Anda di halaman 1dari 180

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN

SUATU KAJIAN TEORETIK KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH


SEBAGAI PENDIDIK, MANAJER, ADMINISTRATOR, SUPERVISOR,
PEMIMPIN, INOVATOR, DAN MOTIVATOR PENDIDIKAN

OLEH
I NYOMAN NATAJAYA
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PENDIDIKAN

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GENESHA
SINGARAJA
2012

PRAKATA
Puja dan puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Waca Tuhan Yang
Maha Esa, karena berkat rahmat dan bimbingan-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan buku
ajar dengan judul Problematika Pendidikan (Suatu Kajian Teoretik Kepemimpinan Kepala Sekolah
sebagai Pendidik, Manajer, Administrator, Supervisor, Pemimpin, Inovator, dan Motivator
Pendidikan) dapat dislesaikan tepat sesuai dengan jadwal waktu yang direncanakan.
Buku ajar adalah sebagai salah satu produk dari pelaksanaan penelitian pengembangan
perangkat pembelajaran pada Program Pascasarjana Undiksha Singaraja dalam rangka untuk
mendukung perkuliahan mata kuliah Analisis Sumberdaya Pendidikan pada Program Studi S2
Administrasi Pendidikan. Buku ajar ini dapat diselesaikan sudah tentunya tidak dapat dilepaskan
dari bantuan berbagai pihak terutama Direktur Program Pascasarjana Universitas Pendidikan
Ganesha yang berkenan membiayai penelitian dan penulisan buku ajar ini. Lembaga Penelitian
Undiksha Singaraja yang berkenan memfasilitasi secara administrasi pelaksanaan penelitian dan
penulisan buku ajar ini. Demikian juga pihak-pihak lain yang telah membantu mencermati,
mengkritisi dan memberikan saran yang diperlukan, sehingga penelitian dan penulisan buku ajar ini
dapat dilaksanakan dan selesai tepat sesuai dengan waktu yang direncanakan. Melalui kesempatan
ini kami mengucapkan terima kasih.
Kami menyadari bahwa buku ajar sebagai produk dalam penelitian pengembangan ini
masih ada kekurangannya, oleh karena itu tegur sapa, masukkan dan koreksi dari berbagai pihak
terutama yang memiliki perhatian terhadap laporan penelitian dan buku ajar ini masih tetap kami
harapkan demi untuk menambah kesempurnaannya.

Singaraja,

Nopember 2012
Peneliti,

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................

PARAKATA ............................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB. I

PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Rasional Penulisan Buku ................................................................... 1
B. Standar Kompetensi ........................................................................... 4

BAB. II KEPALA SEKOLAH SEBAGAI PENDIDIK .......................................


A.
B.
C.
D.
E.
F.

Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaiannya ............................. 5


Pengertian Tenaga Kependidikan ...................................................... 5
Jenis-jenis dan Kualifikasi Tenaga Kependidikan ........................... 8
Kepala sekolah sebagai Pendidik ................................................... 15
Rangkuman ...................................................................................... 19
Evaluasi ............................................................................................ 20

BAB. III KEPALA SEKOLAH SEBAGAI MANAJER PENDIDIKAN ............ 21


A. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaiannya ...........................
B. Pengertian Manajemen ....................................................................
C. Pengertian Manajemen Pendidikan .................................................
D. Kepala Sekolah Sebagai Manajer Pendidikan ................................
E. Rangkuman .....................................................................................
F. Evaluasi ...........................................................................................

21
21
25
30
35
36

BAB. IV KEPALA SEKOLAH SEBAGAI ADMINISTRATOR PENDIDIKAN . 37


A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.

Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaiannya ........................... 37


Administrasi Kurikulum .................................................................. 37
Administrasi Kesiswaan ................................................................... 40
Administrasi Kepegawaian 42
Administrasi Keuangan ... 43
Administrasi Sarana Prasarana . 46
Administrasi Kehumasan ....................... 48
Rangkuman 51
Evaluasi ............................................................................................ 52

BAB. V KEPALA SEKOLAH SEBAGAI SUPERVISOR PENDIDIKAN ....... 53

A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.

Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaiannya ............................. 53


Hakekat, Perkembangan, dan Tujuan Supervisi Pendidikan ........... 54
Kompetensi Kepala Sekolah Supervisor Pendidikan ...................... 58
Prinsip-prinsip, Metode, Teknik-teknik Supervisi Pendidikan ....... 66
Berbagai Pendekatan Supervisi Pendidikan .................................... 70
Pengembangan Perencanaan program Supervisi Pendidikan .......... 84
Rangkuman ....................................................................................... 88
Evaluasi ........................................................................................... 89

BAB. VI KEPALA SEKOLAH SEBAGAI PEMIMPIN PENDIDIKAN ............ 91


A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.

Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaiannya ............................ 91


Pengertian Kepemimpinan .............................................................. 91
Berbagai Gaya kpemimpinan .......................................................... 94
Kepemimpinan Asta Berata Sebagai gaya Kepemimpinan yang
Berbasis Budaya Bali ..................................................................... 104
Kompetensi Kepala Sekolah sebagai Pemimpin Pendidikan ......... 120
Kuasa dan Jenis Kuasa Kepala Sekolah .......................................... 128
Rangkuaman .................................................................................... 134
Evaluasi ........................................................................................... 135

BAB. VII KEPALA SEKOLAH SEBAGAI INOVATOR PENDIDIKAN ......... 136


A.
B.
C.
D.
E.
F.

Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaiannya ...........................


Pengertian Inovasi Pendidikan .......................................................
Pentingnya Inovasi Pendidikan ......................................................
Kepala Seolah sebagai Inovator Pendidikan ..................................
Rangkuman .....................................................................................
Evaluasi ..........................................................................................

136
136
142
146
149
151

BAB. VIII KEPALA SEKOLAH SEBAGAI MOTIVATOR PENDIDIKAN ... 152


A. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaiannya .......................... 152
B. Pengertian Motivasi ......................................................................... 152
C. faktor-faktor dan Cara-cara Motivasi ............................................. 154
D. Teori-teori Motivasi ........................................................................ 156
E. Rangkuman ..................................................................................... 169
f. Evaluasi ........................................................................................... 170
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 171

BAB. I
PENDAHULUAN
A. Rasional Penulisan Buku
Program studi yang dibina di lingkungan program pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja terdiri dari Program Studi Pendidikan Bahasa
Indonesia, Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Program Studi Administrasi
Pendidikan, Program Studi Teknologi Pendidikan, Program Studi Pendidikan Dasar,
Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, dan Program Studi Pendidikan
Matematika. Semua program studi yang ada dan dikelola di lingkungan Undiksha ini
memiliki visi, misi dan tujuan masing-masing. Program Studi Adminsitrasi Pendidikan
misalnya memiliki visi menjadikan Program Studi Administrasi Pendidikan memiliki
kualitas yang unggul dan andal dalam pengembangan sumberdaya manusia, dapat
mengikuti tantangan dan tuntutan kemajuan pembangunan pendidikan nasional, dan
kompetitif dalam perkembangan dunia global. Misi Program Studi Administrasi Pendidikan
adalah pertama menyelenggarakan program pendidikan yang menyiapkan tenaga ahli
dalam bidang kependidikan, tenaga pendidik yang profesional (Dosen), calon kepala
sekolah dari tingkat SD sampai pada SMTA, calon pengawas dari tingkat SD sampai pada
tingkat SMTA, dan tenaga ahli perencanaan dalam bidang pendidikan, kedua menyelenggarakan penelitian dalam bidang pendidikan utamanya dalam bidang administrasi
pendidikan dalam arti yang luas, dan yang ketiga adalah menyelenggarakan pengabdian
pada masyarakat dalam rangka ikut memecahkan berbagai masalah dalam bidang
kependidikan dan masalah-masalah pembangunan yang lainnya di tingkat kabupaten,
propinsi, dan tingkat nasional. Kemudian tujuan dari Program Studi Adminsitrasi

Pendidikan adalah pertama menghasilkan lulusan sebagai tenaga ahli dalam bidang
kependidikan, tenaga pendidik yang profesional (Dosen) dalam Administrasi Pendidikan,
calon kepala sekolah tingkat SD sampai SMTA, pengawas dari tingkat SD sampai SMTA,
tenaga ahli perecanaan, dan tenaga ahli perencanaan dalam bidang pendidikan, kedua
menghasilkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan humaniora yang
menunjang pengembangan ilmu kependidikan, dan pelaksanaan tugas profesi tenaga
pendidikan (Dosen), utamanya dalam bidang administrasi pendidikan dalam arti yang yang
luas, serta yang ketiga adalah menyelenggarakan pengabdian pada masyarakat dalam
rangka ikut memecahkan berbagai masalah dalam bidang kependidikan umumnya dan
bidang manajemen pendidikan pada khususnya, dan masalah-masalah pembangunan yang
lainnya di tingkat kabupaten, propinsi, dan tingkat nasional.
Pada saat sekarang ini di tahun 2012 terungkap berbagai permasalahan yang
dihadapi oleh Program Pascasarjana Program S2 Undiksha Singaraja, khususnya Program
Studi Administrasi Pendidikan, seperti masa studi mahasiswa adalah berkisar antara lima
sampai dengan tujuh semester. Demikian pula IPK komulatif yang dicapai oleh para lulusan
berkisar antara 3,00 sampai dengan 3, 50. Dilihat dari masa studi dan IPK yang dicapai
mahasiswa menunjukkan bahwa proses penyelenggaraan pendidikan pada program
Pascasarjana di Undiksha belum terlaksana secara maksimal.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan penyelenggaraan pendidikan pada
Program Pascasarjana Undiksha belum dapat dilaksanakan secara maksimal, diantaranya
adalah fasilitas yang mendukung perkuliahan seperti buku literatur yang tersedia baik di
perpustakaan umum di Undiksha maupun di perpustakaan Program Pascasajana masih
terbatas dan kurang lengkap. Keterbatasan pasilitas buku-buku di perpustakaan ini

terungkap dalam laporan dan temuan penelitian Trecer Study yang dilakukan oleh tim
dosen Program Pascasajana di Undiksha terhadap lulusan Program Pascasarjana yang
dilakukan secara berturut-turut dalam waktu dua tahun terakhir ini yaitu tahun 2010 dan
tahun 2011 (Koyan, dkk. 2010, 2011). Keterbatasan dan kelangkaan buku-buku literatur
tersebut lebih diperparah dengan sulitnya dapat ditemukan dan sangat jarangnya dijual di
toko-toko buku sehingga sulit dapat dicari dan dibeli untuk dimiliki bagi para mahasiswa.
Permasalahan lainnya yang dihadapi oleh mahasiswa program Pascasarjana pada
saat ini adalah bahwa sebagian besar inputnya berasal dari guru-guru mulai dari guru SD,
SMTP, dan SMTA yang tersebar di seluruh pulau Bali. Untuk mengakses semua guru yang
akan melanjutkan studi lanjut, maka perkuliahan untuk mahasiswa program pascasarjana
tersebut dikonsentrasikan di dua kampus yaitu kampus Singaraja, dan kampus Pegok
Denpasar. Di sisi yang lain pada saat sekarang ini teknologi imformasi komunikasi begitu
pesat perkembangannya dan sangat canggih. Lebih dari itu teknologi imformasi komunikasi
sudah dikembangkan dalam penyelengagaran pendidikan jarak jauh pada beberapa jenjang
pendidikan dan dapat berhasil dengan baik.
Untuk mengatasi permasalahan kelangkaan buku-buku yang mendukung kelancaran
perkulihan mahasiswa yang berlokasi pada dua lokasi yang cukup berjauhan yaitu di
kampus Singaraja dan kampus Pegok Denpasar tersebut, maka perlu dilakukan penelitian
pengembangan dengan mengangkat judul Pengembangan Perangkat Pembelajaran Mata
Kuliah Analisis Pengembangan Sumberdaya Pendidikan, Analisis Pengendalian Mutu
Pendidikan, Supervisi Pendidikan, dan Problematika Kepemimpinan Pendidikan Berbasis
E-Learning

Jadi dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan akan menghasilkan produk


paling tidak empat buah buku yang diharapkan dapat mendukung materi perkulihan dalam
mata kuliah: (1) Analisis pengembangan sumberdaya pendidikan, (2) Analisis pengendalian
mutu pendidikan, (3) Supervisi pendidikan, dan (4) Problematika pendidikan dengan
berbagai keterbatasannya yang dapat mengatasi kelangkaan ketersediaan buku-buku
literatur, dan secara teknis ada peluang untuk mengembangkan proses pembelajaran yang
berbasis E-Learning.
Jadi tujuan utama penulisan buku ini adalah pembangunan perangkat lunak
(software) yang akan dipasang pada portal web e-learning Program Pascasarjana Undiksha
untuk menyediakan sumber belajar alternatif kepada mahasiswa khususnya untuk mendukung materi mata kuliah Analisis Pengembangan Sumberdaya Tenaga Kependidikan.
B. Standar Kompetensi
Melalui mata kuliah ini mahasiswa diharapkan memiliki kemampuan, wawasan,
pemahaman terhadap berbagai konsep dan teori tentang sumberdaya tenaga kependidikan
mampu menganalisis keterpaduan antara sumberdaya (sumberdaya manusia khususnya
kepemimpinan kepala sekolah, tenaga kependidikan yang lainnya, sarana prasarana, dan
sumberdaya keuangan) mampu memecahkan berbagai masalah sumberdaya pendidikan
serta terampil mengaplikasikannya sebagai pemimpin dan manajer pendidikan.

BAB. II
KEPALA SEKOLAH SEBAGAI
PENDIDIK
A. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaiannya
Kompetensi Dasar
Memahami Pengertian Tenaga Kepen-

Indikator Pencapaiannya
Dapat menjelaskan pengertian tenaga kependi-

didikan
Memahami Jenis-jenis dan Kualifikasi

dikan secara hukum dan secara teoritik.


Dapat menjelaskan fungsi dan tugas utama dari

Tenaga Kependidikan
Memahami Kepala Sekolah sebagai

masing-masing jenis tenaga kependidikan.


Dapat menjelaskan kepala sekolah sebagai

pendidik.

pendidik.

B. Pengertian Tenaga Kependidikan


Tenaga kependidikan dalam beberapa kepustakaan disebut dengan nama atau istilah
yang berbeda-beda. Sutisna (1983) menyebut dengan istilah personil, Engkoswara (1987)
menyebut dengan istilah sumber daya insani, Wijono (1989) menyebut dengan istilah
ketenagaan sekolah, Harris, dkk (1979) menyebut dengan istilah personel, kemudian
Makmun (1996) menyebut dengan istilah tenaga kependidikan, sedangkan kalau melihat
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1992 yang mengatur tentang tenaga kependidikan di
Indonesia, dan Undang-undang RI. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menyebutnya dengan istilah tenaga kependidikan.
Dari berbagai istilah yang berkaitan dengan tenaga kependidikan tersebut secara
konseptual dan teoritik semuanya memang benar dalam arti dapat diterima, lebih-lebih
istilah tenaga kependidikan yang memiliki landasan hukum, yaitu Undang-undang RI. No.
20 Tahun 2003 tampaknya akan lebih tepat. Namun perlu diketahui bahwa dalam

manajemen juga dikenal dan digunakan istilah secara lebih umum, yaitu istilah sumber
daya manusia. Kemudian dalam kaitannya dengan tulisan di buku ini, maka istilah yang
digunakan barangkali dan bisa jadi istilah-istilah tersebut akan digunakan secara silih
berganti, karena pada dasarnya adalah sama saja.
Persoalannya yang muncul dan perlu dibahas adalah siapakah yang dimaksud
dengan tenaga kependidikan. Menurut ketentuan umum Undang-undang RI No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya pasal 1 (5) tenaga kependidikan yang
dimaksud adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk
menunjang penyelengaraan pendidikan. Dalam pasal 1 (6) tersebut juga dijelaskan pendidik
adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong
belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan yang lainnya yang sesuai
dengan kekhususannya, serta partisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Berdasarkan pada bunyi pasal 1 (5) dan (6) Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003
tersebut dapatlah diketahui bahwa tenaga kependidikan tersebut adalah memiliki makna
dan cakupan yang jauh lebih luas dari pendidik. Bisa jadi yang dimaksud termasuk dengan
tenaga kependidikan tersebut di samping pendidik, seperti guru, dosen, konselor, pamong
belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, dan fasilitator, adalah juga termasuk kepala sekolah,
direktur, ketua, rektor, pimpinan PLS, penilik, pengawas, peneliti, pengembang bidang
pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi sumber belajar, penguji dan yang lainnya.
Semua jenis sumberdaya manusia atau tenaga kependidikan tersebut penting untuk
dibahas dalam kajian ini karena sangat bermanfaat tidak saja untuk kepentingan dalam
pengembangan keilmuan atau dalam bidang teoritik akademik, tetapi yang lebih penting
adalah untuk kepentingan praktis dalam rangka dapat mengkontribusi pelaksanaan

10

pengembangan tenaga kependidikan khususnya kepala sekolah yang dianggap ideal.


Memang demikianlah kenyataannya sumber daya manusia tersebut dalam segala fungsi dan
perannya sangat penting bagi pencapaian tujuan suatu organisasi termasuk dalam bidang
pendidikan. Sebab kebijakan dalam pengelolaan sumbedaya manusia yang dilandasi oleh
suatu persepsi, kajian teori yang keliru, dan salah, yang dijadikan dasar dalam mengelola
semua faktor sistem pendidikan lainnya yang berupa uang, material yang melimpah ruah,
dan fasilitas yang lengkap tersebut tidak akan menjadi signifikan dan determinan dalam
mencapai tujuan pendidikan (Weber.1954., Harris, dkk. 1979). Sumberdaya manusia akan
sangat menentukan keberhasilanya, dan memang agak berbeda dengan mengelola material
yang berupa mesin-mesin atau teknologi yang canggih dimana mesin-mesin tersebut
walaupun juga menentukan keberhasilan suatu organisasi, tetapi mesin-mesin tersebut tidak
akan bisa mengeluh, tidak bisa melawan perintah, tidak akan mangkir dalam melaksanakan
tugas, tidak akan melaksanakan pemogokan, tidak akan terlibat dalam konflik-konflik
seperti manusia, tidak akan bisa mengajukan tuntutan perbaikan nasib, dan perbuatanperbuatan negatif yang lainnya (Siagian.1999). Menyadari begitu pentingnya sumberdaya
manusia tersebut, maka dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 1992
dijelaskan bahwa tenaga kependidikan merupakan komponen yang determinan dan
menempati posisi kunci dalam sistem pendidikan nasional. Pengembangan sumberdaya
manusia atau tenaga kependidikan yang memiliki kualitas kemampuan yang profesional
dan kinerja yang baik, tidak saja akan mengkontribusi terhadap kualitas lulusan yang
dihasilkan, melainkan juga berlanjut pada kualitas kinerja dan jasa para lulusan dalam
pembangunan, yang pada gilirannya kemudian akan berpengaruh pada kualitas peradaban
dan martabat hidup masyarakat, bangsa, serta umat manusia pada umumnya. Demikian juga

11

untuk lebih dapat memahami kajian tentang profesi kependidikan ini secara konseptual dan
teoritik, lebih empirik serta praktis, maka kajiannya akan difokuskan pada tenaga
kependidikan tetentu saja, khususnya kepala sekolah saja, karena jabatan kepala sekolah
tersebut adalah merupakan pengembangan jabatan dari guru. Kepala sekolah sebagai
jabatan atau tugas tambahan dari guru cukup menarik untuk dibahas karena di dalam diri
kepala sekolah tersebut di samping berfungsi sebagai pendidik juga disebutkan berfungsi
sebagai manajer, administrator, supervisor, pemimpin, inovator dan mativator, sehingga
jabatan kepala sekolah tersebut sering diakronimkan menjadi Emaslim. Dengan mengkhususkan fokus kajiannya pada kepala sekolah juga akan lebih mudah dalam memberikan
berbagai ilustrasi, contoh-contoh, pendalaman maupun dalam pengayaannya.
C. Jenis-jenis dan Kualifikasi Tenaga Kependidikan
Dalam uraian dan penjelasan tentang pengertian tenaga kependidikan sudah dapat
dimengerti secara jelas yang dimaksud dengan tenaga kependidikan tersebut adalah anggota
masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan
pendidikan seperti guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur,
dan fasilitator, termasuk kepala sekolah, direktur, ketua, rektor, pimpinan PLS, penilik,
pengawas, peneliti, pengembang bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi sumber
belajar, dan yang lainnya. Bahkan bisa jadi juga termasuk semua pengelola yayasan pada
lembaga-lembaga pendidikan swasta, dan semua pengambil kebijakan di birokrasi dan
stafnya di tingkat pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, tingkat keca-matan, dan di tingkat
desa.

12

Kalau persoalan jenis-jenis tenaga kependidikan dan tenaga pendidikan sudah


tampak dalam pembahasan teruraikan dengan sedikit lebih jelas, yang menjadi persoalan
lebih lanjut adalah masalah bagaimana kualifikasi tenaga kependidikan, khususnya
kualifikasi jabatan kepala sekolah tersebut. Secara teoritik serta mengacu sebagaimana
lazimnya pada negara-negara maju, maka kualifikasi tenaga kependidikan tersebut dapat
dibedakan menjadi tenaga pendidik, tenaga manajemen kependidikan, tenaga penunjang
teknis kependidikan, tenaga penunjang administratif kependidikan, tenaga peneliti,
pengembang dan konsultan kependidikan (Makmun. 1996., Sanusi. 1990). Dalam tulisan
ini akan dicoba dibahas secara ringkas dari masing-masing kualifikasi tenaga kependidikan
tersebut, dengan penjelasannya yang lebih difokuskan pada kualifikasi tenaga kependidikan
khususnya kepala sekolah.
Kualifikasi tenaga pendidik adalah tenaga kependidikan yang secara fungsional
tugas utamanya secara langsung memberikan pelayanan teknis kependidikan kepada
peserta didik. Sesungguhnya dalam hubungan ini alam telah melibatkan semua orang yang
melaksanakan tugas pelayanan tersebut termasuk para orang tua di rumah, para guru/dosen,
pembimbing dan pelatih di sekolah atau satuan-satuan pendidikan yang lainnya, para
instruktur atau fasilitator, pamong belajar pada pusat-pusat atau balai pelatihan dan kursuskursus, para pembina dan pembimbing pada berbagai perkumpulan atau sanggar atau
pedepokan serta organisasi yang melatih dan membimbing keterampilan seni dan budaya,
para ustadz dan pembina di pondok pesantren dan majelis-majelis taklim atau pengajian di
surau dan langgar, para penyiar TV dan Radio yang mengasuh acara dan mimbar
kependidikan, para penulis artikel dimedia cetak seperti majalah, koran, jurnal, buku
bacaan, buku pelajaran yang mengandung muatan atau nuansa kependidikan, para penyuluh

13

lapangan di bidang kesehatan/KB, hukum, pertanian dan sebagainya yang diselengarakan


oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Pelaksanaan tugas pelayanan kependidikan
tersebut dapat secara tatap muka secara langsung di kelas atau melalui TV, sistem belajar
jarak jauh, secara korespondensi, dan berbagai bentuk komunikasi lainnya. Namun
demikian perlu disadari bahwa masalah kualifikasi akademik tenaga pendidik tersebut
adalah diatur oleh undang-undang atau peraturan-peraturan. Oleh karena itu, kalau
diperhatikan pasal 9 undang-undang guru dapat diketahui bahwa kualifikasi akademik
seorang guru diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana, atau diploma empat
(D4). Sementara itu kalau diperhatikan pasal 42 (2) undang-undang sistem pendidikan
nasional disebutkan bahwa pendidikan formal pada jenjang usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah, kualifikasi akademik seorang guru haruslah berlatar belakang
pendidikan tinggi dan dihasilkan oleh perguruan tinggi. Demikian pula dalam PP No. 19
tahun 2005 dalam pasal 29 (2) disebutkan bahwa guru SD/MI/SDLB harus berpendidikan
S1 atau D4 bidang PGSD, psikologi, atau pendidikan lainnya. Kemudian dalam pasal yang
sama ayat tiganya disebutkan bahwa guru SMP/MTs/ SMPLB harus berpendidikan S1 atau
D4 dengan progam studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan. Dari bunyi
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut,
tampaknya kualifikasi guru seperti menuntut suatu persyaratan kualifikasi pendidikan
seorang guru tersebut adalah sama, yaitu lulusan pendidikan tinggi S1 atau D4. Namun
demikian jika makna bunyi pasal-pasal yang diatur dan terdapat dalam undang-undang
sistem pendidikan nasional, undang-undang guru, dan PP No. 19 tahun 2005 dirunut dan
disenergikan dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi guru di Indonesia haruslah minimum
berpendidikan S1 atau D4 dari program studi yang relevan, misalnya untuk menjadi guru

14

taman kanak-kanak dipersyaratkan harus lulusan pergruan tinggi S1 atau D4 PAUD/


PGTK/Psikologi/kependidikan lainnya. Seseorang untuk dapat diangkat menjadi guru
SD/MI/SDLB dipersyaratkan harus lulusan perguruan tinggi program S1 atau D4 PGSD/
Psikologi/Kependidikan lainnya. Untuk menjadi guru Matematika SMP/MTS/ SMPLB atau
SMA/MA/SMK/SMALB dipersyaratkan lulusan perguruan tinggi program S1 atau D4
Matematika atau Pendidikan Matematika. Persyaratan kualifikasi pendidikan minimum
bagi guru ini merupakan suatu lompatan yang cukup signifikan dalam upaya meningkatkan
kualitas pendidikan di negara kita (Samani, dkk. 2006).
Kualifikasi tenaga manajemen kependidikan, adalah tenaga kependidikan yang
secara fungsional melakukan layanan secara tidak langsung kepada tenaga teknis kependidikan, tetapi melakukan merancang dan merencanakan, mengorganisasikan dan memberikan pimpinan, mengkoordinasikan dan mengendalikan, memonitor dan mengawasi,
mengevaluasi dan menindaklanjuti, serta menggariskan kebijaksanaan seluruh kegiatan
penyelenggaraan pengelolaan program kegiatan kependidikan pada semua jenjang tataran
sistem pendidikan mulai tingkat struktural pusat, regional atau daerah, sampai pada tingkat
operasional. Sehubungan fungsi tenaga manajemen tersebut, maka yang bisa dimasukkan
sebagai tenaga manajemen kependidikan adalah: para perencana pendidikan, para pimpinan
struktural dari tingkat pusat sampai tingkat operasional kependidikan, para pimpinan atau
pengelola, para kepala sekolah, penilik dan pengawas, penilai dan penguji pendidikan, para
pembuat kebijakan atau keputusan.
Kualifikasi tenaga penunjang teknis kependidikan, adalah tenaga kependidikan yang
secara fungsional tugas utamanya menyiapkan kelengkapan sarana dan fasilitas teknis
kependidikan berikut memberikan pelayanan teknis pemanfaatannya dalam menjamin

15

kelangsungan dan kelancaran proses pendidikan. Sehubungan dengan fungsi tenaga


penunjang teknis yang dimaksudkan adalah mencakup seperti teknisi sumber belajar di
bengkel atau workshop, laboran di laboratorium, pustakawan di perpustakaan, instalator di
instalasi, teknisi sumber belajar di studio, teknisi sumber belajar di PSB, dan sebagainya.
Kualifikasi tenaga penunjang administrasi kependidikan, tenaga kependidikan yang
secara fungsional tugas utamanya mengadakan dan menyiapkan sarana dan prasarana
kependidikan serta memberikan layanan jasa administratif kepada pihak tenaga manajemen,
atau kepemimpinan pendidikan, dan tenaga teknis fungsional, serta penunjang teknis
kependidikan sesuai dengan kepentingannya. Siapa yang dimaksudkan dengan tenaga
penunjang admistratif kependidikan ini, antara lain dapat disebut seperti tenaga administratif birokrasi, ketatausahaan perkantoran kependidikan.
Kualifikasi tenaga peneliti, pengembang, dan konsultan kependidikan, adalah
tenaga kependidikan yang secara fungsional tugas utamanya tidak terlibat secara langsung
dalam teknis layanan kependidikan, manajemen kependidikan, layanan penunjang teknis
pendidikan, dan kepada tenaga penunjang administratif kependidikan, tetapi hanya
menyiapkan berbagai perangkat informasi dan data yang relevan dan dapat dipertanggung
jawabkan serta memberikan jasa pelayanan informal dan konsultansi kepada semua pihak
yang berkepentingan dengan kependidikan, khususnya mereka yang bertugas dan bertanggunjawab serta terlibat dengan penyelengaraan, pengelolaan dan pembuatan keputusan
tentang kependidikan. Keberadaan jenis ketenagaan kependidikan ini idealnya tersedia pada
semua jenjang tataran sistem kependidikan khususnya di perguruan tinggi. Dengan
demikian selayaknya pada suatu perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi yang

16

menangani bidang kependidikan memiliki berbagai pusat penelitian, berbagai pusat


pengembangan, maupun berbagai pusat atau unit konsultansi.
Berdasarkan pada uraian tentang berbagai jenis kualifikasi tenaga kependidikan
tersebut jelas kepala sekolah adalah termasuk tenaga kependidikan yang memiliki
kualifikasi sebagai tenaga manajemen pendidik, karena secara fungsional melakukan
layanan secara tidak langsung kepada tenaga teknis kependidikan, merancang dan
merencanakan, mengorganisasikan dan memberikan pimpinan, mengkoordinasikan dan
mengendalikan, memonitor dan mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, serta
menggariskan kebijaksanaan seluruh kegiatan penyelenggaraan pengelolaan program
kegiatan kependidikan pada tingkat persekolahan. Sehingga di dalam Peraturan Pendidikan
Nasional No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah diatur sebagai
berikut, untuk dapat seorang guru diberikan tugas tambahan sebagai kepala sekolah adalah
seorang guru apabila telah memenuhi persyaratan kualifikasi secara umum, dan kualifikasi
khusus kepala sekolah. Persyaratan kualifikasi umum yang dimaksudkan adalah sebagai
berikut: (a) memiliki kualifikasi akdemik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) kependidikan atau nonkependidikan pada perguruan tinggi yang terakreditasi, (b) pada waktu
diangkat sebagai kepala sekolah berusia setinggi-tingginya 56 tahun, (c) memiliki pengalaman mengajar sekuarang-kurangnya lima tahun menurut jenjang sekolah masing-masing,
kecuali di Taman Kanak-kanak/Raudhatul Athfal (TK/RA) memiliki pengalaman mengajar
sekuang-kurangnya tiga tahun di TK/RA, dan (d) memiliki pangkat serendah-rendahnya
III/C bagi pegawai negeri sipil bagi non-pegwai negeri sipil disetarakan dengan
kepangkatan yang dikeluarkan oleh yayasan atau lembaga yang berwewenang. Kemudian
persyaratan kualifikasi khusus yang harus dipenuhi oleh seorang guru untuk dapat diangkat

17

menjadi kepala sekolah tersebut sangan tergantung pada jenis dan jenjang persekolahan
tersebut, maka barangkali sebagai contoh dapat dikutifkan persyaratan kualifikasi khusus
Kepala Sekolah Menengah Atas/Madrsah Aliyah (SMA/MA) adalah sebagai berikut: (1)
bersetatus sebagai guru SMA/MA, (2) memiliki sertifikat pendidik sebagai guru SMA/MA,
dan (3) memiliki sertifikat kepla sekolah SMA/MA yang diterbitkan oleh lembaga yang
ditetapkan pemerintah. Dengan adanya jabatan kepala sekolah merupakan tugas tambahan
dari guru, maka secara fungsional tugas kepala sekolah masih tetap sebagai tenaga
kependidikan kualifikasi pendidik, dalam arti secara langsung juga memberikan pelayanan
teknis kependidikan kepada peserta didik, dan sebagai tenaga manajemen pendidikan
melakukan layanan secara tidak langsung kepada tenaga teknis kependidikan, merancang
dan merencanakan, mengorganisasikan dan memberikan pimpinan, mengkoordinasikan dan
mengendalikan, memonitor dan mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, serta
menggariskan kebijaksanaan seluruh kegiatan penyelenggaraan pengelolaan program
kegiatan kependidikan pada tingkat persekolahan. Jadi dalam jabatan kepala sekolah
tersebut termasuk dua kualifikasi yaitu sebagai kualifikasi tenaga manajemen pendidikan
dan tenaga pendidik. Untuk kepala sekolah sebagai kualifikasi tenaga manajemen pendidikan dalam tugas tambahan kepala sekolah akan dibahas secara lebih teoritikal, lebih
dalam, dan lebih luas dalam pembahasan bab-bab berikutnya. Sedangkan kepala sekolah
sebagai kualifikasi tenaga pendidik akan dibahas dalam uraian selanjutnya.

D. Kepala Sekolah Sebagai Pendidik

18

Di dalam uraian tentang jenis dan kualifikasi tenaga kependidikan telah dijelaskan
bahwa kepala sekolah merupakan jabatan tugas tambahan, dan di sisi lain secara teoritik
maupun fungsional kepala sekolah juga disebutkan termasuk tenaga pendidik. Undangundang No. 20 Tahun 2003 yang mengatur tentang Sistem pendidikan Nasional dalam pasal
39 (2) berbunyi pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat,
terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Kemudian dalam Undang-undang No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam pasal 1 (1) berbunyi guru adalah pendidik
professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dengan demikian melihat posisi
kualifikasi kepala sekolah sebagai tenaga manajemen pendidikan dan tenaga pendidik,
maka kepala sekolah juga melaksanakan tugas sebagai pendidik, yaitu mendidik. Mendidik
menurut Wahjosumidjo (2008) diartikan memberikan latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran sehingga pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan
tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan latihan. Demikian juga dalam perkembangan selanjutnya kata
pendidikan dipersamakan dengan kata-kata pengajaran.
Berdasarkan pada pengertian pendidikan tersebut memberikan indikasi bahwa
proses pendidikan di samping secara khusus dilaksanakan melalui sekolah, dapat juga
diselenggarakan di luar sekolah, yaitu keluarga dan masyarakat. Lebih jauh dapat juga
dipahami bahwa seorang pendidik tersebut harus benar-benar mengetahui teori-teori dan

19

metode dalam pendidikan tersebut. Kepala sekolah sebagai seorang pendidik harus mampu
menanamkan, memajukan dan meningkatkan paling tidak empat macam nilai, yaitu: (1)
nilai mental, nilai yang berkaitan dengan sikap bathin dan watak manusia, (2) nilai moral
yang berkaitan dengan hal-hal ajaran baik dan buruk mengenai perbuatan, sikap dan
kewajiban atu moral yang diartikan sebagai ahklak, budipekerti, dan kesusilaan, (3) nilai
fisik hal-hal yang berkaitan dengan kondisi jasmani atau badan, kesehatan atau penampilan
manusia secara lahiriah, dan (4) nilai artistik yang berkaitan dengan kepekaan manusia
terhadap seni dan keindahan.
Kepala sekolah sebagai pendidik juga harus memperhatikan dua permasalahan
pokok, yaitu pertama adalah sasarannya, dan yang kedua adalah cara dalam melaksanakan
perannya sebagai pendidik.
Ada tiga kelompok yang menjadi sasaran dari kepala sekolah dalam melaksanakan
tugas mendidiknya, yaitu pertama adalah peserta didik atau murid, yang kedua adalah
pegawai administrasi, dan yang ketiga adalah guru-guru. Ketiga kelompok ini menjadi
sasaran dalam pendidikan yang dilakukan oleh kepala sekolah. Ketiga kelompok tersebut
antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya memiliki perbedaan-perbedaan
yang sangat prinsip, yang secara umum dapat dicermati dalam berbagai gejala dan perilaku
yang ditunjukannya seperti misalnya dalam tingkat kematangannya, latar belakang sosial
yang berbeda, motivasi yang berbeda, tingkat kesadaran dalam bertanggungjawab, dan lain
sebagainya. Konsekwensi dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut adalah kepala
sekolah di dalam melaksanakan tugas mendidikanya dalam rangka menanamkan (1) nilai
mental, nilai yang berkaitan dengan sikap bathin dan watak manusia, (2) nilai moral yang
brkaitan dengan hal-hal ajaran baik dan buruk mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban

20

atu moral yang diartikan sebagai ahklak, budipekerti, dan kesusilaan, (3) nilai fisik hal-hal
yang berkaitan dengan kondisi jasmani atau badan, kesehatan atau penampilan manusia
secara lahiriah, dan (4) nilai artistik yang berkaitan dengan kepekaan manusia terhadap seni
dan keindahan, juga seharusnya dengan menggunakan cara atau pendekatan yang berbedabeda terhadap setiap sasaran didiknya, tidak bisa dilakukan dengan pendekatan dan strategi
yang sama.
Berbagai pendekatan yang bisa digunakan oleh kepala sekolah terhadap kelompok
sasaran dalam melaksanakan pendidikan atau mendidik muridnya, staf pegawai administrasi, dan guru-gurunya. Pertama dengan menggunakan pendekatan atau strategi persuasi.
Persuasi yang dimaksudkan di sini adalah mampu meyakinkan secara halus sehingga para
siswa, staf pegawai administrasi dan guru-guru yakin akan kebenaran, merasa perlu dan
menganggap penting nilai-nilai yang terkandung dalam nilai-nilai aspek mental, moral,
fisik, dan estetika ke dalam kehidupan mereka. Persuasi dapat dilakukan secara individu
maupun secara kelompok.
Kedua dengan pendekatan dan setrategi keteladanan, adalah hal yang patut, baik
dan perlu untuk dicontoh yang disampaikan oleh kepala sekolah melalui sikap, perbuatan,
perilaku termasuk penampilan kerja dan penampilan fisik.
Sudah tentunya kepala sekolah dalam menggunakan pendekatan dan strategi
persuasi dan keteladanan terhadap muridnya, staf pegawai, dan guru-guru tersebut harus
tetap berpijak dan menghormati norma-norma dan etika-etika yang berlaku dimasyarakat
khususnya di dunia pendidikan. Secara lebih spesifik bagaimana kepala sekolah seharusnya
memperlakukan muridnya atau anak didiknya. Kepala sekolah sebaiknya harus memahami
bahwa pengertian pendidikan tersebut tidak hanya semata-mata diberikan pengertian

21

sebagai proses mengajar saja, tetapi juga adalah sebagai bimbingan, dan yang lebih penting
juga adalah bagaimana dalam mengaplikasikannya proses bimbingan tersebut. Tampaknya
dalam hubungan dengan pemaknaan terhadap bimbingan tersebut tidak dapat dilepaskan
dari pengertian pembimbingan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara dalam sistem
amongnya. Tiga kalimat padat yang terkenal dalam sistem among tersebut adalah ing
ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karsa, dan tut wuri handayani. Ketiga kalimat
tersebut mempunyai arti bahwa pendidikan harus dapat memberi contoh, harus dapat
memberikan pengaruh, dan harus dapat mengendalikan peserta anak didiknya (Soetjipto
dan Raplis Kosasi, 1999). Sebagai kepala sekolah harus mampu menciptakan dan menumbuhkan kodisi yang kondusif yang dapat memberi dan membiarkan anak didiknya
menuruti bakat dan kondratnya sementara kepala sekolah memperhatikannya, dan mempengaruhinya dalam arti mendidiknya dan mengajarnya. Dengan demikian membimbing
mengandung arti dalam bersikap menentukan ke arah pembentukan kemana anak didik mau
dibawa atau ke arah tujuan pendidikan.
Kepala sekolah sebagai seorang pemimpin di sekolah harus bersikap positif terhadap guru-guru dan pegawai administrasi lainnya dalam melaksanakan tugasnya untuk
pencapai tujuan sekolahnya. Kepala sekolah dituntut mampu untuk dapat kerjasama, mampu untuk memberi arahan, dan memberi petunjuk, kepala sekolah diharapkan juga mampu
menerima berbagai masukkan, dan kritik dari guru-guru. Kepala sekolah juga mampu
membina, mendidik, melatih semua guru dan pesonil sesuai dengan bidang tugasnya
masing-masing dalam usaha tambahan pengetahuan keterampilan dan pengalaman maupun
perubahan sikap yang lebih positif terhadap pelakasanaan tugas.
E. Rangkuman

22

Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan


diangkat untuk menunjang penyelengaraan pendidikan. Tenaga kependidikan tersebut
memiliki makna dan cakupan yang jauh lebih luas dari pendidik. Bisa jadi yang dimaksud
termasuk dengan tenaga kependidikan tersebut di samping pendidik, seperti guru, dosen,
konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, dan fasilitator, adalah juga
termasuk kepala sekolah, direktur, ketua, rektor, pimpinan PLS, penilik, pengawas, peneliti,
pengembang bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi sumber belajar, penguji dan
yang lainnya. Kepala sekolah sebagai tenaga kependidikan dilihat dari kualifikasinya
termasuk sebagai tenaga pendidik, tenaga manajemen kependidikan, dan tenaga administrator prndidikan. Kepala sekolah sebagai tenga pendidik harus memahami bahwa
pengertian pendidikan tersebut tidak hanya semata-mata diberikan pengertian sebagai
proses mengajar saja, tetapi juga sebagai bimbingan, dan yang lebih penting juga adalah
bagaimana dalam mengaplikasikannya proses bimbingan tersebut. Tampaknya dalam
hubungan dengan pemaknaan terhadap bimbingan tersebut tidak dapat dilepaskan dari
pengertian pembimbingan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara dalam sistem
amongnya. Tiga kalimat padat yang terkenal dalam sistem among tersebut adalah ing
ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karsa, dan tut wuri handayani. Ketiga kalimat
tersebut mempunyai arti bahwa pendidikan harus dapat memberi contoh, harus dapat
memberikan pengaruh, dan harus dapat mengendalikan peserta anak didiknya. Sebagai
kepala sekolah harus mampu menciptakan dan menum-buhkan kodisi yang kondusif yang
dapat memberi dan membiarkan anak didiknya menuruti bakat dan kondratnya sementara
kepala sekolah memperhatikannya, dan mempe-ngaruhinya dalam arti mendidiknya dan

23

mengajarnya. Dengan demikian membimbing mengandung arti dalam bersikap menentukan


ke arah pembentukan kemana anak didik mau dibawa atau ke arah tujuan pendidikan.
F. Evaluasi
1. Jelaskan pengertian tenaga kependidikan secara hukum dan secara teoritik!
2. Jelaskan fungsi dan tugas utama dari masing-masing jenis tenaga kependidikan !
3. Jelaskan kepala sekolah sebagai pendidik !

