Anda di halaman 1dari 20

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja

2.1.1. Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I. No. Kep.

463/MEN/1993 menyatakan keselamatan dan kesehatan kerja adalah upaya

perlindungan yang ditujukan agar tenaga kerja dan orang lainnya di tempat kerja/

perusahaan selalu dalam keadaan selamat dan sehat, serta agar setiap sumber

produksi dapat digunakan secara aman dan efisien. Konsep dasar mengenai

keselamatan dan kesehatan kerja adalah perilaku yang tidak aman karena

kurangnya kesadaran pekerja dan kondisi lingkungan yang tidak aman.

Untuk itu ILO (1980) dalam resolusinya menyatakan ada tiga prinsip

dasar tentang keselamatan dan kesehatan kerja yaitu pekerjaan harus terdapat

pada lingkungan kerja yang aman, sehat dan selamat, kondisi pekerjaan harus

sesuai dengan pekerja, dan pekerjaan haruslah sesuatu yang nyata sebagai

prestasi individu, pemenuhan kebutuhan secara pribadi dan untuk pelayanan

masyarakat umum (Widiatmoko, 2014).

2.1.2. Tujuan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

Secara umum tujuan dari K3 adalah untuk menciptakan tenaga kerja

yang sehat dan produktif. Namun tujuan K3 dapat juga dirinci sebagai berikut

(Kurniawidjaja, 2010) :

1. Agar tenaga kerja dan setiap orang berada di tempat kerja selalu dalam

keadaan sehat dan selamat.

6
7

2. Agar sumber-sumber produksi dapat berjalan secara lancar.

3. Meningkatkan derajat kesehatan para petugas.

Kesehatan dan keselamatan adalah suatu sistem yang bertujuan melakukan

pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya kecelakaan yang diakibatkan oleh

aktivitas kerja dan juga pencegahan akan timbulnya penyakit yang diakibatkan oleh

hubungan kerja di dalam lingkungan kerja para karyawan. kesehatan dan keselamatan

kerja adalah perlindungan karyawan dari luka-luka yang disebabkan oleh kecelakaan

yang terkait dengan pekerjaan (Mohammad Y et al., 2014).

2.1.3. Keselamatan Kerja

Menurut CoVan (1995) dalam konteks keselamatan yang lebih luas,

mencakup kesehatan kerja maupun aspek keselamatan. (Tulus Winarsunu, 2008).

Keselamatan menyangkut segenap proses dalam perlindungan tenaga kerja terhadap

segala kemungkinan adanya bahaya yang timbul dalam lingkungan saat menjalankan

pekerjaan.

Adapun terdapat 2 usaha yang memberikan perlindungan keselamatan kerja

menurut Soeprihatno adalah sebagai berikut:

1. Usaha preventif atau pencegahan Preventif atau pencegahan merupakan proses

mengendalikan atau menghambat sumber bahaya yang dapat terjadi ditempat kerja

sehingga dapat mengurangi atau tidak menimbulkan bahaya bagi karyawan,

Langkah pencegahan tersebut dapat dibedakan sebagai berikut:

a) Subtitusi (mengganti alat yang kurang/tidak berbahaya)

b) Isolasi (memberi pemisah terhadap sumber bahaya)


8

c) Pengendalian teknis terhadap sumber bahaya

d) Pemakaian alat pelindung diri (APD)

e) Petunjuk dan peringatan ditempat kerja

f) Latihan keselamatan dan kesehatan kerja

2. Usaha represif atau kuratif

Represif atau kuratif merupakan kejadian atau kecelakaan yang disebabkan

sumber bahaya yang terjadi di tempat kerja. Saat terjadi kecelakaan, penting dan

sangat dirasakan arti persiapan baik fisik maupun mental para karyawan dalam

rangka menghadapi dan mengatasinya.

