Anda di halaman 1dari 86

Modul/ Bahan Kuliah Keselamatan dan kesehatan kerja

BAB 1. Peranan keselamatan dan kesehatan kerja dalam dunia industri


1.1. Pengertian Keselamatan
Keselamatan adalah suatu keadaan aman, dalam suatu kondisi yang aman
secara fisik, sosial, spiritual, finansial, politis, emosional, pekerjaan, psikologis,ataupun pendi
dikan dan terhindar dari ancaman terhadap faktor-faktor tersebut. Untuk mencapai hal ini,
dapat dilakukan perlindungan terhadap suatu kejadian yang memungkinkan terjadinya
kerugian ekonomi atau kesehatan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012,
pengertian keselamatan dan kesehatan kerja atau K3 adalah segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
Menurut Sinambela(2017:365) Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah bidang yang terkait
dengan kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan manusia yang bekerja disebuah institusi
maupun lokasi proyek. Menurut Simanjuntak (1994), Keselamatan kerja adalah
kondisi keselamatan yang bebas dari resiko kecelakaan dan kerusakan dimana
kita bekerja yang mencakup tentang kondisi bangunan, kondisi mesin,
peralatan keselamatan, dan kondisi pekerja. Menurut Ridley, John (1983) yang dikutip oleh
Boby Shiantosia (2000, p.6), mengartikan Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah suatu
kondisi dalam pekerjaan yang sehat dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan
maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut. Jackson
(1999, p. 222), menjelaskan bahwa Kesehatan dan Keselamatan Kerja menunjukkan kepada
kondisi-kondisi fisiologis-fisikal dan psikologis tenaga kerja yang diakibatkan oleh
lingkungan kerja yang disediakan oleh perusahaan.

1.2. Tujuan keselamatan dan kesehatan kerja


K3 merupakan bentuk perlindungan bagi kesehatan dan keselamatan kerja tenaga kerja,
serta bagi sumber-sumber produksi perusahaan. Bila dijabarkan secara lebih konkret, tujuan
K3 sebagaimana dikutip dari buku Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan adalah
sebagai berikut:
 Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara
fisik, sosial, dan psikologis.
 Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya selektif
mungkin.
 Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya.
 Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai.
 Agar meningkatnya kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.
 Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atas
kondisi kerja.
 Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja.
Penerapan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) memiliki 3 (tiga) tujuan dalam
pelaksanaannya berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja. 3 (tiga) tujuan utama penerapan K3 berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun
1970 tersebut antara lain :

 Melindungi dan menjamin keselamatan setiap tenaga kerja dan orang lain
di tempat kerja.
 Menjamin setiap sumber produksi dapat digunakan secara aman dan efisien.
 Meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas Nasional.

Dari penjabaran tujuan penerapan K3 di tempat kerja berdasarkan Undang-Undang


nomor 1 Tahun 1970 tersebut, maka terdapat harmoni mengenai penerapan K3 di
tempat kerja antara Pengusaha, Tenaga Kerja dan Pemerintah/Negara.

1.3. Keselamatan Kerja dan Perlindungan Tenaga Kerja


Perlindungan tenaga kerja meliputi aspek-aspek yang cukup luas, yaitu perlindungan
keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moral kerja serta perlakuan yang sesuai dengan
martabat manusia dan moral agama. Perlindungan tersebut bermaksud agar tenaga kerja
secara aman melakukan pekerjaannya sehari-hari untuk meningkatkan produksi dan
produktivitas nasional. Tenaga kerja harus memperoleh perlindungan dari berbagai soal
disekitarnya dan pada dirinya yang dapat menimpa dan mengganggu dirinya serta
pelaksanaan pekerjaannya.
Undang-undang keselamatan kerja disahkan pada tahun 1970, undang-undang tersebut
memuat ketentuan-ketentuan umum tentang keselamatan kerja yang sesuai dengan
perkembangan masyarakat, industrialisasi, teknik, dan teknologi dalam rangka pembinaan
norma-norma keselamatan kerja sesuai dengan undang-undang tentang ketentuan-ketentuan
pokok mengenai tenaga kerja yang diatur oleh undang-undang ialah keselamatan kerja dalam
segala tempat kerja, baik didarat, didalam tanah, dipermukaan air, didalam air, diudara yang
berada didalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia.
Bentuk perlindungan tenaga kerja menurut Imam Soepomo, terdapat 3 jenis perlindungan
tenaga kerja, antara lain :

1. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan yang berkaitan dengan usaha untuk


memberikan penghasilan yang cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari bagi
dirinya (tenaga kerja) beserta keluarganya, termasuk jika ia tidak mampu lagi bekerja
karena sesuatu hal di luar kehendaknya.
2. Perlindungan sosial, yakni perlindungan agar tenaga kerja dapat melakukan kegiatan
kemasyarakatan. Tujuan dari perlindungan ini adalah untuk memungkinkan dirinya
dapat mengembangkan kehidupan sebagai manusia pada umumnya dan sebagai
anggota masyarakat dan keluarga pada khususnya.
3. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan untuk menjaga kaum buruh dari bahaya
kecelakaan yang ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan yang digunakan oleh
perusahaan.

Sedangkan menurut Abdullah Sulaiman, terdapat 5 jenis atau bentuk perlindungan tenaga


kerja, yaitu :

1. Perlindungan ekonomis, yaitu sebagai perlindungan syarat kerja atau syarat


perburuhan yang diatur dalam peraturan mengenai hubungan kerja atau perjanjian
kerja.
2. Perlindungan keselamatan kerja, yakni memberikan perlindungan kepada buruh
agar selamat dari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan yang
dikerjakan.
3. Perlindungan kesehatan kerja. Perlindungan ini ada akibat buruh teknologi industri
dan non-industri terkadang mengalami perlakukan semena-mena dan tidak
berperikemanusiaan oleh majikan.
4. Perlindungan hubungan kerja, yaitu perlindungan terhadap pekerjaan yang
dijalankan oleh buruh untuk majikan dalam hubungan kerja dengan menerima upah.
5. Perlindungan kepastian hukum, yaitu berupa perlindungan hukum yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan. Isinya perintah dan larangan, serta sanksi
pelanggaran dengan sifat memaksa, sekeras- kerasnya, dan setegas-tegasnya.

1.4. Keselamatan Kerja dan produktivitas


Keselamatan kerja dapat membantu peningkatan produksi dan produktivitas atas dasar dengan
tingkat keselamatan kerja yang tinggi, kecelakaan-kecelakaan yang menjadi sebab sakit, cacat, dan
kematian dapat dikurangi atau ditekan sekecil mungkin, sehingga pembiayaan yang tidak perlu dapat
dihindari.
Keselamatan kerja erat bersangkutan dengan peningkatan produksi dan produktivitas.
Produktivitas adalah perbandingan diantara hasil kerja (output) dan upaya yang digunakan
(input). Keselamatan kerja dapat membantu peningkatan produksi dan produktivitas atas
dasar :
1. Dengan tingkat keselamatan kerja yang tinggi, kecelakaan-kecelakaan yang menjadi
sebab sakit, cacat, dan kematian dapat dikurangi atau ditekan sekecil mungkin,
sehingga pembiayaan yang tidak perlu dapat dihindari.

2. Tingkat keselamatan yang tinggi sejalan dengan pemeliharaan dan penggunaan


peralatan kerja dan mesin yang produktif dan efisien dan bertalian dengan tingkat
produksi dan produktivitas yang tinggi.

3. Pada berbagai hal, tingkat keselamatan yang tinggi menciptakan kondisi-kondisi yang
mendukung kenyamanan serta kegairahan kerja, sehingga faktor manusia dapat
diserasikan dengan tingkat efisiensi yang tinggi pula.

4. Praktek keselamatan tidak bisa dipisah-pisahkan dari keterampilan, keduanya berjalan


sejajar dan merupakan unsur-unsur esensial bagi kelangsungan proses produksi.

5. Keselamatan kerja yang dilaksanakan sebaik-baiknya dengan partisipasi pengusaha


dan buruh akan membawa iklim keamanan dan ketenangan kerja, sehingga sangat
membantu bagi hubungan buruh dan pengusaha yang merupakan landasan kuat bagi
terciptanya kelancaran produksi.

Keselamatan proses produksi diawali dengan mengidentifikasi bahaya proses, menilai dan
mengelola resiko secara efektif dan efesien dengan pendekatan sistematis. Bagian terpenting
dari keselamatan proses adalah menjaga material yang sedang diproses agar selalu berada
dalam wadah utamanya dan keluar secara terkontrol melalui prinsip desain, pengoperasian,
inspeksi, dan pemeliharaan yang baik.
BAB 2. Dasar Teknik Keselamatan dan Kesehatan kerja di dunia industri
2.1. Dasar Dasar K3
K3 memiliki beberapa definisi dari berbagai perspektif, mulai dari filosofi, etimologi dan
keilmuan. Menurut Keilmuan, K3 adalah semua ilmu dan penerapannya untuk mencegah
terjadinya kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja (PAK), kebakaran, ledakan dan
pencemaran lingkungan. Menurut OHSAS K3 adalah kondisi atau Faktor yang dapat
berdampak Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Tenaga Kerja maupun Orang Lain
(Tamu,Kontraktor, Buyer ataupun Pengunjung) di tempat kerja. Keselamatan Dan Kesehatan
Kerja (K3) Adalah Segala Kegiatan Untuk Menjamin Dan  Melindungi  Keselamatan  Dan 
Kesehatan  Tenaga Kerja Melalui Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja Dan Penyakit Akibat
Kerja. (OHSAS 18001).

K3 merupakan elemen penting yang harus diterapkan perusahaan untuk melindungi tenaga.
Pemerintah pun telah menetapkan sejumlah aturan dan regulasi terkait pelaksanaan K3. K3
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok mengenai Pekerja. Pemerintah kemudian mengeluarkan UU No 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja dan UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Peraturan mengenai K3,
yang meliputi tempat kerja, hak dan kewajiban pekerja, serta kewajiban pimpinan tempat
kerja.

Ruang lingkup dari penerapan sistem K3 cukup lengkap dan luas, serta aspek-aspek yang
mendukung pelaksanaannya. Berikut cakupan dari penerapan ruang lingkup K3 :

 Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja adalah lokasi tempat para pekerja melakukan aktivitas kerjanya.
Lingkungan kerja harus dibangun dengan standar keamanan yang layak agar meminimalisir
potensi terjadinya kecelakaan kerja yang membahayakan semua orang dan aset di dalamnya.

 Alat dan Bahan Kerja

Alat kerja dan bahan produksi sangat mempengaruhi kesehatan dan keselamatan kerja.
Kelengkapan dan kondisi alat kerja maupun bahan harus dicek secara berkala. Selain itu
bahan yang digunakan pada aktivitas kerja pun perlu diperhatikan dengan baik.
 Metode Kerja

Ruang lingkup K3 juga meliputi prosedur kerja atau metode kerja agar sesuai dengan standar
keamanan dan kesehatan untuk para pekerja. Seperti prosedur penggunaan alat pelindung
diri, prosedur pengoperasian mesin. Pada sistem manajemen K3 bahkan harus diatur batas
jam kerja dalam sehari agar dapat meminimalisir potensi risiko pada kesehatan pekerja.

Sistem Manajemen K3 adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan
dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya
tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga
kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Perusahaan atau
organisasi yang akan ataupun telah menerapkan SMK3 diharapkan dapat meningkatkan
efektifitas perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang terencana, terukur, terstruktur
dan terintegrasi, kemudian dapat mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit
akibat kerja dengan melibatkan unsur manajemen dan pekerja, dan juga perusahaan dapat
menciptakan tempat kerja yang aman, nyaman dan efisien untuk mendorong produktivitas.

2.2. Alat Keselamatan dan Kesehatan Kerja Secara Umum


APD adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang
fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja. APD
ini terdiri dari perlengkapan wajib yang digunakan oleh pekerja sesuai dengan bahaya dan
risiko kerja yang digunakan untuk menjaga keselamatan pekerja sekaligus orang di
sekelilingnya. Kewajiban ini tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi No. Per.08/Men/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri. Dan pengusaha wajib
untuk menyediakan APD sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi pekerjanya.

1. Helm Keselamatan. Helm keselamatan atau safety helmet ini berfungsi untuk melindungi


kepala dari benturan, pukulan, atau kejatuhan benda tajam dan berat yang melayang atau
meluncur di udara. Alat ini juga bisa melindungi kepala dari radiasi panas, api, percikan
bahan kimia ataupun suhu yang ekstrim. Untuk beberapa pekerjaan dengan risiko yang relatif
lebih rendah bisa menggunakan topi ataupun penutup kepala sebagai pelindung.
Gambar 2.2.1 Brim Keselamatan Gambar 2.2.2 Brim Vented Helm
Kerja Hdpe – Putih Keselamatan Kerja Hdpe – Merah

2. Sabuk Dan Tali Keselamatan. Sabuk keselamatan atau safety belt ini berfungsi untuk


membatasi gerak pekerja agar tidak terjatuh atau terlepas dari posisi yang diinginkan.
Beberapa pekerjaan mengharuskan pekerja untuk berada pada posisi yang cukup berbahaya
seperti pada posisi miring, tergantung atau memasuki rongga sempit. Sabuk keselamatan ini
terdiri dari harness, lanyard, safety rope, dan sabuk lainnya yang digunakan bersamaan
dengan beberapa alat lainnya seperti karabiner, rope clamp, decender, dan lain-lain.

Gambar 2.2.3 Sabuk Pengaman Tanpa Tali Tambahan Gambar 2.2.4 Sabuk Pengaman Extra Tali

3. Sepatu Bot. Sepatu boot ini berfungsi untuk melindungi kaki dari benturan atau tertimpa
benda berat, tertusuk benda tajam, terkena cairan panas atau dingin, uap panas, bahan kimia
berbahaya ataupun permukaan licin. edanya dengan safety shoes umumnya adalah
perlindungan yang lebih maksimal karena modelnya yang tinggi dan melindungi hingga ke
betis dan tulang kering.
Gambar 2.2.5 Sepatu Pengaman Maxi Ankle Boots Gambar 2.2.6. Pengaman Boot Viking

4. Sepatu Pelindung. Sepatu pelindung ini berfungsi untuk melindungi kaki dari benturan

atau tertimpa benda berat, tertusuk benda tajam, terkena cairan panas atau dingin, uap panas,

bahan kimia berbahaya ataupun permukaan licin. Selain fungsi di atas,

sepatu safety berkualitas juga memiliki tingkat keawetan yang baik sehingga bisa digunakan

dalam jangka waktu yang Panjang.

5. Masker. Masker pernafasan ini berfungsi untuk melindungi organ pernafasan dengan cara

menyaring vemaran bahan kimia, mikro-organisme, partikel debu, aerosol, uap, asap,

ataupun gas. Jadinya, udara yang dihirup masuk ke dalam tubuh adalah udara yang bersih

dan sehat. Masker ini terdiri dari berbagai jenis, seperti respirator, katrit, kanister, tangki

selam dan regulator, dan alat pembantu pernafasan.

Gambar 2.2.7 Masker Anti Virus Kn95 Gambar 2.2.8 Masker Respirator Half Mask

Double
6. Penutup Telinga. Penutup telinga ini bisa terdiri dari sumbat telinga (ear plug) atau
penutup telinga (ear muff), yang berfungsi untuk melindungi telinga dari kebisingan ataupun
tekanan.

Gambar 2.2.9 Ear Muff

7. Kacamata Pemgaman. Kacamata pengaman ini digunakan sebagai alat pelindung yang


berfungsi untuk melindungi mata dari paparan partikel yang melayang di udara ataupun di
air, percikan benda kecil, benda panas, ataupun uap panas. Selain itu kacamata pengaman
juga berfungsi untuk menghalangi pancaran cahaya yang langsung ke mata, benturan serta
pukulan benda keras dan tajam. Jenis kacamata pengaman ini bisa
berupa spectacles atau googgles.

8. Sarung Tangan. Sarung tangan ini berfungsi untuk melindungi jari-jari tangan dari api,
suhu panas, suhu dingin, radiasi, arus listrik, bahan kimia, benturan, pukulan, tergores benda
tajam ataupun infeksi dari zat patogen seperti virus dan bakteri. Umumnya, sarung ini terbuat
dari material yang beraneka macam, tergantung dari kebutuhan. Ada yang terbuat dari logam,
kulit, kanvas, kain, karet dan sarung tangan safety yang tahan terhadap bahan kimia.

9. Alat Pelindung Wajah. Pelindung wajah atau face shield ini merupakan alat pelindung


yang berfungsi untuk melindungi wajah dari paparan bahan kimia berbahaya, partikel yang
melayang di udara atau air, percikan benda kecil, panas ataupun uap panas, benturan atau
pukulan benda keras atau tajam, serta pancaran cahaya.

10. Pelampung. Pelampung ini digunakan oleh pekerja yang bekerja di atas air atau di
permukaan air agar terhindar dari bahaya tenggelam. Alat ini terdiri dari life jacket, life vest
atau bouyancy control device untuk mengatur saat kita sedang terapung di air.
2.3. Peran K3 Terhadap Upaya Kesehatan Masyarakat
Peranan kesehatan lingkungan dan K3 dalam bidang kesehatan masyarakat sangat erat
hubungannya. Secara umum, K3 berperan melindungi pekerja dan sistem perusahaan dari
gangguan keselamatan dan penyakit akibat kerja. Sedangkan kesehatan lingkungan berperan
melindungi masyarakat dari gangguan penyakit akibat lingkungan yang tidak bersih atau
tidak sehat.

Kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dapat saling berkaitan. Pekerja yang menderita
gangguan kesehatan atau penyakit akibat kerja cenderung lebih mudah mengalami
kecelakaan kerja. Melihat ke negara-negara maju, penanganan kesehatan pekerja sudah
sangat serius. Mereka sangat menyadari bahwa kerugian ekonomi (lost benefit) suatu
perusahaan akibat suatu kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja sangat besar dan
dapat ditekan dengan upaya-upaya di bidang kesehatan dan keselamatan kerja (K3).
Peranan K3 terhadap upaya kesehatan masyarakat adalah :
1. Agar dalam menangani korban kecelakaan kerja lebih cepat.
2. Untuk mencegah kecelakaan dan sakit pada pekerja di tempat mereka bekerja.
3. Menunjukan cara yang lebih baik untuk selamat menghilangkan kondisi kelalaian.
4. Memperbaiki kesadaran terhadap masyarakat dalam keselamatan dan kesehatan kerja
5. Mengurangi kerugian bagi pekerja dan pengusaha

Peran kesehatan lingkungan secara khusus adalah:


1. Menyediakan air bersih yang cukup dan memenuhi persyaratan kesehatan.
2. Makanan dan minuman yang diproduksi dalam skala besar dan dikonsumsi secara luas
oleh masyarakat.
3. Pencemaran udara akibat sisa pembakaran BBM, batu bara, kebakaran hutan, dan gas
beracun yang berbahaya bagi kesehatan dan makhluk hidup lain dan menjadi penyebab
terjadinya perubahan ekosistem.
4. Limbah cair dan padat yang berasal dari rumah tangga, pertanian, peternakan, industri,
rumah sakit, dan lain-lain.
5. Kontrol terhadap arthropoda dan rodent yang menjadi vektor penyakit dan cara
memutuskan rantai penularan penyakitnya.
6. Perumahan dan bangunan yang layak huni dan memenuhi syarat kesehatan.
7. Kebisingan, radiasi, dan kesehatan kerja.
8. Survei sanitasi untuk perencanaan, pemantauan, dan evaluasi program kesehatan
lingkungan.

2.4. Perundang-Undangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Secara SNI

1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Undang-


Undang terkenal sebagai aturan pokok K3. UU ini mengatur kewajiban
perusahaan dan pekerja dalam melaksanakan keselamatan kerja.
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 4 tahun 1987 tentang Panitia Pembina
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3)
3. Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Undang- Undang ini
memberi kewajiban bagi perusahaan untuk memeriksakan kesehatan badan,
kondisi mental, dan kemampuan fisik pekerja yang baru maupun yang akan
dipindahkan ke tempat kerja baru, sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang
diberikan kepada pekerja, serta pemeriksaan kesehatan secara berkala.
Sebaliknya para pekerja juga berkewajiban memakai alat pelindung diri (APD)
dengan tepat dan benar serta mematuhi semua syarat keselamatan dan
kesehatan kerja yang diwajibkan.  
4. Undang-undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
yang saat ini telah diubah menjadi Sistem Jaminan Sosial Nasional Undang-
undang Nomor 40 tahun 2004 yang mengatur jaminan sosial tenaga kerja salah
satunya adalah jaminan kecelakaan kerja. 
5. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul
Akibat Hubungan Kerja
6. Peraturan Menteri Nomor 5 tahun 1996 mengenai Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
7. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam pasal 86
menegaskan hak pekerja untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan
kesehatan kerja. 
8. Peraturan Pemerintah Nomor 50 tahun 2012 tentang Penerapan Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3)
9. Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja
10. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2018 tentang K3
Lingkungan Kerja 

Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, terdapat 3


tujuan utama dari penerapan K3, yakni:

1. Melindungi dan menjamin keselamatan setiap tenaga kerja dan orang lain di
tempat kerja.
2. Menjamin setiap sumber produksi dapat digunakan secara aman dan efisien.
3. Meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas Nasional.
BAB 3. Faktor-faktor Kecelakaan kerja dan pencegahannya.
3.1. Pengertian Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula
yang dapat menimbulkan korban jiwa dan harta benda (Peraturan Menteri Tenaga Kerja
(Permenaker) Nomor: 03/Men/1998). Kecelakaan kerja menurut OHSAS (Occupational
Health and Safety Assessement Series) adalah kejadian yang berhubungan dengan pekerjaan
dan menyebabkan cidera atau kesakitan, dan kejadian yang dapat menyebabkan kematian
(Syarif, 2007). Adapun Kecelakaan kerja menurut para ahli adalah sebagai berikut :
1) Kecelakaan kerja adalah kecelakaan dan atau penyakit yang menimpa tenaga kerja karena
hubungan kerja di tempat kerja (Ervianto, 2005).
2) Menurut Suma’mur (1981) dalam (Pratiwi, 2012) kecelakaan akibat kerja adalah
kecelakaan berhubungan dengan hubungan kerja pada perusahaan. Hubungan kerja yang
dimaksud adalah kecelakaan yang terjadi karena pekerjaan atau pada waktu melaksanakan
pekerjaan.
3) Menurut Rachman (1990) dalam (Pratiwi, 2012)kecelakaan akibat kerja adalah suatu
kejadian yang tidak diduga, tidak dikehendaki dan dapat menyebabkan kerugian baik jiwa
maupun harta benda.