24

BAB. III
KEPALA SEKOLAH SEBAGAI
MANAJER PENDIDIKAN
A.

Standar Kompetensi dan Indikator Pencapaiannya

Standar Kompetensi
Memahami pengertian Manajemen

Indikator Pencapaiannya
Dapat menjelaskan pengertian manjemen

Memahami pengertian Manajemen

dari tiga orang ahli


Dapat menjelaskan manajemen pendidikan

Pendidikan
Memahami Kepala Sekolah Sebagai

dari sisi proses.


Dapat menjelaskan keterampilan-

Manajer Pendidikan

keterampilan kepala sekolah sebagai


manajer

B. Pengertian Manajemen
Manajemen adalah proses merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan
mengendalikan usaha anggota-anggota organisasi serta pendayagunaan seluruh sumber
daya organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Wahjosumidjo.
2008). Pendapat yang lainnya menjelaskan bahwa pengertian manajemen adalah seni
melaksanakan pekerjaan melalui orang-orang (Stoner dan Freeman. 2000). Manajemen
adalah proses perencanaan, pengorganisasian, menggerakan, serta mengawasi aktivitasaktivitas sesuatu organisasi dalam rangka upaya mencapai suatu koordinasi sumber daya
manusia dan sumber daya alam dalam hal pencapaian sasasaran secara efektif serta efisien
(Winardi. 1990), Demikian juga Terry (1982) memberikan pengertian manajemen sebagai
pencapaian tujuan yang ditetapkan terlebih dahulu dengan mempergunakan kegiatan orang
lain. Sedangkan Seckler yang dikutif oleh Suryosubroto (2004) menjelaskan bahwa dalam

25

proses manajemen tersebut melalui beberapa kegiatan atau langkah pokok, yaitu sebagai
berikut: (1) proses perumusan dan perumusan kembali pokok kebijakan umum, (2) proses
pemberian, pembagian dan penggunaan wewenang, (3) proses perencanaan, (4) proses
pengorganisasian (5) proses penganggaran, (6) proses kepegawaian, (7) proses pelaksanaan,
(8) proses pelaporan, dan ke (9) proses pengarahan, pembimbingan, dan pengendalian.
Demikian juga Zainun (1987) dengan merujuk pada tugas-tugas manajemen yang dilakukan
oleh Kantor Anggaran di Amerika Serikat menyebutkan bahwa langkah dalam proses
manajemen tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, policy planning, adalah menggariskan apa-apa yang menjadi tujuan yang
meliputi tugas-tugas: (1) menentukan tujuan dalam garis besarnya sesuai dengan hasil yang
diinginkan, (2) menentukan prioritas pencapaian diantara tujuan-tujuan yang dirumuskan,
(3) menentukan cara-cara umum untuk merealisasikan tujuan tersebut, (4) mengadakan
batasan-batasan tentang waktu, biaya, serta mutu hasil yang hendak diproduksi. Kedua,
program planning, adalah menyusun rencana kerja untuk merealisasikan tujuan-tujuan
yang telah ditetapkan yang meliputi tugas-tugas: (1) menggariskan usaha kongkrit, (2)
melaksanakan prioritas di antara usaha, (3) menegaskan usaha-usaha dalam bentuk rencana
kerja dengan lebih terperinci dengan memperkirakan kegiatan, tempat, orang yang dilayani,
kesatuan organisasi, waktu, uang, keahlian, menyusun jadwal waktu, memperkirakan halhal yang akan mempengaruhi. Ketiga, organization planning jaitu merencanakan kegiatan
dan membentuk suatu kerangka organisasi dengan kegiatan yang mencakup (1) meneliti
dan membandingkan proses kerja yang ada, (2) menyusun suatu kerangka organisasi yang
akan memperhatikan masing-masing proses dan kegiatan-kegiatan tersebut, (3) mengadakan satuan-satuan pembantu untuk masing-masing tingkat organisasi. Keempat, merenca-

26

nakan dan menyusun prosedur dan metode kerja yang lebih khusus untuk masing-masing
bagian, kegiatan bantuan, dan kegiatan tambahan. Kelima, menyediakan dana serta
mengurus keuangan , memperhitungan, memperkirakan pemasukan dan pengeluaran yang
diperlukan, serta pembagian anggaran kepada yang membutuhkan. Keenam, melaksanakan
tugas-tugas kepegawaian yang mencakup penetapan jenis dan jumlah jabatan yang perlu
diisi, jabatan-jabatan yang lebih mendesak diperlukan, menempatkan orang-orang yang
sesuai dengan jabatan, serta mengusahakan pengembangan pegawai yang berhubungan
dengan jabatan, pekerjaan, dan lingkungannya. Ketujuh, mengumpulkan informasi yang
diperlukan untuk menjalankan pengontrolan yang diperlukan dalam menilai kinerja,
melihat kemajuan, dan mengetahui kekayaan. Dengan demikian dalam langkah ini perlu
juga didukung sistem penilaian kerja, menetapkan ukuran-ukuran kerja baik mengnai biaya,
mutu, dan hasil, mengolah catatan-catatan dan pelaporan-pelaporan, sistem pemeriksaan
kerja, informasi tentang akibat usaha organisasi terhadap masyarakat, dan mengumpulkan
informsi yang diperlukan untuk menyempurnakan rencana selanjutnya. Kedelapan,
menganalsis informasi tentang pelaksanaan kerja yang diperoleh melalui laporan atau hasilhasil penijauan untuk mengetahui: penyimpangan-penyimpangan, kesalahan-kesalahan dari
ukuran-ukuran, tingkat kemajuan, jadwal kerja. Menganalisis informasi tersebut harus
dilakukan secara obyektif dengan cara meneliti pengaruhnya terhadap masyarakat,
pandangan-pandangan orang lain, menilai tujuan dan cara pencapaiannya sudah tepat dan
benar. Kesembilan, mengadakan penyesuaian dan perbaikan terhadap program operasi dan
program obyektif dengan merevisi dan memperbaiki organisasi, prosedur, dan metode
kerja, mencukupi faslitas, dan mengadakan pergeseran dalam program obyektif dan usaha
untuk menyesuaikan dengan keadaan. Kesepuluh, menggerakkan organisasi dengan jalan:

27

mengetahui reaksi pegawai terhadap kebijaksanaan manajemen dan tujuan organisasi,


menganlisis kekuatan-kekuatan dan keadaan-keadaan luar yang mempengaruhi sikap
pegawai, mengkoordinasikan kebijaksanaan organisasi, menyampaikan perubahan tujuan
organisasi kepada anggota organisasi, mengadakan berbagai perangsang sosial, ekonomi
dan lain-lain, mengadakan sitem komunikasi yang baik, meningkatkan daya kerja dan kerja
sama di antara pegawai, memberitahukan berbagai kemajuan terhadap anggota organisasi.
Kesebelas, mencukupkan fasilitas dan alat perlengkapan yang lainnya dengan membangun,
memelihara serta menggunakan bangunan-bangunan yang baik, menyediakan dan
memelihara alat-alat perlengkapan lainnya. Keduabelas, memelihara hubungan-hubungan
ke luar antara lain dengan badan perwakilan rakyat, penjabat-penjabat administratif, yang
lebih tinggi, dinas-dinas yang mempunyai hubungan, dan masyarakat umum. Ketigabelas
mengeluarkan perintah-perintah harian untuk melaksanakan keputusan dan kebijaksanaankebijaksanaan serta mengadakan pengawasan dan pengumuman dan selebaran yang
lainnya.
Bedasarkan pada uraian tentang berbagai kegiatan atau tugas manajemen tersebut di
atas secara umum manajemen di sekolah dapat diberi makna dari berbagai sudut pandang,
seperti: (1) manajemen pendidikan sebagai kerjasama untuk mencapai tujuan pendidikan,
(2) manajemen pendidikan sebagai proses untuk mencapai tujuan pendidikan, (3)
manajemen pendidikan sebagai suatu sistem, (4) manajemen pendidikan sebagai suatu
upaya pendayagunaan sumber-sumber untuk mencapai tujuan pendidikan, (5) manajemen
pendidikan sebagai kepemimpinan manajemen, (6) manajemen pendidikan sebagai proses
pengambilan keputusan, (7) manajemen pendidikan sebagai aktifitas komunikasi, dan (8)
manajemen pendidikan sebagai kegiatan tata usaha di sekolah (Suryosubroto. 2004).

28

C. Pengertian Manajemen Pendidikan


Apabila beberapa pengertian manajemen tersebut dibahas secara lebih lanjut, maka
suatu uraian pendapat yang dapat dirujuk untuk lebih menjelaskan pengertian manajemen
pendidikan tersebut adalah pendapat yang dikemukakan oleh Sutjipto. dkk (1994) yang
menguraikan secara lebih jelas dan lengkap sebagai berikut.
Pertama, manajemen pendidikan memiliki pengertian sebagai suatu kerjasama
untuk mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan pada dasarnya merentang dari tujuan
yang sederhana sampai pada tujuan pendidikan yang kompleks, sesuai dengan lingkup dan
tingkat pendidikan. Tujuan pendidikan dalam satu jam pelajaran di kelas satu SMP,
misalnya lebih mudah dirumuskan dan dicapai bila dibandingkan dengan tujuan pendidikan
luar sekolah maupun untuk pendidikan orang dewasa, atau tujuan pendidikan nasional. Jika
tujuan pendidikan tersebut kompleks maka cara mencapai tujuan pendidikan tersebut juga
kompleks, dan seringkali tujuan pendidikan tersebut tidak dapat dicapai oleh satu orang
pendidik saja, tetapi melalui kerjasama dengan pendidik yang lainnya, dengan segala aspek
kerumitannya. Untuk lebih jelasnya memahami pengertian manejemen pendidikan sebagai
proses kerja sama dapat dicontohkan dengan contoh yang lainnya seperti misalnya pada
tujuan pendidikan tingkat sekolah tidak akan dapat dicapai tanpa adanya proses kerjasama
antara semua komponen sekolah mulai dari guru, pegawai, kepala sekolah, komite sekolah
pengawas dan lain sebagainya yang ada kaitnya dengan sekolah.
Kedua, manajemen pendidikan memiliki pengertian sebagai suatu proses untuk
mencapai tujuan pendidikan. Proses adalah suatu cara yang sistemik dalam mengerjakan
sesuatu (Wahjosumidjo. 2008). Jadi seorang manajer dimanapun termasuk kepala sekolah

29

dengan ketangkasan dan keterampilannya yang khusus akan mengusahakan berbagai


kegiatan yang saling berkaitan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Kegiatankegiatan tersebut berupa kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, memimpin, mengendalikan serta penilaian.
Merencanakan berarti kepala sekolah harus benar-benar memikirkan dan
merumuskan dalam suatu program tujuan dan tindakan yang akan dilakukan, mengorganisasikan berarti kepala sekolah harus mampu menghimpun dan mengkoordinasikan
sumberdaya manusia dan sumber material sekolah, sebab keberhasilan sekolah sangat
tergantung pada kecakapan dalam mengatur dan mendayagunakan berbagai sumber dalam
mencapai tujuan. Kemudian memimpin berarti kepala sekolah mampu mengarahkan dan
mempengaruhi semua sumberdaya manusia untuk melakukan tugas-tugas yang esensial,
dan mngendalikan berarti kepala sekolah memperoleh jaminan, bahwa sekolah berjalan
mencapai tujuan. Apabila terdapat kesalahan diantara bagian-bagian yang ada di sekolah,
kepala sekolah harus memberikan petunjuk dalam meluruskan. Demikian pula akhirnya
dalam proses kerjasama pendidikan tersebut harus ada penilaian untuk melihat apakah
tujuan yang telah ditetapkan tercapai atau tidak, dan kalau tidak apakah ada hambatanhambatan. Penilaian dapat berupa penilaian proses kegiatan atau penilaian hasil kegiatan
itu. Kemudian manajemen pendidikan sebagai proses dapat digambarkan sebagai berikut di
bawah ini.

Fungsi/Tugas
Manajemen
Merencanakan

Manusia

Fasilitas

Uang

Tujuan
pendidikan

30

Mengorganissaikan
Memimpin
Mengendalikan
Penilaian
Dst.nya

Guru,
Kepsek,
Pegawai,
Murid,

Kurikulum,
Laboratorium,
Perpustakaan,
Gedung,
Lapangan olah raga,

Gambar 3.1. Manajemen sebagai proses


Ketiga, manajemen pendidikan diberikan pengertian sebagai sistem. Sistem adalah
keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian dan bagian-bagian tersebut saling berinteraksi
dalam suatu proses untuk mengubah masukkan menjadi keluaran. Hal ini dapat digambarkan, sebagai berikut di bawah ini.

Masukan

murid

Proses belajar mengajar.


Kurikulum.
Lingkungan murid.
Sarana dan prasarana.
Organisasi sekolah

Keluaran

lulusan

Gambar 3.2 Manajemen sebagai suatu sistem


Pengertian manjemen pendidikan sebagai sistem tersebut tampaknya agak sulit,
tetapi sebenarnya tidak demikian. Ambilah contoh misalnya sekolah dasar. Sekolah dasar
merupakan suatu sistem yang bertujuan untuk memproses anak didik menjadi lulusan.
Sebagai suatu sistem sekolah dasar dapat dilihat ada komponen (1) masukkan, yaitu bahan
mentah yang berasal dari luar sistem yang akan diolah oleh sistem dalam sistem sekolah.
Masukkan tersebut berupa anak didik, (2) proses, yaitu kegiatan sekolah berserta aparatnya
untuk mengolah masukkan menjadi keluaran atau lulusan, dan (3) keluaran, yaitu masukan

31

yang telah diolah melalui proses tertentu. Luaran yang dimaksudkan di sini adalah berupa
lulusan.
Didalam manajemen modern termasuk didalam manajemen pendidikan tampaknya
waktu memiliki peranan penting mengingat waktu akan berjalan terus dan berlalu begitu
saja dan tidak dapat diperbarui. Waktu dalam manajemen berarti kesempatan jika tidak
dipergunakan dengan baik maka akan kehilangan waktu tersebut, dan kehilangan waktu
tersebut menjadi sebab kegagalan manajemen tersebut.
Keempat, manajemen pendidikan dapat diberikan pengertian sebagai pemanfaatan
sumberdaya manusia. Sumberdaya yang dimaksudkan tersebut adalah dapat berupa
manusia, uang, sarana parasarana dan waktu. Dalam mengunakan sumberdaya tersebut
harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Buku paket maupun alat-alat laboratorium sering
hanya dipajang, demikian kegiatan pembelajaran tidak digunakan secara efektif. Murid
banyak disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yang kurang bermanfaat seperti mencatat
bahan pelajaran yang sudah ada dalam buku, menunggu guru yang sering terlambat ke
kelas, dan lain sebagainya.
Kelima, manajemen pendidikan diberikan pengertian sebagai kepemimpinan.
Pengertian manajemen pendidikan sebagai kepemimpinan ini merupakan usaha untuk
menjawab pertanyaan bagaimana dengan kemampuan yang dimiliki administrator
pendidikan, pemimpin dapat melaksanakan tut wuri handayani, ing madyo mangun karsa,
dan ing ngarsa sung tulado dalam pencapaian tujuan pendidikan. Dengan kata yang lain
kepala sekolah dalam menggerakkan bawahan untuk mau bekerja secara lebih giat dengan
dapat dan mampu mempengaruhi dan mengawasi, bekerja sama dan memberi contoh. Oleh
karena itu maka seorang kepala sekolah tersebut seharusnya sudah tentunya menguasai dan

32

memahami teori dan praktik kepemimpinan, serta mampu dan mau untuk melaksanakan
pengetahuan dan kemaunnya tersebut.
Keenam, manajemen pendidikan diberikan pengertian sebagai proses pengambilan
keputusan. Setiap saat seoarang kepala sekolah akan dihadapkan pada berbagai macam
masalah, dan masalah tersebut segera harus dicarikan pemecahannya. Dalam memecahkan
masalah tersebut seorang kepala sekolah akan memerlukan kemampuan dalam mengambil
keputusan, yaitu memilih kemungkinan tindakan yang dapat dilakukan, sebab di dalam
mengambil keputusan tersebut akan ada banyak pilihan. Seorang kepala sekolah agar
mampu mengambil suatu keputusan yang terbaik untuk semua warga sekolah. Dalam
hubungan dengan kemampuan untuk mengambil keputusan tersebut manajmen pendidikan
akan dapat menuntun kepala sekolah untuk mengambil keputusan yang terbaik dari arti
akan memiliki resiko paling minimal.
Ketujuh, manajemen pendidikan memiliki pengertian sebagai cara berkomunikasi
yang baik. Komunikasi secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk membuat
orang lain mengerti apa yang kita maksudkan, dan kita juga mengerti apa yang
dimaksudkan oleh orang lain. Semua kegiatan atau aktivitas dalam pendidikan tidak ada
dan dapat dilakukan tanpa dengan adanya komunikasi. Jadi dalam pendidikan akan terjadi
komunikasi dan kerja sama untuk dapat saling mengetahui apa yang diinginkan oleh kepala
sekolah, oleh guru-guru, pegawai adminstrasi serta anak didik, sehingga proses pendidikan
dapat berjalan dengan baik dalam mencapai tujuan secaranya efektif.
Kedelapan, manajemen pendidikan diberikan pengertian sebagai kegiatan
ketatalaksanaan yang intinya adalah kegiatan rutin catat mencatat, mendokumentasikan

33

kegiatan, menyelenggarakan surat menyurat, mempersiapkan laporan dan yang lainnya.


Pengertian manajemen pendidikan yang demikian tersebut adalah sangat sempit.
D. Kepala Sekolah Sebagai Manajer Pendidikan
Kepala sekolah sebagai manajer merupakan motor penggerak, dan menentukan arah
kebijakan sekolah, yang akan menentukan bagaimana tujuan-tujuan sekolah dan pendidikan
pada umumnya dapat direalisasikan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka kepala sekolah
dituntut untuk meningkatkan efektifitas kinerjanya. Dengan demikian manajemen pendidikkan akan dapat memberikan hasil yang memuaskan. Kinerja kepemimpinan kepala sekolah
sebagai manajer adalah segala upaya yang dilakukan dan hasil yang dapat dicapai oleh
kepala sekolah di sekolahnya untuk mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif dan
efesien. Sehubungan dengan itu kepala sekolah sebagai manajer pendidikan dapat dilihat
dari: (1) mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pebelajaran
dengan baik, lancar dan produktif, (2) dapat menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai
dengan waktu yang telah ditetapkan, (3) mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan
masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan
tujuan sekolah dan pendidikan, (4) berhasil menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai
dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai di sekolah, (5) bekerja dengan tim
manajemen serta, (6) berhasil mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan. Demikian juga untuk dapat efktifitas dan efisiensi
manajemen pendidikan dapat terwujud maka seorang kepala sekolah menurut Stoner yang
dikutif oleh Wahjosumidjo (2008) mampu melaksanakan fungsi manajemen sebagai
berikut: (1) Kepala sekolah harus mampu bekerja dengan atau melalui orang lain. Jadi

34

orang lain yang dimaksudkan disini adalah para guru, siswa, dan pegawai adminitrasi,
termasuk atasan kepala sekolah dalam hal ini adalah pemerintah. Dalam fungsi seperti ini
kepala sekolah berperilaku sebagai saluran komunikasi di lingkungan sekolah. (2) Kepala
sekolah harus bertanggungjawab dan mempertanggungjawabkan terhadap keberhasilan atau
kegagalan sebagai seorang manajer. Bertangungjawab atas segala tindakan yang dilakukan
oleh bawahan. Perbuatan yang dilakukan oleh guru, siswa, staf dan orang tua tidak dapat
lepas dari tanggungjawab kepala sekolah. (3) Kepala sekolah harus mampu menghadapi
berbagai persoalan. Dengan segala keterbatasannya seorang kepala sekolah harus dapat
mengatur pemberian tugas secara tepat. Bahkan ada kalanya seorang kepala sekolah harus
dapat menentukan suatu prioritas bilamana terjadi konflik antara kepentingan bawahan
dengan kepentingan sekolah. (4) Kepala sekolah harus memiliki kemampuan berpikir
analistik dan konsepsional. Kepala sekolah di dalam memecahkan suatu permasalahan
harus melalui suatu analisis, kemudian menyelesaikan persoalan dengan suatu solusi yang
feasible. Kepala sekolah harus mampu melihat setiap tugas sebagai suatu kseluruhan yang
saling berkaitan, dan memandang persoalan yang timbul sebagai bagian yang terpisahkan
dari suatu kesluruhan. (5) Kepala sekolah harus mampu sebagai mediator. Kepala sekolah
harus turun tangan sebagai penengah di sekolah, sekolah sebagai suatu organisasi tidak
akan terelakan dari adanya suatu perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan atau
konflik satu dengan yang lainnya sebagai warga sekolah. (6) Kepala sekolah harus sebagai
politisi. Sebagai kepala sekolah harus selalu berusaha untuk meningkatkan tujuan sekolah
serta mengembangkan program jauh ke depan. Untuk itu sebagai seorang politisi kepala
sekolah harus dapat membangun hubungan kerja sama melalui pendekatan persuasi dan
kesepakatan. Peran politisi atau kecakapan politisi seorang kepala sekolah dapat

35

berkembang secara efektif apabila memiliki prinsip jaringan saling pengertian terhadap
kewajiban masing-masing, terbentuk suatu aliansi atau kualisi seperti organisasi profesi
PGRI, K3S dll, terciptanya kerja sama dengan berbagai pihak, sehingga aneka macam
aktivitas dapat dilaksanakan. (7) Kepala sekolah harus mampu sebagai seorang diplomat.
Kepala sekolah adalah wakil resmi sekolah yanhg dipimpinnya. Dalam peran sebagai
diplomat berbagai macam pertemuan akan diikuti. (8) Kepala sekolah sebagai pengambil
keputusan yang sulit. Tidak ada suatu organisasi apapun yang berjalan mulus tanpa
problem. Demikian pula sekolah sebagai suatu organisasi tidak luput dari problem, sperti
biaya, pegawai, perbedaan pendapat, dll. Apabila terjadi persoalan seperti tersebut kepala
sekolah diharapkan berperan sebagai orang yang dapat menyelesaikan persoalan yang sulit
tersebut.
Demikian beberapa tugas dan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang manajer
dalam hubungan ini seorang kepala sekolah. Lebih dari itu tugas dan kemampuan tersebut
harus pula didukung dengan beberapa keterampilan, yaitu keterampilan konseptual,
keterampilan hubungan manusiawi, dan keterampilan teknik (Pidarta. 1986, Wahjosumidjo.
2008, Balanchard. dkk. 1986). Lebih dari itu dijelaskan bahwa pada dasarnya setiap
pemimpin tersebut sebagai manajer sudah memilikinya. Persoalannya keterampilan yang
manakah yang harus lebih atau paling dominan didalam mengaplikasikannya tergantung
dari posisi seorang manajer tersebut, apakah posisinya sebagai manajer puncak, manajer
menengah, dan manajer supervisor. Kalau seorang pemimpin tersebut posisinya sebagai
manajer puncak mungkin yang paling menonjol harus dimiliki dan diaplikasikan adalah
keterampilan konseptual, apabila seorang pemimpin tersebut posisinya sebagai manajer
menengah maka yang harus dominan dimiliki dan diaplikasikan adalah keterampilan

36

hubungan manusia, dan kalau posisi pemimpin tersebut sebagai supervisor maka yang
harus dimiliki dan diaplikasikan secara lebih dominan adalah keterampilan teknis.
Untuk mudahnya dapat memahami keterampilan manajer tersebut, maka secara
visualisasinya dapat digambarkan dengan sebuah gambar sebagai berikut di bawah ini.
Posisi Manajer
Manajer Puncak

Keterampilan
manajer
Keterampilan konseptual

Manajer
Menegah

Hubungan mnausiawi

Manajer
Supervisor

Keterampilan teknik

Kemudian secara lebih rinci dijelaskan oleh Wahjosumidjo (2008) bahwa masingmasing keterampilan tersebut mempunyai beberapa indikator. Keterampilan konseptual
misalnya terditi dari: (1) kemampuan anlisis, (2) kemampuan berpikir rasional, (3) ahli
atau cakap dalam berbagai macam konsepsi, (4) mampu menganalisis berbagai kejadian,
serta mampu memahami berbagai kecendrungan, (5) mampu mengantisipasikan perintah,
(6) mampu mengenali berbagai macam kesempatan dan problem sosial. Keterampilan
hubungan manusiawi terdiri dari: (1) kemampuan untuk memahami perilaku manusia dan
proses kerjasama, (2) kemampuan untuk memahami isi hati, sikap dan motif orang lain,
mengapa mereka berkata dan berperilaku, (3) kemampuan untuk berkomunikasi secara
jelas dan efektif, (4) kemampuan untuk menciptakan kerjasama yang efektif, kooperatif,
praktis dan diplomatis, (5) mampu berperilaku yang dapat diterima. Kemudian keterampilan teknis terdiri dari: (1) menguasai tentang merode, proses, prosedur dan teknik untuk
melaksanakan suatu kegiatan khusus, dan (2) kemampuan untuk memanfaatkan serta

37

mendayagunakan sarana, peralatan yang diperlukan

dalam mendukung kegiatan yang

bersifat khusus tersebut. Dengan rumusan yang agak berbeda Danim (2006) menjelaskan
masing-masing keterampilan tersebut sebagai berikut. Keterampilan teknis adalah keterampilan dalam menerapkan pengetahuan teoritis kedalam tindakan praktis, kemampuan
menyelesaikan tugas dengan baik dan sistematis. Keterampilan teknis ini biasanya dominan
dimiliki oleh tenaga kerja bawahan, yang indikator mencakup: (1) keterampilan dalam
menyusun laporan pertanggungjawaban, (2) keterampilan menyusun program tertulus, (3)
keterampilan, (3) kamampuan untuk membuat data statistik sekolah, (4) keterampilan
merealisasikan keputusan, (5) keterampilan mengetik, (6) keterampilan menata ruang, (7)
keterampilan membuat surat. Keterampilan hubungan manusiawi adalah keterampilan
untuk menempatkan diri dalam kelompok kerja dan keterampilan menjalin komunikasi
yang mampu menciptakan kepuasan semua warga sekolah. Hubungan manusiawi ini akan
melahirkan situasi kooperatif dan menciptakan kontak manusiawi diantara para warga
sekolah. Hubungan manusiawi ini mencakup: (1) kemampuan menempatkan diri dalam
kelompok, (2) kemampuan untuk menciptakan kepuasan pada diri bawahan, (3) sikap
terbuka pada kelompok kerja, (4) kemampuan mengambil hati melalui keramah tamahan,
(5) penghargaan terhadap nilai-nilai etis, (6) pemerataan tugas dan tanggungjawab, dan (7)
itikad baik, adil, menghormati, dan menghargai orang lain. Kemudian keterampilan
konseptual yang dimaksudkan adalah kecakapan untuk memformulasikan pikiran,
memahami teori-teori, melakukan aplikasi, melihat kecendrungan berdasarkan kemampuan
teoritis yang dibutuhkan di dalam dunia kerja. Kepala sekolah dituntut memahami konsep
dan teori yang erat hubungannya dengan pekerjaan. Demikian juga indikator dari
ketrampilan konseptual tersebut disebutkan adalah mencakup: (1) pemahaman terhadap

38

teori secara luas dan mendalam, (2) kemampuan mengorganisasikan pikiran, (3) keberanian
mengeluarkan pendapat secara akademik, dan (4) kemampuan untuk mengkorelasikan
bidang ilmu yang dimiliki dengan berbagai situasi. Dalam hubungan dengan keterampilan
kepala sekolah Bordman, dkk (1961) menyatakan bahwa seorang kepala sekolah harus
mampu mengembangkan kemampuan profesional guru, mengembangkan program supervisi, dan merangsang guru untuk berpartisipasi aktif di dalam usaha mencapai tujuan
pendidikan yang diharapkan.
Dengan berdasarkan pada beberapa keterampilan yang dimiliki oleh kepala sekolah
sebagai manajer pendidikan, maka kepala sekolah harus mampu dan bisa membagi habis
semua tugas kepada guru dan personil sesuai dengan tingkat pengetahuan dan kemampuan
masing-masing. Kepala sekolah harus mampu membimbing semua personil agar mampu
melaksanakan tugas seoptimal mungkin secara efektif dan efisien.
E.

Rangkuman
Kepala sekolah sebagai manajer merupakan motor penggerak, dan menentukan arah

kebijakan sekolah, yang akan menentukan bagaimana tujuan-tujuan sekolah dan pendidikan
pada umumnya dapat direalisasikan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka kepala sekolah
dituntut untuk mampu memberdayakan segala sumberdaya dalam rangka meningkatkan
efektifitas kinerjanya. Dengan demikian manajemen pendidikkan akan dapat memberikan
hasil yang memuaskan. Kinerja kepemimpinan kepala sekolah sebagai manajer adalah
segala upaya yang dilakukan dan hasil yang dapat dicapai oleh kepala sekolah di
sekolahnya untuk mewujudkan tujuan pendidikan secara efektif dan efesien
F. Evaluasi

39

1. Jelaskan pengertian manjemen dari tiga pendapat ahli !.


2. Jelaskan manajemen pendidikan dari sisi proses !.
3. Jelaskan keterampilan-keterampilan kepala sekolah sebagai manajer pendidikan !.

BAB. IV
KEPALA SEKOLAH SEBAGAI
ADMINISTRATOR PENDIDIKAN
A.

Standar Kompetensi dan Indikator Pencapaiannya

40

Standar Kompetensi
Memahami administrasi kurikulum sekolah.

Indikator Pencapaiannya
Dapat menjelaskan bidang-bidang yang ter-

Memahami administrasi kesiswaan .

masuk administrasi kurikulum.


Dapat menjelaskan tujuan administrasi

Memahami administrasi kepegawaian

kesiswaan.
Dapat menjelaskan emahami administrasi

sekolah.
Memahami administrasi keuangan sekolah.

kepegawaian sekolah.
Dapat menjelaskan tahapan dalam menyusun anggaran Memahami administrasi keu-

angan sekolah.
Memahami administrasi sarana prasarana Dapat menjelaskan berbagai macam sarana
sekolah.
Memahami administrasi kehumasan sekolah

prasarana sekolah.
Dapat mnejelaskan posisi administrasi kehumasan sekolah.

Administrasi sekolah menurut Knezevicch yang dikutif oleh Sahertian (1985)

adalah suatu proses yang terdiri dari usaha mengkreasi, memelihara, menstimulir, dan
mempersatukan semua daya yang ada pada suatu lembaga pendidikan agar dapat mencapai
tujuan yang telah ditentukan dulu. Selanjutnaya Knezevicch menjelaskan bahwa cakupan
dari administrasi sekolah adalah meliputi: (1) pengembangan pengajaran dan kurikulum,
(2) pengelolaan kesiswaan, (3) mengelola personalia sekolah, (4) mengelola gedung dan
perlengkapan sekolah, (5) mengelola angkutan sekolah, (5) mengatur struktur sekolah, (6)
mengelola usaha dan keuangan sekolah, (7) mengelola hubungan dengan masyarakat. Oleh
karena itu maka semestinya para calon kepala sekolah, dan para kepala sekolah diberikan
pengertian, pemahaman secara teoretik dan empirik lebih luas dan dalam tentang
administrasi pendidikan, sehingga kelak dikemudian hari apabila sudah menjadi kepala

41

sekolah akan dapat melakukan dan menerapkan dalam melakasanakan tugas sebagai kepala
sekolah dengan baik, dalam arti mampu mendayagunakan sumberdaya manusia dan
sumberdaya sarana dan prasarana lainnya.

B.

Administrasi Kurikulum
Berdasarkan PP 19 Tahun 2005 dan Peratuan Menteri No. 22 Tahun 2006 ruang

lingkup administrasi kurikulum dan program pengajaran maka standar isi meliputi: (a)
kerangka dasar dan struktur kurikulum yang merupakan pedoman dalam penyusunan
kurikulum pada tingkat satuan pendidikan, (b) beban belajar bagi peserta didik pada satuan
pendidikan dasar dan menengah, (c) kurikulum tingkat satuan pendidikan yang akan
dikembangkan dan disusun oleh guru berdasarkan panduan penyusunan kurikulum sebagai
bagian tidak terpisahkan dari standar isi, (d) kalender pendidikan untuk penyelenggaraan
pendidikan pada satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah. Standar isi
dikembangkan oleh BSNP.
Struktur kurikulum di SMA/MA misalnya meliputi substansi mata pelajaran yang
ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama tiga tahun mulai kelas X sampai dengan
kelas XII. Struktur kurikulum disusun berdasarkan standar kompetensi lulusan dan standar
kompetensi mata pelajaran.
Pengorganisaian kurikulum SMA/MA Kelas X terdiri atas 16 mata pelajaran,
muatan lokal, dan pengembangan diri. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk
mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah,
termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata
pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.

42

Pengembangan diri bukan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri
bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan
mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai
dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan dibimbing oleh
konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan
ekstrakurikuler. Kemudian hal lainnya yang juga di dalam kurikulum adalah: (1) jam
pelajaran sesuai dengan yang tertera dalam struktur kurikulum. (2) satuan pendidikan
dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran perminggu secara
keseluruhan, (3) alokasi waktu satu jam pelajaran adalah 45 menit, dan (4) minggu efektif
dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34-38 minggu.
Standar kompetensi lulusan. Berdasarkan peraturan Menteri No. 23 tahun 2006,
standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan
kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Standar Kompetensi lulusan ini meliputi
kompetensi seluruh mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran. Kompetensi lulusan ini
mencakup aspek sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Standar penilaian pendidikan. Standar penilaian adalah standar yang mengatur
mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian prestasi belajar peserta didik. Penilaian
pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah seperti tertuang dalam PP 19
tahun 2005 terdiri atas: (a) penilaian hasil belajar oleh pendidik, (b) penilaian hasil belajar
oleh satuan pendidikan; dan (c) penilaian hasil belajar oleh Pemerintah. Panduan penilaian
setiap kelompok mata pelajaran yang diterbitkan oleh BSNP. Panduan penilaian tersebut
meliputi: (a) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, (b) kelompok mata
pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, (c) kelompok mata pelajaran ilmu pengeta-

43

huan dan teknologi, (d) kelompok mata pelajaran estetika; dan (e) kelompok mata pelajaran
jasmani, olahraga, dan kesehatan.
Dengan diberlakukannya kurikulum tingkat satuan pendidikan berdasarkan Permen
No. 22 tentang Standar Isi dan Permen 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan, maka
perangkat pembelajaran yang dapat disusun oleh sekolah meliputi: (1) pemetaan kompetensi dasar setiap mata pelajaran (analisis konteks), dan (2) standar ketuntasan belajar
minimal (SKBM). SKBM adalah pencapaian kompetensi dasar mata pelajaran oleh siswa
per mata pelajaran. Penetapan SKBM ini dilakukan oleh forum guru yang berada di
lingkungan sekolah yang bersangkutan maupun dengan sekolah yang terdekat (MGMP).
C. Adminstrasi Kesiswaan
Administrasi kesiswaan adalah merupakan pengaturan terhadap kegiatan-kegiatan
peserta didik dari mulai masuk sekolah sampai lulus sekolah. Tujuan dari pengaturan
kegiatan-kegiatan peserta didik dari mulai masuk sekolah sampai lulus sekolah tersebut
diarahkan pada peningkatan mutu kegiatan belajar mengajar baik intra maupun ekstra
kurikuler, sehingga memberikan kontribusi bagi pencapaian visi, misi, dan tujuan sekolah
serta tujuan pendidikan secara keseluruhan. Dengan demikian administrasi kesiswaan di
sekolah menengah (SMA-SMK) disusun untuk memberi petunjuk bagi penyelenggara dan
pengelola administrasi di sekolah agar pada pelaksanaan administrasi kesiswaan dapat
tertib dan teratur sehingga mendukung tercapainya tujuan sekolah.
Ruang lingkup administrasi kesiswaan meliputi: (1) perencanaan peserta didik yang
diawali dengan penerimaan siswa baru, dan masa orientasi siswa (MOS), (2) penerimaan
siswa baru (PSB) meliputi: penentuan kebijaksanaan PSB, sistem PSB, kriteria PSB,

44

prosedur PSB, dan pemecahan problema-problema PSB, (3) orientasi siswa baru, meliputi
pengaturan hari-hari pertama sekolah. Masa orientasi siswa (MOS), pendekatan dan teknikteknik yang digunakan dalam orientasi siswa adalah (1) mengatur kehadiran, dan ketidak
hadiran peserta didik di sekolah, (2) mengatur pengelompokan peserta didik, (3) mengatur
evaluasi peserta didik, baik dalam rangka memperbaiki proses belajar mengajar, bimbingan
penyuluhan maupun kepentingan promosi peserta didik, (4) mengatur kenaikan tingkat/
kenaikan kelas peserta didik, (5) mengatur peserta didik yang drop out, (6) mengatur kode
etik, dan peningkatan disiplin peserta didik, (7) mengatur organisasi peserta didik yang
meliputi seperi OSIS, Organisasi pramuka, PMR, KIR, kelompok studi, club pencinta alam,
peringatan hari besar keagamaan, (8) mengatur layanan peserta didik meliputi: layanan
BP/BK, layanan perpustakaan, layanan laboratorium, layanan penasihat akademik (wali
kelas), layanan koperasi siswa, mengatur kegiatan pelaksanaan wawasan wyatamandala.

