melalui pemecahan masalah dengan
menggunakan teori dan metode ilmiah.
d. Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistimatik, eksplisit, yang bukan
hanya sekedar pendapat khalayak umum.
e. Jabatan itu memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama.
f. Proses pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional itu
sendiri.
g. Dalam memberikan layanan kepada masyarakat, anggota profesi itu berpegang teguh pada kode
etik yang dikontrol oleh organisasi profesi.
h. Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dan memberikan judgement terhadap permasalahan
profesi yang di hadapinya.
i. Dalam prakteknya melayani masyarakat, anggota profesi otonom dan bebas dari campur tanggan
orang lain,
j. Jabatan ini menpunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat,dan oleh karenanya memperoleh
imbalan yang tinggi pula. (Soetjipto dan Raflis Kosasi, 1999).
Khusus untuk jabatan guru,sebenarnya juga sudah ada yang mencoba menyusun kriterianya. Misalnya
Nasional Education Asociation ( NEA ) ( 1948 ) menyarankan kriteria berikut.
a. Jabatan yang melibatkan kegiatan itelektual.
b. Jabatan yang menggeluti suetu batang tubuh ilmu yang khusus.
c. Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama ( bandingakan dengan pekerjaan yang
memerlukan latihan umum belaka ).
d. Jabatan yang memerlukan latihan dalam jabatan yang bersinambungan.
e. Jabatan yang menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen.
f. Jabatan yang menentukan baku ( standarnya ) sedndiri.
g. Jabatan yang mementingkan layanan diatas keuntungan pribadi.
h. Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.
Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik agar dapat meningkatkan mutu pendidikan
maka guru harus memiliki kompetensi yang harus dikuasai sebagai suatu jabatan profesional.
Kompetensi guru tersebut meliputi :
a. Menguasai bahan ajar.
b. Menguasai landasan-landasan kependidikan.
c. Mampu mengelola program belajar mengajar.
d. Mampu mengelola kelas.
e. Mampu menggunakan media/sumber belajar.
f. Mampu menilaik prestasi peserta didik untuk kepentingan pengajaran.
g. Mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan.
h. Mengenal penyelenggaraan administrasi sekolah.
i. Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan
pengejaran.
b. Ilmu pengetahuan
Untuk melaksanakan suatu profesi diperlukan ilmu pengetahuan. Tanpa menggunakan ilmu tersebut
profesi tidak dapat dilaksanakan.
Ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk melaksanakan profesi terdiri dari cabang ilmu utama dan
cabang ilmu pembantu. Cabang ilmu utama adalah cabang ilmu yang menentukan esensi suatu
profesi. Contohnya profesi guru cabang ilmu utamanya adalah ilmu pendidikan dan cabang ilmu
pembantunya masalah psikologi.
Salah satu persyaratan ilmu pengetahuan adalah adanya teori, bukan hanya kumpulan pengetahuan
dan pengalaman. Fungsi dari suatu teori adalah untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.
Dengan mempergunakan teopri ilmu pengetahuan, profesional dapat menjelaskan apanyang
dihadapinya dan apa yang akan terjadi jika tidak dilakukan intervensi. Teori ilmu pengetahuan juga
mengarahkan profesional dalam mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam melaksanakan
profesi.
Kaitan dengan profesi, guru tidak hanya ilmu pengetahuan yang harus dikuasai oleh guru tetapi juga
pola penerapan ilmu pengetahuan tersebut sehingga guru dituntut untuk mengusai keterampilan
mengajar.
pendidikan
tinggi
yang
khusus
mengajarkan,
menerapkan
dan
meneliti
serta
mengembangkan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu keguruan. Sehingga peran lembaga
pendidikan tinggi sebagai pencetak sumber daya manusia harus betul-betul memberikan pemahaman
dan pengetahuan yang mantap pada calon pendidik.
e. Prilaku profesi
Perilaku profesional yaitu perilaku yang memenuhi persyaratan tertentu, bukan perilaku pribadi yang
dipengaruhi oleh sifat-sifat atau kebiasaan pribadi. Prilaku profesional merupakan perilaku yang harus
dilaksanakan oleh profesional ketika melakukan profesinya.