3.2. Teori Kecelakaan Kerja


Teori kecelakaan kerja adalah suatu kejadian tiba-tiba yang tidak diinginkan yang
mengakibatkan kematian, luka-luka, kerusakan harta milik atau kerugian waktu. Salah satu
teori yang berkembang untuk menjelaskan terjadinya kecelakaan kerja menurut H.W.
Heinrich yang dikenal sebagai teori Domino Heinrich. Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa
kecelakaan terdiri atas lima faktor yang saling berhubungan, yaitu :

1. Kondisi kerja,
2. Kelalaian manusia,
3. Tindakan tidak aman,
4. Kecelakaan, dan
5. Cedera.

Kelima faktor ini tersusun seperti kartu domino yang diberdirikan. Jika satu kartu jatuh, maka
kartu ini akan menimpa kartu lain hingga kelimanya akan roboh secara bersama. Ilustrasi ini
mirip dengan efek domino, jika satu bangunan roboh, kejadian ini akan memicu peristiwa
beruntun yang menyebabkan robohnya bangunan lain. Jika dianalogikan dengan kartu
domino, maka jika kartu nomor 3 tidak ada lagi, seandainya kartu nomor 1 dan 2 jatuh maka
tidak akan menyebabkan jatuhnya semua kartu. Dengan adanya jarak antara kartu kedua
dengan kartu keempat, maka ketika kartu kedua terjatuh tidak akan sampai menimpa kartu
nomor 4. Akhirnya kecelakaan pada poin 4 dan cedera pada poin 5 dapat dicegah.

Teori Frank E. Bird Petersen, mendefinisikan kecelakaan sebagai suatu kejadian yang tidak
dikehendaki, dapat mengakibatkan kerugian jiwa serta kerusakan harta benda dan biasanya
terjadi sebagai akibat dari adanya kontak dengan sumber energi yang melebihi ambang batas
atau struktur. Teori ini memodifikasi teori Domino Heinrich dengan mengemukakan teori
manajemen yang berisikan lima faktor dalam urutan suatu kecelakaan, antara lain :

1. Manajemen kurang control

2. Sumber penyebab utama

3. Gejala penyebab langsung

4. Kontak peristiwa

5. Kerugian gangguan (tubuh maupun harta benda)

3.3. Teori Penyebab Kecelakaan Kerja


Kecelakaan kerja biasanya timbul sebagai hasil gabungan dari beberapa faktor. Tiga Faktor
utama adalah faktor peralatan teknis, lingkungan kerja dan pekerja itu sendiri. Kecelakaan
kerja umumnya disebabkan oleh banyak faktor dan sering diakibatkan oleh berbagai
penyebab.

1.  Teori Kebetulan Murni (Pure Chance Theory). :Merupakan teori yang menyatakan


bahwa kecelakaan terjadi atas “Kehendak Tuhan” sehingga tidak ada pola yang jelas
dalam rangkaian peristiwa. Karena itu kecelakaan terjadi secara kebetulan,
2. Teori Kecenderungan Kecelakaan (Accident Prone Theory). Pada pekerja tertentu
lebih sering tertimpa kecelakaan karena sifat-sifat pribadinya yang cenderung
mengalami kecelakaan,
3. Teori Tiga Faktor Utama (Three Main Factor Theory) yang menyebutkan bahwa
suatu penyebab kecelakaan adalah peralatan, lingkungan, dan faktor manusia pekerja
itu sendiri,
4. Teori Dua faktor (Two Factor Theory). Dimana kecelakaan disebabkan oleh kondisi
berbahaya (Unsafe Condition) dan tindakan atau perbuatan yang berbahaya (Unsafe
Act),
5. Teori faktor Manusia (Human Factor Theory). Menekankan bahwa akhirnya semua
kecelakaan kerja langsung atau tidak langsung disebabkan karena kesalahan manusia..
Oleh HW. Heinrich dikembangkan teori tentang terjadinya kecelakaan kerja, yang
sebenarnya merupakan rangkaian yang berkaitan satu dengan lainnya.
Berdasarkan pendekatan epidemiologi terbentuknya kecelakaan kerja disebabkan oleh 3
faktor, yaitu :

1. Host, yaitu tenaga kerja yang melakukan pekerjaan. Dalam hal ini yang dimaksudkan
dengan host yaitu tenaga kerja yang mempunyai resiko terpapar oleh berbagai potensi
bahaya yang ada,
2. Agent, yaitu pekerjaan yang meliputi jenis pekerjaan, beban kerja, dan jam kerja yang
potensi penyebab terjadinya kecelakaan kerja,
3. Environment, yaitu lingkungan yang terdapat di tempat kerja yang meliputi
lingkungan fisik, kimia dan biologi yang dapat memaparkan bahaya yang dapat meny

3.4. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kecelakaan Kerja


Secara umum kecelakaan kerja dapat dikategorikan menjadi 2 bagian yaitu faktor teknis
dan faktor umum. Dengan mengetahui faktor penyebab kecelakaan kerja setidaknya dapat
membantu mencegah dan meminimalkan risiko buruknya. Berikut merupakan faktor yang
mempengaruhi terjadinya kecelakaan kerja :

Faktor Teknis.
Faktor pertama yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja adalah faktor teknis. Faktor ini
berhubungan dengan sesuatu di luar manusia. Biasanya erat kaitannya dengan peralatan,
mesin yang digunakan, serta berbagai fasilitas penunjang dalam pekerjaan. Beberapa
peralatan harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Jangan hanya mementingkan
hasil yang diberikan, namun perlu dipastikan apakah alat atau fasilitas tersebut layak
digunakan atau tidak.

1. Kondisi Mesin Dan Peralatan

Faktor teknis yang pertama terkait dengan kondisi mesin. Kondisi suatu mesin berperan
penting dalam menjaga keselamatan  di dunia pekerjaan. Tidak hanya merugikan dari segi
produk, mesin yang tak layak pakai juga dapat merugikan kepada para pekerja. Dalam
penggunaannya, mesin harus selalu dirawat dan dipastikan kelayakannya sebelum
digunakan. Selain itu, masalah umur dan batasan penggunaan harus selalu diperhatikan.
Pasalnya, semakin tua dan semakin sering digunakan tentu akan membuat produktivitas
mesin mengalami penurunan yang menjadi penyebab utama terjadinya kecelakaan.

2. Bahan dan Segala Hal yang Bergerak

Tidak hanya mesin, alat penunjang lain seperti bahan juga memiliki peranan penting pada
keselamatan. Jika tidak dipersiapkan dengan baik maka bahan-bahan ini dapat
menyebabkan potensi utama terjadinya kecelakaan kerja sehingga penting untuk
memastikan segala hal dalam pekerjaan dilakukan sesuai dengan prosedurnya.

3. Desain Tempat Kerja

Bangunan beserta desainnya akan sangat berpengaruh pada kecelakaan kerja. Meskipun
semua tempat kerja memiliki motto telah didesain dengan aman namun tetap saja bangunan
akan menjadi faktor kecelakaan dalam pekerjaan.

4. Lokasi Kerja

Lingkungan sangat berpengaruh pada kecelakaan kerja. Misalkan saja ketinggian atau
tempat akan memiliki pengaruh besar pada kecelakaan sehingga penting untuk melakukan
mitigasi risiko sebanyak-banyaknya sebelum membangun tempat kerja di suatu lokasi
tertentu.
Faktor Non Teknis

Selain Faktor teknis masih terdapat Faktor non teknis yang dapat menyebabkan kecelakaan
kerja. Faktor ini berhubungan dengan sifat para pekerja dan dapat dihindari dengan adanya
pemberian keterampilan sebelum bekerja. Berikut merupakan Faktor teknis yang dapat
menyebabkan kecelakaan kerja :

1. Ketidaktahuan

Faktor pertama adalah pengetahuan pekerja dalam menjalankan serangkaian tugasnya. Hal
ini menjadi penting karena jika tidak tahu apa yang harus dilakukan maka dapat
membahayakan karena pekerja melakukan segala hal sesukanya. Faktor ini dapat dikurangi
dengan adanya pelatihan yang menjelaskan mengenai hal-hal apa saja yang harus mereka
lakukan. Jangan sampai hanya karena kekurangan pelatihan membuat malapetaka yang
sangat merugikan.

2. Keterampilan

engetahui saja tidak cukup untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Bagaimana tidak,
jika tahu tapi tidak terampil dan lihai dalam pengoperasian maka akan menyebabkan
kesalahan fatal sehingga penting untuk mengimbangi antara bekal pengetahuan dan
keterampilan bagi para pekerja.

3. Disiplin

Banyak kecelakaan kerja terjadi hanya karena masalah sepele yaitu disiplin. Pekerja yang
tergesa-gesa, kurang sadar, bermain, dan hanya mementingkan dilakukan akan membuat
kondisi yang sangat bahaya. Pasalnya dari ketidakdisiplinan inilah yang menjadi Faktor
utama terjadinya kecelakaan kerja.

4. Mengabaikan Keselamatan

Faktor lain yang juga kerap ditemukan adalah banyaknya petugas yang masih mengabaikan
keselamatan diri dan lingkungan sekitar. Mereka akan menganggap remeh setiap prosedur
perusahaan. Bahkan diantara mereka akan melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan
prosedur.

Faktor Alam

Faktor alam adalah faktor dimana tidak ada satupun orang yang akan akan mengetahuinya
kapan terjadi. Seperti diketahui kecelakaan faktor alam akan sangat sulit dicegah karena
memang tidak dapat dikendalikan.

3.5. Pencegahan Kecelakaan Kerja


Terjadinya kecelakaan kerja merupakan suatu bentuk kerugian baik bagi korban kecelakaan
kerja maupun Perusahaan/Organisasi. Upaya pencegahan kecelakaan kerja diperlukan untuk
menghindari kerugian-kerugian yang timbul serta untuk meningkatkan kinerja keselamatan
kerja di tempat kerja. Berdasarkan teori domino effect penyebab kecelakaan kerja (H.W.
Heinrich), maka dapat dirancang berbagai upaya untuk mencegah kecelakaan kerja di tempat
kerja, antara lain :
1. Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja melalui Pengendalian Bahaya Di Tempat Kerja :
 Pemantauan dan Pengendalian Kondisi Tidak Aman di tempat kerja.
 Pemantauan dan Pengendalian Tindakan Tidak Aman di tempat kerja.

2. Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja melalui Pembinaan dan Pengawasan :


 Pelatihan dan Pendidikan K3 terhadap tenaga kerja.
 Konseling dan Konsultasi mengenai penerapan K3 bersama tenaga kerja.
 Pengembangan Sumber Daya ataupun Teknologi yang berkaitan dengan peningkatan
penerapan K3 di tempat kerja.

3. Upaya Pencegahan Kecelakaan Kerja melalui Sistem Manajemen :


 Prosedur dan Aturan K3 di tempat kerja.
 Penyediaan Sarana dan Prasarana K3 dan pendukungnya di tempat kerja.
 Penghargaan dan Sanksi terhadap penerapan K3 di tempat kerja kepada tenaga kerja.

BAB 4. Undang-undang dan Organisasi Keselamatan Kerja.


4.1. Dasar Hukum Undang Undang Keselamatan Kerja
Penerapan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) memiliki beberapa dasar hukum
pelaksanaan. Di antaranya ialah Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan
Kerja, Permenaker No 5 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja dan Permenaker No 4 Tahun 1987 tentang Panitia Pembina Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (P2K3). Rangkuman dasar-dasar hukum tersebut antara lain :UU No 1
Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja :
1. Tempat dimana dilakukan pekerjaan bagi suatu usaha.

2. Adanya tenaga kerja yang bekerja di sana.

3. Adanya bahaya kerja di tempat itu.


Permenaker No 5 Tahun 1996 Tentang Sistem Manajemen K3 adalah Setiap perusahaan
yang memperkerjakan 100 (seratus) tenaga kerja atau lebih dan atau yang mengandung
potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat
mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran lingkungan
dan penyakit akibat kerja (PAK).Permenaker No 4 Tahun 1987 Tentang Panitia Pembina
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) :
1. Tempat kerja dimana pengusaha atau pengurus memperkerjakan 100 (seratus)
orang atau lebih.
2. Tempat kerja dimana pengusaha memperkerjakan kurang dari 100 (seratus)
orang tetapi menggunakan bahan, proses dan instalasi yang memiliki resiko
besar akan terjadinya peledakan, kebakaran, keracunan dan pencemaran
radioaktif.

4.2. Syarat Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Syarat-syarat Penerapan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) di tempat kerja tertuang
dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pasal 3 (tiga). Pada
pasal tersebut disebutkan 18 (delapan belas) syarat penerapan keselamatan kerja di tempat
kerja di antaranya sebagai berikut :
1. Mencegah & mengurangi kecelakaan kerja.
2. Mencegah, mengurangi & memadamkan kebakaran.
3. Mencegah & mengurangi bahaya peledakan.

4. Memberi jalur evakuasi keadaan darurat.


5. Memberi P3K Kecelakaan Kerja.

6. Memberi APD (Alat Pelindung Diri) pada tenaga kerja.


7. Mencegah & mengendalikan timbulnya penyebaran suhu, kelembaban, debu,
kotoran, asap, uap, gas, radiasi, kebisingan & getaran.

8. Mencegah dan mengendalikan Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan keracunan.


9. Penerangan yang cukup dan sesuai.

10. Suhu dan kelembaban udara yang baik.

11. Menyediakan ventilasi yang cukup.

12. Memelihara kebersihan, kesehatan & ketertiban.

13. Keserasian tenaga kerja, peralatan, lingkungan, cara & proses kerja.

14. Mengamankan & memperlancar pengangkutan manusia, binatang, tanaman &


barang.

15. Mengamankan & memelihara segala jenis bangunan.

16. Mengamankan & memperlancar bongkar muat, perlakuan & penyimpanan


barang

17. Mencegah tekena aliran listrik berbahaya.

18. Menyesuaikan & menyempurnakan keselamatan pekerjaan yang resikonya


bertambah tinggi.

4.3. Pembinaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu aspek penting dalam perlindungan
tenaga kerja,sesuai dengan tujuan pokok dari K3 sesuai dengan UU NO.1 tahun 1970, yaitu
mencegah terjadinya kecelakaan, kebakaran, peledakan, penyakit akibat kerja, pencemaran
dan lain-lain “Nihil kecelakaan kerja”. Strategi pembinaan dalam keselamatan dan kesehatan
kerja yaitu :

1. Penyuluhan/ Promosi
Program pengembangan K3 merupakan proses yang terus menerus dan berkesinambungan.
Untuk mempromosikan pentingnya K3 dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan berikut :

 Pemasangan bendera K3
 Pemasangan spanduk K3
 Sosialisasi K3
 Pemasangan poster-poster K3
 Pemutaran video K3
2. Safety Talk ( toolbox meeting )
Safety talk adalah sebuah cara untuk mengingatkan karyawan/pekerja bahwa K3 bagian
yang sangat penting dalam pekerjaan. Safety talk merupakan pertemuan yang dilakukan rutin
antara karyawan / pekerja dan supervisor untuk membicarakan hal-hal mengenai K3. Tujuan
utama safety talk adalah untuk mengingatkan karyawan/pekerja kan potensi-potensi bahaya
ditempat kerja dan membantu karyawan/pekerja untuk mengenali dan mengendalaikan
bahaya tersebut. Dimana safety talk merupakan cara termudah untuk melindungi
karyawan/pekerja dari cidera atau kecelakaan kerja.

3. Safety Training/Pelatihan
Safety Training atau pelatihan K3 adalah program pembinaan dalam bentuk pelatihan yang
terprogram sesuai dengan kebutuhan pengembangan K3 organisasi. Tema pelatihan K3
diantaranya :

 Pelatihan pemadam kebakaran


 Pelatihan tanggap darurat
 Pelatihan P3K
 Pelatihan penggunaan APD
4. Safety Inspection
Sefety inspection adalah sebuah pemeriksaan lingkungan kerja secara mendetil untuk
mengidentifikasi bahaya dan memastikan bahwa bahaya-bahaya tersebut dikelola, terkendali
atau tereliminasi. Tujuan dilakukan Safety Inspection yaitu : menjaga lingkungan kerja tetap
aman, mengontrol unsafe acts and conditions, memastikan operational efficiency dan
pemenuhan standar K3. Tipe-tipe Safety Inspection :

 Formal  Inspections,
 Daily/Weekly Inspections,
 Special Function Inspections
Langkah-langkah utama dalam Safety Inspection

a) Pre-Inspection yaitu peninjauan awal untuk melihat kembali identifikasi bahaya,


checklist, histori laporan kecelakaan dan cidera.
b) Walk Through Inspection, yaitu melakukan peninjauan lapangan untuk melihat
Unsafe Act dan Unsafe Condition baik dari segi pekerja, peralatan maupun
lingkungan yang berpotensi menimbulkan bahaya.
c) Reporting, yaitu pencatatan dan pelaporan temuan kondisi, tindakan, yang tidak
sesuai dengan standar K3 serta melakukan rencana tindakan perbaikan.

Efek dari dilaksanakannya Safety Inspection yaitu: terwujudnya pemenuhan terhadap


peraturan dan standar K3 di perusahaan sehingga diharapkan mampu meningkatkan
produktivitas kerja serta kualitas pelaksanaan K3 dengan memperhatikan aspek keselamatan
dan kesehatan di lingkungan kerja.

5. Safety Investigasi
Kecelakaan kerja merupakan suatu kejadian yang tidak diinginkan yang dapat berakibat
cidera, gangguan kesehatan hingga kemaitan pada manusia, kerusaan property, gangguan
terhadap pekerjaan ( kelancaran terhadap proses produksi ) atau pencemaran. Investigasi
kecelakaan kerja harus dilaksanakan oleh personel atau team investigasi yang kompeten
untuk melaksanakan tugas tersebut. Oleh karena itu,investigator kecelakaan kerja harus
mendapat pelatihan tentang prosedut inversigasi kecelakaan kerja, teknik investigasi
kecelakaan dan analisis akar penyebab kecelakaan kerja. Tujuan dari dilakukannya infestigasi
yaitu untuk mendapat kronologi kecelakaan yang benar dan menetapkan kritikal faktor, untuk
menentukan akar penyebab kejadian kecelakaan kerja, dan menetapka rekomendasi tindakan
perbaikan.

