Anda di halaman 1dari 46

PSIKOLOGI INDUSTRI

“Karyawan Perusahaan Pulp and Paper Tewas Tergiling Kompeyor”

Disusun Oleh :

Novi Triwanto

145190119

UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

2015

BAB I
KASUS
Karyawan Perusahaan Pulp and Paper Tewas Tergiling
Kompeyor

Banda Haruddin Tanjung


Kamis,  17 Desember 2015  −  13:27 WIB

PEKANBARU - Kecelakaan kerja terjadi di Perusahaan PT Indah Kiat Pulp and Paper
(IKKP) yang merupakan perusahaan menghasil pulp and kertas di Riau. Dalam
insiden ini, satu karyawan perusahaan anak Sinarmas Grub itu tewas.

Korban diketahui bernama Yunardi (50), warga Jalan Panglima Sukaramai, Kelurahan
Perawang, Kecamatan Tualang, Siak. "Kecelakaan ini terjadi tadi malam, sekitar pukul
20.30 WIB. Korban sempat dilarikan, namun saat di rumah sakit Yunardi yang
merupakan karyawan IKPP menghembuskan napas terakirnya," kata Kepala Bidang
Humas Polda Riau AKBP Guntur Aryo Tejo, Kamis (17/12/2015).
Kejadian tersebut terjadi di lokasi pabrik PT IKPP Perawang Siak, tepatnya di WP 9.
Saat itu, sejumlah teman-teman korban sudah mendapati tubuh dan kepalanya terjepit
di bagian kompeyor. Kompeyor merupakan alat untuk menggiling kayu gelondongan
maupun kayu akasia yang merupakan bahan baku pulp dan kertas. Melihat itu,
sejumlah teman korban berusaha mengeluarkan korban dari mesin kompeyor. Setelah
berhasil mengeluarkan Yunardi, teman satu kerja korban membawanya ke rumah sakit
terdekat. Setelah sampa di klinik milik perusahaan, nyawa korban tidak tertolong lagi.
Saat ini, kasusnya sedang ditangani oleh Polres Siak. Petugas kemudian melakukan
olah Tempat Kejadian Perkara (TKP). "Apa penyebab korban sehingga bisa terjepit di
kompeyor masih dalam penyelidikan Polres Siak," ucap Guntur.

BAB II
LANDASAN TEORI

A. PERILAKU KESELAMATAN

Berbicara mengenai Behavior Based Safety atau Keselamatan


Berbasis Perilaku, maka sangat jelas sekali bahwa basic atau landasan
jalannya program ini adalah berdasarkan perilaku. Perilaku disini pasti sangat
jelas berhubungan dengan perilaku manusia dalam hal bekerja di area kerja
yang sangat banyak bersinggungan dengan alat-alat kerja, benda kerja,
kendaraan kerja, langkah kerja, dan lainnya. Sebelum masuk lebih dalam ke
pembahasan mengenai Behavior Based Safety, maka sebaiknya kita harus
mengenali terlebih dahulu mengenai perilaku.
Keselamatan merupakan perihal selamat, kesejahteraan atau
keamanan. Keselamatan juga bermaksud keadaan terlindungi daripada
masalah fizikal, sosial, kewangan, politik, perasaan, pekerjaan, psikologi,
pelajaran dan perkara-perkara lain yang melibatkan kerosakan atau kejadian
yang tidak diingini. Ini juga termasuk dalam konteks terlindung daripada
sesuatu malapetaka atau kejadian yang berkaitan dengan kesihatan dan
ekonomi. Keselamatan memainkan peranan yang penting dalam kehidupan
kita. Keselamatan boleh dikategorikan dalam beberapa bidang seperti
berikut :
 Keselamatan Pengguna - merujuk kepada keselamatan pengguna
dalam mendapat sesuatu barangan atau perkhidmatan. Keselamatan
pengguna juga termasuk hak-hak pengguna.
 Keselamatan Masyarakat - merujuk kepada keselamatan sesuatu
masyarakat atau golongan penduduk yang harus dijamin demi kebaikan
bersama dalam sesebuah komuniti.
 Keselamatan Pekerjaan - merujuk kepada keselamatan para pekerja
yang bekerja di dalam sesebuah premis atau
syarikat (kecuali tentera dan pelaut) daripada sebarang penyakit
pekerjaan atau kemalangan pekerjaan. Persekitaran kerja yang sihat dan
selamat membantu pekerja dapat melakukan kerja-kerja dengan betul
dan meningkatkanproduktiviti.
 Keselamatan Negara - merujuk kepada keselamatan negara yang
dilindungi melalui kerjasama serantau atan melalui pertahanan sendiri
untuk memastikan tidak dimonopoli oleh kuasa-kuasa luar dari segi
ekonomi, budaya, dan politik.

Menurut Zhou et al., (2007) ada  empat faktor yang paling efektif untuk
meningkatkan perilaku keselamatan, yaitu:  safety attitudes, employee’s
involvement, safety management systems and procedures,  and safety
knowledge.  Faktor iklim keselamatan lebih berpengaruh terhadap perilaku
keselamatan jika dibandingkan dengan pengalaman pekerja. Diperlukan
strategi gabungan antara iklim keselamatan dan pengalaman kerja untuk
meningkatkan perilaku keselamatan secara maksimal guna mencapai
total budaya keselamatan.
Rundmo dan Hale  (2003) melakukan studi terhadap sikap (attitude)
manajemen terhadap keselamatan dan pencegahan terjadi kecelakaan. Hasil
studi menunjukkan bahwa perilaku dipengaruhi oleh sikap. Sikap yang ideal
untuk manajemen adalah:
 Komitmen yang tinggi.
 Kefatalan rendah.
 Toleransi terhadap pelanggaran rendah.
 Emosi dan kekhawatiran tinggi.
 Tunakuasa rendah.
 Prioritas keselamatan tinggi.
 Penguasaan dan kesadaran tinggi.
Paul P.S. dan Maiti J. (2007) mempelajari peranan perilaku keselamatan
pekerja terhadap terjadinya kecelakaan pada perusahaan tambang. Dari studi
yang dilakukan diperoleh struktural model yang menunjukkan hubungan work
injury secara signifikan dipengaruhi oleh:
 Pengaruh negatif
 Pengambilan resiko
 Ketidakpuasan kerja
 Umur
 Kinerja keselamatan
Menurut Mullen J. (2004), ada beberapa faktor yang mempengaruhi
perilaku keselamatan individu pekerja, yaitu:
 Faktor organisasi; yaitu beban kerja yang berlebih, persepsi kinerja
keselamatan, pengaruh sosialisasi, sikap keselamatan dan persepsi
terhadap resiko.
 Faktor personal image; yaitu kesan macho dan mampu untuk
menghindari konsekuensi negatif, misalnya diejek atau diremehkan rekan
kerja dan ketakutan kehilangan posisi.
Menurut Mullen bahwa faktor organisasi menentukan perilaku
keselamatan pekerja. Sosialisasi organisasi terhadap karyawan baru sedini
mungkin akan mempengaruhi persepsi pekerja terhadap iklim keselamatan,
sikap keselamatan, komitmen terhadap keselamatan dan perilaku
keselamatan.
OHS training dan edukasi serta penegakan aturan, inspeksi, dan
komunikasi merupakan karakteristik perilaku yang paling dibutuhkan untuk
meningkatkan kinerja keselamatan untuk semua posisi diatas.
Mengembangkan atau merubah budaya organisasi merupakan tantangan
serta membutuhkan biaya dan waktu yang lama. Dengan menentukan target
yang tepat, seperti OHS advisor dan supervisor, kemudian mengidentifikasi
keahlian dan kemampuan serta perilaku yang paling dibutuhkan yang dapat
mengarah kebudaya keselamatan yang positif, kinerja keselamatan dapat
diperbaiki dan dimaksimalkan. Dalam hal ini ditunjukkan pentingnya peran
pimpinan dalam merubah budaya organisasi dan keselamatan. Pimpinan
disini bukan hanya pada tingkatan manajemen akan tetapi sampai pada
pimpinan lapangan sepertiforemen (Dingsdag et al., 2008).
Pendekatan budaya keselamatan dimulai dari level manajemen ke
level yang lebih rendah (top-down approach), sementara pendekatan perilaku
keselamatan dimulai dari level bawah ke level atas (bottom-up approach).
Keberhasilan kedua pendekatan tersebut bergantung pada ada
tidaknya perubahan pada tata nilai dasar dari organisasi, itikad, dan asumsi
tentang keselamatan di tempat kerja. DeJoy (2005) mengusulkan metode
pendekatan terintegrasi antara pendekatan budaya keselamatan dan perilaku
keselamatan. Pendekatan budaya keselamatan lebih bersifat komprehensif
namun kurang memberikan solusi pada masalah keselamatan yang spesifik.
Disisi lain, pendekatan perilaku lebih bersifat spesifik dalam menyelesaikan
masalah keselamatan namun kurang komprehensif.  Dengan demikian,
disimpulkan bahwa kombinasi pendekatan kedua metode ini akan saling
melengkapi dan menghasilkan perubahan yang lebih komprehensif sekaligus
menyelesaikan masalah-masalah keselamatan yang spesifik. Model
pendekatan terintegrasi yang diusulkan sangat baik dan dapat diterima
secara konsep (DeJoy, 2005).
Salah satu program yang paling banyak digunakan untuk memperbaiki
perilaku pekerja adalah behavior-based safety. Behavior-based safety atau
lebih dikenal dengan singkatan BBS adalah suatu pendekatan yang bersifat
proaktif dalam meningkatkan kinerja K3, dan sistem ini juga memberikan
peringatan dini terhadap potensi bahayakecelakaan serta dapat mengukur
perilaku aman dan tidak aman di tempat kerja. Sistem ini juga memberikan
kesempatan kepada setiap individu untuk berbagi informasi mengenai kinerja
K3 dan umpan balik terhadap rekan-rekan kerja mereka, mendorong
keterlibatan pekerja dalam semua aktifitas K3, meningkatkan kesadaran
pribadi akan K3, memperbaiki presepsi terhadap resiko dan mengarahkan
konsep berpikir pada pencegahan kecelakaan (IET, 2007).
Program BBS adalah merupakan program perbaikan kontinu yang
melibatkan manajemen dan pekerja. Ada lima program yang harus dijalan
secara kontinu dalam BBS, yaitu :
1. Observasi, diskusi dan umpan balik dari pekerja di lingkungan kerja.
Program ini dilakukan untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya
guna mengetahui perilaku aman dan tidak aman dari pekerja.
2. Melakukan komunikasi dengan semua pekerja sebagai bentuk
pembelajaran berdasarkan informasi yang diperoleh dari program
pertama.
3. Membuat program perencanaan implementasi BBS berdasarkan
masukan dan data yang diperoleh dari program pertama.
4. Implementasi perbaikan dan berbagi pembelajaran antar organisasi.
5. Training dan pembinaan untuk meningkatkan kesadaran akan
keselamatan dan presepsi terhadap resiko, membina individu untuk
melakukan pekerjaan sesuai dengan standar dan
menguji dampak perilaku.
B. PERILAKU AMAN DAN TIDAK AMAN

