Anda di halaman 1dari 11

TUGAS 1

Budaya dan Tingkat Kematangan Keselamatan

1.1 Definisi budaya keselamatan


Dalam Undang-Undang RI No.1 Tahun 1970 dinyatakan bahwa setiap
tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatannya dalam
melakukan pekerjaan dan perlu diadakan upaya untuk membina norma-norma
perlindungan kerja. Berbagai upaya dilakukan oleh pelaksana konstruksi sebagai
pelaku kerja untuk melindungi pekerjanya dari bahaya kecelakaan kerja. Perilaku
tidak aman merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja, hal
ini menjadi penting untuk enghindari terjadinya kematian maupun kerugian yang
ditimbulkan.
Berbagai pendekatan dimulai dari pendekatan rekayasa (engineering),
sistem manajemen (Integrated safety management system) kemudian dilanjutkan
pendekatan perilaku (behaviour-based system) dilakukan oleh setiap manajemen
konstruksi agar setiap pekerjanya dapat selamat dan menampilkan perilaku yang
aman sehingga kondisi yang aman tersebut menjadi suatu budaya bagi setiap
pekerja di tempat kerja tersebut.
Budaya keselamatan memiliki focus utama pada aspek keyakinan normatif
(normative belief) atau pemikiran seseorang dan bertindak dalam hubungannya
dengan masalah keselamatan. Sebelum tahun 1980 umumnya untuk melakukan
pengembangan budaya dilakukan pendekatan struktural, karena dirasakan menjadi
faktor penting untuk mencapai keberhasilan sehingga masalah pengorganisasian,
prosedur dan penerapannya menjadi fokus utama untuk mengarahkan perilaku.
Setelah peristiwa Chernobyl mulai timbul pandangan yang menganggap masalah
sikap, kebiasaan berpikir dan gaya manajemen organisasi sebagai faktor penting
didalam mempengaruhi perilaku keselamatan. International Nuclear Safety
Advisory Group (INSAG-4) pada akhir tahun 1980 mengungkapkan pentingnya
budaya keselamatan yang pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor struktural dan
perilaku.
Kecelakaan merupakan suatu kejadian yang tidak diinginkan dan
merugikan orang, menimbulkan kerusakan properti atau kerugian proses. Berbagai
regulasi dalam skala global maupun local diciptakan agar dapat mengatur kondisi

Universitas Indonesia
kerja sehat dan aman sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Pelatihan untuk
mengubah sikap dan budaya keselamatan harus dirancang dengan memperhatikan
tingkatan risiko, persepsi risiko, keterlibatan pekerja dan pengurangan
kemungkinan kesalahan laten.
Budaya K3 merupakan subkomponen dari budaya organisasi. Ada tiga
aspek dimana konsep budaya organisasi masuk kedalam wilayah budaya K3, dua
diantaranya yaitu aspek budaya organisasi yang berdampak pada K3 dan nilai,
sikap, kompetensi serta perilaku indiividu juga kelompok yang menentukan
komitmen terhadap program K3.
Definisi budaya K3 merupakan bagian dari budaya organisasi yang
menyentuh aspek K3 baik nilai, perilaku dan keyakinan. Budaya K3 mencerminkan
perilaku, keyakinan, persepsi dan nilai tentang K3 yang dianut oleh para pekerja.
Budaya K3 mengacu pada nilai, sikap, kompetensi dan pola perilaku yang
menentukan komitmen pada program K3. Budaya K3 dianalogikan sebagai
landasan fundamental kemampuan organisasi untuk mengelola keselamatan dalam
hubungannya dengan aspek operasional.

1.2 Faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas budaya keselamatan


Menurut Flemings budaya K3 hanya akan efektif untuk diterapkan pada
perusahaan yang telah memiliki kriteria sebagai berikut.
1. Telah terbentuk safety management yang memadai
2. Kegagalan teknis bukan merupakan penyebab mayoritas kecelakaan di
perusahaan
3. Perusahaan memenuhi standar hukum K3
4. Perusahaan memandang K3 tidak hanya untuk menghindari tuntutan tetapi
sebagai keinginan untuk mencegah kecelakaan
Pernyataan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut.

