Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Angka kecelakaan kerja di Indonesia masih termasuk buruk. Pada tahun
2004 saja, lebih dari seribu tujuh ratus pekerja meninggal di tempat kerja.
Menurut Juan Somavia, Dirjen ILO, industri konstruksi termasuk paling rentan
kecelakaan, diikuti dengan anufaktur makanan dan minuman (Kompas,
1/05/04). Tidak saja di negara-negara berkembang, di negara maju sekalipun
kecelakaan kerja konstruksi masih memerlukan perhatian serius. Penelitian yang
dilakukan oleh Duff (1998) dan Alves Diaz (1995) menyatakan hasil analisa
statistik dari beberapa negara-negara menunjukkan peristiwa tingkat kecelakaan
fatal pada proyek konstruksi adalah lebih tinggi dibanding rata-rata untuk semua
industri, dalam Suraji (2000).
Kecelakaan kerja sering terjadi akibat kurang dipenuhinya persyaratan dalam
pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja. Dalam hal ini pemerintah sebagai
penyelenggara Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan
kepada tenaga kerja. Hal ini direalisasikan pemerintah dengan dikeluarkannya
peraturan-peraturan seperti : UU RI No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja,
Undang-undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK), dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No: Per.05/Men/1996
mengenai sistem manajemen K3.
Dahulu, para ahli menganggap suatu kecelakaan disebabkan oleh tindakan
pekerja yang salah. Sekarang anggapan itu telah bergeser bahwa kecelakaan kerja
bersumber kepada faktor-faktor organisasi dan manajemen. Para pekerja dan
pegawai mestinya dapat diarahkan dan dikontrol oleh pihak manajemen sehingga
tercipta suatu kegiatan kerja yang aman. Sejalan dengan teori-teori penyebab
kecelakaan yang terbaru, maka pihak manajemen harus bertanggung jawab
terhadap keselamatan kerja para pekerjanya.
Dalam bekerja kesehatan dan keselamatan kerja (K3) merupakan faktor
yang sangat penting untuk diperhatikan karena seseorang yang mengalami sakit
atau kecelakaan dalam bekerja akan berdampak pada diri, keluarga dan
lingkungannya. Salah satu komponen yang dapat meminimalisir Kecelakaan

1
dalam kerja adalah tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan mempunyai kemampuan
untuk menangani korban dalam kecelakaan kerja dan dapat memberikan
penyuluhan kepada masyarakat untuk menyadari pentingnya kesehatan dan
keselamatan kerja.
Rumah sakit merupakan salah satu tempat kerja dimana terdapat karyawan
baik medis dan medis, orang sakit, pengunjung, alat medis dan non medis. Rumah
sakit dibangun dilengkapi dengan peralatan yang dijalankan dan dipelihara
sedemikian rupa untuk menjaga dan mencegah kecelakaan serta persiapan dalam
menghadapai bencana maupun kebakaran. Kesehatan dan Keselamatan Kerja
adalah kesehatan dan keselamatan yang berkaitan dengan tenaga kerja, pekerjaan
dan lingkungan kerja, yang meliputi segala upaya untuk mencegah dan
menanggulangi segala sakit dan kecelakaan akibat kerja. Makalah ini akan
membahas peranan manajemen risiko K3 didalam dan diluar gedung, terutama di
Rumah Sakit.
1.2. Rumusan Masalah
Bedasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat ditentukan rumusan
masalah dalam makalah ini, yaitu:
1.2.1. Bagaimanakah pengertian manajemen risiko K3 ?
1.2.2. Bagaimanakah teori penyebab kecelakaan dan manajemen K3 ?
1.2.3. Bagaimanakah faktor resiko K3 didalam dan diluar gedung Rumah Sakit ?
1.2.4. Bagaimanakah perencanaan respon terhadap risiko ?
1.2.5. Bagaimanakah hirarki pengendalian risiko kesehatan dan keselamatan
kerja ?
1.2.6. Bagaimanakah proses manajemen risiko kecelakaan kerja ?
1.3. Tujuan Penulisan
Bedasarkan uraian rumusan masalah diatas maka dapat ditentukan tujuan
penulisan dalam makalah ini, yaitu
1.3.1. Untuk mengetahui pengertian manajemen risiko K3.
1.3.2. Untuk mengetahui teori penyebab kecelakaan dan manajemen risiko.
1.3.3. Unuk mengetahui faktor resiko K3 didalam dan diluar gedung Rumah
Sakit
1.3.4. Untuk mengetahui perencanaan respon terhadap risiko.

2
1.3.5. Untuk mengetahui cara pengendalian risiko kesehatan dan keselamatan
kerja.
1.3.6. Untuk mengetahui proses manajemen risiko kecelakaan kerja.

1.4. Manfaat Penulisan

Diharapkan manfaat dari penulisan makalah ini adalah dapat menambah


pengetahuan penulis dan pembaca tentang manajemen risiko keselamatan dan
kesehatan kerja terutama didalam dan diluar gedung, sehingga mempunyai bekal
untuk mengerjakan suatu pekerjaan sesuai prosedur dengan mengedepankan
kesehatan dan keselamatan kerja diri sendiri dan lingkungan.