Perilaku Aman
a. Buku Budiono (2003) yang berjudul Bunga Rampai Hiperkes dan
Kecelakaan Kerja, definisi perilaku aman menurut Heinrich
(1980), isinya yaitu:
Perilaku aman adalah tindakan atau perbuatan dari seseorang atau beberapa
orang karyawan yang memperkecil kemungkinan terjadinya kecelakaan
terhadap karyawan.
b. Buku Bird dan Germain (1990) yang berjudul Practical Loss Control
Leadership, penulis gunakan untuk mendapatkan definisi dan jenis-jenis
perilaku aman, isinya meliputi: Perilaku aman adalah perilaku yang tidak
dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan atau insiden. Perbedaan perilaku
aman dan perilaku Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yaitu perilaku
aman hanya berfokus pada keselamatannya saja sedangkan perilakau K3
tidak hanya pada keselamatan tetapi juga pada kesehatan kerjanya. Dibawah
ini adalah jenis-jenis perilaku aman, yaitu :
1) Teori Loss Causation Model menyatakan bahwa jenis-jenis perilaku aman,
meliputi :
a) Melakukan pekerjaan sesuai wewenang yang diberikan
b) Berhasil memberikan peringatan terhadap adanya bahaya
c) Berhasil mengamankan area kerja dan orang-orang disekitarnya
d) Bekerja sesuai dengan kecepatan yang telah ditentukan
e) Menjaga alat pengaman agar tetap berfungsi
f) Tidak menghilangkan alat pengaman keselamatan
g) Menggunakan peralatan yang seharusnya
h) Menggunakan peralatan yang sesuai
i) Menggunakan APD dengan benar
j) Pengisian alat atau mesin yang sesuai dengan aturan yang berlaku
k) Penempatan material atau alat-alat sesuai dengan tempatnya dan cara
mengangkat yang benar
l) Memperbaiki peralatan dalam kondisi alat yang telah dimatikan
m) Tidak bersenda gurau atau bercanda ketika bekerja.
c. Buku Budiono (2003) yang berjudul Bunga Rampai Hiperkes dan
Kecelakaan Kerja, penulis gunakan untuk mendapatkan jenis-jenis perilaku
aman menurut Heinrich (1980), isinya yaitu:
Perilaku aman terdiri dari :
1) Mengoperasikan peralatan dengan kecepatan yang sesuai
2) Mengoperasikan peralatan yang memang haknya
3) Menggunakan peralatan yang sesuai.
4) Menggunakan peralatan yang benar.
5) Menjaga peralatan keselamatan tetap berfungsi.
6) Berhasil memperingatkan karyawan lain yang bekerja tidak aman.
7) Menggunakan PPE dengan benar.
8) Mengangkat dengan beban yang seharusnya dan menempatakannya di
tempat yang seharusnya.
9) Mengambil benda dengan posisi yang benar.
10) Cara mengangkat material atau alat dengan benar.
11) Disiplin dalam pekerjaan.
12) Memperbaiki perlatan dalam keadaan mati.
Perilaku aman adalah perilaku pekerja yang sesuai dengan peraturan, dan
tidak menimbulkan kecelakaan kerja dan kerugian bagi perusahaan.

Perilaku Tidak Aman


a. Perilaku tidak aman adalah perilaku yang dapat mengizinkan terjadinya
suatu kecelakaan atau insiden.
b. Perilaku tidak aman merupakan tindakan atau perbuatan dari seseorang
atau beberapa orang karyawan yang memperbesar kemungkinan terjadinya
kecelakaan terhadap pekerja.
c. Perilaku tidak aman merupakan kesalahan manusia dalam mengambil
sikap atau tindakan. Klasifikasi kesalahan manusia, yaitu:
1) Kesalahan karena lupa.
Kesalahan ini terjadi pada seseorang yang sebetulnya mengetahui, mampu,
dan berniat mengerjakan secara benar dan aman serta biasa dilakukan.
Namun, orang tersebut melakukan kesalahan karena lupa. Cara
mengatasinya yaitu dengan mengubah sarana dan lingkungan, mengingatkan
untuk lebih berhati-hati,meningkatkan pengawasan, mengurangi dampak, dan
lain-lain.
2) Kesalahan karena tidak tahu.
Kesalahan ini terjadi karena orang tersebut tidak mengetahui cara
mengerjakan atau mengoperasikan peralatan dengan benar dan aman, atau
terjadi kesalahan perhitungan. Hal tersebut biasanya terjadi disebabkan
karena kurangnya pelatihan, kesalahan instruksi, perubahan informasi yang
tidak diberitahukan, dan lain-lain.
3) Kesalahan karena tidak mampu.
Kesalahan jenis ini terjadi karena orang tersebut tidak mampu melakukan
tugasnya.
4) Kesalahan karena kurang motivasi
Kesalahan karena kurangnya motivasi dapat terjadi akibat:
a) Dorongan pribadi, misalnya ingin cepat selesai, melalui jalan pintas, ingin
merasa nyaman, malas memakai APD, menarik perhatian dengan mengambil
resiko yang berlebihan, dan lain-lain.
b) Dorongan lingkungan, misalnya lingkungan fisik, sistem manajemen,
contoh
dari pimpinan, dan lain-lain.

d. Jenis-jenis perilaku tidak aman di bidang konstruksi berdasarkan


kejadiannya:
1) Kegiatan dengan kecepatan yang tinggi (berlari, melompat, melempar)
2) Tidak memanfaatkan perlengkapan K3
3) Salah penggunaan perlengkapan K3
4) Pemuatan, penempatan, pencampuran, penyatuan yang tidak selamat.
5) Psikologi pekerja.
6) Mengambil posisi yang tidak aman.
7) Bekerja pada peralatan yang bergerak atau yang perlengkapannya
berbahaya.
8) Mengganggu, mengejek, dan mengejutkan rekan kerja
9) Menyalahgunakan peralatan.
10) Menggunakan peralatan yang rusak/cacat.
11) Penggunaan alat tanpa otoritas.
12) Mengacuhkan prosedur.
13) Kurang cakap dalam menggunakan peralatan

Kategori perilaku tidak aman pada pekerja konstruksi menurut Murthi dan
Yuri (2009):
1) Tidak menggunakan APD, seperti:
a) Tidak memakai helm.
b) Tidak memakai sarung tangan.
c) Tidak memakai sepatu boot.
d) Tidak memakai peralatan khusus untuk pekerjaan tertentu (safety belt,
google, dll)
2) Kegiatan dengan kecepatan tinggi, seperti:
a) Melompat
b) Melempar
c) Berlari
d) Memanjat
e) Mengoperasikan alat berat dengan kecepatan tinggi
3) Menggunakan peralatan yang tidak layak pakai, seperti:
a) Menggunakan helm rusak
b) Menggunakan sepatu boot robek
c) Menggunakan sarung tangan robek
4) Mengambil posisi yang tidak aman
a) Bekerja/berdiri pada tempat yang tidak aman
b) Bekerja/berdiri pada area dekat dengan alat berat yang sedang bekerja.
5) Tidak memenuhi peraturan yang ada
a) Tidak mematuhi rambu-rambu yang tertulis/terpasang
b) Melakukan kegiatan lain selain pekerjaan yang telah ditentukan di dalam
area proyek, seperti: bergurau, mengganggu, merokok, dll.

e. Perilaku tidak aman pekerja konstruksi diantaranya tidak menggunakan


APD, bercanda atau bergurau saat bekerja, melempar alat kerja ketika
memberikan ke teman, merokok pada saat bekerja dan bekerja dengan
terburu-buru.

f. Kecenderungan orang melakukan perilaku tidak aman dalam melakukan


pekerjaan, disebabkan oleh beberapa aspek, yaitu:
1) Karena ingin menyelesaikan pekerjaan secepatnya
2) Karena tidak ada yang melihat atau mengawasi
3) Karena ada permintaan dari atasan untuk menyelesaikan pekerjaan
secepatnya
4) Percaya diri yang berlebihan karena sudah banyak pengalaman dan tidak
pernah mengalami kecelakaan sebelumnya
5) Sedang dalam kondisi psikologis yang tertekan karena masalah keluarga,
terlalu lelah karena kerja lembur, dan sebagainya.
Perilaku tidak aman adalah semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang,
dimana tindakan tersebut dapat membahayakan dirinya sendiri, orang lain,
peralatan maupun lingkungan yang ada di sekitarnya. Secara umum perilaku
tidak aman pada pekerja konstruksi, diantaranya adalah tidak patuh terhadap
peraturan dan prosedur keselamatan kerja, penyalahgunaan APD, kebiasaan
merokok, bergurau, melakukan tindakan berbahaya dan lainnya yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan kerja.

