Makalah Strategic Thinking Learning Organization and Law Enforcement Sektor Kesehatan
Makalah Strategic Thinking Learning Organization and Law Enforcement Sektor Kesehatan
Makalah Strategic Thinking Learning Organization and Law Enforcement Sektor Kesehatan
Oleh :
Christianto A. Y. Lumingkewas
222021110002
Dosen Pembimbing :
PROGRAM PASCASARJANA
2022
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmatnya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Manajemen Pembangunan
Kesehatan Kabupaten Kota” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Administrasi dan Kebijakan Kesehatan oleh dosen Pengampuh pada program studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat Pascasarjana Univeristas Sam Ratulangi Manado Tahun 2022. Selain
itu, tugas ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Administrasi dan Kebijakan
Kesehatan bagi para pembaca dan juga bagi kami mahasiswa.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada dosen yang telah memberikan tugas ini
sehinga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni. Penyusun menyadari, tugas ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ...................................................................................................
KATA PENGANTAR ...................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 3
1.1 Latar Belakang......................................................................................... 4
1.2 Tujuan...................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 6
2.1 Berpikir Strategis .................................................................................... 6
2.1 Learning Organization........................................................................... 12
2.2 Penegakkan Hukum di Sektor Kesehatan.............................................. 20
BAB III KESIMPULAN......... …………………………………………... 25
DAFTAR PUSTAKA ………………………………................................. 26
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan Kesehatan di Indonesia saat ini, seperti dinyatakan dalam Sistem
Kesehatan Nasional, terus mengedepankan upaya kesehatan yang bersifat peningkatan
(promotive), upaya pencegahan (preventif), upaya penyembuhan (kuratif), upaya
pemulihan (rehabilitatif) dengan pemberdayaan dan kemandirian masyarakat sebagai
dasar penyelenggaraannya (Departemen Kesehatan RI, 2009). Kesehatan secara
menyeluruh, terutama dalam pelayanan kesehatan, menjadi tujuan utama. Di era
globalisasi saat ini jasa dan pelayanan kesehatan yaitu rumah sakit perlu ada
peningkatan kualitas mutu. Berdirinya rumah sakit yang bertaraf internasional di
Indonesia merupakan pemicu bagi pengelola rumah sakit Indonesia untuk selalu
menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan. Selain itu, kemudahan akses informasi
pada era teknologi informasi yang berkembang saat ini menjadikan pasien memiliki
pengetahuan yang lebih luas dan akibatnya menuntut penyedia pelayanan kesehatan
prima dalam melakukan pelayanan terhadap pasien. Setiap organisasi termasuk rumah
sakit dituntut melakukan transformasi untuk dapat melaksanakan pembelajaran yang
berkesinambungan (continues learning) dan menciptakan inovasi dengan mengelola
sumber daya yang ada sehingga dapat memiliki keunggulan bersaing. Hal tersebut
dilakukan karena dalam pelayanan terutama dalam rumah sakit saat ini tidak hanya
menyediakan pelayanan penyembuhan namun juga pelayanan pencegahan penyakit
dan juga kegiatan-kegiatan ilmiah kepada masyarakat. Keunggulan bersaing membuat
organisasi dapat bertahan atau bahkan diharapkan memimpin pasar. Untuk mencapai
hal tersebut, organisasi sebaiknya tidak hanya mengelola sumber daya tangible tetapi
juga mengelola pengetahuan sebagai sumber daya intangible untuk menciptakan
inovasi. Dengan cara melakukan learning organization serta berpikir strategis untuk
memahami kebutuhan masyarakat. Sehingga saat ini dibutuhkan perubahan paradigma
dari resources-based competitiveness menjadi knowledge-based competitiveness yang
mengutamakan pengetahuan dan proses pembelajaran sebagai keunggulan kompetitif.
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis dapat merumuskan apa saja yang akan
dibahas dalam makalah ini, yaitu :
1. Bagaimana berpikir strategi dalam pelayanan kesehatan?
2. Bagaimana learning organization dalam pelayanan kesehatan ?
3. Bagaimana penegakkan hukum dalam pelayanan di Indonesia ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang dipaparkan di atas, tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk menjelaskan bagaimana berpikir strategi dalam pelayanan kesehatan
2. Untuk menjelaskan bagaimana penerapan learning organization dalam pelayanan
kesehatan.
3. Untuk penegakkan hukum dalam pelayanan di Indonesia.
5
BAB II
A. Berpikir Strategis
Berpikir strategis dapat dipergunakan untuk menghubungkan antara penafsiran
keadaan dengan tindakan yang akan dilakukan oleh organisasi. Duncan dkk (1995),
Truitt (2002), dan Katsioloudes (2002) menggambarkan manajemen/berpikir strategis
sebagai langkah-langkah para pemimpin organisasi melakukan berbagai kegiatan
secara sistematis. Langkah-langkah tersebut antara lain melakukan analisis lingkungan
organisasi yang memberi gambaran mengenai peluang dan ancaman. Kemudian
langkah berikutnya melakukan analisis kekuatan dan kelemahan organisasi dalam
konteks lingkungan internal. Kedua langkah ini dilakukan dalam usaha menetapkan
visi, misi, dan tujuan organisasi.