3
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Manajemen Risiko Kesehatantan dan Keselamatan Kerja


Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan satu ilmu perilaku
yang mencakup aspek sosial dan tidak terlepas dari tanggung jawab keselamatan
dan kesehatan kerja baik dari segi perencanaan maupun pengambilan keputusan
dan organisasi, baik kecelakaan kerja, gangguan kesehatan, maupun pencemaran
lingkungan harus merupakan bagian dari biaya produksi. Manajemen K3 pada
dasarnya mencari dan mengumpulkan kelemahan operasional yang
memungkinkan terjadinya kecelakaan. Hal ini dapat dilaksanakan dengan
mengungkapkan sebab suatu kecelakaan, dan meneliti apakah pengendalian secara
cermat dapat dilakukan atau tidak. Kesalahan operasional yang kurang lengkap,
keputusan yang tidak tepat, salah perhitungan, dan manajemen yang kurang tepat
dapat menimbulkan risiko terjadinya kecelakaan (Rumondang, 1995).
Manajemen Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah suatu upaya
mengelola risiko untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang tidak diinginkan
secara komprehensif, terencana dan terstruktur dalam suatu kesisteman yang baik.
Sehingga memungkinkan manajemen untuk meningkatkan hasil dengan cara
mengidentifikasi dan menganalisis risiko yang ada (Soputan, Sompie, & Mandagi,
2014)
Tujuan dari manajemen risiko adalah untuk mengenali risiko dalam sebuah
proyek dan mengembangkan strategi untuk mengurangi atau bahkan
menghindarinya, dilain sisi juga harus dicari cara untuk memaksimalkan peluang
yang ada (Wideman, 1992). Dalam mencapai tujuan tersebut diperlukan suatu
proses di dalam menangani risiko-risiko yang ada, sehingga dalam penanganan
risiko tidak akan terjadi kesalahan. Proses tersebut antara lain adalah identifikasi,
pengukuran risiko dan penanganan risiko.

2.2. Teori Penyebab Kecelakaan dan Manajemen K3


Kecelakaan adalah kejadian merugikan yang tidak direncanakan, tidak
terduga, tidak diharapkan serta tidak ada unsur kesengajaan (Hinze, 1977). Ada
beberapa teori yang menjelaskan penyebab suatu kecelakaan. Dahulu teori

4
penyebab kecelakaan memandang bahwa kecelakaan disebabkan oleh tindakan
pekerja yang salah (misalnya pada The Accident-Proneness Theory). Semenjak
dikenalkannya The Chain-of-Events Theory, The Domino Theory, dan The
Distraction Theory, maka pihak organisasi dan manajemen yang dianggap
berperan sebagai penyebab suatu kecelakaan. Anggapan tentang kecelakaan kerja
yang bersumber kepada tindakan yang tidak aman yang dilakukan pekerja telah
bergeser dengan anggapan bahwa kecelakaan kerja bersumber kepada factor-
faktor organisasi dan manajemen (Andi, 2005). Pihak manajemen harus
bertanggung jawab terhadap keselamatan. Para pekerja dan pegawai mestinya
dapat diarahkan dan dikontrol oleh pihak manajemen sehingga tercipta suatu
kegiatan kerja yang aman. Pada teori yang terbaru makin terlihat bahwa penyebab
kecelakaan kerja semakin komplek.
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (MK3) adalah bagian dari
sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi,
perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya
yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan
pemeliharaan K3 dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan
kegiatan kerja, guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.
Konsep rasional Total Safety Control adalah suatu pengintegrasian tindakan
manajemen dan tindakan pelaksanaan yang sinergis untuk mempromosikan suatu
proses konstruksi yang aman (Suraji,2004). Ada banyak pendekatan dalam
manajemen K3, diantaranya menurut OHSAS 18001, dan menurut TQM di mana
keselamatan merupakan suatu pusat dan fokus integral dalam program
pengendalian mutu terpadu yang harus ditingkatkan secara terus - menerus untuk
memenuhi kepuasan pelanggan (intern-ekstern).

2.3. Faktor Resiko K3 didalam dan diluar Gedung Rumah Sakit


A. Faktor Resiko K3 didalam Gedung Rumah Sakit yang sering terjadi
yaitu;
1. Perawat tidak melakukan budaya one hand ketika menutup jarum.
masih menutup jarum dengan dua tangan untuk injeksi yang
menggunakan jarum terbuka sperti injeksi im, sc, ic dan iv lewat