2.1.4. Kesehatan Kerja

Kesehatan kerja merupakan kebebasan dari kekerasan fisik. Faktor-faktor

dalam lingkungan kerja yang bekerja melebihi periode waktu ditentukan disebut

resiko kesehatan, contohnya yaitu seperti lingkungan yang dapat membuat stress dan

memberi gangguan fisik.

2.2. Budaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja

2.2.1. Defenisi

Budaya kesehatan dan keselamatan kerja merupakan gabungan dari nilainilai

dan kepercayaan-kepercayaan yang berinteraksi dengan struktur organisasi dan

sistem pengendalian yang membentuk norma-norma perilaku (Cooper,2000). Upaya

menciptakan atau membangun budaya kesehatan dan keselamatan kerja merupakan

langkah utama dalam menciptakan perubahan perilaku kesehatan dan keselamatan


9

kerja. Upaya menciptakan atau membangun budaya kesehatan dan keselamatan kerja/

safety culture merupakan langkah pertama dalam upaya mencapai keamanan pasien

(Patient Safety), yaitu membangun kesadaran akan nilai keamanan pasien,

menciptakan kepemimpinan serta budaya yang terbuka dan adil (Rachmawati, 2011)

Dalam budaya keselamatan “Patologis”, pemberi kerja dan pekerja tidak

peduli tentang pelanggaran aturan keselamatan; ini sering disebut budaya

keselamatan "Tidak peduli". Dalam budaya keselamatan “Reaktif”, keselamatan

menjadi penting hanya setelah kecelakaan; ini sering disebut sebagai "budaya

keselamatan yang disalahkan". Dalam budaya keselamatan “Kalkulatif”, ada sistem

untuk mengelola semua bahaya; ini sering disebut sebagai "Budaya keselamatan

terencana". Dalam budaya keselamatan “Proaktif”, pekerja tidak mengerjakan

masalah yang mereka temukan, tetapi menghindari masalah terlebih dahulu untuk

memperbaiki lingkungan kerja. Budaya keselamatan “generatif” adalah budaya

keselamatan yang dinamis, di mana keselamatan dibangun ke dalam cara kerja dan

berpikir. Dengan demikian, budaya keselamatan yang buruk atau patologis dapat

berkembang menjadi budaya keselamatan yang positif atau generatif jika perubahan

budaya dikelola dengan baik.

Budaya keselamatan mencerminkan sikap, keyakinan, persepsi, dan nilai yang

dimiliki karyawan terkait dengan keselamatan. Budaya keselamatan sering dilihat

sebagai bagian dari budaya organisasi dan perbedaan konsep ini serta iklim

keselamatan tidak jelas. Budaya keselamatan merupakan konsep multidimensi.

Jumlah faktor penyusun berkisar antara 2-19 tetapi hampir selalu mencakup

faktorfaktor seperti tanggung jawab manajemen, kepuasan kerja, tanggung jawab


10

individu, gaya kepemimpinan dan komunikasi, kesadaran risiko, dan pengambilan

risiko. (Shiney, 2014)

2.2.2. Komitmen Budaya Keselamatan

Budaya keselamatan mempunyai dua komponen utama. Komponen pertama

adalah kerangka kerja yang diperlukan dalam suatu organisasi dan merupakan

tanggung jawab dari hirarki manajemen. Komponen kedua adalah sikap staf/individu

pada semua tingkatan dalam merespon dan memanfaatkan kerangka kerja tersebut.

Tingkat pengambil kebijakan menunjukkan komitmen terhadap budaya

keselamatan dengan (Kurniasih, 2013):

a. Menumbuh-kembangkan nilai-nilai budaya keselamatan

b. Menetapkan tanggung jawab, wewenang dan kewajiban yang jelas untuk setiap

individu dalam penanganan sikap dan perilaku terhadap keselamatan

c. Menyediakan anggaran yang diperlukan dalam menumbuhkembangkan budaya

keselamatan

d. Menempatkan tingkat manajer pada posisi yang dapat menentukan keputusan

organisasi

e. Menyusun perencanaan budaya keselamatan yang terkoordinasi dan penetapan

perencanaan budaya keselamatan pada tingkat manajer

f. Melakukan penilaian kinerja dan tindak lanjut penerapan budaya keselamatan.