D. Administrasi Kepegawaian
Dalam pasal 1 Undang-undang nomor 43 tahun 1999 tentang perubahan atas
Undang-undang nomor 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian, bahwa yang
dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah setiap warga negara RI yang telah
memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh penjabat yang berwenang dan diberikan
tugas dalam suatu jabatan negara atau diserahi tugas negara lain dan digaji berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan penjabat yang berwenang adalah
penjabat yang mempunyai wewenang mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan

45

PNS berdasarkan peraturan yang berlaku. Kedudukan PNS berdasarkan UU nomor 8 tahun
1974 adalah unsur aparatur negara, abdi negara, abdi masyarakat, namun dengan adanya
perubahan dengan UU nomor 43 tahun 1999, PNS berkedudukan sebagai unsur aparatur
negara yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur,
adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintah, dan pembangunan.
Melihat kedudukan PNS sebagai pelayan masyarakat, maka bagi PNS yang bertugas
di sekolah adalah melayani masyarakat sekolah atau steakholder yaitu guru, tenaga kependidikan, siswa, orangtua siswa, masyarakat lingkungan sekolah atau masyarakat peduli
pendidikan. Untuk memenuhi pelayanan, Mendiknas dengan keputusannya nomor 053/U/
2001 menetapkan pedoman penyusunan standar pelayanan minimal penyelenggaraan persekolahan bidang pendidikan dasar dan menengah.
Dilihat dari struktur organisasi SMA, Kepala Sekolah bertanggung jawab penuh
atas pelayanan kepada seluruh masyarakat sekolah dan pembinaan keberhasilan dan
peningkatan mutu pendidikan di SMA tersebut. Dalam memenuhi pelayanan yang optimal,
maka kepala sekolah dibantu oleh wakil kepala sekolah, kepala urusan tata usaha,
koordinator atau penangungjawab unit laboratorium, perpustakaan, atau unit lainnya..
Berbagai hal yang termasuk dalam Administarsi Kepegawaian tersebut adalah mencakup
rangkaian kegiatan penyelenggaraan dan pelayanan administrasi kepegawaian, antara lain:
(1) penyusunan formasi kebutuhan pegawai, (2) penerimaan pegawai, (3) pencatatan
pegawai dalam buku induk pegawai, (4) perlengkapan file kepegawaian, (5) prajabatan dan
pendidikan jabatan, (6) kenaikan pangkat, (7) kenaikan gaji berkala, (8) penyusunan DUK,
(9) DP3, (10) Cuti, (11) disiplin pegawai, dan (12) pemberhentian dan pension.

46

E. Administrasi Keuangan Sekolah.


Pengelolaan keuangan secara sederhana dapat dikemukakan sebagai suatu
usaha/proses

merencanakan,

mengorganisasikan,

mengarahkan, mengkoordinasikan,

mengawasi dan melaporkan kegiatan bidang keuangan agar tujuan sekolah dapat tercapai
secara efektif dan efisien.
a.

Perencanaan
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam menyusun rencana keuangan
sekolah adalah:
1)

Perencanaan harus realistis. Perencanaan harus mampu menilai


bahwa alternatif yang dipilih sesuai dengan kemampuan sarana/fasilitas,
daya/tenaga, dana, maupun waktu.

2)

Perlunya koordinasi dalam perencanaan. Perencanaan harus


mampu memperhatikan cakupan dan sasaran/volume kegiatan sekolah yang cukup
kompleks.

3)

Perencanaan harus berdasarkan pengalaman, pengetahuan dan


intuisi. Pengalaman, pengetahuan, dan intuisi mampu menganalisa berbagai
kemungkinan yang terbaik dalam menyusun perencanaan

4)

Perencanaan

harus

fleksibel

(luwes).

Perencanaan

mampu

menyesuaikan dengan segala kemungkinan yang tidak diperhitungkan sebelumnya


tanpa harus membuat revisi.
5)

Perencanaan yang didasarkan penelitian. Perencanaan yang


berkualitas perlu didukung suatu data yang lengkap dan akurat melalui suatu
penelitian.

47

6)

Perencanaan akan menghindari under dan over planning.


Perencanaan yang baik akan menentukan mutu kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan.

(Langkah-langkah penyusunan RAPBS diuraikan dalam pembahasan RAPBS)


b.

Organisasi dan Koordinasi


Agar perencanaan tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diinginkan,
Kepala Sekolah dituntut untuk dapat mengorganisasikan dengan menetapkan orangorang yang akan melaksanakan tugas pekerjaan, membagi tugas, dan menetapkan
kedudukan, serta hubungan kerja satu dengan yang lainnya agar tidak terjadi benturan,
kesimpangsiuran, dobel pekerjaan antara satu dengan lainnya. Dalam menetapkan
orang-orang untuk menempati kedudukan, Kepala Sekolah perlu mempertimbangkan
kemampuan dari masing-masing orang yang ditunjuk antara lain adalah mampu
melaksanakan sebagai:
1)

Bendahara

2)

Pemegang Buku Kas Umum

3)

Pemegang Buku Pembantu Mata Anggaran, Buku Bank, Buku Pajak,


Registrasi SPM, dan lain-lain

4)

Pembuat laporan dan pembuat arsip pertanggung jawaban keuangan (Jumlah


tenaga/staf yang diperlukan untuk mengelola kegiatan dana perlu disesuaikan
dengan bobot pekerjaan)

c.

Pelaksanaan

48

Staf yang dipilih diberi kepercayaan untuk membantu pengelolaan keuangan di sekolah
dituntut untuk memahami tugasnya sebagai berikut:
1)

Paham pembukuan

2)

Memahami

peraturan-peraturan

yang

berlaku

dalam

penyelenggaraan administrasi keuangan


3)

Layak dan mempunyai dedikasi tinggi terhadap pimpinan dan


tugas.

4)

Memahami bahwa bekerja dibidang keuangan adalah pelayanan

5)

Kurang tanggapnya bagian keuangan akan dapat mempengaruhi


kelancaran pencapaian tujuan

d.

Pengawasan
Pengawasan adalah suatu usaha untuk mencegah kemungkinan-kemungiinan
penyimpangan dari rencana instruksi, arahan/saran dari pimpinan. Dengan adanya
pengawasan (controlling) diharapkan penyimpangan yang mungkin terjadi dapat
ditekan sehingga kerugian dapat dihindari. Untuk melakukan pengawasan yang tepat
Kepala Sekolah dituntut untuk memahami secara garis besar pekerjaan yang dilakukan
oleh pelaksana administrasi keuangan, dan paham peraturan-peraturan pemerintah yang
mengatur tentang penggunaan dan pertanggung jawaban serta pengadministrasian uang
negara.

F. Administrasi Sarana Prasarana Pendidikan


Sarana pendidikan adalah semua perangkat peralatan, bahan, dan perabot yang
secara langsung digunakan dalam proses pendidikan di sekolah, sedangkan prasarana pen-

49

didikan adalah semua perangkat kelengkapan dasar yang secara tidak langsung menunjang
pelaksanaan proses pendidikan di sekolah.
Dalam hubungannya dengan sarana pendidikan, Nawawi (1987) mengklasifikasikannya menjadi tiga macam kelompok: (1) habis tidaknya dipakai; (2) bergerak tidaknya
pada saat digunakan; dan (3) hubungannya dengan proses belajar mengajar.
Sarana pendidikan yang habis dipakai adalah segala bahan atau alat yang apabila
digunakan bisa habis dalam waktu yang relatif singkat. Sebagai contoh adalah kapur tulis
yang biasa digunakan oleh guru dan siswa dalam pembelajaran, beberapa bahan kimia yang
digunakan oleh seorang guru dan siswa dalam pembelajaran IPA. Semua contoh di atas
merupakan sarana pendidikan yang benar-benar habis dipakai. Selain itu, ada beberapa
sarana pendidikan yang berubah bentuk, misalnya kayu, besi, dan kertas karton yang sering
kali digunakan oleh guru dalam mengajar materi pelajaran keterampilan. Sementara,
sebagai contoh sarana pendidikan yang berubah bentuk adalah pita mesin tulis, bola lampu,
dan kertas. Semua contoh tersebut merupakan saran pendidikan yang apabila dipakai satu
kali atau beberapa kali bisa habis dipakai atau berubah sifatnya. Sarana pendidikan yang
tahan lama. Sarana pendidikan yang tahan lama adalah keseluruhan bahan atau alat yang
dapat digunakan secara terus menerus dalam waktu yang relatif lama. Beberapa contohnya
adalah bangku sekolah, mesin tulis, atlas, globe, dan beberapa peralatan olahraga.
Sarana pendidikan yang bergerak adalah sarana pendidikan yang bisa digerakkan
atau dipindah sesuai dengan kebutuhan pemakaiannya. Lemari arsip sekolah misalnya,
merupakan salah satu sarana pendidikan yang bisa digerakkan atau dipindahkan ke manamana bila diinginkan. Demikian pula bangku sekolah termasuk sarana pendidikan yang bisa
digerakkan atau dipindahkan ke mana saja. Sarana pendidikan yang tidak bisa bergerak

50

adalah semua sarana pendidikan yang tidak bisa atau relatif sangat sulit untuk dipindahkan.
Misalnya saluran dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Semua peralatan yang
berkaitan dengan itu, seperti pipanya relatif tidak mudah untuk dipindahkan ke tempattempat tertentu.
Ditinjau dari fungsi atau peranannya dalam pelaksanaan proses belajar mengajar,
maka sarana pendidikan dibedakan menjadi 3 macam, yaitu alat pelajaran, alat peraga, dan
media pengajaran, kadang-kadang ketiga macam sarana tersebut sukar dibedakan, namun
dibawah ini dicoba dijelaskan sebagai berikut: (1) alat pelajaran adalah alat yang digunakan
secara langsung dalam proses belajar mengajar. Alat ini mungkin berwujud buku, alat
peraga, alat tulis, dan alat praktek, (2) alat peraga adalah alat bantu pendidikan dan
pengajaran, dapat berupa perbuatan-perbuatan atau benda-benda yang mudah memberi
pengertian kepada anak didik berturut-turut dari yang abstrak sampai kepada yang kongkrit,
dan (3) media pengajaran adalah sarana pendidikan yang digunakan sebagai perantara
dalam proses belajar mengajar, untuk lebih mempertinggi efektivitas dan efisiensi dalam
mencapai tujuan pendidikan. Ada 3 jenis media yaitu media audio, media visual, dan media
audio visual.
Prasarana pendidikan di sekolah bisa diklasifikasikan menjadi dua macam.
Pertama, prasarana pendidikan yang secara langsung digunakan untuk proses belajar
mengajar, seperti ruang teori, ruang perpustakaan, ruang praktik keterampilan, dan ruang
laboratorium. Kedua, prasarana sekolah yang keberadaannya tidak digunakan untuk proses
belajar mengajar, tetapi secara langsung sangat menunjang terjadinya proses belajar
mengajar, misalnya ruang kantor, kantin sekolah, tanah dan jalan menuju sekolah, kamar

51

kecil, ruang usaha kesehatan sekolah, ruang guru, ruang kepala sekolah, dan tempat parkir
kendaraan.
Secara umum, tujuan administrasi sarana prasarana sekolah adalah memberikan
layanan secara profesional di bidang sarana dan prasarana pendidikan dalam rangka
terselenggaranya proses pendidikan secara efektif dan efisien. Secara rinci, tujuannya
adalah sebagai berikut: (1) untuk mengupayakan pengadaan sarana dan prasarana
pendidikan melalui sistem perencanaan dan pengadaan yang hati-hati dan seksama. Melalui
administrasi sarana prasarana sekolah diharapkan semua perlengkapan yang didapatkan
oleh sekolah adalah sarana dan prasarana pendidikan yang berkualitas tinggi, sesuai dengan
kebutuhan sekolah, dan dengan dana yang efisien, dan (2) untuk mengupayakan pemakaian
sarana prasarana sekolah secara tepat dan efisien, sehingga keberadaannya selalu dalam
kondisi siap pakai dalam setiap dipelukan oleh semua personel sekolah.
G. Administrasi Kehumasan
Menurut The British Institute of Public Relation humas adalah aktivitas mengelola
komunikasi antara organisasi dan publiknya (Ruslan: 2006). Kemudian Harlow dalam
menjelaskan bahwa Public Relations adalah fungsi manajemen yang khas dan mendukung
pembinaan, pemeliharaan jalur bersama antara organisasi dengan publiknya, menyangkut
aktivitas komunikasi, pengertian, penerimaan dan kerja sama; melibatkan manajemen
dalam menghadapi persoalan/permasalahan, membantu manajemen untuk menanggapi
opini publik; mendukung manajemen dalam mengikuti dan memanfaatkan perubahan
secara efektif; bertindak sebagai system peringatan dini dalam mengantisipasi
kecenderungan penggunaan penelitian serta teknik komunikasi yang sehat dan etis sebagai

52

sarana utama (Ruslan: 2006). Dari dua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa humas
adalah aktivitas yang menghubungkan antara organisasi dengan masyarakat (public) demi
tercapainya tujuan organisasi dan harapan masyarakat tentang produk yang dihasilkan.
Humas dalam sistem pendidikan khususnya di sekolah mempunyai tujuan: 1)
Meningkatkan partisipasi, dukungan, dan bantuan secara konkrit dari masyarakat baik
berupa tenaga, sarana prasarana maupun dana demi kelancaran dan tercapainya tujuan
pendidikan. 2). Menimbulkan dan membangkitkan rasa tanggung jawab yang lebih besar
pada masyarakat terhadap kelangsungan program pendidikan di sekolah secara efektif dan
efisien. 3). Mengikutsertakan masyarakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi
sekolah. 4). Menegakkan dan mengembangkan suatu citra yang menguntungkan (favorable
image) bagi sekolah terhadap para stakeholdersnya dengan sasaran yang terkait yaitu publik
internal dan publik eksternal. 5) Membuka kesempatan yang lebih luas kepada para
pemakai produk/lulusan dan pihak-pihak yang terkait untuk berpartisipasi dalam
meningkatkan mutu pendidikan.
Hasil yang diharapkan dan indikator keberhasilan pelaksanaan humas sebagai
berikut. (1) Perhatian masyarakat meningkat. (2) Organisasi/instansi memiliki programprogram yang sesuai dengan keinginan masyarakat. (3)Terjalinnya kemitraan antara
organisasi/instansi dan masyarakat. (4) Akses informasi meningkat. (5) Provesionalisme
sivitas akademika, para pemimpin, dan para pengelola meningkat.
Humas/PR merupakan mediator yang menghubungkan antara organisasi/ instansi
dengan mayarakat memiliki sifat-sifat sebagai berikut. 1) Timbal balik. Hubungan yang
bersifat dua arah dalam rangka mendukung fungsi dan tujuan manajemen dengan
meningkatkan pembinaan kerja sama dan memberikan manfaat bagi sekolah maupun

53

masyarakat. 2) Sukarela. Hubungan yang dilaksanakan secara iklas. 3) Berkesinambungan.


Hubungan yang berlangsung secara terus-menerus
Menurut Bernay (Ruslan, 2006) ada tiga fungsi utama humas yaitu: (1) memberikan
penerangan kepada masyarakat, (2) melakukan persuasi untuk mengubah sikap dan
perbuatan masyarakat secara langsung, dan (3) berupaya untuk mengintegrasikan sikap dan
perbuatan suatu badan/lembaga sesuai dengan sikap dan perbuatan masyarakat atau
sebaliknya. Selanjutnya, fungsi humas menurut Cutlip & Centre, and Canfield ( 1982)
adalah: (1) menunjang aktivitas utama manajemen dalam mencapai tujuan bersama, (2)
membina hubungan yang harmonis antara badan/organisasi dengan publiknya yang
merupakan halayak sasaran, (3) mengidentifikasi segala sesuatu yang berkaitan dengan
opini, persepsi dan tanggapan masyarakat terhadap badan/organisasi yang diwakilinya, atau
sebaliknya, (4) melayani keinginan publiknya dan memberikan sumbang saran kepada
pimpinan demi tujuan dan manfaat bersama, (5) menciptakan komunikasi dua arah timbal
balik, dan mengatur informasi, publikasi serta pesan dari badan/ organisasi ke publiknya
atau sebaliknya, demi tercapainya citra positif bagi kedua belah pihak.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi humas adalah sebagai
berikut. 1) Agen pembaharuan, 2) Wadah kerja sama, 3) Penyalur aspirasi, 4) Pemberi
informasi.
Posisi humas/PR berada di antara organisasi/instansi dan masyarakat sehingga
kedudukan humas/PR adalah menilai sikap masyarakat (publik) agar tercipta keserasian
antara masyarakat dengan kebijaksanaan organisasi /instansi. Oleh karena itu, aktivitas,
program, humas, tujuan (goal) dan hingga sasaran yang hendak dicapai oleh
organisasi/instansi tersebut tidak terlepas dari dukungan, serta citra positf dari pihak
publiknya. Fungsi humas/PR dalam menyelenggarakan komunikasi timbal balik dua arah

54

(reciprocal two way traffic communication) antara organisasi/instansi yang diwakilinya


dengan publik sebagai sasaran (target audience) pada akhirnya dapat menentukan sukses
atau tidaknya tujuan dan citra yang hendak dicapai oleh organisasi bersangkutan. Posisi
humas dapat digambarkan sperti gambar berikut di bawah ini.
O
R
G
A
N
I
S
A
S
I

M
A
S
Y
A
R
A
K
A
T

H
U
M
A
S

G. Rangkuman
Administrasi sekolah adalah suatu proses yang terdiri dari usaha mengkreasi,

memelihara, menstimulir, dan mempersatukan semua daya yang ada pada suatu lembaga
pendidikan agar dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan dulu. Cakupan dari
administrasi sekolah adalah meliputi: (1) pengembangan pengajaran dan kurikulum, (2)
pengelolaan kesiswaan, (3) mengelola personalia sekolah, (4) mengelola gedung dan
perlengkapan sekolah, (5) mengelola usaha dan keuangan sekolah, dan (6) mengelola
hubungan dengan masyarakat. Para calon kepala sekolah dan para kepala sekolah diberikan
pengertian, pemahaman secara teoretik dan empirik lebih luas dan dalam tentang
administrasi pendidikan, sehingga kelak dikemudian hari apabila sudah menjadi kepala
sekolah akan dapat melakukan dan menerapkan dalam melakasanakan tugas sebagai kepala
sekolah dengan baik, dalam arti mampu mendayagunakan sumberdaya manusia dan
sumberdaya sarana dan prasarana lainnya.

55

H. Evaluasi
1. Jelaskan bidang-bidang yang termasuk administrasi kurikulum!
2. Jelaskan tujuan administrasi kesiswaan!.
3. Jelaskan administrasi kepegawaian sekolah!.
4. Jelaskan tahapan dalam menyusun anggaran!.
5. Jelaskan berbagai macam sarana prasarana sekolah!.
6. Jelaskan fungsi-fungsi administrasi kehumasan sekolah!.

BAB. V
KEPALA SEKOLAH SEBAGAI
SUPERVISOR PENDIDIKAN
A.

Standar Kompetensi dan Indikator Pencapaiannya

Standar Kompetensi
Indikator Pencapaiannya
Memahami hakekat perkembangan supervi- Dapat menjelaskan hakekat perkembangan
si pendidikan.
Memahami tujuan supervisi pendidikan.

supervsi pendidikan.
Dapat menjelaskan tujuan supervisi pendi-

Memahami kompetensi Kepala sekolah

dikan.
Menganalisis kompetensi Kepala sekolah

56

sebagai supervisor pendidikan.

sebagai supervisor pendidikan.

Memahami prinsip-prinsip supervisi pendi- Dapat menganalisis pentingnya prinsipdikan


Memahami metode supervisi pendidikan

prinsip supervisi pendidikan


Dapat mengaplikasikan metode supervisi
pendidikan sesuai dengan teknik supervisi

pendidikan yang digunakan.


Memahami Teknik-teknik supervisi pendi- Dapat menganalisis kelebihan dan kekurang
dikan
teknik observasi kelas.
Memahami berbagai pendekatan dalam su- Dapat merancang langkah-langkah dalam
pervisi pendidikan

melaksanakan pendekatan kolaboratif dalam


supervisi pendidikan.

B. Hakekat Perkembangan dan Tujuan Supervisi Pendidikan


Pendidikan di sekolah adalah merupakan salah satu dari tri pusat pendidikan, di
samping pendidikan dalam keluarga dan pendidikan dalam masyarakat (Dewantara.1977).
Pendidikan di sekolah merupakan suatu sistem pendidikan yang dilakukan dan diorganisasikan secara formal. Sekolah sebagai organisasi pendidikan merupakan suatu sistem
yang sangat kompleks, di dalamnya terdiri dari berbagai komponen yang mempunyai tugas
dan fungsi secara sendiri-sendiri maupun saling berkaitan satu sama lainnya, dan berproses
dalam rangka mencapai tujuannya.
Untuk dapat berfungsi dan berprosesnya berbagai komponen sekolah tersebut
secara efektif dalam mencapai tujuan pendidikan, maka berbagai fungsi manajemen dalam
lembaga pendidikan sekolah supaya dilakukan secara benar. Fungsi-fungsi manajemen
yang dimaksudkan diantaranya adalah fungsi perencanaan, pengorgasian, komunikasi,

57

pengarahan, kepemimpinan, pengawasan, evaluasi, monitoring, dan ber-bagai fungsi yang


lainnya.
Dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi manajemen tersebut khususnya fungsi
pengawasan dalam penyelenggarakan pendidikan di sekolah dikenal dengan istilah
supervisi pendidikan. Istilah supervisi dalam bidang pendidikan secara nasional mulai
diperkenalkan sejak tahun 1975 bersamaan dengan diberlakukannya Kurikulum 1975.
Kemudian dalam perkembangannya, tampaknya pada setiap pergantian kurikulum,
supervisi dianggap sebagai bagian dari pelengkap pedoman kurikulum (Depdikbud. 1976),
walaupun kata supervisi dianggap tidak mengandung makna yang sesuai dalam bidang
pendidikan, karena diberi pemaknaan pembinaan, yaitu pembinaan professional guru sesuai
dengan sistem pembinaan professional (SPP) sebagai hasil dari proyek Cianjur 1984
(Depdikbud. 1986). Tampaknya dalam hubungan ini kata pembinaan itu sendiri hanya lebih
dikenal di kalangan praktisi seperti kepala sekolah, dan pengawas, dan sebaliknya kurang
dikenal oleh guru, karena para guru merasa lebih familiar dengan istilah supervisi. Namun
demikian secara akademis apapun istilah yang digunakan untuk supervisi pendidikan
bukanlah sesuatu yang perlu dipertentangkan. Karena tugas pengawas dan supervisor
dalam konteks pendidikan, dan pengajaran memiliki persamaan dan perbedaan.
Persamaannya adalah: (1) tujuannya memperbaiki dan meningkatkan kinerja guru, (2)
berfungsi sebagai monitoring, (3) kegiatannya memiliki fungsi manajemen, (4) berorientasi
pada tujuan pendidikan. Kemudian perbedaannya adalah bahwa kepengawasan lebih
menekankan pada upaya untuk menemukan penyimpangan atau hambatan dari rencana
yang telah ditetapkan, sedangkan supervisi lebih menekankan pada upaya-upaya membantu
guru untuk perbaikan dan peningkatan proses belajar mengajar.

58

Supervisi pendidikan pada awalnya lebih bersifat umum karena dilakukan untuk
memonitor berbagai kegiatan yang dilaksanakan di sekolah. Karena itu seringkali kesalahan
para personil sekolah akan lebih banyak dieksploitasi dan ditonjolkan, bahkan jika melebihi
batas atau melanggar suatu aturan atau kebijakan akan membawa konsekwensi seseorang
personel tertentu dapat diberikan sangsi sampai pada pemecatan. Itulah sebabnya supervisi
pada waktu itu lebih banyak dikonotasikan sifatnya lebih melecehkan supervisi dengan
ungkapan snoopervision atau penembak jitu.
Kemudian lebih lanjut dalam perkembangannya konsepsi supervisi lebih ditekankan
kepada perbaikan proses belajar mengajar guru, sehingga para ahli membagi supervisi
menjadi supervisi umum yaitu kegiatan supervisi yang ditujukan pada penunjang
keberhasilan proses belajar mengajar, seperti sarana dan parasarana dan lingkungannya
yang berupa gedung, ruang kelas, media, alat-alat pelajaran, kafetaria, dan transfortasi dan
tidak bersifat administratif. Kemudian supervisi pengajaran yang lebih bersifat khusus
untuk membantu guru dalam bidang studi tertentu. Dalam hubungan ini kemudian
Poerwanto (2006) memperjelas pengertian dan fungsi supervisor tersebut sebagai mitra
guru, inovator, konselor, motivator, kolaborator, evaluator serta konsultan guru dalam
meningkatkan proses belajar mengajarnya.
Berdasarkan konsepsi bahwa supervisi untuk membantu guru dalam bidang studi
tertentu, maka supervisi diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk perbaikan proses
belajar mengajar. Ada dua tujuan yang harus diwujudkan dari supervisi pendidikan itu,
yaitu: (1) perbaikan atau peningkatan pembelajaran, dan (2) peningkatan mutu pendidikan.
Konsepsi supervisi kemudian lebih memfokus pada kegiatan PBM, sehingga
supervisi diberikan pengertian sebagai setiap layanan yang diberikan kepada guru, yang

59

hasil akhirnya adalah untuk peningkatan atau perbaikan pengajaran guru, pembelajaran
murid, dan perbaikan kurikulum (Neagley dan Evans. 1980). Supervisi sebagai usaha untuk
mendorong, mengkoordinasikan, dan menuntun pertumbuhan guru-guru secara berkesinambungan di suatu sekolah, baik secara individu maupun secara kelompok dalam
pengertian yang lebih baik, dan tindakan yang lebih efektif dalam fungsi pengajaran
sehingga mereka dapat mampu untuk mendorong dan menuntun pertumbuhan setiap siswa
secara berkesinambungan menuju partisipasi yang cerdas dan kaya dalam kehidupan
masyarakat demokratis modern (Boardman, dkk. 1961), nilai supervisi terletak pada
perkembangan dan perbaikan situasi belajar mengajar yang direfleksikan pada perkembangan para siswa (Mark, dkk.1974). Sehubungan dengan tujuan, manfaat dan nilai dari
supervisi pengajaran tersebut sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan,
maka permasyalahan lainnya yang tampaknya juga perlu dibahas adalah apakah syaratsyarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat diangkat menjadi pengawas
Pengawas secara akademik adalah bisa bersifat formal yang berasal dari luar
sekolah, yaitu kalau pengawas tersebut ditunjuk secara legal oleh Dinas Pendidikan pada
tingkat kabupaten, provinsi, dan tingkat kecamatan, dan ada juga supervisor yang berasal
dari dalam sekolah sendiri, yaitu kepala sekolah, wakil kepala sekolah, para ketua unit, dan
para guru bidang studi yang sudah senior (Pidarta. 1986). Kemudian seseorang yang dapat
diangkat menjadi supervisor terutama yang ditunjuk oleh Dinas Pendidikan sesuai dengan
Permen Pendidikan Nasional RI No.12 Tahun 2007 tentang standar pengawas sekolah/
madrasah, untuk tingkat SMA harus memenuhi kualifikasi: (1) memiliki pendidikan
minimum Magister (S2) Kependidikan dengan berbasis Sarjana (S1) dalam rumpun mata
pelajaran pada perguruan tinggi yang terkreditasi, (2) guru SMA bersertifikat pendidik

60

sebagai guru dengan pengalaman kerja minimum delapan tahun dalam rumpun mata
pelajaran yang relevan di SMA, atau kepala sekolah SMA dengan pengalaman kerja empat
tahun, untuk menjadi pengawas sesuai dengan rumpun mata pelajarannya, (3) memiliki
pangkat minimum penata, golongan ruang III/c, (4) berusia setinggi-tingginya 50 tahun
sejak diangkat sebagai pengawas satuan pendidikan, (5) memenuhi kompetensi sebagai
pengawas satuan pendidikan yang dapat diperoleh melalaui uji kompetensi dan atau
pendidikan dan pelatihan fungsional pengawas, pada lembaga yang ditetapkan pemerintah,
(6) lulus seleksi pengawas satuan pendidikan.

C. Kompetensi Kepala Sekolah Sebagai Supervisor Pendidikan


Pengawas secara akademik bisa bersifat formal dan informal. Pengawas formal
adalah pengawas yang diangkat oleh dinas pendidikan tingkat provinsi, kabupaten, dan
tingkat kecamatan berasal dari luar sekolah. Pengawas informal adalah pengawas yang
bersal dari dalam sekolah sendiri, yaitu kepala sekolah, wakil kepala sekolah, para ketua
unit, dan para guru bidang studi yang sudah senior (Pidarta. 1986). Kedua jenis pengawas
tersebut harus memiliki kompetensi kepenga-wasan. Kompetensi-kompetensi yang harus
dimiliki meliputi: (1) kemampuan mengembangkan kurikulum, (2) mengorganisasikan
pengajaran, (3) menyiapkan staf pengajar, (4) menyiapkan fasilitas belajar, (5) menyiapkan
bahan-bahan pelajaran, (6) menyelenggarakan penataran guru-guru, (7) memberikan
konsultasi dan membina anggota staf pengajar, (8) mengkordinasikan layanan terhadap para

61

siswa, (10) mengembangkan hubungan dengan masyarakat, dan (11) menilai pelajaran
(Neagley dan Evans. 1980).
Tampaknya semua komptensi yang disebutkan di atas berkaitan dengan pengembangan kurikulum. Secara lebih legal persyaratan kompetensi pengawas telah dituangkan
dalam bentuk kebijakan pemerintah yaitu Permendiknas No.12 Tahun 2007. Kompetensi
yang dituntut terhadap seorang pengawas adalah (1) kompetensi kepribadian, (2)
kompetensi supervisi manajerial, (3) kompetensi supervisi akademik, (4) kompetensi
evaluasi pendidikan, (5) kompetensi penelitian pengembangan, dan (6) kompetensi sosial.
Secara lebih rinci kompetensi yang dituntut terhadap seorang pengawas tersebut
terutama sesuai dengan Permendiknas No.12 Tahun 2007 adalah sebagai berikut.

KOMPETENSI PENGAWAS SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH ALIYAH

Dimensi Kompetensi
1. Kompetensi keperiba-

Kompetensi
1.1
Memiliki tanggungjawab sebagai pengawas satuan

dian

pendidikan.
1.2

Kreatif dalam bekerja dan memecahkan masalah


baik yang berkaitan dengan kehidupan pribadi
maupun tugas-tugas jabatannya.

1.3

Memiliki rasa ingintahu akan hal-hal baru tentang


pendidikan, ilmu pengetahuan teknologi dan seni
yang menunjang tugas pokok dan tanggungjawabnya.

1.4

Menumbuhkan motivasi kerja pada dirinya dan

62

2. Kompetensi Supervisi

2.1

Manajerial.

pada stakeholder pendidikan.


Menguasai metode, teknik dan prinsip supervisi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah menengah yang sejenis.

2.2 Menyusun program kepengawasan berdasarkan visimisi-tujuan dan program pendidikan sekolah menengah yang sejenis.
2.3

Menyusun metode kerja, instrumen yang diperlukan


untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi kepengawasan di sekolah menengah yang sejenis.

2.4

Menyusun laporan hasil pengawasan dan menindaklanjutinya untuk perbaikan program pengawasan
berikutnya di sekolah menengah yang sejenis.

2.5

Membina kepala sekolah dalam pengelolaan dan


administrasi satuan pendidikan berdasarkan manajemen peningkatan mutu pendidikan di sekolah
menengah yang sejenis.

2.6

Membina kepala sekolah dan guru dalam melaksanakan bimbingan dan konseling di sekolah menengah yang sejenis.

2.7 Mendorong guru dan kepala sekolah dalam merefleksikan hasil-hasil yang dicapainya untuk menemukan kelebihan dan kekurangan dalam melaksa-

63

nakan tugas pokoknya di sekolah menengah yang


sejenis.
2.8

Memantau pelaksanaan standar nasional pendidikan


dan memanfaatkan hasil-hasilnya untuk membantu
kepala sekolah dalam mempersiapkan akreditasi

3. Kompetensi supervisi

3.1

akademik.

sekolah menengah yang sejenis.


Memahami konsep, prinsip, teori dasar, karakteristik,
dan kecendrungan perkembangan tiap mata pelajaran
dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di
sekolah menengah yang sejenis.

3.2

Memahami konsep, prinsip, teori/teknologi, karakteristik, dan kecendrungan perkembangan proses


pembelajaran/bimbingan tiap mata pelajaran dalam
rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah
menengah yang sejenis.

3.3 Membimbing guru dalam menyusun silabus tiap mata


pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan
di sekolah menengah yang sejenis berlandaskan
standar isi, standar kompetensi, dan kompetensi
dasar, dan prinsip-prinsip pengembangan KTSP.
3.4

Membimbing guru dalam memilih dan menggunakanstrategi/metode/teknik pembelajaran/bombing-an


yang dapat mengembangkan berbagai potensi siswa

64

melalui mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran


yang relevan di Sekolah menengah yang sejenis.
3.5

Membimbing guru dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) untuk tiap mata
pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang sejenis.

3.6

Membimbing dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran/bimbingan (di kelas, laboratorium, dan


atau di di lapangan) untuk tiap mata pelajaran dalam
rumpun mata pelajaran yang relevan di sekolah
menengah yang sejenis.

3.7

Membimbing guru dalam mengelola, merawat,


mengembangkan dan menggunakan media pendidikan dan fasilitas pembelajaran/bimbingan tiap
mata pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang
relevan di sekolah menengah yang sejenis.

3.8

Memotivasi guru untuk memanfaatkan teknologi informasi untuk pembelajaran/bimbingan tiap mata
pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan

4. Kompetensi evaluasi
Pendidikan.

4.1

di sekolah menengah yang sejenis.


Menyusun kriteria dan indikator keberhasilan pendidikan dan pembelajaran/bimbingan tiap mata
pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan

65

di sekolah menengah yang sejenis.


4.2

Membimbing guru dalam menentukan aspekaspek yang penting dinilai dalam pembelajaran/
bimbingan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata
pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang
sejenis.

4.3 Menilai kinerja kepala sekolah, kinerja guru, dan staf


sekolah lainnya dalam melaksanakan tugas pokok
dan tanggungjawab untuk meningkatkan mutu mutu
pendidikan dan pembelajaran/bim bingan tiap mata
pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan
di sekolah menengah yang sejenis.
4.4

Memantau pelaksanaan pembelajaran/bimbingan dan


hasil belajar siswa serta menganlisisnya untuk perbaikan mutu pembelajaran/bimbingan tiap mata
pelajaran dalam rumpun mata pelajaran yang relevan
di sekolah menengah yang sejenis.

4.5

Mebina guru dalam memanfaatkan hasil penilaian


untuk kepentingan pendidikan dan pembelajaran/
bimbingan tiap mata pelajaran dalam rumpun mata
pelajaran yang relevan di sekolah menengah yang
sejenis.

4.6 Mengolah dan menganlisis data hasil penilaian kinerja

66

kepala sekolah, kinerja guru dan staf lsekolah di


5. Kompetensi penelitian

sekolah menengah yang sejenis.


5.1 Menguasai berbagai pendekatan, jenis, dan metode

Pengembangan.

penelitian dalam pendidikan.


5.2

Menentukan masalah kepengawasan yang penting


diteliti baik untuk keperluan tugas kepengawasan
maupun untuk pengembangan karirnya sebagai
pengawas.

5.3 Menyusun proposal penelitian pendidikan proposal


penelitian kualitatif maupun penelitian kuantitatif.
5.4

Melaksanakan penelitian pendidikan untuk pemecahan masalah pendidikan, dan perumusan kebijakan pendidikan yang bermanfaat bagi tugas pokok
tangjawabnya.

5.5

Mengolah dan menganalisis data hasil penelitian


pendidikan baik data kualitatif maupun kuantitatif.

5.6

Menulis karya tulis ilmiah (KTI) dalam bidang


pendidikan dan atau dalam bidang kepengawasan
dan

memanfaatkannya

untuk

perbaikan

mutu

pendidikan.
5.7

Menyusun pedoman/panduan dan atau buku/modul


yang diperlukan untuk melaksnakan tugas pengawasan di sekolah menengah yang sejenis.

67

5.8

Memberikan bimbingan kepada guru tentang penelitian tindakan kelas, baik perencanaan maupun

6. Kompetensi sosial

pelaksanaannya di sekolah menengah yang sejenis.


6.1 Bekerjasama dengan beberapa pihak dalam rangka
meningkatkan kualitas diri untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.
6.2

Aktif dalam kegiatan asosiasi pengawas satuan


pendidikan.

Dari uraian kompetensi supervisi akademik dan supervisi manajerial terutama


pengawas Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah tersebut dapat diketahui bahwa
aspek-aspek pengawasan supervisi manjerial adalah mencakup membina kepala sekolah
dalam pengelolaaan dan administrasi satuan pendidikan, membina kepala sekolah dan guru
dalam melaksanakan bimbingan konseling di sekolah, membimbing guru dalam menyusun
silabus, membimbing guru dalam memilih dan menggunakan strategi/metode/teknik
pembelajaran/bimbingan yang dapat mengembangkan potensi siswa melalui mata
pelajaran, membina kepala sekolah dan guru dalam melaksanakan bimbingan dan
konseling, mendorong guru dan kepala sekolah dalam merefleksikan hasil-hasil yang
dicapainya untuk menemukan kelebihan dan kekurangan dalam melaksanakan tugas
pokoknya, memantau pelaksanaan standar nasional pendidikan, dan membantu kepala
sekolah dalam mempersiapkan akreditasi.
Demikian juga aspek-aspek yang dimonitoring dalam pelaksanaan supervisi
akademik adalah mencakup membimbing guru dalam menyusun silabus tiap mata pelajaran
dalam rumpun mata pelajaran yang relevan, membimbing guru dalam memilih dan

68

menggunakan strategi/metode/teknik pembelajaran/bimbingan, mem-bimbing guru dalam


menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), mem-bimbing guru dalam
pelaksanaan pembelajaran di kelas, laboratorium atau lapangan, membimbing guru dalam
mengelola, merawat, mengembangkan dan menggunakan media pendidikan dan fasilitas
pembelajaran, memotivasi guru untuk memanfaatkan teknologi informasi.
Agar seorang pengawas dapat melaksanakan tugasnya dengan baik tampak-nya di
samping dituntut memiliki kompetensi seperti yang diuraikan di atas juga dilengkapi dan
didukung dengan berbagai pemahaman dan pengayaan yang lain, seperti: prinsip-prinsip,
metode, dan teknik supervisi. Seorang pengawas harus dapat merencanakan program
supervisi dan melaporkan hasilnya.
D. Prinsip-prinsip, Metode dan Teknik-teknik Supervisi Pendidikan
Seorang pengawas akan dapat melakasanakan tugasnya dengan baik apabila dalam
melaksanakan tugasnya berpegang dan berpedoman pada prinsip-prinsip supervisi. Prinsipprinsip sepervisi yang dimasudkan adalah:
1.