5
injeksion plug/ karet pada infuset, dan masih memasang kembali
jarum untuk injeksi pada conector threeway, kebiasaan yang tidak
berbudaya K3 dalam menutup jarum tersebut bisa mengakibatkan
terjadinya cidera tertusuk jarum kepada perawat. Seharusnya perawat
memperhatikan SOP cara menyuntik yang aman dan SOP menutup
jarum suntik yang benar.
2. Terdapat beberapa ruangan yang tidak menyediakan tempat
pembuangan jarum sesuai standart. Sehingga bisa mengakibatkan
terjadinya bahaya tertusuk jarum oleh perwat sendiri atau bagian
cleaning servis yang bertugas untuk membuang sampah. Seharusnya
tempat sampah untuk pembuangan jarum, ampul obat ataupun benda
tajam tersebut harus menggunakan tempat yang tidak tembus oleh
benda tajam, atau safety box. Dalam hal ini peran penting dari rumah
sakit untuk memfasilitasi sarana dan prasarana untuk terwujudnya K3
yang baik, Rumah Sakit diwajibkan untuk menyediakan safety box
atau container.
3. perawat yang membuang sampah tidak sesuai penggolongan sampah,
masih tercampur antara sampah medis, non medis, botol infus dan
jarum dan beberapa tempat sampah yang tidak diberi keresek sesuai
warna berdasarakan jenis sampah. Hal tersebut bisa mengakibatkan
terjadinya pengolahan sampah yang tidak tepat, dan bisa
mengakibatkan terjadinya penyebaran infeksi. Seharusnya pembuangan
sampah digolongkan sesuai warna kresek:
a. Kresek warna hitam: untuk sampah non medis
b. Kresek warna kuning : untuk sampah medis
c. Kresek warna merah : untuk sampah radioaktif
d. Kresek warna ungu : untuk sampah cytotastika
e. Kresek warna coklat : limbah farmasi
f. Selain itu bisa dipicu karna kurangya pengetahuan dari perawat atau
pekerja lainnya, dan juga tidak tersedianya kresek kresek tersebut di
tempat kerja.

6
4. Penggunan alat pelindung diri (APD) yang kurang optimal. Terdapat
perawat yang melakukan tindakan tanpa menggunakan handscoon,
contohnya untuk tindakan pemasangan infus dengan alasan tidak bisa
meraba vena. Tidak mengunakan masker ketika melakukan tindakan
suctioning atau kontak dengan pasien infeksi. Hal ini bisa menyebabkan
penularan penyakit dari pasien ke perawat dan sebaliknya. Seharusnya
seorang perawat memperhatikan standart universal precausion.
5. Sering kali perawat atau tim kesehatan lainnya ketika memobilisasi
pasien tanpa menggunakan alat bantu, contohnya seperti, stracher atau
patchslide, dan juga tidak memperhatikan prosedur-prosedur dalam
memobilisasi pasien. Dari tindakan yang tidak tepat tersebut sering kali
dapat menyebabkan cidera sprint atau low back pain(LBP) pada
perawat. Selain itu juga bisa membahayakan pasien.
6. Terdapatnya kabel- kabel instalasi listrik pada ruang icu, kabel olor
yang tersambung-sambung, hal ini bisa mengakibatkan bahaya
kebakaran dan juga tersengat listrik bagi perawat. Seharusnya dilakukan
penataan yang rapi dan terstandart untuk instalasi listrik di ruang icu.
7. Terdapat perawat dan tenaga medis lainnya yang masih merokok di
lingkungan kerja, hal ini selain bisa merugikan untuk kesehatan, asap
bisa mencemari lingkungan rumah sakit, dan juga bisa memicu bahaya
kebakaran. Sebaiknya diberlakukan sangsi yang tegas bagi karyawan
yang melakukan hal tersebut.
8. Bersenda gurau saat bekerja, sehingga bisa mengurangi konsentrasi
dan ketelitian saat bekerja, sehingga bisa menimbulkan kerugian baik
diri sendiri, teman maupun pasien. Contohnya bisa terjadi kesalaah saat
mengoplos obat, atau tertumpah bahan-bahan medis berbahaya.
B. Faktor Resiko K3 diluar Gedung Rumah Sakit yaitu;
1. Ruang bangunan dan halaman : semua ruang/unit dan halaman yang
ada dalam batas pagar Rumah Sakit (bangunan fisik dan
kelengkapannya ) yang dipergunakan untuk berbagai keperluan dan
kegiatan RS.

7
2. Lingkungan bangunan RS harus mempunyai batas yang jelas,
dilengkapi dengan pagar yang kuat dan tidak memungkinkan orang atau
binatang peliharaan keluar masuk dengan bebas
3. Lingkungan bangunan RS harus bebas dari banjir, jika berlokasi di
daerah rawan banjir harus menyediakan fasilitas/teknologi untuk
mengatasinya.
4. Lingkungan RS harus bebas dari asap rokok, tidak berdebu, tidak
becek, atau tidak terdapat genangan air, dan dibuat landai menuju ke
saluran terbuka atau tertutup, tersedia lubang penerima air masuk dan
disesuiakan dengan luas halaman
5. Pencahayaan : jalur pejalan kaki harus cukup terang, lingkungan
bangunan RS harus dilengkapi penerangan dengan intensitas cahaya
yang cukup terutama pada area dengan bayangan kuat dan yang
menghadap cahaya yang menyilaukan
6. Kebisingan : terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki sehingga
mengganggu atau membahayakan kesehatan. Dengan menanam pohon
(green belt), meninggikan tembok dan meninggikan tanah (bukit
buatan) yang berfungsi untuk penyekatan/ penyerapan bising
7. Kebersihan : halaman bebas dari bahaya dan risiko minimum untuk
terjadinya infeksi silang, masalah kesehatan dan keselamatan kerja
8. Saluran air limbah domestic dan limbah medis harus tertutup dan
terpisah, masing-masing dihubungkan langsung dengan instalasi
pengolahan air limbah.
9. Luas lahan bangunan dan halaman harus disesuaikan dengan luas lahan
keseluruhan, sehingga tesedia tempat parkir yang memadai dan
dilengkapi dengan rambu parkir
10. Di tempat parkir, halaman, ruang tunggu dan tempat-tempat tertentu
yang menghasilkan sampah harus disediakan tempat sampah
11. Lingkungan, ruang, dan bangunan RS harus selalu dalam keadaan
bersih dan tersedia fasilitas sanitasi secara kualitas dan kuantitas yang
memenuhi persyaratan kesehatan sehingga tidak memungkinkan

