Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MATA KULIAH PERILAKU DAN BUDAYA K3

MAKALAH PERILAKU DAN BUDAYA K3

DISUSUN OLEH :

NAMA : RATNA NUR SANTI

NIM : R0014063

KELAS :A

PROGRAM STUDI D3 HIPERKES & KK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbagai program telah banyak dikembangkan dalam upaya
memperkecil angka kesakitan dan kematian akibat kerja. Program-program
tersebut berkembang atas dasar pendekatan yang dipergunakan mulai dari yang
menggunakan pendekatan rekayasa, kemudian pendekatan sistim kemudian
yang dewasa ini banyak diterapkan menggunakan pendekatan perilaku serta
budaya.
Pendekatan perilaku dan budaya banyak diterapkan oleh karena masih
melekatnya pandangan yang menganggap bahwa penyebab kecelakaan banyak
disebabkan oleh faktor perilaku manusia dan juga belum membudayanya K3.
Berkembangnya pendekatan budaya keselamatan dan kesehatan (Health and
Safety Culture) mulai dikenal setelah terjadinya peristiwa Chernobyl di thn
1986.
Istilah Budaya Keselamatan (safety culture) sebagai bagian dari Budaya
Organisasi (organizational culture) menjadi populer dan mulai diugunakan
sebagai pendekatan untuk lebih memantapkan implementasi sistim manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja.
Secara global, di dunia akademis berkembang berbagai konsep dan
model untuk menilai maupun mengembangkan budaya K3. Begitu juga
perkembangan yang terjadi didalam dunia praktis yang umumnya berlandaskan
pada pendekatan keilmuan yang berkembang saat itu. Namun tak dapat
disangkal terdapat pula beberapa program yang berkembang tidak berakar pada
konsep keilmuan yang ada sehingga pada akhirnya menimbulkan berbagai
kontroversi di dalam penerapan.
B. Analisa Situasi
Terjadinya kecelakaan kerja tentu saja menjadikan masalah yang besar
bagi kelangsungan suatu usaha. Kerugian yang diderita tidak hanya berupa
kerugian materi yang cukup besar namun lebih dari itu adalah timbulnya
korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya. Kehilangan sumber daya manusia
ini merupakan kerugian yang sangat besar karena manusia adalah satu-satunya
sumber daya yang tidak dapat digantikan oleh teknologi apapun.
Setiap tahun di dunia terjadi 270 juta kecelakaan kerja, 160 juta pekerja
menderita penyakit akibat kerja, kematian 2.2 juta dan kerugian finansial
sebesar 1.25 triliun USD. Sedangkan di Indonesia menurut data PT. Jamsostek
(Persero) dalam periode 2002-2005 terjadi lebih dari 300 ribu kecelakaan kerja,
5000 kematian, 500 cacat tetap dan konpensasi lebih dari Rp. 550 milyar.
Konpensasi ini adalah sebagian dari kerugian langsung dan 7.5 juta pekerja
sektor formal yang aktif sebagai peserta Jamsostek. Diperkirakan kerugian
tidak langsung dari seluruh sektor formal lebih dari Rp. 2 triliun, dimana
sebagian besar merupakan kerugian dunia usaha. (DK3N, 2007).
Melihat angka-angka tersebut tentu saja bukan suatu hal yang
membanggakan, akan tetapi hendaklah dapat menjadi pemicu bagi dunia usaha
dan kita semua untuk bersama-sama mencegah dan mengendalikannya. Upaya
pencegahan dan pengendalian bahaya kerja yang dapat menyebabkan
terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dilakukan dengan
penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di tempat kerja.

C. Rumusan Masalah
1. Apa pengaruh top management terhadap budaya Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) ?
2. Apa saja faktor pembentuk budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
?
3. Bagaimana penilaian safety culture di PT. X dengan menggunakan
Cooper’s Reciprocal Safety Culture Model ?
4. Bagaimana penerapan budaya K3 pada sektor manufaktur di Malaysia ?
5. Apa itu The Organizational Culture Profile (OCP) ?

D. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana top management bisa berpengaruh pada budaya
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
2. Untuk mengidentifikasi faktor apa saja yang dapat membentuk budaya
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
3. Untuk mengetahui bagaimana penilaian safety culture di PT. X dengan
menggunakan Cooper’s Reciprocal Safety Culture Model.
4. Untuk menganalisis bagaimana penerapan budaya K3 pada sektor manufaktur
di Malaysia.
5. Untuk mengetahui apa itu The Organizational Culture Profile (OCP).
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Jurnal Nasional 1 :
“Pengaruh Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Terhadap
Kinerja Proyek Konstruksi”
Kegiatan jasa konstruksi telah terbukti memberikan kontribusi penting
dalam perkembangan dan pertumbuhan ekonomi disemua negara di dunia,
termasuk Indonesia, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta
(Kadin, 2002).
Dalam menghadapi persaingan pasar bebas, perlu dilakukan langkah-
langkah antisipatif yang harus dipersiapkan oleh perusahaan-perusahaan jasa
konstruksi, baik swasta maupun BUMN yang ada di Indonesia dengan
melakukan berbagai macam perbaikan guna meningkatkan kualitas kinerja
manajemen, sehingga dapat menghasilkan suatu sistem bisnis perusahaan jasa
konstruksi yang ideal (Sudarto,2003).
Salah satu penyebab perusahaan jasa konstruksi tidak berkembang adalah
karena pengusaha dan top manajemen tidak mau mengakui bahwa mereka perlu
membentuk kembali budaya perusahaan dan/atau mengambil cara baru
dalam mengatur orang pada suatu tahap awal yang menjadi titik kritis dalam
sejarah perusahaan. Intervensi untuk mendorong perkembangan perusahaan dan
sebelum terjadinya pengaruh negatif dari pekembangan kebudayaan organisasi
yang cepat dan kepemimpinan yang dianggap dominan (Leach and Kenny,
2000).
Dalam Manajemen Proyek Konstruksi, salah satu sasaran utama yang
dicapai, adalah menciptakan iklim kerja yang mendukung baik dari segi
sarana, kondisi kerja, keselamatan kerja, dan komunikasi timbal balik yang
terbuka antara atasan dan bawahan (Paulus, 1985).
Pada jurnal ini dilakukan beberapa penelitian tentang hal-hal yang
berpengaruh terhadap budaya K3, diantaranya :
1. Komitmen Top Management terhadap K3 berpengaruh terhadap kinerja
proyek konstruksi.
2. Peraturan dan prosedur K3 berpengaruh terhadap kinerja proyek konstruksi
3. Faktor komunikasi pekerja berpengaruh terhadap kinerja proyek
konstruksi
4. Lingkungan pekerja berpengaruh terhadap kinerja proyek konstruksi
5. Kompetensi pekerja berpengaruh terhadap kinerja proyek konstruksi
6. Keterlibatan pekerja berpengaruh terhadap kinerja proyek konstruksi
Kesimpulan yang dapat diambil dari model pengaruh budaya
keselamatan dan kesehatan kerja tersebut adalah budaya keselamatan kerja
harus dimulai dari top management terhadap masalah keselamatan kerja,
selanjutnya pelaksanaan konstruksi prosedur keselamatan kerja memegang
peranan penting dalam meningkatkan kinerja proyek konstruksi. Karena
semakin tinggi budaya keselamatan dan kesehatan kerja yang diterapkan oleh
top management, maka akan semakin tinggi pula kinerja suatu proyek
konstruksi. Kesimpulan diambil sesuai dengan penelitian dan pustaka yang
menyatakan bahwa budaya keselamatan dan kesehatan kerja harus dimulai
dari top management.

B. Jurnal Nasional 2 :
“Hubungan Antara Faktor Pembentuk Budaya Keselamatan Kerja
dengan Safety Behavior di Pt Dok dan Perkapalan Surabaya Unit Hull
Construction”

