Anda di halaman 1dari 6

Banyak perusahaan yang sudah lama menjalankan program K3, namun angka kecelakaan

kerja masih tinggi dan berflutuasi. Angka statistik kecelakaan kerja tidak dapat ditekan hingga
mencapai nihil kecelakaan (zero accident). Bahkan, hampir semua karyawan merasakan
bahwa, K3 itu menghambat jalannya pekerjaan. Para manajer dan supervisor percaya bahwa
Program K3 tidak mempunyai nilai tambah (added value) bagi dirinya maupun perusahaan.
Mental melakukan tugas apa adanya tumbuh subur di setiap lini organisasi perusahaan.

Ada 2 faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja yaitu Unsafe Acts (Tindakan Tidak Aman)
dan Unsafe Conditions (Kondisi Tidak Aman). Menurut Herbert W Heinrich bahwa sebagian
besar kecelakaan (± 80%) disebabkan karena faktor manusia atau dengan perkataan lain
tindakan tidak aman dari manusia, sedangkan sisanya dikarenakan kondisi yang tidak aman.

Pekerja adalah manusia yang cenderung mempunyai sifat ceroboh, lalai, sering mengambil
jalan pintas (short-cut), tidak mematuhi standar prosedur operasi, terlalu percaya diri (Over
Confidence) dll. Ini semua merupakan paradigma gunung es (Iceberg Paradigm), yang sering
disebut sebagai perilaku tidak aman (unsafe behaviour). Perilaku aman dan tidak aman dari
seorang pekerja tidak pernah dianalisa, bahkan tidak pernah dilaporkan sama sekali. Kalaupun
ada sistem pelaporannya, akan cenderung mengarah pada suasana saling menyalahkan satu
dengan yang lain (blame culture). Perlu adanya suatu komitmen dari semua manajemen dan
pekerja, tentang perlunya menghangatkan suasana K3 diorganisasi perusahaan, agar tidak
terjadi teori gunung es yang berkelanjutan, melalui program yang disebut “Behaviour Based
Safety”. Berikut ini data kecelakaan yang terjadi di PT PLN (Persero) hingga Triwulan II tahun
2014 :
Program ini memang sengaja diolah dan dikemas untuk menumbuhkan benih budaya K3
(safety culture) di perusahaan dan semoga dapat menekan tingkat angka kecelakaan. Program
“Behaviour Based Safety” ini akan dikelola mulai dari para pimpinan perusahaan, manajer dan
supervisor hingga ke lini terbawah di perusahaan. Metoda baru ini, sangat dikenal di banyak
industri maju yang sudah mencapai nihil kecelakaan kerja, dengan pendekatan iklim K3 yang
kondusif. Diharapkan setelah selesai pelatihan, para pimpinan perusahaan, manajer dan
supervisor akan mempunyai “mind-set” yang berubah dari sebelumnya, disamping program
“Behavior Based Safety” (BBS) yang harus dikelola dari hari ke hari.

Dewasa ini penerapan BBS masih terbelenggu dengan adanya mitos yang masih sering
menjadi pola pikir di suatu perusahaan, menurut H.L Kaila terdapat 11 mitos tentang BBS :
a. Hanya akal sehat
b. Hanya mode / trend
c. Hanya terapi / pencegahan
d. Hanya menyalahkan karyawan
e. Hanya sekedar observasi dan umpan balik
f. Tidak ada kepedulian dari manajemen / manajemen lepas tangan
g. Tidak memerlukan perbaikan lingkungan
h. Hanya sikap sentimentil
i. Hanya mendahulukan perubahan sikap
j. Tidak memberikan keuntungan / hasil
k. Hanya perubahan dalam organisasi semata
1.1. Tujuan Behaviour Based Safety

Behaviour based safety tidak terlepas dari mind set atau pola pikir yang sudah tertanam dalam
diri seseorang yang berpengaruh terhadap perilaku atau kebiasaan dalam pelaksanaan
pekerjaan sehari-hari. Secara garis besar tujuan dari behaviour based safety adalah untuk
merubah perilaku pekerja yang tidak aman (unsafe act) menjadi perilaku pekerja yang aman
(safe act) untuk mencapai produktivitas kerja setinggi-tingginya, selain itu untuk meningkatkan
kesadaran dan kepedulian seluruh lini di dalam perusahaan terhadap pentingnya berperilaku
sesuai dengan kaidah keselamatan dan kesehatan kerja, sehingga apabila masing-masing
seluruh lini perusahaan telah berperilaku berbasis K3 diharapkan akan tercapai budaya K3
dalam perusahaan tersebut. Kelihatannya mudah, tapi jika dilaksanakan ternyata tidak mudah
untuk merubah perilaku seseorang didalam bekerja, apalagi yang akan dirubah adalah perilaku
banyak orang di dalam perusahaan, yang dimana setiap orang memiliki cara pandang dan
pemikiran yang berbeda-beda.