C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU TIDAK AMAN

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Tidak Aman


Pengetahuan
a. Pengetahuan adalah keadaan tahu, dimana manusia ingin tahu, kemudian
ia mencari dan memperoleh pengetahuan dan yang diperoleh itulah
pengetahuan, jadi Bpengetahuan adalah semua yang diketahui.
b.Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari
oleh seseorang. Ada dua jenis pengetahuan, yaitu :
1) Pengetahuan Empiris
Pengetahuan ini lebih menekankan kepada pengamatan dan pengalaman
inderawi, bisa didapatkan dengan melakukan pengamatan dan observasi
yang dilakukan secara empiris. Pengetahuan empiris tersebut, juga dapat
berkembang menjadi pengetahuan deskriptif bila seseorang dapat melukiskan
dan menggambarkan segala ciri, sifat dan gejala yang ada pada objek empiris
tersebut. Pengetahuan empiris juga bisa didapatkan melalui pengalaman
manusia yang terjadi berulang kali.
2) Pengetahuan Rasionalisme
Pengetahuan rasionalisme merupakan pengetahuan yang didapatkan
melalui akal budi. Rasionalisme lebih menekankan pengetahuan yang bersifat
apriori dan tidak menekankan pada pengalaman.
c. Buku Notoatmodjo (2003) Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan
ini terjadi setelah individu
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
dan tes yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek
penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau
diukur dapat disesuaikan dengan tingkat pengetahuan.
Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku
baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :
1) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus.
2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini
sikap subjek sudah mulai timbul.
3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya.
4) Trial, dimana subjek mulai mencoba untuk melakukan sesuatu sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
5) Adoption, dimana subjek telah berprilaku baru sesuai dengan
pengetahuan,kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Notoatmodjo menyatakan apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi
perilaku melalui proses seperti ini dimana didasari oleh pengetahuan,
kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat
langgeng (long lasting), dan sebaliknya apabila perilaku ini tidak didasari oleh
pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama.
Green (1980) menyatakan bahwa peningkatan pengetahuan tidak selalu
menyebabkan perubahan perilaku, tetapi pengetahuan sangat penting
diberikan sebelum individu melakukan suatu tindakan. Tindakan akan sesuai
dengan pengetahuan apabila individu menerima isyarat yang cukup kuat
untuk memotivasi dia bertindak sesuai dengan pengetahuannya.
d. Buku Notoatmodjo (2007) Pengetahuan yang dicakup di dalam domain
kognitif mempunyai 6 tingkatan, yakni:
1) Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dan seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini
merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
2) Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasi materi tersebut
secara benar.
3) Aplikasi (Applications)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi dan kondisi sebenarnya.
4) Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5) Sintesis (Synthesist)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru.
6) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
e. Masruri (2008), isinya yaitu:
Kurangnya pengetahuan seperti tidak cukupnya informasi yang diterima, tidak
dapat dimengerti, tidak tahu kebutuhannya, tidak dapat mengambil
keputusan, serta tidak berpengalaman adalah alasan atau penyebab
seseorang melakukan perilaku tidak aman.
f. Skripsi Pratiwi (2009) Untuk melakukan perilaku kerja tidak aman, tidak
cukup bila hanya mengetahui prosedur kerja maupun bahaya yang mereka
hadapi. Perilaku kerja aman akan muncul pada saat pekerja ini sudah sampai
pada tahap memahami manfaat dari berperilaku kerja aman kemudian
menerapkannya dalam pola kerja sehari-hari. Pengetahuan adalah semua
yang diketahui dan disadari oleh seseorang. Terjadi proses yang berurutan
dalam pengadopsian perilaku baru, yaitu awareness, interest, evaluation, trial,
adoption. Pengetahuan memiliki beberapa tingkatan, diantaranya tahu,
memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Ada dua jenis
pengetahuan, yakni pengetahuan empiris dan pengetahuan rasionalisme.

Persepsi
a. Buku Gibson (1996) Persepsi dalam arti sempit ialah penglihatan,
bagaimana seseorang melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas ialah
bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu.
b. Tesis Sialagan (1999) yang berjudul Analisis Faktor-Faktor Yang
Berkontribusi Pada Perilaku Aman di PT EGS Indonesia Tahun 2008, penulis
gunakan untuk mendapatkan definisi persepsi, isinya yaitu:
Persepsi sebagai suatu proses dimana individu-individu mengorganisasikan
dan menafsirkan kesan indra mereka bermakna pada lingkungan mereka,
sementara persepsi ini memberikan dasar pada seseorang untuk bertingkah
laku sesuai dengan yang mereka persepsikan. Winardi (2001) menyatakan
bahwa agar muncul persepsi, informasi diidentifikasi sebagai suatu stimulus–
input. Di sini terjadi proses selektivitas mana informasi yang perlu
dipersepsikan dan mana informasi yang perlu diabaikan.
c. Buku Robbins (2001) Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi ada tiga,
yaitu:
1) Perilaku persepsi
Bila seorang individu memandang pada suatu target dan mencoba
menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh
karakteristik-karakteristik pribadi dari pelaku individual.
2) Target
Karakteristik-karakteristik dalam target yang akan diamati dapat
mempengaruhi apa yang dipersepsikan.
3) Situasi
Konteks dalam kita melihat obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa.Unsur-unsur
dalam lingkungan sekitar mempengaruhi persepsi kita.
Robbins juga memandang penting persepsi karena persepsi akan sesuatu
dapat saja berubah-ubah maknanya walaupun realitasnya sama saja. Adanya
faktor situasi dan faktor target yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang
terhadap obyek.
d. Skripsi Pratiwi (2009) penyebab seseorang berperilaku tidak aman yang
berhubungan dengan persepsi menurut Petersen (1998),
isinya yaitu:
Seorang pekerja cenderung melakukan perilaku tidak aman karena beberapa
hal, diantaranya:
1) Tingkat persepsi yang buruk terhadap adanya bahaya risiko di tempat kerja
2) Menganggap remeh kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja
3) Menganggap rendah biaya yang harus dikeluarkan jika terjadi kecelakaan
kerja. Persepsi adalah pandangan atau pengertian tentang bagaimana
individu memandang atau mengartikan sesuatu. Persepsi tidak muncul begitu
saja, ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang
tergantung dari kemampuan individu merespon stimulus. Kemampuan
tersebut yang menyebabkan persepsi antara individu yang satu dengan
individu yang lain berbeda-beda, dimana cara menginterpretasikan sesuatu
yang dilihat pun belum tentu sama antar individu.
Persepsi merupakan salah satu sektor yang mempengaruhi perilaku.
Perubahanperubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui
persepsi

Sikap
a. Buku Winardi (2004) Sikap adalah determinan perilaku karena berkaitan
dengan persepsi, kepribadian dan motivasi.
b. sikap menurut Thomas dan Znaniecki (1920), isinya yaitu:
Sikap adalah predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu
perilaku tertentu, sehingga sikap bukan hanya merupakan kondisi internal
psikologis yang murni dari individu, tetapi juga sikap lebih merupakan proses
kesadaran yang sifatnya individual.
c. Buku Sarwono (1997) Sikap dapat dirumuskan sebagai kecendrungan
untuk berespon (secara positif atau negatif) terhadap orang, obyek, atau
situasi tertentu.
d. Buku Notoatmodjo (2003) yang berjudul Kesehatan Masyarakat Ilmu dan
Seni, Sikap adalah respon yang tidak teramati secara langsung, yang masih
tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek.Newcomb dalam
Notoatmodjo menyatakan bahwa sikap lebih mengacu pada kesiapan dan
kesediaan untuk bertindak, dan bukan pelaksana motif tertentu. Hal ini
dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhi pembentukkan sikap dan
pembentukan sikap ini lah yang membuat pekerja memiliki sikap yang negatif
dan positif.
Beberapa tingkatan sikap, yaitu:
1) Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (objek).
2) Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas
bila diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha
untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas
dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide
tersebut.
3) Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4) Bertanggungjawab (responsible)
Bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling tinggi. Pengukuran sikap dapat dilakukan
secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan
bagaimana pendapat atau pertanyaan responden terhadap suatu objek,
sedangkan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pertanyaan
hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden.
5) Praktik atau tindakan (practice)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour).
Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah
fasilitas.
Selain itu, diperlukan juga faktor dukungan dari pihak lain, misalnya dari
keluarga, teman, atau sesama pekerja lain. Sikap yang ada pada diri
seseorang akan dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor fisiologis dan
psikologis, serta faktor eksternal. Faktor eksternal dapat berwujud situasi
yang dihadapi oleh individu, norma-norma dan hambatan-hambatan yang ada
dalam masyarakat, semuanya ini akan berpengaruh pada sikap yang ada
pada diri seseorang.
e. sikap menurut Mar’at (1982), isinya yaitu:
Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap terdiri dari faktor internal yaitu
faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan, seperti
selektifitas rangsangan dari luar yang dapat ditangkap melalui persepsi.
f. perilaku menurut Mann (1969), isinya meliputi:
Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan dan stereotype yang
dimiliki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen kognitif ini dapat
disamakan dengan pandangan (opini), terutama apabila menyangkut masalah
isi atau masalah yang kontroversial. Komponen afektif merupakan perasaan
individu terhadap objek sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan
terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin merubah sikap seseorang.
Komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan bertindak terhadap
sesuatu dengan cara tertentu.
g. Buku Mueller (1992) yang berjudul Mengukur Sikap Sosial metode
pemahaman sikap, isinya yaitu:
Untuk memahami sikap, terdapat beberapa metode yang dapat digolongkan
ke dalam metode langsung dan metode tidak langsung, dan terdapat bagi
metode yang memakai tes tersusun dan tidak tersusun. Metode langsung
adalah metode dimana orang itu secara langsung diminta pendapat atau
anggapannya mengenai objek tertentu. Metode ini lebih mudah
pelaksanaannya, akan tetapi kurang dapat dipercaya daripada metode tidak
langsung. Pada metode tidak langsung, orang diminta supaya menyatakan
dirinya mengenai objek sikap yang diselidiki, tetapi tidak secara langsung.
Cara ini lebih sulit dilaksanakan, tetapi lebih mendalam.
Sikap merupakan penentu penting dalam tingkah laku. Sikap yang ada pada
seseorang akan memberikan gambaran corak tingkah laku seseorang.
Dengan mengetahui sikap seseorang, orang akan dapat menduga bagaimana
respons atau tindakan yang akan diambil oleh orang tersebut terhadap suatu
masalah atau keadaan yang dihadapinya. Selain itu, terbentuknya sikap tidak
selalu menyebabkan perubahan perilaku. Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa
sikap merupakan kumpulan dari berpikir, keyakinan dan pengetahuan.

Ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) dan Peraturan


a. Buku Notoatmodjo (2003) yang berjudul Mengukur Sikap Sosial, penulis
gunakan untuk mendapatkan penjelasan bagaimana ketersediaan APD
sebagai salah satu faktor pendukung perilaku, isinya sebagai berikut:
Perilaku dapat dibentuk oleh 3 faktor, salah satunya adalah faktor pemungkin
(enabling) yaitu ketersediaan fasilitas dan sarana kesehatan. Ketersediaan
APD dalam hal ini merupakan salah satu bentuk dari faktor pemungkin
perilaku, dimana suatu perilaku otomatis belum terwujud dalam suatu
tindakan jika terdapat fasilitas yang mendukung terbentuknya perilaku
tersebut.
b. Buku Sahab (1997) yang berjudul Teknik Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja, penulis gunakan untuk mendapatkan penjelasan bagaimana
ketersediaan APD dapat mencegah perilaku tidak aman dalam bekerja, isinya
yaitu:
Sistem yang didalamnya terdapat manusia (sumber dan manusia) dan
fasilitas merupakan salah satu hal yang penting dalam mewujudkan
penerapan keselamatan di tempat kerja. Penggunaan APD merupakan
alternatif yang paling terakhir dalam Hierarki pengendalian bahaya. Lebih baik
mendahulukan tempat kerja yang aman, daripada pekerjaan yang safety
karena tempat kerja yang memenuhi standar keselamatan lebih menjamin
terselenggaranya perlindungan bagi tenaga kerja.
c. Buku Suma’mur (1996) yang berjudul Keselamatan Kerja dan Pencegahan
Kecelakaan, penulis gunakan untuk mendapatkan berbagai hal yang harus
dipertimbangkan pada penggunaan APD, isinya yaitu:
Pada penggunaan APD harus dipertimbangkan berbagai hal, seperti
pemilihan dan penetapan jenis pelindung diri, standarisasi, pelatihan cara
pemakaian dan perawatan APD, efektivitas penggunaan, pengawasan
pemakaian, pemeliharaan dan penyimpanan.
d. Buku Roughton (2002) yang berjudul Developing an effective safety culture
:
leadership approach, penulis gunakan untuk mendapatkan beberapa alasan
mengapa pekerja menolak menggunakan APD, isinya yaitu:
Pekerja mungkin menolak untuk menggunakan APD karena APD tersebut
menimbulkan ketidaknyamanan dan menambah beban stress pada tubuh.
Stress ini dapat menimbulkan rasa tidak nyaman atau kesulitan untuk bekerja.
e. Skripsi Pratiwi (2009) yang berjudul Tinjauan Faktor Perilaku Kerja Tidak
Aman pada Pekerja Konstruksi Bagian Finishing PT. Waskita Karya Proyek
Pembangunan Fasilitas dan Sarana Gelanggang Olahraga (GOR) Boker,
Ciracas,Jakarta Timur 2009, penulis gunakan untuk mendapatkan pernyataan
Cushman dan Rosenberg (1991) bahwa penggunaan APD memiliki pengaruh
terhadap kenyamanan pekerja,isinya yaitu:
Penggunaan APD memiliki pengaruh terhadap kenyamanan pekerja karena
menghambat gerakan mereka, sehingga dalam bekerja menjadi lebih sulit,
dan ada pula yang dapat mengganggu komunikasi.
f. Buku Geller (2001) yang berjudul The Pshychology Of Safety Handbook,
penulis gunakan untuk mendapatkan pernyataan berikut tentang peraturan:
Peraturan merupakan dokumen tertulis yang mendokumentasikan standar,
norma, dan kebijakan untuk perilaku yang diharapkan. Peraturan memiliki
peran besar dalam menentukan perilaku aman yang mana dapat diterima dan
tidak dapat diterima.
g. Buku Notoatmodjo (2003) yang berjudul Pendidikan dan Perilaku
Kesehatan, penulis gunakan untuk mendapatkan pernyataan berikut ini:
Salah satu strategi perubahan perilaku adalah dengan menggunakan
kekuatan dan kekuasaan misalnya peraturan-peraturan dan perundang-
undangan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat. Cara ini
menghasilkan perubahan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut
belum tentu akan berlangsung lama karena perubahan perilaku yang terjadi
tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri.
h. Buku Geotsch (1996) yang berjudul Safety and Health Management,
penulis gunakan untuk mendapatkan rangkuman mengenai kewajiban
manajemen dalam peraturan keselamatan, isinya yaitu:
Secara umum, kewajiban manajemen dalam peraturan keselamatan dapat
dirangkum sebagai berikut:
1) Manajemen harus memiliki peraturan yang memastikan keselamatan dan
kesehatan kerja di tempat kerja.
2) Manajemen harus memastikan bahwa setiap pekerjaannya memahami
peraturan tersebut.
3) Manajemen harus memastikan bahwa peraturan tersebut dilaksanakan
secara objektif dan konsisten.
Manajemen harus merumuskan peraturan yang sesuai, mengkomunikasikan
peraturan tersebut kepada pekerja, dan menegakkan peraturan tersebut
ditempat kerja. Penegakkan peraturan merupakan hal yang sering dilupakan.
Objektivitas dan konsistensi merupakan hal yang penting ketika
menegakkan peraturan. Objektivitas maksudnya peraturan tersebut berlaku
bagi semua pekerja mulai dari pekerja baru hingga kepala eksekutif.
Konsistensi maksudnya peraturan tersebut ditegakkan dalam setiap kondisi
tanpa ada pengaruh dari luar.
i. Buku Suma’mur (1996) yang berjudul Keselamatan Kerja dan Pencegahan
Kecelakaan, penulis gunakan untuk mendapatkan pernyataan berikut ini:
Suatu perusahaan harus memiliki aturan yang jelas tentang penerapan
keselamatan dan kesehatan kerja dan aturan tersebut harus diketahui oleh
setiap perusahaan. Salah satu aturan yang ada diperusahaan adalah Standar
Operasional Prosedur (SOP).
j. Skripsi Utommi (2007) yang berjudul Gambaran Tingkat Kepatuhan Pekerja
Dalam Mengikuti Prosedur Operasi pada Pekerja Operator Dump Truck di
PT. Kaltim Primacoal tahun 2007, penulis gunakan untuk mendapatkan
definisi SOP menurut Balai Pustaka (1998), isinya yaitu:
Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah ukuran layanan tertentu yang
dipakai sebagai patok oleh petugas dalam melaksanakan tugasnya.
Pengusaha wajib menyediakan prosedur operasi tertulis yang berisi tentang
proses operasi secara aman, termasuk langkah-langkah untuk tahapan
operasi, batas operasi, pertimbangan Keselamatan dan sistem keselamatan.
Prosedur harus tersedia bagi karyawan yang memerlukan, dimutkahirkan
secara berkala dan juga mencakup keadaan-keadaaan khusus seperti cara
masuk ke ruang tertutup untuk memperbaiki area tersebut melalui sistem
lockout dan tagout yaitu hanya yang mengunci yang berwewenang untuk
membuka pengaman pada ruang tertutup tersebut.

Pengawasan
a. Skripsi Pratiwi (2009) yang berjudul Tinjauan Faktor Perilaku Kerja Tidak
Aman pada Pekerja Konstruksi Bagian Finishing PT. Waskita Karya Proyek
Pembangunan Fasilitas dan Sarana Gelanggang Olahraga (GOR) Boker,
Ciracas,Jakarta Timur 2009, penulis gunakan untuk mendapatkan definisi
pengawasan menurut Lowie (1995)
Pengawasan merupakan cara untuk mendorong semangat seseorang untuk
melaksanakan tugas dalam artian luas. Maksud dari pengawasan adalah
lapisan pengawas dalam organisasi manajemen atau kepala dari organisasi
yang ada di lapis bawah.
b. Buku Sarwono (1991) yang berjudul Teori-Teori Psikologi Social, penulis
gunakan untuk mendapatkan pernyataan berikut ini:
Dibutuhkan pengawasan untuk menegakkan peraturan di tempat kerja. Agar
pengawasan berhasil maka manajer harus melakukan kegiatan-kegiatan
pemeriksaan, pengecekan, pencocokan, inspeksi, pengendalian dan bebagai
tindakan yang sejenis dengan itu, bahkan bilamana perlu mengatur dan
mencegah sebelumnya terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan
terjadi.
c. Tesis Alfon (2006) yang berjudul Analisis Faktor-faktor Tindakan Tidak
Aman Sebagai Penyebab Kecelakaan Kerja di Kegiatan Pemboran dan
Produksi Pada Beberapa Group KKKS Tahun 2002-2004, penulis gunakan
untuk mendapatkan kegunaan pengawasan, isinya yaitu:
Pengawasan dapat digunakan untuk menggantikan peran pertemuan seperti
safety meeting dan dapat lebih mengontrol apakah perkerja mengikuti seluruh
hal yang telah dibahas dalam safety meeting. Dengan melaksanakan
pengawasan oleh pengawas, hal ini berarti juga telah memberi kesempatan
untuk:
1) Lebih dapat menekankan pada aspek keselamatan kerja
2) Membangun kesadaran atau budaya keselamatan kerja
3) Meningkatkan hubungan diantara pengawas dan pekerja.
d. Skripsi Asih (2005) yang berjudul Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Pemakaian Alat Pelindung Telinga (Ear Plug) pada Tenaga Kerja Bagian
Produksi Divisi PM 6PT.Pura Barutama Kudus Tahun 2005, penulis gunakan
untuk mendapatkan definisi pengawasan menurut Sastrohadiwiryo (2003),
isinya yaitu:
Pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan untuk menjamin bahwa setiap
pekerjaan dilaksanakan dengan aman dan mengikuti setiap prosedur dan
petunjuk kerja yang telah ditetapkan.
e. Buku Bird dan Germain (1990) yang berjudul Practical Loss Control
Leadership,
penulis gunakan untuk mendapatkan pernyataan-pernyataan mengenai
pengawasan, isinya sebagai berikut:
Peran seorang pengawas sangat penting dan harus dapat mamanfaatkan
waktu dengan baik dalam berbicara untuk mmberitahukan ataupun
memberikan teguran terhadap pekerja yang melakukan tindakan tidak aman
dan memberikan pujian pada pekerja yang mengikuti prosedur kerja ditempat
kerja. Kontak secara personal harus dilakukan sesering mungkin untuk
mempengaruhi sikap pekerja, pengetahuan, dan keterampilan.
Bird dan Germain juga menyebutkan bahwa, supervisor (pengawas)
memiliki posisi kunci dalam mempengaruhi pengetahuan, sikap, keterampilan,
dan kebiasaan akan keselamatan setiap karyawan dalam suatu area
tanggung jawabnya.
Para pengawas juga memonitor kinerja pekerja, yang mana hal ini merupakan
sesuatu yang penting untuk kesuksesan program.
Ada enam petunjuk praktis bagi pengawas:
1) Merekognisi pentingnya peran supervisor. Sikap kepemimpinannya sangat
dibutuhkan apalagi pada saat memutuskan suatu permintaan persetujuan
apakah “ya” atau “tidak” dan pemberian rekomendasi mengenai para
pekerjanya, supervisor juga berperan sebagai pelatih dan pengarah.
2) Mengidentifikasi gejala-gejala atas berkembangnya permasalahan -
permasalahan. Gejala-gejala ini termasuk gejala perubahan perilaku, keadaan
emosional yang susah, masalah-masalah kesehatan, dan perubahan kinerja.
3) Mendokumentasikan bentuk bentuk kinerja. Para supervisor berkewajiban
untuk mencatat fakta-fakta mengenai kinerja pekerja dan melaksanakannya
dalam lingkungan kerja.
4) Mendiskusikan kinerja kepada pekerja. Para supervisor seharusnya
berdiskusi dengan pekerja yang perilakunya dibawah standar atau kinerja
menurun.
5) Belajar mendengarkan; mendengar untuk belajar. Kuncinya adalah adanya
keinginan seseorang untuk memahami apa gangguan sebenarnya yang ada
pada seseorang.
6) Mengetahui kapan mengarahkan seseorang pekerja untuk mendapatkan
seorang pembimbing.
f. Skripsi Hendrabuwana (2007) yang berjudul Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Perilaku Bekerja Selamat Bagi Pekerja Di Departemen
Cor PT Pindad Persero Bandung Tahun 2007, penulis gunakan untuk
mendapatkan pernyataan Azwar (1998) sebagai berikut:
Dengan adanya pengawasan dan peraturan yang mengikutinya merupakan
salah satu faktor yang akan mempengaruhi perilaku seseorang.
g. Buku Roughton (2002) yang berjudul Developing an effective safety culture
:
leadership approach, penulis gunakan untuk mendapatkan tipe individu yang
harus terlibat dalam mengawasi, isinya yaitu:
Beberapa tipe individu yang harus terlibat dalam mengawasi tempat kerja
yaitu:
1) Pengawas (Supervisor)
Setiap pengawas yang ditunjuk harus mendapatkan pelatihan terdahulu
mengenai bahaya yang memungkinkan ditemui dan juga pengendaliannya.
Seorang pengawas harus mampu mengatur interaksi antara lingkungan kerja,
personal approach, dan equipment (sarana, tools, machine, peralatan di
tempat
kerja).
2) Pekerja
Setiap pekerja harus mengerti potensi bahaya dan cara melindungi diri dan
rekan kerjanya dari bahaya tersebut. Mereka yang terlibat dalam pengawasan
membutuhkan pelatihan dalam mengenali dan mengendalikan potensi
bahaya.
3) Safety Professional
Safety professional harus menyediakan bimbingan dan petunjuk tentang
metode inspeksi. Safety professional dapat diandalkan untuk
bertanggungjawab terhadap kesuksesan atau permasalahan dalam program
pencegahan dan pengendalian bahaya.
h. Skripsi Helliyanti (2009) yang berjudul Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Perilaku Tidak Aman di Dept. Utility and Operation PT Indofood
Sukses Makmur Tbk Divisi Bogasari Flour Mills tahun 2009, penulis gunakan
untuk mendapatkan beberapa hal yang harus diperiksa saat melakukan
pengawasan menurut Grimaldi dan Simonds:
Ada beberapa hal yang harus diperiksa saat melakukan pengawasan, yaitu:
1) Keadaan peralatan yang digunakan
2) Letak peralatan pengaman
3) Kemungkinan masih adanya kondisi bahaya
4) Lorong dan jalan yang dilalui
5) Penataan material
6) Apakah pekerja mengikuti peraturan yang ada.
i. Buku Gibson (1996) yang berjudul Organisasi: Perilaku, Struktur, dan
Proses, penulis gunakan untuk mendapatkan pernyataan berikut ini:
Pengawasan merupakan salah satu faktor lingkungan di tempat kerja,
tepatnya sebagai faktor organisasi yang dapat mempengaruhi munculnya
perilaku tidak aman pada pekerja saat bekerja apabila pengawasan dari
pengawas rendah.
j. Buku Notoatmodjo (2007) yang berjudul Kesehatan Masyarakat Ilmu dan
Seni, penulis gunakan untuk mendapatkan langkah-langkah proses
pengawasan, isinya yaitu:
Proses pengawasan adalah suatu proses yang berarti suatu pengawasan itu
terdiri dari berbagai langkah, yakni:
1) Menyusun rencana pengawasan.
Sebelum melakukan pengawasan terlebih dahulu harus disusun rencana
pengawasaan, antara lain: tujuan pengawasan, objek pengawasan, dan
sebagainya.
2) Pelaksanaan pengawasan, yaitu melakukan kegiatan pengawasan sesuai
dengan rencana yang telah disusun.
3) Menginterpretasi dan menganalisis hasil-hasil pengawasan. Hasil-hasil
pengawasan yang antara lain berupa foto-foto, catatan dan dokumen, hasil
rekaman dan sebagainya, diolah, diinterpretasi dan dianalisis.
4) Menarik kesimpulan dan tindak lanjut. Dari hasil analisis tersebut kemudian
disimpulkan, dan menyusun saran serta rekomendasi untuk tindak lanjut
pengawasan tersebut.
k. UU No. 18 tahun 1999 pasal 9 menyatakan bahwa, pengawas konstruksi
orang perseorangan harus memiliki sertifikat keahlian.
Pengawasan adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk menjamin bahwa
setiap pekerjaan dilaksanakan dengan aman dan mengikuti setiap prosedur
dan petunjuk kerja yang telah ditetapkan. Pengawasan ini meliputi
menetapkan standar hasil yang diharapkan, mengukur hasil yang
sebenarnya, serta membandingkan hasil yang sebenarnya dengan standar
guna melihat adanya penyimpangan.
Pengawasan terhadap aktivitas pekerja diharapkan dapat menumbuhkan
kepatuhan dan kesadaran akan pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja
bagi dirinya, pekerja lain, dan lingkungan kerjanya. Pengawasan harus
dilakukan secara berkala atau sesering mungkin sehingga apabila ada kondisi
yang berbahaya atau kegiatan yang tidak aman dapat diketahui dengan
segera dan dapat dilakukan usaha untuk memperbaikinya.