Prinsip ilmiah. Prinsip ini bercirikan bahwa kegiatan supervisi tersebut hendaknya
berlandaskan pada data obyektif yang diperoleh dari kenyataan yang dialami oleh guru
dalam proses belajar mengajar guru. Untuk memperoleh data tersebut diper-lukan
berbagai alat perekam data, seperti angket, lembar observasi, cheklist, pedoman
wawancara, dan yang lainnya. Ciri yang lainnya adalah dilakukan secara sistematis,
berencana, dan berkelanjutan.

2.

Prinsip demokrasi. Prinsip ini mengharapkan bahwa di dalam pelaksanaan tugas


supervisi dilandasi oleh suatu hubungan kemanusiaan yang akrab dan hangat,

69

menjumjung tinggi harga diri dan martabat guru, berdasarkan kesejawatan, bukan
berdasarkan pada hubungan atasan dan bawahan.
3.

Prinsip kerja sama. Prinsip ini mengembangkan usaha bersama, memberi dukungan, menstimulasi, sehingga guru merasa bertumbuh.

4.

Prinsip konstruktif dan kreatif. Supervisor harus mampu mengembangkan dan


menciptakan suasana kerja yang menyenangkan, bukan melalui cara-cara yang
menakutkan (Sahertian. 2000., Wijono. 1989., Hariwung.19890).
Prinsip-prinsip supervisi yang diuraikan di atas dalam pelaksanaannya sebaiknya

didukung dengan menggunakan metode dan beberapa teknik yang dapat digunakan oleh
seorang pengawas agar dapat melaksanakan tugasnya secara efektif. Metode supervisi yang
dimaksudkan adalah metode langsung dan tidak langsung (Ametembun. 1975). Metode
langsung merupakan suatu cara dimana seorang penga-was secara pribadi langsung dapat
berhadapan dengan guru yang disupervisi baik secara individu maupun secara kelompok.
Kemudian metode tidak langsung apabila seorang pengawas dalam melaksanakan
fungsinya dengan menggunakan alat peran-tara atau media terhadap guru yang
disupervisinya. Demikian pula yang dimaksud dengan teknik supervisi tersebut ada yang
disebut dengan teknik individual, seperti kunjungan kelas, observasi kelas, percakapan
pribadi, saling mengunjungi kelas, menilai diri sendiri, dan ada pula teknik supervisi
bersifat kelompok, seperti: rapat guru, studi kelompok antar guru, diskusi sebagai proses
kelompok, tukar menukar pengalaman, lokakarya, diskusi panel, seminar, simposium,
demontrasi, perpustakaan jabatan, buletin supervisi, membaca langsung, mengikuti kursus,
organisasi jabatan, perjalanan sekolah untuk staf sekolah (Sahertian dan Mataheru. 1982).
Pemilihan terhadap salah satu metode supervisi tersebut akan berkaitan erat dengan

70

penggunaan suatu teknik supervisi. Pemilihan dan penggunaan metode supervisi langsung
misalnya dapat digunakan secara bersamaan dengan teknik supervisi kunjungan kelas,
pertemuan individual, dan rapat guru. Demikian pula pemilihan dan penggunaan metode
supervisi tidak langsung, dapat digunakan secara bersamaan dengan teknik supervisi,
misalnya, buleletin supervisi, papan pembinaan, angket, dan televisi. Dalam hubungan
dengan pemilihan metode dan teknik supervisi tersebut ada pendapat yang menekankan
pada penggunaan metode langsung dan teknik individual, bahkan lebih jauh menyatakan
bahwa pengawas dinyatakan belum melakukan kegiatan supervisi apabila tidak
menggunakan teknik individual. Dengan demikian seorang supervisor tersebut haruslah
melakukan kunjungan kelas, observasi, dan percakapan, karena dengan kunjungan kelas
inilah kelemahan dan kelebihan guru dalam mengajar dapat dideteksi (Neagley dan Evans.
1980). Sehubungan dengan pentingnya teknik kunjungan kelas, observasi yang didahului
dengan percakapan, maka kunjungan kelas tersebut lebih lanjut disebut dengan tulang
punggung supervisi.
Bagan. 2.1
Siklus Kegiatan Supervisi
Kunjungan Kelas
2.

Observasi/kunju
ngan Kelas

Percakapan sebelum
observasi

3. Percakapan setelah
observasi

71

Sejalan dengan perkembangan iptek supervisi juga mengalami perkembangan. Pada


tahun 1983 P2LPTK Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen P dan K juga
memperkenalkan supervisi klinis yang merupakan hasil karya Morris Cogan dan Robert J.
Krajewski yang telah dikembangkan pada tahun 1961. Model supervisi ini dianggap efektif,
oleh karena itu banyak pakar yang ikut mengembangkannya antara lain Cogan, Mosher dan
Perpel, Oliva, Robert Goldhamamer (Bafadal.1992). Perbedaan pengembangan di antara
para pakar tersebut terletak pada langkah proses atau siklusnya, ada yang 3 langkah, 5
langkah, ada pula 8 langkah. Siklus yang paling banyak diikuti adalah yang terdiri dari 3
langkah, demikian juga penggunaan supervisi klinis hanya terbatas pada guru yang
menghadapi masalah pengajaran, atau bagi guru yang ingin mencobakan hal-hal yang
baru.Variasi dan perbedaan langkah proses dalam siklusnya tampak dalam bagan di bawah
ini.
Bagan 2.2
Deskripsi Siklus Supervisi Klinik
Cogan (1973)

Mosher dan

Oliva (1984)

Perpel (1972)

Goldhammer, dkk.
(1981).

Membangun dan

Kontak dan

menetapkan hubungan.

komunikasi

Bafadal.
1992

dengan guru
Perencanaan dengan guru.

Perencanaan

untuk merenca-

Pertemuan sebelum

nakan observasi

observasi.

Perencanaan kegiatan

Tahap
pertemu-

observasi
an awal.
Tahap
Observasi kelas

Observasi.

Observasi kelas

Observasi kelas

observasi
mengajar

Analisis proses belajar

Analisis data

mengajar.

strategis.

72

Perencanaan pertemuan.

Evaluasi dan

Tindak lanjut

analisis

observasi.

Pertemuan.

Pertemuan supervisi.
Analisis sesudah
pertemuan supervisi.

Penjajagan pertemuan

Tahap
pertemuan
balikan.

berikutnya.

E. Berbagai Pendekatan dalam Supervisi Pendidikan


Kemudian dalam pengembangan supervisi pengajaran untuk dapat mencapai
tujuannya secara efektif seorang supervisor dapat menggunakan berbagai pendekatan yang
memiliki pijakan ilmiah, yaitu supervisi saintifik, artistik, dan klinik (Sahertian. 2000).
Supervisi saintifik memiliki ciri-ciri: (1) dilaksanakan secara berencana dan kontinyu, (2)
sistematis dan menggunakan prosedur serta teknik tertentu, (3) menggunakan instrumen
pengumpulan data, dan (4) data obyektif yang diperoleh dari keadaan riil, dan dianalisis.
Supervisi artistik memandang bahwa mengajar itu adalah suatu pengetahuan, keterampilan,
dan suatu kiat. Lebih jauh dijelaskan bahwa supervisi bekerja menyangkut untuk orang lain,
melalui orang lain. Oleh karena itu pekerjaan supervisi akan berhasil apabila ada kerelaan,
kepercayaan, saling mengerti, dan saling mengakui dan menerima orang sebagaimana
adanya, sehingga orang lain merasa aman dan mau maju. Supervisi klinik pada mulanya
diperkenalkan oleh Moris L. Cogan, Robert Goldhammer, dan Richard Weller di
Universitas Harvard pada akhir tahun lima puluhan dan awal tahun enam puluhan
(Krajewski.1982). Supervisi klinik dirancang sebagai salah satu model atau pendekatan
dalam mensupervisi calon guru yang berperaktek mengajar. Penekanannya adalah pada
klinik atau dalam pengobatan dan penyembuhan, yang diwujudkan dalam bentuk tatap

73

muka antara supervisor dengan calon guru. Supervisi klinik lebih memusatkan perhatiannya
pada perilaku guru yang aktual di kelas.
Demikian juga pada tahun 80 an dalam perkembangan supervisi pengajaran
menggunakan pendekatan yang bertitik tolak pada pijakan psikologi belajar, yaitu psikologi
behavioral, humanistik, dan kognitif. Psikologi behavioral memandang belajar sebagai
kondisioning individu dengan dunia di luar dirinya. Belajar adalah hasil peniruan atau
latihan-latihan yang memperoleh ganjaran jika berhasil dan hukuman jika gagal. Psikilogi
humanistik berdasarkan pemikiran bahwa belajar adalah hasil keingintahuan individu untuk
menemukan rasionalitas dan keteraturan di alam ini, sehingga belajar dipandang sebagai
proses pembawaan yang berkembang (terbuka). Guru menunjang keingintahuan individu
dari hasil belajar melalui self-discovery. Psikologi kognitif berpendapat bahwa belajar
adalah hasil keterpaduan antara interaksi kegiatan individu dengan dunia di luar dirinya.
Belajar dianggap sebagai proses tindakan timbal balik antara guru dan murid. Belajar
dianggap sebagai proses tindakan timbal balik antara guru dan murid, antara murid atau
obyek yang dimanipulasi.
Berdasarkan pendekatan di atas, supervisi dirumuskan sebagai proses perba-ikan
dan peningkatan kelas dan sekolah melalui kerjasama secara langsung dengan guru. Untuk
itu, maka supervisor perlu memilih kegiatan supervisinya yang sesuai dengan tujuan
perbaikan atau peningkatan pembelajaran tertentu. Pemilihan kegiatan supervisi yang
bersumber dari pandangan mendasar itu menjadikan supervisi lebih kokoh karena memiliki
pijakan ilmiah dan lebih efektif. Dengan memperhatikan tahapan perkembangan guru itu,
tokohnya Carl D. Glickman menyebutnya supervisi perkembangan.
Gambaran tentang belajar dan supervisi digambarkan, sebagai berikut di bawah ini:

74

GAMBAR. 2.3
PANDANGAN TENTANG BELAJAR

Tanggungjawab siswa
Tanggungjawab guru
Pandangan psikologi

Tinggi
Rendah
Humanistik

Sedang
Sedang
Kognitivistik

Rendah
Tinggi
Behavioralistik

tentang belajar.
Metode belajar.

Menemukan sendiri

Mencoba-coba

Dikondisikan

(Self-Discovery).

(eksperimentasi)

(conditioning).

GAMBAR. 2.4
PANDANGAN TENTANG SUPERVISI

Tingkat komitmen guru


Tigkat abstraksi guru
Tanggungjawab supervisor
Orientasi supervisi
Metode utama

Tinggi
Tinggi
Rendah
Nondirektif
Penilaian diri

Sedang
Sedang
Sedang
Kollaboratif
Kontrak bersama

Rendah
Rendah
Tinggi
Direktif.
Menetapkan pato-

sendiri

(Self assessment)

kan (Delineated
standard)

Berdasarkan dua dimensi penting yang dimiliki oleh setiap individu guru, yaitu
dimensi derajat komitmen dan dimensi kekomplekkan kognitif atau derajat abstraksi seperti
yang disajikan dalam gambar 2 di atas, maka pendekatan supervisi pengajaran yang dapat
dikembangkan adalah supervisi yang berorientasi pada pende-katan non-direktif,
kolaboratif, dan direktif. Dalam hubungan ini Sergiovanni (1991) mengembangkan
supervisi dengan menambahkan dua dimensi baru, yaitu bertitik tolak dari tanggungjawab
guru yang bisa dilhat derajat kematangan dan derajat tanggungjawabnya. Dengan
memadukan supervisi individual, kolegial, dan informal dengan membangun suatu
kerangka berpikir yang baru dalam supervisi seperti yang ada dalam gambar di bawah ini

75

GAMBAR 2.5
DIMENSI DERAJAT KOMITMEN DAN TANGGUNGJAWAB GURU

Tinggi

+Kuadran 3.
Pengamat analitik

Rendah

-Kuadran 1
Guru DO

D
e
r
a
j
a
t
Derajat komitmen
a
b
s
t
r
a
k
s
i

++
Kuadran 4. Profesional

Tinggi

-+
Kuadran 2.
Guru kurang perhatian

Rendah

Supervisi direktif adalah pendekatan yang didasarkan pada keyakinan bahwa mengajar
terdiri dari keterampilan teknis dengan standar dan kompetensi yang telah ditetapkan dan
diketahui untuk semua guru agar pengajarannya efektif. Peran supervisor adalah
mengimformasikan, mengarahkan, menjadi model, dan menilai kompetensi yang telah
ditetapkan. Supervisi kolaboratif adalah pendekatan yang didasarkan atas asumsi bahwa
mengajar pada dasarnya adalah pemecahan masalah, dalam pendekatan ini ada dua orang
atau lebih orang ikut serta mengemukakan sebuah hipotesis dan sebuah masalah,
eksperimen, dan mengimplementasikan strategi mengajar itu, yang dianggap lebih relevan
dengan lingkungan sendiri. Peran supervisor membimbing ke proses pemecahan masalah,
para anggota aktif dalam interaksi dan menjaga agar guru tetap memusatkan perhatiannya
pada masalah mereka. Supervisi nondirektif berasumsi bahwa belajar pada dasarnya adalah

76

penga-laman pribadi dimana individu pada akhirnya harus menemukan pemecahan masalah
sendiri untuk memperbaiki pengalaman murid di dalam kelas. Peran supervisor adalah
mendengarkan, tidak memberikan pertimbangan, membangkitan kesadaran sendiri dan
mengklarifikasikan pengalaman guru (Glickman. 1990).
Pengukuran kedua dimensi tersebut akan membantu guru dan supervisor dalam
menetapkan pada tahapan mana guru berada dan perlakuan supervisi yang bagaimana
seharusnya dilakukan pada guru, dan pada gilirannya supervisi harus berkembang
ketahapan yang lebih tinggi. Itulah sebabnya supervisi Glickman (1980) disebut supervisi
perkembangan, karena tujuan supervisi menurutnya adalah .. membantu guru belajar
bagaimana para guru meningkatkan kapasitas mereka untuk mewujudkan tujuan
pembelajaran siswa yang telah ditetapkan. Di sisi lain perlu juga disadari bahwa essensi
dari supervisi tersebut adalah proses bantuan, oleh karena itu maka bantuan supervisi
tersebut sebaiknya diberikan apabila diperlukan oleh guru-guru. Pengembangan masingmasing model supervisi pengajaran yang disebut dengan supervisi direktif, supervisi
kolaboratif, dan supervisi non direktif secara lebih lengkapnya akan diuraikan dalam
pembahasan selanjutnya.
a. Supervisi Pengajaran Direktif
Supervisi direktif adalah pendekatan yang didasarkan pada keyakinan bahwa
mengajar terdiri dari keterampilan teknis dengan standar dan kompetensi yang telah
ditetapkan dan diketahui untuk semua guru agar pengajarannya efektif. Pendekatan
supervisi pengajaran direktif oleh Sutjipto dan Raflis Kosasi (1999) disebut juga dengan
pendekatan supervisi pengajaran berdasarkan kompetensi. Peran supervisor dalam

77

menerapkan pendekatan direktif ini adalah mengimformasikan, mengarahkan, menjadi


model, dan menilai kompetensi yang telah ditetapkan.
Langkah-langkah dalam supervisi dengan pendekatan direktif tersebut dimulai
dengan: (1) pre conference, (2) observasi, (3) analisa dan interpretasi, (4) post conference,
(5) post analysis, dan (6) diskusi (Sahertian. Ida Aleida Sahertian. 1990). Langkah-langkah
ini yang semestinya dilakukan oleh seorang supervisor, yang dalam hal ini bisa jadi
dilakukan oleh seorang pengawas terhadap guru-guru, ataupun oleh seorang kepala sekolah
terhadap guru-guru dalam rangka meningkatkan kompe-tensinya dalam mengajar.
Pre conference dilakukan oleh supervisor untuk mendapatkan gambaran yang jelas
dan dapat memilih permasalahan apa yang dihadapi oleh guru-guru, sehinggga seorang
mengetahui dan mempunyai masalah apa saja yang akan diobservasinya, yangn lebih lanjut
akan dapat menetapkan tindakan apa yang akan dapat dilaksanakan.
Observasi, pada tahap ini supervisor berada di dalam kelas dan mengadakan
observasi. Dalam melaksanakan observasi tersebut seorang supervisor mengamati perilaku
siswa dari awal sampai akhir pelajaran. Untuk lebih mudahnya dalam melakukan supervisi
alat yang berupa cheklist dapat digunakan, dan sudah tentunya berbagai perilaku siswa
lainnya yang dianggap perlu juga dapat dan perlu dicatat.
Analisa dan interpretasi, data yang didapat dalam melakukan observasi dibuatkan
semacam tabulasi data tentang perilaku siswa, sehingga lebih lanjut data tersebut dapat
dianalisis sehingga dapat diambil suatu kesimpulan terhadap perilaku siswa tersebut.
Kesimpulan dari hasil analisis tersebut akan dapat menyimpulkan bahwa bisa jadi perilaku
siswa tersebut bisa positif ataupun negatif. Dalam proses pembelajaran selanjutnya
berbagai perilaku negatif siswa tersebut perlu diperbaiki. Berdasarkan pada hasil analisis

78

data observasi tersebut akan dapat disimpulkan bahwa guru tersebut sering mengalami
kesulitan dalam menghadapi perilaku siswa, dan kondisi ini sangat perlu harus
diberitahukan dan diketahui oleh guru.
Post conference, dalam kegiatan ini supervisor dengan guru kembali memba-has
cara untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh guru, membuat rencana pembelajaran
sebagai perbaikannya yang akan didemonstrasikan oleh pengawas, menetapkan jadwal
observasi berikutnya setelah demonstrasi.
Post analysis, dalam kegiatan ini dilaksanakan kembali evaluasi terhadap penerapan
berbagai contoh yang telah diberikan dan dilakukan oleh supervisor dalam melaksanakan
demosntrasi mengajar, yang lebih lanjut akan dicontoh dan dilaksna-kan oleh guru.
Kemudian lebih lanjut menetapkan program yang akan diambil pada masa-masa
berikutnya.
Diskusi, sebagai langkah terakhir dari pendekatan direktif ini, maka dibahas
beberapa hal, (1) menjelaskan masalah-masalah guru sehingga dapat dipahami dengan
jelas, (2) menampilkan ide-ide tentang informasi yang seharusnya dikumpulkan dan
bagaimana mengumpulkannya, (3) mengarahkan dan memberi petunjuk kepada guru
mengenai usaha apa yang diperlukan sesudah terkumpul dan dianalisa, (4) mendemontrasikan kepada guru bagaimana mengajar yang baik, agar guru mau saling mengunjungi
dalam mengajar, (5) menstandarkan tolak ukur yang digunakan untuk dasar perbaikan, dan
(6) meyakinkan atau menguatkan dengan berbagai cara untuk memberikan dorongan
psychologis. (Sahertian. Ida Aleida Sahaertian. 1990). Untuk lebih mudahnya dapat
memahami langkah-langkah pendekatan supervisi pengajaran direktif dapat dibuatkan
bagan sebagai berikut di bawah ini.

79

PENDEKATAN SUPERVISI PENGAJARAN DIREKTIF

1. Mendengarkan
2. Klarifikasi
3. Mendorong
4. Presentasi
5. Pemecahan Masalah
6. Negoisasi
7 Demontrasi
8. Memastikan tindakan
9. Standarisasi
10. Penguatan

Keterangan:
Pengawas (Supervisor) mempunyai tanggungjawab yang besar, dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Klarifikasi (Mengajukan pertanyaan)
2. Mempresentasikan ide
3. Memastikan apa yang harus
dilakukan.
4. Mendemonstrasikan
5 Menetapkan Standar

b. Supervisi Pengajaran Kolaboratif.


Supervisi kolaboratif adalah pendekatan yang didasarkan atas asumsi bahwa
mengajar pada dasarnya adalah pemecahan masalah, dalam pendekatan ini ada dua orang
atau lebih orang ikut serta mengemukakan sebuah hipotesis sebuah masalah, eksperimen,
dan mengimplementasikan strategi mengajar itu, yang dianggap lebih relevan dengan
lingkungan sendiri. Peran supervisor membimbing ke proses peme-cahan masalah, para
anggota aktif dalam interaksi dan menjaga agar guru tetap memusatkan perhatiannya pada

80

masalah mereka. Penerapan pendekatan supervisi kolaboratif ini oleh Sutjipto dan Raflis
Kosasi (1999) disebut juga supervisi klinis.
Dalam pendekatan kolaboratif supervisor dan guru merupakan teman sejawat dalam
memecahkan masalah-masalah pengajaran di kelas. Masalah-masalah tersebut seringkali
dipusatkan pada : (1) kesadaran dan kepercayaan diri dalam melaksanakan tugas mengajar,
(2) keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan dalam mengajar, yang meliputi
keterampilan dalam menggunakan variasi dalam mengajar dan menggunakan stimulus,
keterampilan dalam melibatkan siswa dalam proses belajar, serta keterampilan dalam
mengelola kelas dan disiplin siswa.
Dalam melaksanakan supervisi dengan menggunakan pendekatan kolaboratif
sebaiknya melalui lima langkah, yaitu: (1) pembicaraan praobservasi, (2) melaksa-nakan
observasi, (3) melakukan analisis dan menetapkan strategi, (4) melaksanakan pembicaraan
tentang hasil supervisi, dan (5) melakukan analisis setelah pembicaraan.
Pelaksanaan pembicaraan praobservasi disebut juga engan istilah pembicaraan
pendahuluan. Dalam tahap ini supervisor dan guru bersama-sama membicarakan rencana
keterampilan apa yang akan diobservasi atau dicatat. Pada tahap ini memberikan
kesempatan kepada supervisor dan guru untuk mengientifikasi keteram-pilan mana yang
memerlukan perbaikan. Keterampilan yang dipilih kemudian dioperasionalkan dalam
bentuk rumusan tingkah laku yang dapat diamati. Dalam pertemuan ini pula dibicarakan
dan ditentukan jenis data apa ang akan dicatat selama pembelajaran berlangsung. Dala
pembicaraan pra-observasi ini memerlukan komuni-kasi terbuka, sehingga tercipta ikatan
kolegial antara supervisor dan guru yang harmonis. Terdapat lima masalah yang harus
dicermati dalam pembicaraan pendahu-luan ini, yaitu: menciptakan suasana yang akrab

81

antara supervisor dengan guru, meneliti ulang rencana pelajaran serta tujuan pelajaran,
mencermati kembali kom-ponen keterampilan yang akan dilatihkan dan diamati, memilih
dan mengembangkan instrumen observasi, dan membicarakan bersama untuk mendapatkan
kesepakatan tentang instrumen obsrvasi yang dipilih.
Pada tahap pelaksanaan observasi ini guru melakukan latihan dalam tingkah laku
mengajar tertentu yang telah dipilih. Di sisi lain sementara guru berlatih, maka supervisor
mengamati dan mencatat tingkah laku siswa, guru, interaksi antara guru dan siswa.
Supervisor mengadakan analisis terhadap hasil catatan-catatan observasi di kelas.
Tujuannya adalah mengartikan data yang diperoleh dan selanjutnya merenca-nakan
pertemuan dengan guru untuk menususn strategi pembelajaran selanjutnya. Dalam
melakukan analisis, supervisor harus menggunakan kategorisasi perilaku mengajar dan
melihat data yang dikumpulkan itu atas kategori yang ditetapkan.
Pembicaraan tentang hasil analisis ini adalah untuk memberikan balikan kepada
guru dalam memperbaiki perilaku mengajarnya. Ada beberapa langkah yang dilakukan
dalam tahapan ini, yaitu: (1) menayakan perasaan guru secara umum, atau kesan umum
guru ketika ia mengajar serta memberi penguatan, (2) mengamati kembali tujuan
pembelajaran, (3) mencermati keterampilan serta perhatian utama guru, (4) menanyakan
perasaan guru tenang jalannya pengajaran berdasarkan target, (5) menunjukan hasil data
rekaman dan memberi kesempatan kepada guru menaf-sirkan data tersebut, (6)
menginterpretasikan data rekaman secara bersama, (7) menanyakan perasaan guru setelah
melihat rekaman data tersebut, (8) menyimpulkan hasil dengan melihat apa yang
sebenarnya merupakan keinginan atau target guru dan apa sebernarnya yang telah terjadi

82

dan dicapai, dan (9) menentukan secara bersama-sama dan mendorong guru untuk
merencanakan hal-hal yang perlu dilatih atau diperhatikan pada kesempatan berikutnya.
Lagkah yang terakhir dari pelaksanaan supervisi kinis tersebut adalah analisis
sesudah pembicaraan. Dalam tahap ini supervisor haus meneliti ulang apa yang telah yang
telah dilakukan dalam menetapkan kriteria perilaku mengajar yang ditetapkan dalam praobservasi dan kriteria yang dipakai dalam melakukan observasi. Di samping itu, perlu
dibicarakan hasil evaluasi diri tentang keberhasilan supervisor dalam membantu guru.
Kegiatan ini akan mudah dilakukan apabila supervisor mempunyai catatan yang lengkap
tentang proses kegiatan yang dilakukan, kalau mungkin sebaiknya direkam dengan video.
Untuk dapat lebih mudahnya memahami langkah-langkah dari pendekatan supervise
pengajaran yang bersifat kolaboratif, maka dapat digambarkan dalam sebuah bagan sebagai
berikut di bawah ini.

PENDEKATAN SUPERVISI PENGAJARAN KOLABORATIF.

1. Mendengarkan
2. Klarifikasi
83

3. Mendorong
4. Presentasi
5. Pemecahan Masalah
6. Negoisasi
7 Demontrasi
8. Memastikan tindakan
9. Standarisasi
10. Penguatan

G
Keterangan:

Pengawas (Supervisor) dan guru mempunyai tanggungjawab yang sama atau seimbang,
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mempresentasikan
2. Klarifikasi (Mengajukan pertanyaan)
3. Mendengarkan
4. Mengajukan alternativ pemecahan masalah.
5. Negoisasi
c. Supervisi Pengajaran Nondirektif
Supervisi nondirektif berasumsi bahwa belajar pada dasarnya adalah penga-laman
pribadi dimana individu pada akhirnya harus menemukan pemecahan masalah sendiri untuk
memperbaiki pengalaman murid di dalam kelas. Peran supervisor adalah mendengarkan,
tidak memberikan pertimbangan, membangkitan kesadaran sendiri dan mengklarifikasikan
pengalaman guru (Glickman. 1990). Supervisi nondi-rektif ini oleh Sutjipto dan Raflis
Kosasi (1999) disebut juga dengan nama pendekatan humanistik. Pendekatan non direktif
ini timbul dari keyakinan bahwa guru tersebut tidak dapat diperlakukan sebagai alat
semata-mata dalam meningkatkan kualitas belajar mengajar. Dalam proses pembinaan guru
mengalami perkembangan secara terus menerus, dan program supervisi harus dirancang
untuk mengikuti perkembangannya. Tugas supervisor adalah membimbing guru-guru

84

sehingga makin lama guru makin dapat berdiri sendiri dan berkembang dalam jabatannya
dengan usaha sendiri. Belajar dilakukan melalui pemahaman tentang pengalaman nyata
yang dialami secara real. Dengan demikian guru harus mencari sendiri pengalaman itu
secara aktif. Dorongan dapat berasal dari yang bersifat fisiologis yang kemudian secara
berangsur-angsur berubah menjadi dorongan yang bersifat dari dalam atau internal, yaitu
karena guru-guru merasa bahwa belajar merupakan kewjiban yang harus dilakukan dalam
tugasnya. Supervisor percaya bahwa guru mampu melakukan analisis dan memecahkan
masalah yang dihadapinya dalam tugas mengajarnya. Guru merasakan adanya kebutuhan
bahwa ia harus berkembang dan mengalami perubahan, dan ia bersedia mengambil
tanggungjawab terjadinya dalam perubahan tersebut. Supervisor hanya befungsi sebagai
fasilitator dengan menggunakan struktur formal sekecil mungkin.
Supervisor yang menggunakan pendekatan ini di dalam melaksanakan super-visi
tidak ditunut untuk menggunakan format yang standar, tetapi agar dissuaikan dengan
kebutuhan guru. Bisa jadi kegiatan supervisi tersebut hanya terbatas mela-kukan observasi
saja tanpa dilanjutkan dengan melakukan analisis dan interpretasi, atau bisa jadi hanya
melakukan komunikasi yang berupa mendengar penjelasan guru tanpa memberi sumber
bahan belajar yang diminta guru. Walaupun secara umumnya dapat disebutkan bahwa
pelaksanaan supervisi pengajaran dengan pendekatan non direktif tersebut ada tiga langkah,
tetapi dapat secara lebih teknis dirinci sebagai berikut di bawah in.
a.

Pembicaraan awal, pada saat ini supervisor memancing apakah dalam menga-jarnya
guru tersebut mengalami masalah. Pembicaran tersebut dilakukan secara informal. Jika
dalam pembicaraan tersebut guru tidak memerlukan bantuan, maka proses supervisi
akan berhenti.

85

b.

Observasi. Jika guru perlu, maka supervisor mengadakan observasi kelas. Dalam
melaksanakan observasi tersebut supervisor duduk di belakang tanpa menggu-nakan
catatan-catatan, supervisor hanya mengamati kegiatan kelas.

c.

Analisis dan interpretasi. Setelah observasi dilakukan, supervisor kembali ke kantor


memikirkan kemungkinan kekeliruan guru dalam melakasanakan proses belajarnya.
Jika menurut supervisor, guru telah menemukan jawabannya maka supervisor tidak
tidak perlu memberikan bantuannya. Apabila diminta oleh guru supervisor hanya
menjelaskan dan melukiskan keadaan kelas tanpa dilengkapi dengan penilaian.
Supervisor kemudian menanyakan kepada guru, apakah memerlukan saran, dan
memberikan kesempatan untuk mencoba cara lain yang diperkirakan oleh guru lebih
baik.

d.

Pembicaraan akhir. Jika perbaikan telah dilakukan, pada periode tertentu guru dan
supervisor mengadakan pembicaraan akhir, mengenai apa yang sudah dicapai oleh
guru, dan menjawab pertanyaan kalau ada guru yang masih memerlukan bantuan lagi.

e.

Laporan. Laporan disampaikan secara deskriptif dengan interpretasi berdasarkan


penilaian supervisor. Laporan ini ditulis untuk guru, kepala sekolah, atau atasan kepala
sekolah untuk perbaikan di masa selanjutnya.
Untuk dapat lebih mudahnya memahami langkah-langkah dari pendekatan supervise

pengajaran yang bersifat kolaboratif, maka dapat digambarkan dalam sebuah bagan sebagai
berikut di bawah ini
PENDEKKATAN SUPERVISI PENGAJARAN NONDIREKTIF

1. Mendengarkan
2. Klarifikasi
3. Mendorong
86

4. Presentasi
5. Pemecahan Masalah
6. Negoisasi
7 Demontrasi
8. Memastikan tindakan
9. Standarisasi
10. Penguatan

Keterangan:
Pengawas (Supervisor) mempunyai tanggungjawab yang lebih kecil dari guru, dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1.

Mendengarkan
2. Mendorong
3. Klarifikasi (Mengajukan pertanyaan)
4. Pemecahan Masalah
5. Memastikan Tindakan.

E. Pengembangan Prencanaan Program Supervisi Pendidikan


Dari uraian kompetensi supervisi akademik dan supervisi manajerial terutama
pengawas Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah tersebut dapat diketahui bahwa
supervisi pendidikan mencakup aspek-aspek pengawasan supervisi akademik yang dalam
pelaksanaan supervisi akademik tersebut mencakup aspek-aspek monitoring dan
membimbing guru dalam menyusun silabus tiap mata pelajaran dalam rumpun mata
pelajaran

yang

relevan,

membimbing

guru dalam

memilih

dan

menggunakan

strategi/metode/teknik pembelajaran/bimbingan, membimbing guru dalam menyusun


rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), membimbing guru dalam pelaksanaan
pembelajaran di kelas, laboratorium atau lapangan, membimbing guru dalam mengelola,

87

merawat, mengembangkan dan menggunakan media pendidikan dan fasilitas pembelajaran,


memotivasi guru untuk memanfaatkan teknologi informasi.
Demikian pula supervisi manjerial adalah mencakup aspek-aspek pembinaan dan
monitoring kepala sekolah dalam pengelolaaan dan administrasi satuan pendidikan,
membina kepala sekolah dan guru dalam melaksanakan bimbingan konseling di sekolah,
membimbing guru dalam menyusun silabus, membimbing guru dalam memilih dan
menggunakan strategi /metode/teknik pembelajaran/bimbingan yang dapat mengembangkan potensi siswa melalui mata pelajaran, membina kepala sekolah dan guru dalam
melaksanakan bimbingan dan konseling, mendorong guru dan kepala sekolah dalam
merefleksikan hasil-hasil yang dicapainya untuk menemukan kelebihan dan kekurangan
dalam melaksanakan tugas pokoknya, memantau pelaksanaan standar nasional pendidikan,
dan membantu kepala sekolah dalam mempersiapkan akreditasi.
Dalam upaya pengembangan prencanaan program supervisi akademik dan supervisi
manajerial tersebut seorang pengawas dituntut untuk mampu mengem-bangkan beberapa
program perencanaan, seperti rencana program kepengawasan akademik dan rencana
kepengawasan manajerial, rencana program tahunan, dan rencana program semester.
Demikian pula semua jenis rencana program tersebut di dalamnya supaya mencakup: (1)
aspek masalah, (2) Tujuan, (3) indikator, keberhasilan, (4) strategi/metode kerja (teknik
supervisi yang digunakan), (5) sekenario kegiatan, (6) sumber biaya, (7) penilaian dan
instrumen, dan (8) rencana tindak lanjut. Beberapa jenis rencana program kepengawasan
tersebut dapat dilihat dalam beberapa tabel seperti contoh di bawah ini.
a.

Rencana Program Kepengawasan Akademik

88

Rencana prgram kepengawasan akademik mencakup masalah yang akan


disupervisi, waktu pelaksanaan dalam semester berapa, tahun berapa, sekolah yang
disupervisi, dan skor rata-rata yang diberikan oleh pengawas.
Rencana Program Kepengawasan Akademik (RKA)
No Aspek yang disupervisi

Semester/Tahun Sekolah
sasaran

Skor (Yang
diisi pengawas).

1
2
3
Rata-rata skor
b. Rencana Program Kepengawasan Manajerial (RKM)
Rencana prgram kepengawasan manajerial mencakup masalah yang akan
disupervisi, waktu pelaksanaan dalam semester berapa, tahun berapa, sekolah yang
disupervisi, dan skor rata-rata yang diberikan oleh pengawas.
Rencana Program Kepengawasan Manajerial (RKM)
No Aspek yang disupervisi

Semester/Tahun Sekolah
sasaran

Skor (Yang
diisi pengawas).

1
2
3
Rata-rata skor
c. Rencana Program tahunan
Rencana program tahunan dan semster berisi no, jenis sarana, tahun/semester
pelaksanaan, jumlah sekolah, dan skor yang akan diisi oleh pengawas.

Rencana Program tahunan

89

No

Jenis rencana

Tahun

Jumlah
sekolah binaan

Skor yang diisi


oleh pengawas

Rencana Program Semeteran


No

Jenis rencana

Semester

Jumlah
sekolah binaan

Skor yang diisi


oleh pengawas

Di samping menyusun rencana program kepengawasan dengan beberapa jenisnya


seperti yang telah diuraikan di atas, pengawas dituntut juga untuk melaporkan hasil
kepengawasan yang dilakukannya tersebut. Demikian juga pelaporannya dilakukan secara
tertulis dengan mengikuti suatu penulisan yang sistematikannya mengikuti suatu prosedur
dan langkah tertentu. Sistematika penulisan laporan tersebut meliputi komponen sebagai
berikut di bawah ini.
SISTEMATIKA
PENULISAN LAPORAN KEPENGAWASAN

Bab.

Pendahuluan
a. Latar belakang masalah
b. Fokus masalah
c. Tujuan dan sasaran pengawasan.
d. Ruang lingkup pengawasan.

Bab. II

Kerangka Berpikir dan Pemecahan Masalah

Bab. III

Pendekatan dan Metode

90

Bab. IV Hasil Pengawasan


a. Hasil Pengawasan
b. Pembahasan Hasil
Bab. VI

Penutup
a. Simpulan.
b. Saran.

F. Rangkuman
Dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi manajemen khususnya fungsi pengawasan di
sekolah dikenal dengan istilah supervisi pendidikan. Istilah supervisi dalam bidang
pendidikan secara nasional mulai diperkenalkan sejak tahun 1975 bersamaan dengan
diberlakukannya Kurikulum 1975. Kemudian dalam perkembangannya pada setiap
pergantian kurikulum, supervisi dianggap sebagai bagian dari pelengkap pedoman
kurikulum. Supervisi pendidikan pada awalnya lebih bersifat umum karena dilakukan untuk
memonitor berbagai kegiatan yang dilaksanakan di sekolah. Kemudian dalam
perkembangannya konsepsi supervisi lebih ditekankan kepada perbaikan proses belajar
mengajar guru, sehingga para ahli membagi supervisi menjadi supervisi umum yang
ditujukan pada penunjang keberhasilan proses belajar mengajar, seperti sarana dan
parasarana dan lingkungannya yang berupa gedung, ruang kelas, media, alat-alat pelajaran,
kafetaria, dan transfortasi yang tidak bersifat administratif, dan supervisi pengajaran yang
bersifat khusus untuk membantu guru dalam bidang studi tertentu, oleh karena itu maka
fungsi supervisor tersebut adalah sebagai mitra guru, inovator, konselor, motivator,
kolaborator, evaluator serta konsultan guru dalam meningkatkan proses belajar

91

mengajarnya. Ada dua tujuan yang harus diwujudkan dari supervisi pendidikan itu, yaitu:
(1) perbaikan atau peningkatan pembelajaran, dan (2) peningkatan mutu pendidikan.
Dalam perkembangan selanjutnya supervisi kemudian lebih memfokus pada
kegiatan PBM, sehingga supervisi diberikan pengertian sebagai layanan yang diberikan
kepada guru, yang hasil akhirnya adalah untuk peningkatan atau perbaikan pengajaran
guru, pembelajaran murid, dan perbaikan kurikulum. Dengan demikian nilai supervisi
terletak pada perkembangan dan perbaikan situasi belajar mengajar yang direfleksikan pada
perkembangan para siswa. Sehubungan dengan tujuan, manfaat dan nilai dari supervisi
pendidikan menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, oleh
karena itu untuk dapat efektif dan efisiennya pelakasanaan supervisi tersebut maka seorang
supervisor tersebut dituntut untuk memiliki kompetensi teretentu, memiliki pemamaham
dan menerapkan berbagai prinsip, teknik, metode, dan pendekatan supervisi pendidikan.
Supervisor yang memiliki kompetensi, memiliki pemamaham tentang berbagai prinsip,
teknik, metode, dan pendekatan supervisi akan dapat menyusun rencana program kegiatan
pembinaan dan akan lebih berhasil dalam melakukan pembinaan terhadap guru.
H. Evaluasi
1. Jelaskan hakekat supervisi pendidikan!.
2. Jelaskan perkembangan supervisi pendidikan di Indonesia!.
3. Jelaskan tujuan supervisi pendidikan!.
4. Jelaskan prinsip-prinsip supervisi pendidikan !.
5. Jelaskan mana yang baik menurut pendapat anda metode supervisi pendidikan
langsung atau tidak langsung!.