6
pemikiran rasional. Strategi sebenarnya merupakan hal alamiah bagi lembaga yang
mempunyai konsep survival (bertahan dan berkembang).
Para manajer rumah sakit menyadari berbagai kondisi yang dapat mengurangi atau
meningkatkan perkembangan rumah sakit. Sedangkan para klinisi cenderung tidak
melihat perkembangan rumah sakit daerah sebagai hal yang penting.
Ketidaksepakatan dalam rumah sakit akhirnya mengakibatkan rumah sakit kehilangan
kontrol atas perkembangannya. Akibat kehilangan kontrol atas perkembangan
menyebabkan rumah sakit mengalami penurunan daya saing. Kemudian, muncul
fenomena yang disebut sebagai bulgurisasi rumah sakit pemerintah. Berdasarkan pada
kenyataan bahwa rumah sakit pemerintah sebagai lembaga yang tidak mempunyai daya
saing. Hanya diminati oleh masyarakat miskin yang tidak mempunyai pilihan. Posisi
7
bersaing untuk mendapatkan pasien kelas menengah ke atas tidak ada. Sementara itu,
subsidi rumah sakit pemerintah sangat kecil sehingga tidak mampu mengikat para staf
rumah sakit untuk bekerja secara penuh waktu. Pada gilirannya akan menyebabkan
fasilitas penunjang serta fisik berada dalam kondisi buruk. Mutu pelayanan rumah sakit
menjadi rendah dan rumah sakit hanya diminati oleh masyarakat miskin yang tidak
mempunyai pilihan lain. Pada saat masyarakat miskin meningkat pendapatannya, maka
pelayanan rumah sakit pemerintah yang bermutu rendah akan ditinggalkan. Dalam
situasi ini filosofi manajemen strategis dapat dipergunakan untuk menghindarkan
rumah sakit pemerintah dari keterpurukan sebagai lembaga jasa yang inferior.
8
yang sering sulit dikuantifikasi;
4. lembaga nonprofit pada dasarnya juga mempunyai persaingan dengan
lembaga for profit.
Pada intinya manajemen strategis rumah sakit ditulang punggungi oleh suatu
model perencanaan strategis rumah sakit, diikuti dengan pelaksanaan dan pengendalian
yang tepat. Model perencanaan strategis menekankan persoalan visi dan analisis faktor-
faktor eksternal dan internal yang dapat mempengaruhi tercapainya tujuan lembaga.
Faktor-faktor internal tersebut dapat menunjukkan kekuatan dan kelemahan lembaga,
sedangkan analisis faktor eksternal dapat menggambarkan hambatan dan dorongan dari
luar lembaga.
Misi organisasi sebaiknya menggambarkan tugas, cakupan tindakan yang
dilakukan, kelompok masyarakat yang menjadi tujuan kegiatan, pasar yang harus
dipuaskan dan nilainya. Dirinci sebagai pernyataan definitif mengenai tujuan yang akan
dicapai.
Visi tidak hanya sebuah ide, tetapi sebuah gambaran mengenai masa depan yang
berpijak pada masa sekarang menghimbau dengan dasar logika dan naluri secara
bersama-sama. Visi mempunyai nalar dan memberi ilham. Secara garis besar
lingkungan eksternal dapat dibagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama yaitu lingkungan jauh yang secara langsung atau tidak
langsung mempengaruhi usaha untuk mencapai tujuan.
Lingkungan kedua yaitu lingkungan dekat dan operasional rumah sakit. arah
pengembangan pemerintah daerah dalam era desentralisasi, badan- badan/ institusi yang
melakukan akreditasi terhadap rumah sakit, tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan
rumah sakit, persaingan antarrumah sakit dan lain-lain.
Analisis eksternal dan internal secara bersama akan dikombinasikan sehingga
menghasilkan analisis SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunity, and Threat). Hasil
analisis SWOT akan digunakan untuk melakukan penetapan isu-isu pengembangan
yang akan dipergunakan untuk menyusun Perumusan Strategi. dapat pula dipergunakan
untuk merubah visi dan misi yang sudah ditetapkan. Selajutnya adalah menetapkan
strategi. Ketepatan dalam menetapkan strategi merupakan awal dari suksesnya
pengembangan rumah sakit.
Langkah selanjutnya (langkah ketiga) adalah menetapkan strategi, pada intinya
strategi yang ditetapkan menunjukkan integrasi keputusan untuk mencapai tujuan
organisasi, alokasi sumber daya dan prospek keberhasilan dalam kompetisi. Setelah
9
menetapkan strategi di level rumah sakit dan usaha, kemudian dilakukan perencanaan
jangka menengah-panjang (sekitar 3 sampai dengan 5 tahun). Setelah itu dilakukan
perencanaan tahunan.