11

2.2.3. Komponen Utama/Aspek Budaya Keselamatan

Budaya keselamatan memiliki 3 komponen utama/ aspek yaitu bersifat

psikologis, situasional, dan perilaku yang dapat diukur dengan baik menggunakan

pendekatan kualitatif maupun kuantitatif (Cooper, 2002)

1. Aspek psikologis pekerja terhadap K3 (Psychological aspects, what people feel,

what is believe). Berkaitan tentang apa yang dirasakan terkait aspek pribadi,

misalnya: cara berpikir, menilai, motivasi, dan lain sebagainya

2. Aspek perilaku K3 pekerja (Behavioral aspects, what people do, what is done).

Berkaitan erat dengan perilaku sehari-hari, misalnya: perilaku seharihari di

perusahaan, kebiasaan dalam K3, dan lain sebagainya

3. Aspek Situasi atau organisasi dalam kaitan dengan K3 (Situasional aspects, what

organizational has, what is said). Berkaitan dengan situasi lingkungan kerja,

misalnya: SOP, Sistem manajemen K3. Lingkungan kerja dan lain sebagainya

2.2.4. Karakteristik Budaya Keselamatan

Karakteristik budaya keselamatan sebagai strategi untuk

menumbuhkembangkan budaya keselamatan mencakup sikap dan perilaku yang

terstruktur. Karakteristik budaya keselamatan juga dapat ditafsirkan sebagai

serangkaian proses berinteraksi dari setiap individu yang terlibat memberikan

kontribusi untuk mencapai kinerja keselamatan yang tinggi.

Karakteristik ini dibentuk oleh atribut atribut dan atribut dibentuk oleh

indikator-indikator. Kondisi indikator inilah yang dinilai oleh responden. Berdasarkan

Perka BATAN Nomor 200 Tahun 2012, Budaya keselamatan terdiri dari 5 (lima)
12

karakteristik dan diuraikan menjadi 30 atribut budaya keselamatan. Penilaian tingkat

budaya keselamatan ini terdiri dari 30 atribut keselamatan.

1. Keselamatan sebagai nilai yang diakui dan dipahami dengan 5 atribut

2. Kepemimpinan dalam keselamatan dengan 8 atribut

3. Akuntabilitas keselamatan dengan 5 atribut

4. Keselamatan terintegrasi dengan 7 atribut

5. Keselamatan sebagai penggerak pembelajaran dengan 5 atribut

Adapun berikut karakteristik budaya keselamatan.(Biro et al., 2019)

a. Keselamatan sebagai nilai yang diakui dan dipahami

Keselamatan merupakan pertimbangan utama pengalokasian sumber daya,

tujuan, sasaran dan rencana yang tertuang dalam rencana strategik. Oleh karena

itu diperlukan usaha untuk meyakinkan setiap individu bahwa keselamatan dan

pelaksanaan kegiatan berjalan beriringan. Pendekatan jangka panjang yang

proaktif dan mempertimbangkan isu keselamatan diperlihatkan dalam

pengambilan keputusan. Organisasi mendorong supaya sikap sadar keselamatan

dapat diterima dan didukung secara bersama.

b. Kepemimpinan dalam keselamatan

Memastikan adanya individu yang kompeten, membangun keterlibatan aktif

individu pada keselamatan secara berkelanjutan dalam membangun keterbukaan

dan komunikasi yang baik dalam organisasi.

c. Akuntabilitas Keselamatan
13

Tanggung jawab dengan kewenangan yang jelas sehingga akuntabilitas dapat

ditetapkan, dan tanggung jawab serta rasa memiliki keselamatan terdapat pada

semua tingkatan organisasi dan individu.

