A. PENDAHULUAN
Latar belakang
i.
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara umum di Indonesia masih sering
terabaikan. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja. Di Indonesia,
setiap tujuh detik terjadi satu kasus kecelakaan kerja (K3 Masih Dianggap Remeh, Warta
Ekonomi, 2 Juni 2006). Hal ini tentunya sangat memprihatinkan. Tingkat kepedulian dunia usaha
terhadap K3 masih rendah. Padahal karyawan adalah aset penting perusahaan. Berbagai program
telah banyak dikembangkan dalam upaya memperkecil angka kesakitan dan kematian akibat
kerja.
Program2 tersebut berkembang atas dasar pendekatan yang dipergunakan mulai dari yang
menggunakan pendekatan rekayasa, kemudian pendekatan sistim kemudian yang dewasa ini
banyak diterapkan menggunakan pendekatan perilaku serta budaya.
Pendekatan perilaku dan budaya banyak diterapkan oleh karena masih melekatnya
pandangan yang menganggap bahwa penyebab kecelakaan banyak disebabkan oleh faktor
perilaku manusia dan juga belum membudayanya K3.
Kewajiban untuk menyelenggarakaan Sistem Manajemen K3 pada perusahaan-perusahaan
besar melalui UU Ketenagakerjaan, baru menghasilkan 2,1% saja dari 15.000 lebih perusahaan
berskala besar di Indonesia yang sudah menerapkan Sistem Manajemen K3. Minimnya jumlah
itu sebagian besar disebabkan oleh masih adanya anggapan bahwa program K3 hanya akan
menjadi tambahan beban biaya perusahaan. Padahal jika diperhitungkan besarnya dana
kompensasi/santunan untuk korban kecelakaan kerja sebagai akibat diabaikannya Sistem
Manajemen K3, yang besarnya mencapai lebih dari 190 milyar rupiah di tahun 2003, jelaslah
bahwa masalah K3 tidak selayaknya diabaikan. Di samping itu, yang masih perlu menjadi
catatan adalah standar keselamatan kerja di Indonesia ternyata paling buruk jika dibandingkan
dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk dua negara lainnya, yakni Bangladesh
dan Pakistan. Sebagai contoh, data terjadinya kecelakaan kerja yang berakibat fatal pada tahun
2001 di Indonesia sebanyak 16.931 kasus, sementara di Bangladesh 11.768 kasus
Perilaku dan budaya k3 yang ada di Indonesia merupakan masalah utama terjadinya
kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja dimana hal hal tersebut masihlah sering menjadi
sorota utama di kancah dunia k3 bahwa "budaya keselamatan merupakan konsep penting yang
membentuk lingkungan dimana sikap keselamatan individu mengembangkan dan bertahan dan
perilaku keselamatan dipromosikan "( Mearns et al ) bahkan Jumlah kecelakaan kerja yang
tercatat juga ditengarai tidak menggambarkan kenyataan di lapangan yang sesungguhnya yaitu
tingkat kecelakaan kerja yang lebih tinggi lagi. Seperti diakui oleh berbagai kalangan di
lingkungan Departemen Tenaga Kerja, angka kecelakaan kerja yang tercatat dicurigai hanya
mewakili tidak lebih dari setengah saja dari angka kecelakaan kerja yang terjadi. Hal ini
disebabkan oleh beberapa masalah, antara lain rendahnya kepentingan masyarakat untuk
melaporkan kecelakaan kerja kepada pihak yang berwenang
Merujuk pada konsep IAEA, BAPETEN dan BATAN di Indonesia telah mulai menyusun
model budaya K3 dan alat ukurnya sebelum tahun 2005 dalam rangka meningkatkan budaya
keselamatan instalasi. Sedangkan di sektor lain seperti Migas, Minerba, Panas Bumi,
Manufaktur dan lainnya saat ini juga banyak dilakukan program pengembangan perilaku dan
budaya K3, sesuai dengan rujukannya masing sektor.