8
sebagai tempat berenang dan berkembang biaknya serangga, binatang
pengerat, dan binatang pengganggu lainnya.
12. Jalur lalulintas pejalan kaki dan jalur kendaraan harus dipisahkan.
a. Jalur pejalan kaki: lebar, tidak licin, mengakomodasi penyandang
cacat, memiliki rambu atau marka yang jelas, bebas penghalang dan
memiliki rel pemandu
b. Jalur kendaraan: cukup lebar, konstruksi kuat, tidak berlubang,
drainase baik, memiliki pembatas kecepatan (polisi tidur), marka
jalan jelas, memiliki tanda petunjuk tinggi atau lebar maksimum,
memungkinkan titik perlintasan dan parkir, menyediakan
penyebrangan bagi pejalan kaki
13. Ketetapan yang diatur oleh the environment protection act 1990
mendefenisikan :
a. Polutan : limbah padat dibuang ke tanah,limbah cair dibuang ke
tanah atau saluran air, dibuang ke atmosfir, bising dalam komunitas
masyarakat
b. Limbah terkendali: limbah rumah tangga, limbah industri, limbah
usaha
c. Komersial Limbah khusus: limbah terkendali yang berbahaya
sehingga membutuhkan prosedur pembuangan khusus
14. Kriteria limbah berbahaya
a. Dapat menyala/mudah menyala
b. Iritan
c. Berbahaya
d. Beracun
e. Karsinogenik
f. Korosif
g. Produk obat-obatan yang hanya diresepkan

2.4. Perencanaan Respon Terhadap Risiko


A. Risiko Positif

9
Risiko positif adalah risiko yang mungkin terjadi dan merupakan
peluang untuk memberikan manfaat terhadap suatu proyek. Strategi untuk
risiko positif antara lain:
1. Exploit : strategi untuk memastikan bahwa kesempatan (risiko
positif) dapat terealisasi.
2. Share : alokasi kepemilikan kepada pihak ke tiga yang memiliki
kemampuan terbaik menangkap peluang manfaat proyek.
3. Enchance : memodifikasi ukuran kesempatan dengan meningkatkan
peluang dan dampak positif dengan mengidentifikasi dan
memaksimalkan pengendali kunci dari risiko berdampak positif.
B. Risiko Negatif
Risiko Negatif adalah risiko yang mungkin terjadi dan jika terjadi
dapat memberikan dampak buruk dan merugikan untuk suatu proyek.
Strategi untuk risiko negatif antara lain:
1. Avoid : upaya untuk mencegah risiko dengan cara menghentikan
aktivitas atau kondisi yang dapat memberikan risiko. Upaya ini
dilakukan jika tidak ada respon risiko yang sesuai untuk menangani
risiko yang diperkirakan.
2. Transfer : respon risiko yang dilakukan dengan upaya mengurangi
frekuensi ataupun dampak risiko dengan cara mentransfer atau
membagi porsi risiko dengan pihak lain dengan cara membuat asuransi
atau melakukan outsource pada aktivitas yang diperkirakan dapat
memberikan risiko.
3. Mitigate : melakukan tindakan pengurangan peluang atau dampak
dari aktivitas risiko yang dapat merugikan.

2.5. Hirarki Pengendalian Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Kendali atau kontrol terhadap bahaya dilingkungan kerja adalah tindakan-
tindakan yang diambil untuk meminimalisir atau mengeliminasi risiko kecelakaan
kerja melalui eliminasi, subsitusi, engineering control, warning system,
administrative control, dan alat pelindung diri (Wijanarko, 2017).
A. Eliminasi

10
Hirarki teratas adalah eliminasi dimana bahaya yang ada harus dihilangkan
pada saat proses pembuatan desain dibuat. Tujuannya adalah untuk
menghilangkan kemungkinan kesalahan manusia dalam menjalankan suatu
sistem karena adanya kekurangan pada desain. Penghilangan bahaya
merupakan metode yang paling efektif sehingga tidak hanya
mengandalkan perilaku pekerja dalam menghindari risiko, namun
demikian penghapusan benar-benar terhadap bahaya tidak selalu praktis
dan ekonomis. Misal: bahaya jatuh, bahaya ergonomi, bahaya confined
space, bahaya bising, bahaya kimia. Semua itu harus dieliminasikan jika
berpotensi berbahaya.
B. Substitusi
Metode pengendalian ini bertujuan untuk mengganti bahan, proses, operasi
ataupun peralatan dari yang berbahaya menjadi lebih tidak berbahaya.
Dengan pengendalian ini akan menurunkan bahaya dan risiko melalui
sistem ulang maupun desain ulang. Misal: sistem otomatisasi pada mesin
untuk mengurangi interaksi mesin-mesin berbahaya dengan operator,
menggunakan bahan pembersih kimia yang kurang berbahaya, mengurangi
kecepatan, kekuatan serta arus listrik, mengganti bahan baku padat yang
menimbulkan debu menjadi bahan yang cair atau basah.
C. Engineering Control
Pengendalian ini dilakukan bertujuan untuk memisahkan bahaya dengan
pekerja serta untuk mencegah terjadinya kesalahan manusia. Pengendalian
ini terpasang dalam suatu unit sistem mesin atau peralatan.
D. Warning System
Pengendalian bahaya yang dilakukan dengan memberikan peringatan,
intruksi, tanda, label yang akan membuat orang waspada akan adanya
bahaya dilokasi tersebut. Sangatlah penting bagi semua orang mengetahui
dan memperhatikan tanda-tanda peringatan yang ada dilokasi kerja
sehingga mereka dapat mengantisipasi adanya bahaya yang akan
memberikan dampak kepadanya. Aplikasi di dunia industri untuk
pengendalian jenis ini antara lain berupa alarm system, detektor asap, dan
tanda peringatan.