Industri Konstruksi
a. Skripsi Ferdy dan Yudi (2008) yang berjudul Macam-macam dan Penyebab
Kecelakaan Struck-by pada Proyek Konstruksi di Surabaya, penulis gunakan
untuk mendapatkan definisi Industri Konstruksi, isinya yaitu:
Industri konstruksi merupakan lapangan pekerjaan yang memiliki potensi
bahaya dan risiko kecelakaan kerja, yang mana kecelakaan kerja ini juga
dapat menimbulkan kerugian terhadap pekerja dan juga kontraktor. Pekerja
konstruksi sangat berbeda karakteristiknya dengan pekerja di sektor industri
atau pekerjaan formal lainnya. Salah satu karakteristik pekerja konstruksi
adalah mobilitasnya yang sangat tinggi dan cenderung tidak terikat dalam
satu perusahaan tertentu.
b. Artikel milik Ramli (2003) yang berjudul Keselamatan Konstruksi, penulis
gunakannuntuk mendapatkan karakteristik kegiatan konstruksi, isinya yaitu:
Karakteristik kegiatan konstruksi adalah:
1) Memiliki masa kerja terbatas
2) Melibatkan jumlah tenaga kerja yang besar
3) Melibatkan banyak tenaga kerja kasar (buruh) yang berpendidikan relatif
rendah
4) Memiliki intensitas kerja yang tinggi
5) Bersifat multidisiplin dan multi-crafts
6) Menggunakan peralatan kerja beragam, jenis teknologi, kapasitas dan
kondisinya
7) Memerlukan mobilisasi yang tinggi (peralatan, material, dan tenaga kerja).
c. Makalah Karim (2009) yang berjudul Studi Kasus Kecelakaan Kerja
Konstruksi, penulis gunakan untuk mendapatkan data berikut ini:
Dari sekitar 4.5 juta pekerja konstruksi Indonesia, lebih dari 50% di antaranya
hanya mengenyam pendidikan maksimal sampai dengan tingkat Sekolah
Dasar. Mereka adalah tenaga kerja lepas harian yang tidak meniti karir
ketrampilan di bidang konstruksi, namun sebagian besar adalah para tenaga
kerja dengan ketrampilan seadanya dan masuk ke dunia jasa konstruksi
akibat dari keterbatasan pilihan hidup.
d. Artikel Faisol (2008) yang berjudul Penerapan SMK3 Proyek, penulis
gunakan untuk mendapatkan komponen-komponen K3 yang perlu
diperhatikan dalam sebuah proyek konstruksi, isinya yaitu:
Komponen K3 yang perlu perhatian di dalam sebuah proyek adalah:
1) APD ( Helm, sepatu, masker, sarung tangan, kacamata pengaman, body
protector, rompi, safety belt, dll) tersedia dengan cukup dan kondisi baik
sesuai jenis pekerjaannya.
2) Perlengkapan K3 (Bendera K3, spanduk, papan info K3, rambu, barikade,
APAR, obat-obatan P3K, poster, segitiga pengaman, jas hujan, lampu malam
hari, dll) tersedia dengan cukup dan sesuai dengan jenis pekerjaan.
3) Alat Bantu kerja (Perancah, tangga, pesawat angkat angkut, alat berat, dll)
dalam keadaan aman dan siap pakai.
4) Peralatan Kerja (Mesin dan perkakas) dalam keadaan baik dan aman.
5) Mobilisasi alat berat , pastikan sesuai ketentuan dan aman bagi
lingkungan.
6) Safety Plant & Identifikasi bahaya yang dibuat oleh kontraktor termasuk
safety morning.
7) Barak, sanitasi dan air minum pekerja yg higienis, aman dan sehat.
8) Pembayaran premi Jamsostek dan sertifikasi.
9) Penanganan emergency dan Pola Pelaksanaan SMK3 (SOP, Aturan,
Pedoman). Industri konstruksi dan tenaga kerja dilindungi oleh Undang-
undang dan Permenaker sebagai berikut:
1) UU No. 1 Tahun 1970, tentang Keselamatan Kerja
2) UU No. 3 Tahun 1992, tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
3) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga-kerjaan
4) UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
5) Permenaker RI No.Per-01/MEN/1980 tentang K3 Konstruksi Bangunan
6) Permenaker RI No.Per-05/MEN/1996, tentang Sistem Manajemen K3
7) Permenaker R.I No. Kep-1135/MEN/1987, tentang Bendera K3
8) Keppres RI No.22 Tahun 1993, tentang Penyakit akibat kerja.
f. Skripsi Candra dan Rony (2001) yang berjudul Studi Tentang Mandor,
Pekerja, dan Kecelakaan Kerja pada Proyek Konstruksi, penulis gunakan
untuk mendapatkan data berikut ini:
Pihak-pihak yang terkait dalam sebuah industri konstruksi menurut Wulandari
(2001) dalam Candra dan Rony (2006), meliputi:
1) Pemerintah
Dalam hal ini melalui Departemen Tenaga Kerja dan bertindak sebagai
pengatur serta pembina keselamatan kerja sesuai dengan peraturan yang
telah ditetapkan.
2) Kontraktor
Kontraktor sebagai pihak yang terlibat langsung dan bertanggung jawab
dalam penyusunan dan pelaksanaan program keselamatan kerja dalam suatu
proyek. Dalam hal ini kontraktor wajib membentuk unit keselamatan kerja dan
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan serta melakukan kontrol
terhadap faktor–faktor yang mendukung program keselamatan kerja.
3) Mandor, merupakan lini terdepan yang berhubungan langsung dengan
pekerja proyek, sehingga mandor harus dapat memberi pengarahan dan
pengawasan kepada pekerja proyek.
4) Pekerja, merupakan pihak yang terkait langsung dengan proyek konstruksi,
sehingga diharapkan agar setiap pekerja proyek selalu berperilaku aman
dalam bekerja sehingga dapat meminimalisasi kecelakaan kerja yang terjadi.
Pada dasarnya kecelakaan kerja dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu :
1) Kondisi berbahaya yang selalu berkaitan dengan:
a) Mesin, peralatan, bahan, dan lain-lain.
b) Lingkungan kerja: kebisingan, penerangan, dan lain-lain.
c) Proses produksi: waktu kerja, sistem, dan lain-lain.
d) Sifat kerja.
e) Cara kerja
2) Tindakan berbahaya yang dalam beberapa hal dapat dilatar belakangi
oleh faktor-faktor:
a) Kurangnya pengetahuan dan ketrampilan.
b) Cacat tubuh yang tidak kelihatan.
c) Keletihan dan kelelahan.
d) Sikap dan tingkah laku yang tidak aman.