Konstruksi merupakan kegiatan dengan level risiko tinggi dan dapat


menimbulkan berbagai dampak yang tidak diinginkan terutama dalam aspek
keselamatan kerja. Dampak yang bisa timbul dari kegiatan konstruksi berupa
rusaknya peralatan yang digunakan, rusaknya lingkungan sekitar proyek,
bahkan dapat menghilangkan nyawa pekerja. Pekerja yang kompeten di dalam
proyek konstruksi tidak akan terlepas dari kejadian kecelakaan kerja (Abduh,
2010).
Terjadinya kecelakaan kerja disebabkan karena dua golongan.
Golongan pertama adalah faktor mekanis dan lingkungan (unsafe condition),
sedangkan golongan kedua adalah faktor manusia (unsafe action). Beberapa
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa faktor manusia
menempati posisi yang sangat penting terhadap terjadinya kecelakaan
kerja yaitu antara 80–85% (Suma’mur, 2009).
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengurangi terjadinya
kecelakaan di tempat kerja yaitu dengan adanya budaya keselamatan. Budaya
keselamatan dapat terbentuk dengan adanya faktor pembentuk budaya
keselamatan. Penelitian pada jurnal ini bertujuan untuk melihat hubungan
antara faktor pembentuk budaya keselamatan (meliputi komitmen manajemen,
peraturan dan prosedur, komunikasi, keterlibatan pekerja, kompetensi, dan
lingkungan sosial pekerja) dengan safety behavior. Penelitian ini bersifat
deskriptif observatif dengan rancang bangun penelitian cross sectional.
Populasi dalam penelitian ini sebanyak 73 responden dan data dikumpulkan
dengan menggunakan kuesioner. Variabel independen berupa komitmen
manajemen, peraturan dan prosedur K3, komunikasi, kompetensi, keterlibatan
pekerja dalam K3, dan lingkungan sosial pekerja, sedangkan variabel dependen
yaitu safety behavior. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pembentuk
budaya keselamatan dengan kuat hubungan yang lemah terhadap safety
behavior yaitu komitmen manajemen, peraturan dan prosedur K3, dan
keterlibatan pekerja. Faktor pembentuk budaya keselamatan yang memiliki
hubungan kuat dengan safety behavior yaitu komunikasi dan lingkungan sosial
pekerja.

C. Jurnal Nasional 3:
“Pengukuran Budaya K3 pada Tingkat Non Manajerial dengan
Menggunakan Cooper’s Reciprocal Safety Culture Model Di Pt. X”
Setiap perusahaan mempunyai target “zero accident”, tetapi pada
kenyataannya masih sering terjadi insiden/accident di setiap tahunnya.
Berdasarkan incident/accident report tiap tahun hal ini dikarenakan oleh
kondisi yang tidak aman (unsafe condition) seperti lantai didaerah sekitar
tempat kerja yang licin, maupun perilaku yang tidak aman (unsafe action)
seperti bermain Hp pada saat bekerja. Kondisi ini sebenarnya dapat diatasi
dengan hal yang sepele, seperti pemberian APD kepada pekerja dan
memasang papan peringatan,dll.
Pekerja yang berada pada level non managerial adalah mereka yang
selalu berada di lapangan dan bersinggungan dengan bahaya laten yang ada
akibat paparan di lingkungan tempat kerja. Tetapi sering kali fakta
dilapangan justru pada kalangan inilah angka inciden /accident paling
banyak terjadi, karena banyak dari mereka yang tidak menggunakan APD yang
telah disediakan dengan baik.
Dari latar belakang tersebut, permasalahan dalam penelitian di jurnal ini
adalah bagaimana hasil pengukuran safety culture yang ada di PT. X,
khususnya pada tingkatan non managerial dengan menggunakan Cooper’s
Reciprocal Safety Culture Model.
Dalam konteks K3, istilah budaya hadir pada level yang lebih tinggi,
sebagian berhubungan dengan kebijakan dan tujuan (input). Sedangkan
istilah iklim perusahaan sering dipakai untuk menerangkan hasil (output)
budaya keselamatan yang lebih terukur. Pengukuran tentang iklim
keselamatan sendiri sebenarnya mengukur dimensi-dimensi budaya
keselamatan dalam batas-batas tertentu.
Dari Cooper’s Reciprocal Safety Culture Model dari dimensi safety
climate dapat dijabarkan menjadi 11 dimensi, dimensi berikut ini menjadi
fokus utama untuk memastikan keselamatan iklim organisasi saat ini.
Masing-masing telah terbukti secara jelas berkaitan dengan budaya
keselamatan yang efektif. Dimensi yang dimaksud tersebut diantaranya :
1. Komitmen manajemen
2. Tindakan manajemen
3. Komitmen pribadi terhadap keselamatan
4. Akibat dari kebutuhan kecepatan kerja
5. Persepsi terhadap level resiko
6. Keyakinan tentang penyebab kecelakaan
7. Pengaruh tekanan kerja
8. Efektifitas komunikasi kesalamatan di dalam organisasi
9. Efektifitas prosedur darurat
10. Pentingnya pelatihan keselamatan
11. Status orang dan komite keselamatan dalam suatu organisasi