92

6. Analisis mengapa dalam melaksanakan supervisi pendidikan sebaiknya menggunakan


teknik individual?
7. Analisis kapan sebaiknya menerapkan pendekatan kolaborati, nondirektif dan direktif
dalam melakukan supervisi akademik pendidikan !.
8. Buatlah suatu rencana program pembinaan supervisi akademik dan supervisi manajerial untuk satu semester!.

BAB. VI
KEPALA SEKOLAH SEBAGAI

93

PEMIMPIN PENDIDIKAN
A. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaiannya
B.

Kompetensi

Indikator Pencapaiannya

Dasar
Memahami pengertian kepemimpinan dari Dapat menyebutkan pengertian kepemimberbagai ahli.
Memahami berbagai gaya kepemimpinan.

pinan dari berbagai ahli.


Dapat menganalisis berbagai kelebihan dan
dan kelemahan gaya kepemimpinan situa-

Memahami

gaya

kepemimpinan

sional.
yang Dapat membandingkan gaya kepemimpinan

berbasisi budaya Bali


Memahami

yang berbasisi budaya Bali dengan gaya

kompetensi

kepala

kepemimpinan transformsional.
sekolah Dapat menganalisis kompetensi

kepala

sebagai pemimpin

sekolah sebagai pemimpin yang dapat

Memahami kuasa dan jenis kepala sekolah.

dianggap efektif.
Dapat menganalisis sumber-sumber kuasa
dan jenis kusa kepala sekolah.

B.

Pengertian Kepemimpinan
Secara umum mungkin dapat diartikan kepemimpinan tersebut sebagai kegiatan

untuk mempengaruhi orang-orang yang diarahkan terhadap pencapaian tujuan organisasi.


Namun demikian tampaknya pengertian kepemimpinan oleh para ahli tersebut masingmasing ada perbedaannya tergantung dari sudut pandang, penekanannya, keluasannya dan
kedalaman yang terkandung di dalamnya. Sutisna (1993) misalnya merumuskan kepemimpinan tersebut sebagai suatu proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau sekelompok

94

orang dalam usaha ke arah pencapaian tujuan dalam situasi tertentu. Sementara Supardi
(1988) menyatakan bahwa kepemimpinan tersebut sebagai kemampuan untuk menggerakkan, mempengaruhi, membimbing, menyuruh, memerintah, melarang, dan kalau perlu
menghukum, serta membina dengan maksud agar manusia sebagai media manajemen mau
bekerja dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien.
Dari beberapa pengertian kepemimpinan tersebut menunjukkan bahwa dalam kepemimpinan tersebut paling tidak mencakup tiga hal yang saling berkaitan, yaitu: adanya
pemimpin dan karakteristiknya, adanya bawahan, serta adanya situasi dalam kelompok
tempat pemimpin dan bawahan saling berinteraksi.
Dengan demikian untuk dapat dijelaskan efektifnya suatu organisasi tersebut dalam
mencapai tujuannya akan sangat tergantung pada: pertama pemimpin dan karakteristiknya
yang dalam manajemen kemudian lazim disebut dan dikenal dengan istilah pola
kepemimpinan atau gaya kepemimpinan, yang mana pola atau gaya kepemimpinan tersebut
kemudian secara realitanya akan tampak dalam suatu pola perilaku seorang pemimpin yang
khas pada saat mempengaruhi bawahannya, apa yang dipilih oleh pemimpin atau yang
dikerjakannya, cara memimpin dan bertindak dalam mempengaruhi bawahannya sehingga
bawahannya mau taat serta melakukannya (Thoha.1995). Faktor kedua yang dapat
menentukan efektifnya suatu organisasi dalam mencapai tujuannya adalah faktor bawahan
yang tekanannya pada tingkat kematangan bawahan tersebut, jadi semakin tinggi tingkat
kematangan bawahan atau karyawan tersebut efektifitas suatu organisasi akan semakin
tinggi. Kemudian faktor ketiga yang dapat menentukan efektifnya suatu organisasi dalam
mencapai tujuannya adalah faktor situasi interaksi tempat berkerja yang dalam manajemen
sering disebut dengan istilah iklim organisasi atau budaya organisasi dan lain sebagainya

95

(Komariah dan Triatna. 2006). Sedangkan di sisi yang lain Tilaar (1993) menyatakan bahwa
untuk dapat organisasi berhasil mencapai tujuannya secara efektif dalam kondisi yang
sedang mengalami berbagai perubahan adalah: (1) adanya suatu visi yang jelas dari
organisasi tersebut, (2) kejelasan misinya, (3) kejelasan rancangan kerjanya, (4) sumber
daya yang memadai, (5) keterampilan profesionalitas, dan (6) motivasi dan insentif.
Sekolah sebagai suatu organisasi sosial yang merupakan bagian penyelenggaraan
dari sistem pendidikan nasional, pada saat ini tampaknya juga mengalami perubahan yang
sangat besar dalam berbagai dimensi, sebagai akibat adanya perubahan sistem dan kewenangan dalam mengatur penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, yaitu yang pada
mulanya bersifat sentralistik sesuai dengan UU No. 2 tahun 1989 yang telah diganti
menjadi sistem yang bersifat desentralisasi sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003, telah
melahirkan berbagai kebijakan yang menuntut peran pemerintah daerah provinsi,
kabupaten/kota adanya sistem manajemen, gaya kepemimpinan, dan keterampilan manajerial yang lebih tinggi dalam penyelenggaraan sistem pendidikan di tingkat mikro atau di
tingkat sekolah.
Bertitik tolak pada uraian tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa terdapat beberapa
faktor yang dapat menentukan dari efektifitas suatu organisasi termasuk dalam bidang
pendidikan terutama di sekolah. Tampaknya dari berbagai faktor yang telah disebutkan di
atas, faktor kepemimpinan yang paling sangat penting dan determinan mengingat yang
akan memenaje bawahan serta mengkondisikan situasi interaksi dalam organisasi, dan
mengelola faktor-faktor organisasi yang lainnya dalam rangka mencapai tujuan organisasi
tersebut adalah pimpinan.

96

C. Berbagai Gaya Kepemimpinan


Dalam kepustakaan disebutkan ada berbagai cara dalam mendekati kepemimpinan
dan karkteristiknya atau gaya kepemimpinan seseorang yang disebut efektif. Pendekatan
teori kepemimpinan tersebut mulai dari teori pendekatan sifat, teori pendekatan perilaku,
teori pendekatan situasional, dan teori kemungkinan pengembangan kepemimpinan pada
era desentralisasi ini.
Teori pendekatan sifat mencoba menjelaskan keefektipan dan keberhasilan seorang
pemimpinan dengan bertolak pada asumsi-asumsi bahwa individu merupakan pusat kepemimpinan seseorang. Kepemimpinan dipandang sebagai sesuatu yang mengandung lebih
banyak unsur-unsur individu terutama sifat-sifat individu. Jadi orang yang memiliki sifatsifat tertentu yang dipertimbangkan untuk dapat menduduki posisi pimpinan (Mulyasa.
2002). Sifat-sifat bawaan inilah yang membedakan antara pemimpin dengan bukan pemimpin. Demikian juga yang dimaksudkan dengan sifat-sifat bawaan tersebut, seperti kekuatan
fisik dan susunan syaraf, penghayatan terhadap arah tujuan, antusiasisme, keramahan,
integritas, keahlian, kemampuan mengambil keputusan, keterampilan memimpin, dan
kepercayaan.
Tampakya sifat-sifat bawaan seseorang belum mampu memberikan jawaban yang
memuaskan, oleh karena itulah para pakar tampaknya mengalihkan perhatiannya pada
perilaku pemimpin. Teori pendekatan kepemimpinan ini tampaknnya memfokuskan dan
mengidentifikasi perilaku yang khas dari pemimpin dalam melakukan kegiatan mempengaruhi bawahannya. Beberapa studi dengan menggunakan teori pendekatan perilaku
kepemimpinan ini adalah Universitas OHIO, dengan melihat perilaku inisiatif (initiating
structure) dan perhatian (consideration) dari pemimpin, Universitas Michigan dengan

97

melihat perilaku orientasi pada bawahan, dan orientasi pada produksi dalam organisasi,
kemudian teori jaringan manajemen oleh Blacke dan Mouton yang melihat perilaku
pimpinan dari perhatiannya terhadap produksi dan karyawannya.
Kemudian yang dimaksud dengan pendekatan situasional adalah suatu pendekatan
yang dalam menyoroti perilaku pemimpin dalam situasi tertentu, dengan lebih menekankan
kepemimpinan merupakan fungsi daripada sebagai kualitas pribadi yang timbul karena
interaksi orang-orang dalam situasi tertentu. Atas dasar pandangan teori pendekatan situasional dikembangkan beberapa gaya kepemimpinan, seperti: kepemimpinan kontingensi oleh
Fiedler dan Chemers (Mulyasa. 2002) yang menjelaskan bahwa seseorang akan menjadi
pemimpin yang efektif akan sangat tergantung dari hubungan antara pemimpin dengan
bawahan artinya bagaimana seorang pemimpin dapat diterima oleh bawahannya serta
bagaimana persepsi pemimpin terhadap bawahannya, struktur tugas dalam arti apakah
tugas-tugas bawahan merupakan sebagai sesuatu yang rutin dan jelas, dan kekuasaan yang
bersumber dari organsasi akan mendapatkan kepatuhan yang lebih besar dari bawahnnya.
Kemudian muncul juga teori dari Reddin yang dikenal dengan teori kepemimpinan tiga
dimensi. Dasar yang digunakan untuk menentukan efektifitas kepemimpinan seseorang
adalah perhatian pada produksi dan tugas, perhatian pada bawahan, dan efektifitas
(Mulyasa. 2002). Dan salah satu teori kepemimpinan dengan menggunakan pendekatan
situasional ini adalah teori yang dikembangkan Hersey dan Blanchard (1982) yang
menyatakan bahwa efektifitas kepemimpinan seseoang akan sangat tergantung pada tiga
faktor, yaitu: pertama faktor perilaku tugas, yang berupa petunjuk oleh pimpinan, penjelasan tertertu apa yang harus dilakukan, bilamana dikerjakan, bagaimana mengerjakannya,
serta pengawasan yang ketat. Kedua, faktor perilaku hubungan berupa ajakan kepada

98

bawahan melalui komunikasi dari dua arah, yaitu pimpinan dan bawahan. Kemudian faktor
ketiga adalah faktor kematangan bawahan yang berupa kemauan dan kemampuan dari
bawahan dalam melaksanakan tugasnya.
GAMBAR BAGAN. 7.1
GAYA KEPEMIMPINAN SITUASIONAL

Tinggi

TH
dan
RT

Partispasi

G4
Delegasi
Perilaku
Hubungan
Rendah
Tinggi
M4
Matang

Menjajakan

G3

G2

RH
dan
RT

TT
dan
RH

Perilaku Tugas
Sedang
M3
M2
Kematangan Pengikut

TT
dan
TH

G1
Mendikte

Tinggi
Rendah
M1
Tidak Matang

Rendah

Keterangan: TH = Tinggi hubungan

M4 = Mampu dan mau

RT = Rendah tugas

M3 = Mampu tapi tidak mau

RH = Rendah hubungan

M2 = Mau tapi tidak mampu

TT = Tinggi tugas

M1 = Tidak mampu dan tidak mau

Dari gambar bagan di atas tampak secara jelas tingkat kematangan bawahan
tersebut menjadi faktor determinan dari seorang pemimpin untuk dapat memilih dan
menetapkan gaya kepemimpinan yang bagaimana dapat diterapkan untuk dapat efektif
memberikan pengaruh terhadap bawahannya dalam rangka meningkatkan profesionalismenya. Dalam bidang pendidikan misalnya kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan
akan dihadapkan pada masalah gaya kepemimpinan yang bagaimana sebaiknya diterapkan

99

yang dianggap tepat dan sesuai dengan tingkat kematangan guru sebagai bawahan. Seperti
misalnya kalau tingkat kematangan guru termasuk tinggi (M4) yang ditandai dengan ciriciri bawahan atau guru mampu dan mau melakukan peningkatan kualitas kompetensi
profesionalismenya, maka gaya kepemimpinan yang seharusnya digunakan oleh seorang
kepala sekolah adalah gaya kepemimpinan delegasi (G4) yang ditandai dengan ciri-ciri
kepemimpinannya tinggi hubungan dan rendah tugas. Demikian pula halnya kalau seorang
pemimpin atau kepala sekolah dihadapkan pada guru yang memiliki tingkat kematangan
yang termasuk sedang (M3, M2) yang ditandai dengan ciri-ciri guru mampu tapi tidak mau
atau guru mau tapi tidak mampu melakukan peningkatan kualitas kompetensi profesionalismenya, maka gaya kepemimpinan yang seharusnya digunakan oleh seorang kepala
sekolah adalah gaya kepemimpinan partisipasi (G3) yang ditandai dengan ciri-ciri
kepemimpinannya rendah hubungan dan rendah tugas atau gaya kepemimpinan menjajakan
(G2) yang ditandai dengan ciri-ciri kepemimpinannya tinggi tugas dan rendah hubungan.
Begitu pula halnya kalau seorang pemimpin atau kepala sekolah dihadapkan pada guru
yang memiliki tingkat kematangan yang termasuk rendah (M1) yang ditandai dengan ciriciri guru tidak mampu dan tidak mau melakukan peningkatan kualitas kompetensi
profesionalismenya, maka gaya kepemimpinan yang seharusnya digunakan oleh seorang
kepala sekolah adalah gaya kepemimpinan mendikte (G1) yang ditandai dengan ciri-ciri
kepemimpinannya tinggi tugas dan tinggi hubungan.
Kemudian teori kepemimpinan yang bagaimanakah yang dianggap paling efektif
pada masa sekarang yang sedang mengalami perubahan dan masa globalisasi. Paling tidak
ada tiga jenis kepemimpinan yang dipandang referensentatif dengan tuntutan jaman yang
sedang mengalami perubahan khususnya dalam penyelenggaraan sistem pendidikan dengan

100

sistem desentralisasi pada saat ini. Jenis kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan transsaksional, visioner, dan kepemimpinan transfomasional (Komariah dan Triatna.
2006., Danim. 2005. 2006).
Kepemimpinan transaksional yang dimaksudkan adalah pemimpin yang menekankan pada tugas yang diemban oleh bawahan, merancang pekerjaannya, beserta mekanismenya, bawahan melaksanakannya sesuai dengan kemampuannya, dan di sisi yang lain
bawahan melakukan tugasnya bukan dalam rangka untuk aktualisasi diri, tetapi untuk
mendapatkan insentif sesuai dengan beban pekerjaan dan kemampuannya. Dengan kata lain
dalam kepemimpinan yang transaksional pimpinan dihadapkan pada bawahan yang masih
kurang matang yang ingin memenuhi kebutuhan hidupnya dari sisi sandang, pangan, dan
papan. Dengan demikian kepemimpinan transaksional disebut juga dengan dorongan kontingen dalam bentuk reward dan punishment yang merupakan kesefakatan bersama dalam
kontrak kerja yang apabila bawahan dapat bekerja dengan berhasil baik sesuai dengan
harapan, maka juga akan mendapat kontingen berupa imbalan. Dalam kaitan ini Hoover,
dan Leitwood (dalam Komariah dan Triatna. 2006) menjelaskan secara skematis gaya kepemimpinan transaksional sebagai bagan di bawah ini.

BAGAN. 7.2
KEPEIMIMPINAN TRANSAKSIONAL

101

Pemimpin mengidentifikasi apa yang


mesti dikerjakan bawahan untuk tujuan
yang diinginkan

Pemimpin mengidentifikasi apa yang


menjadi kebutuhan baahannya

Pemimpin memperjelas peran


bawahannya.

Pemimpin memperjelas bagaimana


kebutuhan bawahan akan dipenuhi,
sebagai imbalan terhadap pekerjaan-nya.

Bawahan merasa mampu memenuhi


tuntutan atas perannya (secara
subyektif).

Bawahan menganggap imbalan tersebut


sepadan dengan pencapaian hasil yang
dikerjakan.

Bawahan termotivasi untuk meraih hasil


yang diinginkan tersebut

Kepemimpinan yang visioner, yaitu kepemimpinan yang kerja pokoknya difokuskan pada rekayasa masa depan yang penuh tantangan. Kepemimpinan yang visioner adalah
ditandai oleh adanya kemampuan dalam membuat perencanaan yang jelas sehingga dari
rumusan visinya akan tergambar sasaran apa yang hendak dicapai dari pengembangan
lembaga yang dipimpinnya. Kepemimpinan visioner adalah pemimpin yang memiliki
kemampuan untuk merumuskan, mengkomunikasikan, mensosialisasikan, mentransformasikan, dan mengimplementasikan pikiran-pikiran idealnya atau sebagai hasil interaksi sosial
diantara anggota organisasi dan yang diyakini sebagai cita-cita organisasi di masa depan
yang harus diraih dan diwujudkan melalui komitmen semua personel.
Kemudian kepemimpinan transformasional adalah sebagai suatu proses yang pada
dasarnya para pemimpin dan pengikutnya saling menaikan diri ketingkat moralitas dan
motivasi yang lebih tinggi (Komariah dan Triatna. 2006). Kepemimpinan transformasional
adalah pemimpin yang memiliki wawasan jauh ke depan dan berupaya memperbaiki dan

102

mengembangkan organisasi untuk di masa depan. Danim (2006) dengan mengutip Burns
menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional suatu proses kepemimpinan yang mana
pemimpin dan bawahannya saling merangsang diri satu sama lain untuk meningkatkan
moralitas dan motivasinya yang lebih besar yang dikaitkan dengan tugas pokok dan
fungsinya. Dengan kepemimpinan transformasional ini akan mampu membawa kesadaran
pengikutnya memunculkan ide-ide produktif, hubungan yang sinergik, tanggungjawab,
kepedulian terhadap pendidikan, cita-cita bersama dan nilai-nilai moral, bersama-sama
menerjemahkan visi, misi organisasinya.
Kalau pengertian kepemimpinan transformasional tersebut digambarkan dalam
bentuk bagan dengan mengutif dari Komariah dan Triatna (2006), maka akan tampak
seperti dalam bagan 02 di bawah ini.

BAGAN 7.3
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASINAL

103

Pemimpin yang
membangun nilai,
mo-ralitas, rasa
percaya diri

Pemimpin mengangkat
nuansa kebutuhan bawahan
ke tingkat yang lebih
tinggi pada hiarki motivasi.
Pemimpin mentranformasikan perhatian kebutuhan bawahann.

bawahan.
Pemimpin memper-luas
kebutuhan bawahan.
Pemimpin mempertinggi keberhasilan
yang subyektif.

Pemimpin memper-tinggi
nilai kebenaran bawahan.

Kondisi sekarang dan upaya yang


diharapkan bawahan.

Makin meningginya motvasi bawahan


untuk mencapai hasil dengan upaya
tambahan.

Bawahan menghasilkan kinerja


sebagaimana yang diharapkan

Bawahan menghasilkan kinerja


melebihi apa yang diharapkan.

Secara lebih jelas dalam mendeskripsikan kepemimpinan transformasional tersebut


adalah seperti yang dikemukakan oleh Bass dan Aviola (Komariah dan Triatna. 2006),
sebagai berikut:
1.

Perilaku pemimpin yang menghasilkan rasa hormat dan rasa percaya diri pada
bawah-annya. Perilaku pemimpin seperti ini juga mengandung arti saling berbagi risiko
mela-lui pertimbangan kebutuhan para staf di atas kebutuhan pribadi dan perilaku moral
etis.

2.

Perilaku pemimpin yang senantiasa menyediakan tantangan pekerjaan bagi


bawahannya dan memperhatikan makna pekerjaan bagi bawahannya. Pemimpin
menunjukan atau mendemontrasikan komitmen terhadap sasaran organisasi melalui
perilaku yang dapat diobservasi. Pemimpin adalah motivator yang bersemangat terus
membangkitkan antu-siasisme dan optimisme staf.

104

3.

Perilaku pemimpin yang memperaktekkan inovasi-inovasi. Sikap dan perilaku kepemimpinannya didasarkan pada pengetahuan yang berkembang dan secara intektual ia
mampu menerjemahkan dalam bentuk kinerja yang produktif. Sebagai intelektual
pemimpin senantiasa menggali ide-ide dan solusi yang kreatif dari para staf dan tidak
lupa mendorong staf mempelajarinya dan melakukan pendekatan baru dalam melakukan pekerjaan.

4. Perilaku pemimpin merefleksikan dirinya sebagai orang penuh perhatian dalam mendengarkan dan menindaklanjuti keluhan, ide, harapan, dan segala masukkan yang
disampaikan oleh staf. Bahkan secara lebih rinci Anderson (Usman. 2006), mengambarkan
ciri-ciri dari kepemimpinan tarnsformasional adalah sebagai berikut. Pertama kepemimpian
transformasinal memiliki atau bercirikan bahwa seorang pemimpin tersebut pertama harus
menunjukkan diri sebagai komunikator: yaitu mengenali bawahannya, mengelola
bawahannya, memahami bawahan-nya dengan akurat, mengkomunikasikan visinya dengan
bawahannya, mengakui keberhasilan bawahannya, menahan emosi terhadap bawahannya,
mengatasi konflik antar pribadi, membina hubungan yang efektif dan menyenangkan
terhadap bawahanya, menghormati dan menghargai bawahanya, memberikan dukungan
terhadap bawahannya. Kedua sebagai konselor, yaitu: membantu bawahannya mengatasi
masalahnya, membantu bawahannya membuat rencana atau tujuan yang ingin dicapai,
memotivasi bawahannya untuk bertindak, menghadapi orang-orang yang jenuh dan
membangkang, melakukan pemindahan bawah-annya secara selektif, dan efektif, membagi
pengalaman pada bawahanya, membina bawahannya untuk mencapai tujuan, mengevaluasi
kinerja dan memberikan unpan balik. Ketiga pemimpin tersebut harus menunjukkan diri
sebagai konsultan, yaitu: melaksanakan konsultasi dan komunikasi dengan bawahanya,

105

membuat nilai dan budaya bersama, melegitimasi kepemimpinan orang lain, memfasilitasi
perkembangan kelompok, mengklarifikasi norma-norma, nilai-nilai, dan keyakinan,
mengkomunikasikan visi dan misi, dan tujuan arganisasi, memecahkan permasalahan
organisasi, menghadapai anggota yang mengganggu, meneliti informasi yang penting bagi
bawahan dan organisasi, merencanakan dan mengkoordinasikan berbagai sumberdaya
organisasi.
Tampaknya mencermati gaya kepemimpinan transsaksional, visioner, dan tarnsformasional masing-masing dari ketiga jenis gaya kepemimpinan tersebut memiliki kekhususnya yang saling melengkapi sesuai dengan jenis permasalahan dan mekanisme kerja dalam
hubungannya dengan para bawahannya. Dari ketiga jenis gaya kepemimpinan tersebut gaya
kepemimpinan transformasional disebutkan sebagai gaya kepemimpinan yang mempunyai
sisi-sisi yang paling cocok dengan jaman sekarang ini.
Berdasarkan pada pembahasan terhadap beberapa jenis gaya kepemipinan seperti
yang telah diuraikan di atas, ternyata terdapat berbagai jenis gaya kemimpinan yang
masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahannya. Dari hasil pembahasan terhadap
berbagai jenis gaya kepemimpinan tersebut tampaknya memang benar bahwa kepemimpinan transformasional tersebut memiliki kelebihan, karena memperhatikan dan menjadikan berbagai sisi positif yang dijadikan dasar dalam mengembangkan teori kepemimpinan
yang lainnya tersebut, baik dalam teori yang menggunakan pendekatan sifat, pendekatan
perilaku, dan pendekatan situasional, tampaknya tercakup di dalamnya. Kemudian kepada
para kepala sekolah silahkan merfleksi diri dalam melaksanakan tugas-tugas sebagai kepala
sekolah dengan berpijak pada berbagai teori kepempinan tersebut, lebih lanjut menghayati
berbagai kelebihan dan kekurangan dari setiap gaya kepemimpinan. Lebih lanjut akan dapat

106

mengambil sisi-sisi positifnya dan mengaplikasikannya dalam menjalankan tugas-tugas


sebagai kepala sekolah sehingga akan diharapkan berdampak langsung terhadap peningkatan mutu pengelolaan pendidikan di sekolah.
D. Kepemimpinan Asta Sebagai Gaya Kepempinan Berbasis Budaya Bali
Pada saat sekarang ini masyarakat Bali pada umumnya dan masyarakat akademik
khususnya nampak menunjukkan adanya kecendrungan bahwa dalam belajar tentang
kepemimpinan lebih banyak dan lebih suka pada teori-teori yang berasal dari negara-negara
barat, seperti teori-teori manajemen dan kepemimpinan yang berkembang di Eropa dan
Amerika. Masyarakat Bali pada umumnya dan masyarakat akademik khususnya jika dalam
melakukan suatu kegiatan akademik yang berfokus pada masalah kepemimpinan maka di
dalam menguraikan, membahas, mengkaji, menganalisisnya tanpa berpijak dan
berlandaskan pada teori-teori manajemen dan kepemimpinan yang berkembang di dunia
barat tersebut, maka produk dari karya kegiatan ilmiah tersebut akan dirasakan kurang
berkualitas, kurang ilmiah, kurang modern, kurang canggih, dan terkesan kurang menarik.
Padahal disisi lain sebenarnya masih ada teori-teori kepemimpinan yang tidak kalah
baiknya serta hebatnya yang terdapat dan bersumber dari budaya bangsa, khususnya sastrasastra Agama Hindu yang merupakan mahakarya yang luhur dan adi luhung yang
diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dari sejak jaman dahulu yang seharusnya
juga sangat penting perlu dipelajari dan dapat dijadikan rujukan, landasan pijakan di dalam
membahas masalah-masalah kepemimpinan, serta diaplikasikan dalam mengemban suatu
kepemimpinan tersebut termasuk dalam dunia pendidikan khususnya para kepala sekolah.
Ariasna (1988) misalnya menjelaskan ada beberapa pola atau sisfat-sifat kepemimpinan

107

yang bersumber dari budaya bangsa, khususnya sastra-sastra Agama Hindu, seperti: (1)
model kepemimpinan menurut Niti Sastra, (2) Asta Brata, (3) Panca Sthiti Dharmaning
Prabhu, (4) Asta Dasa Paramiteng Perabhu, (5) Panca Pendawa, (6) Catur Kotamaning
Nrpati, dan (7) Catur Naya Sandhi.
Dalam buku ajar ini juga dibahas salah satu model atau sifat kepemimpinan yang
bersumber dari teori-teori budaya, dan sastra-sastra agama Hindu tersebut, yaitu model atau
kepemimpinan Asta Brata.Tulisan ini dilakukan untuk mencoba menelusuri dan
mendeskripsikan bagaimana kelebihan dan kehebatan dari teori-teori kepemimpinan yang
bersumber dari budaya, karya-karya santra, dan agama Hindu tersebut, juga sebagai bahan
masukkan bagi masyarakat atau publik khususnya para kepala sekolah sebagai pelaku,
sebagai pigur pendidikan yang sentral dan strategis untuk dijadikan rujukan dalam
penyelengaraan pengelolaan pendidikan di sekolah, dan dalam rangka ikut mewujudkan
pencapaian sasaran kebijakan lokal gerakan dan melestarikan Ajeg Bali.
Dalam kepustakaan disebutkan ada berbagai cara dalam mendekati kepemimpinan
dan karkteristik atau gaya kepemimpinan seseorang. Pendekatan teori kepemimpinan
tersebut mulai dari teori pendekatan sifat, teori pendekatan perilaku, teori kontingensi, dan
pendekatan situasional (Mulyasa.2002). Demikian juga pada saat jaman globalisasi sekarang ini yang penuh ditandai dengan adanya perubahan dalam semua aspek kehidupan
manusia yang begitu cepat dan dasyat juga dikaji teori kepemimpinan yang dianggap sesuai
dengan jamannya seperti teori kepemimpinan dalam keberagaman budaya (Gerring
Supriyadi, Suradji, Daan Suganda. 2001), kemudian teori kepemimpinan transaksional,
visioner, dan transformasional (Komariah dan Triatna. 2006., Danim. 2005. 2006., Raihani.
2010).

108

Semua gaya atau pola kepemimpinan yang disebutkan di atas pada dasarnya adalah
merupakan teori-teori dalam manjemen dan kepemimpinan yang dipelajari dan berkembang di dunia barat.
Dalam pembahasan berikutnya akan dibahas teori kepemimpinan Asta Brata yang
merupakan salah satu teori kepemimpinan yang bersumber dari budaya, dan sastra agama
Hindu. Dipilihnya teori kepemimpinan Asta Brata dalam pembahasan ini, karena model
kepemimpinan ini tidak saja dikenal khususnya dalam masyarakat Indonesia yang
beragama Hindu, tetapi sudah dikenal oleh seluruh masyarakat bangsa Indonesia pada
umumnya. Alasan lainnya yang dapat disebutkan mengapa pola kepemimpinan Asta Brata
ini perlu dibahas karena memiliki kebenaran universal, memiliki nilai yang luhur dan adi
luhung, berasal dari warisan budaya bangsa bersumber dari ajaran agama Hindu. Oleh
karena itu model kepemimpinan Asta Brata tersebut sangat penting dipelajari, dipahami
sehingga dapat diaplikasikan dalam melaksanakan tugas para pemimpin, baik sebagai
pemimpin adat, pemimpin agama dan pemimpin dalam berbagai organisasi formal dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengingat begitu pentingnya model kepemimpinan
Asta Brata ini, maka dahulu pada jaman pemerintahan Presiden Soeharto ketika menerima
para peserta pekan Wayang Indonesia ke VI di Istana Negara menyatakan bahwa tentang
pendidikan kepemimpinan yang belum diperoleh di sekolah bisa diajarkan lewat tokohtokoh masyarakat khususnya para Dalang yakni Asta Brata yang menjadi dasar
kepemimpinan pada kisah Ramayana dan kisah Maha Brata. Lebih jauh mantan Presiden
Soeharto juga menyatakan Asta Brata memberikan ajaran yang mudah dipahami, karena
menggunakan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa menjadi ancer-ancer atau titik tolak,
yaitu dengan mendalami atau menghayati sifat dan watak alam semesta, baik sifat bumi,

109

samudra, angin, angkasa, matahari, bulan, api dan bintang. Lebih lanjut beliau juga
menyatakan bahwa kalau saja semua masyarakat Indonesia bisa dan dapat mempelajari
kepemimpinan Asta Brata ini, mulai dari yang muda sampai kepada yang pada saat
sekarang ini memegang pimpinan mau dan bisa menerapkan sifat dan watak alam yang
digunakan sebagai ancer-ancer kepemimpinannya, saya kira Indonesia akan menjadi jaya
(Ariasna. 1998). Dari kutipan tersebut menunjukkan bahwa betapa mantan Presiden
Soeharto mengharapkan kepemimpinan Asta Brata tersebut supaya dipelajari karena telah
terbukti memiliki berbagai kelebihannya dari sejak jaman dahulu yakni semenjak jaman
nenek moyang bangsa Indonesia pada jaman kejayaan kerajaan Sri Wijaya dan kerajaan
Majapahit.
Oleh karena model kepemimpinan Asta Berata tersebut merupakan warisan budaya
bangsa, warisan budaya Hindu maka harus dipelajari, dipahami secara baik, dan sudah
tentunya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh semua orang yang disebut pemimpin,
apakah pemimpin dalam bidang adat, agama, bangsa dan negara termasuk para kepala
sekolah. Bahkan khususnya masyarakat Bali dengan mempelajari, memahami secara benar,
dan menerapkannya secara konsisten dalam melaksanakan tugas sebagai kepala sekolah
berarti pula para kepala sekolah tersebut telah ikut berpartisipasi dalam menyukseskan
kebijaksanaan lokal gerakan dan melestarikan ajeg Bali. Persoalannya

adalah

bagaimanakah model dan profil kepemimpinan Asta Brata tersebut secara lebih lengkap
dan utuh.
Asta Berata berasal dari kata Asta yang berarti delapan, dan Brata yang berarti
tugas, kewajiban, laku utama, keteguhan hati (Oka Mahendra. 2001). Dengan demikian
Asta Brata berarti delapan tugas atau kewajiban utama yang mesti dipegang teguh oleh

110

seorang pemimpin dalam melaksanakan tugas seorang pemimpin. Asta Brata terdapat
dalam Kitab Manawadharma Sastra atau Manusmrti Bab IX Sloka 303 yang menyatakan
sebagai berikut: Hendaknya raja atau pemimpin berbuat seperti perilaku yang sama
dengan Indra, Surya, Wayu, Yama, Waruna, Candra, Agni dan Pertiwi.
Demikian pula ajaran Asta Brata tersebut terdapat dalam Kakawin Ramayana yang
diubah oleh Pujangga Walmiki dan terdiri atas 10 seloka (Wiratmadja. 1995). Dalam seloka
pendahuluannya disebutkan tentang sifat Hyang Widhi Waca yang menjadikan kekuatan
umatnya dan menggambarkan tentang kemampuan yang harus dimiliki oleh segenap
pemimpin. Kemudian dalam sloka yang keduanya disebutkan: Dewa Indra, Yama, Surya,
Candra, Anila/Bayu, Kuwera, Baruna, dan Agni itulah delapan Dewa yang merupakan
badan sang pemimpin, kedelapannya itulah yang merupakan Asta Brata.
Kemudian penjelasan dari Asta Brata tersebut dengan merujuk pada penjelasan Oka
Mahendra (2001) dapat disajikan sebagai berikut di bawah ini.
1.

Indra Brata. Di dalam Manusmerti Bab. IX: 304 dikemukakan sebagai berikut:
Laksana Indra yang mencurahkan hujan di musim hujan. Demikianlah raja menempati
kedudukan Indra dengan menghujankan dana kekakayan bagi kerajaannya. Kemudian
dalam Ramayana XXIV: 58 dikemukakan: Beginilah brata Hyang Indra yang harus
diikuti yaitu memberikan hujan kesejahteraan pada rakyat, anda hendaknya meniru
brata Indra ini, sudana-lah yang anda limpahkan demi kesejahtraan rakyat.
Sesuai dengan ajaran Indra Brata seperti yang telah dikutip di atas seorang pemimpin
hendaknya mampu memenuhi keperluan dasar masyarakat di bidang ekonomi, memberikan rasa aman, meningkatkan kecerdasan rakyat, memberikan perhatian yang besar
pada masyarakat lapisan bawah, sering turun ke bawah menyerap aspirasi masyarakat

111

sebagai masukan dalam mengambil kebijakan, serta mampu menghanyutkan segala


bentuk penyimpangan dan penyelewengan yang menghambat kesejahtraan dan keadilan
pada masyarakat.
Dengan demikian pemimpin hendaknya bagaikan air hujan yang turun dari langit yang
memberikan kesejukan, menghapuskan kegersangan sehingga tercipta kesejahteraan
lahir bathin secara adil dan merata sampai dengan lapisan masyarakat yang paling
bawah dan ke seluruh penjuru.
2.

Yama Brata. Di dalam Manusmerti Bab. IX: 307 dikemukakan sebagai berikut:
Laksana Yama yang saatnya bertindak tegas kepada teman maupun kepada lawan,
demikianlah hendaknya semua rakyatnya dikendalikan oleh raja sesuai dengan kedudukannya menyerupai Dewa Yama. Kemudian dalam Ramayana XXIV: 54 dikemukakan: Dalam menghadapi perbuatan jahat hendaknya diterapkan ajaran Yama Brata
yaitu menghukum setiap perbuatan jahat pencurian apalagi bila sampai menyebabkan
kematian. Ikut dihukum mereka yang turut serta berbuat salah. Setiap orang yang
mengacaukan negara patut mendapatkan hukuman mati.
Jadi sesuai dengan ajaran Yama Brata seperti yang telah dikutip di atas seorang
pemimpin harus mampu menciptakan ketertiban dengan hukum sebagai sarananya.
Semua orang termasuk penguasa harus tunduk dan taat pada hukum sebagai sarana
ketertiban serta pembangunan. Tidak ada seorangpun yang kebal hukum, berdiri di atas
hukum, atau berada di luar hukum. Dengan demikian sebagai seorang pemimpin harus
bisa menegakan wibawa hukum, menggunakan hukum sebagai dasar tindakannya,
memperlakukan semua orang sama di depan hukum, berlaku adil dengan menghormati
harkat dan martabat manusia.

112

3.

Surya Brata. Di dalam Manusmerti Bab. IX: 305 dikemukakan sebagai berikut:
Laksana Surya, selama delapan bulan menyerap air melalui sinar panasnya yang tidak
terlihat, demikianlah hendaknya beliau dengan perlahan-lahan menarik pajak rakyatnya, sesuai dengan kedudukannya yang menyerupai Matahari Dari kutipan tersebut
terkesan mengemukakan sesuatu makna yang khusus hanya dalam hal pemungutan
pajak. Tampaknya dalam Ramayana XXIV: 55 akan memiliki makna yang lebih luas
karena di dalamnya dikemukakan: Dewa Matahari selalu menyerap air perlahan-lahan
tidak tergesa-gesa, demikianlah hendaknya kalau anda menginginkan sesuatu dalam
mengambilnya, hendaknya sebagai caranya Matahari, yaitu selalu dengan cara yang
lemah lembut.
Dari kutipan-kutipan tersebut di atas sesuai dengan ajaran Surya Brata seorang
pemimpin diharapkan mampu menggali potensi pajak sebagai sumber pendapatan dan
sumber pembangunan yang dipungut secara adil, maupun membebaskan tanah untuk
pembangunan misalnya haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya. Seorang pemimpin
tidak boleh tergesa-gesa, tanpa perencanaan yang mantap dan tujuan yang jelas
mengambil sesuatu dari rakyat. Setiap sumber pendapatan yang dipungut dari rakyat
harus dikembalikan kepada rakyat, untuk kesejahteraan rakyat. Jadi ibarat matahari
yang menyerap air dari samudra, kemudian menjadi mendung, dan akhirnya menjadi
hujan yang turun menyegarkan segala yang ada di bumi. Dengan demikian pemimpin
juga dituntut untuk melindungi kepada rakyatnya dari segala bentuk kejahatan, serta
dapat memberikan energi, kekuatan kepada masyarakat agar memiliki motivasi dan
kegairahan untuk membangun dengan mengandalkan kemampuan sendiri.

113

4.

Candra Brata. Di dalam Manusmerti Bab. IX: 309 dikemukakan sebagai berikut:
Baginda adalah raja yang menduduki tempatnya Dewi Candra, yang rakyatnya
menyambut kehadirannya dengan penuh senang hati, sebagai orang-orang yang gembira
melihat bulan purnama. Kemudian dalam Ramayana XXIV: 56 dikemu-kakan: Laku
utama dari Dewa Bulan membuat seluruh dunia merasa bahagia. Demikianlah tindakan
adinda, hendaknya selalu manis sebagai air kehidupan, junjung tinggilah orang tua serta
orang-orang bijakasana dan bermurah hatilah terhadap mereka
Jadi sesuai dengan ajaran Candra Brata maka seorang pemimpin tersebut haruslah
meperlakukan bawahannya dengan penuh kasih sayang, penuh kesejukan, serta dengan
penuh simpatik. Menghormati para sesepuh dan pini sepuh, lebih-lebih orang yang
banyak berjasa pada masyarakat, para rohaniawan, cendekiawan, karena mereka
membimbing rohani dan mencerdaskan masyarakat. Pemimpin harus mampu memberi
sinar terang, menyejukan, dan membahagiakan rakyatnya.

5.