1.2. Pengertian Perilaku

Berbicara mengenai Behaviour Based Safety atau Keselamatan Berbasis Perilaku, maka
sangat jelas sekali bahwa landasan jalannya program ini adalah berdasarkan perilaku. Perilaku
disini pasti sangat jelas berhubungan dengan perilaku manusia dalam hal bekerja di area kerja
yang sangat banyak bersinggungan dengan alat-alat kerja, benda kerja, kendaraan kerja, SOP,
IK, dan lainnya. Sebelum masuk lebih dalam ke pembahasan mengenai Behaviour Based
Safety, maka sebaiknya kita harus mengenali terlebih dahulu mengenai PERILAKU.

Menurut Geller (2001), perilaku mengacu pada tingkah laku atau tindakan individu yang dapat
diamati oleh orang lain. Dengan kata lain, perilaku adalah apa yang seseorang katakan atau
lakukan yang merupakan hasil dari pikirannya, perasaannya, atau yang diyakininya.

Menurut Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa dari segi biologis, perilaku adalah suatu
kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Dengan demikian,
perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas dari manusia itu sendiri yang
mempunyai bentangan yang sangat luas, antara lain berjalan, berbicara, menangis, tertawa,
bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya.

Perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar
organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik
atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun
stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respons tiap-tiap orang berbeda (Notoatmodjo,
2007). Faktor penentu perilaku terbagi atas 2 bagian :

a. Faktor internal, yaitu karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan dan
berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar, misalnya tingkat pengetahuan,
kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi, jenis kelamin, dan sebagainya.

b. Faktor eksternal, meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non-fisik, seperti iklim,
manusia, sosial, budaya, ekonomi, politik, kebudayaan dan sebagainya. Faktor
lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan mewarnai perilaku seseorang.

Jadi, pada dasarnya perilaku manusia dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal
maupun faktor eksternal. Perilaku berbeda dengan tindakan atau aksi. Tindakan atau aksi
merupakan tindakan mekanis terhadap suatu stimulus sedangkan perilaku adalah suatu proses
mental yang aktif dan kreatif

1.3. Pengertian Behaviour Based Safety

Behaviour Based Safety adalah sebuah pendekatan untuk keselamatan yang berfokus pada
perilaku pekerja sebagai penyebab terbesar terjadinya kecelakaan dan cedera yang
berhubungan dengan pekerjaan, selain itu merupakan aplikasi sistematis dari riset psikologi
tentang perilaku manusia pada masalah keselamatan (safety) ditempat kerja yang memasukkan
proses umpan balik secara langsung dan tidak langsung. BBS lebih menekankan aspek
perilaku manusia terhadap terjadinya kecelakaan di tempat kerja. Pengertian Behaviour Based
Safety dapat diuraikan, yaitu :

a. Pendekatan pro aktif terhadap manajemen keselamatan dan kesehatan kerja

b. Pendekatan pro aktif terhadap pencegahan terjadinya kecelakaan dan cedera

c. Fokus terhadap perilaku berisiko atau perilaku tidak aman yang dapat menyebabkan
kecelakaan dan cedera

d. Fokus terhadap perilaku aman dalam bekerja yang dapat berkontribusi terhadap
pencegahan kecelakaan dan cedera

Sedangkan Menurut Geller (2001), BBS adalah proses pendekatan untuk meningkatkan
keselamatan kesehatan kerja dan lingkungan dengan jalan menolong sekelompok pekerja
untuk:

a. Mengidentifikasi perilaku yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
b. Mengumpulkan data kelompok pekerja.

c. Memberikan feedback dua arah mengenai perilaku keselamatan dan kesehatan kerja
(K3).

d. Mengurangi atau meniadakan hambatan sistem untuk perkembangan lebih lanjut.