11
E. Administrative Control
Pengendalian bahaya dengan melakukan modifikasi pada interaksi pekerja
dengan lingkungan kerja, seperti rotasi kerja, pelatihan, pengembangan
standar kerja, shift kerja, dan housekeeping.
F. Alat Pelindung Diri
Alat pelindung diri dirancang untuk melindungi diri dari bahaya
dilingkungan kerja serta zat pencemar, agar tetap selalu aman dan sehat.
Adapun langkah-langkah keselamatan APD:
a. Selalu Gunakan APD
b. Bicarakanlah, apabila peralatan pelindung pribadi yang digunakan tidak
tepat untuk pekerjaan, atau tidak nyaman atau tidak sesuai sebagaimana
mestinya dengan mengatakan kepada rekan-rekan kerja atau kepada
supervisior
c. Pastikan lingkungan kerja selalu terinformasi tentang sifat dari bahaya
atau risiko yang mungkin dijumpai
d. Perhatikan APD yang digunakan. Dengan tidak merusak atau merubah
kemapuan APD menjadi berkurang kegunaannya. Karena kondisi APD
menentukan manfaat perlindungan yang diberikannya.
e. Lindungi Keluarga. Jangan membawa kontaminasi bahaya dari tempat
kerja ke keluarga atau teman-teman anda di rumah, tinggalkan APD di
tempat kerja
Berbagai jenis APD yang tersedia diklasifikasikan berdasarkan anggota
tubuh yang dilindungi, yaitu:
a. Perlindungan terhadap kepala
b. Perlindungan terhadap wajah dan mata
c. Perlindungan terhadap telinga
d. Perlindungan terhadap tangan dan lengan
e. Perlindungan terhadap tungkai kaki dan badan
f. Perlindungan terhadap kaki bagian bawah
g. Perlindungan dari potensi jatuh
h. Perlindungan terhadap pernapasan

12
Terdapat lima langkah dasar yang berhubungan dengan penanganan
terhadap risiko yang dapat dilihat pada Tabel 2 (Soputan, Sompie, & Mandagi,
2014).
Tabel 2. Penanganan Terhadap Risiko
Strategi Keterangan
Menghindar/menolak Tidak mengambil risiko
Mengurangi Mengurangi kemungkinan terjadinya risiko
Menandai/menerima Menandai risiko apabila terjadi
Menanggulangi Meminimalkan akibat dari risiko
Mengalihkan Mengalihkan risiko ke pihak lain

2.6. Proses Manajemen Risiko Kecelakaan Kerja


Proses yang dilalui dalam manajemen risiko adalah :
A. Perencanaan Manajemen Risiko
Perencanaan meliputi langkah memutuskan bagaimana mendekati dan
merencanakan aktivitas manajemen risiko untuk proyek.
B. Identifikasi Risiko
Tahapan selanjutnya dari proses identifikasi risiko adalah mengenali
jenis-jenis risiko yang mungkin dan umumnya dihadapi oleh setiap
pekerja.
C. Analisis Risiko Kualitatif
Analisis kualitatif dalam manajemen risiko adalah proses menilai
(assessment) kemungkinan dari risiko yang sudah diidentifikasi. Proses
ini dilakukan dengan menyusun risiko berdasarkan efeknya terhadap
tujuan proyek. Skala pengukuran yang digunakan dalam analisa kualitatif
adalah Australian Standard/New Zealand Standard (AS/NZS) 4360:2004.
Skala pengukurannya sebagai berikut:
A :Hampir pasti terjadi dan akan terjadi di semua situasi (almost certain)
B : Kemungkinan akan terjadi di semua situasi (likely)
C : Moderat, seharusnya terjadi di suatu waktu (moderate)
D : Cenderung dapat terjadi di suatu waktu (unlikely)
E : Jarang terjadi (rare)

13
Skala pengukuran analisa konsekuensi menurut NA/NZS 4360:2004
adalah sebagai berikut:

1. Tidak Signifikan : tanpa kecelakaan manusia dan kerugian materi.


2. Minor : bantuan kecelakaan awal, kerugian materi yang medium.
3. Moderat : diharuskan penanganan secara medis, kerugian materi
yang cukup tinggi.
4. Major : kecelakaan yang berat, kehilangan kemampuan operasi/
produksi, kerugian materi yang tinggi.
5. Bencana kematian: bahaya radiasi dengan efek penyebaran yang luas,
kerugian yang sangat besar

Evaluasi tingkatan risiko ditabelkan dan dapat dilihat pada Tabel 1.