4.4. Pengawasan Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Pengawasan Kesehatan Kerja adalah serangkaian kegiatan pengawasan dari semua tindakan
yang dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan atas pemenuhan pelaksanaan
peraturan perundang-undangan atas objek pengawasan kesehatan kerja. Kesehatan Kerja
menurut Joint ILO/WHO committee tahun 1995 adalah promosi dan pemeliharaan derajat
yang setinggi-tingginya dari kesehatan fisik, mental dan social dari pekerja pada semua
pekerjaan; pencegahan gangguan kesehatan pada pekerja yang disebabkan oleh kondisi
kerjanya, perlindungan pekerja dari resiko akibat faktor-faktor yang mengganggu kesehatan,
penempatan dan pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang sesuai dengan
kemampuan fisik dan psikologisnya, dan sebagai kesimpulan, penyesuaian pekerjaan kepada
manusia dan setiap manusia kepada pekerjaannya.
Objek pengawasan kesehatan kerja meliputi :
1. Pelayanan kesehatan kerja : sarana, tenaga dan organisasi
Materi Pelayanan Kesehatan Kerja (PKK)
a. Peraturan yang terkait; Permenaker No.Per. 03/Men/1982, tentang pelayanan kesehatan
kerja dan harus dilaporkan sesuai dengan Keputusan Dirjen Binawas
No.Kep.157/M/BW/1989, tentang tata cara dan bentuk laporan penyelenggaraan pelayanan
kesehatan kerja.
b. Pengertian Pelayanan kesehatan kerja adalah usaha kesehatan yang dilakukan untuk tenaga
kerja
c. Tugas Pokok PKK, antara lain;
– Melakukan pemeriksaan kesehatan kepada tenaga kerja yang meliputi pemeriksaan awal,
berkala, khusus dan pension
– Melakukan pembinaan dan pengawasan
– Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja
– Melakukan P3K
– Memberikan laporan berkala tentang pelayanan kesehatan kerja kepada pengurus
(pimpinan perusahaan)
d. Tata Cara penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja, antara lain;
– Diselenggarakan oleh pengurus
– Dapat berupa poliklinik gabungan antara beberapa perusahaan dalam satu kawasan dengan
menunjuk dokter perusahaan.
e. Tenaga, Organisasi dan Sarana
– Tenaga dilakukan oleh Dokter Perusahaan
– Harus disahkan oleh Disnaker
– Sarana meliputi; ruang tunggu, ruang periksa, kamar obat, ruang pengobatan, WC,
peralatan Bantu diagnosa.
2. Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja
a. Peraturan perundangan
a. Undang-undang no.1 tahun 1970 pasal 8
b. Permenakertrans No.Per.02/Men/1980
c. Permenakertrans No.Per.03/Men/1982
b. Tujuan Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja
a. Dilakukan pada awal, berkala, khusus dan pensiun
b. Dilakukan untuk memenuhi 2 kebutuhan, yaitu;
– Untuk mendiagnosa dan memberikan terapi
– Mengadakan pencegahan dan mendiagnosa penyakit
c. Teknis Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja,yaitu;
– Pelaksanaan Pemeriksaan Kesehatan Kerja awal
– Anamnesa (interview) khusus untuk penyakit; alergi, epilepsy, jantung dll
– Pemeriksaan klinis, meliputi; mental, fisik, laboratorium
– Hasil pemeriksaan kesehatan tenaga kerja awal, meliputi; sehat atau menderita sakit
3. P3K, Personil, kotak P3K, isi kotak P3K
P3K adalah merupakan pertolongan pertama yang harus segera diberikan kepada tenaga kerja
yang mengalami kecelakaan sebelum dibawa ke Rumah sakit. Tujuan P3K adalah
menyelamatkan nyawa korban, meringankan penderitaan, mencegah cedera lebih parah dll.
Kondisi normal manusia dapat diketahui melalui pernafasan dan denyut nadi.
1. Prinsip dasar tindakan P3K
– Gangguan umum
– Gangguan local
– Gangguan sirkulasi
– Gangguan pernafasa
– Perdarahan
– Patah tulang
– Luka bakar
– Keracunan bahan kimia
4. Gizi kerja, kantin/catering pengelola makanan bagi tenaga kerja
Gizi adalah kesehatan seseorang yang dihubungkan dengan makanan yang dikomsumsinya
sehari-hari. Gizi kerja adalah penyediaan dan pemberian masukan zat gizi kepada tenaga
kerja sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan semala berada di tempat kerja guna
mendapatkan tingkat kebutuhan dan produktivitas kerja setinggi-tingginya.
1. Spesifikasi zat gizi,meliputi;
– Hidrat arang
– Lemak
– Protein
– Vitamin
– Mineral
– Air
2. Kebutuhan zat gizi
Kebutuhan gizi seseorang berbeda berdasarkan factor-faktor antara lain;
– Ukuran tubuh
– Usia
– Jenis Kelamin
– Kondisi tubuh
– Iklim dan kondisi lingkungan
– Tingkat aktivitas
5. Ergonomi
Adalah sebagai ilmu serta penerapannya yang berusaha untuk menyerasikan pekerjaan dan
lingkungan terhadap orang atau sebaliknya dengan tujuan tercapainya produktivitas dan
efisiensi yang setinggi-tingginya melalui pemanfaatan manusia secara optimal. Berasal dari
bahasa yunani,yaitu Ergon (kerja) dan nomos (aturan atau hukum). Lebih jelas lagi
ergonomic didefinisikan sebagai penerapan ilmu biologi manusia sejalan dengan ilmu
rekayasa untuk mencapai penyesuaian bersama antara pekerjaan dan manusia secara
optimum, dengan tujuan agar bermanfaat demi efisiensi dan kesejahteraan
1. Ruang lingkup
a. Prinsip ergonomi
– Antropometri dan sikap tubuh dalam bekerja
– Efisiensi kerja
– Organisasi kerja dan desain kerja
– Faktor manusia dalam ergonomi
b. Beban Kerj
– Mengangkat dan mengangkut
– Kelelahan
– Pengendalian lingkungan kerja
c. Penerapan ergonomi
– Antropometri
– Sikap tubuh dalam bekerja
– Sikap kerja duduk
– Tempat duduk
– Meja kerja
– Luas pandangan
– Peningkatan efisiensi kerja
– Pengorganisasian kerja dan desain tempat kerja
– Faktor manusia dalam ergonomic

4.6. Panitia Pembinaan K3 atau P2K3

Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) merupakan badan pembantu di
tempat kerja yang merupakan wadah kerjasama antara pengusaha dan pekerja untuk
mengembangkan kerjasama saling pengertian dan partisipasi efektif dalam penerapan
keselamatan dan kesehatan kerja.

P2K3 sebagai wadah forum rembuk K3 dapat membawa pengurus dan perwakilan tenaga
kerja bersama-sama untuk mempertimbangkan isu-isu umum K3 di tempat kerja secara luas,
merencanakan, melaksanakan dan memantau program-program K3 yang telah dibuat.

Gambar 4.6.1. Struktur P2K3

1. P2K3 mempunyai tugas memberikan saran dan pertimbangan baik diminta maupun tidak
kepada pengusaha atau pengurus mengenai masalah keselamatan dan kesehatan kerja.
2. Untuk melaksanakan tugas, P2K3 mempunyai fungsi:

a. Menghimpun dan mengolah data tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di


tempat kerja;
b. Membantu menunjukan dan menjelaskan kepada setiap tenaga kerja
c. Membantu pimpinan perusahaan menyusun kebijaksanaan manajemen dan pedoman
kerja dalam rangka upaya meningkatkan keselamatan kerja, higene perusahaan,
kesehatan kerja, ergonomi dan gizi tenaga kerja.
Permenaker No. PER-04/MEN/1987 tentang P2K3 serta Tata Cara Penunjukan Ahli
Keselamatan Kerja Pasal 2, mensyaratkan bahwa setiap tempat kerja dengan kriteria tertentu
pengusaha atau pengurus WAJIB membentuk P2K3. Kriteria tempat kerja dimaksud ialah:
a) Tempat kerja dimana pengusaha atau pengurus mempekerjakan 100 orang atau lebih;
b) Tempat kerja dimana pengusaha atau pengurus mempekerjakan kurang dari 100
orang, akan tetapi menggunakan bahan, proses dan instalasi yang mempunyai resiko
yang besar akan terjadinya peledakan, kebakaran, keracunan dan penyinaran
radioaktif.
Berdasarkan Pasal 3, Permenaker No. PER-04/MEN/1987 tentang P2K3 serta Tata Cara
Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja dinyatakan bahwa:
1)   Keanggotaan P2K3 terdiri dari unsur pengusahan dan pekerja yang susunannya
terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Anggota
2)    Sekretaris P2K3 ialah Ahli Keselamatan Kerja dari perusahaan yang
bersangkutan
3)    Ketua P2K3, diupayakan dijabat oleh pimpinan perusahaan atau salah satu
pengurus perusahaan
Agar organisasi P2K3 dapat berjalan dengan baik, maka susunan anggota
sekurang-kurangnya separuhnya adalah dari perwakilan pekerja.
BAB 5. Higien Perusahaan dan Kesehatan Kerja

5.1. Peraturan Terkait


Higiene industri merupakan satu ilmu dan seni yang mempelajari bagaimana melakukan
antisipasi, rekognisi, evaluasi dan pengendalian terhadap faktor-faktor lingkungan yang
muncul di tempat kerja yang dapat menyebabkan pekerja sakit, mengalami gangguan
kesehatan dan rasa ketidaknyamanan baik diantara para pekerja maupun penduduk dalam
suatu komunitas. Higiene industri dan kesehatan kerja sebagai suatu kesatuan upaya dengan
tujuan mewujudakan sumber daya manusia yang sehat dan produktif dapat diterjemahkan
dalam bahasa asing sebagai Industrial Hygiene and Occupational Health, yang cendrung
diartikan sebagai lapangan kesehatan yang mengurusi problematika kesehatan kerja secara
menyeluruh.
Konsep dalam higiene industri adalah bagaimana membatasi paparan hazard yang diterima
pekerja di tempat kerja. Pembatasan dilakukan melalui proses antisipasi, rekognisi, evaluasi
dan pengendalian paparan hazard yang ada di tempat kerja. Pendekatannya melalui usaha
preventive untuk melindungi kesehatan pekerja dan mencegah timbulnya efek yang
ditimbulkan oleh bahaya (hazard).

5.2. Dasar Hukum


a. ILO No. 112 tahun 1959
Tujuan pelayanan kesehatan kerja didasarkan pada rekomendasi ILO No. 112 (1959) yang
didukung oleh Masyarakat ekonomi eropa (1962) dan Majelis eropa (1972). Tujuan itu
didukung pula oleh konvensi ILO 161 dan rekomendasi No. 171 (1985). Tujuan itu adalah
sebagai berikut:
 Melindungi pekerja dari bahaya kesehatan ditempat kerja.
 Menyesuaikan pekerjaan agar serasi dengan status kesehatan pekerja.
 Menyumbang pembangunan dan pemeliharaan kesejahteraan fisik dan mental yang
setinggi-tingginya ditempat kerja.
b. UU No. 2 Tahun 1966
Undang-undang ini mencantumkan usaha di bidang higiene dan pelaksanaan usaha higiene
industri. Intisari dari ketentuan undang-undang ini adalah rakyat harus mengerti dan sadar
akan pentingnya keadaan yang sehat, baik kesehatan pribadi, maupun kesehatan masyarakat.
c. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/Menkes/Sk/Xi/2002
Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri.
5.3. Tujuan Higiene Industri
a. Sebagai alat untuk mencapai derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggitingginya, baik
buruh, petani, nelayan, pegawai negeri, atau pekerja-pekerja bebas, dengan demikian
dimaksudkan untuk kesejahteraan tenaga kerja.
b. Sebagai alat untuk meningkatkan produksi, yang berlandaskan kepada meningginya
efisiensi dan daya produktivitas faktor manusia dalam produksi. Oleh karena hakikat tersebut
selalu sesuai dengan maksud dan tujuan pembangunan didalam suatu negara, maka higiene
industri dan kesehatan kerja selalu harus diikut sertakan dalam pembangunan.
5.4. Manfaat Higiene Industri
Beberapa manfaat dari penerapan higiene industri, yaitu :
a. Mencegahan dan memberantaskan penyakit dan kecelakaan akibat kerja.
b. Dapat memelihara dan meningkatan kesehatan tenaga kerja.
c. Dapat meningkatan efisiensi dan daya produktifitas manusia.
d. Memeliharaan dan meningkatan higiene dan sanitasi perusahaan pada umumnya seperti
kebersihan ruangan-ruangan, cara pembuangan sampah, atau sisa-sisa pengolahan dan
sebagainya.
e. Memberikan perlindungan masyarakat luas (konsumen) dari bahayabahaya yang mungkin
di timbulkan oleh hasil-hasil produksi perusahaan.

5.5. Rekognisi, Antisipasi, Evaluasi, Kontrol Sumber Bahaya


Rekognisi Sumber Bahaya
Rekognisi adalah suatu kegiatan mengindentifikasi dan mengukur bahaya untuk mengetahui
tingkat konsentrasi, jenis, kandungan dan sifat dari bahaya tersebut. Contoh : merekognisi
bahaya bisa dilakukan dengan metode job safety analysis, HIRA, Preliminary Hazard
Analysis dll. Dengan metode ini kita bisa melihat sebuah proses kerja dan menganalisi
seberapa besar tingkat bahaya yang ditimbulkan dari pekerjaan tersebut secara detail.
Bahaya-bahaya (hazard) yang terkait dalam isu higiene industri diantaranya :
a. Faktor fisik
Faktor fisik yang meliputi keadaan fisik seperti bangunan gedung atau volume udara, atau
luas lantai kerja maupun hal-hal yang bersiat fisik seperti penerangan, suhu udara,
kelembabab udara, tekanan udara, kecepatan aliran udara, kebisingan, vibrasi mekanis,
radiasi gelombang elektromagnetis. Studi kasus faktor fisik :
 Ventilasi. Misalnya pada home industri ini, ventilasi yang ada sudah masuk dalam
kategori cukup. Home industry sudah mengantisipasi tingkat bahaya yang lebih dengan
memasang ventilasi lebar. Namun demikian karena panas yang dihasilkan oleh proses
produksi terlalu tinggi berupa uap, sehingga suhu dalam ruangan tersebut masih terasa panas,
hal ini dapat membahayakan pekerja.
 Kebisingan. Misalnya pada home industry kebisingan pada tempat kerja tersebut mencapai
59 dB. Salah satu sumber kebisingan adalah mesin penggiling kacang kedelai. Sejak berdiri,
pabrik ini menggunakan mesin penggilingan kacang kedelai yang berbahan bakar solar.
Namun, sejak tahun 2016, mereka sudah mulai menggunakan dynamo sebagai sumber
penyalaan mesin penggiling kacang kedelai.
 Getaran. Misalnya pada home industri ini tidak ada getaran. Karena pemilik sudah
mengantisipasinya dengan memasang alat pereda getar (spon yang di pasang dibawah mesin
penggilingan ). Sehingga getaran hanya terjadi disekitar mesin penggilingan padi. Itupun
tidak langsung berhubungan langsung dengan para pekerja. Pabrik hanya menggunakan 1
mesin yang diletakkan diatas dan jauh dari aktivitas kebanyakan pekerja.
b. Faktor kimiawi. Factor kimiawi yaitu semua zat kimia anorganis dan organis
yang mungkin wujud fisiknya merupakan salah satu atau lebih dalam bentuk gas, uap, debu,
kabut, fume (uap logam), asap, cairan, dan atau zat padat.
c. Faktor biologi. Bahaya biologi disebabkan oleh organisme hidup atau sifat
organisme yang dapat memberikan efek/dampak kesehatan yang terhadap manusia (agen
yang menginfeksi).
d. Faktor ergonomic. Ergonomi adalah praktek dalam mendesain peralatan dan
rincian pekerjaan sesuai dengan kapabilitas pekerja dengan tujuan untuk mencegah cidera
pada pekerja (OSHA, 2000).

Antisipasi Sumber Bahaya


Antisipasi adalah memprediksi potensi bahaya dan risiko yang ada ditempat kerja. Contoh :
Antisipasi bahaya pada perusahaan yang bergerak di bidang oil dan gas, sebelum memasuki
area tersebut pekerja dapat harus memprediksi bahaya yang ada diperusahaan tersebut,
pekerja dapat melihat daftar bahaya yang ada diperusahaan seperti bahaya :
a) Berdasarkan lokasi atau unit
b) Berdasarkan kelompok pekerja
c) Berdasarkan jenis potensi bahaya
d) Berdasarkan tahapan proses produksi.

Evaluasi Sumber Bahaya


Evaluasi adalah suatu kegiatan sampling dan mengukur bahaya dengan metode yang lebih
spesifik. contohnya : mengukur kebisingan dengan sound level meter, pengukuran kadar
debu/partikel dengan menggunakan digital dust indikator, melakukan pengukuran
pencahayaan dengan menggunakan Lux Meter dan sebagainya, hasil dari pengukuran ini
dibandingan dengan peraturan pemerintah yang berlaku, apakah melibihi nilai ambang batas
atau tidak.

Kontrol Sumber Bahaya


Dari hasil evaluasi kemudian bisa dilakukan pengendalian jika terdapat hasil pengukuran
yang melebihi ambang batas, contohnya pengendalian menggunakan metode hirarki
pengendalian atau piramida terbalik yaitu :
a. Eliminasi Eliminasi adalah menghilangkan bahaya misalnya, bahaya jatuh, bahaya
ergonomi, bahaya ruang terbatas, bahaya bising, bahaya kimia.
b. Subtitusi Mengganti bahan, proses, operasi ataupun peralatan dari yang berbahaya menjadi
lebih tidak berbahaya, contohnya mengganti suatu bahan yang berbahaya dengan yang tidak
berhaya tetapi dengan fungsi yang sama.
c. Engineering control Suatu langkah memodifikasi bahaya, baik memodifikasi lingkungan
kerja, ataupun memodifikasi alat-alat kerja. Meliputi cara pengendalian bahaya baik
berdasarkan spesifikasi saat menentukan desain awal.
d. Administrasi control Mengatur interaksi antara pekerja dengan alat-alat atau lingkungan
kerja, mengatur shift kerja, mengurangi waktu para pekerja di area yang mengandung bahaya
tinggi dan memberikan kemampuan pekerja untuk mengenali bahaya supaya dapat bekerja
dengan aman.
e. APD ( Alat Pelindung Diri ) Langkah terakhir yang digunakan bila memang cara-cara
diatas tidak bisa dilakukan adalah dengan memakai APD (alat pelindung diri) seperti Topi
keselamatan (Helmet), kacamata keselamatan, Masker, Sarung tangan, earplug, Pakaian
(Uniform) dan Sepatu Keselamatan. Pengendalian ini merupakan pegendalian terakhir pada
hirarki pengendalian bahaya. APD digunakan oleh pekerja untuk melindungi pekerja dari
bahaya (hazard) yang terdapat di lingkungan kerja.
BAB 6. Keselamatan Kerja Bidang Kebakaran.
6.1. Pengertian Kebakaran
Kebakaran merupakan kejadian yang muncul dari adanya api yang tidak terkontrol yang
disebabkan oleh konsleting listrik, rokok, dan bahan kimia. Pedoman Segitiga Api
menjelaskan tentang munculnya api memerlukan 3 komponen yakni bahan yang mudah
terbakar, oksigen dan panas. Kebakaran bisa terjadi dimana dan kapan saja ketika ada bahan
yang mudah terbakar dan sumber kebakaran. Terdapat dua macam sistem perlindungan
bangunan terhadap bencana kebakaran yakni sistem proteksi aktif dan pasif. Kebakaran
terjadi karena api kecil yang tidak segera dipadamkan. Untuk menimbulkan api harus ada 3
unsur yang saling berhubungan, yaitu oksigen, bahan yang dapat terbakar (bahan bakar), dan
peningkatan suhu adalah teori api. Ketiga unsur tersebut disebut dengan istilah ‘Segitiga
Api’. Jika ketiga unsur tersebut masih ada maka kebakaran tidak akan padam.

Gambar 6.1.1 Segitiga Api

a. Bahan Bakar (yang harus menjadi / berbentuk uap) Bahan bakar dapat berupa padat, cair
dan gas. Bahan bakar yang dapat terbakar yang bercampur dengan oksigen dari udara .
b. Oksigen (yang cukup untuk menentukan titik penyalaan) Oksigen merupakan kebutuhan
dasar yang mutlak diperlukan oleh makhluk hidup, kendaraan bermotor, maupun industri.
Sumber oksigen adalah dari udara, dimana dibutuhkan paling sedikit sekitar 15% volume
oksigen dalam udara agar terjadi pembakaran. Tanpa adanya oksigen maka proses kebakaran
pun tidak dapat terjadi.
c. Panas Sumber panas diperlukan untuk mencapai suhu penyalaan sehingga dapat
mendukung terjadinya kebakaran. Sumber panas antara lain: panas matahari, permukaan
yang panas, nyala terbuka, gesekan, reaksi kimia eksotermis, energi listrik, dan percikan api
listrik, api las / potong.

6.2. Klasifikasi Kebakaran


Pengelompokkan kebakaran menurut peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor 04/MEN/1980 Bab I Pasal 2, ayat 1 mengkalisikasikan kebakaran menjadi 4 yaitu
katagori A,B,C,D. Sedangkan National Fire Protection Association (NFPA) menetapkan 5
katagori jenis penyebab kebakaran, yaitu kelas A, B, C, D dan K. Bahkan beberapa Negara
menetapkan tambahan klasikasi dengan kelas E.
a. Kebakaran Klas A
Adalah kebakaran yang menyangkut benda-benda padat kecuali logam. Contoh : Kebakaran
kayu, kertas, kain, plastik, dsb.
Alat/media pemadam yang tepat untuk memadamkan kebakaran klas ini adalah dengan :
pasir, tanah/lumpur, tepung pemadam, foam (busa) dan air .
b. Kebakaran Klas B
Kebakaran bahan bakar cair atau gas yang mudah terbakar. Contoh : Kerosine, solar,
premium (bensin), LPG/LNG, minyak goreng. Alat pemadam yang dapat dipergunakan pada
kebakaran tersebut adalah Tepung pemadam (dry powder), busa (foam), air dalam bentuk
spray/kabut yang halus.
c. Kebakaran Klas C
Kebakaran instalasi listrik bertegangan. Seperti : Breaker listrik dan alat rumah tangga
lainnya yang menggunakan listrik. Alat Pemadam yang dipergunakan adalah :
Carbondioxyda (CO2), tepung kering (dry chemical). Dalam pemadaman ini dilarang
menggunakan media air.
d. Kebakaran Klas D
Kebakaran pada benda-benda logam padat seperti : magnesum, alumunium, natrium, kalium.
Alat pemadam yang dipergunakan adalah : pasir halus dan kering, dry powder khusus.
e. Kebakaran Klas K
kebakaran yang disebabkan oleh bahan akibat konsentrasi lemak yang tinggi. Kebakaran
jenis ini banyak terjadi di dapur. Api yang timbul didapur dapat dikategorikan pada api Klas
B.
f. Kebakaran kelas E
Kebakaran yang disebabkan oleh adanya hubungan arus pendek pada peralatan elektronik.
Alat pemadam yang bisa digunakan untuk memadamkan kebakaran jenis ini dapat juga
menggunakan tepung kimia kering (dry powder), akan tetapi memiliki resiko kerusakan
peralatan elektronik, karena dry powder mempunyai sifat lengket. Lebih cocok menggunakan
pemadam api berbahan clean agent.
6.3. Faktor Terjadinya Kebakaran
a. Faktor Manusia
Kelalaian, kecerobohan, kurang hati-hati dan kurang waspada terhadap aturan
pemakai/konsumen energi listrik merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya
kebakaran listrik .
b. Faktor Teknis
Kebakaran dapat terjadi karena faktor teknis. Faktor teknis meliputi proses kimia, tenaga
listrik, dan fisik/ mekanis .
c. Faktor Alam
Kebakaran dapat terjadi secara alami antara lain disebabkan oleh petir, letusan gunung
berapi, batu bara yang terbakar . Curah hujan juga merupakan faktor alam yang dapat
mempengaruhi peristiwa kebakaran.