Teori Heinrich (1980, dalam Geller, 2001) tentang keselamatan kerja menyatakan bahwa
perilaku tidak aman (unsafe behavior) merupakan penyebab dasar pada sebagian besar
kejadian hampir celaka dan kecelakaan di tempat kerja. Oleh karena itu, dilakukan observasi
mendalam terhadap kalangan pekerja mengenai perilaku kerja tidak aman. Umpan balik
mengenai observasi terhadap perilaku telah terbukti sukses dalam mengurangi perilaku tidak
aman para pekerja. Umpan balik yang diberikan dapat berupa lisan, grafik, tabel dan bagan,
atau melalui tindakan perbaikan.

Lebih lanjut, Cooper (2009) mengidentifikasi adanya tujuh kriteria yang sangat penting bagi
pelaksanaan program Behavior Based Safety :

a. Melibatkan Partisipasi Karyawan

BBS menerapkan sistem bottom-up, sehingga individu yang berpengalaman


dibidangnya terlibat langsung dalam mengidentifikasi perilaku kerja tidak aman (unsafe
behavior). Dengan keterlibatan pekerja secara menyeluruh dan adanya komitmen,
kepedulian seluruh pekerja terhadap program keselamatan maka proses perbaikan akan
berjalan dengan baik.

b. Memusatkan perhatian pada unsafe behavior yang spesifik

Untuk mengidentifikasi faktor di lingkungan kerja yang memicu terjadinya perilaku tidak
selamat para praktisi menggunakan teknik behavioral analisis dan memberi hadiah
(reward) tertentu pada individu yang mengidentifikasi perilaku tidak selamat.

c. Didasarkan pada Data Hasil Observasi

Observer memonitor perilaku selamat pada kelompok mereka dalam waktu tertentu.
Makin banyak observasi makin reliabel data tersebut, dan safe behavior akan
meningkat.

d. Proses Pembuatan Keputusan Berdasarkan Data

Hasil observasi atas perilaku kerja dirangkum dalam data persentase jumlah safe
behavior. Berdasarkan data tersebut bisa dilihat letak hambatan yang dihadapi. Data ini
menjadi umpan balik yang bisa menjadireinforcement positif bagi karyawan yang telah
berperilaku kerja aman, selain itu bisa juga menjadi dasar untuk mengoreksi unsafe
behavior yang sulit dihilangkan.
e. Melibatkan Intervensi Secara Sistematis dan Observasional

Keunikan sistem Behavior Based Safety adalah adanya jadwal intervensi yang
terencana. Dimulai dengan briefing pada seluruh departemen atau lingkungan kerja
yang dilibatkan, karyawan diminta untuk menjadi relawan yang bertugas sebagai
observer yang tergabung dalam sebuah project team. Observer dilatih agar dapat
menjalankan tugas mereka. kemudian mengidentifikasi unsafe behavior yang diletakkan
dalam check list. Daftar ini ditunjukkan pada para pekerja untuk mendapat persetujuan.
Setelah disetujui, observer melakukan observasi pada periode waktu tertentu (+ 4
minggu), untuk menentukan baseline. Setelah itu barulah program intervensi dilakukan
dengan menentukan goal setting yang dilakukan oleh karyawan sendiri. Observer terus
melakukan observasi. Data hasil observasi kemudian dianalisis untuk mendapatkan
feedbackbagi para karyawan. Team project juga bertugas memonitor data secara
berkala, sehingga perbaikan dan koreksi terhadap program dapat terus dilakukan.

f. Menitikberatkan pada Umpan Balik terhadap Perilaku Kerja

Dalam program Behavior Based Safety, umpan balik dapat berbentuk umpan balik
verbal yang langsung diberikan pada karyawan sewaktu observasi, umpan balik dalam
bentuk data (grafik) yang ditempatkan dalam tempat-tempat yang strategis dalam
lingkungan kerja, dan umpan balik berupa briefing dalam periode tertentu dimana data
hasil observasi dianalis untuk mendapatkan umpan balik yang mendetail tantang
perilaku yang spesifik.

g. Membutuhkan Dukungan dari Manager

Komitmen manajemen terhadap proses behavior based safety biasanya ditunjukkan


dengan memberi keleluasaan pada observer dalam menjalankan tugasnya, memberikan
penghargaan yang melakukan perilaku selamat, menyediakan sarana dan bantuan bagi
tindakan yang harus segera dilakukan, membantu menyusun dan menjalankan umpan
balik, dan meningkatkan inisiatif untuk bertindak selamat dalam setiap kesempatan.
Dukungan dari manajemen sangat penting karena kegagalan dalam penerapan BBS
biasanya disebabkan oleh kurangnya dukungan dan komitmen dari manajemen.

Anda mungkin juga menyukai