Penerapan strategi (langkah keempat) adalah proses penterjemahan strategi
menjadi tindakan dan hasil. Untuk menjalankan strategi, bagaimana dukungan
fasilitas fisik dan peralatan rumah sakit, bagaimana mengembangkan budaya
organisasi sehingga dapat mendukung tercapainya visi dan terselenggaranya misi
dengan efektif tanpa banyak konflik yang merugikan.
Langkah kelima adalah pengendalian strategi. Penggunaan sistem indikator
kinerja merupakan bagian dari proses pengendalian sebuah lembaga.
Manajemen strategis merupakan cara berpikir dan berperilaku untuk
mencapai perubahan. manajemen strategis merupakan konsep yang pelaksanaannya
bersifat berkeseinambungan dan terus-menerus. Secara sistematis, manajemen
strategis merupakan kerangka kerja untuk berbagai fase manajemen. M anajemen
strategis merupakan konsep yang pelaksanaannya bersifat berkeseinambungan dan
terus-menerus. Secara sistematis, manajemen strategis merupakan kerangka kerja
untuk berbagai fase manajemen :
1. Pertama, adanya komitmen untuk melakukan perubahan agar rumah sakit dapat
berkembang dalam persaingan usaha pelayanan kesehatan.
2. Kedua, harus ada paradigma yang tepat sebagai dasar penggunaan manajemen strategis.
3. Ketiga, adanya manajer strategi yang mempunyai jiwa kepemimpinan. Mereka adalah
orang-orang yang memegang tanggung jawab untuk kinerja keseluruhan rumah sakit
atau untuk unit usaha strategis, atau unit pendukung. Kriteria manajer strategi adalah
mempunyai leadership (Vision, Beliefs, and Courage) dan terampil secara manajerial.
4. Faktor penting keempat adalah konsistensi berbagai tahapan di atas
10
Pada intinya manajemen strategis rumah sakit ditulang punggungi oleh suatu
model perencanaan strategis rumah sakit, diikuti dengan pelaksanaan dan
pengendalian yang tepat. Model perencanaan strategis menekankan persoalan visi
dan analisis faktor-faktor eksternal dan internal. Faktor-faktor internal tersebut dapat
menunjukkan kekuatan dan kelemahan lembaga, sedangkan analisis faktor
eksternal dapat menggambarkan hambatan dan dorongan dari luar lembaga.
Langkah pertama adalah melakukan analisis trend dan persiapan penyusunan
dengan cara memahami dinamika lingkungan serta faktor- faktor eksternal dan
internal yang ada harus dianalisis untuk menyusun strategi di masa mendatang.
Langkah kedua dalam menggunakan manajemen strategis adalah melakukan
diagnosis rumah sakit. Sebelum melakukan proses manajemen strategis, beberapa
hal perlu dilakukan. Beberapa hal penting dalam diagnosis kelembagaan yaitu
keterkaitan antara visi, misi, analisis eksternal dan internal, serta isu- isu
pengembangan. Hubungan antar berbagai hal ini perlu dilakukan dalam pola
berpikir menyeluruh.
langkah ketiga yaitu menetapkan strategi. Ketepatan dalam menetapkan strategi
merupakan awal dari suksesnya pengembangan rumah sakit. Dalam hal ini akan
ditemukan penetapan strategi tingkatan rumah sakit dan strategi unit-unit usahanya.
Pada intinya strategi yang ditetapkan menunjukkan integrasi keputusan untuk mencapai
tujuan organisasi, alokasi sumber daya dan prospek keberhasilan dalam kompetisi.
Penerapan strategi (langkah keempat) adalah proses penterjemahan strategi
menjadi tindakan dan hasil. Pada intinya pelaksanaan strategi akan mencakup
pelaksanaan pada level rumah sakit secara keseluruhan, unit- unit usaha, dan pada unit-
unit pendukung
Langkah kelima adalah pengendalian strategi. Pengendalian ini merupakan
proses penentuan apakah strategi telah mencapai tujuannya, mendekati tujuan, atau
gagal mencapai tujuan.
Dengan melihat fase-fase seperti tersebut di atas ada berbagai sifat manajemen
strategis (Koteen,1997). Manajemen strategis berorientasi ke masa depan. Keputusan
yang dilakukan pada masa ini selalu mempunyai implikasi untuk masa mendatang.
Implikasi ini harus diperhitungkan dalam bentuk berbagai alternatif tindakan.