Peran dan tanggung jawab secara jelas didefinisikan dan dipahami termasuk di

dalamnya kesesuaian dan kepatuhan terhadap prosedur dan peraturan yang

berlaku.

d. Keselamatan terintegrasi

Budaya keselamatan mencakup segala sesuatu yang dilakukan termasuk budaya

keselamatan pada pasien. Untuk budaya keselamatan yang kuat maka harus jelas

bahwa keselamatan harus terintegrasi dalam semua kegiatan.

Kepercayaan tertanam dalam organisasi, dan setiap individu memiliki

pengetahuan yang diperlukan dan memahami proses pekerjaan serta terdapat

kerja sama antar bidang/bagian. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi dan

kepuasan kerja serta kondisi kerja seperti waktu, beban kerja dan tekanan

dipertimbangkan. Kondisi lingkungan kerja dan kebersihan serta kerapihan harus

terpelihara dengan baik dan mencerminkan komitmen yang tinggi. Pada setiap

tahapan kegiatan, aspek keselamatan harus dipertimbangkan sebagaimana arti

pentingnya.

e. Keselamatan sebagai penggerak

Pembelajaran Pembelajaran keselamatan dapat dimulai dengan sikap bertanya

pada setiap individu. Setiap individu didorong untuk melaporkan secara terbuka

terhadap penyimpangan dan kesalahan yang ada pada setiap proses kerja.

Pembelajaran untuk peningkatan kemampuan dalam mengenal dan mendiagnosis


14

setiap penyimpangan indikator keselamatan, serta merumuskan dan menerapkan

solusi serta memantau pengaruh dari tindakan perbaikan.

2.3 Kepuasan

2.3.1 Pengertian Kepuasan

Kepuasan adalah tanggapan terhadap kesesuaian tingkat kepentingan atau

harapan (ekspektasi) pelanggan sebelum mereka menerima jasa pelayanan dengan

sesudah pelayanan yang mereka terima. Kepuasan pengguna jasa pelayanan

kesehatan dapat disimpulkan sebagai selisih kinerja institusi pelayanan kesehatan

dengan harapan pelanggan (pasien atau kelompok masyarakat) ( Muninjaya, 2011 ).

Kepuasan pelanggan juga didefinisikan sebagai tanggapan penerima jasa

terhadap ketidaksesuaian tingkat kepentingan pelanggan dengan kinerja yang nyata-

nyata dapat dirasakan setelah pengguna jasa menerima pelayanan. Dalam hal ini,

salah satu faktor yang menentukan kepuasan pelanggan adalah persepsi pelanggan

terhadap kualitas jasa. Kualitas jasa bisa digambarkan lewat lima dimensi penentu

kualitas jasa. Disamping itu, kepuasan pelanggan juga ditentukan oleh kualitas

barang, harga, nilai produk, faktor-faktor yang bersifat pribadi dan hal-hal lainnya

yang bersifat sementara ( Muninjaya, 2011 ).

Menurut Oliver (dalam Supranto, 2001) mendefinisikan kepuasan sebagai

tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang

dirasakannya dengan harapannya. Tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan

antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Apabila kinerja dibawah harapan,

maka pelanggan akan sangat kecewa. Bila kinerja sesuai harapan, maka pelanggan
15

akan sangat puas. Sedangkan bila kinerja melebihi harapan pelanggan akan sangat

puas harapan pelanggan dapat dibentuk oleh pengalaman masa lampau, komentar dari

kerabatnya serta janji dan informasi dari berbagai media. Pelanggan yang puas akan

setia lebih lama, kurang sensitive terhadap harga dan memberi komentar yang baik

tentang perusahaan tersebut. Berdasarkan uraian dari beberapa ahli tersebut diatas,

maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan adalah perasaan senang, puas individu

karena antara harapan dan kenyataan dalam memakai dan pelayanan yang diberikan

terpenuhi.