Vhayu Brata (Maruta). Di dalam Manusmerti Bab. IX: 306 dikemukakan sebagai
berikut: laksana wahyu (angin) bergerak kemana-mana masuk merupakan napas bagi
semua mahluk hidup, demikianlah hendaknya raja melalui segala arah, karena sebagai
inilah kedudukannya menyerupai angin. Kemudian dalam Ramayana XXIV: 56
dikemukakan:Hendaknya anda berbuat sebagai angin jika anda ingin menyelidiki
tingkah laku orang lain. Penyelidikan itu hendaknya dilakukan dengan sopan tidak
nampak. Itulah Bayu Brata yang tinggi nilainya dan membawakan jasa yang sangat
bagus.
Dari dua kutipan di atas dapat disebutkan bahwa seorang pemimpin menurut ajaran
Vhayu Brata pertama harus menguasai seluruh wilayahnya, rakyatnya dan menjadi

114

nafas kehidupan bagi semua mahluk. Kedua Pemimpin harus berkomunikasi dan
melakukan kunjungan resmi maupun tidak resmi, selalu berkomunikasi dengan
rakyatnya secara timbal balik. Jadi pemimpin bagaikan angin berada dimana-mana
memhami apa yang hidup dan berkembang dan terjadi di tengah-tengah rakyatnya, baik
berupa masalah-masalah, keluhan-keluhan, yang akan menghambat harapan rakyatnya.
Menurut ajaran Asta Brata pengawasan juga sangat penting dilakukan untuk mengukur
apa yang dicapai, menilai, serta mengadakan perbaikan terhadap berbagai kebijakan
yang dipandang perlu. Pengawasan yang dilaksanakan tidak saja melekat pada sistem,
tetapi melekat pada diri sendiri, sehingga walaupun tidak tampak, tetapi dirasakan ada
seperti layaknya angin yang ada di mana-mana.
6.

Bhumi (Dhanada). Di dalam Manusmerti Bab. IX: 331 dikemukakan sebagai


berikut: laksana Bhumi menunjang semua mahluk hidup secara adil dan merata,
demikianlah hendaknya raja terhadap rakyatnya sesuai dengan kedudukannya sebagai
ibu pertiwi. Kemudian dalam Ramayana XXIV: 58 dikemukakan: Nikmatilah
kekayaan hidup ini, tanpa melewati batas, baik dalam makan, minum, pakaian dan
perhiasan, itulah laksana utama dari Dewa Dhanada yang hendaknya dipegang sebagai
contoh.
Dari dua kutipan tersebut di atas para pemimpin hendaknya mengusahakan kesejahteraan semua mahluk secara adil dan merata. Sesuai dengan fungsi bumi pemimpin
hendaknya memberi peluang dan kesempatan yang sama kepada rakyatnya untuk
memperoleh kesejahteraan lahir dan bathin. Memperhatikan kesejahteraan rakyat
banyak, para pemimpin harus menjadi tauladan dalam menerapkan pola hidup

115

sederhana, dan tidak dibenarkan melewati batas dalam menggunakan kekayaan untuk
biaya hidup.
7.

Varuna Brata. Di dalam Manusmerti Bab. IX: 308 dikemukakan sebagai berikut:
Laksana orang-orang berdosa tampak terikat tali oleh Waruna, demikianlah hendaknya
raja menghukum orang-orang jahat itu sesuai kedudukannya menyerupai Waruna.
Kemudian dalam Ramayana XXIV: 58 dikemukakan: Dewa Waruna memegang
senjata yangat berbisa yaitu Nagapasa yang dapat mengikat secara ketat, anda hendaknya memakai secara teladan hakekat dari Nagapasa ini, yaitu anda harus mengikat
dengan ketat mereka yang jahat.
Bedasarkan pada kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin haruslah
memerangi semua jenis kejahatan tanpa kenal kompromi. Pemimpin harus tegas
menghukum kejahatan, mengikat erat-erat orang-orang durjana, pemimpin harus
mampu menghalangi sumber-sumber kejahatan, demi terciptanya pergaulan sosial yang
tertib dan tentram.

8.

Agni Brata. Di dalam Manusmerti Bab. IX: 310 dikemukakan sebagai berikut: Bila
baginda bersemangat dalam menumpas penjahat dan memiliki kekuatan yang dasyat
serta mampu menghancurkan penguasa-penguasa yang jahat, maka sifat baginda sama
dikatakan seperti Agni. Kemudian dalam Ramayana XXIV: 60 dikemukakan: Kewajiban utama yang dilakukan oleh Bahni (Api) ialah selalu menghanguskan penentangnya. Keberanian dan ketangguhan untuk menghadapi musuh, itulah perlambang api,
siapapun yang anda serang pasti hancur lebur, itulah yang dinamkan Agni Brata
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin tersebut harus
memiliki kemampuan dalam menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dan wilayah

116

negara dan menjaga kekuasaan negara dari berbagai ancaman yang datangnya dari
dalam dan dari luar. Pemimpin harus mampu melindungi masyarakat dari ancaman
kejahatan dan musuh yang datangnya dari luar dan dari dalam negeri, pemimpin harus
memiliki kemampuan dan kekuatan untuk membasmi segala bentuk kejahatan demi
untuk kejayaan masyarakat.
Berdasarkan pada penjelasan dari masing-masing unsur kepemimpinan Asta Brata
tersebut di atas, tampak begitu banyak berisi dan mengandung nilai-nilai, norma-norma,
kaidah-kaidah, petunjuk-petunjuk, pedoman yang dapat dan seharusnya ditauladani, ditaati,
dan dilaksanakan serta perlu dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap pemimpin
termasuk kepala sekolah. Kemudian kalau dicermati secara lebih hati-hati, tampaknya
dengan keterbatasan kekeritisan dari penulis, keterbatasan dalam bahan sumber kajian
terutama yang bersumber dari ajaran-ajaran agama Hindu sebagai pisau atau alat
analisisnya, mungkin penulis akan dapat mengidentifikasi dan menjabarkan turunannya
secara lebih bebas, sederhana, operasional, dan riil bahwa nilai-nilai, norma-norma, kaidahkaidah, petunjuk-petunjuk, pedoman yang bersumber dari Kepemimpinan Asta Brata
tersebut yang seharusnya dapat dan diharapkan ditauladani seorang pemimpin khususnya
seorang kepala sekolah haruslah mampu mewujudkan sifat atau pola kepemimpinan Asta
Brata yang bercirikan kurang lebih atau paling tidak sebagai berikut di bawah ini:
1.

Kepala sekolah harus mampu mewujudkan dan memenuhi keperluan dasar


masyarakat/ warga sekolah dalam berbagai fasilitas material dan non material.

2.

Kepala sekolah harus memberikan rasa aman kepada semua warga sekolah.

3.

Kepala sekolah harus meningkatkan kecerdasan semua warga sekolah.

117

4.

Kepala sekolah harus memberikan perhatian yang besar pada warga sekolah sampai
lapisan paling bawah seperti pesuruh, maupun tukang kebersihan sekolah.

5.

Kepala sekolah harus mampu menyerap aspirasi warga sekolah yang bermanfaat
sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil berbagai keputusan.

6.

Kepala sekolah mampu menegakan wibawa hukum terhadap warga sekolah.

7.

Kepala sekolah harus berani memberantas dan menghanyutkan segala bentuk


penyim-pangan dan penyelewengan yang mungkin dilakukan oleh warga sekolah.

8.

Kepala sekolah harus mampu menciptakan ketertiban sekolah dengan berbagai


peraturan, dan hukum sebagai sarananya.

9.

Kepala sekolah harus menggunakan hukum sebagai dasar tindakannya,

10.

Kepala sekolah harus memperlakukan semua warga sekolah sama di depan hukum,
dan berlaku secara adil dengan menghormati harkat dan martabat manusia.

11.

Kepala sekolah harus tunduk dan taat pada hukum sebagai sarana ketertiban serta
pembangunan.

12.

Kepala sekolah mampu menggali potensi sumber pendapatan dan sumber


pembangun-an secara adil.

13.

Kepala sekolah tidak boleh tergesa-gesa, tanpa perencanaan yang mantap dan tujuan
yang jelas, strategis, dan visioner dalam mengambil sesuatu kebijakan.

14.

Kepala sekolah mampu melindungi warga sekolah dari segala bentuk kejahatan.

15.

Kepala sekolah dapat memberikan energi, kekuatan kepada warga sekolah agar
memi-liki motivasi dan kegairahan untuk membangun dengan mengandalkan
kemampuan sendiri.

118

16.

Kepala sekolah harus menghormati para sesepuh dan pini sepuh, lebih-lebih orang
yang banyak berjasa pada masyarakat, seperti para rohaniawan, cendekiawan, karena
mereka membimbing rohani dan mencerdaskan warga sekolah.

17.

Kepala sekolah harus mampu

memberi sinar terang, menyejukan,

dan

membahagiakan warga sekolah.


18.

Kepala sekolah meperlakukan warga sekolah dengan penuh kasih sayang dan
dengan penuh simpatik.

19.

Kepala sekolah harus menguasai seluruh lingkungan sekolah, warga sekolah dan
menjadi nafas kehidupan bagi semua di lingkungan sekolah.

20.

Kepala sekolah harus mampu berkomunikasi secara baik.dengan warga sekolah.

21.

Kepala sekolah mampu mengembangkan sistem pengawasan yang ada pada diri
sendiri para warga sekolah, sehingga walaupun tidak tampak, tetapi dirasakan ada
seperti layaknya angin yang ada di mana-mana.

22.

Kepala sekolah hendaknya memberi peluang dan kesempatan yang sama kepada
warga sekolah untuk memperoleh kesejahteraan lahir dan bathin secara adil dan merata.

23.

Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya menjadi tauladan bagi warga sekolah
dalam menerapkan pola hidup sederhana.

24.

Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya mampu memerangi semua jenis


kejahatan yang kemungkinannya dilakukan oleh warga sekolah tanpa kenal kompromi.

25.

Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya memiliki sifat yang tegas


menghukum terhadap warga sekolah yang melakukan kejahatan, mengikat erat-erat
orang-orang durjana,

119

26.

Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya mampu menghalangi sumber-sumber


kejahatan, demi terciptanya pergaulan sosial yang tertib dan tentram diantara warga
sekolah.

27.

Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya memiliki kemampuan dalam


menegak-kan persatuan dan kesatuan warga sekolah.

28.

Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya mampu melindungi warga sekolah


sekolah dari ancaman kejahatan yang datangnya dari luar dan dari dalam sekolah.

29.

Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya memiliki kemampuan dan kekuatan


untuk membasmi segala bentuk kejahatan demi untuk kejayaan sekolahnya.
Demikianlah mungkin deskripsi pola kepemimpinan Asta Brata yang dapat

diidentifikasi dan diturunkan dalam bentuk nilai-nilai, norma-norma, kaidah-kaidah,


petunjuk-petunjuk, pedoman sebagai pemimpin dalam melaksanakan tugas sebagai kepala
sekolah, sudah tentunya masih banyak yang dapat dan bisa digali serta dikembangkan,
terlebih-lebih unsur-unsur dari kepemimpinan Asta Brata tersebut sesungguhnya disebutkan adalah sebagai pencerminan dan manifestasi dari sifat-sifat Tuhan Ida Shang Hyang
Widhi Waca, yang sudah tentunya sesuai dengan ajaran agama Hindu Tuhan Ida Shang
Hyang Widhi Waca memiliki sifat yang maha sempurna. Jadi barangkali nilai-nilai, normanorma, kaidah-kaidah, petunjuk-petunjuk, pedoman yang disebutkan oleh penulis tersebut
hanya baru merupakan bagian kecil saja, hanya sebagai stimulan agar berbagai lapisan
mayarakat khususnya di Bali ikut mengkajinya dan mendiskusikannya dari berbagai sisi.
Demikian pula karena semua bentuk nilai-nilai, norma-norma, kaidah-kaidah, petunjukpetunjuk, pedoman sebagai pemimpin tersebut adalah sebagai manipestasi dan bersumber
dari sifat Tuhan Ida Shang Hyang Widhi Waca, maka sebagai seorang pemimpin sudah

120

tentunya seharusnya menerapkannya karena merupakan sifat-sifat dan kehendak dari


Tuhan. Namun demikian sesungguhnya kalau dicermati dan dikritisi secara lebih akademik
cara berpikir yang memposisikan pola kepemimpinan Asta Brata sebagai suatu model
kepemimpinan yang bersumber dari sifat-sifat Tuhan Ida Shang Hyang Widhi Waca yang
kemudian memunculkan adanya adagium yang menyatakan suara raja sebagai pemimpin
adalah suara Tuhan. Suara raja atau semua perintah raja tersebut adalah benar, raja tidak
pernah berbuat salah pada saat sekarang ini di jaman modern tampak ada semacam
kontradiksi dengan paham kepemimpinan yang bersifat demokrasi, yang memunculkan
adagium suara rakyat adalah suara Tuhan. Jadi rakyatlah yang paling berkuasa, walaupun
pada saat modern ini dipresentasikan melalui wakil-wakilnya. Secara sepintas jelas kedua
pola kepemimpinan tersebut tampak bertentangan. Dan sudah tentunya menurut hemat
penulis dari kedua cara padang, cara berpikir, dan cara mendekati pola kepemimpinan
tersebut tidak mesti didebatkan atau dipertentangkan, karena pada dasarnya kalau dilihat
secara lebih dalam dari sisi sifat, indikator, maupun ciri-cirinya secara realnya kepemimpinan Asta Brata dan kepemimpinan yang bersifat demokratis yang disebut paling relevan
dengan jaman globalisasi seperti misalnya kepemimpinan transaksional, visioner, dan
tarnsformasi tidak jauh berbeda, malah banyak memiliki kesamaannya, saling melengkapi.
Dalam hubungan ini barangkali bisa dibandingkan beberapa nilai-nilai, norma-norma,
kaidah-kaidah, petunjuk-petunjuk, pedoman yang dicoba dan dapat diidentikasikan dari
kepemimpinan Asta Brata tersebut di atas dengan beberapa sifat yang merupakan ciri dari
kepemimpinan transformasional seperti yang dikemukakan oleh Anderson (Usman. 2006),
sebagai berikut. Kepemimpian transformasinal memiliki atau bercirikan bahwa seorang
pemimpin tersebut, pertama, harus menunjukkan diri sebagai komunikator: yaitu

121

mengenali bawahannya, mengelola bawahannya, memahami bawahannya dengan akurat,


mengko-muni-kasikan visinya dengan bawahannya, mengakui keberhasilan bawahannya,
menahan emosi terhadap bawahannya, mengatasi konflik antar pribadi, membina hubungan
yang efektif dan menyenangkan terhadap bawahanya, menghormati dan menghargai
bawahanya, memberikan dukungan terhadap bawahannya. Kedua, sebagai konselor, yaitu:
membantu bawahannya mengatasi masalahnya, membantu bawahannya membuat rencana
atau tujuan yang ingin dicapai, memotivasi bawahannya untuk bertindak, menghadapi
orang-orang yang jenuh dan membangkang, melakukan pemindahan bawah-annya secara
selektif, dan efektif, membagi pengalaman pada bawahanya, membina bawahannya untuk
mencapai tujuan, mengevaluasi kinerja dan memberikan unpan balik, dan yang ketiga,
pemimpin tersebut harus menunjukkan diri sebagai konsultan, yaitu: melaksanakan
konsultasi dan komunikasi dengan bawahanya, membuat nilai dan budaya bersama,
melegitimasi kepemimpinan orang lain, memfasilitasi perkembangan kelompok, mengklarifikasi norma-norma, nilai-nilai, dan keyakinan, mengkomunikasikan visi dan misi, dan
tujuan arganisasi, memecahkan permasalahan organisasi, menghadapai anggota yang
mengganggu, meneliti informasi yang penting bagi bawahan dan organisasi, merencanakan
dan mengkoordinasikan berbagai sumberdaya organisasi. Bahkan kelebihan dari kepemimpinan Asta Brata tersebut tidak saja karena ada kesamaan ciri dengan kepemimpinan
transformasi, tetapi juga karena dasarnya, sumbernya adalah keyakinan, kepercayaan,
religiusitas, moralitas, kesetiaan, komitmen, keteguhan prinsip pada ajaran agama Hindu
tanpa ada diskusi yang panjang secara akademik, maka tampaknya dan seharusnya orangorang yang disebut pemimpinan pasti akan merasa lebih terikat, lebih terdorong untuk
mengaplikasikannya, dan akan merasa dosa atau bersalah apabila tidak melaksanakan

122

dalam tugasnya sebagai pemimpin yang selalu harus diingatkan atau diinstruksikan secara
formal oleh atasan secara garis kuasa atau birokrasi yang vertikal dalam suatu lembaga atau
organisasi seperti sekolah.
E. Kompetensi Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin Pendidikan
Kompetensi adalah merupakan salah satu kriteria dari suatu profesi. Kepala sebagai
suatu pengembangan jabatan dari guru yang disebut tugas tambahan juga dituntut untuk
memenuhi kriteria kompetensi tersebut. Kompetensi bisa dilihat dari berbagai aspek seperti
pengertiannya, karakteristiknya, maupun cara mengukur kompetensi tersebut. Dalam
pembahasan bab ini juga dibahas beberapa aspek dari kompetensi profesi tenaga
kependidikan khususnya kepla sekolah.
Mengenai pengertian kompetensi sebagai salah satu ciri dari profesi dalam kepustakaan diberikan pengertian secara beraneka ragam tergantung dari sudut pandang para
penulis. Keaneka ragaman pengertian kompetensi tersebut, dapat ditunjukkan dalam
pembahasan ini, seperti, misalnya ada pendapat yang menyatakan bahwa kompetensi
tersebut adalah suatu hal yang menggambarkan kemampuan seseorang, baik yang kualitatif maupun kuantitatif (Usman. 2005). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pengertian kompetensi seperti ini mengandung makna bahwa kompetensi tersebut dapat digunakan dalam dua
kontek. Kontek pertama sebagai indikator yang menunjukkan kepada perbuatan yang
diamati. Kontek kedua sebagai konsep yang mencakup aspek-aspek kognitif. afektif, dan
perbuatan, serta tahap-tahap pelaksanaannya secara utuh. Kemudian kompetensi juga
diberikan pengertian sebagai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai
oleh seseorang yang telah menjadi bagian darinya sehingga ia dapat melakukan perilakuperilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya (Mulyasa. 2003).

123

Kompetensi juga diberikan pengertian sebagai panguasaan terhadap tugas, keterampilan,


sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk keberhasilan (Mulyasa. 2003). Kemudian
Gordon dalam Mulyasa (2005) memerinci beberapa aspek dari kompetensi, sebagai berikut.
Pertama pengetahuan, yaitu kesadaran dalam bidang kognitif, seperti, misalnya seorang
guru sekolah mengetahui cara melakukan identifikasi kebutuhan bantuan yang diperlukan
muridnya dalam melakukan pembelajaran dikelasnya. Kedua pemahaman yaitu kedalaman
kognitif dan apektif yang dimiliki oleh individu, seperti misalnya seorang guru yang akan
melaksanakan pemebelajaran harus memiliki pemahaman yang luas tentang karekteristik
dan kondisi muridnya agar dapat pembelajaran berjalan secara efktif. Ketiga kemampuan,
yaitu suatu yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat melakukan tugas atau pekerjaan yang
dibebankan kepadanya, seperti, misalnya kemam-puan guru dalam memilih dan membuat
media pembelajaran yang diperlukan untuk lebih memotivasi dan memudahkan
pembelajaran peserta didik. Keempat nilai, yaitu suatu standar perilaku yang telah diyakini
dan secara psikologis telah menyatu dalam diri seseorang, seperti, misalnya standar
perilaku dalam pembelajaran, antara lain kejujuran, keterbukaan, demokratis, obyektif, adil.
Kelima sikap, yaitu perasaan seperti perasaan senang dan tidak senang, suka tidak suka,
atau reaksi terhadap terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar, seperti reaksi
terhadap krisis ekonomi, kenaikan gaji, dan sebagainya. Keenam minat yaitu kecendrungan
seseorang untuk melakukan suatu perbuatan, seperti, misalnya, minat sesorang untuk
melakukan sesuatu atau mempelajari sesuatu. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa
kompetensi yang harus dimiliki oleh suatu profesi adalah mencakup: kemampuan untuk
mengembangkan pribadi, penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan, kemampuan
berkarya, kemampuan menyikapi dan berprilaku dalam berkarya, dapat hidup bermasya-

124

akat (Pusposutardjo. 2002). Pengertian kompetensi lainnya yang lebih konseptual sifatnya
menguraikan bahwa kompetensi tersebut mengandung tiga pengertian. (1) pengertian
kompetensi itu pada dasarnya merupakan kecakapan atau kemampuan untuk mengerjakan
sesuatu pekerjaan, (2) menunjuk pada pengertian bahwa kompetensi itu merupakan sifat
orang-orang, yang memiliki kecakapan, kemampuan, otoritas, kemahiran, pengetahuan dan
lain sebagainya untuk dapat mengerjakan sesuatu yang diperlukan, dan (3) bahwa
kompetensi merupakan tindakan atau kinerja rasional yang dapat mencapai tujuantujuannya secara memuaskan berdasarkan kondisi yang diharapkan (Makmun.1996, Depdikbud.1978, Depdikbud. 1984). Lebih jauh Makmun (1996) menyatakan bahwa berpijak
pada pengertian kompetensi tersebut dapat juga dijelaskan bahwa sesungguhnya seseorang
yang dapat disebut sebagai profesional yang kompeten, kalau menunjukkan karakteristik:
(1) mampu melakukan sesuatu pekerjaan tertentu secara rasional, dalam arti, ia memiliki
visi dan misi yang jelas, ia melakukan sesuatu berdasarkan pada hasil analitis kritis dan
pertimbangan logis dalam membuat pilihan dan mengambil keputusan tentang apapun yang
akan dikerjakan, (2) menguasai perangkat pengetahuan yaitu teori, konsep, prinsip dan
kaidah, hipotesis dan generalisasi, data dan imformasi lainnya tentang seluk beluk apa yang
menjadi bidang tugas pekerjaannya, (3) menguasai perangkat keterampilan yang mencakup
strategi dan taktik, metode dan teknik, prosedur dan mekanisme, sarana dan instrumen,
tentang cara melakukan tugas pekerjaannya, (4) menguasai perangkat persyaratan ambang
tentang ketentuan kelayakan normatif minimal kondisi dari proses yang dapat ditoleransikan dan kriteria keberhasilan yang dapat diterima dari apa yang dilakukannya, (5)
memiliki daya dan citra unggulan dalam melakukan tugas pekerjaannya. Ia bukan sekedar
puas dengan memadai persyaratan minimal, melainkan berusaha mencapai yang sebaik

125

mungkin, dan (6) memiliki kewenangan yang memancar atas penguasaan perangkat
kompetensi yang dalam batas tertentu dapat didemontrasikan dan teruji sehinga memungkinkan memperoleh pengakuan pihak berwewenang.
Demikian variasi pengertian tentang kompetensi dari para penulis, dengan demikian
berdasarkan pada pengertian kompetensi yang begitu beragam tersebut menambah wawasan dan khasanah para calon kepla sekolah, dan lebih lanjut akan memiliki pijakan yang
lebih luas dan kuat dalam mempelajari serta memahami kompetensi profesi kependidikan
khususnya jabatan kepala sekolah tersebut.
Persoalannya sekarang bagaimanakah kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang
kepala sekolah agar dapat melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin secara efektif? Dalam
hubungannya dengan kompetensi kepala sekolah ada pendapat yang menyatakan bahwa
seorang kepala sekolah dituntut untuk memiliki kemampuan: (1) perilaku yang berorientasi
pada tugas dengan memfokuskan pada kegiatan penyusunan perencanaan, mengatur
pekerjaan, melakukan koordinasi kegiatan anggota, dan menyediakan peralatan dan
bantuan teknis yang diperlukan, (2) perilaku yang berorientasi hubungan kepala sekolah
sebagai manajer harus penuh perhatian mendukung dan membantu guru, konselor, dan
karyawan sekolah dan berusaha memahami permasalahan dan pemecahannya, da (3)
perilaku partisipatif, kepala sekolah melakukan pertemuan kelompok yang memudahkan
partisipasi, pengambilan keputusan, memperbaiki komunikasi, mendorong kerjasama, dan
memudahkan pemecahan konflik (Sergiovanni. 1977). Sesuai dengan Peraturan Menteri
No. 13 Tahun 2007 tentang standar kepala sekolah diatur bahwa seorang kepala sekolah
tersebut dituntut harus memiliki kompetensi keperibadian, kompetensi manajerial,
kompetensi kewirausahaan, kompetensi supervisi, dan kompetensi sosial. Secara lebih lebih

126

lengkap dan rincinya kompetensi yang dimaksudkan tersebut adalah seperti yang disajikan
dalam daftar tabel berikut di bawah ini.

TABEL NO. 7.1


DAFTAR KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH

Mampu atau memiliki akhlak mulia.


Mampu mengembangkan budaya dan tradisi akhlak mulia di sekolah
tempat bertugas.
Mampu menjadi teladan akhlak mulia bagi komunitas sekolah.
Mampu atau memiliki integritas kepribadian dalam memimpin di
sekolah
Mampu atau memiliki keinginan yang kuat dalam pengembangan diri
1. Kepribadian

sebagai kepala sekolah


Mampu mengembangkan sikap terbuka dalam melaksanakan tugas
pokok dan fungsi sebagai kepala sekolah.
Mampu mengendalikan diri dalam menghadapi masalah dalam pekerjaan sebagai kepala sekolah.
Mampu atau memiliki bakat dan minat sebagai kepala sekolah.
Mampu menyusun perencanaan yang visioner.
Mampu mengembangkan organisasi sekolah sesuai kebutuhan.
Mampu memimpin sekolah dalam menggunakan sumberdaya sekolah.
Mampu mengelola perubahan dan pengembangan sekolah menuju
organisasi belajar yang efektif.
Mampu menciptakan budaya dan iklim sekolah yang kondusif dan
inovatif bagi PBM siswa.
Mampu menerapkan nilai-nilai kewirausahaan dalam menciptakan

2. Manajerial

inovasi yang berguna bagi pembangunan sekolah.


Mampu mengelola guru dan staf dalam rangka pandayagunaan SDM
secara optimal.
Mampu mengelola sarana dan prasarana sekolah dalam rangka panda-

127

yagunaan secara optimal.


Mampu mengelola hubungan sekolah dan masyarakat dalam rangka
pencarian dukungan ide, sumber belajar dan pembiayaan sekolah.
Mampu mengelola kesiswaan dalam rangka penerimaan siswa baru,
penempatan siswa, dan pengembangan kafasitas siswa.
Mampu mengelola perkembangan kurikulum dan kegiatan pembelajaran sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan nasional.
Mampu mengelola keuangan sekolah sesuai dengan prinsip pengelolaan yang akuntabel, tranfarans, dan efisien.
Mampu mengelola ketatausahaan sekolah dalam mendukung pencapaian tujuan sekolah.
Mampu mengelola untuk layanan khusus sekolah dalam mendukung
kegiatan pembelajaran dan kegiatan kesiswaan lainnya.
Mengelola system informasi sekolah dalam mendukung penyusunan
program dan pengambilan keputusan.
Mampu memanfaatkan kemajuan teknologi informasi bagi peningkatan pembelajaran dan manajemen sekolah.
Mampu mengelola kegiatan produksi/jasa sebagai sumber belajar
siswa.
Mampu melakukan monitoring evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan
program kegiatan sekolah dengan prosedur yang tepat, serta merencanakan tindak lanjutnya.
Mampu menciptakan inovasi bagi pengembangan sekolah.
Mampu bekerja keras untuk mencapai keberhasilan sekolah sebagai
organisasi pembelajar yang efektif.
Memiliki motivasi yang kuat untuk sukses dalam melaksanakan tugas
pokok dan fungsinya sebagai pemimpin sekolah.
Pantang menyerah dan selalu mencari solusi terbaik dalam mengha3. Kewirausahaan

dapi kendala yang dihadapi sekolah.


Memiliki naluri kewirausahaan dalam mengelola kegiatan produksi/

128

jasa sekolah/sebagai sumber belajar peserta didik.


Mampu merencanakan program supervisi akademik dalam rangka
meingkatkan profesionalisme guru.
Mampu melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan
4. Supervisor

5. Sosial
6. Penunjang

menggunakan pendekatan dan teknik supervisi yang tepat.


Mampu menindaklanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme guru.
Mampu bekerjasama dengan pihak lain untuk kepentingan sekolah
Mampu melakukan partisipasi dalam kegiatan sosial.
Memiliki kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok lain.
Mampu meningkatkan citra dan profesionalisme sekolah.
Mampu meningkatan daya saing sekolah secara global.
Mampu menggugah jati diri bangsa

Demikian juga di samping kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan seperti


yang telah diuraikan di atas, lebih dari itu kemampuan tersebut sebaiknya didukung oleh
suatu sifat kepemipinan yang menurut pendapat Dewantara (Depdikbud, Dijendikdasmen.
1993) kepala sekolah harus memiliki sifat kepemimpinan yang sesuai dengan kepribadian
bangsa. Kepemimpinan yang paling cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia adalah
kepemimpinan Pancasila, yaitu ing ngarso sung tuludo, ing madio mangun karso, tut wuri
andayani. Sifat kepemimpinan tersebut kemudian lebih dejelaskan sebagai berikut. Ing
ngarso sung tuludo yang artinya kurang lebih sebagai kepala sekolah yang berdiri tegak di
paling depan harus mampu memberi contoh atau teladan kepada bawahannya misalnya
sebagai berikut: cara berpakaian yang rapi, kehadiran yang lebih awal dari guru-guru yang
lain, memiliki wibawa, menguasai masalah yang menyangkut bidangnnya, memiliki rasa
tanggungjawab yang tinggi, penuh dedikasi, aktif dan kreatif. Ing madio mangun karso
yang artinya kurang lebih sebagai berikut kepla sekolah yang ideal apabila ada ditengah-

129

tengah lingkungan tugasnya dan bijkasana, yaitu mampu memberikan motivasi terhadap
guru-guru dan karyawan yang lainnya agar mencintai profesinya, mampu dan menunjukkan
masalah-masalah pekerjaan apabila guru dan karyawan mendapatkan kesulitan, jangan
hanya bisa menyalahkan, mencari kesalahan guru-guru dan karyawan, tetapi harus mebantu
memecahkan masalah tersebut, harus mampu menciptakan suasana yang menyenangkan
sehingga guru dan karyawan bekerja dengan suasana aman, merasa tidak ditekan, serta
memperhatikan kesejahteraaan bawahannya dalam hal transpotasi, kehidupan keluarga,
tempat tinggal, membantu memecahkan masalah keluarga apabila dimintai pertimbangan
oleh bawahan, sehingga bawahan dapat bekerja dengan tenang. Ttut wuri andayani yang
artinya kurang lebih kepala sekolah hendaknya memberi kebebasan kepada bawahannya
untuk bertindak aktif dan kreatif dalam menjalankan tugasnya, yaitu mampu menjabarkan
tugas-tugas sebagai guru dan karyawan, wakil kepala sekolah dan staf karyawan agar
diberikan kesempatan untuk menjabarkan kebijakan kepla sekolah yang telah dituangkan
dalam program, dan administrasi sekolah yang dikelola oleh karyawan tata usaha agar
dijabarkan sesuai dengan kebutuhannya. Kepala sekolah mengikutinya, mengarahkannya
apbila terjadi kesalahan penafsiran atau terjadi penyimpangan dari kebijkan yang telah
ditetapkan.
F. Kuasa dan Jenis Kuasa Kepala Sekolah
Istilah kekuasaan dalam literatur manajemen telah digunakan secara umum, akan
tetapi masih juga terjadi kekaburan tentang pengertiannya. Sering istilah kekuasaan
digunakan secara silih berganti dengan istilah-istilah lainnya, seperti pengaruh, dan otoritas.
Menurut Max Weber (Thoha. 1990) memberikan pengertian kekuasaan sebagai suatu

130

kemungkinan yang membuat seorang aktor di dalam suatu hubungan sosial berada dalam
suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang menghilangkan halangan.
Dalam sumber yang sama Thoha (1990) mengutip pendapat Walter Nord yang memberikan
pengertian kekuasaan tersebut sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi aliran
energi dan dana yang tersedia untuk mencapai suatu tujuan yang berbeda secara jelas dari
tujuan yang lainnya. Wexley dan Yukl (1977) memberikan pengertian kekuasaan sebagai
kapasitas mempengaruhi orang lain. Seorang mempunyai kekuasaan sepanjang terus dapat
mempengaruhi tidak peduli apakah usaha-usaha yang dilakukan itu benar-benar mempunyai pengaruh. Kemudian Rivai (2004) memberikan pengertian kekuasaan sebagai
kemampuan untuk membuat orang lain melakukan apa yang diinginkan oleh pihak yang
lainnya. Kekuasaan meliputi hubungan antara dua orang atau lebih. Seseorang atau
kelompok tidak akan dapat memiliki kekuasaan dalam keadaan terisolasi, kekuasaan harus
diterapkan, atau mempunyai potensi untuk diterapkan dalam hubungannya dengan orang
atau kelompok lainnya. Rogers (1973) berusaha membuat lebih jelas kekaburan istilah
dengan merumuskan kekuasaan sebagai suatu potensi dari suatu pengaruh. Dengan
demikian kekuasaan adalah suatu sumber yang bisa atau tidak bisa untuk dipergunakan.
Pengunaan kekuasaan selalu mengakibatkan perubahan dalam kemungkinan bahwa
seseorang atau kelompok akan mengangkat suatu perubahan perilaku yang diinginkan.
Rogers tampaknya telah memberikan rumusan yang bermakna bagi kepemimpinan
dijelaskan olehnya bahwa kepemimpinan ialah suatu proses untuk mempengaruhi aktivitasaktivitas individu dan kelompok dalam usahanya untuk mencapai tujuan dalam situasi
tertentu. Dengan mengikuti penjelasan dari Rogers dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah setiap usaha untuk mempengaruhi, sementara itu kekuasaan dapat diartikan

131

sebagai suatu potensi pengaruh dari seorang pemimpin tersebut. Demikian pula dijelaskan
bahwa otoritas adalah sebagai suatu tipe khusus dari kekuasaan yang secara asli melekat
pada jabatan yang diduduki oleh pemimpin.
Banyak teori yang menjelaskan jenis kuasa yang telah dikaji oleh para ahli. Dari
sejumlah teori tersebut diantaranya Bateman dan Snell (2007) dengan mengutip teori dari
French dan Raven menyebutkan bahwa pemimpin tersebut paling tidak memiliki lima jenis
kuasa, demikian juga Wexley dan Yukl (1977), Koontz, dkk (1984), Stoner, dkk (1995)
menyebutkan lima jemis kuasa bisa dipakai secara luas. Jenis kuasa yang dimaksudkan
adalah kuasa paksaan (Coercive power), kuasa refernsi (Refrent power), kuasa legitimasi
(Legitimte power), kuasa keahlian (Expert power), dan kuasa penghargaan (reward power).
Kuasa paksaan (Coercive power) adalah didasarkan atas rasa ketakutan bahwa kegagalan
mematuhi peraturan atau perintah akan mengakibatkan beberapa bentuk hukuman.
Sumber dari kuasa paksaan adalah pengendaliannya atas konsekwensi-konsekwensi
negatif para bawahan, seperti: denda, skorsing, serta pemecatan, penurunan pangkat,
mutasi, dan lain sebagainya.
Kuasa refernsi (Refrent power) adalah didasarkan atas identifikasi dan ketertarikan.
Sejumlah pemimpin politik atau kegamaan memiliki kharisma atau daya tarik pribadi yang
luar biasa dan para bawahannya sangat patuh dan menghormati. Kuasa refrensi ditentukan
oleh kepribadian pemimpin dan kapasitasnya dalam memberi inspirasi terhadap bawahan
serta memberikan harapan-harapan dan nilai-nilai. Disamping itu kuasa refernsi ditentukan
juga oleh bagaimana caranya pemimpin memperlakukan bawahan. Cara yang paling layak
bagi seorang pemimpin adalah dengan meninggikan konsiderasi.

132

Kuasa legitimasi (Legitime power) adalah kekuasaan yang bersumber dari kedudukan atau jabatan formal atau informal yang dipegang seseorang. Kekuasaan legitimasi
diperoleh dari wewenang hukum. Kekuasa ini meliputi kepatuhan bawahan dengan
peraturan dan perintah serta petunjuk yang diberikan dari pimpinan bila hal ini dianggap
sah oleh bawahan dari segi lingkup pemimpin. Lingkup wewenang ditentukan oleh
organisasi dan keanggotaan bawahan ditentukan dalam perjanjian formal atau mungkin
sudah tercakup dalam persetujuan informal. Wewenang pemimpin sangat tinggi terutama
yang berkaitan dengan prosedur dan penjawalan kerja. Banyaknya pengaruh seorang
pemimpin berasal dari wewenang organisasi, karena itu kuasa legitimasi dari pemimpin
biasanya sebaiknya didukung dengan kuasa paksaan.
Kuasa keahlian (Expert power) adalah kuasa yang bersumber dari suatu keahlian
dan kemampuan yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin dapat mempengaruhi pendapat bawahan jika ia dipandang memiliki pengetahuan dan keahlian yang luas.
Dengan keahliannya mempengaruhi secara tidak langsung perilaku bawahanya. Pengaruh
pimpinan akan lebih besar apabila memiliki pengetahuan penting yang luas, jika pemimpin
sangat persuasif dan pintar dalam mempengaruhi bawahannya, jika pemimpin memiliki
kejujuran dan kepercayaan yang tinggi dari bawahan..
Kuasa penghargaan (reward power) adalah kekuasaan yang bersumber dari hadiah
atau penghargaan yang diberikan oleh seorang pemimpin. Pemimpimpin akan mengendalikan atas konsekwensi-konsekwensi positif yang ditimbulkan terhadap bawahan, sperti
kenaikan upah, kenaikan gaji, kenaikan pangkat, promosi, penugasan, pengakuan formal,
dan penghargaan yang lainnya.