Manajemen strategis merupakan cara berpikir dan berperilaku untuk mencapai
perubahan. manajemen strategis merupakan konsep yang pelaksanaannya bersifat
berkeseinambungan dan terus-menerus dengan melihat sifat-sifat manajemen strategis,
11
dapat disebutkan berbagai kebutuhan dasar agar manajemen strategis dapat
dipergunakan di rumah sakit. Dengan melihat sifat-sifat manajemen strategis, dapat
disebutkan berbagai kebutuhan dasar agar manajemen strategis dapat dipergunakan di
rumah sakit. Pertama, adanya komitmen untuk melakukan perubahan agar rumah sakit
dapat berkembang dalam persaingan usaha pelayanan kesehatan. Kedua, harus ada
paradigma yang tepat sebagai dasar penggunaan manajemen strategis. Ketiga, adanya
manajer strategi yang mempunyai jiwa kepemimpinan. Mereka adalah orang-orang
yang memegang tanggung jawab untuk kinerja keseluruhan rumah sakit atau untuk unit
usaha strategis, atau unit pendukung. Faktor penting keempat adalah konsistensi
berbagai tahapan di atas
12
juga dijelaskan bahwa organisasi pembelajar merupakan wadah bagi orang-orang yang
terus menerus meningkatkan kapasitasnya untuk menciptakan hasil yang benar-benar
diharapkan. Idealnya Peter Senge, memandang organisasi pembelajar sebagai
organisasi: (i) dimana orang-orang secara terus-menerus mengembang kapasitasnya
untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar mereka inginkan, (ii) dimana pola pikir
baru dan luas dipelihara, (iii) dimana aspirasi kolektif diperbolehkan, serta (iv) dimana
orang secara terus-menerus belajar untuk bersama-sama melihat secara keseluruhan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Senge menyarankan penggunaan 5 komponen
teknologi, yaitu: berpikir sistem, penguasaan pribadi, model mental, visi bersama dan
pembelajaran tim.
13
depan. Harapan dan cita-cita yang dikemas dalam sebuah visi pribadi akan
menggerakkan semangat dan mengembangkan kesadaran dalam melihat realitas
lingkungan sosial organisasi secara obyektif.
3. Model Mental (Mentals Model) Asumsi asumsi dasar yang melekat merupakan
citra yang berpengaruh bagi anggota organisasi dalam memahami berbagai
fenomena. Model mental merupakan pemikiran atau gambaran internal seseorang
yang dipegang secaramendalam mengenai bagaimana 11 lingkungan disekitarnya
bekerja atau suatu gambaran yang melatarbelakangi seseorang dalam bertindak
dan berpikir tentang berbagai hal.
4. berbagi visi (shared vision). Keterampilan untuk menggali gambaran masa depan
organisasi secara bersama-sama akan menumbuhkan komitmen sejati dan
kesadaran diri anggotanya. Dengan membangun visi bersama maka akan
menimbulkan semangat anggota organisasi atas masa depan yang diciptakan
bersama sehingga muncul motivasi kuat dari dalam dan akhirnya secara sukarela
memberikan kontribusi yang terbaik untuk organisasi. Dalam membangun dan
mengembangkan menjadi organisasi pembelajar dibutuhkan sinkronisasi antara
visi pribadi dan visi organisasi.
5. Pembelajaran Kelompok (team learning) Kemampuan anggota organisasi untuk
menahan atau mengesampingkan asumsi-asumsi pribadi agar bebas berpikir
bersama-sama sebagai suatu sistem organisasi. Disiplin kelima ini membutuhkan
partisipasi dan perasaan saling membutuhkan satu sama lain agar dapat bertindak
sesuai dengan rencana yang telah disepakati bersama.
1. Today’s problem come from yesterday’s “solutions”. Masalah yang dihadapai hari
ini dari pemecahan masalah di masa lalu, yang mungkin tidak disadari karena
pencipta pemecahan masalah di masa lalu bukan yang kini menghadapinya. Dan
pemecahan masalah hari ini akan mewariskan masalah baru di masa mendatang.
Peritiwa masa lalu, masa kin dan masa depan berada dalam satu sistem.
2. The harder you push, the harder the systems pushes back. Organisasi adalah
sebuah complex, living, adaptive system yang bereaksi terhadap sesuatu aksi dari
14
luar. Kian besar tekanan dari luar tersebut, kian kuat organisasi akan melawannya.
Karena itu, penerapan suatu gagasan baru harus didahului dengan sosialisasinya
seluas mungkin.
3. Behavior grows bette before it grows worse. Perilaku didalam organisasi
cenderung membaik sebelum menjadi buruk. Sebabnya ialah, karena tindakan
yang ditujukan kepada gejala, yang menghasilkan perbaikan sementara, tetapi
karena akar masalah belum diatasi, keadaan kemudian menajdi lebih buruk.
4. The easy way out usually leads back in. cara memecahkan masalah dengan
memilih jalan yang mudah, yang idtujukan pada penganggulangan gejala dalam
jangka pendek, biasanya akan menjadi penyebab yang membersarkan masalah di
masa depan.
5. The cure can be worse than the disease. Pemecahan masalah dapat lebih mahal
disbanding dengan masalahnya sendiri. Pemecahan masalah yang ditujukan
kepada gejala, bukan akar masalah, akan mengakibatkan kebutuhan yang
meningkat untuk pemecahan gehala tersebut.
