Anda di halaman 1dari 11

PENGARUH INDUCER TERHADAP OPTIMASI PRODUKSI

SENYAWA ANTIMIKROBA

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok
pada Mata Kuliah Bioteknologi Senyawa Antimikrobia
Semester Tujuh yang Diampu oleh Dr. Sri Pujiyanto, S.Si, M.Si.

Disusun oleh:
Adyatma 24020118130070
Ja’far Umar 24020118140057
Livia Vina Erawan 24020118140083
Marceline Olivia Novarist 24020118140091
Yudi Santoso 24020118120015

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia sebagai salah satu negara berkembang identik dengan
permasalahan kesehatan yang selalu melonjak, salah satunya adalah penyakit
infeksi yang menyerang masyarakat. Berbagai macam penyakit infeksi seperti
demam berdarah, radang, diare, ruam, dan lainnya yang disebabkan oleh virus,
bakteri, maupun parasite dapat dengan mudah tersebar dan kerap kali
menyerang anak-anak. Solusi paling tepat untuk permasalahan ini adalah
digunakannya antibiotic sebagai senyawa yang dapat mengatasi dan mencegah
infeksi bakteri. Seiring berjalannya waktu, penggunaan antibiotic menjadi
kurang efektif karena virus, bakteri, dan parasite penyebab infeksi semakin
resisten akan antibiotic. Hal ini disebabkan oleh mikroorganisme penyebab
infeksi bermutasi sehingga memunculkan variasi baru dimana mikroorganisme
ini lebih kebal terhadap efek antibiotic, dengan begitu pencarian akan senyawa
anti mikroba akan selalu dilakukan untuk mengurangi penyebaran penyakit
infeksi. Salah satu contohnya adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Moeis
dkk, (2013) dimana senyawa anti mikroba didapatkan dari polipeptida galur
Bacillus licheniformis dan Bacillus subtilis yang berupa basitrasin telah
dipasarkan secara luas.
Senyawa antimikroba adalah zat aktif yang didapatkan baik dari hewan,
tumbuhan dan mikroorganisme yang mampu untuk menghambat bahkan
mematikan pertumbuhan dari mikroorganisme lain yang bersifat patogen
namun tidak membahayakan inangnya. Beberapa kriteria harus dimiliki oleh
senyawa antimikroba yang baik, seperti menghambat mikroorganisme patogen
tanpa merusak inang, bersifat bakterisida (membunuh mikroba patogen), tidak
membuat mikroba patogen menjadi resisten, tidak menimbulkan alergi, stabil,

2
dan lain sebagainya (Waluyo, 2010). Beberapa hal tersebut membuat proses
pencarian senyawa antimikroba menjadi kompleks hingga perlu dilakukan
beberapa penyesuaian yang akan meningkatkan produksi dari senyawa
antimikroba. Salah satu caranya adalah pemberian inducer dalam produksi
senyawa antimikroba yang akan merangsang proses produksi.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa pengertian dan pengelompokkan dari inducer?
1.2.2 Bagaimana mekanisme kerja inducer dalam produksi senyawa
antimikroba?
1.2.3 Bagaimana pengaruh inducer dalam produksi senyawa antimikroba?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui pengertian dan pengelompokkan dari inducer.
1.3.2 Mengetahui mekanisme kerja inducer dalam produksi senyawa
antimikroba.
1.3.3 Mengetahui pengaruh inducer dalam produksi senyawa antimikroba.

3
BAB II

ISI

2.1 Pengertian Inducer


Inducer adalah suatu senyawa perangsang yang memiliki kemampuan
memacu atau menginduksi suatu proses metabolisme maupun biosintesis
senyawa antimikroba yang terjadi pada suatu sel. Mikroba yang berpotensi
apabila ditumbuhkan pada kondisi tertentu yang mengandung senyawa
inducer akan mendukung proses biosintesis yang menghasilkan senyawa
antimikroba. Menurut Eliyani, dkk (2015), senyawa inducer biasanya
ditemukan dalam suatu prebiotic yang bertugas untuk mengatur alur
metabolisme mikroorganisme dengan cara memodifikasi nutrisi yang
kompleks. Prebiotik yang mengandung senyawa inducer ini akan mendukung
probiotik dalam melakukan perannya secara maksimal, dimana probiotik akan
menginduksi (merangsang) metabolisme bakteri untuk menghasilkan
metabolit yang menguntungkan. Tidak hanya itu, inducer juga dapat bekerja
dengan enzim yang akan memetabolisir obat di dalam hati, Inducer yang
ditambahkan akan membantu proses eliminasi obat sehingga kadar obat dalam
darah menjadi kecil dan tidak menyebabkan toksisitas yang berbahaya (Wynn
et al, 2009)
2.2 Macam-macam inducer
Terdapat berbagai macam inducer dapat dilihat dalam Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Macam-macam inducer