Dari hasil penilaian safety culture secara keseluruhan terdapat tiga


dimensi yang memiliki skor yang rendah, yaitu dimensi keyakinan terhadap
penyebab kecelakaan, pengaruh tekanan kerja dan efektifitas prosedur
darurat. Sedangkan skor tertinggi adalah pada dimensi persepsi pribadi
terhadap resiko dan pengaruh tekanan kerja. Saran untuk PT. X sebaiknya
mengevaluasi efektifitas prosedur darurat yang ada dan meninjau ulang
masalah beban kerja ada khususnya bagi pekerja non manajerial.

D. Jurnal Internasional 1 :
“Safety Culture in Combating Occupational Safety and Health Problems
in the Malaysian Manufacturing Sectors”
Pertumbuhan ekonomi yang cepat melalui industrialisasi tidak hanya
berdampak signifikan dalam hal distribusi pendapatan dan kualitas hidup,
tetapi juga mengakibatkan meningkatnya jumlah kecelakaan di tempat kerja.
Menurut Organisasi Buruh Internasional, diperkirakan bahwa setiap tahun
sekitar 2 juta pekerja tewas akibat kecelakaan dan penyakit yang berhubungan
dengan pekerjaan, 270 juta kecelakaan kerja dan 160 juta penyakit yang
berhubungan dengan pekerjaan yang terjadi ( Soehod & Laxman 2007) .
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3), yang merupakan disiplin berkaitan
dengan melestarikan dan melindungi sumber daya manusia dan fasilitas di
tempat kerja , merupakan aspek penting dalam mengurangi risiko di tempat
kerja. K3 pada dasarnya merupakan standar yang ditetapkan dalam undang-
undang dengan tujuan untuk menghilangkan dan mengurangi bahaya di tempat
kerja. Fokus K3 adalah untuk memiliki tenaga kerja yang sehat dan produktif
untuk kebaikan rakyat dan bangsa ( Abdul Rahman , 2006) .