6. Faste is lower. Cepat bertindak dapat memperlambat pemecahan masalah, karena
hanya ditujukan pada gejala permukaan.
7. Cause and effect are not closely realted in time and space. sebab dan akibat tidak
jelas tampak pada dimensi waktu dan tempat.
8. Small changes can produce big big results – but the areas of highest leverage are
often the least obvious. Perubahan yang kecil dapat berdaya ungkin yang besar,
tetapu daerah sasaran mana perbaikan tersebut diarahkan, seiring adalah yang
paling tidak jelas.
9. You can have your cake and eat it too – but not at once. Anda dapat
“mempertahankan kue anda dan memakananya”, tetapu tidak pada saat yang
sama. Misalnya, peningkatan kinerja kerja rumah sakit akan menghabiskan
banyak energi sekarang, tetapu dalam jangka panjang energi yang digunakan
semakin berkurang
10. Dividing an elephant in half does not produce two small elephants. Membelah
seekor gajah menjadi dua bagian tidak menghasilkan dua gaja kecil. Misalnya,
melihat masalah posyandu dari sudut pandang yang sempit menyebabkan orang
kehilangan pandangan yang menyeluruh. Sesuatu masalah menjadi sebab dan
akibat dari masalah lainnya di dalam suatu sistem.
15
11. There is no blame. Tidak ada pihak yang dipersalahkan, karena setiap pihak
berada dalam satu sistem yang menyeluruh. Tidak ada gunanya mencari ”kambing
hitam:, melainkan mencari masalah dan akar masalah untuk di pecahkan bersama-
sama didalam satu sistem
17
Era globalisasi saat ini telah merambah ke seluruh sektor salah satunya juga
sektor jasa dan pelayanan kesehatan yaitu rumah sakit. Berdirinya rumah sakit yang
bertaraf internasional di Indonesia merupakan pemicu bagi pengelola rumah sakit
Indonesia untuk selalu menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan. Selain itu,
kemudahan akses informasi pada era teknologi informasi yang berkembang saat ini
menjadikan pasien memiliki pengetahuan yang lebih luas dan akibatnya menuntut
penyedia pelayanan kesehatan prima dalam melakukan pelayanan terhadap pasien.
Setiap organisasi termasuk rumah sakit dituntut melakukan transformasi untuk dapat
melaksanakan pembelajaran yang berkesinambungan (continues learning) dan
menciptakan inovasi dengan mengelola sumber daya yang ada sehingga dapat
memiliki keunggulan bersaing. Hal tersebut dilakukan karena rumah sakit sekarang
ini tidak hanya menyediakan pelayanan penyembuhan namun juga pelayanan
pencegahan penyakit dan juga kegiatan-kegiatan ilmiah kepada masyarakat.
Keunggulan bersaing membuat organisasi dapat bertahan atau bahkan diharapkan
memimpin pasar. Untuk mencapai hal tersebut, organisasi sebaiknya tidak hanya
mengelola sumber daya tangible tetapi juga mengelola pengetahuan sebagai sumber
daya intangible untuk menciptakan inovasi. Seperti yang dikemukakan oleh
Marquardt (2002) bahwa banyak organisasi yang saat ini menyadari hal yang sangat
penting adalah menjadi Learning Organisation (organisasi pembelajar), mereka
harus belajar untuk lebih baik dan lebih cepat atau mereka akan mati (bangkrut).
Berdasarkan hal tersebut maka dibutuhkan perubahan paradigma dari
“resources-based competitiveness” menjadi “knowledge-
based competitiveness” yang mengutamakan pengetahuan dan proses pembelajaran
sebagai keunggulan kompetitif. Hal lain dikemukakan oleh de Geus yang dikutip dari
Tjakraatmadja dan Lantu (2006) menuturkan bahwa penyebab pendeknya umur
perusahaan, terutama karena perusahaan tersebut tidak mampu belajar atau tidak
mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan zaman, sehingga
mengecewakan konsumen, dan pada akhirnya “mati” karena kehilangan pasar atau
tutup karena ditolak oleh masyarakat dan lingkungannya. Apabila dahulu organisasi
lebih konsentrasi untuk mencari cara agar dapat out-do (bertindak dengan lebih baik),
saat ini organisasi sibuk mencari cara untuk dapat out-know (mempunyai strategi
pengetahuan yang lebih baik dibandingkan perusahaan lain). Oleh karena itu dengan
pengetahuan dan teknologi tersebut organisasi akan mengetahui bagaimana cara agar
mengelola sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan dengan lebih baik. Pentingnya
18
melaksanakan pembelajaran yang berkesinambungan, dipengaruhi oleh banyaknya
perubahan-perubahan yang terjadi dengan cepat dan sulit diprediksi pada lingkungan
eksternal organisasi. Berdasarkan hal tersebut maka organisasi perlu bertindak adaptif
yang diwujudkan dengan kemampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu,
mengetahui pengetahuan tentang sumber daya manusia ataupun konsumen, dapat
menyelesaikan permasalahan, memiliki sumber daya manusia yang dapat
membagikan pengetahuan dan pengalamannya terhadap partner kerja ataupun pada
perusahaan tempatnya bekerja, pada akhirnya akan menghasilkan inovasi. Hal-hal
tersebut dapat dilakukan berkelanjutan hingga pada akhirnya akan menjadi budaya
sebuah organisasi yang membuat perusahaan tersebut terbentuk menjadi learning
organization (organisasi pembelajar) yang menggunakan pengetahuan sebagai
sumber daya utama untuk bersaing. Perusahaan yang memiliki budaya pembelajaran
inilah yang akan mampu bertahan dan untuk lebih baik lagi menjadi trend setter di
dunia bisnis. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Tjakraatmadja dan Lantu (2006),
bahwa organisasi akan dapat diselamatkan dari kebangkrutan jika setiap anggota
organiasi tersebut mau dan mampu membekali dirinya masing-masing untuk mampu
beradaptasi dengan tuntutan perubahan, dan organisasi seperti ini disebut sebagai
organisasi pembelajar.