Ada 3 faktor (safety  triad) yang dapat mempengaruhi terjadinya


kecelakaan kerja, yaitu:
 Faktor kepribadian (personality) :
1. Apakah  orang  tersebut  mengetahui  bahaya  dari  pekerjaan atau
tindakannya?
2. Apakah  ia  mengetahui  apa  yang  seharusnya  dilakukan?
3. Mampukah  ia  melakukannya?
4. Bagaimanakah perasaannya ketika melakukannya? (sulit, mudah,
dengan  terpaksa dll)
Faktor ini tergantung kepada: tingkat pendidikan, pengetahuan,
pengalaman, lingkungan sosial hidupnya, dan lain-lain. Hal ini sulit
diungkap secara keseluruhan karena terletak di dalam diri seseorang.
 Faktor lingkungan atau kondisi kerja :
Contoh  dari  faktor  ini  adalah  adanya  tumpahan  minyak,  air,  atau  cair
an  kimia di  lantai  kerja,  APD  ,  efektifitas  dari  alat  pelindung  mesin  da
n sebagainya. Kondisi lingkungan  atau  kondisi kerja merupakan
faktor  yang  mudah  diketahui,  oleh  karena  itu orang lebih sering dan
senang untuk  menyalahkan  kondisi  yang  tidak  aman.
 Faktor perilaku (tindakan) :
Faktor  ini  menekankan  kepada  apa  yang  sesungguhnya  telah  dilakuk
an dan bukan  kepada  apa  yang  diinginkan  untuk  dilakukan.
Contoh: memakai helm, menerobos lampu merah, dll
Dari ketiga faktor di atas, ternyata penyebab kecelakaan kerja didominasi
oleh faktor perilaku/tindakan (behavior factor), misalnya : dari data I.L.O
(1989)  mengungkapkan  dari 75.000  kasus  kecelakaan  88%  disebabkan 
 tindakan tidak  aman,  10%  oleh  kondisi  tidak aman  dan  2% kejadian
yang tak dapat diprediksi, Strasser (1981:83)
membuktikan  bahwa ”unsafe  behavior  is  contributing cause of 85  %  
of  all  accident”, penelitian  Hidayat (1999:3) di jalan tol dari tahun 1992
sampai tahun
1996 menyimpulkan bahwa dari 2101 kasus kecelakaan yang terjadi  
di jalan tol 64,8 % adalah faktor pengemudi.

D. UPAYA UNTUK MENGURANGI KECELAKAAN

PENDEKATAN PERSUASIF DALAM PERILAKU K3


Melihat prioritas utama dalam menangani kecelakaan kerja adalah manusia,
maka usaha yang paling tepat dilakukan adalah bagaimana membuat manusia
berdisiplin dan sadar akan bahaya kecelakaan.
Untuk  mengetahui perilaku manusia dalam bekerja maka perlu dilakukan
analisa psikologi. Analisa yang dilakukan dengan melihat pekerja dalam
bekerja dari segi pikiran, perasaan dan tidakan yang merupakan pembentuk
perilaku.

 Pembangkitan sisi pikiran pekerja


Faktor pikiran berisi tentang keyakinan seseoarang mengenai apa yang
berlaku. Sekali kepercayaan telah terbentuk, maka keyakinan tersebut
akan menjadi dasar pertimbangan seseorang mengenai perbuatan yang
akan dilakukan. Keyakinan sendiri terbentuk dari informasi yang didapat
seseorang. Bisa saja pekerja berperilaku tidak aman karena tidak
mengerti bagaimana cara berperilaku aman. Oleh karena itu dalam
komponen ini direncanakan program untuk meningkatkan pengetahuan
pekerja tentang keselamatan kerja, yaitu dengan pelatihan singkat,
simulasi, dan workshop sesuai analisa kebutuhan pelatihan.

 Pembangkitan sisi perasaan pekerja


Usaha selanjutnya dalam pendekatan persuasi dalam peningkatan
keselamatan kerja adalah berusaha mengubah reaksi emosional pekerja.
Faktor yang paling berperan disini adalah pembangkitan sisi perasaan
dari pekerja untuk berperilaku disiplin dalam bekerja.
Pada dasarnya pekerja tahu cara berperilaku yang aman, namun karena
berbagai hal seperti menghemat waktu, menghemat usaha, merasa lebih
nyaman, dan menarik perhatian membuat pekerja menomorduakan
keselamatan. Untuk mengubah pemahaman pekerja ini diperlukan
program-program antara lain :
a.       Kampanye dan Sosialisasi Keselamatan Kerja
b.      Publikasi Data Kecelakaan Kerja

 Pembangkitan Sisi Tindakan


Yaitu perilaku atau kebiasaan yang ada dalam diri seseorang berkaitan
dengan objek lain yang ada disekitar lingkungannya. Ketika lingkungan
sekitarnya tidak nyaman atau mendorong kearah negatif (negatif
reonforcement) maka kecenderungan perilaku manusia tersebut juga ke
arah negatif. Jadi untuk mempengaruhi perilaku seseorang juga harus
merubah lingkungan fisiknya.
Perilaku tidak aman juga sering dipicu oleh adanya pengawas atau
manajemen yang tidak peduli dengan keselamatan kerja. Pihak
manajemen ini secara tidak langsung memotivasi para pekerja untuk
mengambil jalan pintas, mengabaikan bahwa perilakunya berbahaya demi
kepentingan tercapainya target produksi.
Perilaku tidak aman juga bisa dipicu oleh tidak tersedianya Alat Pelindung
Diri di lokasi kerja. Karena tuntutan deadline pekerjaan, sehingga tanpa
alat pelindung diri pekerja terpaksa melakukan pekerjaan yang berpotensi
bahaya. Jika hal ini dibiarkan maka akan menjadi kebiasaan dalam
bekerja.
Memberikan Reward terhadap pekerja yang selalu berperilaku aman dan
sebaliknya Punishment di berikan kepada pekerja yang berperilaku tidak
aman.
Dari beberapa hal yang diungkapkan diatas, maka perilaku K3 harus terus
dilatih agar menjadi suatu kebiasaan (safe behavior). Proses latihan perilaku
K3 dapat dilakukan melalui tahapan:
1.      Observation (pengamatan)
2.      Feedback (umpan balik)
3.      Reinforcement (penguatan)
4.      Behavior change (perubahan perilaku)
Observation (Pengamatan)
Observation, menga-mati dan memonitor perilaku pekerja
dan  mengidentifikasikan (mengenali)  manakah  perilaku  selamat  dan  manak
ah  perilaku  tidak  selamat.
Feedback (Umpan Balik)
Feedback,  memberikan  umpan  balik.  Katakan  kepada  pekerja anda apakah 
 ia melakukan tindakan selamat atau tidak selamat.Umpan balik yang tepat
merupakan pemicu
kepada pekerja untuk meneruskan atau merubah perilakunya
Reinforcement (penguatan)
Reinforcement  (penguatan),  pemberian  suatu  penguatan
yang  positif  sesudah  pekerja anda  melakukan  tindakan  selamat  dapat  me
ndorong  pekerja  tersebut  melakukan  lagi tindakan tersebut.
Contohnya: "Saya  lihat  anda  memakai  kacamata  pelindung  dengan  baik  h
ari  ini.  Itu merupakan  perilaku  yang  selamat.  Saya  senang  melihat  hal  itu
".
Behavior Change (Perubahan Perilaku)
Behavior  change  (perubahan  perilaku),  perubahan  ini  terjadi  hanya  bila  s
elalu dilakukan  penguatan  ke  arah  "safe  behavior",  ini  merupakan  tujuan  
dari  ketiga  proses sebelumnya.

Terdapat beberapa model dasar perubahan perilaku, yaitu:


 Classical Conditioning
adalah adalah merubah perilaku dengan memberikan conditioned stimulus,
perubahan tersebut menghasilkan conditioned response. Penerapannya dalam
perubahan perilaku adalah perilaku seseorang dapat berubah bila diberikan
stimulus secara terus-menerus. Bila stimulus tersebut diberikan tidak terus-
menerus, maka perubahan perilaku (conditioned response) tidak akan terjadi.
Dalam penerapan program Behavior Based Safety (BBS), stimulus yang
diberikan terus-menerus adalah melakukan observasi perilaku secara terus-
menerus dan memberikan stimulus positif, pada akhirnya akan menghasilkan
perubahan perilaku kerja aman (conditioned response of safe behavior).

 Operant Conditioning

adalah merubah perilaku dengan menghubungkan akibat yang


didapatkannya. Teori ini diperkenalkan oleh B.F. Skinner, seorang ahli
psikologi dari Harvard, yang menyatakan bahwa orang berperilaku sedemikian
rupa untuk mendapatkan sesuatu yang ia inginkan atau untuk menghindari
sesuatu yang tidak ia inginkan. Kecenderungan untuk mengulangi perilaku
tertentu dipengaruhi oleh lemah-kuatnyareinforcement terhadap akibat yang
didapatkan dari perilaku tertentu tersebut, oleh sebab itu, dikatakan
reinforcement memperkuat perilaku dan akan menambah kecenderungan
perilaku tertentu itu diulangi lagi. Penerapannya dalam program BBS adalah
bila dalam melakukan observasi perilaku kerja didapatkan pekerja telah
melakukan pekerjaannya dengan benar dan aman, maka pekerja tersebut
harus diberireinforcement agar pekerja tersebut mengerti bahwa yang ia
lakukan sudah benar dan aman sehingga perilaku kerja aman (safe behavior)
akan diulangi terus. Bila perilaku kerja aman (safe behavior) ini terus diulang,
maka kecelakaan kerja dan lingkungan dapat dicegah.

 Social Learning

adalah merubah perilaku melalui pengaruh model. Orang dapat belajar


dari mengamati apa yang terjadi pada orang lain dan diajari sesuatu
sedemikian rupa dari pengalaman langsung. Penerapannya dalam program
BBS adalah komitmen dan partisipasi manjemen beserta para pimpinannya
secara aktif dan nyata dalam implementasi program BBS untuk menjadi model
yang akan diikuti oleh seluruh jajaran dibawahnya secara aktif. Hal ini dapat
mengurangi unsafe behaviormenjadi safe behavior dalam bekerja.

 Developing Job Pride Through Behavior Reinforcement

menjelaskan bahwa perilaku dipengaruhi oleh efek yang didapatkannya.