133

Dari kutipan dan uraian di atas dapat diketahui paling tidak ada lima jenis kuasa
yang dikenal dalam teori manajemen, namun demikian kalau mengikuti uraiannya Hersey
dan Blanchard (1982) disamping lima jenis kuasa di atas, masih ada dua jenis kuasa yang
lainnya, yaitu kuasa koneksi dan kuasa informasi.
Berdasarkan uraian di atas maka ada berberapa variasi pilihan jenis kuasa yang
dapat dipilih dan digunakan oleh seorang pemimpin dalam upaya untuk meningkatkan
kinerja atau profesionalime bawahannya. Demikian juga dalam bidang pendidikan seorang
kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan memiliki variasi pilihan jenis kuasa yang
dapat disesuaikan dan sudah tentunya juga dengan mempertimbangkan tingkat kematangan
para guru sebagai bawahannya dalam rangka untuk peningkatan kualitas kompetensi
profesionalismenya.
Secara teori manajemen terutama dalam teori gaya kepemimpinan situasional yang
dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard (1982) bahwa tingkat kematangan bawahan atau
pengikut tidak hanya menentukan gaya kepemimpinan seseorang pemimpin, tetapi juga
sangat menentukan di dalam memilih jenis kuasa yang seharusnya perlu digunakan
pemimpin untuk dapat menimbulkan peningkatan kepatuhan perilaku bawahan. Oleh
karena itu pemimpin yang efektif perlu menyesuaikan atau memvariasikan jenis kuasa yang
diterapkan atau diperlakukan terhadap pengikutnya. Jenis kuasa yang dapat mempengaruhi
perilaku bawahan pada berbagai level kematangan dapat digambarkan dalam gambar bagan
berikut di bawah ini.
GAMBAR BAGAN.2.1
TINGKAT KEMATANGAN BAWAHAN YANG MEMPENGARUHI
VARIASI JENIS KUASA PIMPINAN
Kematangan Tinggi

Kematangan Sedang

134

Kematangan Rendah

M4

M3

Kehalian

Informasi

M2

Referen

M1

Penghargaan

Legitimasi

Paksaan

Koneksi

Berdasarkan gambar bagan di atas tampak secara jelas bahwa tingkat kematangan
bawahan tersebut memiliki hubungan yang sangat tinggi atau menjadi faktor determinan
bagi seorang pemimpin dalam menentukan pilihan jenis kuasa yang mana akan diterapkan
terhadap bawahannya. Dalam hubungan ini apabila tingkat kematangan bawahan tersebut
termasuk tingggi (M4), maka alternatif pilihan jenis kuasa yang perlu diterapkan oleh
seorangg pemimpin sehingga kepemimpinannya tersebut dapat terlaksana secara efektif
adalah jenis kuasa keahlian. Apabila tingkat kematangan bawahan tersebut termasuk sedang
(M3, M2), maka alternatif pilihan jenis kuasa yang perlu diterapkan oleh seorang pemimpin
sehingga kepemimpinannya tersebut dapat terlaksana secara efektif adalah jenis kuasa
refrensi atau kuasa penghargaan. Demikian pula apabila tingkat kematangan bawahan
tersebut termasuk rendah (M1), maka alternatif pilihan jenis kuasa yang perlu diterapkan
oleh seorang pemimpin sehingga kepemimpinannya tersebut dapat terlaksana secara efektif
adalah jenis kuasa paksaan.
Dengan demikian dalam bidang pendidikan terutama di sekolah kepala sekolah
tampaknya juga mempunyai variasi pilihan jenis kuasa yang dapat dipilih dan digunakan
dalam rangka melaksanakan pembinaan kualitas kompetensi profesionalisme para guru
sebagai bawahannya. Apabila kepala sekolah dalam rangka melaksanakan pembinaan
peningkatan kualitas kompetensi profesionalime guru berhadapan dengan para guru sebagai
bawahnya yang memiliki tingkat kematangan yang tingi (M4), maka alternatif pilihan jenis

135

kuasa yang perlu diterapkan sehingga pembinaanya tersebut dapat terlaksana secara efektif
adalah jenis kuasa keahlian. Kemudian Apabila kepala sekolah dalam rangka melaksanakan
pembinaan peningkatan kualitas kompetensi profesionalime guru berhadapan dengan para
guru sebagai bawahnya memiliki tingkat kematangan yang sedang (M3, M2), maka
alternatif pilihan jenis kuasa yang perlu diterapkan sehingga pembinaanya tersebut dapat
terlaksana secara efektif adalah jenis kuasa refernsi atau jenis kuasa penghargaan.
Demikian juga apabila kepala sekolah dalam rangka melaksanakan pembinaan peningkatan
kualitas kompetensi profesionalime para guru tersebut berhadapan dengan guru sebagai
bawahnya yang memiliki tingkat kematangan yang rendah (M1), maka alternatif pilihan
jenis kuasa yang perlu diterapkan sehingga pembinaannya tersebut dapat terlaksana secara
efektif adalah jenis kuasa paksaan.
G. Rangkuman
Kepemimpinan oleh para ahli diberikan pengertian yang berbeda-beda tergantung
dari sudut pandang, penekanannya, keluasannya dan kedalaman yang terkandung di
dalamnya. Dari beberapa pengertian kepemimpinan tersebut menunjukkan bahwa dalam
kepemimpinan tersebut paling tidak mencakup tiga hal yang saling berkaitan, yaitu: adanya
pemimpin dan karakteristiknya, adanya bawahan, serta adanya situasi dalam kelompok
tempat pemimpin dan bawahan saling berinteraksi.
Untuk dapat efektifnya suatu organisasi dalam mencapai tujuannya akan sangat
tergantung pada: pertama pemimpin dan karakteristiknya yang dalam manajemen kemudian
lazim disebut dan dikenal dengan istilah pola kepemimpinan atau gaya kepemimpinan,
kompetensi yang dimiliki pemimpinnya, jenis kuasa yang dimiliki para pemimpinnya.

136

Faktor kedua yang dapat menentukan efektifnya suatu organisasi dalam mencapai
tujuannya adalah faktor bawahan yang tekanannya pada tingkat kematangan bawahan
tersebut, jadi semakin tinggi tingkat kematangan bawahan atau karyawan tersebut
efektifitas suatu organisasi akan semakin tinggi. Kemudian faktor ketiga yang dapat
menentukan efektifnya suatu organisasi dalam mencapai tujuannya adalah faktor situasi
interaksi tempat berkerja yang dalam manajemen sering disebut dengan istilah iklim
organisasi atau budaya organisasi dan lain sebagainya.
H. Evaluasi
1. Sebutkan pengertian kepemimpinan dari berbagai ahli!.
2. Analisis berbagai kelebihan dan dan kelemahan gaya kepemimpinan situasional!.
3. Bandingkan gaya kepemimpinan yang berbasisi budaya Bali dengan gaya kepemimpinan transformsional!.
4. Analisis kompetensi kepala sekolah sebagai pemimpin yang dapat dianggap efektif!.
5. Analisis sumber-sumber kuasa dan jenis kusa kepala sekolah!.

137

BAB. VII
KEPALA SEKOLAH SEBAGAI
INOVATOR PENDIDIKAN
A.

Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaiannya

Kompetensi Dasar
Memahami pengertian inovasi.
Memahami factor-faktor inovasi.
Memahami pentingnya inovasi.
Kepala sekolah sebagai inovatotr pendi-

Indikator Pencapaiannya
Dapat menjelaskan pengertian inovasi.
Dapat menjelaskan faktor-faktor inovasi.
Dapat menjelaskan pentingnya inovasi.
Dapat menjelaskan bahwa kepala sekolah

dikan.

sebagai inovatot pendidikan.

B.

Pengertian Inovasi Pendidikan


Inovasi berasal dari bahasa Inggris innovation yang berarti segala hal yang baru atau

pembaharuan. Ada beberapa pendapat tentang pengertian inovasi tersebut. Rogers (1983)
memberikan pengertian inovasi tersebut sebagai suatu gagasan, teknik-teknik, atau praktik
atau benda yang disadari dan diterima oleh seseorang atau suatu kelompok untuk diadopsi.
Robbins (1994) memberi pengertian terhadap inovasi sebagai suatu gagasan yang baru
yang diterapkan untuk memprakarsai atau memperbaiki suatu produk, proses, dan jasa.

138

Freedman (1988) memberikan pengertian inovasi sebagai suatu proses pengimplementasian ide-ide baru dengan mengubah konsep kreatif menjadi suatu kenyataan.
Sedangkan Lena Ellitan dan Lina Anatan (2009) memberikan pengertian inovasi sebagai
sistem aktivitas organisasi yang mentransformasi teknologi mulai dari ide sampai
komersialisasi. Jadi dari beberapa pengertian inovasi tersebut dapat diketahui bahwa dalam
inovasi tersebut tercakup pembaharuan dalam bidang produk, proses, dan inovasi sistem
manjerial.
Disamping istilah inovasi terdapat juga beberapa istilah lainya yang mempunyai
hubungan dan makna yang sama dengan inovasi seperti misalnya diskoferi dan invensi.
Diskoferi adalah suatu penemuan sesuatu yang sebenarnya ada atau hal tersebut sudah
ada, tetapi belum diketahui orang. Contohnya seperti Newton menemukan hukum Gravitasi
Bumi, yang sebenarnya gaya tarik bumi tersebut sudah ada sejak lama, Columbus yang
menemukan Benua Amerika tahun 1942, yang sebenarnnya benua tersebut sudah ada,
hanya karena Columbus yang menemukan pertama.
Invensi adalah suatu penemuan baru yang benar-benar baru sebagai hasil rekayasa
manusia. Manusia melalui pengalamannya, pengamatannya, dan konsistensinya dalam
mempelajari atau menelaah sesuatu sampai kepada suatu bentuk model diakui orang lain
sebagai sesuatu yang baru, sperti misal teori-teori belajar, arsitektur unik, mode pakaian,
teknologi bangunan, dll nya.
Dari beberapa pengertian inovasi tersebut, sebenarnya dapat dimpulkan bahwa
inovasi adalah suatu gagasan, barang, kejadian, teknik-teknik, metode-metode, atau praktik
yang diamati, disadari, dirasakan, diterima dan digunakan sebagai suatu hal yang baru oleh
seseorang atau kelompok sebagai hasil diskoferi dan invensi.

139

Demikian juga dalam konteks sosial inovasi juga diberikan pengertian tersendiri,
seperti misalnya Zaltman dan Duncan (1973) memberikan pengertian inovasi dalam
konteks sosial sebagai berikut, inovasi adalah perubahan sosial yang digunakan untuk
mencapai tujuan tertentu atau untuk memecahkan suatu masalah tertentu. Drucker (1995)
memberikan pengertian inovasi sebagai perubahan sosial yang di dalamnya mencakup
dimensi proses kreatif, adanya perubahan, mengarah kepada pembaharuan, dan memiliki
nilai tambah.
Inovasi dalam suatu perubahan sosial akan mengalami tiga tahapan, yaitu invensi,
difusi, dan konsekwensi. Ketiga tahapan tersebut Rogers (1983) menjelaskan sebagai
berikut. Invensi adalah suatu tahapan ketika ide-ide baru diciptakan dan dikembangkan ,
difusi adalah suatu tahapan proses ketika ide-ide baru dikomunikasikan pada sistem sosial,
dan konsekwensi adalah suatu tahapan ketika perubahan-perubahan yang terjadi dalam
suatu sistem sosial sebagai akibat dari penerimaan atau penolakan ide-ide baru, dan secara
totalitas dan perubahan sosial tersebut merupakan hasil komunikasi. Demikian juga dalam
bidang pendidikan sebagai bagian dari suatu sistem sosial inovasi pendidikan diberikan
pengertian sebagai suatu ide, barang, metode, yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang
baru bagi seorang atau kelompok orang atau masyarakat baik berupa hasil invensi atau
diskoveri yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan atau untuk memecahkan
masalah pendidikan (Ibrahim. 1988). Pendidikan sebagai suatu sistem mencakup beberapa
komponen. Dengan demikian inovasi tersebut dapat dilakukan terhadap setiap komponen
sistem pendidikan tersebut yang sudah tentunya dalam inovasi tersebut disesuaikan dengan
perubahan dan perkembangan sistem pendidikan (Miles. 1964). Miles lebih lanjut menje-

140

laskan beberapa komponen sistem pendidikan yang bisa dilakukan inovasi adalah sebegai
berikut di bawah ini.
Pertama, pembinaan personalia. Pendidikan yang merupakan bagian dari sistem
sosial tentu menentukan personal sebagai komponen sistem. Inovasi yang sesuai dengan
komponen personal misalnya: peningkatan mutu guru, sistem kenaikan pangkat, sistem atau
model pembelajaran guru, dan lain-lainnya.
Kedua, banyaknya personalia dan wilayah kerja. Sistem sosial menjelaskan tentang
berapa jumlah personalia yang terikat dalam sistem serta dimana wilayah kerjanya. Inovasi
pendidikan yang relevan dengan aspek ini, misalnya berapa rasio guru dengan murid dalam
suatu sekolah. Dalam sekolah yang menganut sistem pamong misalnya diperkenalkan
inovasi 1 guru: 200 murid, di Amerika Serikat misalnya 1:27 orang murid, perubahahan
luasnya wilayah kepenilikan, dan sebaginya.
Ketiga, fasilitas pisik. Sistem sosial termasuk juga sistem pendidikan mendayagunakan berbagai sarana dan hasil teknologi untuk mencapai tujuan. Inovasi pendidikan
yang sesuai dengan komponen ini, misalnya perubahan tempat duduk, perubahan
pengaturan dinding ruangan, kelengkapan laboratorium, laboratorium bahasa, penggunaan
CCTV, televisi siaran dan sebaginya.
Keempat, penggunaan waktu. Suatu sistem pendidikan akan memeiliki perencanaan
penggunaan waktu. Inovasi yang relevan dengan komponen ini adalah pengaturan waktu
belajar sistem semester, catur wulan, pembuatan jadawal pelajaran yang memberi
kesempatan kepada siswa untuk memilih waktu sesuai dengan keperluannya, dan
sebaginya.

141

Kelima, prumusan tujuan. Sistem pendidikan memiliki rumusan tujuan yang jelas.
Inovasi yang relevan dengan komponen ini misalnya perubahan perumusan tjuan tiap jenis
sekolah, perumusan tujuan pendidikan nasional, dan lain sebaginya.
Keenam, prosedur. Sistem pendidikan mempunyai sistem atau prosedur dalam
mencapai tujuan. Inovasi yang relevan dengan komponen ini, misalnya, penggunaan
kurikulum baru, cara membuat persiapan mengajar, pengajaran individual, dan pengajaran
kelompok, dan sebagainya.
Ketujuh, peran yang diperlukan. Dalam sistem pendidikan mempunyai diperlukan
kejelasan peran yang diperlukan untuk memperlancar jalannya mencapai tujuan. Inovasi
yang relevan dalam hal ini adalah peran guru sebagai pemakai media, maka memerlukan
keterampilan menggunakan berbagai macam media, peran guru sebagai pengelola kegiatan
kelompok, guru sebagai anggota team teaching, dan sebagainya.
Kedelapan, wawasan dan perasaan. Dalam interaksi sosial biasanya dikembangkan
suatu wawasan dan perasaan tertentu yang akan menunjang kelancaran dalam
melaksanakan tugas. Kesamaan wawasan dan perasaan dalam melaksanakan tugas untuk
mencapai tujuan pendidikan yang ditentukan akan mempercepat tercapainya tujuan. Inovasi
yang relevan dengan bidang ini seperti misalnya wawasan pendidikan seumur hidup,
wawasan pendekatan keterampilan proses, perasaan cinta pada pada pekerjaan sebagai
guru, kesediaan berkorban, kesabaran sangat menunjang pelaksanaan kurikulum SD yang
disempurnakan, dan sebagainya.
Kesembilan, bentuk hubungan antar bagian. Dalam sistem pendidikan diperlukan
adanya kejelasan hubungan natar bagian atau mekanisme kerja antar bagian dalam kegiatan
untuk mencapai tjuan. Inovasi yang relevan dengan komponen ini misalnya, didakannya

142

perubahan pembagian tugas antar seksi di kantor depdikbud , di perguruan tinggi, fakultas,
biro pengadministrasi nilai maha siswa, dan sebagainya.
Kesepuluh, hubungan sistem sistem yang lain. Dalam pelaksanaan kegiatan
pendidikan dalam beberapa hal harus berhubungan atau bekerja sama dengan sistem yang
lain. Inovasi yang relevan dengan bidang ini misalnya: dalam pelaksanaan usaha kesehatan
sekolah perlu bekerja sama dengan departemen kesehatan, dalam pelaksanaan KKN harus
kerjasama dengan pemerintah daerah setempat, dan sebagainya.
Kesebelas, startegi. Strategi yang dimaksud disini adalah adalah tahap-tahapan
kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan inovasi pendidikan. Adapun macam dan
pola strategi yang digunakan akan sangat sukar untuk diklasifikasikan, tetapi secara
kronologi biasanya menggunakan pola urutan sebagai: (1) desain, ditemukannya suatu
inovasi dengan perencanaan penyebarannya berdasarkan suatu penelitian dan observasi
atau hasil penilain terhadap pelaksanaan sistem pendidikan yang sudah ada, (2) kesadaran
dan perhatian, suatu potensi yang sangat menunjang berhasilnya inovasi ialah adanya
kesadaran dan perhatian sasaran inovasi baik untuk individu maupun kelompok akan
perlunya inovasi. Bedasarkan kesadaran tersebut mereka akan berusaha mencari informasi
tentang inovasi, (3) evaluasi, para sasaran inovasi mengadakan penilaian terhadap inovasi
tentang kemampuannya untuk mencapai tujuan, tentang kemungkinan dapat terlaksananya
sesuai dengan kondisi dan situasi, pembiayaannya dan sebagainya, (4) percobaan, para
sasaran inovasi mencoba menerapkan inovasi untuk membuktikan apakah memang benar
inovasi yang telah dinilai baik tersebut dapat diterapkan seperti yang diharapkan. Jika
ternyata berhasil maka inovasi akan diterima dan dilaksanakan dengan sempurna strategi
inovasi yang telah direncanakan.

143

Demikian barangkali sebagai gambaran tentang inovasi pendidikan yang disertai


dengan contoh-contohnya, yang barangkali akan dapat menjadi pemicu para kepala sekolah
untuk dapat melakukan inovasi pendidikan di sekolahnya masing-masing sesuai dengan
permasalahan yang perlu diperbaiki sesuai dengan sistuasi dan kondisi sekolahnya masingmasing.

C. Pentingnya Inovasi Pendidikan


Dalam melakukan suatu inovasi perlu adanya suatu perencanaan termasuk dalam
melaksanakan dalam iovasi pendidikan, karena tanpa suatu rencana yang mantap proses
inovasi tidak akan dapat terlaksana secara efektif. Setelah diketahui tentang suatu rencana
inovasi dilanjutkan dengan pembicaraan tentang beberapa model inovasi pendidikan,
kemudian diakhiri dengan pembicaraan tentang petunjuk untuk mengadakan inovasi
pendidikan tersebut. Penjelasan tentang penerapan inovasi pendidikan di sekolah
diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman jika seorang guru atau kepala sekolah akan
mengadakan inovasi atau suatu perubahan di sekolah tempatnya bertugas. Pengertian
inovasi pendidikan yang dimaksudkan disini bisa jadi yang berasal dari pemerintah pusat
dan bisa juga inovasi pendidikan yang berupa ide atau gagasan baru dalam memperbaiki
sekolah di tempat guru dan kepala sekolah bertugas. Untuk dapat melaknakan suatu inovasi
tersebut dengan baik, tampaknnya guru dan kepala sekolah perlu memahmai berbagai hal
yang berkaitan dengan perencanaan inovasi, model inovasi, dan petunjuk tentang cara
menerapakan inovasi pendidikan tersebut. Dengan wawasan yang lebih luas dan lengkap

144

tentang inovasi pendidikan akan dapat membantu kelancaran proses pelaksanaan inovasi
pendidikan.
Lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan perguruan tinggi merupakan bagian
dari sistem sosial, oleh karena itu jika terjadi suatu perubahan dalam masyarakat, maka
pendidikan formal juga akan mengalami perubahan, demikian juga sebaliknya jika lembaga
pendidikan mengalami perubahan maka hasil perubahan tersebut akan mempengaruhi
terhadap perubahan masyarakat. Dengan demikian sesungguhnya lembaga pendidikan
memiliki beban ganda yaitu melestarikan nilai budaya tradisional dan mempersiapkan
generasi muda agar mampu menghadapai tantangan kemajuan jaman (Ibrahim. 1988).
Ada dua faktor yang mendorong perlunya inovasi pendidikan di sekolah dilakukan,
pertama adalah kemauan sekolah untuk mengadakan respon terhadap tantangan dan
kebutuhan masyarakat, dan yang kedua adanya usaha untuk menggunakan sekolah untuk
memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Sesungguhnya antara lembaga pendidikan dan masyarakat tersebut memmpunyai hubungan yang erat dan saling pengaruhmempengaruhi (Ibrahim. 1988).
Agar dapat lebih dipahami tentang perlunya inovasi pendidikan tersebut, maka
dapat dilihat dari tiga faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap kegiatan di sekolah,
yaitu kegiatan belajar mengajar guru, faktor internal dan eksternal, dan faktor sistem
pengelolaan pendidikan di sekolah sendiri.
Guru di sekolah dalam melaksanakan tugas belajar mengajarnya banyak memiliki
kelemahan oleh karena itu maka dibutuhkan dan diadakan inovasi, beberapa kelemahannya
tersebut adalah sebagai berikut di bawah ini.

145

1.

Guru. Keberhasilan guru dalam mengelola pembelajaran


sangat ditentukan oleh hubungan interpersonal antar guru dengan siswa. Dengan
kemampuan guru yang sama belum tentu menghasilkan prestasi belajar yang sama
dalam kelas yang berbeda. Demikian juga sebaliknya kelas yang sama bila diajar oleh
guru yang berbeda belum tentu dapat menghasilkan prestasi yang sama, walaupun para
guru tersebut sudah memenuhi persyaratan sebagai guru yang profesional.

2.

Guru

melakukan

tugas

dan

kegiatan

pembelajaran.

Kegiatan belajar mengajar di kelas merupakan kegiatan yang terisolasi. Pada waktu
sedang mengajar dia tidak mendapat balikan oleh teman sejawat dalammkelompoknya,
tanpa diketahui oleh guru yang lainnya. Ia menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh
dirinya sebagai guru menganggap sebagai cara yang terbaik. Dengan demikian guru
tidak akan mendapat kritik dalam rangka untuk mengembangkan profesinya.
3.

Guru

melakukan

tugas

dan

kegiatan

pembelajaran,

pembelajaran guru merupakan kegiatan yang terisolir, kritik dari teman guru yang
lainnya akan tidak ada, maka apa yang dilakukan oleh guru di kelas seolah-olah
merupakan hak mutlak tanggung jawabnya, orang lain tidak boleh ikut campur tangan,
padahal apa yang dilakukannya mungkin masih banyak kekurangannya.
4.

Guru sulit emilih model pengelolaan pembelajaran karena


belum ada kriteria yang baku tentang model pengelolaan pembelajaran yang baku yang
menjamin efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran. Masih ada beberapa variabel
lain yang ikut mengkontribusi terhadap keberhasilan belajar murid.

5.

Guru kesulitan dalam menghadapi kondisi siswa yang


berbeda-beda dalam berbagai dimensi, seperti dari segi fisik, mental intelektual, sifat,

146

minat, bakat, dan sosial ekonominya. Dengan demikian seorang guru tidak mungkin
akan dapat melayani siswa dengan memperhatikan semua perebedaan-perbedaan siswa
tersebut.
6.

Guru dalam mengajarnya diharapkan dapat melakukannya


dengan menggunakan cara yang pleksibel, di sisi yang lain guru dituntut untuk
mencapai perubahan yang sama dalam diri anak sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan. Jadi anak-anak yang berbeda diarahkan menjadi sama. Jika guru tidak dapat
mengatasi perbedaan anak ini akan memunculkan keraguan masyarakat terhadap
kualitas profesionalnya.

7.

Guru dalam petumbuhan jabatan karirnya mengalami


hambatan, karena tugas guru dirasakan berat, pendapatan yang rendah, jumlah siswa
yang besar, tugas administrasi, cukup menghadapi tantangan dalam usaha
meningkatkan kemampuan profesionalnya, tidak adanya keseimbangan antara
kemampuan dan wewenangnya dalam mengatur beban tugas yang dilakukan tanpa
bantuan dan insentif dari sekolahnya.

8.

Guru dalam mengelola pembelajaran mengalami kesulitan


dalam memenuhi berbagai macam tuntutan yang diutamakan. Ada tuntutan yang
mengutamakan keterampilan proses belajar, ada yang mengutamakan menyelesaikan
materi dalam kurikulum, dituntut untuk mengutamakan perubahan tingkah laku, ada
juga tuntutan yang mengutamakan aspek kognitif. Guru akan dihadpkan pada beberapa
plihan yang diutamakan.
Faktor lainnya yang menyebabkan perlunya ada inovasi dalam pendidikan di

sekolah, adalah faktor internal yaitu anak didik. Kondisi siswa sangat mempengaruhi

147

terhadap proses inovasi karena tujuan pendidikan adalah untuk terjadinya perubahan
tingkah laku anak didik. Anak didik adalah merupakan pusat perhatian dan bahan
pertimbangan dalam melaksanakan berbagai kebijakan pendidikan. Demikian juga para
ahli pendidik, pegawai administrasi, konselor yang terlibat langsung dalam pendidikan di
sekolah akan membantu untuk mengadakan berbagai fasilitas di sekolah. Demikian juga
sistem pendidikan yang membatasi kewenangannya dan peluang bagi guru untuk
mengambil kebijakan berkreasi dalam melaksanakan tugasnya untuk menghadapi tantangan
kemajuan jaman. Kondisi sistem pendidikan seperti ini akan bisa jadi menimbulkan rasa
prustasi, mengurangi rasa tanggungjawab dan rasa ikut terlibat dalam melaksanakan tugas.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan inovasi
pendidikan di sekolah akan lancar jika kemampuan profesional guru lebih ditingkatkan dan
diberikan wewenang untuk mengambil kebijakan dalam melaksanakan tugasnya agar dapat
menyesuaikan dengan kondisi dan situasi pada jamannya.
D. Kepala Sekolah Sebagai Inovator Pendidikan
Kepala sekolah pada dasarnya adalah seorang pemimpin pendidikan di sekolah.
Sebagai pemimpin pendidikan maka dituntut untuk memiliki kemampuan mempengaruhi
membimbing, menyuruh, memerintah, melarang, serta membina dengan maksud agar
bawahan sebagai media manajemen dalam hubungan ini guru-guru mau bekerja dalam
rangka mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Berbagai hal yang dapat
dilakukan oleh seorang kepala sekolah untuk dapat tercapainya tujuan pendidikan di
sekolah diantaranya adalah melakukan pembaharuan manajemen di sekolahnya atau
melakukan pembaharuan dalam bidang administrasi pendidikan. Danim (2002) menjelas-

148

kan dengan mengutip pendapatnya Coombs bahwa pembaharuan dalam bidang pendidikan
harus diawali dengan revolusi dalam bidang administrasi pendidikan. Ini berarti sekolah
harus dikelola dengan administrasi yang inovatif. Kepala sekolah atau pemimpin
pendidikan yang ingin atau akan sukses dituntut untuk mengadakan inovasi sehingga
mampu menampung dinamika perkembangan yang terjadi di luar sistem pendidikan.
Dengan demikian fungsi pemimpin dalam melakukan pembaharuan atau inovasi adalah (a)
fungsi tanggap terhadap terhadap inovasi, (b ) fungsi mengharmoniskan atau mengkomplementasikan atau fungsi pembinaan, dan (c) fungsi pengarahan (Muhadjir. 1983). Lebih
lanjut Muhadjir juga menjelaskan bahwa dalam hubungannya dengan fungsi pemimpin
dalam melakukan pembaharuan tersebut ada dua macam. Pemimpin yang cepat-cepat
tanggap terhadap inovasi, dan pemimpin tidak tanggap terhadap inovasi. Pemimpin yang
cepat-cepat tanggap terhadap inovasi disebutnya dengan pemimpin adopsi inovasi. Kepala
sekolah sekolah sebagai pemimpin, hendaknya menjadi pemimpin adopsi inovasi, lebih dari
itu seorang kepala sekolah dalam melakukan inovasi dituntut untuk berani mengambil
resiko, proaktif, dan kemitmen pada tugasnya. Tugas lainnya yang dilakukan oleh kepala
sekolah sebagai inovator adalah membantu kelancaran jalannya arus inovasi dari
pemerintah, oleh para ahli, para kepala sekolah, atau guru yang senior terhadap kliennya
atau guru-guru unior yang lainnya. Kelancacaran jalannya proses arus inovasi atau
komunikasi inovasi tersebut terjadi apabila inovasi yang dilakukan sesuai dengan
kebutuhan dari kliennya atau sesuai dengan masalah yang dihadapinya. Ibrahim (1988)
dengan mengutif pendapatnya Rogers menjelaskan bahwa untuk berhasilnya seorang
kepala sekolah melaksanakan pembaharuan atau inovasi, maka kepala sekolah tersebut
supaya berpedoman pada beberapa faktor.

149

Pertama, kegigihan yang dilakukan oleh kepala sekolah yang terlihat dari
banyaknya bawahannya yang dihubungi untuk berkomunikasi, banyaknya waktu yang
digunakan, ketepatan memilih waktu, banyaknya keaktifan yang dilakukan dalam proses
inovasi. Keberhasilan pembaharuan kepala sekolah akan berhubungan positif dengan
besarnya usaha mengadakan kontak dengan bawahannya.
Kedua, orientasi pada bawahan. Posisi kepala sekolah harus bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan keberhasilan pembaharuan dalam pendidikan di sekolahnya, di satu
sisi ia juga bekerja bersama dan untuk memenuhi kepentingan bawahananya. Kepala
sekolah harus mengambil kebijakan yang berorientasi pada bawahan, menunjukkan
keakraban dengan bawahannya, memperhatikan kebutuhan bawahan, sehingga akan
memperoleh kepercayaan yang besar dari bawahan. Dengan demikian keberhasilan kepala
sekolah melaksanakan pembaharuan berhubungan positif dengan orientasi pada bawahan
dari pada berhubungan dengan pmemerintah sebagai penentu kebijakan inovasi.
Ketiga, Sesuai dengan kebutuhan bawahan. Banyak terbukti usaha inovasi gagal
karena tidak mendasarkan pada kebutuhan bawahan, tetapi lebih mengutamakan pada target
inovasi sesuai dengan kehendak pemerintah sebagai pembuata kebijakan inovasi. Sehingga
keberhasilan kepala sekolah dalam melaksanakan pembaharuan akan berhubungan dengan
kesesuaian program difusi dengan kebutuhan bahawan.
Keempat, emphati. Kepala sekolah apabila dapat bersikap emphati dalam
melaksanakan komunikasi dengan bawahannya akan sangat mempengaruhi efektifitas
komunikasinya. Komunikasi yang efektif akan lebih memudahkan menerima suatu inovasi.
Kelima, homophily. Homophily adalah pasangan individu yang berinteraksi dengan
memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang sama misalnya dalam bahasa, kepercayaan, adat

150

istiadat. Biasanya agen pembaruan akan lebih suka komunikasi dengan bawahan yang
memiliki persamaan dengan dia.
Keenam, kontak kepala sekolah dengan bawahannya yang berstatus lebih rendah.
Sebenarnya bawahan yang lebih rendah kemampuan ekonominya, bawahan yang lebih
rendah pendidikannya, harus lebih banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari kepala
sekolah.
Ketujuh, para profesional. Pembantu para profesional ialah orang yang bertugas
membantu kepala sekolah agar terjadi hubungan dengan bawahan yang bersetatus lebih
rendah. Pembantu para profesional dari segi pengetahuan tentang pembaharuan dan teknik
penyebaran inovasi kurang dari kepala sekolah. Tetapi dia akan lebih dekat dengan
bawahan sehingga memungkinkan untuk kontak secara lebih banyak.
Kedelapan, kepercayaan bawahan terhadap kepala sekolah. Pembantu agen
pembaharu kurang memperoleh kepercayaan dari bawahan, jika ditinjau dari kompetensi
profesional karena memang ia bukan profesional. Tetapi pembantu para kepala sekolah
memiliki kepercayaan dari bawahannya karena adanaya hubungan yang lebih akrab
sehingga tidak timbul kecurigaan. Bawahan akan percaya kepada pembantu kepala sekolah
karena keyakinannya akan membawa kebaikan bagi dirinya yang disebut kepecayaaan
keselamatan.
Kesembilan, kemampuan bawahan untuk menilai inovasi. Salah satu keunikan
kepala sekolah dalam inovasi adalah memiliki kemampuan teknik yang menyebabkan ia
berwewenang untuk bertindak sesuai dengan keahliannya. Namun untuk dapat berhasil
inovasi tersebut bawahan dituntut untuk memiliki kemampuan teknik dan kemampuan
dalam menilai potensi inovasi yang dicapainya sendiri.

151

E.

Rangkuman
Inovasi adalah suatu gagasan, barang, kejadian, teknik-teknik, metode-metode, atau

praktik yang diamati, disadari, dirasakan, diterima dan digunakan sebagai suatu hal yang
baru oleh seseorang atau kelompok sebagai hasil diskoferi dan invensi. Dalam konteks
sosial inovasi diberikan pengertian sebagai perubahan sosial yang digunakan untuk
mencapai tujuan tertentu atau untuk memecahkan suatu masalah tertentu. Perubahan sosial
tersebut dalamnya mencakup dimensi proses kreatif, adanya perubahan, mengarah kepada
pembaharuan, dan memiliki nilai tambah.
Inovasi dalam suatu perubahan sosial akan mengalami tiga tahapan, yaitu invensi,
difusi, dan konsekwensi. Invensi adalah suatu tahapan ketika ide-ide baru diciptakan dan
dikembangkan, difusi adalah suatu tahapan proses ketika ide-ide baru dikomunikasikan
pada sistem sosial, dan konsekwensi adalah suatu tahapan ketika perubahan-perubahan
yang terjadi dalam suatu sistem sosial sebagai akibat dari penerimaan atau penolakan ideide baru, dan secara totalitas dan perubahan sosial tersebut merupakan hasil komunikasi.
Demikian juga dalam bidang pendidikan sebagai bagian dari suatu sistem sosial inovasi
pendidikan diberikan pengertian sebagai suatu ide, barang, metode, yang dirasakan atau
diamati sebagai hal yang baru bagi seorang atau kelompok orang atau masyarakat baik
berupa hasil invensi atau diskoveri yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan atau
untuk memecahkan masalah pendidikan. Beberapa komponen sistem pendidikan yang bisa
dilakukan inovasi adalah pembinaan personalia, banyaknya personalia dan wilayah kerja,
fasilitas pisik, penggunaan waktu, prumusan tujuan, prosedur dalam mencapai tujuan,
peran yang diperlukan, wawasan dan perasaan, bentuk hubungan antar bagian, hubungan

152

sistem sistem yang lain, startegi tahap-tahapan kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai
tujuan inovasi pendidikan.
Demikian barangkali sebagai gambaran tentang inovasi pendidikan yang disertai
dengan contoh-contohnya, yang dapat menjadi pemicu para kepala sekolah untuk dapat
melakukan inovasi pendidikan di sekolahnya masing-masing sesuai dengan permasalahan
yang perlu diperbaiki sesuai dengan sistuasi dan kondisi sekolahnya masing-masing.
I.

Evaluasi

1.

Jelaskan pengertian inovasi!.

2.

Jelaskan faktor-faktor inovasi!.

3.

Jelaskan pentingnya inovasi!.

4.

Jelaskan bahwa sekolah sebagai inovator pendidikan.

153

BAB. VIII
KEPALA SEKOLAH SEBAGAI
MOTIVATOR PENDIDIKAN
A. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaiannya
Kompetensi Dasar
Memahami pengertian motivasi
Memahamai faktor-faktor dan cara-cara

Indikator Pencapaiannya
Dapat menjelaskan pengertian motivasi
Dapat menjelaskan faktor-faktor dan cara-

memotivasi
cara memotivasi
Memahamai teori-teori motivasi
Dapat menjelaskan teori-teori motivasi
Memahami kepala sekolah sebagai moti- Dapat menjelaskan kepala sekolah sebagai
vator pendidikan.

motivator pendidikan.

B. Pengertian Motivasi
Pengertian motivasi dalam beberapa buku sumber diberikan pengertian secara
berbeda dan beragam sesuai dengan cara pandang dari para penulis. Walaupun demikian
kalau dilacak secara bahasa, maka istilah motivasi berasal dari bahasa latin yakni movere
yang berarti menggerakkan, dorongan atau gejolak, motivasi berasal dari kata motif yang

154

artinya sebagai daya penggerak, pendorong seseorang untuk melakukan aktifitas tertentu
untuk mencapai suatu tujuan (Winardi. 2001). Motivasi adalah kegiatan memberikan
dorongan atau aktifitas kepada sesorang atau diri sendidri untuk berbuat sesuatu dalam
rangka mencapai kepuasan atau tujuan (Depdikbud. 1994). Motivasi kerja adalah sesuatu
atau kondisi yang menimbulkan dorongan atau semangat kerja atau semangat bergerak
(Martoyo. 2000). Kondisi yang dimaksudkan tersebut dapat berhubungan dengan lingkungan kerja, demikian juga yang dimaksud dengan lingkungan kerja di sini adalah
lingkungan sekolah. Sekolah sebagai suatu organisasai di dalamnya terdapat sejumlah
orang yang berpartisipasi dan bekerjasama serta mempunyai peranan dan sangat penting
untuk dapat digerakkan atau diberikan motivasi dalam rangka mencapai tujuan sekolah.
Motivasi menjadi faktor penentu bagi perilaku orang-orang yang bekerja atau dapat
dikatakan perilaku merupakan cerminan yang paling sederhana dari motivasi.
Untuk menambah wawasan dan khasanah yang lebih luas tentang pengertian dari
motivasi tersebut tampaknya perlu juga dikutifkan beberapa pengertian motivasi di samping
pengertian motivasi yang telah disebutkan dalam uraian sebelumnya, seperti Mangkunegara
(2003) menjelaskan bahwa motivasi adalah kondisi yang menggerakkan dari dalam diri
individu yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi. Mcdonald yang dikutif Hamalik
(1992) menjelaskan motivasi adalah suatu perubahan energy di dalam pribadi seseorang
yang ditandai dengan timbulnya afektif dan reaksi untuk mencapai tujuan. Kemudian
Flippo (1984) yang memberikan pengertian motivasi sebagai suatu keahlian dalam
menggerakkan pegawai dan organisasi agar mau bekerja, sehingga keinginan para pegawai
dan tujuan organisasi dapat tercapai. Gorton (1976) menjelaskan bahwa motivasi adalah
merupakan dorongan untuk melakukan suatu pekerjaan, dan motivasi erat hubungannya

155

dengan kinerja atau performansi seseorang, motivasi kerja yang tinggi akan menyebabkan
seseorang melakukan pekerjaan dengan lebih bersemangat, karena dalam melakukan
pekerjaan tersebut ia melaksanakannya dengan senang hati dan dengan dorongan yang kuat
untuk melakukannya.
Berdasarkan pada beberapa pengertian motivasi dalam uraian-uraian sebelumnya,
tampaknya ada unsur persamaamnya yaitu bahwa motivasi tersebut merupakan dorongan
dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu dengan baik sehingga tercapai tujuan
suatu organisasi dengan maksimal juga. Kemudian kalau pengertian motivasi tersebut
dikaitkan dengan tugas kepala sekolah sebagai seorang motivator dalam bidang pendidikan
di sekolah, ini berarti bahwa seorang kepala sekolah tersebut harus mampu menciptakan
kondisi atau lingkungan sekolah agar semua orang yang berpartispasi atau semua
sumberdaya manusia terdorong dari dalam dirinya sendiri, memiliki harapan maupun
terangsang untuk dapat melaksanakan tugasnya secara maksimal sehingga tujuan organisasi
atau sekolah juga dapat tercapai dengan baik..
C. Faktor-faktor dan Cara-cara Memotivasi
Ada banyak faktor yang mampu memotivasi para pekerja, seperti situasi industrial
kayawan yang bersangkutan dalam hal bisa lingkungan rumah tangganya, lingkungan
masyarakat, kebutuhan, aspirasi, keinginan (Winardi. 2004). Faktor lainnya yang digunakan
untuk memotivasi kerja adalah uang, karena uang dapat digunakan atau ditukar dengan
barang-barang atau jasa yang bernilai ekonomis, yang dapat memuaskan kebutuhan
fisiologikal dan kebutuhan dasar. Kebutuhan fisilogikal dan uang dalam pandangan orang
banyak, maka uang merupakan simbol hasil yang dicapai, sukses, prestasi, atau kekuasaan

156

sebagai sarana memenuhi kebutuhan sosial yang lebih tinggi. Ada juga pendapat yang
menyatakan bahwa keterbatasan uang sebagai sebagai alat memotivasi orang dalam
melaksanakan pekerjaan dan menyatakan pentingnya kelompok kerja sebagai kekuatan
yang memotivasi (Winardi. 2004). Kemudian ada juga pendapat yang menyatkan bahwa
motivasi antara orang yang satu dengan orang yang lainnya sangatlah berbeda, ada banyak
paktor yang mempengaruhinya, diantarnya adalah faktor kewibawaan, ambisi, pendidikan
dan umur (Tery.dan Leslie W.Rue. 2001). Pendapat yang lainnya adalah bahwa motivasi
seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor individual dan organisasi. Faktor individual
tersebut

mencakup

kebutuhan-kebutuhan,

tujuan-tujuan, sikap,

dan

kemampuan-

kemampuan. Kemudian faktor yang berasal dari organisasi tersebut mencakup gaji,
keamanan pekerjaan sesama kerja pekerja, pengawasan, pujian, dan pekerjaan itu sendiri.
Berdasarkan pada uraian fator-faktor motivasi tersebut, maka sebagai seorang
kepala sekolah dalam rangka memotivasi bawahnya atau semua sumberdaya manusia yang
ada dalam organisasi sekolahnya seharusnya mempertimbangkan faktor yang bersifat
individual maupun faktor organisasi sekolahnya. Seorang kepala sekolah agar dapat
berhasil memotivasi bawahnyanya haruslah memperhatikan, mengenal, memahami,
menghargai dan mencoba untuk memenuhi dengan segala peluang dan keterbatasanya
berbagai kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, sikap, dan kemampuan-kemampuan sumberdaya manusia yang ada di sekolahnya sehingga semua sumberdaya manusia tersebut
terdorong, terangsang, dan memepunyai harapan-harapan dalam melaksanakan tugasnya
dan bertugas dengan baik dan maksimal. Di sisi lain seorang kepala sekolah harus mampu
mengelola semua material dan fasilitas yang ada di sekolah apakah menyangkut persoalan
keuangan seperti gaji dan kesejahteraan yang lainnya, keamanan dan kenyamanan dalam

157

melaksanakan pekerjaan, kekompakan dan kerja sama sesama pekerja, melakukan


pengawasan, memberikan pujian dan penghargaan kepada bawahan, dan menumbuhkan
kondisi agar para bawahannya menjadi mencintai pekerjaan itu sendiri.