6.4. Pemadam Kebakaran


Teknik pemadaman kebakaran adalah suatu teknik menghentikan reaksi pembakaran
nyala api. Memadamkan kebakaran dapat dilakukan dengan prinsip menghilangkan salah
satu atau beberapa unsur dalam proses nyala api . Pembakaran yang menghasilkan nyala api
bisa dipadamkan dengan menurunkan temperatur (cooling), dilusi, isolasi oksigen
( smoothering ) , menghilangkan atau memindahkan bahan bakar (starvation), dan
memutuskan reaksi rantai kimia (break chain reaction . Teknik pemadaman dilakukan dengan
media yang sesuai dengan prinsip-prinsip pemadaman tersebut.
Adapun metode pemadam kebakaran adalah sebagai berikut :
1. Pendinginan (Cooling)
Metode pemadaman kebakaran yang paling umum adalah pendinginan dengan air. Proses
pemadaman ini tergantung pada turunnya temperatur bahan bakar sampai ke titik dimana
bahan bakar tersebut tidak dapat menghasilkan uap gas untuk pembakaran. Bahan bakar
padat dan bahan bakar cair dengan titik nyala (fire point) tinggi bisa dipadukan
dengan mendinginkannya. Kebakaran yang melibatkan cairan dan gas-gas yang mudah
menyala yang rlah titik nyalanya tidak dapat dipadamkan dengan mendinatannya dengan air
karena produksi uap tidak dapat cukup dikurangi Penurunan temperatur beruntung pada
penyemprotan aliran yang cukup dalam bentuk yang benar gar dapat membangkitkan 
keseimbangan panas negatif.
2. Isolasi Oksigen (Smothering / Isolation)
Menutupi permukaan benda yang terbakar dengan serbuk atau busa untuk memutuskan
kontak dengan oksigen. Dapat juga dengan menutupi dengan fire blanket atau karung basah.
3. Mengambil / Memindahkan Bahan Bakar (Starvation)
Pemindahan bahan bakar ini tidak selalu dapat dilakukan karena dalam prakteknya mungkin
sulit. sebagai contoh: memindahkan bahan bakar, yaitu dengan menutup membuka kerangan,
memompa minyak ke tempat lain memindahkan bahan-bahan yang mudah terbakar dan lain
lain.
4. Memecahkan Rantai Reaksi Kimia (Breaking Chain Reaction)
Metode pemutusan rantai reaksi adalah dengan menggunakan bahan tertentu untuk mengikat
radikal bebas pemicu rantai reaksi api. Metode ini menggunakan bahan dasar Halon. Akan
tetapi saat ini penggunaan Halon sedang dibatasi karena dapat menimbulkan efek rumah
kaca.
5. Dilusi / Pembatasan Oksigen (Dilution)
Metode dilusi adalah metode memadamkan api kebakaran dengan cara meniupkan inert
gas untuk menghalangi unsur gas Oksigen  menyalakan api. Media yang digunakan pada
metode ini adalah gas CO2.
APAR adalah alat yang ringan serta mudah dilayani oleh satu orang untuk memadamkan api
pada awal terjadinya kebakaran. Tabung APAR harus diisi ulang sesuai dengan jenis dan
konstruksinya. Jenis APAR meliputi : jenis air (water), busa (foam), serbuk kering (dry
chemical) gas halon dan gas CO2, yang berfungsi untuk menyelimuti benda terbakar dari
oksigen di sekitar bahan terbakar sehingga suplai oksigen terhenti. Zat keluar dari tabung
karena dorongan gas bertekanan.

Gambar 6.5.1 Bagian Bagian APAR

6.6. Pencegahan dan Penanggulangan Terjadinya Kebakaran


Pencegahan dan penanggulangan serta penyelamatan diri dari bencana kebakaran
adalahperistiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
danpenghidupan masyarakat yang disebabkan oleh kelalaian manusia maupun faktor lain,
sehinggamengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda sertadampak psikologis.
1. Pencegahan
Langkah-langkah yang perlu diantisipasi guna mencegah terjadinya bencana
kebakaransebagai berikut :
a. Pastikan bahwa instalasi listrik aman;
b. Hindari pembebanan yang berlebihan pada satu stop kontak akan menyebabkan
kabelpanas dan bisa memicu kebakaran, ini biasanya dilakukan dengan penumpukan
beberapastop kontak atau sambungan “T” pada satu titik sumber listrik;
c. Pergunakan pemutus arus listrik (kontak tusuk) dalam keadaan baik;
d. Apabila ada kabel listrik yang terkelupas atau terbuka, harus segera diperbaiki,
karenabisa menyebabkan hubungan pendek;
e. Jangan sekali-kali mencantol listrik, karena Anda tidak memiliki system pengaman
yangsesuai, PLN biasanya sudah memperhitungkan distribusi beban listrik, apabila
ada bebanberlebih akan mengganggu jaringan listrik yang ada.
2. Penanggulangan
a. Sediakan alat pemadam kebakaran di kantor Anda.
b. Panggil pemadam kebakaran apabila masih sempat. Pasang nomor penting dekat
teleponatau program telepon untuk nomor-nomor penting. Ingat bahwa mereka
tidak akan datingdalam waktu singkat, kemungkinan api telah berkobar lebih
besar.
c. Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana kebakaran :
 Cepat dan tepat
 Prioritas
 Koordinasi dan keterpaduan
d. Tujuan penganggulangan bencana :
 Memberikan perlindungan kepada pegawai dari ancaman bencana
 Menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada

BAB 7. Keselamatan Kerja Bidang Transportasi dan Lalu Lintas


7.1. Pengertian Keselamatan Lalu Lintas
Keselamatan lalu lintas merupakan suatu program untuk menurunkan angka kecelakaan
beserta seluruh akibatnya, karena kecelakaan mengakibatkan kemiskinan bagi keluarga
korban kecelakaan. Keselamatan lalu lintas bertujuan untuk menurunkan korban kecelakaan
lalu-lintas di jalan. Jumlah korban kecelakaan lalu lintas jauh lebih tinggi dari
kecelakaan transportasi laut, kereta api dan udara.
Secara umum keselamatan berlalu lintas sangat di tentukan oleh 3 hal yakni pengendara
kendaraan bermotor, kendaraan yang di pakai, kondisi jalan dan lingkungan sekitar jalan. Hal
yang sama jugadi kemukakan oleh Road and Transport Authority NSW (2006), bahwa
komponen keselamatan di jalan adalah pengguna jalan atau faktor perilaku berkendara, faktor
kendaraan, faktor jalan dan lingkungan sekitar jalan Keselamatan berlalu lintas.
Kemungkinan terjadi kecelakaan sangat di pengaruhi oleh tingkat faktor resiko yang terkait
dengan unsur unsur sistem lalu lintas seperti: infrastruktur dan perangkat kontrol lalulintas;
kendaraan dan faktor pengguna jalan faktor kendaraan (Elvik, 2009) Faktor faktor ini
meningkatkan terjadi kecelakaan, tetapi tidak semua faktor di anggap sebagai penyebab
kecelakaan.

7.2. Program Keselamatan Lalu Lintas

Program keselamatan merupakan perioritas utama dalam pengembangan sistem transportasi


sehingga perlu ditangani dengan sebaik-baiknya sehingga setiap program yang dibuat oleh
pemerintah merupakan bagian dari penurunan angka kecelakaan lalu lintas. Oleh karena itu
program keselamatan lalu lintas diarahkan kepada beberapa langkah sebagai berikut:

1. Pengembangan sistem pangkalan data kecelakaan lalu lintas yang mudah diakses oleh
instansi pemerintah, akademisi atau pun masyarakat sebagai masukan dalam
mempersiapkan langkah peningkatan keselamatan lalu lintas.
2. Melakukan koordinasi antar instansi dalam rangka meningkatkan keselamatan lalu
lintas
3. Menciptakan suatu sumber pendanaan keselamatan lalu lintas yang
berkesinambungan
4. Merencanakan dan merekayasa langkah-langkah untuk meningkatkan keselamatan
lalu lintas
5. Melakukan perbaikan terhadap lokasi-lokasi rawan kecelakaan
6. Ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan pendidikan keselamatan bagi anak sekolah
7. Meningkatkan kualitas pengemudi
8. Melakukan program penyuluhan keselamatan
9. Meningkatkan standar keselamatan kendaraan
10. Penyempurnaan peraturan perundangan lalu lintas dan angkutan jalan
11. Peningkatan pelaksanaan penegakan hukum
12. Pengembangan sistem pertolongan pertama pada kecelakaan
13. Pengembangan penelitian keselamatan jalan

7.3. Tahapan Program Keselamatan Lalu Lintas


1. Tahap 1
Membangkitkan kepedulian, hal ini merupakan salah satu permasalahan yang cukup
memprihatinkan di Indonesia sehingga perlu perhatian yang tinggi untuk meningkatkan
kepedulian masyarakat terhadap pentingnya keselamatan dalam berlalu lintas yang dapat
dilakukan melalui menyebar luaskan dampak kecelakaan, angka kecelakaan kepada para
pengambil keputusan untuk menggugah mereka seperti Dewan Perwakilan Rakyat baik nasional
maupun tingkat daerah, Pejabat Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Langkah lain
yang perlu dilakukan pada tahapan ini adalah identifikasi dari permasalahan keselamatan lalu
lintas termasuk meninjau kembali program keselamatan yang telah dan sedang dilaksanakan.
2. Tahap 2
Rencana aksi prioritas, setelah mengenali permasalahan yang ditemukan dalam tahap 1 maka
langkah selanjutnya adalah merumuskan program perioritas yang perlu segera dilaksanakan,
apakah merumuskan kembali peraturan perundangan untuk meningkatkan keselamatan,
menyempurnakan organisasi yang menangani permasalahan kecelakaan dan perumusan
program keselamatan disertai dengan langkah untuk melakukan penertiban terhadap angka
pelanggaran lalu lintas. Hal ini penting mengingat bahwa sebagian besar kecelakaan yang
terjadi didahului oleh pelanggaran ketentuan/aturan lalu lintas.
3. Tahap 3
Program 5 tahun untuk keselamatan jalan, langkah strategis lebih lanjut adalah menyusun
program keselamatan yang lebih makro untuk menurunkan angka kecelakaan secara nyata,
misalnya dengan merubah undang-undang seperti yang telah dilaksanakan dengan telah
terbitnya Undang-undang No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan, yang masih
harus ditindak lanjuti dengan perumusan peraturan pelaksanaannya seperti misalnya peraturan
pelaksanaan yang berkaitan dengan penerapan penegakan hukum elektronik. Langkah lain
yang perlu dilaksanakan dalam program 5 tahun adalah identifikasi dan analisis black spot lokasi
yang rawan kecelakaan dan dilanjutkan audit keselamatan, untuk kemudian dilakukan langkah
perbaikan.

7.3. Keselamatan Lalu Lintas


Program 5 tahun untuk keselamatan jalan, langkah strategis lebih lanjut adalah menyusun
program keselamatan yang lebih makro untuk menurunkan angka kecelakaan secara nyata,
misalnya dengan merubah undang-undang seperti yang telah dilaksanakan dengan telah
terbitnya Undang-undang No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan, yang masih
harus ditindak lanjuti dengan perumusan peraturan pelaksanaannya seperti misalnya peraturan
pelaksanaan yang berkaitan dengan penerapan penegakan hukum elektronik. Langkah lain
yang perlu dilaksanakan dalam program 5 tahun adalah identifikasi dan analisis black spot lokasi
yang rawan kecelakaan dan dilanjutkan audit keselamatan, untuk kemudian dilakukan langkah
perbaikan. Program 5 tahun untuk keselamatan jalan, langkah strategis lebih lanjut adalah
menyusun program keselamatan yang lebih makro untuk menurunkan angka kecelakaan secara
nyata, misalnya dengan merubah undang-undang seperti yang telah dilaksanakan dengan telah
terbitnya Undang-undang No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan, yang masih
harus ditindak lanjuti dengan perumusan peraturan pelaksanaannya seperti misalnya peraturan
pelaksanaan yang berkaitan dengan penerapan penegakan hukum elektronik.
Program 5 tahun untuk keselamatan jalan, langkah strategis lebih lanjut adalah menyusun
program keselamatan yang lebih makro untuk menurunkan angka kecelakaan secara nyata,
misalnya dengan merubah undang-undang seperti yang telah dilaksanakan dengan telah
terbitnya Undang-undang No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan, yang masih
harus ditindak lanjuti dengan perumusan peraturan pelaksanaannya seperti misalnya peraturan
pelaksanaan yang berkaitan dengan penerapan penegakan hukum elektronik. Langkah lain
yang perlu dilaksanakan dalam program 5 tahun adalah identifikasi dan analisis black spot lokasi
yang rawan kecelakaan dan dilanjutkan audit keselamatan, untuk kemudian dilakukan langkah
perbaikan.

7.4. Keselamatan pengguna Jalan


Pejalan kaki adalah istilah dalam transportasi yang digunakan untuk menjelaskan orang yang
berjalan di lintasan pejalan kaki baik dipinggir jalan, trotoar, lintasan khusus bagi pejalan
kaki ataupun menyeberang jalan. Untuk melindungi pejalan kaki dalam berlalu-lintas, pejalan
kaki wajib berjalan pada bagian jalan dan menyeberang pada tempat penyeberangan yang
telah disediakan bagi pejalan kaki. Pejalan kaki adalah setiap orang yang berjalan di ruang
lalu lintas jalan ( UU no.22 th. 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan jalan ). Karena
aktivitasnya bergerak, maka pejalan kaki dianggap bagian dari pergarakan lalu lintas. Untuk
menjamin keselamatan pejalan kaki, maka diatur hak dan kewajibannya dalam berlalu lintas,
serta berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung.

Untuk melindungi pejalan kaki dalam berlalu-lintas, pejalan kaki wajib berjalan pada bagian
jalan dan menyeberang pada tempat penyeberangan yang telah disediakan bagi pejalan kaki.
Pejalan kaki adalah setiap orang yang berjalan di ruang lalu lintas jalan ( UU no. 22 th. 2009
tentang Lalu lintas dan Angkutan jalan ).
BAB 8. Keselamatan Kerja Bidang Alat Mekanik dan Mesin.
8.1. Pengertian Pengawasan K3 Mekanik
K3 mekanik adalah serangkaian kegiatan pengawasan dan semua tindakan yang dilakukan
oleh pengawas ketenagakerjaan atas pemenuhan pelaksanaan peraturan perundang-undangan
terhadap objek pengawasan K3 mekanik ditempat kerja.
Beberapa pengertian dalam Pengawasan K3 Mekanik adalah :
 Pengawasan K3 mekanik adalah serangkaian kegiatan pengawasan dan semua
tindakan yang dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan atas pemenuhan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan terhadap obyek pengawasan K3
mekanik di tempat kerja.
 Turbin adalah mesin penggerak dimana energi fluida kerja dipergunakan langsung
untuk memutar roda turbin yang selanjutnya akan menggerakkan generator,
pompa, compressor, baling-baling atau mesin lainnya. Macam-macamnya adalah
turbin air, turbin uap dan turbin gas.
 Mesin perkakas adalah mesin-mesin yang dijalankan dengan peralatan transmisi
tenaga mekanik seperti ban mesin dengan puli atau dengan motor listrik yang
digunakan untuk membuat produk dari logam meliputi mesin pemotongan logam
(mesin bor, mesin gerinda, mesin bubut, mesin potong dll), mesin pembentukan
logam (mesin press, mesin tempa, mesin bengkok dll.)
 Mesin Gerinda adalah mesin yang digunakan untuk memotong logam menjadi
bentuk tertentu dengan menggunakan roda gerinda yang padat
 Mesin Pres (pon) adalah mesin yang digerakkan secara mekanis atau dengan
bantuan kaki dan tangan operator dan digunakan untuk memotong, melubangi,
membentuk atau merangkaikan bahan-bahan logam atau bukan logam dengan
menggunakan stempel-stempel yang dipasang pada batang-batang luncur atau
gisiran-gisiran.
 Tanur /dapur adalah tempat untuk mengolah besi dengan menggunakan suhu
pemanasan yang tinggi untuk mencairkan dan mengolahnya. Terdapat beberapa
macam tanur :
 Tanur tinggi : dapur untuk mengolah bijih besi menjadi besi kasar
 Dapur baja seperti dapur elektro dapur cawan dll adalah dapur untuk mengolah
besi kasar menjadi baja.
 Pondasi mesin adalah bagian mesin yang berfungsi sebagai penyangga mesin yang
berada di atasnya. Sehingga pondasi mesin harus mampu menahan beban dinamis
dan statis dari mesin.
 Pesawat angkat dan angkut adalah mesin yang digunakan untuk mengangkat atau
mengangkut manusia ataupun barang.
 Peralatan angkat terdiri atas:alat dongkrak (roisting machinery), keran angkat
(crane) dan elevator (lift), pita transport, pesawat angkutan di atas landasa dan
permukaan, alat angkutan jalan ril

8.2. Ruang Lingkup Pengawasan K3 Mekanik


1. Perencanaan, pembuatan, pemasangan atau perakitan, penggunaan atau
pengoperasian, dan pemeliharaan pesawat tenaga dan produksi
2. Perencanaan, pembuatan, pemasangan atau perakitan, penggunaan atau
pengoperasian, dan pemeliharaan pesawat angkat dan angkut.
3. Operator yang mengoperasikan peralatan tersebut pada 1 dan 2.

8.3. Dasar Hukum Pengawasan K3 Mekanik


1. Undang-undang No.1 Tahun 1970 tentang kesehatan kerja
2. Permen No.04/Men/1985 tentang pesawat tenaga dan produksi
3. Permen No.05/Men/1985 tentang pesawat angkat dan angkut
4. Permen No.01/Men/1989 tentang kualifikasi dan syarat-syarat operator keran angkat.

8.4. Pencegahan Kecelakaan Kerja Mekanik


Dalam upaya pencegahan kecelakaan hal yang perlu diperhatikan pertama-tama adalah
lingkungan tempat bekerja, manusia yang bekerja dan alat yang digunakan untuk bekerja.
Mengingat masing-masing harus dapat memenuhi persyaratan bekerja dengan aman, baik dan
betul, oleh sebab itu dalam pengelolaan pesawat angkat dan angkut diperlukan seseorang
operator yang mampu dan terampil. Maka, sebelum memasuki daerah kerja, seorang operator
harus sudah tahu cara mengoperasikan dan harus mendapat izin dahulu. Secara sederhana
dapat diungkapkan bahwa untuk menjamin keselamatan atau mencegah kecelakaan kerja
pada pesawat angkat dan angkut maka peralatan pesawat angkat atau angkut dan operatornya
harus sama-sama telah memiliki sertifikat layak dipakai dan layak memakai.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan kaitannya dengan pesawat angkut, yaitu :
1. Tahapan sebelum mengoperasikan crane
2. Sebelum crane beroperasi
3. Selama crane operasi
4. Prosedur pengangkatan beban normal
5. Prosedur pengangkatan beban kritis
6. Pekerjaan berbahaya
7. Keselamatan selama beroperasi
8.5. Syarat Syarat KE Pengawasan Mekanik
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk pengaman mesin yang akan harus dianalisa sesuai
dengan yang telah ditetapkan dalam model Code of Safety Regulations for Industrial
Establishment. Dalam regulasi 82 dari model code ini dijelaskan sebagai berikut :
 Pengaman-pengaman harus direncanakan, dibuat dan dipakai sehingga
memenuhi kebutuhan perlindungan yang positif
 Tidak menggangu keamanan dan ketenangan bagi operator.
 Mencegah pendekatan terhadap semua wilayah berbahaya
 Tidak mengganggu jalannya produksi
 Dapat dipergunakan secara otomatis atau dengan sedikit usaha
 Sesuai untuk pekerjaan dan mesin
 Lebih disenangi dalam bentuk sudah terpasang (built in)
 Tidak mengganggu kebutuhan merawat
 Tahan terhadap pemakaian jangka panjang
 Tahan terhadap pemakaian secara normal dan dalam keadaan shock
 Tahan lama, tahan api dan tahan korosi
 Tidak menimbulkan bahaya
 Melindungi kecerobohan pemakaian yang tidak terduga
BAB 9. Keselamatan Kerja Bidang Perminyakan, Pertambangan dan Perkebunan.
9.1. Keselamatan Bidang Perminyakan
Sektor Migas memegang peranan penting dalam pembangunan baik sebagai sumber devisa
maupun sebagai sumber energi untuk menunjang perekonomian nasional. Disamping
manfaat positif tersebut, kegiatan Minyak dan Gas (Migas) juga mengandung potensi bahaya
dan risiko yang tinggi seperti kebakaran, peledakan, pencemaran lingkungan dan kecelakaan
kerja. Untuk itu, pengelolaan industri Migas harus dilakukan dengan memperioritaskan aspek
keselamatannya. Sejalan dengan hal tersebut, pasal 40 UU Migas No 22 tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi mengamanatkan kepada badan usaha dan atau bentuk usaha tetap,
wajib menjamin standar dan mutu, menerapkan kaidah keteknikan yang baik, keselamatan
dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup, mengutamakan pemanfaatan tenaga
kerja setempat dan produk dalam negeri.
Untuk itu, setiap perusahaan yang bergerak dalam kegiatan Migas wajib menempatkan aspek
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan lingkungan sebagai bagian integral dalam
kegiatan operasinya setara dengan fungsi lainnya seperti produksi, teknik dan keuangan.
Aspek Keselamatan dalam industri Migas Indonesia secara regulasi telah diatur sejak tahun
1930 dengan dikeluarkannya MPR (Mijn Policy Reglement) No 341 sebagai landasan hukum
pengelolaan tambang Migas. Dalam aspek Keselamatan sebagai pelaksanaan UU No1 tahun
1970 tentang Keselamatan Kerja, maka untuk sektor Pertambangan, Pemerintah telah
mengatur melalui PP No 19 tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan
Kerja di Bidang Pertambangan di mana penanganan keselamatan di sektor Migas
dilimpahkan ke Menteri Pertambangan dan Energi baik di hulu maupun di hilir (Bumi, n.d.).