Tabel 1. Tingkatan Risiko Menurut AS/NZS 4360:2004
Likelihood Severity Negligible Minor Moderate Major Extrime
(1) (2) (3) (4) (5)
Rare (1) Lox Low Low Low Medium
(1x1) (1x2) (1x3) (1x4) (1x5)
Unlikely (2) Low Low Medium Medium High
(2x1) (2x2) (2x3) (2x4) (2x5)
Possible (3) Low Medium Medium High High
(3x1) (3x2) (3x3) (3x4) (3x5)
Likely (4) Low Medium High High Very
(4x1) (4x2) (4x3) (4x4) High
(4x5)
Almost Certain (5) Medium High High Very Very
(5x1) (5x2) (5x3) High High
(5x4) (5x5)
Adapted from the AS/NZ 4360 Standard Risk Matrix and NHS QIS Risk Matrix
Sumber: Ramli, Soehatman. “Pedoman Praktis Manajemen Risiko
Dalam Perspektif K3 OHS Risk Management” dalam Soputan, dkk
(2014).

14
Keterangan:
Very High Risk : Risiko Sangat Tinggi
High Risk : Risiko Tinggi
Medium Risk : Risiko Sedang
Low Risk : Risiko Rendah

Gambar 1. Bagan Proses Manajemen Risiko


Sumber : Australia/ New Zealand Standard
AS/NZS 4360:2004
D. Analisis Risiko Kuantitatif
Proses identifikasi secara numerik probabilitas dari setiap risiko dan
konsekuensinya terhadap tujuan proyek.
E. Perencanaan Respon Risiko
Risk response planning adalah proses yang dilakukan untuk
meminimalisasi tingkat risiko yang dihadapi sampai batas yang dapat
diterima.
F. Pengendalian dan Monitoring Risiko
Langkah ini adalah proses mengawasi risiko yang sudah diidentifikasi,
memonitor risiko yang tersisa, dan mengidentifikasikan risiko baru,
memastikan pelaksanaan risk management plan dan mengevaluasi
keefektifannya dalam mengurangi risiko.

15
BAB III

HASIL OBSERVASI

3.1 Temuan Data


Dalam jurnal peneilitian oleh Pangalila, dkk (2017), Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) memperkirakan setiap tahun terjadi 385 kasus
kejadian luka akibat benda tajam yang terkontaminasi darah pada tenaga
kesehatan di rumah sakit di Amerika Serikat (Sihono, 2012). Terkadang paparan
terhadap darah yang disebabkan oleh tertusuk jarum meningkatkan risiko infeksi
virus yang ditularkan melalui darah seperti virus Hepatitis B (HBV) dengan risiko
5-40%, virus hepatitis C (HCV) dengan risiko 3- 10% dan human immune
deficiency virus (HIV) dengan risiko 0,2 – 0,5% „‟ (World Health Organisation,
2013).

3.2 Kasus
Saudara M adalah Seorang perawat yang bertugas di Ruang Hemodialisa
RSP Jember Klinik. Kejadian terjadi tanggal 12 September 2019 pukul 11.00
WIB. Saudara M melakukan tindakan terminasi pasien Hemodialisa, sebelum
melakukan kegiatan tersebut Saudara M menggunakan APD berupa masker,
sarung tangan dan apron pada saat membuang jarum av fistula pada safety box
jari telunjuknya tertusuk dan mengeluarkan darah, selanjutnya luka tersebut di
bersihkan dengan air mengalir tanpa dipencet-pencet, kemudian saudara M
melaporkan kejadian tertusuk tersebut pada IPCLN (Infection Prevention Control
Link Nurse) diruangan hemodialisa yang kemudian untuk dibuatkan laporan
tertulis dan kemudian diteruskan pada kepala unit hemodialisa untuk dilakukan
grading dan dilanjutkan ke IPCN (Infection Prevention Control Link Nurse) untuk
dilakukan pemeriksaan laboratorium dan tindakan lanjutan.

16
BAB 4
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Perencanaan Manajemen Risiko


Sebagai contoh berdasarkan kasus di atas, rumah sakit tempat Saudara M
akan mengalami kesulitan dalam rekrutmen jika rumah sakit tersebut memiliki
reputasi sebagai tempat kerja yang tidak aman. Hubungan kekaryawanan terkikis
jika para karyawan yakin bahwa manajemen di tempat mereka tidak cukup peduli
terhadap mereka dalam menyediakan tempat kerja yang tidak aman.
Untuk mengatasi kasus di atas, perlu adanya perencanaan manajemen
risiko oleh perusahaan tempat bekerja. Perencanaan meliputi langkah
memutuskan bagaimana mendekati dan merencanakan aktivitas manajemen
risiko.
Pendekatan pertama dalam program keselamatan adalah menciptakan
lingkungan psikologis dan sikap karyawan yang meningkatkan keselamatan, Jika
para karyawan secara sadar atau tidak sadar berpikir tentang keselamatan,
kecelakaan pun menurun. Dengan demikian, sebuah kebijakan perusahaan yang
kuat dalam menekan keselamatan dan kesehatan sangatlah penting (Mondy,
2008).
Pendekatan ke-dua dalam rancangan program keselamatan adalah
mengembangkan dan memelihara lingkungan kerja fisik yang aman. Manajemen
harus menciptakan lingkungan fisik yang tidak memungkinkan terjadinya
kecelakaan. Kehilangan produktivitas dari setiap karyawan yang cedera bukanlah
satu-satunya faktor yang perlu dipertimbangkan. Setiap tahap dalam manajemen
sumber daya manusia terlibat (Mondy, 2008).