Menurut Benard Barber (1985) (dalam Depag RI, 2003), perilaku profesional harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
1) Mengacu kepada ilmu pengetahuan
2) Berorientasi kepada insterest masyarakat (klien) buka interest pribadi.
3) Pengendalian prilaku diri sendiri dengan mepergunakan kode etik.
4) Imbalan atau kompensasi uang atau kehormatan merupakan simbol prestasi kerja bukan tujuan dari
profesi.
5) Salah satu aspek dari perilaku profesional adalah otonomi atau kemandirian dalam melaksanakan
profesinya.
f. Standar profesi
Standar profesi adalah prosedur dan norma-norma serta prinsip-prinsip yang digunakan sebagai
pedoman agar keluaran (out put) kuantitas dan kualitas pelaksanaan profesi tinggi sehingga
kebutuhan orang dan masyarakat ketika diperlukan dapat dipenuhi.
Dibeberapa negara telah memperkenalkan Standar Profesional untuk guru dan Kepala sekolah,
misalnya di USA dimana National Board of Professional teacher Standards telah mengembangkan
standar dan prosedur penilaian berdasarkan pada 5 (lima) prinsip dasar (Depdiknas, 2005) yaitu :
1) Guru bertanggung jawab (committed to) terhadap siswa dan belajarnya.
2) Guru mengetahui materi ajar yang mereka ajarkan dan bagaimana mengajar materi tersebut
kepada siswa.
3) Guru bertanggung jawab untuk mengelola dan memonitor belajar siswa.
4) Guru berfikir secara sistematik tentang apa-apa yang mereka kerjakan dan pelajari dari
pengalaman.
5) Guru adalah anggota dari masyarakat belajar
Standar di atas menunjukkan bahwa profesi guru merupakan profesi yang membutuhkan pengetahuan
dan keterampilan yang memadai seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
sebab guru akan selalu berhadap dengan siswa yang memiliki karakteritik dan pengetahuan yang
berbeda-beda maka untuk membimbing peserta didik untuk berkembang dan mengarungi dunia ilmu
pengetahuan dan teknologi yang secara tepat berubah sebagai ciri dari masyarat abad 21 sehingga
tuntutan ini mengharuskan guru untuk memenuhi standar penilaian yang ditetapkan.
5) Agar segala tingkah laku guru, senantiasa selaras atau paling tidak, tidak bertentangan dengan
profesi yang disandangnya, ialah sebagai seorang pendidik. Lebih lanjut dapat diteladani oleh anak
didiknya dan oleh masyarakat umum.
Kode etik guru ditetapkan dalam suatu kongres yang dihadiri oleh seluruh utusan cabang dan
pengurus daerah PGRI se Indonesia dalam kongres k XIII di Jakarta tahun 1973, yang kemudian
disempurnakan dalam kongres PGRI ke XVI tahun 1989 juga di Jakarta yang berbunyi sebagai berikut :
1) Guru berbakti membimbing siswa untuk membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
2) Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
3) Guru berusaha memperoleh informasi tentang siswa sebagai bahan melakukan bimbingan dan
pembinaan.
4) Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajarmengajar.
5) Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk
membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
6) Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat
profesinya.
7) Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial.
8) Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana
perjuangan dan pengabdian.
9) Guru melaksanakan segala kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang pendidikan.
Selain kode etik guru Indonesia, sebagai pernyataan kebulatan tekad guru Indonesia, maka pada
kongres PGRI XVI yang diselenggarakan tanggal, 3 sampai dengan 8 Juli 1989 di Jakarta telah
ditetapkan adanya Ikrar Guru Indonesia dengan rumusan sebagai berikut :
3) Kami Guru Indonesia, bertekad bulat mewujudkan tujuan nasional dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa.