Apakah berbagai program yang sudah dijalankan tersebut telah membangun budaya K3
di dunia kerja?. Ini merupakan suatu pertanyaan yang tidak bisa di jawab dengan cepat dan
mudah. Tapi juga tidak bisa disangkal bila banyak pendapat yang menungkapkan bahwa K3
belum membudaya di Industri di Indonesia. Akibatnya seringkali terjadi diskusi yang
berkepanjangan terutama pada saat menentukan apa indikatornya budaya K3.
ii.
Analisis Situasi
Dewasa kini tak dipungkiri lagi keselamatan dan kesehatan kerja adalah prioritas utama yang
sedang digencarkan oleh pemerintah maupun pihak perusahaan yang telah dicanangkan oleh
Negara Negara maju .
Adanya budaya keselamatan (safety culture) akan sangat mendukung tercapainya
peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Apa itu budaya keselamatan? Budaya
keselamatan adalah sifat dan sikap dalam organisasi dan individu yang menekankan pentingnya
keselamatan. Oleh karena itu, budaya keselamatan mempersyaratkan agar semua kewajiban yang
berkaitan dengan keselamatan harus dilaksanakan secara benar, seksama, dan penuh rasa
tanggung jawab.
kesadaran terhadap keselamatan adalah utama selama melakukan kegiatan berkerja maupun
kegiatan sehari hari .pengolahan manajemen k3 yang semakin maju dengan pembaharuan system
dan peraturan peraturan pemerintah yang sudah mulai mengikuti alur langkah saferty behavior
semakin mendukung tujuan utama yaitu zero accident maka dengan adanya perkembangan
tersebut setidaknya perilaku budaya k3 di Indonesia sudah semakin dalam titik yang aman .
namun tak dapat dipungkiri lagi halangan akan mengembangkan perilaku budaya k3 di Indonesia
cukup banyak dimulai dari kurangnya pengetahuan masyarakat sampai pendanaan alat alat untuk
pencegahan bahaya paling tidak maintance atau pengecekan dan perbaikanpun sangat minimalis
iii.
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini masalah yang akan dikaji adalah sebagai berikut :
Pentingnya implementasi perilaku budaya k3?
Hambatan pelaksanaan budaya k3?
Strategi yang di ambil dalam meningkatkan safety behavior?
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah mengetahui seberapa pentingnya
perilaku berbudaya k3 di dukung dengan jurnal jurnal internasional sehingga
mahasiswa dapat membandingkan keberjalanan safety behavior guna mendapatkan
informasi para ahli mengenai pentingnya perilaku berbudaya k3 terkait dengan
perkembangan dunia industri yang sangat pesat guna meningkatkan produktivitas
serta tetap memperhatikan aspek keselamatan dan kesehatan tenaga kerja.
C. Tinjauan pustaka
I.
karena adanya kesalahan manusia (human error) akibat buruknya budaya selamat.
Padahal kesalahan manusia (human error) dapat terjadi didalam
sebuah organisasi yang mempunyai budaya selamat yang sangat baik sekalipun
karena kesalahan manusia terjadi akibat berbagai macam faktor.
Kendala lain adalah masih banyak orang yang menyukai paradigm blaming the
person yang memandang bahwa faktor kesalahan manusialah yang menjadi
sumber penyebab (causes) kecelakaan dan tidak beranggapan atau melihat faktor
kesalahan manusia sebagai sebuah akibat (effect) dari suatu keadaan. Pandangan
yang demikian ini tentu saja mempunyai dampak dalam pengembangan program
yang selalu tertuju hanya pada satu aspek saja sambil melupakan aspek2 penting
lainnya dalam budaya keselamatan.
III.
dipertahankan. Setelah program dijalankan kemudian dalam kurun waktu satu tahun
dapat diukur lagi perubahan yang terjadi dan kemudian disusun kembali program lainnya
sebagai suatu program perbaikan yang berkelanjutan (continuous improvement).
Contoh di tambang batubara yang lain, adalah pengembangan program Peningkatan
Kepempinan Keselamatan pada Supervisor (supervisory safety leadership improvement)
yang tentunya diikuti dengan penerapan program lainnya seperti Behavior-Based Safety,
JSA, Risk Management, System Audit serta penigkatan pemahaman SMK3 pada seluruh
pekerja disemua tingkatan.