Menurut Philip kotler kepuasan adalah tingkat keadaan yang dirasakan

seseorang yang merupakan hasil dari membandingkan penampilan atau outcome

produk yang dirasakan dalam hubungannya dengan harapan seseorang (Syafrudin,

2011).

2.3.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Pasien

Kepuasan pelanggan rumah sakit atau organisasi pelayanan kesehatan lain atau

kepuasan pasien dipengaruhi banyak faktor, antara lain:

a. Pendekatan dan perilaku petugas, perasaan pasien terutama saat pertama kali

datang.

b. Mutu informasi yang diterima, seperti: apa yang dikerjakan, apa yang dapat

diharap.

c. Prosedur perjanjian

d. Waktu tunggu

e. Fasilitas umum yang tersedia

f. Fasilitas perhotelan
16

g. Outcome terapi dan perawatan yang diterima (Syafrudin, 2011).

Sementara itu ahli lain Moison, Walter dan White (dalam Haryanti, 2000)

menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan konsumen, yaitu:

a. Karakteristik produk ini merupakan kepemilikan rumah sakit yang bersifat fisik

antara lain gedung dan dekorasi. Karakteristik produk rumah sakit meliputi

penampilan bangunan rumah sakit, kebersihan dan tipe kelas kamar yang

disediakan beserta kelengkapannya.

b. Harga yang termasuk didalamnya adalah harga produk atau jasa. Harga merupakan

aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan kualitas guna mencapai

kepuasan pasien. Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi pasien dari segi

biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga perawatan maka pasien

mempunyai harapan yang lebih besar.

c. Pelayanan yaitu pelayanan keramahan petugas rumah sakit, kecepatan dalam

pelayanan. Rumah sakit dianggap baik apabila dalam memberikan pelayanan lebih

memperhatikan kebutuhan pasien maupun orang lain yang berkunjung di rumah

sakit. kepuasan muncul dari kesan pertama masuk pasien terhadap pelayanan

keperawatan yang diberikan. Misalnya : pelayanan yang cepat, tanggap dan

keramahan dalam memberikan pelayanan keperawatan.

a. Lokasi meliputi letak rumah sakit, letak kamar dan lingkungannya. Merupakan

salah satu aspek yang menentukan pertimbangan dalam memilih rumah sakit.

Umumnya semakin dekat rumah sakit dengan pusat perkotaan atau yang mudah
17

dijangkau, mudahnya transportasi dan lingkungan yang baik akan semakin

menjadi pilihan bagi pasien yang membutuhkan rumah sakit tersebut.

b. Fasilitas yaitu kelengkapan fasilitas rumah sakit turut menentukan penilaian

kepuasan pasien, misalnya fasilitas kesehatan baik sarana dan prasarana, tempat

parkir, ruang tunggu yang nyaman dan ruang kamar rawat inap. Walaupun hal ini

tidak vital menentukan penilaian kepuasan pasien, namun rumah sakit perlu

memberikan perhatian pada fasilitas rumah sakit dalam penyusunan strategi untuk

menarik konsumen.

c. Image yaitu citra, reputasi dan kepedulian rumah sakit terhadap lingkungan. Image

juga memegang peranan penting terhadap kepuasan pasien dimana pasien

memandang rumah sakit mana yang akan dibutuhkan untuk proses penyembuhan.

Pasien dalam menginterpretasikan rumah sakit berawal dari cara pandang melalui

panca indera dari informasi-informasi yang didapatkan dan pengalaman baik dari

orang lain maupun diri sendiri sehingga menghasilkan anggapan yang positif

terhadap rumah sakit tersebut, meskipun dengan harga yang tinggi. Pasien akan

tetap setia menggunakan jasa rumah sakit tersebut dengan harapan-harapan yang

diinginkan pasien.

d. Desain visual meliputi dekorasi ruangan, bangunan dan desain jalan yang tidak

rumit. Tata ruang dan dekorasi rumah sakit ikut menentukan kenyamanan suatu

rumah sakit, oleh karena itu desain dan visual harus diikutsertakan dalam

penyusunan strategi terhadap kepuasan pasien atau konsumen.