9.2. Keselamatan Bidang Pertambangan


Pertambangan merupakan industri yang berisiko tinggi dengan sejumlah risiko operasional
yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan. Pihak yang paling rentan terhadap
risiko tersebut adalah para pekerja tambang, namun demikian beberapa risiko pertambangan
juga dapat berdampak pada kesehatan dan keselamatan penduduk yang tinggal di sekitar
kawasan tambang. Sebagai contoh, kebakaran tambang dapat membahayakan kesehatan dan
keselamatan para pekerja serta orang-orang yang tinggal di dekat tambang tersebut.
Sebaliknya, peristiwa aliran bawah tanah yang menyebabkan masuknya aliran air ke dalam
kawasan pekerjaan tambang secara tiba-tiba secara umum hanya akan membahayakan
keselamatan para pekerja tambang. Undang-undang kesehatan dan keselamatan kerja (K3)
pertambangan mewajibkan dilakukannya identifikasi atas seluruh risiko bahaya yang dapat
diprediksi tersebut dan mengontrolnya hingga ke tingkat yang dapat diterima (Australian,
2016).
Perkembangan kegiatan pertambangan di Indonesia kini dalam tahap pertumbuhan yang
meningkat. Agar tuntutan tersebut terpenuhi maka diperlukan kondisi operasional kegiatan
pertambangan yang handal, lancar, efisien, dan aman (Yufita, 2009). Sebagai upaya
memperoleh kondisi operasional yang aman memerlukan penerapan sistem kesehatan dan
keselamatan kerja (K3) serta pengelolaan penerapan sistem menejemen kesehatan dan
keselamatan kerja (SMK3). Menurut Depnakertrans RI, Keselamatan dan Kesehatan Kerja
adalah segala daya upaya dan pemikiran yang dilakukan dalam rangka mencegah,
mengurangi, dan menanggulangi terjadinya kecelakaan dan dampaknya melalui langkah-
langkah identifikasi, analisa dan pengendalian bahaya dengan menerapkan sistem
pengendalian bahaya secara tepat dan melaksanakan perundang-undangan tentang
keselamatan dan kesehatan kerja.
Sistem Manajemen Keselamatan Kerja (SMK3) menurut Kepmenaker 05 tahun 1996 adalah
bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi,
perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses, dan sumber daya yang
dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan
kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam pengendalian risiko yang berkaitan dengan
kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif. Sehingga
dengan adanya sistem menejemen kesehatan dan keselamatan kerja (SMK3) maka proses
penerapan Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dalam bidang penambangan dapat berjalan
secara aman, efektif dan efisien (Hamdy, 2016). Tingkat pengetahuan penambang tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja memiliki peranan penting dalam menekan tingkat
kecelakaan kerja.
Menurut hasil penelitian Yuniarti dalam Dewi Indah Siregar (2014) mengatakan pengetahuan
memengaruhi terjadinya kecelakaan kerja. Tingkat pengetahuan mereka akan memengaruhi
bagaimana bertindak dan menindaklanjuti risiko yang terjadi. Kondisi tempat kerja para
penambang dilokasi penambangan menentukan bagaimana keselamatan para pekerja bisa
terjaga dengan baik. Sebagaimana menurut ILO dalam DewiIndah Siregar (2014)
pengetahuan yaitu pemahaman risiko mengenal tipetipe risiko ditempat kerja. Selain itu suatu
hal yang penting adalah sikap para pekerja tambang dalam menyelesaikan tugasnya. Menurut
Kurniawati dalam Dewi Indah Siregar (2014) pekerja yang memiliki sikap negatif lebih
sering mengalami kecelakaan kerja. (Darma, 2018) Melihat pentingnya keselamatan dan
kesehatan kerja dalam sebuah pertambangan maka rasanya perlu kita mengadakan suatu
penelitian yang mampu melihat sejauh mana pengaruh antara pengetahuan penambang,
kondisi tempat kerja dan sikap pekerja tentang keselamatan kesehatan kerja dengan
kecelakaan kerja pada pertambangan emas rakyat di Kabupaten Sijunjung Sehingga nantinya
bisa dilakukan penurunan pada kecelakaan kerja sebagaimana menurut penelitian Yanti
dalam Dewi Indah Siregar (2014) bahwa pengetahuan pekerja yang baik akan mengurangi
kecelakaan kerja. (Darma, 2018).

9.3. Keselamatan Bidang Perkebunan


Penerapan teknologi baru di bidang perkebunan dan bidang perkebunan dan bidang
perkebunan dan pertanian memerlukan adaptasi sekaligus keterampilan. Demikian pula
dengan penggunaan pestisida, seperti indikasi hama, takaran, teknik penyemprotan, dan lain-
lain. Ironisnya teknologi baru ini memiliki potensi bahaya khususnya pada saat kritis
pencampuran. Akibatnya, korban berjatuhan tanpa intervensi program pencegahan dampak
kesehatan yang seyogianya dilakukan Dinas Kesehatan tingkat lokal maupun tingkat
pusat.Perkebunan dapat dianggap sebagai satu masyarakat tertutup, sehingga usaha-usaha
kesehatan pun harus disesuaikan dengan sifat-sifat masyarakat demikian, dalam arti
menyelenggarakan sendiri dan untuk kebutuhan sendiri.
Melihat begitu pentingnya kondisi lingkungan yang ada di kalanganmasyarakat petani maka
diperlukan pembahasan mengenai pentingnya penerapanK3 di sektor bidang perkebunan dan
bidang perkebunan dan pertanian dan perkebunan demi menjaga kondisi para petani dan
jugamasyarakat sekitar. (Suma’mur:2009) Bidang bidang perkebunan dan pertanian telah
menjadi salah satu pekerjaan sektor informal yang banyak dilakukan oleh masyarakat di
Indonesia. Pada setiap pekerjaan dan tempat bekerja selalu memiliki risiko dan bahaya
(hazard) yang dapat mengancam keselamatan tenaga kerjanya. Risiko dan bahaya (hazard)
tersebut dapat terjadi kapan saja, di mana saja dan menimpa siapa saja baik pada sektor
formal maupun informal. Menurut data (International Labour Organization, 2013)
menyebutkan bahwa 1 pekerja di dunia meninggal setiap 15 detik karena kecelakaan kerja
dan 160 pekerja mengalami sakit akibat kerja.
Pada bulan Mei 2013 diperkirakan sekitar 53,6% kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja
terjadi pada sektor pekerjaan informal dan 46,4% dari sektor pekerjaan formal. Di Indonesia
terdapat petani yang mengalami gejala dan diagnosis ISPA sebesar 24.4% (Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, 2013) (Fajar & Mulyono, 2019). Menurut data Internasional
Labour Organitation (ILO) pada tahun 2010 tercatatnya setiap tahunnya lebih dari 2 juta
orang yang meninggal akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja, sekitar 160 juta orang
menderita penyakit akibat kerja dan terjadi sekitar 270 juta kasus kecelakaan kerja pertahun
di seluruh dunia. Pada kenyataannya Kesehatan dan keselamatan karyawan memengaruhi
kemampuan mereka untuk bekerja secara produktif.
Hasil OHS (Occupational Health and Safety) menyatakan ada empat alasan utama yang
menghubungkan kesehatan dan keselamatan kerja dengan produktivitas antara lain :
 Kebutuhan untuk menemukan cara yang lebih inovatif untuk mengurangi tingginya
tingkat kecelakaan kerja dan penyakit.
 Tekanan untuk mengurangi biaya sosial dan ekonomi cedera dan penyakit, khususnya
biaya kompensasi.
 Kebutuhan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja yang tidak mengakibatkan
karyawan bekerja lebih lama dan mengambil lebih banyak pekerjaan.
 Kebutuhan untuk menyediakan kondisi kerja yang baik dengan cara merekrut dan
mempertahankan pekerja terampil di pasar tenaga kerja yang ketat.

Oleh karena itu, Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja sangat di perlukan Sekali oleh
sebuah Instansi baik itu Perusahaan maupun Koperasi untuk mengurangi tingkat Kecelakaan
dalam bekerja yang akhirnya dapat memengaruhi Kinerja dan Produktivitas. (Hamzah &
Sari, 2019). Dalam perspektif kesehatan dan keselamatan kerja penerapan teknologi di
bidang perkebuanan dan bidang perkebunan dan bidang perkebunan dan pertanian adalah
memiliki sisi dependent health risk. Oleh karena itu ketika terjadi sebuah pemilihan sebuah
teknologi, secara implisit akan terjadi perubahan faktor risiko kesehatan. Penerapan teknologi
baru di bidang perkebunan dan bidang perkebunan dan pertanian memerlukan adaptasi
sekaligus keterampilan.
Adaptasi yang dialami tentunya adalah adaptasi terhadap interaksi petani dan lingkungan
serta kondisi kesehatannya. Sebagai contohnya teknologi mencangkul kini digantikan dengan
traktor, hal ini jelas mengubah faktor risiko kesehatan dan keselamatan kerja yang dihadapi
oleh petani. Demikian pula dengan penggunaan pestisida, seperti indikasi penggunaan dalam
upaya pemberantasan hama, takaran penggunaan, teknik penyemprotan, dan lain-lain.
Ironisnya teknologi baru ini memiliki potensi bahaya kesehatan akut dan kronik. Pestisida
merupakan bahan kimia untuk membunuh hama tanaman. Apabila tidak tepat dalam
penggunaannya, bisa menyebabkan keracunan. Perilaku K3 yang tepat dalam penggunaan
pestisida sangat penting sebagai upaya pencegahan keracunan, sehingga perilaku K3 petani
pengguna pestisida perlu disosialisasikan secara terintegrasi.
Bidang perkebunan dan bidang perkebunan dan pertanian dan perkebunan dapat dianggap
sebagai satu masyarakat tertutup, sehingga usaha-usaha kesehatan pun harus disesuaikan
dengan sifat-sifat masyarakat demikian, dalam arti menyelenggarakan sendiri dan untuk
kebutuhan sendiri. Dalam hal ini sesuai pula dengan luas lahan bidang perkebunan dan
bidang perkebunan dan pertanian atau perkebunan yang sudah sepatutnya ada usaha-usaha
meliputi bidang preventif dan kuratif, baik mengenai penyakit umum, kecelakaan kerja, dan
penyakit akibat kerja (Kurnia, 2017). Penggunaan mesin-mesin dan alat-alat berat seperti
traktor, mesin pemanen, alat tanam dan sebagainya di sektor bidang perkebunan dan
pertanian merupakan sumber bahaya yang dapat mengakibatkan cedera dan kecelakaan kerja
fatal. Selain itu, penggunaan pestisida dapat menyebabkan keracunan atau penyakit yang
serius, serta debu binatang dan tumbuhan hasil bumi dapat mengakibatkan alergi dan
penyakit pernafasan.
Selain itu penggunaan alat dan mesin bidang perkebunan dan pertanian yang didesain untuk
melaksanakan beberapa pekerjaan sekaligus, mengakibatkan dituntutnya operator untuk
memiliki tingkat keterampilan dan konsentrasi yang tinggi yang dapat mengakibatkan
kelelahan yang berujung pada kecelakaan. Boswell mengatakan adanya pola kecelakaan yang
unik di bidang bidang perkebunan dan pertanian, mengingat biasanya keluarga petani tinggal
di sekitar lahan bidang perkebunan dan pertanian di mana anak kecil bebas bermain atau
bahkan terlibat di dalam pekerjaan bidang perkebunan dan pertanian tersebut yang bisa
mengakibatkan terjadinya kecelakaan akibat kecerobohan. Sebagaimana negara lain,
penggunaan alat-alat berat pada lahan bidang perkebunan dan pertanian di Indonesia juga
dilakukan, misalnya penggunaan traktor, alat penyiang gulma, alat pemanen, dan sebagainya.
Dalam penggunaan alat-alat berat ini, risiko timbulnya kecelakaan dapat terjadi.
Selain itu, risiko lain kegiatan bidang perkebunan dan pertanian yang umum dilakukan
adalah penggunaan pestisida yang mengandung bahan kimia berbahaya (Haerani, 2017).
Pemerintah Indonesia telah mengatur perangkat hukum K3 untuk bidang bidang perkebunan
dan pertanian, namun perangkat hukum ini hanya terbatas pada penggunaan pestisida saja,
yaitu PP. No. 7 tahun 1973 tentang pengawasan distribusi, penyimpanan, dan penggunaan
pestisida12 dan Peraturan Menteri No. 3 tahun 1986 tentang pemakaian pestisida di tempat
kerja13. Perangkat hukum yang secara spesifik mengatur penggunaan alat dan mesin bidang
perkebunan dan pertanian (alsintan) secara aman (safety) tidak ditemukan. Adapun PP
Republik Indonesia No. 81 tahun 2001 tentang alat dan mesin budidaya tanaman hanya
memberikan penjelasan umum tentang kewajiban memperhatikan K3 dalam penggunaan
alsintan dan kewajiban pengawasan penggunaan alsintan untuk menjamin tercapainya K314.
Mengingat Indonesia merupakan Negara agraris dengan sekitar 70% wilayahnya terdiri dari
daerah pedesaan dan bidang perkebunan dan pertanian, maka konvensi ILO No. 184 tahun
2015 tentang keselamatan dan kesehatan kerja di bidang bidang perkebunan dan pertanian
dianggap sebagai perangkat kebijakan yang bermanfaat. Tetapi secara luas, Indonesia
dianggap tidak siap meratifikasi konvensi ini karena rendahnya tingkat kesadaran K3 di
antara pekerja bidang perkebunan dan pertanian. Tingkat pendidikan umum pekerja bidang
perkebunan dan pertanian juga rendah, rata-rata hanya 3 sampai 4 tahun di Sekolah Dasar.
Oleh karena itu, sebelum meratifikasi konvensi ini, terlebih dahulu perlu dilaksanakan
program pendidikan dan pelatihan tentang penerapan K3 di bidang bidang perkebunan dan
pertanian (Haerani, 2017).
BAB 10. Bahan Berbahaya dan Keselamatan Kerja.
10.1. Penggunaan Bahan Kimia
Bahan kimia merupakan suatu zat yang memiliki potensi menimbulkan bahaya baik terhadap
kesehatan maupun dapat menimbulkan bahaya kecelakaan. MSDS (Material Safety Data
Sheet) adalah dokumen yang dibuat khusus tentang suatu bahan kimia mengenai pengenalan
umum, sifat-sifat bahan, cara penanganan, penyimpanan, pemindahan dan pengelolaan
limbah buangan bahan kimia tersebut. Kimia secara langsung sangat berhubungan dengan
kehidupan kita seharihari (Irwansyah, et al., 2017:1). Penggunaanya merupakan hal yang
sangat lazim dilakukan oleh setiap orang di dunia karena kita bisa bertahan hidup di bumi ini
tidak terlepas dari bahan kimia didalamnya. Namun demikian, dibalik banyaknya
kemanfaatan yang bisa diambil, banyak juga dampak negatif yang dapat ditimbulkan
(Hjeresen, et al., 2000:1543).
Jumlah produk kimia yang tersebar di masyarakat sangat besar dan produk-produk kimia
tersebut telah memberikan kontribusi yang tidak ternilai bagi peningkatan kualitas hidup
manusia sehingga tidak dapat dipungkiri proses pembuatan produk-produk tersebut pun
menyebabkan jutaan ton limbah yang nantinya akan mencemari lingkungan. Pengurangan
atau penghapusan limbah sekarang ini menjadi isu utama bagi industri, pemerintah, dan
masyarakat umum (Clark, 1999:1). Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan
salah satu aplikasi bahan kimia dalam kehidupan sehari-hari yang memiliki banyak manfaat
bagi kehidupan manusia. Ditengah banyaknya manfaat dari penggunaan BBM, banyak juga
kerugian yang ditimbulkan. Contohnya adalah pencemaran udara yang nantinya akan
berdampak lebih lanjut terhadap kesehatan manusia dan kelestarian bumi kita. Hal tersebut
menimbulkan berbagai kecemasan di masyarakat luas mengingat penggunaannya yang terus
mengalami peningkatan (Nugroho,2003).
Penggunaan bahan kimia sebagai bahan tambahan pada makanan (food additive) saat ini
sering ditemui pada makanan dan minuman. Salah satu bahan tambahan pada makanan
adalah pengawet bahan kimia yang berfungsi untuk memperlambat kerusakan makanan, baik
yang disebabkan mikroba pembusuk, bakteri, ragi maupun jamur dengan cara menghambat,
mencegah, menghentikan proses pembusukan dan fermentasi dari bahan makanan (Winarno
dan Jenni, 1983). Penggunaan bahan pengawet yang aman bagi kesehatan diperbolehkan
sepanjang masih berada dalam batas tingkat ambang batas toleransi. Akan tetapi, sering
dikeluhkan adanya bahan pengawet makanan yang ditambahkan ke dalam makanan dalam
jumlah yang melebihi ambang batas yang diperbolehkan sehingga dapat mengakibatkan
permasalahan terhadap kesehatan.
Berikut simbol simbol bahan kimia yang berbahaya adalah sebagai berikut :
1. Irritant (iritasi)
Bahan atau senyawa kimia dengan lambang “Xi”
adalah bahan yang dapat menyebabkan inflamasi
apabila kontak langsung dengan selaput lendir atau
kulit. Meskipun dapat menyebabkan inflamasi tetapi
bahan kimia ini tidak bersifat korosif. Efek yang
ditimbulkan seperti gatal-gatal hingga luka bakar kecil pada kulit. Oleh karena itu,
diperlukan pencegahan dengan menggunakan masker dan sarung tangan. Contoh
bahan kimia dalam irritant adalah kalsium klorida, natrium hidroksida, toluena,
isobutanol, isopropilamina.
2. Harmfulsness (Berbahaya)
Bahan kimia berlambangkan “Xn” memiliki
formula yang dapat merusak kesehatan pada tingkat
sedang apabila masuk ke dalam tubuh melalui
mulut, sistem inhalasi, dan kontak dengan kulit.
Hindari kontak langsung dan jangan sampai
terhirup, tertelan, atau tersentuh kulit. Adapun contoh-contoh bahan kimia Harmful
adalah Ethanolamine, Methenamine, Asam sulfat.

3. Toxic (Beracun)

Formulasi yang terkandung pada bahan kimia ini


dilambangkan dengan “T”, dimana dapat menyebabkan efek
kerusakan kesehatan yang akut bahkan kematian meskipun
terjadi kontak (melalui hidung, kulit, dan mulut) dalam
konsentrasi yang rendah. Contoh bahan kimia beracun / toxic antara lain adalah
metanol, benzena.

4. Very Toxic (sangat Beracun)

Bahan kimia yang dilambangkan dengan “T+” memiliki sifat


yang sangat beracun. Mampu menyebabkan sakit kronis hingga
kematian apabila kontak langsung dengan tubuh maupun sistem pernafasan.
Contohnya nirtobenzene, kalium sianida.

5. Corrosive (Korosif)
Den gan lambang “C”, bahan kimia ini memiliki sifat korosif dengan
nilai pH sebesar < 2 atau > 12.5. Bahan kimia korosif mampu
mengiritasi kulit hingga gatal-gatal dan mengelupas serta
merusak jaringan hidup. Hindari bahan ini dari kontak
langsung dengan kulit. Contoh bahan kimia dengan
sifat korosif, yaitu asam klorida, natrium hidroksida >2%, asam sulfat, formic acid.

6. Highly Flammable (Mudah Terbakar)


Bahan kimia yang memiliki titik nyala rendah (<21oC)
di bawah kondisi tekanan atmosfer. Hindari bahan
kimia tersebut dengan benda yang berpotensi
mengeluarkan api atau bunga listrik. Berikut contoh-
contoh dari bahan mudah terbakar, yaitu etanol, aseton,
logam natriuml, solven.

7. Extremely Flammable (Sangat Mudah Terbakar)


Bahan kimia ini dilambangkan dengan “F+” memiliki titik
nyala yang sangat rendah yaitu <0oC, titik didih pada suhu,
misalnya diethyl ether, propane (gas).

8. Explosive (Mudah Terbakar).


Bahan kimia yang mudah meledak apabila terkena benturan,
gesekan, pemanasan, sumber api maupun sumber nyala lainnya.
Bahkan tanpa oksigen pun, bahan ini mudah meledak. Berikut bahan yang mudah
meledak atau eksplosif, misalnya TNT, Butryric Acid (L), NH4NO3.

9. Non Flammable Gas (Gas yang Tidak Mudah Terbakar)


Simbol berikut ini menandakan gas yang tersimpan maupun
yang berada di transportasi tidak mudah terbakar, Seperti
Oksigen, Helium, Nitrogen.

10.2. Resiko Bahaya Bahan Bahan Kimia

Suatu bahaya kimia adalah jenis bahaya pekerjaan yang disebabkan oleh paparan bahan


kimia di tempat kerja. Paparan bahan kimia di tempat kerja dapat menyebabkan efek
kesehatan yang merugikan baik akut maupun jangka panjang. Terdapat banyak jenis bahan
kimia berbahaya, seperti neurotoksin, zat imun, zat dermatologi, karsinogen, racun
reproduksi, racun sistemik, asmagen, zat pneumokoniotik, dan pemeka. Bahaya ini dapat
menyebabkan risiko fisik dan/atau kesehatan. Berdasarkan bahan kimianya, bahaya yang
terlibat dapat bervariasi, sehingga penting untuk mengetahui dan menerapkan APD terutama
pada laboratorium.