Universitas Indonesia
Gambar Error! No text of specified style in document..1 Tahapan
Penerapan K3 di Perusahaan
Sumber: Patrick Hudson, 2007, p.700
Pada tahun 2001, Geller memperkenalkan Total Safety Culture dimana
budaya K3 digambarkan sebagai hasil interaksi yang dinamis antara tiga faktor,
yaitu sebagai berikut.
1. Orang (termasuk sikap masyarakat, kepercayaan dan kepribadian)
2. Perilaku (termasuk praktek kerja aman dan berisiko (tidak aman)
seperti halnya melampaui panggilan tugas untuk campur tangan atas
keselamatan orang lain)
3. Lingkungan (termasuk peralatan, perlengkapan, mesin, panas/dingin,
dan engineering)
Ketiga faktor tersebut dinamakan “tiga serangkai keselamatan” (The
Safety Triad) yang digambarkan pada model sebagai berikut.

Universitas Indonesia
Gambar Error! No text of specified style in document..2 Safety Triad
Sumber: Geller, 2001
Menurut Geller ketiga faktor tersebut saling mempengaruhi satu dengan
lainnya dalam proses pencapaian keselamatan di bidang konstruksi dan jika terjadi
perubahan pada salah satu faktor tersebut, maka kedua faktor lainnya akan ikut
berubah. Faktor perilaku dan faktor orang merupakan aspek manusia dan biasanya
kedua faktor tersebut lebih sedikit diperhatikan daripada faktor lingkungan.
Mengintegrasikan kedua pendekatan tersebut dan berdasarkan hasil integrase
diperoleh dua faktor yaitu internal dan eksternal sebagai berikut.

Gambar Error! No text of specified style in document..3 Faktor


Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi Budaya
Sumber: Geller, 2001

Universitas Indonesia
Konsep Geller tentang budaya keselamatan hamper sama dengan Dominic
Cooper, perbedaannya hanyalah pada konsep Safety Triad yang tidak membahas
hubungan antara tiap elemen. Selain itu, komponen lingkungan diartikan sebatas
faktor yang ada di tempat kerja (contohnya alat dan mesin) dan belum diartikan
sebagai aspek yang lebih luas sebagaimana yang diartikan oleh Dominic Cooper
yaitu lingkungan sebagai situasi dalam organisasi (contohnya kebijakan dan
strategi).

1.3 Hambatan dan rintangan budaya keselamatan di konstruktri


Hamabatan dan rintangan dalam penerapan budaya keselamatan di
konstruksi terjadi akibat beberapa faktor. Hambatan tersebut ada yang bersifat
makro (di tingkat nasional) dan ada yang bersifat mikro (dalam perusahaan)
a. Hambatan makro
- Pemerintah
- Teknologi
- Seni budaya
b. Hambatan mikro
- Kesadaran, dukungan, dan keterlibatan
- Kemampuan yang terbatas dari petugas keselamatan kerja
- Standar atau code of practice
Faktor-faktor penghambat kontraktor untuk melaksanakan K3 merupakan
faktor yang menyebabkan kontraktor tidak melaksanakan K3 pada proyek
konstruksi. Setelah melakukan studi literatur dari beberapa penelitian sebelumnya
(Sunindijo, 2015), ditemukan beberapa faktor-faktor penghambat pelaksanaan K3
sebagai berikut.
a. Tidak adanya sanksi dari top manajemen kontraktor
b. Sanksi yang diberikan pemerintah terlalu ringan
c. Pengawasan di lapangan oleh pemerintah yang tidak ketat
d. Peraturan K3 yang kompleks sulit untuk diterapkan
e. Tingginya biaya pelaksanaan K3
f. Kurangnya insentif dari head office/main office kontraktor bila zero accident
g. Budaya keselamatan yang rendah di kontraktor

Universitas Indonesia
h. Alokasi sumber daya ke hal yang dirasa lebih penting daripada K3
i. Pertimbangan tidak melaksanakan K3 lebih untung
j. Kurangnya kepedulian akan reputasi organisasi
k. Kurangnya tekanan masyarakat pada kontraktor
l. Komitmen top manajemen kontraktor terhadap K3 rendah
m. Pengetahuan manajemen di lapangan akan safety rendah
n. Kontraktor memiliki persepsi bahwa K3 bukanlah suatu kewajiban melainkan
sebuah hak
o. Kontraktor menganggap pekerja tidak mampu memahami pelatihan K3
p. Kurangnya insentif dari klien/owner bila zero accident
q. Pelaksanaan K3 bukanlah prasyarat bagi klien
r. Komitmen klien/owner terhadap K3 yang rendah
s. Kompetitor lain tidak melaksanakan K3
t. Sistem lelang di industri dengan harga terendah
u. Dana yang disediakan untuk pelaksanaan K3 oleh klien/owner tidak memadai
atau bahkan tidak ada
v. Kontrak pekerja yang bersifat tidak tetap