Efek yang negatif mengarah kepada kecilnya kemungkinan pengulangan
perilaku. Sedangkan efek positif akan mengarah kepada pengulangan perilaku
bertambah besar. Dalam prakteknya bila perilaku tertentu menghasilkan
pengalaman yang negatif, misal mendapatkan hukuman, denda, menyakitkan,
perasaan tidak menyenangkan dan lainnya yang negatif, maka perilaku
tertentu itu cenderung untuk tidak diulangi lagi.
Bila perilaku itu mendatangkan pengalaman yang positif seperti penghargaan,
kesenangan, hadiah, kepuasan, dan lainnya yang positif, maka perilaku
tersebut cenderung untuk diulangi. Behavior reinforcement berbeda dengan
penghargaan kepada pribadi pada umumnya. Behavior reinforcementsecara
jelas berhubungan dengan sesuatu yang spesifik yang telah dilakukan oleh
orang itu (Bird and Gemain, 1990, dalam Geller, 2001).
Penerapannya dalam program  BBS adalah penghargaaan atau perhatian
positif lainnya perlu diberikan terhadap orang yang melakukan kerja aman
(safe behavior). Penghargaan ataupun perhatian positif tersebut  diberikan
terhadap sesuatu yang spesifik yang telah dilakukan oleh pekerja tersebut
dengan aman. Pemberian hukuman akibat dari perilakunya tidak akan
merubah perilaku secara permanen sebab perilaku tersebut berubah karena
takut mendapat hukuman.

 Giving Feedback

Proses perubahan perilaku memerlukan feedback sebagai mekanisme


untuk meningkatkan kepekaan terhadap error generating work habits, terutama
kekeliruan yang potensial menimbulkan kecelakaan. Ada lima karakteristik
feedback , yaitu:

1. Speed, lebih cepat feedback diberikan setelah terjadinya kekeliruan,


lebih cepat pula tindakan perbaikan yang akan dilakukan. Selain itu,
pekerja juga dapat belajar langsung dari kekeliruan tersebut.
2. Specificity, lebih tajam feedback difokuskan pada kekeliruan secara
spesifik, maka akan lebih efektif hasilnya.
3. Accuracy, feedback harus teliti, kekeliruan pada feedback menimbulkan
tindakan yang keliru.
4. Content, isi dari informasi yang akan disampaikan harus sesuai dengan
perilaku yang diinginkan. Perilaku yang komplek memerlukan elaborasi
informasi lebih rinci.
5. Amplitude, feedback harus cukup menimbulkan perhatian terhadap
pekerja, namun demikianfeedback yang berlebihan dapat
mengacaukan performance yang diinginkan.

Pencegahan Kecelakaan Kerja


Pencegahan-pencegahan kecelakaan kerja, yaitu:
1) Peraturan perundangan, yaitu ketentuan-ketentuan yang diwajibkan
mengenai kondisi-kondisi kerja pada umumnya, perencanaan,
konstruksi, perawatan dan pemeliharaan, pengawasan, pengujian, dan
cara kerja peralatan industri, tugas-tugas pengusahan dan buruh,
latihan, supervisi medis, P3K, dan pemeriksaan kesehatan.
2) Standarisasi, yaitu penetapan standar-standar resmi, setengah resmi,
atau tak resmi mengenai misalnya konstruksi yang memenuhi syarat-
syarat keselamatan jenis-jenis peralatan industri tertentu, praktek-
praktek keselamatan dan hygiene umum, atau alat-alat perlindungan
diri.
3) Pengawasan, yaitu pengawasan tentang dipatuhinya ketentuan-
ketentuan perundang-undangan yang diwajibkan.
4) Penelitian bersifat teknik, yang meliputi sifat dan ciri-ciri bahan-bahan
yang berbahaya, penyelidikan tentang pengaman, pengujian Alat
Pelindung Diri (APD), penelitian tentang pencegahan peledakan gas
dan debu, atau penelaahan tentang bahan-bahan dan desain paling
tepat untuk tambang-tambang pengangkat dan peralatan pengangkat
lainnya.
5) Riset medis, yang meliputi terutama penelitian tentang efek-efek
fisiologis dan patologis faktor-faktor lingkungan dan teknologis, dan
keadaan-keadaan fisik yang mengakibatkan kecelakaan.
6) Penelitian psikologis, yaitu penyelidikan tentang pola-pola kejiwaan
yang menyebabkan terjadinya kecelakaan.
7) Penelitian secara statistik, untuk menetapkan jenis-jenis kecelakaan
yang terjadi, banyaknya, mengenai siapa saja, dalam pekerjaan apa,
dan apa sebab-sebabnya.
8) Pendidikan, yang menyangkut pendidikan keselamatan dalam
kurikulum teknik, sekolah-sekolah perniagaan atau kursus-kursus
pertukangan.
9) Latihan-latihan, yaitu latihan praktek bagi tenaga kerja, khususnya
tenaga kerja yang baru, dalam keselamatan kerja.
10) Penggairahan, yaitu penggunaan aneka cara penyuluhan atau
pendekatan lain untuk menimbulkan sikap untuk selamat.
11) Asuransi, yaitu insentif financial untuk meningkatkan pencegahan
kecelakaan misalnya dalam bentuk pengurangan premi yang dibayar
oleh perusahaan, jika tindakan-tindakan keselamatan sangat baik.

Pencegahan kecelakaan kerja dapat dilakukan dengan banyak cara,


diantaranya peraturan perundangan, standarisasi, pengawasan, penelitian
bersifat teknik, riset medis, penelitian psikologis, penelitian secara statistik,
pendidikan, latihan-latihan, penggairahan dan asuransi. Pencegahan
kecelakaan kerja juga dapat dicegah dengan beberapa pendekatan, yaitu
pendekatan organisasi, pendekatan tenaga ahli dan pendekatan individual

BAB III
PEMBAHASAN

Kecelakaan kerja yang terjadi di Perusahaan PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKKP)
yang merupakan perusahaan menghasil pulp and kertas di Riau. Dalam insiden ini,
satu karyawan perusahaan anak Sinarmas Grub itu tewas, dikarenakan terjepit pada
alat kompeyor. Dari data diatas sudah jelas ini termasuk dari bagian kecelakaan
kerja. Dari analisa penyebab kecelakaan kerja tersebut dengan menggunakan data
kejadian berita tersebut dapat dibuat analisa berupa kecelakaan kerja tersebut yang
merenggut nyawa korban yang sudah telihat tubuh dan kepalanya terjepit di bagian
kompeyor dikarenakan faktor perilaku yang tidak aman dari individu dan kurangnya
pemahaman tentang SOP pada tempat kerja.
Seperti teori yang dikemukakan pada Perilaku tidak aman pekerja konstruksi
diantaranya :
1) Kesalahan karena lupa.
Kesalahan ini terjadi pada seseorang yang sebetulnya mengetahui, mampu,
dan berniat mengerjakan secara benar dan aman serta biasa dilakukan.
Namun, orang tersebut melakukan kesalahan karena lupa. Cara
mengatasinya yaitu dengan mengubah sarana dan lingkungan, mengingatkan
untuk lebih berhati-hati,meningkatkan pengawasan, mengurangi dampak, dan
lain-lain.
2) Kesalahan karena tidak tahu.
Kesalahan ini terjadi karena orang tersebut tidak mengetahui cara
mengerjakan atau mengoperasikan peralatan dengan benar dan aman, atau
terjadi kesalahan perhitungan. Hal tersebut biasanya terjadi disebabkan
karena kurangnya pelatihan, kesalahan instruksi, perubahan informasi yang
tidak diberitahukan, dan lain-lain.
3) Kesalahan karena tidak mampu.
Kesalahan jenis ini terjadi karena orang tersebut tidak mampu melakukan
tugasnya.
4) Kesalahan karena kurang motivasi
Kesalahan karena kurangnya motivasi dapat terjadi akibat:
a) Dorongan pribadi, misalnya ingin cepat selesai, melalui jalan pintas, ingin
merasa nyaman, malas memakai APD, menarik perhatian dengan mengambil
resiko yang berlebihan, dan lain-lain.
b) Dorongan lingkungan, misalnya lingkungan fisik, sistem manajemen,
contoh dari pimpinan, dan lain-lain.

Adapun faktor faktor lain kecelakaan yang terjadi pada kasus kematian
karyawan PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKKP) adalah dikarenakan Tidak amannya
dari kondisi ruang kerja beserta mesin disekitar tempat kerja yang mempunyai
bahaya yang tinggi serta kurangnya Pelatihan dari para pegawai tentang bahaya
mesin yang seharusnya dilakukan suatu pembelajaran bagaimana mengenal hazard
dan cara mengatasinya untuk mengurangi potensial bahaya tersebut juga untuk
mengurangi aktivitas-aktivitas bahaya pada lingkungan kerja yang seperti itu.
Seperti pada teori yang sudah ada, yaitu :
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Tidak Aman
Pengetahuan
a. Pengetahuan adalah keadaan tahu, dimana manusia ingin tahu, kemudian
ia mencari dan memperoleh pengetahuan dan yang diperoleh itulah
pengetahuan, jadi Bpengetahuan adalah semua yang diketahui.
b.Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari
oleh seseorang. Ada dua jenis pengetahuan, yaitu :
1) Pengetahuan Empiris
Pengetahuan ini lebih menekankan kepada pengamatan dan pengalaman
inderawi, bisa didapatkan dengan melakukan pengamatan dan observasi
yang dilakukan secara empiris. Pengetahuan empiris tersebut, juga dapat
berkembang menjadi pengetahuan deskriptif bila seseorang dapat melukiskan
dan menggambarkan segala ciri, sifat dan gejala yang ada pada objek empiris
tersebut. Pengetahuan empiris juga bisa didapatkan melalui pengalaman
manusia yang terjadi berulang kali.
2) Pengetahuan Rasionalisme
Pengetahuan rasionalisme merupakan pengetahuan yang didapatkan
melalui akal budi. Rasionalisme lebih menekankan pengetahuan yang bersifat
apriori dan tidak menekankan pada pengalaman.
c. Buku Notoatmodjo (2003) Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan
ini terjadi setelah individu
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
dan tes yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek
penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau
diukur dapat disesuaikan dengan tingkat pengetahuan.
Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku
baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :
1) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus.
2) Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini
sikap subjek sudah mulai timbul.
3) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya.
4) Trial, dimana subjek mulai mencoba untuk melakukan sesuatu sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
5) Adoption, dimana subjek telah berprilaku baru sesuai dengan
pengetahuan,kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Notoatmodjo menyatakan apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi
perilaku melalui proses seperti ini dimana didasari oleh pengetahuan,
kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat
langgeng (long lasting), dan sebaliknya apabila perilaku ini tidak didasari oleh
pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama.
Green (1980) menyatakan bahwa peningkatan pengetahuan tidak selalu
menyebabkan perubahan perilaku, tetapi pengetahuan sangat penting
diberikan sebelum individu melakukan suatu tindakan. Tindakan akan sesuai
dengan pengetahuan apabila individu menerima isyarat yang cukup kuat
untuk memotivasi dia bertindak sesuai dengan pengetahuannya.
d. Buku Notoatmodjo (2007) Pengetahuan yang dicakup di dalam domain
kognitif mempunyai 6 tingkatan, yakni:
1) Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dan seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini
merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
2) Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasi materi tersebut
secara benar.
3) Aplikasi (Applications)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi dan kondisi sebenarnya.
4) Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5) Sintesis (Synthesist)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru.
6) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
e. Masruri (2008), isinya yaitu:
Kurangnya pengetahuan seperti tidak cukupnya informasi yang diterima, tidak
dapat dimengerti, tidak tahu kebutuhannya, tidak dapat mengambil
keputusan, serta tidak berpengalaman adalah alasan atau penyebab
seseorang melakukan perilaku tidak aman.
f. Skripsi Pratiwi (2009) Untuk melakukan perilaku kerja tidak aman, tidak
cukup bila hanya mengetahui prosedur kerja maupun bahaya yang mereka
hadapi. Perilaku kerja aman akan muncul pada saat pekerja ini sudah sampai
pada tahap memahami manfaat dari berperilaku kerja aman kemudian
menerapkannya dalam pola kerja sehari-hari. Pengetahuan adalah semua
yang diketahui dan disadari oleh seseorang. Terjadi proses yang berurutan
dalam pengadopsian perilaku baru, yaitu awareness, interest, evaluation, trial,
adoption. Pengetahuan memiliki beberapa tingkatan, diantaranya tahu,
memahami, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Ada dua jenis
pengetahuan, yakni pengetahuan empiris dan pengetahuan rasionalisme.