4.2 Identifikasi Risiko


Tahapan selanjutnya dari proses identifikasi risiko adalah mengenali jenis-
jenis risiko yang mungkin (dan umumnya) dihadapi oleh setiap pekerja.
Cedera akibat tusukan jarum pada petugas kesehatan merupakan masalah
yang signifikan dalam institusi pelayanan kesehatan dewasa ini diperkirakan lebih
dari satu juta jarum digunakan setiap tahun oleh tenaga perawat. Ketika perawat

17
tanpa sengaja menusuk dirinya sendiri dengan jarum suntik yang sebelumnya
masuk ke dalam jaringan tubuh pasien, perawat berisiko terjangkit sekurang-
kurangnya dua patogen potensial. Dua patogen yaitu hepatitis B (HBV) dan
menyebabkan masalah ialah virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) Selain
itu juga rawan adalah saat petugas kesehatan melakukan recapping (memasukan
dengan tangan jarum suntik bekas pakai pada tutupnya sebelum dibuang) (Jagger,
1992 dalam Pangalila, dkk, 2017).

4.3 Analisis Risiko Kualitatif


Berdasarkan panduan manajemen resiko K3, maka penilaian resiko kasus
di atas adalah sebagai berikut.
1. Severity (Tingkat Keparahan/Dampak)
Berdasarkan keterangan, kejadian tertusuk jarum av fistula merupakan
cedera yang serius. Luka yang didapat merupakan luka gores yang tidak
dalam sehingga dapat dikategorikan berdampak ringan (minor). Adapun dapat
scoring 2 (dua).
Adapun yang dimaksud kategori minor yaitu bantuan kecelakaan awal,
kerugian materi yang medium.
2. Likelyhood (Frekuensi)
Berdasarkan data tahun 2017 dan 2018, kejadian mungkin terjadi (possible)
pada tahun tersebut sehingga dapat dikategorikan point 3 (tiga).

Untuk penilaian resiko sendiri dilakukan dengan melihat tabel resiko


sebagai berikut.
Likelihood Severity Negligible Minor Moderate Major Extrime
(1) (2) (3) (4) (5)
Rare (1) Lox Low Low Low Medium
(1x1) (1x2) (1x3) (1x4) (1x5)
Unlikely (2) Low Low Medium Medium High
(2x1) (2x2) (2x3) (2x4) (2x5)
Possible (3) Low Medium Medium High High
(3x1) (3x2) (3x3) (3x4) (3x5)

18
Likely (4) Low Medium High High Very
(4x1) (4x2) (4x3) (4x4) High
(4x5)
Almost Certain (5) Medium High High Very Very
(5x1) (5x2) (5x3) High High
(5x4) (5x5)
Adapted from the AS/NZ 4360 Standard Risk Matrix and NHS QIS Risk Matrix
Sumber: Ramli, Soehatman. “Pedoman Praktis Manajemen Risiko Dalam
Perspektif K3 OHS Risk Management” dalam Soputan, dkk
(2014).

Berdasarkan tabel di atas maka hasil penilaian resiko yang didapat dari
kasus adalah Moderat.

SCAT adalah suatu tool yang digunakan untuk mengevaluasi dan


menganalisis incident dengan menggunakan SCAT chart. SCAT dikembangkan
dari ILCI (International Loss Control Institute) Loss caution Model. Ada 5 block
dalam SCAT chart, dan model setiap block hampir sama dengan ILCI Loss
Caution.

Tabel 4.1 Tabel Gambaran Metode SCAT


Categories of Activities for
Description contact that Immediate a successful
Basic cause
of incident could have led cause loss control
to the incident program

Metode SCAT, meliputi:


1. Pada blok pertama diisi tentang diskripsi dari incident
2. Blok yang kedua diisi tentang berbagai hal yang dapat memicu timbulnya
kecelakaan
3. Blok ketiga berisikan tentang immediate cause.
4. Blok yang keempat berisikan basic cause

19
5. Blok yang kelima berisikan tentang tindakan yang dapat dilakukan untuk
mensukseskan loss control program.

Berdasarkan kasus di atas, dapat disusun tabel SCAT berikut.


Categori
es of
contact
Descripti Activities for a
that Immediate
on of Basic cause successful loss
could cause
incident control program
have led
to the
incident
Unsave Act:
- Kurang
konsentrasi
dan hati- - Edukasi K3
hati - Pada waktu awal
Kontak Kurangnya
Tergores - Tidak shift dilakukan
dengan kepatuhan
jarum menggunak safety briefing
jarum kepada
suntik an APD - Penggunaan alat
suntik standar
(Handschoo pencari vena
n) (vein viewer)

Unsave
Condition: -
Tabel 4.2 Tabel Gambaran Metode SCAT berdasarkan kasus

Skema di atas merupakan gambaran mengenai analisis kasus Tergores


Jarum Suntik. Pada kotak ke-dua terdapat blok yang berisi tentang berbagai hal
yang dapat memicu timbulnya kecelakaan, yaitu kontak dengan jarum suntik, hal
ini dapat dicegah dengan prosedur tindakan yang aman.