Enzim Induser Mikroorganisme Referensi


Zhang dan
Trichoderma spp.,
22-kDa xylanase AVR protein Zhou
Bacillus subtilis
(2010)

4
Ribonucleotide Chlamydia Kazar et al.
Interferon induser
reductase trachomatis (1971)
CMC (Carboxyl Purkan et
Selulase Aspergillus niger
Methyl Cellulose) al. (2015)
Vetter
Depolimerase Glukan dan kitin Candida albicans
(2006)
Pseudomonas Pratiwi et
Lipase Trigliserida oleat
aeruginosa al. (2013)
Suhartono
Inulinase Fruktan Aspergillus flavus
(1989)
Windish
Amilum Aspergillus spp.
α-Amilase dan Mhatre
Maltose Bacillus subtilis
(1965)
Rhodococus Kobayashi
Nitralase Isovaleronitrile
rodhochrous et al. (1992)
Streptomyces Inamine et
α-Mannosidase Yeast mannats
griceus al. (1969)
Streptococus spp. Carrington
Protease Macam protein
Bacillus spp. (1971)

2.3 Mekanisme inducer dalam produksi senyawa antimikroba


Untuk meningkatkan kapang/mikroba menggapai fase stasioner
dimana fase terbaik dalam memproduksi antimikroba. diperlukan induser
yang bisa menginduksi sintesis arthrosopra (Schmitt et al., 2004). DL-
metionin menjadi salah satu asam amino yang umum sebagai inducer untuk
menginduksi beberapa kapang dalam meningkatkan hasil produksi. Pada
penelitian sebelumnya, DL-metionin berperan dalam menginduksi
peningkatan produksi tannin.
DL-metionin berperan sebagai penginduksi hifa untuk lebih besar
sehingga fase pertumbuhan lebih cepat. Fase stasioner ditandai dengan
pembengkakan hifa dalam memproduksi antimikroba. Kapang dalam proses
pembentukan hifa membutuhkan nutrisi nitrat agar dapat tumbuh membesar
dan menghasilkan antimikroba dalam jumlah optimal. Hal ini sesuai dengan
penelitian Zusuki et al. (2009) bahwa nitrat berpengaruh terhadap

5
pembengkakan hifa sehingga mempercepat kapang memasuki fase stasioner.
Cao et al. (2013) menyatakan bahwa metabolit sekunder termasuk antibiotik
dihasilkan pada fase stasioner, dimana pada fase stasioner antibiotik
dihasilkan dengan jumlah tertinggi. Pertumbuhan kapang pada fase stasioner
ditandai dengan perubahan morfologi hifa kapang menjadi arthrospora
(Wieman et al., 2011). Hal ini menjadi rujukan bahwa dengan seiring dengan
pembengkakan yang terjadi pada hifa menandakan hasil metabolit sekunder
yaitu antibiotik semakin tinggi. DL-metionin pada media kultivasi kapang
juga berfungsi sebagai sumber sulfur. Selain sebagai sumber sulfur, menurut
Martian (2012) DL-metionin dalam media produksi antimikroba juga
mempunyai fungsi sebagai penginduksi enzim yang berperan dalam jalur
produksi antimikroba. DL-metionin dalam biosintesis suatu antimikroba
digunakan sebagai sumber sulfur yang akan menginduksi enzim yang
berperan dalam jalur pembentukan sefalosporin. Selain itu DL metionin juga
berfungsi menstimulasi kapang dalam pembentukan arthrospora yaitu fase
antimiroba optimum dihasilkan. Pengaplikasian DL-metionin dalam
konsentrasi tepat terbukti dapat meningkatkan produksi antimikroba. Hal ini
disebabkan metionin yang digunakan sebagai induser dalam media kultivasi
hanya digunakan sebagai sumber sulfur untuk menginduksi enzim dalam
pembentukan antimikroba. Jika jumlah DL-metionin berlebihan setelah
digunakan sebagai induksi, sisa sulfur yang tidak digunakan akan disimpan
dalam bentuk SO2. Sulfur oksida (SO2) tidak bias diurai oleh kapang, bahkan
dapat menyebabkan kapang mengalami penyusutan bobot massa kapang
akibat penggunaan DL-metionin secara berlebihan (Lee et al., 2010).
2.4 Pengaruh inducer dalam produksi senyawa antimikroba
Peran inducer dalam pembentukan suatu senyawa antimikroba dapat
diibarat sebagai kunci awal untuk membuka proses produksi senyawa
antimikroba tersebut. Hal tersebut dikarenakan keberadaan suatu molekul
inducer akan mempengaruhi ekspresi genetik dari suatu organisme tersebut,