4) Kami Guru Indonesia, bersatu dalam wadah organisasi perjuangan Persatuan Guru Republik
Indonesia, membina persatuan dan kesatuan bangsa yang berwatak kekeluargaan.
5) Kami Guru Indonesia, menjunjung tinggi Kode Etik Guru Indonesia sebagai pedoman tingkah laku
profesi dalam pengabdiannya terhadap bangsa, negara, dan kemanusiaan.
Mereka
memiliki
seni
dalam
hubungan-hubungan
manusiawi
yang
diperolehnya
dari
pengamatannya tentang bekerjanya psikologi, biologi dan antropologi kultural di dalam kelas.
e. Mereka berkeinginan untuk terus tumbuh. Mereka sadar bahwa dibawah pengaruhnya, sumbersumber manusia dapat berubah nasibnya.
Karakteristik atau sifat-sifat guru yang baik dalam pandangan siswa meliputi : (1). Demokratis, (2).
Suka bekerja sama (kooperatif), (3). Baik hati, (4). Sabar, (5). Adil, (6). Konsisten, (7). Bersifat terbuka,
(8). Suka menolong, (9). Ramah tamah, (10). Suka humor, (11). Memiliki bermacam ragam minat, (12).
Menguasai bahan pelajaran, (13). Fleksibel, (14). Menaruh minat yang maik terhadap siswa. (Oemar
Hamalik, 2002).
Menurut Cooper mengutip pendapat B.O. Smith (dalam Suparlan, 2004) yang telah menyarankan
bahwa seorang guru yang terlatih harus disiapkan dengan empat bidang kompetensi agar ia menjadi
guru yang efektif yaitu :
a. Command of theoretical knowledge about learning and human behavior.
Sedangkan Leo R. Sandy (dalam Suparlan, 2004) menguraikan beberapa dimensi kemampuan dan
sikap yang membentuk karakteristik guru efektif. Setidaknya ada 12 karakteristik guru efektif sebagai
berikut :
a. Menjadi a learner (pembelajar)
b. Menjadi a leader (pemimpin)
c. Menjadi a provocateur (provokator dalam arti positif).
d. Menjadi a stranger (pengelana)
e. Menjadi an innovator (inovator).
f. Menjadi a comedian/entertainment (pelawak/penghibur).
g. Menjadi a coach or guide (pelatih atau pembimbing).
h. Menjadi a genuine human being or humanist (manusia sejati atau seorang humanis).
i. Menjadi a sentinel
j. Menjadi optimist or idealist (orang yang optimis atau idealis).
k. Menjadi a collaborator (kolaborator atau orang yang suka bekerja sama)
l. Menjadi a revolusionar (berfikiran maju atau revolusioner).
Guru yang efektif memiliki kualitas kemampuan dan sikap yang sanggup memberikan yang terbaik
bagi peserta didik dan menyenangkan peserta didik dalam proses belajar mengajarnya.
Tokoh lain yang mengemukakan tentang guru efektif menyebutkan karakterisik guru efektif sebagai
berikut :
a. Senantiasa memberikan bantuan dalam kerja sekolah pelajar.
b. Periang, gembira dan berperawakan menarik.
c. Berprikemanusiaan, pengasih.
d. Berminat terhadap dan memahami pelajarnya.
e. Boleh menjadikan suasana pembelajaran menyeronokkan.
f. Tegas dan cekap mengawal kelasnya.
g. Adil, tidak pilih kasih.
h. Tidak pemanas, pendedam. Perungut dan pemerli.
i. Berpribadi yang menyenangkan.
Berdasarkan model karakteristik guru efektif yang dikemukakan beberapa ahli maka berbagai indikator
guru efektif yang dikemukakan Suparlan (2004) sebagai berikut :
1. Adil dalam tindakan dan perlakuannya.
2. Menjaga perawakan dan cara berpakaian.
3. Menunjukkan rasa simpati kepada setiap pelajar.
Guru memiliki perana yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Guru yang
profesional diharapkan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Profesionalisme guru sebagai ujung
tombak di dalam implementasi kurikulum di kelas yang perlu mendapat perhatian (Depdiknas, 2005).