e. Suasana meliputi keamanan, keakraban dan tata lampu. Suasana rumah sakit yang

tenang, nyaman, sejuk dan indah akan sangat mempengaruhi kepuasan pasien
18

dalam proses penyembuhannya. Selain itu tidak hanya bagi pasien saja yang

menikmati itu akan tetapi orang lain yang berkunjung ke rumah sakit akan sangat

senang dan memberikan pendapat yang positif sehingga akan terkesan bagi

pengunjung rumah sakit tersebut.

f. Komunikasi yaitu tata cara informasi yang diberikan pihak penyedia jasa dan

keluhan-keluhan dari pasien. Bagaimana keluhan-keluhan dari pasien dengan

cepat diterima oleh penyedia jasa terutama perawat dalam memberikan bantuan

terhadap keluhan pasien. Misalnya adanya tombol panggilan didalam ruang rawat

inap, adanya ruang informasi yang memadai terhadap informasi yang akan

dibutuhkan pemakai jasa rumah sakit seperti keluarga pasien maupun orang yang

bekunjung di rumah sakit.

Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor kepuasan pasien adalah

kualitas jasa, harga, emosional, kinerja, estetika, karakteristik produk, pelayanan,

lokasi, fasilitas, komunikasi, suasana, dan desain visual .

2.3.3 Aspek – Aspek Yang Mempengaruhi Kepuasan Pasien

Menurut Griffith (1987) ada beberapa aspek-aspek yang mempengaruhi

perasaan puas pada seseorang yaitu :

a. Sikap pendekatan staf pada pasien yaitu sikap staf terhadap pasien ketika pertama

kali datang di rumah sakit.

b. Kualitas perawatan yang diterima oleh pasien yaitu apa saja yang telah dilakukan

oleh pemberi layanan kepada pasien, seberapa pelayanan perawatan yang

berkaitan dengan proses kesembuhan penyakit yang diderita pasien dan

kelangsungan perawatan pasien selama berada dirumah sakit.


19

c. Prosedur administrasi yaitu berkaitan dengan pelayanan administrasi pasien

dimulai masuk rumah sakit selama perawatan berlangsung sampai keluar dari

rumah sakit.

d. Waktu menunggu yaitu berkaitan dengan waktu yang diperbolehkan untuk

berkunjung maupun untuk menjaga dari keluarga maupun orang lain dengan

memperhatikan ruang tunggu yang memenuhi standar-standar rumah sakit antara

lain : ruang tunggu yang nyaman, tenang, fasilitas yang memadai misalnya

televisi, kursi, air minum dan sebagainya.

e. Fasilitas umum yang lain seperti kualitas pelayanan berupa makanan dan

minuman, privasi dan kunjungan. Fasilitas ini berupa bagaimana pelayanan

terhadap pemenuhan kebutuhan pasien seperti makanan dan minuman yang

disediakan dan privasi ruang tunggu sebagai sarana bagi orang-orang yang

berkunjung di rumah sakit.

f. Fasilitas ruang inap untuk pasien yang harus rawat.

Fasilitas ruang inap ini disediakan berdasarkan permintaan pasien mengenai ruang

rawat inap yang dikehendakinya.

g. Hasil treatment atau hasil perawatan yang diterima oleh pasien yaitu perawatan

yang berkaitan dengan kesembuhan penyakit pasien baik berapa operasi,

kunjungan dokter atau perawat.

Tingkat kepuasan antar individu satu dengan individu lain berbeda. Hal ini

terjadi karena adanya pengaruh dari faktor jabatan, umur, kedudukan sosial, tingkat

ekonomi, pendidikan, jenis kelamin, sikap mental dan kepribadian (Sugiarto, 1999)

Kepuasan pasien atau konsumen berdasarkan teori-teori diatas tidak hanya


20

dipengaruhi oleh jasa yang dihasilkan oleh suatu rumah sakit semata, tetapi juga

dipengaruhi oleh pelayanan yang diberikan oleh petugas rumah sakit baik dokter,

perawat, dan karyawan-karyawan lainnya.