6
yang dimana salah satu ekspresi gen tersebut bisa jadi merupakan senyawa
antimikroba yang dihasilkan sebagai bentuk respon dari adaptasi lingkungan
yang dilakukan organisme tersebut. Sebagaimana yang dituturkan oleh
Baraniak et al (2011) dimana pengawalan proses produksi suatu metabolisme
ditentukan oleh ekspresi gen yang muncul. Muncul tidaknya serta variasi sifat
dari suatu ekspresi gen tersebut akan ditentukan oleh inducer tersebut.
Pengaruh dari inducer terhadap produksi senyawa antimikroba dapat
dibuktikan dari percobaan Supartono dkk (2011) yang dimana melakukan
percobaan peningkatan senyawa antimikroba berupa PGA pada Bacillus
subtilis BAC4 dengan menggunakan suatu inducer berupa akridin oranye
yang diterapkan dalam beberapa konsentrasi berbeda. Keberadaan akridin
oranye pada medium pertumbuhan Bacillus subtilis BAC4 akan mampu
melakukan pengubahan terhadap susunan genetik gen penghasil antibiotic
pada Bacillus subtilis BAC4, sehingga memicu produksi senyawa antibiotika
secara berlebihan. Dalam kondisi tersebut, Bacillus subtilis BAC4 telah
berubah menjadi mutan, yang dimana diberi nama Bacillus subtilis M10. Dari
percobaan yang dilakukan dari berbagai konsentrasi akridin oranye sebagai
inducer di medium Bacillus subtilis BAC4 yang menjadi Bacillus subtilis
M10, penggunaan dosis 10 µL memberikan efek produksi antibiotic paling
baik dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan perlakukan takaran dosis
lainnya. Hal tersebut dapat dilihat dari diameter zona bening yang dihasilkan
antar mutan yang diberi konsentrasi berbeda pada medium pertumbuhan.
Tabel 2. Perbandingan Zona Bening yang dihasilkan oleh Bacillus subtilis
M10
Volume Diameter Zona Bening ( mm )
Akridin Keterangan
Oranye ( µL ) 1 2 rata rata
0 41 31 36
10 55 40 47,5
20 33 35 39 Mutan M10
30 31 34 32,5
40 27 32 29,5
7
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Inducer merupakan senyawa tambahan yang memiliki kemampuan dapat


memacu produksi metabolisme senyawa antimikroba. Beberapa macam inducer
yaitu AVR protein, interferon induser, glukan dan kitin, fruktan, amilum,
maltose, isovaleronitrile.
3.2 Mekanisme kerja inducer yaitu menginduksi suatu mikroba atau kapang dan
meningkatkan hasil produksi seperti DL-metionin yang termasuk asam amino
sebagai inducer dengan menginduksi hifa untuk lebih besar sehingga fase
pertumbuhan lebih cepat. Selain itu DL-metionin bekerja dalam biosintesis
sebagai sulfur yang akan menginduksi enzim yang berperan dalam jalur
pembentukan sefalosporin.
3.3 Pengaruh inducer dalam produksi senyawa antimikroba yaitu dengan
mempengaruhi ekspresi genetic suatu organisme seperti senyawa antimikroba.
Contohnya peningkatan senyawa antimikroba berupa PGA pada Bacillus subtilis
BAC4 dengan menggunakan suatu inducer berupa akridin oranye yang mampu
melakukan pengubahan terhadap susunan genetik gen penghasil antibiotic pada
Bacillus subtilis BAC4, sehingga memicu produksi senyawa antibiotika secara
berlebihan.

