SENYAWA ANTIMIKROBA
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok
pada Mata Kuliah Bioteknologi Senyawa Antimikrobia
Semester Tujuh yang Diampu oleh Dr. Sri Pujiyanto, S.Si, M.Si.
Disusun oleh:
Adyatma 24020118130070
Ja’far Umar 24020118140057
Livia Vina Erawan 24020118140083
Marceline Olivia Novarist 24020118140091
Yudi Santoso 24020118120015
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
2
dan lain sebagainya (Waluyo, 2010). Beberapa hal tersebut membuat proses
pencarian senyawa antimikroba menjadi kompleks hingga perlu dilakukan
beberapa penyesuaian yang akan meningkatkan produksi dari senyawa
antimikroba. Salah satu caranya adalah pemberian inducer dalam produksi
senyawa antimikroba yang akan merangsang proses produksi.
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui pengertian dan pengelompokkan dari inducer.
1.3.2 Mengetahui mekanisme kerja inducer dalam produksi senyawa
antimikroba.
1.3.3 Mengetahui pengaruh inducer dalam produksi senyawa antimikroba.
3
BAB II
ISI
4
Ribonucleotide Chlamydia Kazar et al.
Interferon induser
reductase trachomatis (1971)
CMC (Carboxyl Purkan et
Selulase Aspergillus niger
Methyl Cellulose) al. (2015)
Vetter
Depolimerase Glukan dan kitin Candida albicans
(2006)
Pseudomonas Pratiwi et
Lipase Trigliserida oleat
aeruginosa al. (2013)
Suhartono
Inulinase Fruktan Aspergillus flavus
(1989)
Windish
Amilum Aspergillus spp.
α-Amilase dan Mhatre
Maltose Bacillus subtilis
(1965)
Rhodococus Kobayashi
Nitralase Isovaleronitrile
rodhochrous et al. (1992)
Streptomyces Inamine et
α-Mannosidase Yeast mannats
griceus al. (1969)
Streptococus spp. Carrington
Protease Macam protein
Bacillus spp. (1971)
5
pembengkakan hifa sehingga mempercepat kapang memasuki fase stasioner.
Cao et al. (2013) menyatakan bahwa metabolit sekunder termasuk antibiotik
dihasilkan pada fase stasioner, dimana pada fase stasioner antibiotik
dihasilkan dengan jumlah tertinggi. Pertumbuhan kapang pada fase stasioner
ditandai dengan perubahan morfologi hifa kapang menjadi arthrospora
(Wieman et al., 2011). Hal ini menjadi rujukan bahwa dengan seiring dengan
pembengkakan yang terjadi pada hifa menandakan hasil metabolit sekunder
yaitu antibiotik semakin tinggi. DL-metionin pada media kultivasi kapang
juga berfungsi sebagai sumber sulfur. Selain sebagai sumber sulfur, menurut
Martian (2012) DL-metionin dalam media produksi antimikroba juga
mempunyai fungsi sebagai penginduksi enzim yang berperan dalam jalur
produksi antimikroba. DL-metionin dalam biosintesis suatu antimikroba
digunakan sebagai sumber sulfur yang akan menginduksi enzim yang
berperan dalam jalur pembentukan sefalosporin. Selain itu DL metionin juga
berfungsi menstimulasi kapang dalam pembentukan arthrospora yaitu fase
antimiroba optimum dihasilkan. Pengaplikasian DL-metionin dalam
konsentrasi tepat terbukti dapat meningkatkan produksi antimikroba. Hal ini
disebabkan metionin yang digunakan sebagai induser dalam media kultivasi
hanya digunakan sebagai sumber sulfur untuk menginduksi enzim dalam
pembentukan antimikroba. Jika jumlah DL-metionin berlebihan setelah
digunakan sebagai induksi, sisa sulfur yang tidak digunakan akan disimpan
dalam bentuk SO2. Sulfur oksida (SO2) tidak bias diurai oleh kapang, bahkan
dapat menyebabkan kapang mengalami penyusutan bobot massa kapang
akibat penggunaan DL-metionin secara berlebihan (Lee et al., 2010).
2.4 Pengaruh inducer dalam produksi senyawa antimikroba
Peran inducer dalam pembentukan suatu senyawa antimikroba dapat
diibarat sebagai kunci awal untuk membuka proses produksi senyawa
antimikroba tersebut. Hal tersebut dikarenakan keberadaan suatu molekul
inducer akan mempengaruhi ekspresi genetik dari suatu organisme tersebut,
6
yang dimana salah satu ekspresi gen tersebut bisa jadi merupakan senyawa
antimikroba yang dihasilkan sebagai bentuk respon dari adaptasi lingkungan
yang dilakukan organisme tersebut. Sebagaimana yang dituturkan oleh
Baraniak et al (2011) dimana pengawalan proses produksi suatu metabolisme
ditentukan oleh ekspresi gen yang muncul. Muncul tidaknya serta variasi sifat
dari suatu ekspresi gen tersebut akan ditentukan oleh inducer tersebut.