Di Malaysia, peran keselamatan dan kesehatan kerja telah ada sejak 130
tahun yang lalu. Menurut Departemen Keselamatan dan Kesehatan (DOSH,
2010), pengembangan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja dapat
dikategorikan menjadi lima era. Ini dimulai dengan era pertama, bernama Era
Keselamatan Steam Boiler / Ketel Uap, yang berlangsung sebelum 1914.
Selanjutnya, Era Keselamatan Mesin berlangsung dari tahun 1914 sampai
1952. Selama era ini, pengundang-undangan mesin tahun 1913 menggantikan
berbagai pengundang-undangan steam boiler dari Sekutu Melayu Serikat pada
1 Januari 1914. Perkembangan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja
diperluas di era berikut era keselamatan Industri yang berlangsung dari tahun
1953 sampai 1969. pada tahun 1953, Mesin Ordonansi 1953 diberlakukan
untuk mengganti semua peraturan perundang-undangan sebelumnya.
Selanjutnya, pada tahun 1967, Parlemen telah menyetujui Pabrik dan Mesin
Act (FMA 1967). Antara tahun 1970 sampai tahun 1994, era itu disebut
Keselamatan Industri dan Era Hygiene. Dalam era ini, beberapa modifikasi
dibuat. Mulai tahun 1970, Pabrik dan Tindakan permesin 1967 dan delapan
dari peraturan yang diberlakukan menggantikan Mesin Ordonansi 1953. Pada
tahun 1980, penerapan Pabrik dan tindakan permesinan 1967 diperpanjang
untuk Sabah dan Sarawak. Sejak tahun 1994, itu adalah Era Keselamatan dan
Kesehatan Kerja di mana Parlemen mengesahkan undang-undang baru yang
dikenal sebagai Occupational Safety and Health Act (OSHA) 1994 yang
dikukuhkan pada Februari 1994.
Ada 2 masalah utama yang berkaitan dengan K3 pada sektor manufaktur
di Malaysia, yaitu :
1. Tingginya kecelakaan kerja karena kurangnya penerapan budaya K3
Dari data statistik, dapat disimpulkan bahwa keselamatan kerja belum
dimasukkan sebagai budaya oleh produsen Malaysia. Kesimpulan ini dapat
didukung dengan pengakuan oleh DOSH itu sendiri yang keselamatan dan
kesehatan kerja di Malaysia masih di tingkat kepatuhan dan belum menjadi
budaya ( DOSH, 2010) . Statistik kecelakaan kerja oleh sektor pada tahun
2011 sebagai disahkan oleh Dosh juga menunjukkan bahwa sektor
manufaktur mencatat tingkat tertinggi cacat non - permanen dan cacat
permanen akibat kecelakaan kerja dengan total 1.471 pekerja memiliki cacat
non-permanen dan 133 pekerja memiliki cacat permanen dibandingkan
dengan sektor lain ( dosh , 2012) .
2. Tidak terpenuhinya kebutuhan K3 yang menyebabkan kurangnya budaya
keselamatan di industri manufaktur
Kebutuhan yang dimaksud yaitu seperti kebijaksanaan keamanan,
komisi/organisasi K3, dan petugas K3.
Meskipun lebih dari 18 tahun telah berlalu sejak OSHA pertama kali
diterapkan di Malaysia, belum ada revisi dilakukan pada OSHA. Karena
Malaysia adalah negara yang berkembang pesat sejak tiga dekade terakhir, ada
ketentuan tertentu yang mungkin tidak lagi kompatibel dengan situasi saat ini.
Misalnya, dalam industri manufaktur, mesin-mesin baru dengan teknologi baru
telah diperkenalkan yang konsekwensinya membutuhkan beberapa ketentuan
OSHA untuk direvisi. Seperti yang disebutkan oleh Xavier (1996 ), bahaya
tidak didasarkan pada jumlah karyawan tetapi sifat pekerjaan. Lingkungan
kerja berubah pasti membutuhkan perubahan hukum.
Hal ini tak terbantahkan bahwa kombinasi yang tepat dari aturan , percaya,
sikap dan praktek yang baik akan menciptakan budaya keselamatan positif di
tempat kerja. Kombinasi ini tampaknya menjadi tantangan besar bagi
pemerintah dan pengambil kebijakan untuk mengurangi tingkat kecelakaan di
industri manufaktur. Bahkan jika hukum yang dikembangkan dengan baik ,
pertanyaannya tetap apakah undang-undang ini benar ditegakkan dan dipatuhi
oleh industri ? Jika manajer hanya fokus pada bagaimana untuk mendapatkan
lebih banyak keuntungan daripada bagaimana mengurangi tingkat kecelakaan
di tempat kerja dan pola pikir pengawas lebih pada produktivitas daripada
keselamatan , ini mengarah ke pertanyaan lain tentang bagaimana sikap dan
persepsi positif dapat dikembangkan antara karyawan produksi ?
Sebagai kesimpulan, para dosh yang bertanggung jawab dalam penegakan
OSHA harus melihat kembali ke relevansi OSHA di era baru industrialisasi
ini. Revisi dan amandemen hukum harus dilakukan untuk membuatnya lebih
kompatibel untuk semua industri terutama yang tingkat tinggi tingkat
kecelakaan seperti industri manufaktur. Komitmen dari instansi pemerintah,
pengusaha dan karyawan juga diperlukan untuk memastikan masalah
keselamatan menjadi budaya dalam industri karena mengurangi tingkat
kecelakaan, dalam jangka panjang, akan terbukti lebih efektif untuk pengusaha.

E. Jurnal Internasional 2 :
“Quantitative Analysis Of Organizational Culture In Occupational Health
Research: A Theory-Based Validation In 30 Workplaces Of The
Organizational Culture Profile Instrument”