Bahan kimia dapat berubah keadaan fisikanya tergantung pada suhu atau tekanan. Dengan
demikian adalah penting untuk mengidentifikasi risiko kesehatan karena keadaan-keadaan ini
dapat menentukan rute potensial paparan bahan kimia. Misalnya, bahan kimia dalam keadaan
gas akan terhirup atau bahan kimia keadaan cair dapat diserap oleh kulit.

1. Cairan seperti asam, pelarut terutama jika mereka tidak memiliki label
2. Uap dan asap
3. Bahan yang mudah terbakar

Beberapa jenis bahan kimia telah dikaitkan dengan efek kesehatan yang merugikan. bahaya
kimia tersebut diantaranya:
 iritasi kulit, cedera mata atau kebutaan yang disebabkan oleh produk kimia korosif
 produk beracun, seperti uap dan asap, yang disebabkan oleh pencampuran bahan
kimia yang tidak kompatibel
 luka bakar serius dari pelarut yang mudah terbakar yang terbakar
 cedera dari wadah meledak, seperti kaleng semprot
 keracunan dari menelan secara disengaja, terutama dengan anak-anak

10.3. Kebijakan dalam Menghadapi Bahan Kimia


Keamanan kerja di laboratorium seharusnya menjadi salah satu prioritas kita sebagai
seseorang yang melakukan aktifitas setiap harinya di laboratorium. Seorang Penanggung
jawab laboratorium ( Kepala laboratorium atau Manager Laboratorium )  harus
mengembangkan sebuah program training yang efektif, menjamin terlaksananya  praktik
berlaboratorium yang benar serta melaksanakan audit keamanan kerja  untuk meminimalisasi
resiko kecelakaan di laboratorium.
1. Dilarang Makan dan Minum di Laboratoriu
2. Tidak Bekerja Sendirian 
3. Penggunaan Label / Tanda Peringatan
4. Mengelola Anggaran Keamanan di Laboratorium
5. Menyimpan bahan kimia mudah terbakar pada kabinet tahan api
6. Pembuatan  Manual Keamanan di Laboratorium
7. Lakukan pemeriksaan ( audit ) mendadak 
8. Pelaksanaan Role Play setiap hari
9. Delegasikan Tugas
10. Dorong  dan promosikan keamanan di laboratorium  secara personal

10.4. Peralatan dan Perlengkapan Keselamatan Kerja

Peralatan Pelindung Diri

1. Jas laboratorium

Jas laboratorium (lab coat) berfungsi melindungi badan dari percikan bahan kimia
berbahaya. Jenisnya ada dua yaitu jas lab sekali pakai dan jas lab berkali-kali pakai. Jas lab
sekali pakai umumnya digunakan di laboratorium bilogi dan hewan, sementara jas lab
berkali-kali pakai digunakan di laboratorium kimia.

Jas lab kimia bisa berupa:

 Flame-resistant lab coat – Jas lab yang bahannya dilapisi material tahan api. Jas lab
jenis ini cocok digunakan untuk mereka yang bekerja dengan peralatan atau bahan
yang mengeluarkan panas, misalnya peleburan sampel tanah, pembakaran
menggunakan tanur bersuhu tinggi, dan reaksi kimia yang mengeluarkan panas.
 100% cotton lab coat – Ini adalah jas lab yang biasanya digunakan di laboratorium
kimia umum (misalnya lab kimia pendidikan). Jas lab ini diperkirakan memiliki umur
pakai sekitar satu sampai dua tahun. Setelah melewati waktu pakai terebut, jas ini
rentan rusak karena pengaruh bahan kimia asam.
 Synthetic/cotton blends – Jas lab ini bisa terbuat dari 100% poliester atau campuran
poliester/cotton. Seperti halnya cotton lab coat, jas lab ini digunakan di laboratorium
kimia umum.

2. Kaca mata keselamatan

Percikan larutan kimia atau panas dapat membahayakan mata orang yang bekerja di
laboratorium. Oleh karena itu, mereka harus menggunakan kaca mata khusus yang tahan
terhadap potensi bahaya kimia dan panas. Kaca mata tersebut terbagi menjadi 2 jenis,
yaitu clear safety glasses dan clear safety goggles.

Clear safety glasses merupakan kaca mata keselamatan biasa yang digunakan untuk
melindungi mata dari percikan larutan kimia atau debu. Sementara itu, clear safety
goggles digunakan untuk melindungi mata dari percikan bahan kimia atau reaksi kimia
berbahaya.
Peralatan pelindung mata ini terdiri dari tiga tipe, yaitu:

 Direct vented goggles – Umumnya digunakan untuk melindungi mata dari debu,
namun tidak cocok untuk melindungi mata dari percikan atau uap bahan kimia.
 Indirect vented goggles – Cocok digunakan untuk melindungi mata dari kilauan
cahaya dan debu, namun tidak cocok untuk melindungi mata dari percikan bahan
kimia.
 Non-vented goggles – Baik digunakan untuk melindungi mata dari debu, uap, dan
percikan bahan kimia. Selai itu, kaca mata ini juga bisa digunakan untuk melindungi
mata dari gas berbahaya.

3. Sepatu

Sandal atau sepatu sandal dilarang digunakan ketika Anda bekerja di laboratorium.
Mengapa? Karena keduanya tidak bisa melindungi kaki Anda ketika larutan atau bahan kimia
yang tumpah.

Sepatu biasa umumnya sudah cukup untuk digunakan sebagai pelindung. Namun, di
laboratorium perusahaan besar, sepatu yang digunakan adalah sepatu keselamatan yang tahan
api dan tekanan tertentu. Selain itu, terkadang disediakan juga plastik alas sepatu untuk
menjaga kebersihan laboratorium jika sepatu tersebut digunakan untuk keluar dari
laboratorium.

4. Pelindung muka

Seperti namanya, pelindung muka (face shield) digunakan untuk melindungi muka Anda dari
panas, api, dan percikan material panas. Alat ini biasa digunakan saat mengambil alat
laboratorium yang dipanaskan di tanur suhu tinggi, melebur sampel tanah di alat peleburan
skala lab, dan mengambil peralatan yang dipanaskan dengan autoclave.

5. Masker gas

Bahan kimia atau reaksi kimia yang dihasilkan bisa mengeluarkan gas berbahaya. Oleh
karena itu, masker gas sangat cocok digunakan oleh Anda sehingga gas berbahaya tersebut
tidak terhirup. Dilihat dari jenisnya, masker gas bisa berupa masker gas biasa yang terbuat
dari kain dan masker gas khusus yang dilengkapi material penghisap gas.

Masker gas biasa umumnya digunakan untuk keperluan umum, misalnya membuat larutan
standar. Sementara itu, masker gas khusus digunakan saat menggunakan larutan atau bahan
kimia yang memiliki gas berbahaya, misalnya asam klorida, asam sulfat, dan asam sulfida.

6. Kaos tangan

Kaos tangan (glove) melindungi tangan Anda dari ceceran larutan kimia yang bisa membuat
kulit Anda gatal atau melepuh. Macam-macam kaos tangan yang digunakan di lab biasanya
terbuat dari karet alam, nitril, dan neoprena.

Terkait kaos tangan yang terbuat dari karet alam, ada yang dilengkapi dengan serbuk khusus
dan tanpa serbuk. Serbuk itu umumnya terbuat dari tepung kanji dan berfungsi untuk
melumasi kaos tangan agar mudah digunakan.

7. Pelindung telinga

Alat pelindung diri yang terakhir adalah pelindung telinga (hear protector). Alat ini lazim
digunakan untuk melindungi teringa dari bising yang dikeluarkan perlatatan tertentu,
misalnya autoclave, penghalus sample tanah (crusher), sonikator, dan pencuci alat-alat gelas
yang menggunakan ultrasonik.

Setiap orang yang terpapar kebisingan dibatasi dari sisi waktu dan tingkat kebisingan. Batas
kebisingan yang diperbolehkan menurut Occupational Safety and Health Administration
(OSHA) adalah sebagai berikut:

 8 jam = 90 dB
 6 jam = 92 dB
 4 jam = 95 dB
 2 jam = 100 dB
 1 jam = 105 dB
 30 menit = 110 dB
 15 menit = 115 dB
Peralatan Keselamatan Laboratorium

Gambar 10.4.1 Peralatan Keselamatan Laboratorium

1. Pembasuh mata

Pembasuh mata (eye wash) berfungsi membasuh mata yang terkena cairan kimia. Cara
kerjanya, basuh mata Anda dengan air yang mengalir dari alat itu untuk beberapa saat. Saat
membasuh, pastikan tangan Anda bersih sehingga tidak mengganggu mata Anda.

2. Fire blanket

Cairan kimia yang tumpah bisa saja menghasilkan api. Untuk memadamkannya, Anda bisa
menggunakan selimut api (fire blanket). Pastikan Anda menggunakan kaos tangan saat
menggunakan atau membersihkan alat tersebut.

3. Safety shower

Apa yang harus dilakukan jika badan Anda terkena tumpahan cairan kimia dengan jumlah
relatif banyak? Segeralah menuju safety shower dan guyur badan Anda dengan air dari alat
tersebut. Ini untuk membersihkan badan Anda dari larutan kimia sehingga badan Anda
terhindar dari cedera parah.

4. Spill neutralizers
Meskipun sudah berkerja dengan hati-hati, terkadang larutan kimia tumpah ke lantai. Jika ini
terjadi, spill neutralizers digunakan untuk menetralkan cairan kimia tumpah tersebut.
Perlengkapan keselematan laboratorium ini dilengkapi material asam dan basa. Sebagai
contoh, bila cairan yang tumpah itu asam, gunakan material basa untuk menetralkannya.

5. First aid kits

Kotak obat untuk pertolongan pertama (first aid kits) berguna bila terjadi kecelakaan ringan,
misalnya tangan tergores oleh suatu benda tajam. Kotak ini biasanya berisi obat luka,
gunting, perban, dan alkohol.

6. Alat pemadam api

Alat pemadam api ringan (fire extinguishers) berguna untuk memadamkan api ringan yang
terjadi karena kecelakaan kerja atau sumber lain. Sebagai contoh, Anda sedang menggunakan
tanur dan tiba-tiba tanur itu mengeluarkan api, cepatlah gunakan pemadam api untuk
memadamkannya. Dengan demikian, api tidak merembet ke mana-mana. Setelah api padam,
segera hubungi bagian keamanan atau bagian pemadam kebakaran di perusahaan Anda untuk
menginvestigasi lebih lanjut.

7. Pintu keluar darurat

Laboratorium sebaiknya dilengkapi juga dengan pintu keluar untuk mengantisipasi keadaan
darurat, misalnya gempa bumi dan kebakaran. Pintu ini khusus untuk digunakan untuk
keadaan darurat saja dan tidak boleh digunakan untuk keperluan umum. Oleh karena itu,
pintu tersebut biasanya didesain untuk tidak bisa dibuka dari luar laboratorium.

8. Ruang asam

Ruang asam (fume hood) digunakan untuk mengambil larutan kimia yang memiliki gas
berbahaya (aseton, asam sulfat, asam klorida, dan sebagainya) atau mereaksikan larutan-
larutan tersebut. Ruang asam ini dilengkapi dengan penghisap sehingga gas berbahaya yang
dikeluarkan larutan kimia akan dihisap dan dinetralkan sebelum dibuang ke lingkungan.
BAB 11. Peralatan Perlindungan Diri, Desain produk, Ergonomi dan Penerapan
Teknologi Tepat Guna dalam Keselamatan Kerja.
11.1. Peralatan Perlindungan Diri dalam Keselamatan Kerja
Banyak jenis peralatan perlindungan yang dibutuhkan pekerja pada pekerjaannya. Untuk
tingkat kecelakaan tinggi dapat digunakan penutup muka yang lengkap. Helm sangat
diperlukan dimana sering terjadi masalah terhadap benda-benda yang jatuh. Penutup
rambut dapat digunakan wanita untuk mencegah masuknya rambut ke roda gigi, bar atau
tiang yang berputar. Penutup telinga dapat digunakan untuk mengurangi kebisingan.
Sarung tangan dapat digunakan untuk melindungi tangan dari melepuh, terpotong, terkilir
dan zat kimia. Alat Pelindung Diri (APD) adalah seperangkat alat keselamatan yang
digunakan oleh pekerja untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuhnya dari
kemungkinan adanya pemaparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap kecelakaan dan
penyakit akibat kerja. (Tarwaka, 2008)
Alat Pelindung Diri (APD) merupakan suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk
melindungi seseorang dalam pekerjaan yang berfungsi mengisolasi tenaga kerja dari
bahaya di tempat kerja. (Nedved dan Khasani, 1991). Selain itu, Alat Pelindung Diri
(APD) yaitu alat yang digunakan untuk mencegah cedera dengan melindungi pekerja mulai
dari paparan yang disadari hingga bahaya yang potensial. Umumnya digunakan pada
tempat-tempat yang beresiko besar dengan kecelakaan dan gangguan untuk kesehatan
pekerjanya. Meliputi pakaian dan alat pelindung yang dipakai guna melindungi diri pekerja
dan orang lain yang berada disekitarnya dari bahan, proses kerja, mesin/alat, instalasi dan
lingkungan yang berbahaya sehingga dapat mencegah dan meminimalkan risiko
kecelakaan dan penyakit.

Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha teknis pengamanan tempat, peralatan dan
lingkungan kerja adalah sangat perlu di utamakan. Namun kadang-kadang keadaan bahaya
masih belum dapat dikendalikan sepenuhnya, sehingga digunakan alat-alat pelindung diri.
Alat pelindung haruslah enak dipakai, tidak mengggangu kerja dan memberikan
perlindungan yang efektif. (Suma’mur, 2009)

Suma’mur (1996), menunjukkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemakaian alat
pelindung diri, yaitu:
1) Pengujian mutu
Alat pelindung diri harus memenuhi standar yang telah ditentukan untuk menjamin bahwa
alat pelindung diri akan memberikan perlindungan sesuai dengan yang diharapkan.
Semua alat pelindung diri sebelum dipasarkan harus diuji lebih dahulu mutunya.

2) Pemeliharaan alat pelindung diri


Alat pelindung diri yang akan digunakan harus benar-benar sesuai dengan kondisi tempat
kerja, bahaya kerja dan tenaga kerja sendiri agar benar-benar dapat memberikan
perlindungan semaksimal mungkin pada tenaga kerja.

3) Ukuran harus tepat


Adapun untuk memberikan perlindungan yang maksimum pada tenaga kerja, maka ukuran
alat pelindung diri harus tepat. Ukuran yang tidak tepat akan menimbulkan gangguan pada
pemakaiannya.

4) Cara pemakaian yang benar


Sekalipun alat pelindung diri disediakan oleh perusahaan, alat-alat ini tidak akan
memberikan manfaat yang maksimal bila cara memakainya tidak benar.
Dalam hal ini tenaga kerja harus diberikan pengarahan, antara lain tentang:
a) Manfaat dari alat pelindung diri yang disediakan dengan potensi bahaya yang ada.
b) Menjelaskan bahaya potensial yang ada dan akibat yang akan diterima oleh tenaga
kerja jika tidak memakai alat pelindung diri yang diwajibkan.
c) Cara memakai dan merawat alat pelindung diri secara benar harus dijelaskan pada
tenaga kerja.
d) Perlu pengawasan dan sanksi pada tenaga kerja menggunakan alat pelidung diri.
e) Pemeliharaan alat pelindung diri harus dipelihara dengan baik agar tidak
menimbulkan kerusakan ataupun penurunan mutu.
f) Penyimpaan alat pelindung diri harus selalu disimpan dalam keadaan bersih
ditempat yang telah tersedia, bebas dari pengaruh kontaminasi.

Pemilihan dan penggunaan alat pelindung diri harus memperhatikan beberapa aspek,
antara lain: (Tarwaka, 2008)
1) Aspek Teknis
Untuk aspek teknis, meliputi:
a) Pemilihan berdasarkan jenis dan bentuknya.
Jenis dan bentuk alat pelindung diri harus disesuaikan dengan bagian tubuh yang
dilindungi.
b) Pemilihan berdasarkan mutu atau kualitas.
Mutu alat pelindung diri akan menentukan tingkat keparahan dan suatu kecelakaan dan
penyakit akibat kerja yang mungkin terjadi. Semakin rendah mutu alat pelindung diri,
maka akan semakin tinggi tingkat keparahan atas kecelakaan atau penyakit akibat kerja
yang terjadi. Adapun untuk menetukan mutu suatu alat pelindung diri dapat dilakukan
melalui uji laboratorium untuk mengetahui pemenuhan terhadap standar.
c) Penentuan jumlah alat pelindung diri.
Jumlah yang diperlukan sangat tergantung dari jumlah tenaga kerja yang terpapar
potensi bahaya di tempat kerja. Idealnya adalah setiap pekerja menggunakan alat
pelindung diri sendiri-sendiri atau tidak dipakai secara bergantian.

d) Teknik penyimpanan dan pemeliharaan.


Penyimpanan investasi untuk penghematan dari pada pemberian alat pelindung diri.

2) Aspek Psikologis
Di samping aspek teknis, maka aspek psikologis yang menyangkut masalah kenyamanan
dalam penggunaan alat pelindung diri juga sangat penting untuk diperhatikan. Timbulnya
masalah baru bagi pemakai harus dihilangkan, seperti terjadinya gangguan terhadap
kebebasan gerak pada saat memakai alat pelindung diri. Penggunaan alat pelindung diri
tidak menimbulkan alergi atau gatal-gatal pada kulit, tenaga kerja tidak malu memakainya
karena bentuknya tidak cukup menarik.
Menurut Tarwaka (2008), ketentuan dari pemilihan alat pelindung diri, meliputi antara
lain:
1) Alat pelindung diri harus dapat memberikan perlindungan yang adekuat (memenuhi syarat)
terhadap bahaya yang spesifik atau bahaya-bahaya yang dihadapi oleh tenaga kerja.
2) Berat alat hendaknya seringan mungkin dan alat tersebut tidak menyebabkan rasa
ketidaknyamanan yang berlebihan.
3) Alat harus dapat dipakai secara fleksibel.
4) Bentuknya harus cukup menarik.
5) Alat pelindung tahan lama untuk pemakaian yang lama.
6) Alat tidak menimbulkan bahaya-bahaya tambahan bagi pemakainya, yang dikarenakan
bentuknya yang tidak tepat atau karena salah dalam penggunaanya.
7) Alat pelindung harus memenuhi standar yang telah ada.
8) Alat tersebut tidak membatasi gerakan dan presepsi sensoris pemakaiannya.
9) Suku cadangnya mudah didapat guna mempermudah pemeliharaannya.

Berdasarkan aspek-aspek tersebut diatas, maka perlu diperhatikan pula beberapa kriteria
dalam pemilihan alat pelindung diri, antara lain (Tarwaka, 2008) :
1) Alat pelindung diri harus mampu memberikan perlindungan efektif kepada pekerja atas
potensi bahaya yang dihadapi ditempat kerja.
2) Alat pelindung diri mempunyai berat yang seringan mungkin, nyaman dipakai dan tidak
menjadi beban tambahan bagi pemakainya.
3) Bentuknya cukup menarik, sehingga tenaga kerja tidak malu memakainya.
4) Tidak menimbulkan gangguan kepada pemakainya, baik karena jenis
bahayanya maupun kenyamanan dan pemakiannya.
5) Mudah untuk dipakai dan dilepas kembali.
6) Tidak mengganggu penglihatan, pendengaran dan pernafasan serta gangguan kesehatan
lainnya pada waktu dipakai dalam wktu yang cukup lama.
7) Tidak mengurangi persepsi sensoris dalam menerima tanda-tanda peringatan.
8) Suku cadang alat pelindung diri yang bersangkutan cukup tersedia dipasaran.
9) Mudah disimpan dan dipelihara pada saat tidak digunakan.
10)Alat pelindung diri yang dipilih harus sesuai dengan standar yang ditetapkan dan
sebagainya.
Terdapat beberpa jenis alat pelindung diri (APD) menurut jenis bahannya, antara lain:
1) Kain (fabric), melindungi diri dari debu, cat semprot, dsb.
2) Kain berlapis plastik, melindungi dari cuaca dingin, paparan caustiksoda, benda korosif,
dsb.
3) Kulit (leather), untuk melindungi diri dari percikan api, dsb.
4) Karet, agar kedap air, dsb.

11.2. Desain Produk dalam Keselamatan Kerja

Rencana produksi adalah seluruh aktivitas yang dilakukan untuk merancang strategi produksi
barang maupun jasa. Aktivitas tersebut meliputi perencanaan konsep bentuk barang, ukuran,
jenis barang, dan jumlah barang yang akan diproduksi. Selain itu, inovasi serta desain produk
juga menjadi aktivitas perencanaan. Sedangkan keselamatan kerja adalah segala upaya yang
dilakukan untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan aman. Sehingga dapat mencegah
atau mengurangi terjadinya kecelakaan kerja, cedera, atau penyakit yang timbul akibat kelalaian
saat bekerja yang akan mengganggu produktivitas kerja.