Berdasarkan pandangan beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-

aspek yang mempengaruhi kepuasan pada pasien adalah sebagai berikut :

a. Sikap pendekatan staf pada pasien yaitu sikap staf terhadap pasien ketika

pertama kali datang di rumah sakit.

b. Kualitas perawatan yang diterima oleh pasien yaitu apa saja yang telah dilakukan

oleh pemberi layanan kepada pasien, seberapa pelayanan perawatan yang

berkaitan dengan proses kesembuhan penyakit yang diderita pasien dan

kelangsungan perawatan pasien selama berada dirumah sakit.

c. Prosedur administrasi yaitu berkaitan dengan pelayanan administrasi pasien

dimulai masuk rumah sakit selama perawatan berlangsung sampai keluar dari

rumah sakit.

a. Fasilitas – fasilitas yang disediakan rumah sakit yaitu fasilitas ruang inap, kualitas

makanan atau kios-kios penjual makanan yang terjamin kesehatannya, privasi dan

waktu kunjungan pasien.

2.3.4 Mengukur Kepuasan Pelanggan

Puas atau tidak puas seseorang tergantung, pada:

- Sikapnya terhadap ketidaksesuaian (rasa senang atau tidak senang)

- Tingkatan dari pada evaluasi baik atau tidak untuk dirinya, melebihi atau dibawah

standar (Syafrudin, 2011).


21

2.3.5 Indikator Untuk Mengukur Kepuasan Pelanggan

Menurut Parasuraman dalam Wiyono (2012) terdapat 10 indikator untuk

mengukur kepuasan pelanggan. Dalam perkembangan selanjutnya ke sepuluh faktor

tersebut dirangkum menjadi 5 (lima) dimensi mutu pelayanan sebagai penentu

kualitas jasa, yaitu:

1. Bukti langsung adalah segala sesuatu yang tampak seperti: fasilitas, peralatan,

kenyamanan ruangan, dan sikap petugas.

2. Keandalan adalah elemen yang berkaitan dengan kemampuan untuk mewujudkan

pelayanan yang dapat diandalkan.

3. Daya tanggap adalah elemen yang berkaitan dengan kesediaan karyawan dalam

membantu dan memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien, petugas dapat

memberikan informasi yang jelas, petugas memberikan pelayanan dengan segera

dan tepat waktu, petugas memberikan pelayanan yang baik.

4. Jaminan hal ini terutama mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan

sifat dapat dipercaya petugas. Selain itu, bebas dari bahaya saat pelayanan

merupakan jaminan juga.

5. Empati meliputi perhatian pribadi dalam memahami kebutuhan para pasien

(Syafrudin, 2011).

2.3.6 Subyektifitas Kepuasan Pelanggan

Subyektifitas kepuasan pelanggan antara lain:

1. Tergantung kepada sikapnya terhadap ketidaksesuaian.

2. Tergantung kepada standar nilai yang dianutnya (Syafrudin, 2011).


22

2.3.7 Standar Kualitas Out Come / Hasil

Philip Kotler dalam bukunya “ Marketing Management “ mendifinisikan

bahwa: “ kepuasan adalah tingkat keadaan yang dirasakan seseorang yang merupakan

hasil dari membandingkan penampilan atau outcome produk / jasa yang dirasakan

dalam hubungannya dengan harapan seseorang ”.

Dengan demikian tingkat kepuasan pelanggan adalah suatu fungsi dari

perbedaan antara penampilan produk / jasa dengan harapan pelanggan.

Ada 3 tingkat kepuasan pelanggan, yaitu:

a. Bila penampilan kurang dari harapan, pelanggan tidak puas.

b. Bila penampilan sebanding dengan harapan, pelanggan puas.

c. Bila penampilan melebihi harapan, pelanggan amat puas atau senang (Syafrudin,

2011).