Dalam proses belajar mengajar, guru mempunyai tugas untuk mendorong, membimbing, dan memberi
fasilitas belajar bagi siswa untuk mencapai tujuan. Guru mempunyai tanggung jawab uuntuk melihat
segala sesuatu yang terjadi dalam kelas untuk membantu proses perkembangan siswa. Penyampaian
materi pelajaran hanyalah merupakan salah satu dari berbagai kegiatan dalam belajar sebagai suatu
proses yang dinamis dalam segala fase dan proses perkembangan siswa. Secara lebih terperinci tugas
guru berpusat pada:
a. Mendidik dengan titik berat memberikan arah dan motifasi pencapaian tujuan baik jangka pendek
maupun jangka panjang.
Begitu pentinya peranan guru dalam keberhasilan peserta didik maka hendaknya guru mampu
beradaptasi dengan berbagai perkembangan yang ada dan meningkatkan kompetensinya sebab guru
pada saat ini bukan saja sebagai pengajar tetapi juga sebagai pengelola proses belajar mengajar.
Sebagai orang yang mengelola proses belajar mengajar tentunya harus mampu meningkatkan
kemampuan dalam membuat perencanaan pelajaran, pelaksanaan dan pengelolaan pengajaran yang
efektif, penilain hasil belajar yang objektif, sekaligus memberikan motivasi pada peserta didik dan juga
membimbing peserta didik terutama ketika peserta didik sedang mengalami kesulitan belajar.
Salah satu tugas yang dilaksanakan guru disekolah adalah memberikan pelayanan kepada siswa agar
mereka menjadi peserta didik yang selaras dengan tujuan sekolah. Guru mempengaruhi berbagai
aspek kehidupan baik sosial, budaya maupun ekonomi. Dalam keseluruhan proses pendidikan, guru
merupakan faktor utama yang bertugas sebagai pendidik. Guru harus bertanggung jawab atas hasil
kegiatan belajar anak melalui interaksi belajar mengajar. Guru merupakan faktor yang mempengaruhi
berhasil tidaknya proses belajar dan karenya guru harus menguasai prinsip-prinsip belajar di samping
menguasai materi yang disampaikan dengan kata lain guru harus menciptakan suatu konidisi belajar
yang sebagik-baiknya bagi poeserta didik, inilah yang tergolong kategori peran guru sebagai pengajar.
Disamping peran sebagai pengajar, guru juga berperan sebagai pembimbing artinya memberikan
bantuan kepada setiap individu untuk mencapai pemahaman dan pengarahan diri yang dibutuhkan
untuk melakukan penyesuan diri secara maksimal terhadap sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat
Oemar H (2002) yang mengatakan bimbingan adalah proses pemberian bantuan terhadap individu
untuk mencapai pemahaman diri dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian
diri secara maksimal terhadap sekolah, keluarga serta masyarakat.
d. Mengadakan pertemuan atau hubungan dengan orang tua siswa, baik secara individu maupun
secara kelompok, untuk memperoleh saling pengertian tentang pendidikan anak.
e. Bekerjasama dengan masyarakat dan lembaga-lembaga lainya untuk membantu memecahkan
masalah siswa.
f. Membuat catatan pribadi siswa serta menyiapkannya dengan baik.
g. Menyelenggarakan bimbingan kelompok atau individu.
h. Bekerjasama dengan petugas-petugas bimbingan lainnya untuk membantu memecahkan masalah
siswa.
i. Menyusun program bimbingan sekolah bersama-sama dengan petugas bimbingan lainnya.
j. Meneliti kemajuan siswa, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Peran guru sebagai pengajar dan sebagai pembing memiliki keterkaitan yang sangat erat dan
keduanya dilaksanakan secara berkesinambungan dan sekaligus berinterpenetrasi dan merupakan
keterpaduan antara keduanya.