Upaya yang dilakukan meliputi menyediakan alat perlindungan diri, memberikan pelatihan dan
pemahaman keselamatan kerja, serta menetapkan prosedur kerja yang aman. Rencana proses
produksi dan keselamatan kerja merupakan hal yang harus berjalan selaras. Proses produksi tidak
akan berjalan lancar jika keselamatan kerja bukan prioritas utama. Maka, keselamatan kerja
harus menjadi prioritas utama dalam proses produksi, perhitungkanlah risiko-risiko yang
mungkin terjadi dalam proses produksi.

Gambar 11.2.1 Proses Produksi


Perencanaan proses produksi yang rapi akan menghasilkan kualitas produk yang baik. Berikut
merupakan tahapan perencanaan proses produksi yang umum digunakan : 

Routing (pengaturan proses)

Tahapan perencanaan yang pertama adalah routing. Routing merupakan proses untuk


menentukan jalur kemana saja bahan mentah akan diproses menjadi bahan jadi. Fungsi dari
tahapan ini adalah untuk mengatur waktu pada setiap tahapan dan menggambarkan urutan
aktivitas yang jelas, hingga durasi proses produksi. Tahapan ini akan lebih berfokus pada
kuantitas dan kualitas material yang akan digunakan, sumber daya yang terlibat, proses
operasional, dan tempat produksi. Jika seluruh proses produksi berjalan dengan benar dan sesuai
dengan rencana, maka hasil produksi yang dihasilkan akan sesuai dengan ekspektasi bersama.

Perencanaan

Tahapan perencanaan akan berfokus pada kapan waktu pengerjaan produksi akan selesai. Hal ini
dilakukan untuk memastikan seluruh proses produksi berjalan sesuai dengan durasi yang telah
direncanakan. Perusahaan akan menggunakan berbagai jenis penjadwalan yang berbeda sesuai
dengan kebutuhannya. Terdapat banyak jenis penjadwalan yang dapat digunakan oleh
perusahaan seperti Operation Schedule, Daily Schedule, dan Master Schedule.

Penjadwalan

Penjadwalan merupakan tahap yang akan menunjukkan dokumen waktu yang dibutuhkan untuk
dapat menyelesaikan proses produksi. Hal ini meliputi proses pengelolaan bahan baku hingga
menjadi produk jadi. Penjadwalan harus dibuat dengan cara yang efisien dan realistis dengan
memperhitungkan seluruh faktor. Faktor tersebut meliputi proses produksi, ketersediaan bahan
baku, dan kapasitas mesin. Jadwal produksi harus disusun dengan sederhana agar mudah
dipahami oleh semua orang yang terlibat dalam proses produksi. Jadwal produksi yang jelas dan
terorganisir akan membantu perusahaan untuk meningkatkan efisiensi produksi dan mencapai
target produksi sesuai dengan apa yang diharapkan.

Adapun proses penjadwalan meliputi: 


 Masalah material produksi, perlengkapan, perkakas
 Melakukan pencatatan yang baik agar seluruh pekerjaan dapat selesai sesuai dengan
durasi waktu yang telah direncanakan.
 Mencatat waktu idle mesin
 Melakukan transfer pekerjaan dari satu proses ke proses lainnya sesuai dengan yang telah
direncanakan.
 Mengurutkan pertanyaan, perintah, serta gambaran untuk memulai pekerjaan.

Pelacakan atau peninjauan

Pelacakan merupakan langkah terakhir dari perencanaan proses produksi. Pelacakan merupakan
proses perangkat kontrol dan berhubungan dengan hasil evaluasi. Tujuan dilakukan pelacakan
adalah untuk menemukan dan memusnahkan produk yang cacat, mengalami keterlambatan,
keterbatasan, ataupun masalah lainnya yang terjadi dalam proses produksi. Tahap ini juga
berfungsi untuk mengukur kinerja yang aktual dan mencatat pekerjaan yang menjadi akar
penyebab masalah sehingga dapat menemukan solusi dengan cepat.

Seluruh proses perencanaan produksi akan berjalan dengan lancar jika diiringi dengan
keselamatan kerja. Setiap pekerja harus memiliki pengetahuan mengenai Keilmuan Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (K3). Memiliki pengetahuan tentang K3 umum akan mengantisipasi
terjadinya kecelakaan kerja dan mengurangi kerugian materiil yang dapat terjadi akibat
kecelakaan kerja namun juga dapat mendorong produktivitas dan efisiensi kerja.
Arkademi merupakan kursus online yang dapat membantu kamu untuk lebih cepat memahami
K3 umum secara cepat. Kursus ini disajikan secara bertahap membahas K3 dari tahap teori
substantif hingga praktik, mulai dari dasar-dasar K3, pengendalian risiko, hingga investigasi
kecelakaan kerja.

11.3. Ergonomi dalam Kesselamatan Kerja


Ergonomik adalah ilmu yang membahas mengenai kelebihan dan keterbatasan manusia dan
secara sistematis memanfaatkan berbagai informasi tersebut untuk rancang bangun, sehingga
dapat menghasilkan sebuah produk ataupun lingkungan yang lebih baik. Mempelajari ilmu
ergonomi artinya mempelajari sifat, kemampuan, serta keterbatasan manusia dalam merancang
sebuah sistem kerja sehingga orang dapat menjalankan pekerjaannya dengan baik, efektif,
efisien, dan juga aman.
Dengan demikian, konsep ergonomi adalah ilmu terapan yang mempelajari dan mencari solusi
yang terkait dengan faktor manusia dalam proses produksi. Bisa dikatakan bahwa ergonomi ini
adalah sebuah teknologi untuk mendesain atau mengatur kerja. Sementara itu, ruang lingkup
ilmu ergonomi adalah sejumlah aplikasi beberapa ilmu lain yang saling mendukung, di antaranya
ilmu anatomi, ilmu faal, ilmu psikologi, ilmu teknik, dan sejumlah ilmu lain yang secara
bersama-sama menempatkan faktor manusia sebagai fokus utama dalam rangkaian kerja yang
ada dalam sistem kerja.
Ergonomi berfungsi sebagai solusi yang dapat mempermudah manusia dalam melakukan suatu
pekerjaan. Di dalam sebuah pekerjaan pasti ada kendala-kendala yang diakibatkan oleh
keterbatasan para pekerja itu sendiri. Karena itulah, ergonomi hadir untuk mengatasi kendala-
kendala akibat keterbatasan yang dimiliki oleh manusia dalam melakukan pekerjaannya. Selain
itu, ergonomi juga dapat membuat seseorang menjadi lebih baik dalam melakukan sebuah
pekerjaan dan produktivitasnya pun bisa lebih ditingkatkan. Berbagai permasalahan yang
dihadapi pada bidang ergonomi dan K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) dalam sebuah
industri adalah sebuah hal yang penting untuk dikaji. Pasalnya, hal tersebut berhubungan dengan
keamanan dan kenyamanan dalam bekerja, yang bisa menentukan baik atau buruknya formasi
kerja dalam suatu industri.
Pendekatan ergonomi sendiri merupakan suatu upaya dalam bentuk ilmu, teknologi, dan seni
yang dapat menyelaraskan peralatan, mesin, pekerjaan, sistem, organisasi, dan lingkungan
dengan kemampuan dan keterbatasan yang dimiiki oleh manusia. Dengan begitu, diharapkan
akan tercapai sebuah kondisi dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman, efisien dan produktif,
melalui pemanfaatan fungsional tubuh manusia secara lebih optimal dan maksimal. Ergonomik
dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang menggabungkan berbagai macam informasi
seputar keterbatasan manusia, sifat, kemampuan dengan tujuan mengefektikan, menyamankan,
mengefisienkan serta menyehatkan sebuah sistem.
Di sisi lain, K3 adalah kepanjangan dari Kesehatan, Keselamatan Kerja adalah kondisi dimana
sebuah sistem yang terbebas dari segala macam gangguan internal maupun dari luar, yang dapat
disebabkan oleh kesulitan yang terjadi maupun faktor lingkungan kerja serta kerusakan atau
kerugian di tempat kerja yang berupa penggunaan mesin, peralatan, bahan-bahan, serta proses
pengolahan, lingkungan kerja, lantai tempat kerja, dan juga metode kerja.
Pencapaian manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) sangat tergantung pada faktor
ergonomi yang diperhatikan oleh perusahaan. Meski demikian, kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa kecelakaan kerja masih kerap terjadi di berbagai perusahaan yang secara
administratif telah lulus atau telah melengkapi audit sistem manajemen K3. Dengan demikian,
mereka tidak akan lagi mengesampingkan keluhan para pekerja yang terkait dengan penurunan
kemampuan kerja berupa kelainan pada sistem otot-rangka (musculoskeletal disorders) di dalam
mekanisme dan sistem audit Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
Ergonomi akan tercapai apabila fisik para pekerja berada dalam kondisi yang benar-benar
optimal. Setiap pekerja akan mencapai kesehatan fisik yang benar-benar jika tingkat konsumsi
gizi, pemberdayaan tenaga yang baik, sikap tubuh yang baik, serta efisiensi waktu benar-benar
diperhatikan. Para pekerja harus mengetahui dan memahami berapa banyak takaran energi yang
meliputi jumlah, kualitas, frekuensi, selera, kebiasaan, dan kemampuan yang diperlukan oleh
tubuh untuk melakukan aktivitas tersebut.
Ergonomi dan K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) adalah dua hal yang saling berkaitan.
Keduanya mengarah pada tujuan yang sama, yakni meningkatkan kualitas kehidupan kerja
(quality of working life). Aspek kualitas kehidupan kerja adalah sebuah hal yang penting karena
dapat mempengaruhi kepercayaan dan rasa kepemilikan pekerja kepada perusahaan, yang pada
akhirnya akan berpengaruh pada produktivitas dan kualitas kerja.

11.4. Penerapan Teknologi Tepat Guna dalam Keselamatan Kerja


Perkembangan teknologi yang semakin maju mendorong Indonesia mencapai tahap
industrialisasi. Hal ini ditandai dengan adanya proses mekanisasi, elektrifikasi dan modernisasi
serta transformasi globalisasi. Penggunaan teknologi maju tidak dapat dielakkan, banyak
perusahaan yang memilih untuk menggunakan mesin sebagai pengganti tenaga manusia. Dalam
keadaan demikian penggunaan mesin-mesin, pesawat, instalasi dan bahan-bahan berbahaya akan
terus meningkat sesuai kebutuhan industrialisasi (Tarwaka, 2014). Penggunaan mesin di samping
memberikan kemudahan bagi suatu proses produksi, tentunya efek samping yang tidak dapat
dielakkan adalah bertambahnya jumlah dan ragam sumber bahaya bagi pengguna teknologi itu
sendiri. Di samping itu, faktor lingkungan kerja yang tidak memenuhi syarat Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3), proses kerja tidak aman, dan sistem kerja yang semakin komplek dan
modern dapat menjadi ancaman tersendiri bagi keselamatan dan kesehatan pekerja (Tarwaka,
2014). Oleh sebab itu keselamatan dan kesehatan kerja menjadi suatu tuntutan dan kebutuhan
umum bagi setiap pihak.

Secara umum, kecelakaan selalu diartikan sebagai kejadian yang tidak dapat diduga. Kecelakaan
kerja dapat terjadi karena kondisi yang tidak membawa keselamatan kerja, atau perbuatan yang
tidak selamat. Kecelakaan kerja dapat didefinisikan sebagai setiap perbuatan atau kondisi tidak
selamat yang dapat mengakibatkan kecelakaan. Berdasarkan definisi kecelakaan kerja maka
lahirlah keselamatan dan kesehatan kerja yang mengatakan bahwa cara menanggulangi
kecelakaan kerja adalah dengan meniadakan unsur penyebab kecelakaan dan atau mengadakan
pengawasan yang ketat. (Nuraini, 2012).

Keselamatan dan kesehatan kerja pada dasarnya mencari dan mengungkapkan kelemahan yang
memungkinkan terjadinya kecelakaan. Fungsi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
mengungkapkan sebabakibat suatu kecelakaan dan meneliti apakah pengendalian secara cermat
dilakukan atau tidak. (Nuraini, 2012). Tujuan kesehatan kerja adalah :

• Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pekerja di semua lapangan


pekerjaan ketingkat yang setinggi-tingginya, baik fisik, mental maupun kesehatan sosial.

• Mencegah timbulnya gangguan kesehatan masyarakat pekerja yang diakibatkan oleh


tindakan/kondisi lingkungan kerjanya.

• Memberikan perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaanya dari kemungkinan bahaya yang
disebabkan olek faktor-faktor yang membahayakan kesehatan.

• Menempatkan dan memelihara pekerja di suatu lingkungan pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuan fisik dan psikis pekerjanya. Kesehatan kerja mempengaruhi manusia dalam
hubunganya dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya, baik secara fisik maupun psikis yang
meliputi, antara lain: metode bekerja, kondisi kerja dan lingkungan kerja yang mungkin dapat
menyebabkan kecelakaan, penyakit ataupun perubahan dari kesehatan seseorang. (Nuraini,
2012).
Menurut Mangkunegara (2002) bahwa tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah
sebagai berikut :

• Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara fisik,
sosial, dan psikologis.

• Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan sebaik-baiknya selektif mungkin.

• Agar semua hasil produksi dipelihara keamanannya.

• Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan gizi pegawai.

• Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.

• Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan atau kondisi kerja.

• Agar setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja


BAB 12. Investigasi Kecelakaan Kerja dan Pencegahan.
12.1. Investigasi Kecelakaan
Investigasi kecelakaan adalah suatu cara untuk mencari fakta-fakta yang berkaitan dengan
kecelakaan. Penyebab-penyebabnya dan mengembangkan langkah-langkah untuk mengatasi
serta upaya untuk mengendalikan resikonya. Investigasi atau menyelidiki kecelakaan dilakukan
guna mencari sebab-sebab dasar dari suatu kecelakaan sehingga kecelakaan serupa tidak terulang
kembali. Investigasi biasanya dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap korban, saksi-
saksi serta rekonstruksi atau pengulangan kejadian guna mendapatkan datadata proses terjadinya
kecelakaan, dimana data-data tersebut akan digunakan sebagai bahan untuk menganalisa dalam
mencari sebab dasar dari suatu kecelakaan. (Permatasari, 2009).
Accident investigation adalah suatu rangkaian kegiatan yng dilakukan untuk mencari penyebab
utama terjadinya suatu kecelakaan dan menentukan dengan tepat tindakan perbaikan yang
dilakukan setelah ditemukan fakta sebenarnya dari kecelakaan yang terjadi dan penyebab
kecelakaan tersebut. Berdasarkan definisi kecelakaan yang ada accident investigators harus
melihat secara cermat rangkaian peristiwa yang terjadi dan faktor apa saja yang terlibat saat
terjadinya kecelakaan (Covan dalam Permatasari, 2009).
OHSAS 18001 mensyaratkan diadakannya penyelidikan setiap insiden yang terjadi dalam
organisasi. Insiden adalah semua kejadian yang menimbulkan atau dapat menimbulkan kerugian
baik materi, kerusakan atau cedera pada manusia. Insiden meliputi kecelakaan, kebakaran,
penyakit akibat kerja, kerusakan dan hampir celaka (nearmiss).

12.2. Metode SCAT

Systematic Cause Analysis Technique (SCAT) adalah sebuah alat atau metode yang
dikembangkan International Loss Control Institute (ILCI), yang digunakan untuk menyelidiki
dan mengevaluasi kecelakaan kerja dengan menggunakan bagan SCAT. Tahapan metode SCAT
meliputi:

1. Deskripsi atau gambaran suatu kejadian. Misalnya, keracunan gas, defisiensi oksigen, terjepit
mesin bergerak, atau jatuh dari ketinggian.

2. Faktor pemicu timbulnya kecelakaan atau berbagai hal yang menyebabkan kecelakaan.
Misalnya, pekerja (korban) kontak dengan gas beracun atau kontak dengan peralatan bertenaga.
3. Penyebab langsung, terdiri dari perilaku tidak aman (unsafe action) dan kondisi tidak aman
(unsafe condition).

4. Penyebab dasar, terdiri dari faktor individu, faktor pekerjaan, dan faktor manajemen.
5. Tindakan perbaikan/ pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengendalikan kecelakaan.
Misalnya, menyediakan APD yang memadai, prosedur kerja diperjelas, atau menyediakan
peralatan kerja yang memadai.

Keuntungan menggunakan metode SCAT:

 Metode yang tepat dan sederhana untuk memeriksa efektivitas investigasi kecelakaan
 Sebuah sistem untuk menganalisis dan mengevaluasi penyebab kecelakaan
 Sebuah sistem untuk mengembangkan efektivitas pengendalian kecelakaan
 Sebagai pengingat akan penyebab dan pengendalian terhadap kecelakaan.

12.3. Perencanaan Investigasi Kecelakaan


 Pandangan dari manajedmen lokasi kejadian
Ketika tim investigasi sudah terbentuk maka pimpinan yang bersangkutan di daerah
tersebut harus mengagendakan pertemuan guna melihat bagaimana proses operasional
berjalan, mengetahui urutan kejadian, menyerahkan segala bentuk dokumentasi yang
berhubungan dengan kecelakaan.
 Izin memasuki Lokasi Kejadian
Tidak diizinkan memasuki lokasi kejadian tanpa ada persetujuan yang berwenang seperti
inspector, polisi dan pejabat pemerintah lainnya sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku.
 Kunjungan lapangan agar anggota investigasi familiair dengan lokasi kecelakaan
 Perencanaan Investigasi Kecelakaan
Yakni segala bentuk perencanaan yang diperlukan saat melakukan investigasi kecelakaan
dan referensi yang diperlukan untuk investigasi kecelakaan.
12.4. Pencegahan Investigasi Kecelakaan Kerja
Kecelakaan biasanya rumit. Kecelakaan mungkin memiliki 10 atau lebih kejadian yang dapat
menjadi penyebab. Analisis terperinci dari suatu kecelakaan biasanya akan mengungkapkan tiga
tingkat sebab: dasar, tidak langsung, dan langsung. Pada tingkat rendah, kecelakaan hanya terjadi
ketika seseorang atau objek menerima sejumlah energi atau bahan berbahaya yang tidak dapat
diserap dengan aman. Energi atau bahan berbahaya ini adalah penyalahgunaan langsung dari
kecelakaan. Penyebab langsung biasanya adalah hasil dari satu atau lebih tindakan tidak aman
atau kondisi tidak aman, atau keduanya. Tindakan dan ketentuan yang tidak aman adalah
penyebab atau gejala tidak langsung.
Pada gilirannya, penyebab tidak langsung biasanya dapat dilacak pada kebijakan dan keputusan
manajemen yang buruk, atau faktor pribadi atau lingkungan. Ini adalah penyebab dasar. Terlepas
dari kompleksitasnya, sebagian besar kecelakaan dapat dicegah dengan menghilangkan satu atau
lebih penyebab. Investigasi kecelakaan tidak hanya menentukan apa yang terjadi, tetapi juga
bagaimana dan mengapa. Informasi yang diperoleh dari investigasi ini dapat mencegah
terulangnya kecelakaan yang sama atau lebih buruk. Peneliti kecelakaan tertarik pada setiap
peristiwa serta dalam urutan kejadian yang menyebabkan kecelakaan. Jenis kecelakaan juga
penting bagi penyidik. Kembalinya kecelakaan tipe tertentu atau mereka dengan penyebab umum
menunjukkan area yang memerlukan penekanan pencegahan kecelakaan khusus.
BAB 13. Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja di
Perusahaan/OHSAS 18001
13.1. PENGERTIAN OHSAS 18001
AS – Occupational Health and Safety Assesment Series 18001 merupakan standar internasional
untuk penerapan Sistem Manajemen Kesehatan & Keselamatan Kerja atau biasa disebut
Manajemen K3. Dengan mengimplementasikan OHSAS 18001 berarti organisasi telah memiliki
kerangka acuan yang pasti bagi efektifitas manajemen K3 seperti pendeteksian adanya bahaya
yang timbul dari proses produksi, serta pengawasan terhadap kegagalan manajemen.
Untuk menerapkan system OHSAS 18001 – Manajemen K3 ini dibutuhkan tiga tahapan proses,
Sebagai berikut :
1. Tahap Indentifikasi Awal
Analisa / Indentifikasi terhadap tingkat kecukupan terhadap sistem dan fasilitas kesehatan dan
keselamatan kerja di organisasi / industry. Mencakup evaluasi proses di organisasi, pemeriksaan
terhadap prosedur yang ada, analisa tingkat kecelakaan pada masa lalu dan peraturan atau
perundang-undangan yang berlaku.
2. Tahap Persiapan dan Implementasi Manajemen K3 – OHSAS 18001
Tahap ini merupakan tahap persiapan dokumen dan program kerja serta pelaksanaan
implementasinya. Pada tahap ini ada beberapa elemen yang harus diperhatikan yaitu :
 Kebijakan kesehatan dan keselamatan kerja serta kepemimpinannya
 Organisasi, sumberdaya dan training
 Pengendalian operasional yang menjadi titik tolak prosedur proses, peraturan kesehatan
dan keselamatan kerja dan perijinan di lingkungan kerja.
 Tujuan dan target dari kesehatan dan keselamatan kerja
 Panduan system kesehatan dan keselamatan kerja dan dokumentasi
 Pengendalian operasional yang mencakup pemantauan kesehatan kerja, persiapan proyek,
pembelian dan pemasok.
 Pemeriksaan dan tindakan pencegahan, investigasi dan tindakan perbaikan
 Tindakan darura
 Pengendalian catatan, audit dan tinjauan manajemen
3. Tahap Penilaian Kinerja Proses OHSAS 18001 – Manajemen K3
Tahap ini merupakan tahap penilaian terhadap system yang telah diterapkan mencakup penilaian
dokumentasi, verifikasi penerapan dan tindakan perbaikan/ pencegahan yang diperlukan.
Penerapan sistem OHSAS 18001 dalam organisasi industry memang merupakan investasi besar
dimana hasilnya tidak dapat dilihat secara langsung. Besarnya nilai investasi sebanding dengan
banyaknya manfaat yang akan diperoleh bagi organisasi industry yang menerapkan OHSAS
18001.