Apabila pelayanan kesehatan ingin memberikan perbaikan yang diharapkan,
maka harus belajar dan berkembang, serta mendukung sumber daya manusia yang ada
pada organisasi tersebut. Rumah sakit merupakan salah satu organisasi yang
menyediakan jasa pelayanan kesehatan sering dinilai memiliki kompleksitas yang
tinggi. Rumah sakit mengelola perubahan terus menerus dari berbagai jenis, yaitu;
perubahan dalam hubungan antara praktisi medis dan paramedis kepada pasien
mereka atau klien, perubahan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan
kedokteran ataupun keperawatan serta penunjang medis, perubahan sifat tenaga kerja
seperti peran-peran baru serta pergeseran tanggung jawab dalam tim klinis. Selain itu
pada rumah sakit terdapat cara yang sangat variatif oleh masing-masing karakter
sumber daya manusia di rumah sakit dalam menyelesaikan tugas ataupun masalah
medis sesuai dengan kompetensi yang dimiliki oleh praktisi.
Mutu pelayanan rumah sakit sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
yang paling dominan adalah sumber daya manusia yang merupakan aset utama rumah sakit
yang memberikan kontribusi dalam pencapaian tujuan perusahaan. Hal ini dilakukan secara
sinergis oleh tenaga medis (dokter), paramedis (perawat dan bidan), serta non medis
19
(manajemen, penunjang medis dan administratif). Tenaga medis dan paramedis secara
langsung berinteraksi dengan pasien dalam melaksanakan tanggung jawabnya, begitu juga
dengan beberapa bagian administratif (seperti front liner).
Rumah sakit dalam menjalankan fungsinya diharapkan senantiasa memperhatikan
fungsi sosial dalam memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Keberhasilan rumah
sakit dalam menjalankan fungsinya ditandai dengan adanya mutu pelayanan prima. Tidak
adanya tindakan yang mengantisipasi ancaman eksternal dan internal persaingan rumah sakit
dapat menyebabkan menurunnya minat pasien untuk datang atau profesional medis serta
rumah sakit lain untuk merujuk pasien ke RS tersebut.
20
Merupakan tanggung jawab seorang dokter untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang maksimal kepada seorang pasien, karena pasien sangatlah bergantung
pada kepandaian dokter untuk menyembuhkan penyakitnya. Dengan adanya Undang-
Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran maka diharapkan mampu
menjamin kebutuhan masyarakat akan kesehatan sebagai hak asasi manusia dalam
kaitannya dengan upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh praktisi di bidang
kedokteran. Karena dalam UU ini dicantumkan tentang kewajiban-kewajiban seorang
dokter yang terdapat dalam Pasal 51 yang berbunyi:
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian
yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan;
Tindak pidana di bidang kesehatan atau dikenal juga dengan tindakan medik
merupakan kesalahan pengambilan tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis
profesional maupun tenaga medis amatir baik disengaja atau tidak disengaja atau
21
dokter (tenaga medis) tersebut melakukan praktik yang buruk. Terdapat 4 (empat) hal
penting yang berkaitan dengan kejadian malpraktik tersebut, yakni:
1. Adanya kegagalan tenaga medis untuk melakukan tata laksana sesuai standar
terhadap pasien. Standar yang dimaksud mengacu pada standar prosedur
operasional yang ditetapkan.
2. Kurangnya ketrampilan para tenaga medis
3. Adanya faktor pengabaian.
4. Adanya cidera yang merupakan akibat salah satu dari ketiga faktor tersebut di
atas.