Budaya Organisasi Profil/ The Organizational Culture Profile (OCP)


yang diusulkan oleh O'Reilly et al. (1991) merupakan salah satu survei yang
paling banyak dikutip instrumen dalam literatur budaya organisasi. Meskipun
skala ini awalnya dikembangkan untuk menilai orang-organisasi fit, itu
menjanjikan banyak untuk berbasis populasi. Penelitian ini untuk mencari
model efek budaya organisasi fenomena kelompok-atau individu-tingkat.
Meski begitu, mungkin karena fokus awal, sedikit yang diketahui tentang
sifat-sifat agregat pada tingkat ukuran ini. Hanya beberapa penelitian telah
menganalisis sifat ini dan sebagian besar dilakukan dalam sektor industri
tunggal dengan sampel kecil dari tempat kerja. Selain itu, pendekatan sejauh
ini telah induktif daripada teori. Isu lain yang terkait dengan penggunaan
instrumen survei ini dalam penyelidikan berbasis populasi berhubungan
dengan jumlah item yang termasuk. Ukuran asli memiliki 54 item, tetapi
berkurang menjadi 26. Studi berikut diterapkan lagi atau bentuk-bentuk yang
lebih pendek dari skala. Meskipun ukuran skala membuatnya praktis untuk
studi berbasis populasi skala besar, yang skala 26-item akan mendapat
manfaat dari validasi lebih lanjut bahwa juga akan meninjau sifat kelompok
pada tingkat mengukur. Kekhawatiran terkait adalah bahwa analisis faktor
membutuhkan setidaknya 10 sampai 20 mata pelajaran per item untuk
mencapai terpercaya solusi dan studi telah gagal untuk memenuhi persyaratan
ini ketika menggunakan baik skala 54-item atau 26-item skala. Studi ini
ditandai oleh ukuran sampel karyawan secara keseluruhan. Ada juga
inkonsistensi yang cukup besar dalam konseptual struktur skala OCP. analisis
empiris item skala awalnya dihasilkan tujuh faktor berlabel inovasi,
stabilitas, hormat kepada orang-orang, orientasi hasil, memperhatikan rincian,
orientasi tim, dan agresivitas. Dalam penelitian selanjutnya, jumlah faktor
dilaporkan menjadi salah satu, lima, enam, tujuh, dan delapan. faktor loadings
juga bervariasi dari satu penelitian ke penelitian lainnya.
Penelitian ini memberikan dukungan yang kuat untuk penggunaan skala
OCP untuk mengukur budaya organisasi dalam penelitian kesehatan kerja
berbasis populasi dengan cara yang konsisten dengan Kerangka Nilai
Bersaing. Ini bertujuan untuk memvalidasi instrumen yang menangkap
setidaknya beberapa aspek budaya organisasi. Khususnya Grup budaya
organisasi, karena kapasitasnya untuk membedakan antara tempat kerja dan
asosiasi dengan kesehatan mental dan kesejahteraan hasil, perlu
dipertimbangkan sebagai faktor yang relevan dalam studi kesehatan kerja.
Penelitian dan kebijakan bertingkat bisa mendapatkan keuntungan dari
temuan ini dalam upaya untuk memberikan pemahaman yang lebih lengkap
tentang pengaruh budaya organisasi terhadap strategi bisnis, desain pekerjaan,
sikap karyawan , kebiasaan , kesehatan dan kesejahteraan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari 5 jurnal tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat faktor-faktor
yang mempengarui terlaksananya budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3) di tempat kerja, dan tidak sedikit perusahaan di dalam negeri maupun
luar negeri yang masih belum bisa menerapkan budaya Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) dengan baik sehingga masih terdapat banyak kejadian
seperti kecelakaan kerja yang menelan korban jiwa.

B. Saran
Untuk semua perusahaan baik manufaktur maupun kostruksi yang ada
di seluruh dunia, sebaiknya lebih menekankan lagi penerapan budaya K3 di
tempat kerja karena keselamatan kerja itu sangat penting. Sebaiknya berbagai
program K3 yang sudah ada tidak hanya dipatuhi saja namun harus bisa
dijadikan budaya yang harus diterapkan oleh semua tenaga kerja.
DAFTAR PUSTAKA

Marhaento, Agung. 2012. Budaya K3 untuk Kelangsungan Usaha. Jakarta.


http://xcontohmakalah.blogspot.co.id/2013/10/budaya-keselamatan-dan-
kesehatan-kerja.html (21 Agustus 2012)
Kurniasih. 2013. Jurnal Teknik Industri. Surabaya.
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/jgti/article/view/5068/4592 (18 Mei
2013)
http://jurnal.laporanpenelitian.com/

Anda mungkin juga menyukai