Pengaruh dari inducer terhadap produksi senyawa antimikroba dapat
dibuktikan dari percobaan Supartono dkk (2011) yang dimana melakukan
percobaan peningkatan senyawa antimikroba berupa PGA pada Bacillus
subtilis BAC4 dengan menggunakan suatu inducer berupa akridin oranye
yang diterapkan dalam beberapa konsentrasi berbeda. Keberadaan akridin
oranye pada medium pertumbuhan Bacillus subtilis BAC4 akan mampu
melakukan pengubahan terhadap susunan genetik gen penghasil antibiotic
pada Bacillus subtilis BAC4, sehingga memicu produksi senyawa antibiotika
secara berlebihan. Dalam kondisi tersebut, Bacillus subtilis BAC4 telah
berubah menjadi mutan, yang dimana diberi nama Bacillus subtilis M10. Dari
percobaan yang dilakukan dari berbagai konsentrasi akridin oranye sebagai
inducer di medium Bacillus subtilis BAC4 yang menjadi Bacillus subtilis
M10, penggunaan dosis 10 µL memberikan efek produksi antibiotic paling
baik dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan perlakukan takaran dosis
lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dari diameter zona bening yang dihasilkan
antar mutan yang diberi konsentrasi berbeda pada medium pertumbuhan.
Tabel 2. Perbandingan Zona Bening yang dihasilkan oleh Bacillus subtilis
M10
Volume Diameter Zona Bening ( mm )
Akridin Keterangan
Oranye ( µL ) 1 2 rata rata
0 41 31 36
10 55 40 47,5
20 33 35 39 Mutan M10
30 31 34 32,5
40 27 32 29,5
7
BAB III
KESIMPULAN
8
DAFTAR PUSTAKA
Baraniak, P. R., et al. 2011. Spatial Control of Gene Expression Within a Scaffold by
Localized Inducer Release. Biomaterials. Vol. 32 : 3062 – 3071.
Cao, K., Altaba, H., & Kalama, K. (2013). Nitrogen source governs the pattern of
growth and prostinamycein production in Streptomyces pristinaespiralis.
Microbiology, 147, 2447-2459.
Kazar J., J. D. Gillmore, And F. B. Gordon. 1971. Effect of Interferon and Interferon
Inducers on Infections with a Nonviral Intracellular Microorganism,
Chlamydia trachomatis. Journal Infection And Immunity, June 1971. Vol. 3,
No. 6.
Lee, M. S., Lim, J. S., Kim, C. H., Kyung, K., & Suk, I. H. (2010). Effect of nutrient
and culture conditions on morphology in the seed culture of Acremonnium
chrysogenum ATCC 20339. Biotechnology and Bioprocess Enginering, 6,
156-160.
Moeis, R.M., Ratnaningsih, E., Susanto, A.H., dan Liang, O.B., 2013, A New
Bacillus strain producing penicillin acylase, Prosiding Seminar Kimia
Bersama ITB-UKM Ke empat (The forth ITB-UKM Joint Seminar on
Chemistry), Yogyakarta, pp. 75-81
9
Pratiwi Dian, Firman Sebayang dan It Jamilah. 2013. Produksi Dan Karakterisasi
Enzim Lipase Dari Pseudomonas Aeruginosa Dengan Menggunakan Induser
Minyak Jagung Serta Kofaktor Na+ Dan Co2+. Jurnal Saintia Kimia Vol. 1,
No. 2, 2013.
Purkan, Purnama HD, dan Sumarsih S. 2015. Produksi Enzim Selulase dari
aspergillus niger Menggunakan Sekam Padi dan Ampas Tebu sebagai Induser.
Jurnal Ilmu Dasar Vol. 16 No. 2, Juli 2015 : 95 – 102.
Suhartono, M.T. (1989). Enzim dan Bioteknologi. Pusat Antar Universitas. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Supartono, dkk. 2011. Produksi Antibiotika Oleh Bacillus subtilis M10 Dalam Media
Urea Sorbitol. Reaktor. Vol. 13 : 185-193.
Wynn, G.H., Oesterheld, J.R., Cozza, K. L. and Armstrong, S.C. 2009. Clinical
Manual of Drug Interaction Principles for Medical Practice, Wilson
Boulevard, USA. Pp. 4, 5.
Zhang, J., dan Zhou, J. M. 2010. Plant immunity triggered by microbial molecular
signatures. Mol. Plant 3:783-793
10
11