20
Pada kotak ke-tiga terdapat immediate cause (Penyebab Langsung) dari
kecelakaan. Terdapat. Ada dua kategori penilaian yaitu Unsafe Act dan Unsafe
Condition. Pada Unsafe Act kasus ini adalah tidak memakai APD (handschoon)
hal ini diperlukan untuk melindungi petugas dari kejadian kecelakaan yang tidak
kita inginkan. Pada kasus ini tidak ditemukan kondisi tidak aman di area kerja
teknisi tersebut.
Pada kotak ke-empat terdapat Basic Cause (Penyebab Dasar) bahwa
penyebab dasar kasus ini adalah perawat tersebut kurang patuh pada standar. Hal
ini dilihat dari perawat yang tidak menggunakan APD (handscoon) ketika bekerja,
padahal ia sedang melakukan tindakan mempersiapkan jarum suntik, tindakan
yang beresiko cukup tinggi untuk tertusuk. Di dalam SPO menyuntik yang aman
disebutkan bahwa handscoon adalah APD yang wajib dikenakan ketika
melakukan tindakan pengambilan sample darah.
Pada kotak yang ke-lima membahas tentang tindakan yang dapat
dilakukan untuk mensukseskan Loss Control Program. Beberapa rekomendasi
yang diberikan adalah edukasi K3, diberlakukannya safety briefing di setiap
briefing awal shift dan penggunaan Vein Viewer. Namun selain itu, hal yang
paling penting dilakukan adalah membekali perawat dengan pengetahuan yang
cukup mengenai K3 sehingga dapat meningkatkan tindakan aman dalam bekerja.

21
BAB 5
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
5.1. 1 Pengertian manajemen risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Manajemen Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah suatu upaya
mengelola risiko untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang tidak diinginkan
secara komprehensif, terencana dan terstruktur dalam suatu kesisteman yang baik.
Sehingga memungkinkan manajemen untuk meningkatkan hasil dengan cara
mengidentifikasi dan menganalisis risiko yang ada (Soputan, Sompie, & Mandagi,
2014).
5.1.2 Tujuan dan manfaat manajemen risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Manajemen Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja diterapkan dengan
tujuan sebagai berikut (International Labour Organization Jakarta, 2013): Proses
pengelolaan yang terdiri dari kegiatan identifikasi, evaluasi dan pengendalian
yang berhubungan dengan tercapainya tujuan organisasi ataupun perusahaan;
aplikasi kebijakan dan prosedur pengelolaan untuk memaksimalkan kesempatan
dan meminimalkan kerugian; aplikasi sistematik dari kebijakan, prosedur dan
pelaksanaan kegiatan identifikasi, analisis, evaluasi, pengendalian dan
pemantauan risiko.
5.1.3 Proses manajemen risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Proses yang dilalui dalam manajemen risiko adalah (Soputan, Sompie, &
Mandagi, 2014): perencanaan manajemen risiko; identifikasi risiko; analisis risiko
kualitatif.
5.1.4 Hirarki pengendalian risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Kendali atau control terhadap bahaya dilingkungan kerja adalah tindakan-
tindakan yang diambil untuk meminimalisir atau mengeliminasi risiko kecelakaan
kerja melalui eliminasi, subsitusi, engineering control, warning system,
administrative control, dan alat pelindung diri (Wijanarko, 2017).

22
5.2 Saran
Pada kesempatan ini Komite K3 hanya berpesan bahwa pada prinsipnya
kecelakaan dapat kita cegah. Angka kecelakaan yang semakin memuncak dapat
kita cegah dengan melakukan tindakan preventif dan berpedoman pada prinsip
kehati-hatian. Mematuhi segala peraturan undang- undang, SOP yang berlaku dan
kebijakan sistem K3 bukan merupakan hal yang berat jika menyangkut dengan
nyawa. Tumbuhkan kesadaran dalam diri kita akan pentingnya K3. Maka
kecelakaan kerja dapat kita hindari dan angka kecelakaan kerja dapat
diminimalisir seminimal mungkin.

23
DAFTAR PUSTAKA

Adityanto, Beryl,dkk. 2013. Manajemen Risiko Keselamatan dan Kesehatan


Kerja (K3) Pada Pekerjaan Struktur Bawah dan Struktur Atas Gedung
Bertingkat. Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
Semarang.

Anwar, Fahmi Nurul. 2014. Analisis Manajemen Risiko Kesehatan dan


Keselamatan Kerja (K3) Pada Pekerjaan Upper Structure Gedung
Bertingkat (Studi Kasus Proyek Skyland City – Jatinangor). Jurnal
Konstruksi ISSN : 2302-7312 Vol. 13 No. 1 2014.

Endroyo, Bambang. 2006. Peranan Manajemen K3 Dalam Pencegahan


Kecelakaan Kerja Konstruksi. Jurnal Teknik Sipil Universitas Negeri
Semarang. Volume III, No. 1. Januari 2006: 8 – 15

Soputan, Gabby E. M.,dkk. 2014. Manajemen Risiko Kesehatan Dan


Keselamatan Kerja (K3) Study Kasus Pada Pembangunan Gedung SMA
Eben Haezar. Universitas Sam Ratulangi. Jurnal Ilmiah Media Engineering
Vol.4 No.4, Desember 2014 (229-238) ISSN: 2087-9334.

24

Anda mungkin juga menyukai