8
DAFTAR PUSTAKA

Baraniak, P. R., et al. 2011. Spatial Control of Gene Expression Within a Scaffold by
Localized Inducer Release. Biomaterials. Vol. 32 : 3062 – 3071.

Cao, K., Altaba, H., & Kalama, K. (2013). Nitrogen source governs the pattern of
growth and prostinamycein production in Streptomyces pristinaespiralis.
Microbiology, 147, 2447-2459.

Eliyani, Yuke. H. Suhrawardan. Sujono. 2015. Pengaruh Pemberian Probiotik


Bacillus sp. terhadap Profil Kualitas Air, Pertumbuhan dan Kelangsungan
Hidup Benih Ikan Lele (Clarias gariepinus). Jurnal Penyuluhan Kelautan
dan Perikanan Indonesia, 9 (1): 73 - 86

Kazar J., J. D. Gillmore, And F. B. Gordon. 1971. Effect of Interferon and Interferon
Inducers on Infections with a Nonviral Intracellular Microorganism,
Chlamydia trachomatis. Journal Infection And Immunity, June 1971. Vol. 3,
No. 6.

Lee, M. S., Lim, J. S., Kim, C. H., Kyung, K., & Suk, I. H. (2010). Effect of nutrient
and culture conditions on morphology in the seed culture of Acremonnium
chrysogenum ATCC 20339. Biotechnology and Bioprocess Enginering, 6,
156-160.

Martian, J. F. (2012). Unraveling the metionin cephalosporin puzzle in Acremonium


chrysogenum. Trends Biotechnology, 20, 502-507.

Moeis, R.M., Ratnaningsih, E., Susanto, A.H., dan Liang, O.B., 2013, A New
Bacillus strain producing penicillin acylase, Prosiding Seminar Kimia
Bersama ITB-UKM Ke empat (The forth ITB-UKM Joint Seminar on
Chemistry), Yogyakarta, pp. 75-81

9
Pratiwi Dian, Firman Sebayang dan It Jamilah. 2013. Produksi Dan Karakterisasi
Enzim Lipase Dari Pseudomonas Aeruginosa Dengan Menggunakan Induser
Minyak Jagung Serta Kofaktor Na+ Dan Co2+. Jurnal Saintia Kimia Vol. 1,
No. 2, 2013.

Purkan, Purnama HD, dan Sumarsih S. 2015. Produksi Enzim Selulase dari
aspergillus niger Menggunakan Sekam Padi dan Ampas Tebu sebagai Induser.
Jurnal Ilmu Dasar Vol. 16 No. 2, Juli 2015 : 95 – 102.

Suhartono, M.T. (1989). Enzim dan Bioteknologi. Pusat Antar Universitas. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Supartono, dkk. 2011. Produksi Antibiotika Oleh Bacillus subtilis M10 Dalam Media
Urea Sorbitol. Reaktor. Vol. 13 : 185-193.

Waluyo, Lud. 2010. Mikrobiologi Umum. UMM PRESS, Malang.

Wiemann, P. (2011).FfVel1 and FfLae1, components of a velvet-like complex in


Fusarium fujikuroi, affect differentiation and secondary metabolism.
Molecular Microbiology, 24, 78-82. doi: 10.1111/j. 1365-2958. 07263.

Wynn, G.H., Oesterheld, J.R., Cozza, K. L. and Armstrong, S.C. 2009. Clinical
Manual of Drug Interaction Principles for Medical Practice, Wilson
Boulevard, USA. Pp. 4, 5.

Zhang, J., dan Zhou, J. M. 2010. Plant immunity triggered by microbial molecular
signatures. Mol. Plant 3:783-793

Zusuki H, Chinatsu M, Ishihara S, & Hidehiko K. (2009). A Single Amino Acid


Substitution Converts g-Glutamyltranspeptidase to a Class IV Cephalosporin
Acylase (Glutaryl-7-Aminocephalosporanic Acid Acylase). Applied and
environmentals microbiology, 17, 289- 291. doi: 10.1128/EM.70.10.6324-
6328

10
11

Anda mungkin juga menyukai