Dari segi untuk Manajemen sistem K3 yang kurang pada Perusahaan diatas
adalah dari segi pengawasan K3, ini dimaksudkan kurangnya pengawasan
dari pihak K3 yag dapat membuat pegawai menjadi tidak terlalu punya arah
saat bekerja, jadi akan bekerja dengan cepat sesuai keinginan pegawai itu
sendiri tanpa melakukan suatu kegiatan kerja dengan melakukan SOP yang
benar yang tidak sesuai dengan hasil Analisis K3 yang sudah dibuat di
Perusahaan PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKKP) tersebut.
Dalam teori yang didapat :
Pengawasan
a. Skripsi Pratiwi (2009) yang berjudul Tinjauan Faktor Perilaku Kerja Tidak
Aman pada Pekerja Konstruksi Bagian Finishing PT. Waskita Karya Proyek
Pembangunan Fasilitas dan Sarana Gelanggang Olahraga (GOR) Boker,
Ciracas,Jakarta Timur 2009, penulis gunakan untuk mendapatkan definisi
pengawasan menurut Lowie (1995)
Pengawasan merupakan cara untuk mendorong semangat seseorang untuk
melaksanakan tugas dalam artian luas. Maksud dari pengawasan adalah
lapisan pengawas dalam organisasi manajemen atau kepala dari organisasi
yang ada di lapis bawah.
b. Buku Sarwono (1991) yang berjudul Teori-Teori Psikologi Social, penulis
gunakan untuk mendapatkan pernyataan berikut ini:
Dibutuhkan pengawasan untuk menegakkan peraturan di tempat kerja. Agar
pengawasan berhasil maka manajer harus melakukan kegiatan-kegiatan
pemeriksaan, pengecekan, pencocokan, inspeksi, pengendalian dan bebagai
tindakan yang sejenis dengan itu, bahkan bilamana perlu mengatur dan
mencegah sebelumnya terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan
terjadi.
c. Tesis Alfon (2006) yang berjudul Analisis Faktor-faktor Tindakan Tidak
Aman Sebagai Penyebab Kecelakaan Kerja di Kegiatan Pemboran dan
Produksi Pada Beberapa Group KKKS Tahun 2002-2004, penulis gunakan
untuk mendapatkan kegunaan pengawasan, isinya yaitu:
Pengawasan dapat digunakan untuk menggantikan peran pertemuan seperti
safety meeting dan dapat lebih mengontrol apakah perkerja mengikuti seluruh
hal yang telah dibahas dalam safety meeting. Dengan melaksanakan
pengawasan oleh pengawas, hal ini berarti juga telah memberi kesempatan
untuk:
1) Lebih dapat menekankan pada aspek keselamatan kerja
2) Membangun kesadaran atau budaya keselamatan kerja
3) Meningkatkan hubungan diantara pengawas dan pekerja.
d. Skripsi Asih (2005) yang berjudul Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Pemakaian Alat Pelindung Telinga (Ear Plug) pada Tenaga Kerja Bagian
Produksi Divisi PM 6PT.Pura Barutama Kudus Tahun 2005, penulis gunakan
untuk mendapatkan definisi pengawasan menurut Sastrohadiwiryo (2003),
isinya yaitu:
Pengawasan adalah kegiatan yang dilakukan untuk menjamin bahwa setiap
pekerjaan dilaksanakan dengan aman dan mengikuti setiap prosedur dan
petunjuk kerja yang telah ditetapkan.
e. Buku Bird dan Germain (1990) yang berjudul Practical Loss Control
Leadership,
penulis gunakan untuk mendapatkan pernyataan-pernyataan mengenai
pengawasan, isinya sebagai berikut:
Peran seorang pengawas sangat penting dan harus dapat mamanfaatkan
waktu dengan baik dalam berbicara untuk mmberitahukan ataupun
memberikan teguran terhadap pekerja yang melakukan tindakan tidak aman
dan memberikan pujian pada pekerja yang mengikuti prosedur kerja ditempat
kerja. Kontak secara personal harus dilakukan sesering mungkin untuk
mempengaruhi sikap pekerja, pengetahuan, dan keterampilan.
Bird dan Germain juga menyebutkan bahwa, supervisor (pengawas)
memiliki posisi kunci dalam mempengaruhi pengetahuan, sikap, keterampilan,
dan kebiasaan akan keselamatan setiap karyawan dalam suatu area
tanggung jawabnya.
Para pengawas juga memonitor kinerja pekerja, yang mana hal ini merupakan
sesuatu yang penting untuk kesuksesan program.
Ada enam petunjuk praktis bagi pengawas:
1) Merekognisi pentingnya peran supervisor. Sikap kepemimpinannya sangat
dibutuhkan apalagi pada saat memutuskan suatu permintaan persetujuan
apakah “ya” atau “tidak” dan pemberian rekomendasi mengenai para
pekerjanya, supervisor juga berperan sebagai pelatih dan pengarah.
2) Mengidentifikasi gejala-gejala atas berkembangnya permasalahan -
permasalahan. Gejala-gejala ini termasuk gejala perubahan perilaku, keadaan
emosional yang susah, masalah-masalah kesehatan, dan perubahan kinerja.
3) Mendokumentasikan bentuk bentuk kinerja. Para supervisor berkewajiban
untuk mencatat fakta-fakta mengenai kinerja pekerja dan melaksanakannya
dalam lingkungan kerja.
4) Mendiskusikan kinerja kepada pekerja. Para supervisor seharusnya
berdiskusi dengan pekerja yang perilakunya dibawah standar atau kinerja
menurun.
5) Belajar mendengarkan; mendengar untuk belajar. Kuncinya adalah adanya
keinginan seseorang untuk memahami apa gangguan sebenarnya yang ada
pada seseorang.
6) Mengetahui kapan mengarahkan seseorang pekerja untuk mendapatkan
seorang pembimbing.
f. Skripsi Hendrabuwana (2007) yang berjudul Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Perilaku Bekerja Selamat Bagi Pekerja Di Departemen
Cor PT Pindad Persero Bandung Tahun 2007, penulis gunakan untuk
mendapatkan pernyataan Azwar (1998) sebagai berikut:
Dengan adanya pengawasan dan peraturan yang mengikutinya merupakan
salah satu faktor yang akan mempengaruhi perilaku seseorang.
BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN
Salah satu program yang paling banyak digunakan untuk memperbaiki
perilaku pekerja adalah behavior-based safety. Behavior-based safety atau
lebih dikenal dengan singkatan BBS adalah suatu pendekatan yang bersifat
proaktif dalam meningkatkan kinerja K3, dan sistem ini juga memberikan
peringatan dini terhadap potensi bahayakecelakaan serta dapat mengukur
perilaku aman dan tidak aman di tempat kerja. Sistem ini juga memberikan
kesempatan kepada setiap individu untuk berbagi informasi mengenai kinerja
K3 dan umpan balik terhadap rekan-rekan kerja mereka, mendorong
keterlibatan pekerja dalam semua aktifitas K3, meningkatkan kesadaran
pribadi akan K3, memperbaiki presepsi terhadap resiko dan mengarahkan
konsep berpikir pada pencegahan kecelakaan kerja.
Jadi banyak faktor perilaku juga yang mempengaruhi cara kerja dan
efek kerja pada berbagai perusahaan yang ada, yaitu dari faktor individu itu
sendiri yaitu prilaku. Ini sangat penting untuk dikaji lebih lanjut dalam
Psikologi Industri, karena memang psikologi industri sangat berkaitan erat
dalam sifat-sifat manusia aytau individu di lingkungan kerja yang berpotensial
banyak bahaya didalamnya. Sistem manajemen K3 yang baik juga sangat
berpengaruh dalam terciptanya aur kerja yang diharapkan untuk memenuhi
kepentingan perusahaan bersama.
SARAN
 Kepada Perusahaan, Untuk mengurangi kecelakaan kerja dibutuhkan
adanya pendekatan persuasif dalam perilaku k3 di tempat kerja pada
perusahaan
 Untuk Manajemen K3, Sebagai seorang K3 Analisa yang dilakukan dengan
melihat pekerja dalam bekerja dari segi pikiran, perasaan dan tidakan yang
merupakan pembentuk perilaku harus dilakukan karena dapat menilai hal-
hal berikut :
 Pembangkitan sisi pikiran pekerja
 Pembangkitan sisi perasaan pekerja
 Pembangkitan Sisi Tindakan
 Untuk para karyawan di perusahaan, Kita seharusnya lebih lagi membuat
perilaku yang aman bagi diri kita sendiri awalnya untuk pencegahan
resioko yang dapat terjadi di tempat kerja, karena semua SOP yang sudah
dibuta bukan semata-mata hanya untuk dokumentasi perusahaan saja tapi
juga untuk keselamatan bersama, jadi dari beberapa hal yang diungkapkan
diatas, maka perilaku K3 harus terus dilatih agar menjadi suatu kebiasaan
(safe behavior).
 Kepada pemerintah, lebih ditingkatkan lagi aturan dan hukum yang berlaku
kepada perusahaan agar perusahaan lebih giat lagi membangun tata cara
K3 yang lebih baik lagi untuk mengurangi angka kecelakaan kerja terutama
di negara kita Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

http://daerah.sindonews.com/read/1070108/174/karyawan-perusahaan-pulp-and-
paper-tewas-tergiling-kompeyor-1450333662
http://healthsafetyprotection.com/perilaku-keselamatan-safety-behavior/
http://hermawankesling.blogspot.co.id/2014/08/perilaku-keselamatan-dan-
kesehatan-kerja.html
http://www.hse-info.com/2014/02/behavior-based-safety-bbs-keselamatan.html

Anda mungkin juga menyukai