2.3.8 Keuntungan Dari Memuaskan Pelanggan

a. Kita akan menuai laba.

b. Biaya marketing lebih efektif.

c. Promosi gratis dari setiap informasi yang disampaikan oleh pelanggan yang puas.

d. Biaya operasional menjadi lebih efisien.

e. Pelanggan yang puas akan kembali lagi (Syafrudin, 2011).

2.3.9 Guna Kepuasan Pelanggan

Guna kepuasan pelanggan, antara lain untuk:

1. Mempelajari kebuhan pelanggan.

2. Mengukur mutu produk / jasa.


23

3. Merencanakan strategi.

4. Mengetahui penampilan organisasi (Syafrudin, 2011).

2.3.10 Paradigma Berorientasi Kualitas Bagi Manajer

Kualitas sebagai elemen penting untuk formulasi dan perencanaan, menetapkan

pasar usaha yang dimasuki, dan bagaimana menyediakan nilai mutu bagi pelanggan.

Dengan demikian manajemen strategi harus berorientasi kepada pasar dan

kepuasan pelanggan.

Beberapa slogan untuk memotivasi kerja dalam rangka tercapainya kepuasan

pelanggan, yaitu:

1. Pelanggan adalah raja.

2. Pelanggan adalah orang yang paling penting dalam setiap bisnis kita.

3. Pelanggan adalah tempat kita bergantung.

4. Pelanggan adalah tujuan kita.

5. Pelanggan adalah darah kehidupan kita, tanpa mereka kita tidak berarti apa-apa

(Syafrudin, 2011).
24

2.4 Kerangka Teori

Penerapan :
Sumber daya, peran, tanggun
jawab, akuntabilitas dan
wewenang
Kompetensi, pelatihan,
kepedulian
Komunikasi, partisipasi dan
konsultasi
Nilai Keselamatan
Integrasi
Kesiapsiagaan dan tanggap
darurat

Kekuatan dan Kelemahan Peluang dan Ancaman


Kebijakan Tenaga Kerja
Sumber Daya Manusia Bencana
Fasilitas P3K Ekonomi
Standar Jumlah Kecelakaan Teknologi
Kerja Kebijakan Pemerintah
Budaya Keselamatan
Promosi K3
Perencanaan
Penerapan
Pemeriksaan
Tinjauan Manajemen

Optimalisasi Kepuasan
Pasien

Skema 1 Kerangka Teori (Dhinar Tiara Luckyta dan Sri Gunani Partiwi, 2012)
25

2.5 Kerangka Konsep

Budaya Penerapan K3

1. Nilai keselamatan
Kepuasan Pasien
2. Kepemimpinan
3. Akuntabilitas
4. Keselamatan terintegrasi
5. keselamatan Penggerak
Pembelajaran

Skema 2 : Kerangka Konsep Penelitian

2.6 Hipotesa Penelitian

1. Ada Hubungan nilai keselamatan dengan Kepuasan Pasien Dalam Pencegahan

Covid-19 di Puskesmas Batu Anam Tahun 2021

2. Ada Hubungan kepemimpinan dengan Kepuasan Pasien Dalam Pencegahan

Covid-19 di Puskesmas Batu Anam Tahun 2021

3. Ada Hubungan akuntabilitas dengan Kepuasan Pasien Dalam Pencegahan

Covid-19 di Puskesmas Batu Anam Tahun 2021

4. Ada Hubungan keselamatan terintegrasi dengan Kepuasan Pasien Dalam

Pencegahan Covid-19 di Puskesmas Batu Anam Tahun 2021

5. Ada Hubungan keselamatan Penggerak Pembelajaran dengan Kepuasan

Pasien Dalam Pencegahan Covid-19 di Puskesmas Batu Anam Tahun 2021

Anda mungkin juga menyukai