1.4 Bagaimana mengembangkan budaya keselamatan di konstruksi


Menurut Cooper, 2002 bahwa meningkatkan perilaku selamat, perusahaan
dapat memotivasi pekerja melalui strategi sebagai berikut.
a. Menstimulasi peran serta staf dalam perencanaan dan implementasi strategi
pengembanagan K3
b. Menjadi role model bagi pekerja lainnya
c. Menyiapkan waktu dan dana yang cukup untuk implementasi program K3

1.5 Karakteristik dari budaya keselamatan yang baik


Pada suatu organisasi, good safety-culture dapat dilakukan apabila suatu
organisasi menjalankan komitmen untuk membagikan kepercayaan terkait K3
(safety beliefs), nilai dan perilaku yang sesuai dengan ekspektasi dalam melakukan
good safety-culture. Hal ini dikarenakan tingkat perilaku dan tingkat kepercayaan
di dalam suatu organisasi merupakan salah satu hal penting yang mendorong

Universitas Indonesia
budaya dan tingkat kematangan K3 di dalam suatu organisasi. Di samping itu,
terdapat beberapa elemen penting lainnya yang mendorong penerapan budaya K3
di dalam suatu organisasi, yaitu (1) kepercayaan, (2) nilai yang dianut organisasi,
(3) sikap, (4) artifact dan (5) kebiasaan. Dengan melibatkan kelima elemen tersebut
dalam suatu organisasi, maka akan menghasilkan budaya K3 yang baik (good safety
culture).
Di samping itu, suatu organisasi juga harus menerapkan paradigma yang
terstruktur terhadap budaya K3 sehingga inti dari penerapan budaya K3 yang baik
dapat dijalankan secara maksimal. Paradigma yang harus diterapkan dalam
organisasi guna mendorong peningkatan kualitas budaya dan tingkat kematangan
K3 adalah sebagai berikut (Taylor, 2016):
1. Keselamatan sebagai nilai yang krusial.
2. Kepemimpinan (leadership) sebagai hal yang tidak terlepaskan dalam
keselamatan
3. Akuntabilitas untuk keselamatan harus jelas
4. Keselamatan harus terintegrasi terhadap seluruh aktivitas yang
terdapat di dalam suatu organisasi
5. Keselamatan sebagai pembelajaran untuk berkembang.

Bila digambarkan dalam suatu diagram, maka karakteristik suatu


organisasi yang telah menjalankan good safety culture ialah suatu organisasi yang
telah menerapkan paradigma yang dapat digambarkan dalam bentuk diagram alir
sebagai berikut.

Universitas Indonesia
Paradigma Budaya K3 yang Terintegrasi
Sumber: (Taylor, 2016)

1.6 Tingkat kematanganan budaya keselamatan


Pada Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) terdapat 5 tingkatan yang
betujuan untuk mendorong pengembangan budaya dan tingkat kematangan K3 di
dalam sebuah organisasi secara berkala dengan meningkatkan kekuatan dari suatu
organisasi (strength) dan menghilangkan kebiasaan buruk ataupun kelemahan
(weakness) dari beberapa hal yang terdapat pada organisasi tersebut sebelumnya.
Bila digambarkan dalam suatu model maka tingkatan budaya dan kematangan
keselamatan yang ada untuk meningkatkan budaya K3 adalah sebagai berikut.