Standar prosedur operasional haruslah diikuti oleh seorang tenaga medis agar
tindakan medis yang dilakukannya tidak tergolong sebagai tindak pidana. Adapun
standar tersebut dikenal juga dengan standar profesi kedokteran.
Pasal 24 ayat (1) UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menentukan
bahwa dalam melakukan tugasnya, tenaga kesehatan berkewajiban mematuhi
standar profesi dan menghormati hak-hak pasien. Dokter yang merupakan tenaga
kesehatan termasuk dalam kelompok sebagaimana yang ditentukan dalam penjelasan
ketentuan tersebut. Salah satu bentuk kegiatan dokter dalam melaksanakan profesinya
adalah melakukan tindakan medis.
Standar profesi tersebut berlaku sebagai pedoman yang harus digunakan dalam
melaksanakan profesi secara baik dan benar. Apabila dokter melakukan kelalaian
atau pelanggaran terhadap standar profesi medik dalam melaksanakan profesinya dan
akibat dari kelalaian itu menimbulkan kerugian bagi pasien atau keluarganya, pasien
berhak untuk memperoleh ganti rugi sesuai dengan ketentuan Pasal 58 UU No. 36
tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi:
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap sesesorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggaraan kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat
kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelematan nyawa atau
pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada
ayat
22
Penanganan terhadap masalah yang diduga malpraktek, Mahkamah agung
melalui Surat Edarannya (SEMA) tahun 1982 telah memberi arahan kepada aparat
Hakim, bahwa penanganan terhadap kasus dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang
diduga melakukan kelalaian atau kesalahan dalam melakukan tindakan atau
pelayanan medis, agar jangan langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi
dimintakan dulu pendapat dari Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Peran
MKEK ini dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jo.
Keppres Nomor 56 Tahun 1995 Tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan
(MDTK), diberi kewenangan untuk menentukan ada tidaknya kelalaian atau
kesalahan dokter. MDTK diharapkan lebih obyektif pendapatnya karena lembaga ini
bersifat otonom, mandiri dan non struktural yang beranggotakan unsur-unsur dari
Ahli Hukum, Ahli Kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologio dan Ahli Sosiologi.
Pasal-pasal yang berisi sanksi pidana terdapat pada Pasal 75 sampai dengan
Pasal 80, namun yang berkaitan langsung dengan profesi medis terdapat pada Pasal
79 huruf c yang berbunyi sebagai berikut: “Dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang: dengan sengaja tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, atau huruf e”.
23
Ketentuan Pasal 51 tersebut merupakan ketentuan terhadap kewajiban
kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang dokter atau dokter gigi dalam
melaksanakan praktek kedokteran, manakala kewajiban ini tidak ditaati maka
berakibat sanksi pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 79 UU No. 29 Tahun
2004.
Pasal 51 UU No. 29 Tahun 2004 berbunyi sebagai berikut: “Dokter atau dokter gigi
dalam melaksanakan praktek kedokteran mempunyai kewajiban:
a. memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan
atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin
ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.
Manakala kewajiban-kewajiban sebagaimana tercantum pada Pasal 51 di atas
tersebut tidak dilakukan, maka dokter atau dokter gigi terancam pidana sebagaimana
diatur pada Pasal 79 huruf c seperti yang sudah disebutkan
Beberapa pasal yang tercantum dalam KUHP dapat dikenakan dalam kasus
malpraktek yaitu yang berkaitan dengan kesengajaan dan kealpaan/kelalaian. Di
dalam KUHP, pasal-pasal tersebut dapat dipakai oleh pasien atau keluarganya untuk
menuntut dokter atas malpraktek medik yang diduga telah dilakukannya.
Pasal-pasal yang berkaitan dengan ‘kesengajaan’ misalnya:
1. Pasal 267 KUHP, tentang surat keterangan palsu.
Dalam praktek, begitu mudahnya seorang dokter memberikan surat keterangan sehat
kepada seseorang walaupun tanpa melalui pemeriksaan dalam atau laboratorium atau
pemeriksaan pendukung lainnya. Hal semacam ini sudah termasuk kategori membuat
surat keterangan palsu manakala seseorang yang dibuatkan surat sehat tersebut ternyata
mengidap penyakit dalam yang tidak terdeteksi hanya dengan sekedar melakukan
pemeriksaan luar.
2. Pasal 294 ayat (2) KUHP, tentang perbuatan cabul.
24
Khusus untuk dokter yang disangka melakukan malpraktek medik, maka unsur dari Pasal
294 ayat (2) KUHP yang dapat digunakan adalah tentang perbuatan cabul dengan
pasiennya. Karena dapat saja terjadi seorang dokter yang sedang memeriksa pasiennya di
ruangan tertutup, terangsang dan melakukan perbuatan cabul seperti mencium, meraba-
raba atau bahkan menyetubuhi.
3. Pasal 304 dan Pasal 531 KUHP, tentang membiarkan seseorang yang seharusnya
ditolong.
Sebagai sebuah profesi, maka dokter memiliki kewajiban hukum untuk selalu
memberikan pertolongan terhadap orang yang menderita sakit. Maka apabila ternyata
seorang dokter mengetahui ada orang yang sedang menderita sakit namun tidak
melakukan pertolongan berupa perawatan, maka dokter dapat dikenakan dan dituntut
dengan kedua pasal tersebut di atas.
4. Pasal 322 KUHP, tentang pelanggaran rahasia oleh dokter.
Kewajiban menyimpan rahasia jabatan seperti dimaksudkan Pasal 322 KUHP ini tidak
khusus diperuntukkan hanya untuk dokter semata, tetapi untuk semua profesi yang
diwajibkan hukum. Khusus untuk dokter ini, kewajiban tersebut diatur juga dalam UU
No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran yang mulai efektif berlaku sejak 6
Oktober 2005 yaitu dalam Pasal 51 huruf c yang berbunyi: “merahasiakan segala
sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal
dunia”.
5. Pasal 299, 346, 347, 348 dan 349 KUHP, tentang melakukan perbuatan
abortus atau membantu melakukan abortus.
Pasal-pasal di atas berkaitan dengan upaya abortus criminalis atau upaya
menggugurkan kandungan tanpa adanya indikasi medis (abortus medicalis).
Abortus medicalis ini dibenarkan oleh hukum, dengan pertimbangan bahwa
kehamilan seorang ibu akan mengakibatkan bahaya bagi keselamatan jiwanya
atau bayinya, maka dokter memutuskan lebih memilih keselamatan ibunya dan
mengorbankan bayinya. Permasalahan yang mungkin akan muncul adalah
dengan semakin majunya teknologi kedokteran, maka akan diketahui lebih dini
bahwa janin dalam kandungan ibu pertumbuhannya tidak sempurna atau cacat
misalnya, bolehkah dengan alasan itu dokter menggugurkan bayi yang ada dalam
kandungan si ibu? Tindakan abortus criminalis, merupakan perbuatan pidana dan
diancam dengan pidana sebagaimana tercantum dalam KUHP.
6. Pasal 344 dan 345 KUHP, tentang euthanasia.
Pasal-pasal ini berkaitan dengan pertolongan membunuh diri atau dalam istilah
25
kedokteran ‘euthanasia’. Euthanasia ini berkaitan dengan profesi dokter,
karena sakit pasien yang tak mungkin lagi sembuh, atau sakit yang terus
menerus, atau terlalu berat beban biaya pengobatannya di rumah sakit sehingga
baik pasien itu sendiri atau atas permintaan keluarganya minta agar disuntik
mati saja. Hal semacam ini dalam sistem hukum Indonesia masih masuk kategori
terlarang atau tidak dibenarkan. Hanya saja dalam prakteknya sering juga terjadi
euthanasia dalam arti yang pasif, yaitu apabila menurut keadaannya pasien
harus dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu oksigen, infus,
cuci darah misalnya, karena sudah tidak sanggup lagi membayar biaya rumah
sakit maka keluarganya memaksa untuk pulang tanpa perawatan dokter.
Penghilangan jiwa pasien dengan sengaja apapun alasannya tetap tidak dapat
dibenarkan oleh hukum.
26
dapat dituntut secara hukum.
BAB III
Kesimpulan
27
kesengajaan dan kealpaan atau kelalaian yang diatur dalam KUHP dan UU No. 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran serta UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Pasal-pasal yang ada dalam KUHP adalah: Pasal 267, 294 ayat (2), Pasal
304, Pasal 531, Pasal 322, Pasal 299, Pasal 346 – Pasal 349, Pasal 344 dan Pasal 345
tentang ‘kesengajaan’ dan Pasal 359, Pasal 360 serta Pasal 361 tentang ‘kealpaan atau
kelalaian’; sedangkan pasal-pasal dalam UU No. 29 Tahun 2004 adalah: Pasal 79
huruf ‘c’ yang menunjuk pada Pasal 51 yang berisikan kewajiban-kewajiban yang harus
dilakukan oleh seorang dokter dan Pasal 192 sampai dengan Pasal 199 UU No. 36
Tahun 2009.
Daftar Pustaka
28
5. Kabul, L. M. (2016). Organisasi Pembelajaran: Teori dan Realita. Journal
Ilmiah Rinjani: Media Informasi Ilmiah Universitas Gunung Rinjani, 3(1),
109-115.
6. Maguni,W (2014). Manajemen Organisasi Pembelajaran dan Kepemimpinan.
Jurnal Al-Ta’dib. Vol. 7 No.1 Januari-Juni
7. Senge, Peter M (1996). Fifth Discipline. Binarupa Aksara. Edisi Bahasa
Indonesia
8. Maramis Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013
9. Marchel R. Maramis. (2017). Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Oleh Tenaga
Kesehatan yang Dapat Diakenakan Sanksi Pidana Denda. Lex et Societatis,
5(4), 951-952
29