Menurut heindrich melaporkan bahwa 82,6 persen adalah hasil dari
"tindakan tidak aman." Memacu para menejemen untuk menciptakan strategi
yaitu BBS atau dikenal dengan (behavior based safety) BBS pendukung percaya
bahwa perilaku pekerja yang tidak aman adalah penyebab utama dari cedera dan
hanya dengan mengendalikan perilaku cidera dapat dicegah . Dalam pendekatan
ini, manajemen mendorong supervisor dan rekan kerja untuk melaporkan apakah
karyawan lainnya bekerja dengan aman, dan mengeluarkan imbalan atau
membagi-bagikan tindakan disiplin sesuai. Hal tersebut merupakan startegi yang
dinilai paling ampuh dalam melakukan peningkatan serta kontroling safety
behavior karyawan dengan perilaku yang tidak aman dapat di control dengan
mudah sehingga memperkecil terjadinya kecelakaan akibat kerja . dengan kutipan
diatas mencerminkan bahwa adanyan timbal balik dan hubungan yang cukup baik
antara karyawan ataupun pekerja dengan pihak manajemen perusahaan . dengan
begitu pekerja pun akan antusias dengan program yang dicanangkan oleh
manajemen yaitu safety behavior . pendekatan secara persuasive akan adanya
jaminan keselamatan yang benar benar ada dan diberikan oleh perusahaan akan
memperlancar jalannya safety behavior .
tersebut dilanggar ataupun disampingkan bahaya bahaya yang akan ditibulkan akan sangat fatal .
hambatan hambatan yang terjadi terutama dari pihak manajemen perlu adanya perbaikan agar
tercapainya perilaku budaya k3 yang baik serta strategi yang dilakukan manajemen haruslah
efektif serta benar benar memberikan jaminan keselamatan bagi pekerja
Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja saat ini menjadi Pilar dalam Kerangka
Peningkatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (The Pillars of Global Strategy of Occupational
Safety and Health). Tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mengembangkan
kerangka kerja membudayakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di industry.
Kemajemukan dan keragaman konsep Budaya K3, sebagai bagian dari budaya organisasi,
tidak perlu menjadi hambatan untuk mengembangkan konsep budaya K3 beserta indikatornya
yang komprehensif, universal, sederhana, jelas dan mudah diukur serta mudah dipergunakan
dalam menyusun program mengembangkan budaya K3 di perusahaan. Indikator budaya K3 yang
dipergunakan hendaknya tidak bersifat tunggal dan perlu meliputi indicator aspek manusia dan
organisasi-manajemen terutama aspek sistim manajemen K3 dan penerapannya secara konsiten .
Program pengembangan budaya keselamatan diperusahan hendaknya tidak bersifat
tunggal dan perlu dilakukan dalam kerangka yang berkesinambungan sesuai dengan falsafah
continuous improvement.
Berbagai hambatan yang ada dalam meningkatkan budaya K3 perlu diatasi secara
terencana dan sistimatis. Hambatan yang melekat pada aspek organisasi perlu diatasi dengan
melakukan sosialisasi regulasi yang ada menerapkannya secara konsisten. Sedangkan hambatan
yang terkait dengan sumber daya manusia perlu diatasi melalui peningkatan kesadaran dan
pengetahuan dalam bentuk formal maupun non formal.
II.
Saran
alangkah baiknya ketika safety behavior di perlakukan sejak dini setidaknya
diperkenalkan mulai dari kehidupan sehari hari sampai training terhadap pekerja yang
akan melakukan pekerjaan sesuai dengan spesialisasinya
E. Daftar pustaka :
http://www.lhsfna.org/index.cfm/lifelines/january-2013/behavior-based-safety-vssafety-culture/
(https://en.wikipedia.org/wiki/Safety_culture)
http://www.hse.gov.uk/humanfactors/resources/articles/behavioural-safety.htm
https://www.linkedin.com/pulse/your-guide-behavior-based-safety-culture-juliecurrid
http://www.hse.gov.uk/humanfactors/topics/behaviouralintor.htm