13.2. ROAD MAP IMPLEMENTASI


Penerapan system manajemen K3 menurut pendekatan PDCA adalah sebagai berikut
 Plan – rencanakan system manajemen k3
 Do - tetapkan system manajemen k3
 Check – evaluasi penerapannya
 Action – tingkatkan system manajemen k3

13.3. ROAD MAP SMK3 ( tiga ) TAHAPAN DAN 20 LANGKAH IMPLEMENTASI


1.Kebijakan dan pelaksanaan
Tahap pertama ini terjadi dari 8 langkah yaitu :
 Pembentukan tim
 Penentuan lingkup system manajemen
 Tinjauan awal
 Kebijakan K3
 Identifikasi bahaya,penilaian resiko dan penentuan
Dalam tahapan ini, organisasi diminta untuk mulai menyusun landasan K3dalam organisasi
seperti penetapan kebijakan K3 yang disusun melalaui proses tinjau awal sebagai base line
assessment sebelum menyusun system K3 yang baik.
Dalam tahap ini,organisasi juga mulai mengidentifikasikan bahaya K3 yang terkait atau
terdapat dalam operasinya yang akan mempengaruhi implementasi K3 organisaasi
2 . Implementasi dan operasi
Tahap kedua terdiri dari tujuh lagkah yaitu:
 Sumberdaya,peran,tanggung jawab,tanggung gugatdan wewenang
 Pelatihan,kepedulian,dan kompetensi
 Komunikasi,konsultasi ,dan partipasi
 Pendokumentasian
 Penegendalian dokumen
 Pengendalian operasi.
 Kesiagaan dan tanggap darurat
Dalam tahap ini,SMK3 telah memasuki proses implementasi dan operasional sehingga mulai
bersifat teknis seperti melaksanakan pelatihan ,pengendalian dokumen,dan lainnya.
3.Evaluasi dan tinjau ulang
Tahap ini telah memasuki tahap pementauan hasil implementasi SMK3 yang terdiri atas 5
langkah yaitu:
 Pengukuran kinerja dan pemantauan
 Penyelidikan insiden,ketidaksesuaian,tindakan koreksi dan pencegahan
 Pengendalian rekaman
 Audit internal
 Tinjauan manajemen
Dalam tahap ini ,dilakukan berbagai kegiatan untuk memantau dan menyediakan bahwa
implementasi SMK3 telah berjalan sebagaimana yang diharapkan antara lain dengan melakukan
pengukuran kinerja K3 organisasi,melakukan pemantauan dan penyelidikan insiden.
Dalam tahap ini,termasuk juga mengelola ketidaksesuain dengan persyaratan OHSAS 18001
atau ketentuan perundungan yang berlaku.
Sebagai tahap akhir dalam siklus manajemen K3 adalah audit internal dan tinjau ulang
manajemen,yang dilakukan oleh manajemen secara berkala untuk mengevaluasi penerapan
SMK3 dalam organisasi.

13.4. 20 LANGKAH IMPLEMENTASI


 Pembentukan tim implementasi
 Lingkup system manajemen
 Tinjau awal
 Kebijakan K3
 Identifikasi penilaian dan pengendalian resiko
 Perundangan dan persyaratan K3
 Menetapkan onjektif dan target
 Menyusun program kerja
 Menetapkan sumberdaya,peran,tanggung jawab ,tanggung gugat,dan wewenang
 Pelatihan dan kepedulian
 Komunikasi,partisipasi dan konsultasi
 Pendokumentasian
 Pengendalian dokumen
 Pengendalian operasi
 Kesiapan dan tanggap darurat
 Pengukuran dan pemantauan kinerja
 Penyelidikan insiden dan ketidaksesuain
 Pengendalian rekaman
 Audit internal
 Tinjauan manajemen

13.5. SERTIFIKASI OHSAS 18001


 Jika telah menyelesaikan 20 langkah diatas dengan baik,maka diharapkan system
manajemen K3 organisasi telah sesuai dengan persyaratan OHSAS 18001,dan diharapkan
telah menjadi comprehensive OHSMS.
 Dengan demikian jika diperlukan dan diingikan,organisasi telah siap untuk memperoleh
sertifikasi OHSAS 18001 dari badan sertifikasi.
Namun sebagai pertibangan untuk memperoleh sertifakasi adalah sebagai berikut :
 Pilihlah badan sertifakasi yang telah diakui secara nasional dan internasional dan
memiliki reputasi
 Jika organisasi telah tersertifakasi lainnya misalnya ISO 9000 dan ISO 14000 ada
baiknya dipertimbangkan menggunakan badan sertifikasi yang sama.
BAB 14. Peranan Pemerintah dan Ikatan Profesi Penyuluhan dan Latihan Dalam
Keselamatan Kerja.
14.1. Konsep Pemerintah Terhadap K3 Para Pekerja
Dalam pasal 1 ayat 2 Undang-Undang  nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan
bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan  baik dalam maupun
diluar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri

maupun masyarakat. Sementara itu dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor:
Per-04/MEN/1994 tenaga kerja adalah setiap orang yang bekerja perusahaan yang belum wajib

mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja karena adanya pentahapan kepersetaan. Dari
kedua regulasi tersebut yang menjelaskan tenaga kerja, maka dapat disimpulkan bahwa tenaga
kerja adalah mereka yang bekerja di dalam perusahaan  maupun diluar perusahaan yang sama-
sama menghasilkan barang dan jasa, baik untuk sekedar memenuhi kebutuhannya maupun untuk
kebutuhan orang lain. Perusahaan wajib untuk melindungi pekerjanya dengan pemberian
jaminan sosial kepada pekerjanya.
Secara teoritis dikenal ada tiga jenis perlindungan kerja yaitu:
1.      Perlindungan sosial atau kesehatan kerja yaitu suatu perlindungan yang dengan usaha
kemasyarakatan, yang bertujuan untuk memungkinkan pekerja/buruh mengenyam dan
mengembangkan kehidupannya sebagai manusia pada umumnya, dan khususnya sebagai anggota
masyarakat dan anggota keluarga.
2.      Perlindungan teknis atau keselamatan kerja yaitu jenis perlindungan yang berkaitan dengan
usaha-usaha untuk menjaga agar pekerja/buruh terhindar dari bahaya kecelakaan yang
ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang dikerjakan.
3.      Perlindungan Ekonomis atau jaminan sosial, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan
dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja/buruh suatu penghasilan yang cukup
guna memenuhi keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya termaksud dalam hal
pekerja/buruh tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar kehendaknya.

Penjelasan lebih jauh dari ketiga jenis perlindungan diatas, dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Perlindungan sosial atau kesehatan kerja
Bahwa kesehatan kerja termaksud dalam perlindungan sosial karena ketentuan-ketentuan
mengenai kesehatan kerja berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, yang bertujuan untuk
melakukan pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan pengusaha dari tindakan sewenang-

wenang kepada pekerjanya, tanpa memperhatikan norma atau aturan yang berlaku. Dengan kata
lain bahwa adanya kesehatan kerja dimaksudkan untuk melindungi atau menjaga para
pekerja/buruh dari kejadian yang dapat merugikan kesehatan ataupun kesusilaan pekerja/buruh
ketika melakukan pekerjaannya.
2.      Perlindungan teknis atau keselamatan kerja
Keselamatan kerja termaksud dalam apa yang di sebut perlindungan teknis, yaitu perlindungan
terhadap pekerja/buruh agar selamat dari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh alat kerja atau

bahan pekerjaan. Perlindungan teknis ini ditentukan bukan hanya untuk melindungi kepentingan
para pekerja/buruh saja, tetapi juga kepada pengusaha dan pemerintah. Bagi pekerja, adanya
jaminan perlindungan keselamatan kerja akan menimbulkan suasana kerja yang tentram sehingga
pekerja buruh dapat memusatkan perhatian pada pekerjaannya secara maksimal tanpa perlu
kwatir sewaktu-waktu akan tertimpa kecelakaan kerja. Bagi pengusaha adanya pengaturan
keselamatan kerja di dalam perusahaannya akan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan yang
dapat mengakibatkan pengusaha harus memberikan jaminan sosial. Sedangkan bagi pemerintah
dan masyarakat, dengan adanya dan ditaatinya peraturan keselamatan kerja, maka apa yang
direncanakan pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat akan tercapai dengan meningkatnya
produksi perusahaan baik kualitas maupun kuantitas.
3.      Perlindungan ekonomis atau jaminan sosial
Program jaminan sosial  merupakan salah satu tanggung jawab dan kewajiban Negara untuk
memberikan perlindungan  sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi
kemampuan keuangan Negara. Para Negara berkembang  seperti Indonesia pengembangan
program jaminan sosial berdasarkan funded social security yaitu jaminan sosial yang di danai

oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal. Jaminan sosial tenaga
kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai
pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat
peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil,
bersalin hari tua dan meninggal dunia.
Kita harus sadari bahwa kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja merupakan resiko yang
dihadapi oleh tenaga kerja yang melakukan pekerjaan. Oleh karena itu untuk menanggulangi
hilangnya sebagian atau seluruh penghasilannya yang diakibatkan oleh kematian atau cacat
karena kecelakaan kerja baik fisik  maupun mental, maka perlu adanya jaminan kecelakaan

kerja. Demikian pula dengan tenaga kerja yang meninggal dunia  bukan akibat kecelakaan kerja
akan mengakibatkan terputusnya penghasilan, dan sangat berpengaruh pada kehidupan sosial
ekonomi bagi keluarga yang di tinggalkan, oleh karena itu diperlukan jaminan kematian dalam
upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya pemakaman maupun santunan
berupa uang.
Selain kecelakaan kerja dan meninggal dunia, hal lain yang mengakibatkan terputusnya atau
hilangnya penghasilan adalah faktor usia tua. Sebagai impact yang ditimbulkan dari usia tua
adalah munculnya kerisauan bagi tenaga kerja dan mempengaruhi ketenagakerjaan sewaktu
masih bekerja, khususnya bagi mereka dengan penghasilan rendah, sehingga dibutuhkan suatu
jaminan di hari tua. Jaminan hari tua memberikan kepastian penerimaan yang dibayarkan

sekaligus atau berskala pada saat pekerja mencapai usia 55 tahun . Hal terpenting lain dari
jaminan sosial tenaga kerja adalah berkenaan dengan jaminan pemeliharaan kesehatan. Hal ini
dimaksudkan untuk meningkatkan produktifitas tenaga kerja sehingga dapat dapat melaksanakan
tugas sebaik-baiknya dan hal ini juga merupakan  bagian dari upaya kesehatan di bidang
penyembuhan.
Hak ini tentu penting untuk dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memberikan kepastian
kepada pekerja akan eksistensi pekerjaan mereka, sehingga dalam bekerja mereka tidak lagi
diliputi rasa cemas yang berlebihan karena faktor-faktor tentu yang dapat memnggangu
konsentrasi pekerja dalam berkarya, memproduksi suatu barang atau jasa. Mengingat selama ini
para pekerja senantiasa mengalami kecelakaan kerja, namun kurang mendapatkan jaminan yang

pasti dari pihak perusahaan. Hal lain juga yang menjadi point penting adalah bahwa dengan
adanya regulasi yang jelas serta kontrol yang baik dari pemerintah terhadap aktivitas perusahaan
dimana para pekerja berkarya, maka pihak perusahaan tidak akan bertindak sewenang-wenang
kepada para pekerja.
14.2. Penyuluhan dan Latihan Dalam Keselamatan Kerja
Ikatan profesi yang berhubungan dengan keselamatan kerja mengatur segala hak dan kewajiban
dari profesi yang dijalani oleh para pekerja terlebih para pekerja yang tergabung dalam
organisasi profesi. Hubungan stragis antara pemerintah dan ikatan profesi, sangat dibutuhkan
guna mengontrol dan meminimalisir terjadi kecelekaan kerja pekerja. Pemerintah sebagai
institusi yang berwenang untuk membuat regulasi ketenagakerjaan, patut pula untuk
memperhatikan rasa keadilan bagi pekerja dan perusahaan. Sebaliknya ikatan profesi dari
perusahaan sebagai institusi yang mempergunakan jasa para pekerja untuk mendorong
perusahaan dalam pencapaian tujuannya, hendaknya juga mempertimbangkan rasa keadilan bagi
pekerja.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh kedua elemen tersebut akan mampu terwujudkan, mana kala
kedua institusi tersebut mampu bersinergi dan memahami secara benar dan mendatail apa yang
semestinya mereka jalankan, yaitu bagaimana kemudian sistem manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) pekerja, mampu mereka pastikan bahwa berjalan (berlangsung)
sebagaimana yang telah direncanakan. Karena tanpa adanya komitmen yang baik antar elemen
tersebut, maka upaya-upaya yang ditawarkan hanya akan menjadi solusi biasa yang tidak
memiliki manfaat apa-apa bagi bagi perbaikan sistem manajemen K3.
Hubungan dalam keselamatan kerja terhadap ikatan profesi, disini akan diambil beberapa contoh
dari organisasi profesi.
a. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)
PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) pada saat didirikannya, organisasi ini disamping
memiliki misi profesi juga ada tiga misi lainnya, yaitu misi politis-deologis, misi peraturan
organisaris, dan misi kesejahteraan. Misi profesi PGRI adalah upaya untuk meningkatkan mutu
guru sebagai penegak dan pelaksana pendidikan nasional. Guru merupakan pioner pendidikan
sehinnga dituntut oleh UUSPN tahun 1989: pasal 31; ayat 4, dan PP No. 38 tahun 1992, pasal 61
agar memasuki organisasi profesi kependidikan serta selalu meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan profesinya.(Herdyka, 2018) Adapun ikatan profesi guru tersebut yang berkaitan
dalam keselamatan kerja berada pada “hak dan kewajiban guru” menurut UU No. 14 Tahun 2005
yaitu :

1. Kewajiban Guru Pasal 20 undang-undang ini menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan, guru berkewajiban :
a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta
menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran.
b. Mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara
berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
c. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama,
suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status social ekonomi
peserta didik dalam pembelajaran.
d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum dan kode etik guru, serta nilai
agama dan etika
e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

2. Hak Guru Pasal 14 ayat 1 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan,
guru berhak :
a. Memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan
sosial.
b. Mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja.
c. Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual.
d. Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi.
e. Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang
kelancaran tugas keprofesionalan.
f. Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan,
penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode
etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
g. Memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas.
h. Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi.
i. Memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan.
j. Memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi
akademik dan kompetensi
k. Memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya

b. Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi (A2K4)


Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi (A2K4) adalah asosiasi profesi yang
didirikan pada tanggal 10 Desember 1998 berdasarkan Akta Notaris No. 133 tahun 2001. Para
pendiri A2K4-Indonesia, ialah para penggiat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di sektor
konstruksi yang berlatar belakang pejabat dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Departemen Pekerjaan Umum, kontraktor BUMN dan swasta nasional, yang bertekad untuk
memberikan kontribusi yang besar untuk peningkatan derajat keselamatan dan kesehatan kerja
bagi tenaga konstruksi di Indonesia.
Menurut Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi (2020), tujuan awal
didirikannya A2K4-Indonesia adalah untuk menampung para penggiat K3 di sektor konstruksi
guna meningkatkan keahliannya dalam aspek K3 konstruksi untuk ikut mensosialisasikan dan
mengawasi pelaksanaan peraturan perundangan serta standar K3 konstruksi, serta untuk
membantu program pemerintah dan perusahaan konstruksi dalam rangka mencegah dan
mengurangi jumlah kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang terus meningkat setiap tahunnya,
seiring dengan pesatnya kegiatan konstruksi. A2K4-Indonesia didirikan sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku sebagai asosiasi profesi yang diakui, dan telah mendapatkan
kepercayaan dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk memberikan pelatihan bagi
pegawai pengawas K3 konstruksi, dan pelatihan bagi tenaga kerja konstruksi dari berbagai
perusahaan konstruksi. T
ujuan program pendidikan dan pelatihan tersebut antara lain adalah untuk menghasilkan Ahli K3
Konstruksi, sesuai amanat Undang-undang Keselamatan Kerja Tahun 1971, yang mengacu pada
Surat Keputusan Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Depnakertrans RI No. Kep.
20/DJPPK/VI/ 2004, tanggal 30 Juni 2004, tentang Sertifikasi Kompetensi K3 bidang konstruksi
bangunan. Jumlah anggota A2K4-Indonesia yang bersertifikat Ahli K3 Konstruksi yang ditunjuk
oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tersebut sampai kini tercatat berjumlah 2.349
orang. A2K4-Indonesia sudah sejak dari pertengahan tahun 1990-an hingga kini telah
memberikan kontribusi dalam berbagai bentuk kegiatan penyuluhan, pendidikan, pelatihan,
bimbingan teknis, pembinaan/pengembangan kompetensi K3, serta pengembangan peraturan
perundangan dan standar terkait K3 konstruksi yang diprogramkan Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, Kementerian Pekerjaan Umum, maupun instansi pemerintah dan swasta
lainnya.

14.3. Latihan dalam Keselamatan Kerja


Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah pelatihan yang diselenggarakan untuk
membekali, meningkatkan dan mengembangkan kemampuan pekerja mengenai K3, biasanya
tentang prosedur pelaksanaan pekerjaan dan pengetahuan tentang bahaya-bahaya yang ada di
sekitar mereka dan pencegahannya. Pelatihan K3 sangat penting mengingat kebanyakan
kecelakaan terjadi pada pekerja yang belum terbiasa bekerja secara aman. Penyebabnya adalah
ketidaktahuan tentang bahaya atau cara mencegahnya meskipun mereka mengetahui tentang
adanya suatu risiko. Maka dari itu, mencegah kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja harus
menjadi prioritas utama bagi semua individu di tempat kerja. Sebagai pengusaha atau pengelola
perusahaan, membuat program pelatihan K3 berkelanjutan menjadi hal wajib yang harus
dilaksanakan untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman (Safety, 2017).
Keselamatan dan kesehatan kerja karyawan sangatlah penting untuk diperhatikan oleh setiap
perusahaan. Keselamatan dan kesehatan kerja karyawan sangat berpengaruh terhadap kinerja
perusahaan, sehingga perusahaan diharapkan mampu membuat suatu rencana tentang pelatihan
untuk para karyawan agar mengerti dan memahami cara penggunaan peralatan kerja dengan
baik(Hamid, 2015). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Hakam Ananta Kartika,
Djamhur Hamid dan Ika Ruhana (2015), pelatihan yang dilakukan oleh perusahaan kepada
karyawannya sangat memengaruhi tingkat keselamatan karyawan baik dari metode pelatihan dan
materi pelatihan.
Pihak perusahaan seharusnya memberi pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) kepada
pekerjanya untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Adapun manfaat dari pelatihan K3 yang
efektif adalah sebagai berikut (Safety, 2017) :
a. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pekerja
b. Membantu pekerja melaksanakan pekerjaannya dengan aman, tanpa menimbulkan
risiko bagi kesehatannya
c. Mengurangi kecelakaan kerja
d. Mengurangi absensi dan penggantian pekerja
e. Mengurangi biaya kompensasi akibat kecelakaan kerja
f. Mengurangi biaya pemeliharaan mesin dan kerusakan alat kerja
g. Meningkatkan produktivitas dan kepuasan kerja
h. Membangun komunikasi dan kerja sama yang lebih baik
f. Mengembangkan budaya K3 yang positif dengan lingkungan kerja yang aman dan
sehat
• Memenuhi kewajiban hukum bagi pengusaha untuk melindungi kesehatan dan keselamatan
pekerja

Peran stragis antara pemerintah dan perusahaan, sangat dibutuhkan guna mengontrol dan
meminimalisir terjadi kecelekaan kerja pekerja. Pemerintah sebagai institusi yang berwenang
untuk membuat regulasi ketenagakerjaan, patut pula untuk memperhatikan rasa keadilan bagi
pekerja dan perusahaan. Sebaliknya perusahaan sebagai institusi yang mempergunakan jasa para
pekerja untuk mendorong perusahaan dalam pencapaian tujuannya, hendaknya juga
mempertimbangkan rasa keadilan bagi pekerja. Apa yang menjadi hak para pekerja, hendaknya
ditunaikan oleh perusahaan, tidak terkecuali adalah hak asasi dasar akan keselamatan, kesehatan
dan kemanan yang baik dalam pekerjaan (Buton, 2015). Kolaborasi antar kedua institusi ini,
diharapkan mampu untuk menjembati hak para pekerja, tanpa mereka melupakan apa yang
menjadi tujuan dasarnya. Sebaliknya para pekerja juga harus mampu untuk menempatkan diri
pada kondisi ideal dalam bekerja, sebagai kosekuensi atas ditunaikannya hak asasi dasar mereka
oleh perusahaan. Upaya-upaya yang dilakukan oleh kedua elemen tersebut akan mampu
terwujudkan, mana kala kedua institusi tersebut mampu bersinergi dan memahami secara benar
dan mendatail apa yang semestinya mereka jalankan, yaitu bagaimana kemudian sistem
manajemen keselamatan dan Kesehatan kerja (K) pekerja, mampu mereka pastikan bahwa
berjalan (berlangsung) sebagaimana yang telah direncanakan. Karena tanpa adanya komitmen
yang baik antar elemen tersebut, maka upaya-upaya yang ditawarkan hanya akan menjadi solusi
biasa yang tidak memiliki manfaat apaapa bagi bagi perbaikan si stem manajemen K3

Anda mungkin juga menyukai