D. Teori-teori Motivasi
Dalam sumber kepustakaan disebutkan ada beberapa teori tentang motivasi,
dintaranya adalah: (1) teori motivasi berdasarkan harapan, (2) teori motivasi berdasarkan
kebutuhan, (3) teori motivasi berdasarkan keadilan, dan (4) teori motivasi berdasarkan
kepuasan.
1. Teori Motivasi Berdasarkan Harapan
Teori motivasi berdasarkan harapan beranggapan bahwa yang menjadi pendorong
utama seseorang untuk dapat lebih giat bekerja karena adanya harapan yang disertai dengan
penuh keyakinan, bahwa apa yang diusahakan atau dikerjakan akan berhasil. Ada beberapa
variasi model teori, formulasi-formulasi teori yang lebih baru yang menyebut ada tiga
konsep esensial yang menentukan, tinggi rendahnya motivasi harapan (expectancy)
disingkat E, Valensi (valence) disingkat V, dan peralatan (instrumental) disingkat dengan I
(Hoy dan Miskel, 1987).
Harapan merupakan keyakinan bahwa apa yang diusahakan oleh seseorang akan
mengarah pada keberhasilan dalam mencapai tujuan. Harapan merupakan keyakinan
subyektif seseorang dalam serangkaian kegiatan tertentu akan didapat suatu hasil atau
tujuan positif yang tinggi. Misalnya seorang guru merasa yakin dengan usaha-usahanya

158

sendiri dapat memperbaiki atau meningkatkan kecapakan hidup pada masyarakat yang
kurang mampu, maka orang itu mempunyai tingkat harapan tinggi. Jadi tingkat harapan
yang tinggi akan menyebabkan adanya motivasi yang tinggi. Valensi merupakan suatu
tingkat kemenarikan atau keinginan seorang individu dikaitkan dengan suatu penghargaan.
Sebab seseorang diberikan tugas melaksanakan perkejaan, maka untuk itu mereka diberi
insentif, seperti, gaji, prestasi, kondisi kerja yang baik, kesempatan untuk maju dan
sebagainya. Valenci ditentukan apabila mereka mengindikasikan apa yang mereka inginkan
dari suatu pekerjaan. Valensi dikatakan tinggi bila terdapat ketertiban di dalam
meningkatkan suatu usaha. Selanjutnya peralatan merupakan korelasi yang diperoleh antara
melakukan suatu pekerjaan dengan menerima penghargaan.
Teori motivasi yang berdasarkan harapan dari Vroom ini dikembangkan oleh Porter
dan Luwler, kemudian Nadler (Handoko, 2003., Atkinson (1964). Berdasarkan teori
motivasi yang sudah ada, Atkinson mengembangkan teori Vroom dengan mengajukan teori
motivasi berdasarkan harapan. Teori tersebut mempunyai generalisasi secara umum tingkah
laku yang ditentukan oleh suatu relasi multiplikatif bukan aditif diantara harapan-harapan,
peralatan-perlatan, dan valensi-valensi seseorang. Hoy dan Miskel (1987) menyatakan
perbedaan konseptual yang mendasar dari teori Vroom dan Atkinson adalah bahwa
Atkinson hanya memfokuskan pada satu jenis motivasi intrinsik, yaitu prestasi, sedangkan
Vroom memfokuskan pada motivasi ektrinsik memandang kekuatan motivation dalam tiga
variabel pada persamaan berikut: M = f (M x E x I ), Motivation = f (motive x expectancy x
Incentive).
Ada beberapa istilah yang merujuk pada persamaan arti: (a) motive merujuk
disposisi secara umum tentang individu yang berusaha untuk memuaskan kebutuhan. Hal

159

ini menunjukan betapa pentingnya kebutuhan untuk dipenuhi, (b) expectancy kebutuhan
subjektif tentang kemungkinan pemberian tindakan yang berhasil dalam memuaskan
kebutuhan, dan (c) incentive adalah perhitungan subyektif tentang ganjaran yang
diharapkan untuk mencapai suatu tujuan.
Menurut Atkinson terdapat tiga faktor motivasi yaitu motif, harapan dan insentif.
Model Atkinson ini telah dites dalam sejumlah situasi experimental. Model ini telah
diaplikasikan untuk mengukur kebutuhan-kebutuhan prestasi. Istilah-istilah persamaan
diekspresi secara positif dan negatif. Motivasi untuk mencapai keberhasilan dan motivasi
mengindari kegagalan (Hoy dan Miskel, 1987).
a. Motif
Para ahli psikologi berpendapat bahwa dalam diri individu ada sesuatu yang
menentukan prilaku, bekerja dengan cara tertentu untuk mempengaruhi prilaku tersebut.
Ada yang menyebut penentu prilaku tersebut dengan istilah kebutuhan atau need, ada yang
menyebutnya dengan istilah motif, ada pula yang menggunakan kedua istilah tersebut
secara bergantian, misalnya Miskel at. al (1967) dan Mc Clelland (1987) menggunakan
istilah motif dan motivasi dalam arti yang sama, dan motif didapat dari hasil belajar.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa semua motif tentu didasari emosi akan tetapi motif itu
sendiri tidak sama dengan emosi, dan bahwa motif merupakan dorongan untuk berubah
dalam kondisi yang efektif. motif tidak dapat dilihat begitu saja dari prilaku, karena motif
tidak selalu seperti yang tampak, kadang-kadang malahan berlawanan dengan yang tampak.
Berdasarkan hal tersebut ia berpendapat bahwa untuk menemukan motif yang mendasari

160

suatu perbuatan, cara yang terbaik ialah dengan menganalisis motif yang ada di dalam
fantasi seseorang.
Atkinson (1983) menganggap motif sebagai suatu disposisi laten yang berusaha
dengan kuat untuk menuju ke tujuan tertentu, tujuan itu dapat berupa prestasi, afiliasi,
ataupun kekuasaaan. Motivasi adalah keadaaan individu yang terangsang yang terjadi jika
suatu motif yang telah dihubungkan dengan suatu penghargaan yang sesuai misalnya saja,
jika sesuatu perbuatan akan dapat mencapai tujuan motif yang bersangkutan.
Heckhousen (Martiniah. 1984) menyatakan apa yang disebut oleh Atkinson sebagai
motif, disebutnya sebagai motivasi potensial, sedangkan yang disebut oleh Atkinson
motivasi, dinamakannya dengan motivasi aktual. Lebih lanjut Heckhousen menjelaskan
bahwa motivasi potensial adalah suatu keadaan normal yang menentukan bagaimana suatu
katagori situasi hidup tertentu supaya dapat memberikan pemuasan. Motivasi aktual terdiri
dari penghargaan yang menghubungkan keadaan sekarang dengan keadaan yang akan
datang. Heckhousen dalam tulisannya mengatakan bahwa motif merupakan kondisi yang
mengandung suatu katagori kejadian tertentu, yang isinya homogen yang terjadinya atau
adanya dapat mempengaruhi secara positif atau negatif nilai-nilai atau kepercayaan
seseorang. Jadi ia mengganggap motif sebagai disposisi nilai seseorang yang kalau
dibentuk secara relatif dapat bertahan, meskipun masih ada kemungkinan untuk
dimodifikasi. Adapun proses motivasi adalah interaksi antara motif dengan aspek situasi
yang diamati relevan dengan motif yang bersangkutan.
Motif merupakan dorongan yang datang dari dalam diri seorang untuk melakukan
sesuatu atau setidak-tidaknya menyebabkan tingkah laku tertentu, motif-motif yang
menggerakan tersebut menggambarkan tingkat untuk memenuhi suatu kepentingan.

161

Dorongan untuk melakukan tindakan atau tingkah laku tersebut dapat datang dari luar atau
dapat merupakan hasil dari proses pemikiran dari dalam diri seseorang. Sedangkan Thoha
(2003) mengartikan motif lebih sederhana yaitu suatu rangkaian yang dapat menyebabkan
individu untuk melakukan suatu kegiatan tertentu dan untuk mencapai tujuan tertentu.

b. Harapan
Harapan merupakan kemungkinan dan keyakinan perbuatan akan mencapai tujuan.
Hoy dan Miskel (1987) mengemukakan bahwa setiap prilaku individu itu dipenuhi oleh dua
sumber yang besar yaitu sumber-sumber harapan yang berkenaan dengan peranannya
antara lain tuntunan formal dari pihak pekerjaan yang dirinci dalam tugas yang seharunya
dilakukan. Serta tuntunan informal yang dituntut oleh sekelompok-sekelompok individu
dalam lingkungan kerjanya. Jadi ada harapan secara formal dan informal yang keduaduanya menuntut perlakuan tertenu dari individu. Sebagai akibat dari tututan ini, individu
berusaha untuk menyusun suatu struktur dalam situasi sosial yang dihadapai dan untuk
mendefinisikan perannya dalam struktur tersebut.
c. Insentif
Insentif merupakan keadaan yang membangkitkan kekuatan dinamis manusia, atau
persiapan dari pada keadaan-keadaan yang menghantarkan harapan yakni, dapat
mempengaruhi atau merubah sikap prilaku seseorang (Mathis & Jacson. 2002). Dengan
demikian insentif merupakan suatu perangsang atau daya tarik yang sengaja diberikan
kepada pegawai dengan tujuan untuk membangun, memelihara, dan memperkuat harapanharapan tenaga kerja agar dalam diri mereka timbul semangat yang lebih besar untuk

162

berprestasi bagi organisasi. Namun demikian insentif tidaklah sama persis dengan ganjaran.
Ganjaran menunjukan bahwa sesuatu yang diinginkan dilakukan (Steer & Porter. 1961).
Insentif dapat bersifat positif dalam arti tenaga kerja mau berbuat sesuatu untuk membantu
melancarkan atau mengembangkan bentuk dan tingkah laku, sedangkan insentif negatif
adalah perasaan yang timbul karena tidak sesuai dengan harapan dan dapat menghalanghalangi atau sejenisnya.
Jadi teori Atkinson tetang motif, harapan, dan insentif berguna untuk memberi daya
motivasi bagi setiap tenaga kerja yang bekerja, sebab setiap orang yang berkerja pastilah
mempunyai motivasi tertentu, harapan tertentu, dan kebutuhan insentif tertentu. Model teori
harapan menurut Mitchell (Hoy dan Miskel. 1987) dikembangkan dalam psikologi pada
tiga puluh penelitian model harapan prediktif bagi performansi pekerja serta usaha kerja.
Konsekuensinya adanya dukungan ini sangat bersar bagi validitas model tersebut. Namun
dalam model ini, masih sedikit diselenggarakan riset dalam bidang pendidikan. Mitchell
dan Golstein (1987) menyatakan bahwa penelitian terhadap teori harapan pada latar
pendidiklan dewasa ini telah banyak dilakukan oleh para ahli pendidikan formal
diantaranya : (a) Mowday yang menemukan bahwa kepala sekolah dengan harapan tinggi
lebih aktif dalam usaha mempengaruhi keputusan distrik dari pada mereka yang motivasi
harapannya rendah, (b) Herrick dalam studinya memuji hubungan antara struktur organisasi
dan motivasi pegawai, menemukan korelasi negatif yang kuat antara kekuatan motivational
harapan dengan sentralisasi dan stratifikasi. Selanjutnya organisasi yang sentraslisasi dan
stratifikasi penstafannya tinggi terhadap pegawai mempunyai kekuatan motivasi yang
rendah, (c) Miskel, Delirain dan Vicox dalam studinya terhadap pegawai kekuatan motivasi
pada kepuasan kerja dengan penerimaan performansi kerja, kekuatan motivasi secara

163

signifikan berkaitan dengan kinerja dalam penerimaan unjuk kerja diantara dua kelompok,
(d) Miskel, Mc Donald dan Bloom menemukan bahwa motivasi harapan para pegawai
secara konsisten berkaitan dengan kepuasan kerja pegawai, sikap pegawai terhadap
organisasi, dan pemahaman terhadap keefektifan organisasi, dan (e) Graham menggunakan
teori harapan dengan sampel mahasiswa, menemukan dukungan yang tinggi untuk
kemampuan dari teori harapan guna memperediksi kepuasan, partisipasi dalam kegiatan
dan prestasi mahasiswa.
Beberapa penulis telah meriviu laporan riset berdasarkan teori motivasi, harapan
dan menyimpulkan hasil yang sama, yaitu bahwa kekuatan motivasi model harapan telah
menunjukan korelasi positif dengan kepuasan kerja, usaha dan unjuk kerja sebagai latar,
termasuk latar pendidikan. Dengan kata lain motivasi harapan merupakan faktor penting
dalam usaha dan unjuk kerja dan merupakan faktor kontributor yang penting dalam
lingkungan. Selanjutnya, Steer dan Porter (1991) menjamin bahwa teori harapan memberi
frame work

yang komperhenship berkaitan dengan prilaku karyawan. Miner (Hoy &

Miskel, 1987) menyatakan bahwa manakala semua prilaku termotifasi tidak dapat
dijelaskan pada semua kerja organisasi, teori harapan cukup menjelaskan usaha kerja untuk
diikuti lebih lanjut. Ringkasnya teori harapan telah melahirkan sejumlah penelitian secara
luas. Secara umum hasilnya memberikan sokongan. Bahkan melalui pertanyaan dan
kritikan di sekitar pendekatannya diyakini bahwa dengan desain studi yang hati-hati teori
harapan dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat pada bidang administrasi
pendidikan.
Davis dan Newston (1989) memaparkan bahwa diantara model-model teori motivasi
yang ada semuanya mempunyai kekuatan dan kelemahan serta mempunyai pendukung dan

164

penentang. Tidak ada suatu model yang sempurna namun semuanya memperkaya
pemahaman tentang proses motivasi. Walaupun demikian Hoy dan Miskel (1987)
memberikan komentar umum sebagai berikut: model predisposisi yang dikembangkan oleh
Argyrs dan teori Hirarkhi Kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham Maslow dan para
pengembang selanjutnya merupakan dua pendekatan yang lazim terhadap studi motivasi.
Sedangkan teori dua faktor yang dikembangkan oleh Herzberg merupakan teori secara
khusus dikembangkan untuk menjelaskan motivasi kerja, dan teori harapan yang
diformulasikan secara terpisah oleh Atkinson dan Vroom berkembang secara cepat sebagai
teori yang paling luas diterima dan didukung untuk pekerjaan dan motivasi.
2. Teori Motivasi Berdasarkan Kebutuhan
Teori ini berdasarkan pada adanya kebutuhan yang mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu. Teori kebutuhan ini dikemukaan oleh Abraham Maslow (Supardi dan
Anwar, 2002) yang berdasarkan teori dalam dua hal pokok yaitu: (1) setiap orang
dimotivasi oleh keinginan untuk memuaskan suatu kebutuhan. (2) kebutuhan itu tersusun
secara hierarkhis. Maslow (Owen, 1991) menyebutkan bahwa lima kebutuhan manusia
yang tersusun secara hierarkhis yaitu: kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman,
kebutuhan sosial, kebutuhan terhadap penghargaan, dan kebutuhan terhadap aktualisasi diri.
Kebutuhan fisiologis yaitu kebutuhan seperti rasa lapar, haus, sex, perumahan, tidur dan
sebagainya. Kebutuhan rasa aman yaitu kebutuhan akan keselamatan dan perlindungan dari
bahaya, ancaman dan perampasan, ataupun pemecatan dari pekerjaan (Owens, 1991).
Kebutuhan sosial yaitu kebutuhan akan rasa cinta dan kepuasan dalam menjalani hubungan
dengan orang lain, kepuasan dan perasaan memiliki serta dirterima dalam suatu kelompok,

165

rasa kekeluargaan, persahabatan dan kasih sayang (Winardi, 2004). Kebutuhan penghargaan yaitu kebutuhan akan status dan kedudukan, kehormatan diri, reputasi dan prestasi
(Robbins, 1998). Kebutuhan aktualisasi diri mempergunakan potensi diri, pengembangan
diri semaksimal mungkin, kreatifitas, ekspresi diri, dan melakukan apa yang paling cocok,
serta menyelesaikan (Kartono. 2003). Dengan adanya pengakuan dari masyarakat seseorang akan dapat merasakan kepuasan dalam hidupnya.
Proses kebutuhan-kebutuhan yang disebutkan di atas saling tergantung dan saling
menopang. Kebutuhan yang paling rendah tidak hilang jika kebutuhan di atas terpenuhi
begitu selanjutnya senantiasa saling keterkaitan.
Suatu kebutuhan mencapai puncaknya maka kebutuhan tersebut berhenti menjadi
motivasi utama. Kemudian kebutuhan selanjutnya mulai mendominasi, walaupun kebutuhan telah terpuaskan, kebutuhan lain masih mempengaruhi perilaku, namun intensitasnya
lebih kecil karena kebutuhan seseorang saling tergantung satu dengan yang lain. Alderfer
(Thoha. 2003) mengklasifikasikan kebutuhan dasar manusia menjadi tiga hal penting yaitu :
(1) kebutuhan eksistensi diri (existence needs) yang disingkat E. Kebutuhan ini meliputi
kebutuhan fisiologis, rasa aman, (2) kebutuhan keterikatan (relationess needs) yang
disingkat dengan R. Kebutuhan ini berhubungan dengan rasa kebermaknaan dan kepuasan
hubungan sosial. (3) kebutuhan pertumbuhan (growth needs ) yang disingkat dengan G.
Kebutuhan ini mewakili tingkat kebutuhan yang tinggi yaitu penghargaan dan aktualisasi
diri. Teori ini lebih dikenal dengan teori ERG. Pada prinsipnya teori ini mirip dengan teori
hierarkhi kebutuhan Maslow. Kebutuhan eksistensi diri sama dengan kebutuhan fisiologis
dan rasa aman dari Maslow. Kebutuhan keterikatan sama dengan kebutuhan kasih yang

166

atau afiliasi. Kebutuhan pertumbuhan merupakan kebutuhan akan harga diri dan aktualisasi
diri.
Teori motivasi lain yang berkenaan dengan kebutuhan adalah teori berpretasi dari
Mc Clelland (Supardi dan Anwar, 2002). Berdasarkan teori ini kebutuhan dasar manusia itu
diklasifikasi menjadi tiga yaitu: (1) kebutuhan berprestasi, merupakan kebutuhan yang
mendorong manusia untuk berbuat yang lebih baik dari pada orang lain, (2) kebutuhan
afiliasi merupkan kebutuhan untuk bergabung dengan orang lain, dan (3) kebutuhan akan
kekuasaan merupakan kebutuhan untuk menguasai dan mempengaruhi orang lain.
3. Teori Motivasi Berdasarkan Keadilan
Teori motivasi berdasarkan keadilan dikemukakan oleh Porter dan Lawler
( Handoko, 2003) yang mendasarkan pada anggapan bahwa seseorang bersedia melakukan
sesuatu kalau diperlakukan secara adil. Orang yang membandingkan antara masukanmasukan yang diberikan kepada pekerjaanya dalam bentuk pendidikan, pengalaman,
pelatihan dan usahanya dengan kompensasi atau penghargaan yang mereka terima. Orang
juga membandingkan imbalan yang diperoleh orang lain dengan yang diperoleh untuk
dirinya sendiri dalam pekerjaan yang sama. Dengan demikian suatu kewajaran kalau sering
terjadi suatu tindakan unjuk rasa yang dilakukan oleh karyawan, yang disebabkan karena
tidak terpenuhinya rasa keadilan ini.
Menurut Handoko (2003) bahwa teori motivasi berdasarkan keadilan ini didasarkan
pada empat tahap proses pembentukan persepsi keadilan, yaitu: (1) penilaian tehadap diri
sendiri (evaluation of self), (2) penilaian terhadap orang lain (evaluation of others), (3)
perbandingan diri sendiri dengan orang lain (comparison of self with others), dan (4)

167

merasakan keadilan dan ketidak adilan (feeling of equaty on in equity). Proses pembentukan
persepsi keadilan tersebut dapat di uraikan sebagai berikut: (1) individu menilai dirinya
sendiri bagaimana diperlakukan oleh pemimpin, (2) disamping menilai dirinya sendiri,
seseorang juga mengembangkan suatu penilaian, sebagai orang lain diperlakukan oleh
pimpinan. Perbandingan dengan orang lain ini bisa saja dalam organisasi yang sama
ataupun dengan orang lain yang ada pada bagian yang lain dari organisasi tersebut, (3)
setelah menilai perlakukan pimpinan terhadap dirinya sendiri dan perlakuannya terhadap
orang lain seseorang akan membandingkan keduanya. Artinya seorang akan melihat
lingkungannya sendiri dengan menghubungkan dengan situasi dengan orang lain, (4)
Sebagai akibat dari perbandingan itu seseorang akan merasakan keadilan atau
ketidakadilan. Keyakinan tehadap rasa keadilan itu ataupun rasa ketidakadilan itu dalam
memberi penghargaan terhadap seseorang, akan mempengaruhi perilaku yang dilakukan
dalam suatu organisasi. Sudah barang tentu hal ini akan mempengaruhi pencapaian tujuan
organisasi.
4. Teori Motivasi Berdasarkan Kepuasan
Teori motivasi berdasarkan kepuasan ini dikemukakan oleh Herzberg (Supardi dan
Anwar, 2002) yang disebut dengan the motivation higiene theory atau disebut dengan teori
dua faktor. Berdasarkan teori ini, motivasi akan timbul apabila seseorang mendapatkan
kepuasan dalam pekerjaanya. Bukanlah yang menyebabkan seseorang termotivasi untuk
bekerja, akan tetapi karena kebutuhannya terpenuhi, akan memperoleh kepuasan dalam
bekerja. Kepuasan ini yang mendorong seseorang untuk berkerja lebih bergairah dan
bersemangat dalam mencapai tujuan. Kepuasan kerja merupakan refleksi dari motivasi dan

168

produktifitas kerja, sedangan ketidakpuasan merupakan sebaliknya, tidak terdapat motivasi


dan produktifitas kerja (Winardi, 2004). Teori ini terkenal dengan teori dua faktor karena
ada dua faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu motivation factor dan Hygiene
factor (Supardi dan Anwar, 2002). Motivation factor adalah faktor yang dapat
menyebabkan kepuasan (satisfaction). Faktor pendorong merupakan faktor penyebab
kepuasan kerja. Kepuasan kerja merupakan keseluruhan sikap positif seseorang pekerjanya
(Supardi dan Anwar, 2002). Ada lima faktor penyebab kepuasan kerja seseorang yaitu
prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, dan kenaikan pangkat.
Sedangkan faktor penyehat terdiri dari: gaji, peluang untuk berkembang, hubungan dengan
bawahan, hubungan dengan teman pekerja, teknik supervisi, kebijakan dan administrasi,
kondisi kerja, kehidupan pribadi dan kemanan kerja (Herzberg dalam Thoha, 2004).
Faktor pendorong, merupakan faktor yang beroperasi untuk meningkatkan kepuasan
kerja, sedangkan faktor penyehat merupakan faktor yang bekerja untuk menimbulkan
ketidakpuasan kerja (Herzberg dalam Winardi, 2004). Adanya pengurangan dari faktor
pendorong (motivatin factor) tidak mengakibatkan munculmnya ketidakpuasan kerja dan
dilain pihak adanya peningkatan faktor ketidakpuasan dan cenderung untuk mengurangi
ketidakpuasan kerja. Walaupun ada penambahan dalam faktor-faktor ini, ternyata tidak
mendorong kepuasan kerja para karyawan.
Harapan adalah suatu ksesempatan yang diberikan terjadi karena prilaku
mempunyai nilai yang berkisar dari nol yang menunjukan tidak ada kemungkinan bahwa
sesuatu hasil akan mucul sesudah perilaku atau tindakan tertentu, sampai angka positif.
Menunjukan kepastian bahwa hasil tertentu akan mengikuti suatu tindakan perilaku.
Harapan dinyatakan dalam probabilitas persatuan (instrumentality) adalah persepsi dari

169

individu bahwa hasil tingkat pertama akan dihubungkan dengan hasil kedua. Motivasi nilai
besarnya akan mengarah pada semua kekuatan paling besar adalah tindakan yang paling
mungkin

dilakukan.

Kemampuan

adalah

menunjukan

potensi

seseorang

untuk

melaksanakan pekerjaan seseorang, yang berhubugan erat dengan kemampuan fisik dan
mental yang dimiliki orang untuk melaksanakan pekerjaan. Teori harapan menjelaskan
proses di mana orang menentukan pilihan motivasinya atas dasar imbalan yang bakal
diterima, hubungan antara kinerja dan imbalan serta harapan untuk mencapai hasil.
Berdasarkan urain di atas dapat diambil kesimpulan bahwa faktor yang mendorong
seseorang guru untuk melakukan tugas dengan baik, dapat berupa jaminan fisik, jaminan
ekonomi, pengakuan, status, prestasi, dan pengalaman-pengalaman baru. Dengan demikian
timbul kepuasan kerja yang membawa dampak positif kearah tercapainya tujuan bersama
yaitu tujuan sekolah. Motivasi kepemimpinan mengarahkan pada hal-hal yang dilakukan
oleh kepala sekolah dalam mempengaruhi bawahan kearah tercapainya tujuan sekolah.
Dalam mempengaruhi kegiatan ini tidak cukup hanya mengandalkan wibawa yang mereka
miliki, memotivasi kerja guru untuk memeriksa seluruh daya pergerakan atau pendorong
yang menimbulkan adanya keinginan untuk menaklukan kegiatan atau aktifitas dalam
menjalankan tugas sebagai tenaga teknis yang dilakukan secara prima dan sistematis dan
berulang-ulang, kontinyu, dan progesif untuk mencapai tujuan. Tenaga pendorong atau
daya penggerak seperti yang diungkapkan pada teori-teori di atas yaitu: (1) motif
merupakan dorongan dari dalam diri seseorang untuk mencapai tujuan tertentu, (2) harapan
merupakan keyakinan perbuatan akan mencapai tujuan baik secara formal maupun secara
non formal, (3) insentif merupakan keadaan yang membangkitkan kekuatan dinamis
manusia.

170

Mengkaji berbagai teori motivasi sebagaimana yang dikemukakan para ahli tersebut
di atas dalam kontek sekolah adalah tugas kepala sekolah untuk berusaha agar para guru
mempunyai motivasi yang tinggi untuk menjalankan tugas yang diberikan kepada mereka.
Pada hakekatnya tingkah laku manusia merupakan tingkah laku yang sadar tujuan, artinya
tingkah laku yang di dorong oleh keinginan untuk mencapai tujuan yang berguna untuk
kehidupannya. Oleh karena itu peranan motivasi dalam manajemen sangat penting.
Motivasi adalah kemampuan untuk berbuat sesuatu, sedangkan motif adalah kebutuhan,
keinginan, dan dorongan (Hersey & Balnchard, 1978). Motivasi seseorang ditentukan oleh
motifnya. Permaslahannya yang paling penting bagi kepala sekolah adalah bagaimana
dapat menumbuhkan motivasi para guru disekolahnya.
E. Rangkuman
Pengertian motivasi dalam beberapa buku sumber diberikan pengertian secara
berbeda dan beragam sesuai dengan cara pandang dari para penulis. Walaupun demikian
kalau dilacak secara bahasa, maka istilah motivasi berasal dari bahasa latin yakni movere
yang berarti menggerakkan, dorongan atau gejolak, motivasi berasal dari kata motif yang
artinya sebagai daya penggerak, pendorong seseorang untuk melakukan aktifitas tertentu
untuk mencapai suatu tujuan. Ada banyak faktor yang mampu memotivasi para pekerja,
seperti situasi industrial kayawan yang bersangkutan dalam hal bisa lingkungan rumah
tangganya, lingkungan masyarakat, kebutuhan, aspirasi, keinginan. Faktor lainnya yang
digunakan untuk memotivasi kerja adalah uang, karena uang dapat digunakan atau ditukar
dengan barang-barang atau jasa yang bernilai ekonomis, yang dapat memuaskan kebutuhan
fisiologikal dan kebutuhan dasar. Kepala sekolah dalam rangka memotivasi bawahnya atau

171

semua sumberdaya manusia yang ada dalam organisasi sekolahnya seharusnya


mempertimbangkan faktor yang bersifat individual maupun faktor organisasi sekolahnya
agar dapat berhasil memotivasi bawahnyanya. Di sisi lain seorang kepala sekolah harus
mampu mengelola semua material dan fasilitas yang ada di sekolah apakah menyangkut
persoalan keuangan seperti gaji dan kesejahteraan yang lainnya, keamanan dan
kenyamanan dalam melaksanakan pekerjaan, kekompakan dan kerja sama sesama pekerja,
melakukan pengawasan, memberikan pujian dan penghargaan kepada bawahan, dan
menumbuhkan kondisi agar para bawahannya menjadi mencintai pekerjaan itu sendiri.
F.

Evaluasi

1. Jelaskan pengertian motivasi !


2. Jelaskan faktor-faktor dan cara-cara memotivasi !
3. Jelaskan teori-teori motivasi !
4. Jelaskan kepala sekolah sebagai motivator pendidikan !

172

DAFTAR PUSTAKA
Ametembun, N. A. (1975). Supervisi pendidikan penuntun bagi para Pembina kepala sekolah dan guru-guru. Bandung: Karya Remaja.
Ardika, Pt. (2006). Hubungan pemberian motivasi dan lingkungan kerja terhadap kinerja
guru IPS ekonomi SMP Negeri di Kabupaten Jemberana. Tesis Program Pascasarjana pada IKIP Negeri Singaraja tidak dipublikasikan.
Ariasna, K. G. (1998). Kepemimpinan hindu. Surabaya: Paramita.
Atkinson, J.W. (1964). An introduction to motivation. New York: Van Nostrand.
Bafadal, I. (1992). Supervisi pengajaran. Teori dan aplikasinya dalam membina profesional guru. Jakarta: Bumi Aksara.
Bateman, T. S. dan S.A. Snell. (2009). Manajemen kepemimpinan dan kolaborasi dalam
dunia kompetitip. Jakarta: Salemba Empat.
Boardman, dkk (1961). Democratic supervision in secondary schools. Cambridge: Reverside Press.
McClelland, David and William R.King (1992). Managemen : A system approach. New
York : Mc Graw Hill Book Company.
Cogan, M. L. (1973). Clinical supervision. Boston: Houghton Mifflin, Co.
Danim, S. (2002). Inovasi pendidikan, dalam upaya peningkatkan profesionalisme tenaga
kependidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Danim, S. (2005). Menjadi komunitas pembelajar, kepemimpinan transformasional dalam
komunitas organisasi pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Danim, S. (2006). Visi baru manajemen sekolah. Jakarta: Bumi Aksara

173

Dewantara, K. H. (1977). Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.


Depdikbud. (1976). Kurikulum SD tahun 1975. GBPP. Buku IIID. Pedoman administrasi
dan supervisi. Jakarta: PN Bali Pustaka.
Depdikbud. (1986). Kurikulum pedoman pembinaan guru. Jakarta Balitbangdikbud.
Depdikbud. (1993). Kepemimpinan kepala sekolah. Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan
Menengah Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Djamarah, S. B. dan Aswan Z. (2002). Strategi belajar mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Drucker, Feter. F. (1994). Inovasi dan kewiraswastaan, praktek dan dasar-dasar. Jakarta:
Erlangga.
Ellitan L., Lina Anatan. (2009). Manajemen inovasi, transformasi menuju organisasi kelas
dunia. Bandung: Alfabeta.
Flippo, EB. (1986). Personnel mangement. New York: McGraw-Hill.
Glickman, Carl D. (1990). Supervision of instruction: a developmentat approach. Needham
Heights: Allyn and Bacon.
Glickman, Carl D. (1980). Developmental supervision. Alternative practice for helping
teachers improve instruction. Virginia, Alexandria: ASCD.
Handoko, H. T. (2003). Manajemen. Yogyakarta:BPFE
Hariwung, A. J. (1989). Supervisi pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudyaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Hersey, P. dan Ken Blanchard. (1986). Manajemen perilaku organisasi. Jakarta: Erlangga.
Hoy, W.K. and Miskel, C.G. (1987), Educational administration: A system approach to
managing. London: Addisonwesely Publishing Company.
Ibrahim. (1988). Inovasi pendidkan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Tenaga
Kependidikan.
Kartono, K. (2003). Pemimpin dan kepemimpinan. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Komariah, A. Cepi Triatna. (2006). Visionary leadreship menuju sekolah efektif. Jakarta:
Bumi Aksara.

174

Koontz, H., C.O. Donnell., H. Weihrich. ( 1984). Management. McGraw-Hill.


Krajewski, R.J. (1982). Clinical supervison: a conceptual frame work. Journal of research
and development in education. Volume 15. Number 2.
Mahendra, O. (2001). Ajaran hindu tentang kepemimpinan konsep negara dan wiweka.
Jakarta: Swadaya.
Marks, dkk. (1980). Handbook of educational supervision. Boston: Allyn and Bacon Inc.
Mathis, R. L., J.H. Jackson. (2002). Manajemen sumberdaya manusia. Jakarta: Salemba
Empat.
Makmun, A.S. (1996). Pengembangan profesi dan kinerja tenaga kependidikan. Bandung:
Program Pascasarjana IKIP bandung.
Muhadjir, N. (1983). Kepemimpinan adopsi inovasi untuk pembangunan masyarakat.
Yogyakarta: Rake Press.
Mulyasa, E. (2002). Manajemen berbasis sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nawawi, H. (1991). Administrasi pendidikan. Jakarta: CV. Haji Masagung
Ndraha, T. (2003). Budaya organisasi. Jakarta: Rineka Cipta
Neagley, R. L. dan Evans N Dean. (1980). Handbook for effective supervision. Englewood
Cliffs. Nj: Printice Hall.
Pidarta, M. (1986). Pemikiran tentang supervisi pendidikan. Jakarta: Sarana Press.
Pidarta, M. (2004). Pmanajemen pendidikan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Purwanto, N. (1990). Psikologi pendidikan. Bandung: Tarsito.
Raihani. (2010). Kepemimpinan sekolah transformatif. Yogyakarta: LkiS
Rivai, V. (2004). Kepemimpinan perilaku organisasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Robbins, S. (1996). Perilaku organisasi, konsep kontroversi aplikasi. Jakarta: Prenhallindo.
Sahertian, P. A. (2000). Konsep dasar dan teknik supervisi pendidikan dalam rangka pengembangan sumberdaya manusia. Jakarta: PT Rineka Cipta.

175

Sahertian, P. A. dan F. Mataheru (1982). Prinsip dan teknik supervisi pendidikan. Surabaya: Nasional.
Sanusi, A. (1990). Profesionalisme dalam pengelolaan pendidikan nasional. Makalah disampaikan dalam Semlok Pendidikan Nasional. Jakarta: IKIP Jakarta.
Sanusi, A. dkk (1990). Studi pengembangan model pendidikan profesional tenaga pendidikan. Bandung: PPS IKIP Bandung.
Sergiovanni, T. J. (1991). The principalship: a refelective practice perspective. Needham
Height: Alliyn and Bacon.
Siagian, PS. (2004). Teori motivasi dan aplikasi. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Stoner, J. A.F dkk. (2000). Manajemen. Jakarta: PT Prenhallindo
Soetjipto dan Raflis K. (1999). Profesi keguruan. Jakarta: Rineka Cipta.
Soepardi. (1988). Dasar-dasar administrasi pendidikan. Jakarta: P2LPTK.
Suryosubroto. B. (2004). Manajemen pendidikan di sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Sutisna, O. (1993). Administrasi pendidikan : dasar teoritis dan peraktek profesional.
Bandung: Angkasa.
Supriyadi, G. Suradji, D. S. (2001). Kepemimpinan dalam keragaman budaya. Jakarta:
Lembaga Administrasi Negara.
Terry, G. R. (2001). Dasar-dasar manajemen. Jakarta: Bumi Aksara.
Thoha. (1995). Kepemimpinan dalam manajemen. Jakarta: Rajawali.
Tilaar, H.A.R. (1997). Pengembangan sumberdaya manusia dalam era globalisasi, visi,
misi, dan program aksi pendidikan dan pelatihan menuju 2020. Jakarta: Grasindo.
Usman, H. (2006). Manajemen, teori, praktik, dan riset pendidikan. Jakarta: Bumi Akasara.
Wahjosumidjo. (1999). Kepemimpinan kepala sekolah. Jakarta: PT RajaGrafindo.
Waldo, D. (1955). The study of publik administration, New: Doubleday & Co.
Wexley, K.N., G.A. Yukl. (1977). Perilaku organisasi dan psikologi personalia. Jakarta: PT
Bina Aksara.

176

Wijono (1989). Administrasi dan supervisi Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan


dan Kebudyaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Winardi. (1990). Asas-asas manajemen. Bandung: Mandar Maju.
Wiratmadja, A. GK. (1995). Kepemimpinan hindu. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.
Zainun, B. (1987). Organisasi sekolah dan manajemen. Jakarta: Balai Aksara.

.
Toha, M. 2008. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta. PT Raja
Grafinso Persada

177

Uno, HB. (2009). Model Pembelajaran. Jakarta : PT. Bumi Aksara.


Usman, MU. (1994). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Usman MU. (2008). Menjadi Guru Profesional. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Wahjosumidjo, 2002. Kepemimpinan Kepala Sekolah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Wibowo.2007. Manajemen Kinerja. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Winardi, 2004. Manajemen Perilaku Organisasi. Jakarta. Kencana
Yamin, M. (2007) Profesional Guru dan Implementasi. Jakarta : Gaung Persada Press.

178

179

180

Anda mungkin juga menyukai