Universitas Indonesia
Model Budaya dan Tingkat Kematangan K3
Sumber: (Fleming, 2000)
Model tersebut menunjukkan terdapat 5 tingkatan dalam budaya dan
tingkat kematangan K3 di dalam suatu organisasi dengan penjelasan sebagai
berikut.
1. Emerging
Hal ini menggambarkan ketika suatu risiko di dalam suatu organisasi timbul
akibat organisasi yang tidak menganggap budaya keselamatan sebagai
faktor utama yang harus diterapkan. Kemunculan risiko kecelakaan kerja
ini dapat timbul akibat anggapan sebuah organisasi yang tidak melihat
budaya keselamatan sebagai kunci utama dalam bisnis dan akibat tidak
adanya perhatian khusus dari pekerja utama atau top management dari suatu
organisasi.
2. Managing
Pada tingkatan ini organisasi melakukan pengelolaan terhadap risiko
kecelakaan kerja yang ada di dalam suatu organisasi yang biasanya
dilakukan dengan membuat kebijakan ataupun prosedur guna mengurangi
tingkat risiko yang ada serta sebagai engineering control untuk mengurangi
tingkat risiko yang ada. Pengukuran kinerja K3 juga harus selalu diukur

Universitas Indonesia
sehingga dapat dijadikan sebagai indikator perkembangan budaya K3 di
dalam suatu organisasi.
3. Involving
Pada tingkatan ini seluruh top management dalam suatu organisasi harus
terlibat dalam meningkatkan pengelolaan budaya K3. Dengan kata lain,
seluruh pihak yang terdapat di dalam suatu organisasi melakukan
peningkatan dalam bidang K3 sehingga kinerja K3 terus meningkat dengan
disertai pengukuran budaya K3 yang ada di dalamnya.
4. Cooperating
Peningkatan kinerja K3 dilakukan dengan menjadikan budaya K3 sebagai
kewajiban bersama di dalam suatu organisasi sehingga pengelolaan budaya
K3 yang bersifat pro-active dapat berjalan secara keseluruhan di dalam
suatu organisasi.
5. Continuous Improvement
Suatu organisasi pada tingkatan ini akan melakukan pengukuran kinerja K3
yang telah dilaksanakan oleh organisasi tersebut sehingga dapat diketahui
insiden yang paling potensial di dalam organisasi. Dengan demikian, data
terkait kinerja K3 ini dapat digunakan sebagai landasan guna
mengembangkan budaya dan tingkatan kematangan K3 di dalam organisasi
sehingga organisasi tersebut tersebut bergerak menjadi lebih baik dan lebih
baik terutama di dalam bidang K3 yang memiiki mekanisme pengendalian
risiko.
Di samping itu, dalam budaya dan tingkat kematangan K3 terdapat
beberapa langkah dalam mengembangkan suatu budaya K3 yang terdiri dari 5
tahapan yang dikembangkan oleh Hudson (2003), yaitu:
• Pathological, yaitu tahapan di mana keselamatan merupakan tanggung
jawab dari pekerja yang tidak dibantu dengan adanya kebijakan K3
sehingga dapat dikatakan bahwa pada tahapan ini organisasi belum
menganggap budaya K3 sebagai salah satu faktor dalam bisnis.
• Reactive, yaitu tahapan di mana suatu organisasi mulai menganggap
penerapan budaya K3 sebagai salah satu faktor penting dalam menjalankan

Universitas Indonesia
suatu organisasi sehingga pada tahapan ini suatu organisasi melakukan
pengelolaan risiko ketika telah terjadi accident/incident atau bersifat reaktif.
• Calculative, yaitu tahapan di mana suatu organisasi telah menjalankan
sistem manajemen K3 berdasarkan pada data kinerja K3 yang terdapat di
dalam suatu organisasi tersebut. Akan tetapi, penerapan budaya K3 pada
tahapan ini hanya top management yang memegang kendali K3 sehingga
pekerja tidak dilibatkan di dalamnya terutama dalam membuat keputusan
terkait budaya K3.
• Pro-active, yaitu tahapan di mana ketidakpastian di dalam organisasi
menjadi sebuah tantangan dengan tetap melakukan peningkatan kinerka K3,
akan tetapi pada tahap ini pendekatan yang dilakukan organisasi masih
bersifat top down.
• Generative, pada tahap ini organisasi telah melibatkan keseluruhan pihak
yang terdapat di dalam suatu organisasi sehingga budaya K3 menjadi salah
satu faktor penting dalam melakukan suatu bisnis yang harus terintegrasi
dengan kebijakan bisnis yang ada.

Model Budaya K3
Sumber: (Goncalves, 2012)

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai