Anda di halaman 1dari 16

SARI PUSTAKA

Kepada Yth. Dr. Gusti Gede S, Sp.M

INTERMITTENT EXOTROPIA

Disusun oleh

Amania Fairuzia
(Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Tahap II)

Departemen Ilmu Penyakit Mata


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta

PENDAHULUAN
Intermiten eksotropia adalah eksoforia yang secara intermiten akan bermanifestasi
menjadi eksotropia.1 Intermiten eksotropia merupakan bentuk eksotropia yang paling
banyak terjadi pada anak

2,3,4

dan pada beberapa populasi lebih sering ditemukan

daripada esotropia.4 Menurut Hutchinson, intermiten eksotropia ditemukan


pada hampir 1 % dari populasi umum. 5

Studi populasi di USA

menyatakan bahwa intermiten eksotropia terjadi pada 1 dari 185 anak


umur 10 tahun.

Onset terjadinya eksotropia biasanya

pada usia di bawah 5

tahun dan dapat pula terdeteksi pada tahun pertama kehidupan.


Intermiten eksotropia akan bermanifes menjadi eksotropia pada saat
lelah, melamun, atau sakit. Penderita akan mengeluhkan diplopia, sakit kepala,
kesulitan membaca, fotofobia, dan masalah kosmetik saat mata berdeviasi.
Hingga saat ini perjalanan penyakit intermiten eksotropia masih belum
jelas. Sekitar 80% penderita intermiten eksotropia akan menunjukkan
hilangnya

kendali

fusi

yang

progresif

dan

terjadi

peningkatan

eksotropia setelah beberapa bulan atau tahun. 1 Studi selama 20 tahun yang
dilakukan oleh Nusz et al menyatakan bahwa deviasi pada intermiten eksotropia akan
menghilang pada 4% subjek dan lebih dari 50% lainnya akan mengalami peningkatan
deviasi sebesar lebih dari 10 D. 6
Diagnosis intermiten eksotropia ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan
oftalmologis. Pada anamnesis dapat digali onset dan progresivitas deviasi. Pemeriksaan
oftalmologis untuk mengukur sudut deviasi menggunakan prisma dan alternate cover test
untuk fiksasi jauh dan fiksasi dekat dengan target akomodasi.
Tata laksana intermiten eksotropia meliputi pendekatan non bedah seperti
penggunaan lensa minus, prisma, atau okluder dan pendekatan bedah.7 Saat ini belum
terdapat kesepakatan mengenai waktu optimal dilakukannya tindakan bedah pada
penderita intermiten eksotropia. Beberapa berpendapat bahwa intervensi bedah sebaiknya
dilakukan secepat mungkin begitu eksodeviasi bermanifes. Pendapat lain yang
menentang dilakukannya tindakan bedah pada saat dini beranggapan bahwa overkoreksi

yang dapat terjadi setelah tindakan bedah berakibat ambliopia dan hilangnya stereopsis
pada penderita yang belum mengalami maturisasi sistem penglihatan.8
Mengingat cukup seringnya penyakit ini ditemukan di masyarakat, kemungkinan
progresivitas, dan pentingnya waktu dalam tata laksananya, maka tujuan penulisan sari
pustaka ini adalah untuk memberikan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai
manifestasi klinis dan tata laksana intermiten eksotropia serta peranan waktu dalam
keberhasilan terapi intemiten eksotropia.
ANATOMI
Otot-otot ekstraokular memegang peranan penting pada sistem visual, baik untuk
penyesuaian statis binocular alignment yang diperlukan untuk stereopsis maupun bagi
pergerakan dinamis untuk mempertahankan target visual pada fovea. 9 Terdapat 7 otot
ekstraokular yaitu empat otot rektus, dua otot oblik, dan satu otot levator palpebra
superior. Posisi primer terjadi pada saat mata dan kepala berada dalam keadaan lurus ke
depan. Bola mata biasanya dapat digerakkan sekitar 50 pada tiap-tiap arah dari posisi
primer, akan tetapi mata hanya bergerak 15-20 dari posisi primer sebelum terjadi
gerakan kepala.10
Keempat otot rektus berorigo di posterior orbita pada annulus Zinn di sekeliling
kanalis optik dan bagian inferior fissura orbitalis superior.9 Otot rektus medial dan lateral
adalah otot rektus horisontal. Otot rektus medial berjalan sepanjang dinding orbita medial
dan berinsersi 5.3 mm dari limbus. Otot rektus lateral berjalan sepanjang dinding lateral
orbita dan berinsersi 6.9 mm dari limbus. Otot rektus vertikal terdiri dari otot rektus
superior dan inferior. Otot rektus superior berjalan ke anterior di atas bola mata,
kemudian ke lateral membentuk sudut 23 dengan aksis visual pada posisi primer, dan
berinsersi 7.9 mm dari limbus. Otot rektus inferior berjalan ke anterior, ke bawah,
kemudian ke lateral di sepanjang dasar orbita, membentuk sudut 23 dengan aksis visual
pada posisi primer, dan berinsersi 6.8 mm dari limbus. Dimulai dari otot rektus medial,
inferior, lateral, dan otot rektus superior, tendon otot rektus ini akan berinsersi semakin
menjauhi limbus. Jika dari insersi ini ditarik suatu garis imajiner maka akan
menghasilkan bentuk spiral yang disebut spiral of Tillaux.

Gambar 1. Spiral of Tillaux.dikutip dari kepustakaan 9

Otot oblik superior berorigo di apeks orbita di atas annulus Zinn dan berjalan ke
anterior dan superior sepanjang dinding superomedial orbita. Tendon otot oblik superior
membentuk sudut 51 dengan aksis visual pada posisi primer. Tendon otot oblik superior
berinsersi pada kuadran posterosuperior bola mata, di sebelah lateral bidang midvertikal,
di bawah otot rektus superior.9
Otot oblik inferior berorigo dari periosteum tulang maksila, di posterior rima
orbita. Otot ini berjalan ke lateral, superior, dan posterior, kemudian ke inferior otot
rektus inferior dan berinsersi di bawah otot rektus lateral. Otot oblik inferior membentuk
sudut 51 dengan aksis visual pada posisi primer. Otot levator palpebra superior muncul
dari apeks orbita di atas annulus Zinn, berjalan ke anterior di atas otot rektus superior dan
menjadi aponeurosis di daerah forniks superior.
Saraf okulomotor akan menginervasi otot rektus superior, inferior, medial, otot
oblik inferior, serta otot levator palpebra superior. Divisi inferior menginervasi rektus
medial, inferior, dan otot oblik inferior. Divisi superior menginervasi otot rektus superior
dan otot levator palpebra superior. Otot oblik superior diinervasi oleh saraf troklearis
sedangkan otot rektus lateral diinervasi oleh saraf abdusen.10

Masing-masing otot ekstraokular mendapat suplai darah dari cabang muskular


medial dan lateral arteri oftalmika. Cabang medial mensuplai darah otot rektus inferior
dan medial serta otot oblik inferior, sedangkan cabang lateral menvaskularisasi otot
rektus superior dan lateral, otot oblik superior dan otot levator palpebra superior.
FISIOLOGI
Terdapat 3 aksis utama pada mata yaitu aksis y, x, dan z yang pertama kali
diperkenalkan oleh Fick tahun 1854. Aksis y adalah aksis anteroposterior dan berhimpitan
dengan garis fiksasi. Bidang median bola mata terletak sepanjang aksis y. Aksis x dan z
terletak perpendikular terhadap aksis y. Aksis x adalah aksis horisontal dan aksis z adalah
aksis vertikal. Aksis horisontal dan vertikal terletak pada Listings plane. Listings plane
adalah bidang pada orbita yang melewati pusat rotasi dari bola mata dan mengandung
dua aksis rotasi utama.11

Gambar 2. Aksis rotasi bola mata dan Listings plane.dikutip dari kepustakaan 11

Duksi adalah gerak satu mata. Duksi di sekitar aksis vertikal (aksis z)
menghasilkan gerak mata aduksi dan abduksi. Rotasi dengan pusat aksis horisontal (aksis
x) menghasilkan gerak mata vertikal yaitu gerak elevasi dan depresi. Rotasi dengan pusat
aksis y disebut dengan sikloduksi. Rotasi dengan sumbu sagital ke arah nasal disebut
insikloduksi sedangkan ke arah temporal disebut eksikloduksi.
Versi adalah gerak kedua mata dengan arah yang sama. Vergens adalah gerak
kedua mata dengan arah yang berlawanan. Kontraksi otot mata akan menghasilkan

gerakan bola mata. Otot-otot yang memproduksi suatu gerakan disebut otot agonis
sedangkan otot yang menghasilkan gerakan dengan arah yang berlawanan disebut otot
antagonis. Sebagai contoh, otot rektus medial beraksi sebagai aduktor sedangkan otot
rektus lateral beraksi sebagai abduktor sehingga kedua otot tersebut dikatakan antagonis
relatif terhadap satu sama lain.
Otot pada mata yang sama yang menggerakkan bola mata pada arah yang sama
disebut sebagai sinergis. Sebagai contoh, otot rektus superior dan otot oblik inferior
beraksi sebagai elevator bola mata dan dikatakan sinergis pada aksi elevasi. Otot pada
masing-masing mata juga dapat beraksi secara sinergis dan disebut sebagai otot yoke.
Sebagai contoh, otot rektus medial mata kanan dan otot rektus lateral mata kiri berfungsi
untuk menggerakkan mata ke arah kiri (levoversi).

Gambar 3. Otot yoke berperan dalam 6 posisi pergerakan bola mata.dikutip dari kepustakaan 11

Terdapat 2 hukum gerakan bola mata yang penting untuk diketahui, yaitu hukum
Sherrington dan hukum Herring. Hukum Sherrington menyatakan bahwa pada saat
terdapat impuls untuk berkontraksi yang diterima oleh otot agonis, maka otot antagonis
akan menerima impuls inhibisi sehingga gerakan bola mata selalu melibatkan kontraksi
satu atau lebih otot ekstraokular dan relaksasi otot antagonisnya.
Hukum Herring menyatakan bahwa pada keadaan normal otot yoke pada kedua
mata selalu menerima inervasi yang sama besar. Hukum ini dapat diterapkan pada
gerakan mata volunter maupun involunter.
Bidang otot dari otot rektus horisontal berkorespondensi dengan bidang horisontal
mata. Pada saat mata berada dalam posisi primer otot rektus horizontal akan berotasi pada
aksis z.10 Otot rektus medial dan lateral hanya mempunyai aksi horisontal; di mana aksi
otot rektus medial adalah sebagai aduktor dan otot rektus lateral sebagai abduktor.11
6

Pada saat mata berada dalam posisi primer, bidang otot dari otot rektus superior
dan inferior membentuk sudut 23 dengan aksis y.

Gambar 4. Hubungan bidang otot dari otot rektus vertical terhadap aksis rotasi x dan y. dikutip dari kepustakaan 11

Aksi utama otot rektus superior pada posisi primer adalah untuk elevasi bola
mata. Karena adanya hubungan antara bidang otot dari otot rektus superior dan aksis
kardinal rotasi bola mata, kontraksi otot rektus superior juga menyebabkan aduksi dan
insikloduksi.
Pada posisi primer, otot rektus inferior berfungsi sebagai depresor. Selain itu otot
rektus inferior juga menghasilkan gerak eksikloduksi dan aduksi. Fungsi depresor terjadi
maksimal saat bola mata abduksi sekitar 23 dari posisi primer, di mana bidang otot
paralel dengan aksis y. Fungsi sikloduksi maksimal saat bola mata berada dalam keadaan
aduksi.
Aksi utama otot oblik superior adalah insikloduksi saat mata
pada posisi primer. Karena hubungannya dengan bidang otot dari
tendon oblik superior dan aksis utama rotasi bola mata, kontraksi otot
oblik superior juga menghasilkan depresi dan abduksi. Saat bola mata
aduksi, sudut antara bidang median (aksis y) dan bidang otot
berkurang, dan memperkuat fungsi depresi otot oblik superior. Saat
mata dalam keadaan abduksi, sudut antara bidang otot dan bidang

median bola mata bertambah, dan memperkuat fungsi sikloduksi otot


oblik superior.
Fungsi otot oblik inferior yang utama pada posisi primer adalah
menghasilkan eksikloduksi dan sejumlah kecil elevasi serta abduksi.
Fungsi elevasi otot oblik inferior diperkuat saat aduksi dan fungsi
eksikloduksi diperkuat saat abduksi. Fungsi elevasi akan maksimal saat
mata aduksi 51 dan fungsi eksikloduksi maksimal saat mata abduksi
sekitar 39.

Gambar 5. a. Hubungan antara bidang otot dari otot oblik terhadap aksis y; b. Otot oblik superior akan
berfungsi insikloduksi sepenuhnya saat mata abduksi sekitar 36.

PENGLIHATAN BINOKULAR
Pada penglihatan normal, kedua mata tertuju pada objek sehingga bayangan objek
jatuh tepat pada kedua fovea. Bayangan yang jatuh pada daerah retina yang
berkorespondensi akan menghasilkan terbentuknya persepsi bayangan tunggal. Proses ini
disebut sebagai fusi binokular. Terdapat 2 aspek penting dalam fusi binokular yaitu fusi
sensorik dan fusi motorik.12
Fusi sensorik adalah proses kortikal penyatuan bayangan masing-masing mata
menjadi bayangan tunggal. Daerah retina tiap-tiap mata yang memproyeksikan impuls
visual dari arah yang sama disebut sebagai daerah retina yang berkorespondensi.10

Fusi motorik adalah gerakan vergens yang menyebabkan bayangan jatuh dan
dipertahankan tetap berada pada daerah retina yang berkorespondensi meskipun terdapat
hal-hal yang menyebabkan disparitas, baik alami (contoh: adanya foria) dan artifisial
(contoh: jika suatu base-out prism diletakkan di depan mata maka akan bayangan di
retina akan terletak di temporal).10
Diplopia merupakan akibat misalignment aksis visual sehingga bayangan suatu
objek akan jatuh pada fovea satu mata dan titik di luar fovea pada mata yang lain.
Bayangan yang jatuh pada fovea akan terlihat lebih jernih dibanding bayangan yang jatuh
di luar fovea. Stereopsis adalah persepsi tiga dimensi akibat disparitas retina yang terlalu
besar untuk dapat menyebabkan fusi tetapi belum belum cukup besar untuk dapat
memicu diplopia.10
ETIOPATOGENESIS
Beberapa teori yang menerangkan kejadian intermiten eksotropi berpendapat
bahwa penyebab deviasi adalah multifaktorial, yang ditentukan oleh faktor anatomi dan
faktor mekanik. Pada saat tidak ada impuls yang menuju otot ekstraokular maka mata
akan cenderung berada dalam keadaan divergence. Pendapat lain mengatakan adanya
ketidakseimbangan antara mekanisme convergence dan divergence.
MANIFESTASI KLINIS
Intermiten eksotropia biasanya pertama kali terdeteksi pada usia kurang dari 5
tahun.10 Penderita intermiten eksotropia cenderung bermanifes pada saat kelelahan,
terserang flu, atau melamun. Penderita intermiten eksotropia dewasa biasanya akan
bermanifes pada saat mengkonsumsi alkohol atau sedativa.12 Gejala seperti penglihatan
kabur, asthenopia, nyeri kepala, fotofobia, dan diplopia jarang dikeluhkan kecuali jika
terdapat convergence insufficiency. Jarangnya keluhan gejala ini menandakan mekanisme
supresi yang berkembang dengan baik.
Pada saat mata berada dalam fase foria, penderita mempunyai fusi bifovea

yang

baik dengan stereoacuity berkisar antara 40-50 sec of arc.12 Pada saat mata berdeviasi,
penderita akan menunjukkan supresi hemiretina atau supresi retina temporal.12

Gambar 6. A. Penderita intermiten eksotropia menggunakan fusi kedua mata. B. Oklusi mata kanan untuk
menghilangkan mekanisme fusi. C. Penderita bermanifes menjadi eksotropia. dikutip dari kepustakaan 12

Intermiten eksotropia diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan


klasifikasi Duane, yaitu basic type, divergence excess, dan convergence insufficiency.
Klasifikasi ini didasarkan pada fusi saat convergence dan divergence dan tergantung pada
perbedaan deviasi jauh dan dekat. 5
Pada basic type, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara deviasi jauh dan
dekat, dan perbedaan deviasi jauh berkisar 10 PD dari deviasi dekat. Penderita basic type
intermiten eksotropia mempunyai AC/A ratio yang normal sehingga deviasi jauh dan
dekat adalah sama.
Tipe divergence excess dibagi menjadi dua, yaitu pseudodivergence excess dan
true divergence excess. Pada tipe pseudodivergence excess, deviasi pada fiksasi jauh lebih
besar dibanding fiksasi dekat jika diukur dengan alternate cover test. Apabila dilakukan
oklusi satu mata selama 60 menit untuk menghilangkan tenacious proximal fusion, maka
deviasi dekat akan meningkat hingga sama besar dengan deviasi jauh.10 Tipe ini cukup
sering terjadi, lebih dari 80% penderita dengan tipe divergence excess sebenarnya
merupakan pseudodivergence excess.5
Pada tipe divergence excess, deviasi jauh tetap lebih besar dibanding deviasi dekat
setelah dilakukan oklusi satu mata. Beberapa penderita dengan tipe ini mempunyai AC/A

10

ratio yang tinggi, yang dibuktikan dengan meningkatnya deviasi dekat setelah ditambah
dengan lensa +3.00 D.10
Pada tipe convergence insufficiency deviasi dekat melebihi deviasi jauh, minimal
10 PD. Jika saat melihat jauh tidak terdapat deviasi atau deviasi yang ada minimal
sedangkan saat melihat dekat terdapat deviasi maka ini disebut true convergence
insufficiency. Sebagai contoh, pada saat melihat jauh ortoforia, saat melihat dekat terjadi
deviasi sebesar 15 PD.1
Perjalanan penyakit intermiten eksotropia hingga saat ini masih belum jelas
karena tidak adanya studi prospektif longitudinal dan kurangnya studi retrospektif pada
penderita yang tidak mendapat terapi. Noorden melaporkan bahwa 75% dari 51 pasien
yang tidak diberikan terapi menunjukkan progresivitas dalam 3.5 tahun, di mana 9%
memburuk, dan 16% sisanya menunjukkan perbaikan.13 Hiles menyatakan bahwa dalam
11 tahun masa follow up tidak ada perbedaan deviasi yang signifikan pada 48 subjek,
sedangkan 2 orang subjek berkembang menjadi eksotropia konstan.
Pada kebanyakan kasus intermiten eksotropia tidak akan menunjukkan perbaikan
melainkan akan menetap atau malah menunjukkan perburukan atau progresivitas. Jika
fase tropia meningkat maka supresi yang terjadi juga akan semakin sering dan seiring
dengan progresivitasnya menjadi eksotropia konstan maka fusi juga akan menghilang.12
DIAGNOSIS
Mengukur sudut deviasi penderita intermiten eksotropia dapat menjadi masalah
tersendiri karena besar sudut terkadang bervariasi saat diukur dengan uji alternate cover
prism. Pada saat penderita kelelahan maka fusi konvergensi lemah dan akan terukur
deviasi yang besar. Sebaliknya, jika penderita berada dalam keadaan sadar penuh maka
fusi konvergensi akan menutupi deviasi yang kecil dan sulit bagi pemeriksa untuk
mengukurnya.12
Patch test (oklusi) dapat mengurangi fusi konvergensi karena oklusi satu mata
selama 30-60 menit dapat mengganggu fusi dan deviasi laten akan manifes. Karena
kebanyakan penderita intermiten eksotropia mempunyai fusi konvergensi tonik yang kuat
maka harus diukur dengan prolonged alternate cover test. Jika terdapat perbedaan yang
signifikan antara deviasi jauh dan dekat maka harus dilakukan patch test.12

11

Teknik pemeriksaan lain adalah prism adaptation test untuk mengetahui deviasi
maksimal sehingga setelah pembedahan tidak terjadi undercorrection.
TATA LAKSANA
Tata laksana intermiten eksotropia meliputi pendekatan bedah dan non bedah.
Terapi non bedah dapat menggunakan koreksi kacamata, pemberian lensa overminus,
prisma, oklusi satu mata, dan orthoptic vision theraphy. Terapi ini dapat digunakan pada
penderita dengan sudut deviasi kecil ( 20-25 PD) 5, penderita usia sangat muda di mana
overkoreksi setelah pembedahan dapat menimbulkan ambliopia, serta penderita dengan
kemungkinan hasil pembedahan yang buruk. Penderita dengan AC/A ratio tinggi juga
dilaporkan cukup responsif terhadap terapi non bedah.
Koreksi kacamata dapat diberikan pada penderita anisometropia, astigmatisme,
miopia, dan hipermetropia karena kesalahan refraksi yang tidak terkoreksi dapat
menyebabkan terganggunya fusi dan terjadinya deviasi yang manifes. 5 Proporsi penderita
intermiten eksotropia yang dapat dikoreksi hanya dengan kacamata belum diketahui
karena tidak adanya studi yang dilakukan hingga saat ini. Studi retrospektif selama 6-22
tahun yang dilakukan oleh Hiles melaporkan bahwa pada 48 subjek penderita intermiten
eksotropia yang hanya mendapat terapi kacamata, 65% subjek menjadi eksoforia, 73%
mengalami pengurangan sudut deviasi, dan 4% subjek berkembang menjadi eksotropia
konstan.7
Pemberian lensa overminus juga merupakan alternatif lain dan diberikan dengan
kekuatan 2-3 D lebih besar daripada kekuatan lensa minus yang diperlukan. Setelah fusi
konstan diperoleh selama beberapa waktu maka kekuatan lensa overminus dikurangi
secara bertahap hingga nol. Noorden melaporkan asthenopia akomodativa sebagai efek
samping terutama pada anak usia lebih tua dan dewasa. Rutstein melaporkan bahwa 25%
subjek mengalami peningkatan miopia sebesar lebih dari 0.50 D per tahun setelah
diberikan lensa -0.50 D hingga -3.75 D.14 Salah satu keterbatasan lensa overminus ini
adalah hanya efektif bila digunakan pada penderita usia muda dan tidak bermanfaat pada
penderita dengan presbiopia.7
Terapi oklusi dapat diberikan mulai dari full-time, yaitu saat penderita bangun
hingga tidur kembali, atau secara parsial yaitu 1 hingga beberapa jam sehari. Terapi ini

12

jarang digunakan sebagai terapi tunggal dan biasanya diberikan untuk menunda terapi
bedah. Freeman dan Isenberg melaporkan bahwa pada 4-6 jam oklusi yang diberikan
selama 6 bulan pada anak usia 9 bulan hingga 5 tahun, 100% berubah dari heteroforia
menjadi orthoforia. Pada follow up selanjutnya 27% berkembang menjadi eksotropia
konstan.15

Secara keseluruhan angka keberhasilan terapi oklusi pada 7 studi yang

dilakukan dari tahun 1965 hingga 1989 adalah 37%.7


Pemberian prisma pada intermiten eksotropia dapat dilakukan dan bekerja dengan
mekanisme (1) mengkompensasi eksodeviasi dan mengurangi kebutuhan fusi vergens
(demand-reducing prism) sehingga fusi lebih stabil dan frekuensi deviasi berkurang, (2)
menetralkan seluruh eksodeviasi dan memungkinkan fusi sensori (neutralizing prism), (3)
pemberian prisma base-in dengan kekuatan di atas kekuatan yang dapat menetralkan
gerakan pada alternate cover test (overcompensating base-in prism) sehingga diharapkan
terjadi konvergensi dan diplopia dapat dicegah.7
Demand-reducing prism adalah prisma yang paling sering digunakan meskipun
belum ada studi yang dapat menjelaskan efikasinya. Kekuatan neutralizing prism yang
digunakan adalah nilai antara deviasi jauh dan dekat. Pada kasus di mana nilai prisma
pada titik ini tidak menghilangkan heteroforia pada kedua deviasi, maka dapat digunakan
kaca mata dengan kekuatan prisma yang berbeda pada bagian atas dan bawah lensa
minimal selama 6 bulan. Overcompensating base-in prism digunakan jika prosedur
bedah berakibat undercorrection. Kekuatan prisma yang digunakan minimal 10 PD untuk
menggerakkan bayangan retina pada mata yang berdeviasi dari temporal ke nasal. Prisma
ini akan menyebabkan diplopia yang memaksa penderita untuk mengadakan adaptasi
motorik konvergensi (convergent motor adaptation). Setelah tercapai adaptasi motorik
konvergensi sempurna maka kekuatan prisma dikurangi secara perlahan.
Keseluruhan angka keberhasilan penggunaan prisma pada 8 studi yang dilakukan
dari tahun 1969 hingga tahun 1990 adalah 28%.7 Keunggulan prisma adalah relatif
mudah digunakan dan biayanya yang lebih murah jika dibandingkan dengan prosedur
bedah. Keterbatasannya adalah sulit mengontrol komplians penderita dan masalah
kosmetik.

13

Orthopthic vision therapy atau vision training digunakan pada sudut deviasi kecil,
kurang dari 20 PD. Terapi ini berfungsi untuk melatih konvergensi pada penderita tipe
convergence insufficiency. Efikasi terapi ini dilaporkan berkisar antara 43-100%.1,7
Pendekatan bedah pada intermiten eksotropia diindikasikan jika terdapat
progresivitas penyakit, terdapat deviasi lebih dari atau sama dengan 15 PD, dan jika
eksotropia bermanifes lebih dari 50% saat penderita bangun.10,12

Kapan sebaiknya

dilakukan tindakan bedah hingga sekarang masih merupakan kontroversi. Beberapa


berpendapat bahwa pembedahan dini perlu dilakukan untuk mencegah supresi dan
anomalous retinal correspondence sementara pendapat lain mengatakan bahwa
overkoreksi yang dapat terjadi setelah pembedahan dapat berakibat ambliopia dan
hilangnya stereopsis.8 Studi yang dilakukan oleh Nishimura menunjukkan bahwa usia
tidak berpengaruh terhadap keberhasilan pembedahan.16 Abroms dkk menyatakan bahwa
pembedahan yang dilakukan pada saat usia penderita kurang dari 7 tahun dan deviasi
masih intermiten serta

durasi deviasi yang bermanifes kurang dari 5 tahun, akan

mempunyai fusi sensorik yang lebih baik.8,10


Beberapa prosedur bedah yang dapat digunakan menurut Burian adalah resesi otot
rektus lateral bilateral untuk tipe divergence excess, resesi otot rektus lateral unilateral
untuk tipe simulated divergence excess, reseksi otot rektus medial untuk basic type, dan
reseksi otot rektus medial bilateral untuk tipe convergence insufficiency. Basic type juga
memberikan hasil yang baik dengan kombinasi resesi otot rektus lateral dan reseksi otot
rektus medial ipsilateral.10
Penderita dengan divergence excess murni sebaiknya diberikan terapi secara
konservatif terlebih jika disertai dengan AC/A ratio yang tinggi. Kasus yang seperti ini
biasanya sulit untuk ditangani karena setelah pembedahan sering terjadi overcorrection
yang berkembang menjadi esotropia persisten dan membutuhkan kacamata bifokal.12
Angka keberhasilan pembedahan untuk mengkoreksi semua tipe intermiten
eksotropia dilaporkan berkisar 60-70%.18-22 Keberhasilan pada studi ini didefinisikan
sebagai terjadinya alignment dalam 10 PD dari orthoforia dan lama follow up rata-rata
tidak lebih dari 4.5 tahun.

14

PROGNOSIS
Angka keberhasilan terapi intermiten eksotropia sulit diperoleh karena belum
adanya definisi standard untuk keberhasilan, variasi sistem klasifikasi, dan pendekatan
terapi yang multipel. Kushner menyatakan bahwa pseudodivergence excess merupakan
indikator prognosis yang baik. Kebanyakan penderita dengan tipe ini mempunyai angka
keberhasilan pembedahan yang tinggi. AC/A ratio yang tinggi akan memberikan
prognosis yang lebih buruk karena overcorrection yang dapat terjadi setelah pembedahan
akan berkembang menjadi esotropia persisten.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.

Wright KW. Color Atlas of Strabismus Surgery: Strategies and Technique. 3 rd ed. USA: Springer;
2007. p 42-51.
Mohney BG, Huffaker RK. Common forms of childhood exotropia.
Ophthalmology; 2003;110:2093 6.
Govindan M, Mohney BG, Diehl NN, Burke JP. Incidence and types of childhood
exotropia: a population-based study. Ophthalmology; 2005;112:1048.
Yu CB, Fan DS, Wong VW. Changing patterns of strabismus: a decade of
experience in Hong Kong. Br J Ophthalmol; 2002;86:8546.
Hutchinson A. Intermittent Exotropia. Ophthalomology Clinics of North America; 2001; 14: 399406.
Nusz KJ, Mohney BG, Diehl NN. The Course of Intermittent Exotropia in a Population-Based
Cohort. Ophthalmology; 2006; 113: 1154-1158.
Coffey B, Wick B, Cotter S, Scharre J, Horner D. Treatment Options in Intermittent Exotropia: A
Critical Appraisal. Optometry and Vision Science; 1992; 69: 386-404
Abroms AD, Mohney BG, Rush DP, Parks MM, Tong PY. Timely Surgery in Intermittent and
Constant Exotropia for Superior Sensory Outcome. Ophthalmology; 2001; 131: 111-116.
Coats DK, Olitsky SE. Strabismus Surgery and Its Complication. In: Surgically Important
Anatomy. Germany: Springer; 2007. p 3-19.
American Academy of Ophthalmology staff. Anatomy of the extraocular muscles and their fascia.
In: American Academy of Ophthalmology staff, editor. Pediatric ophthalmology and strabismus.
Basic and clinical science course. Sec 6. San Fransisco: The Foundation of American Academy of
Ophthalmology; 2005-2006. p. 13-28.
Coats DK, Olitsky SE. Strabismus Surgery and Its Complication. In: Physiology of Eye
Movements. Germany: Springer; 2007. p 21-25.
Wright KW, Siegel PH, Thompson LS. Handbook of Pediatric Strabismus and Amblyopia. In:
Wright KW, editor. Binocular Vision and Introduction to Strabismus. New York: Springer; 2006. p
70-82.
von Noorden GK, Campos EC. Binocular Vision and Ocular Motility: Theory and Management of
Strabismus. 6th ed. St. Louis: Mosby; 2002:356 76.
Rutstein RP, Marsh TW, London R. Changes in Refractive Error for Exotropias Treated with
Overminus Lenses. Optom Vis Sci; 1989; 66: 487-91.
Freeman RS, Isenberg SJ. The Use of Part-time Occlusion for Early Onset Unilateral Exotropia. J
Pediatr Ophthalmol Strabismus. 1989; 26: 94-6.
Nishimura J, Okino L. Outcome Study of Bilateral Lateral Rectus Recession for Intermittent
Exotropia in Children. Trans Am Ophthalmol. 1997; 95: 433-443.
Kushner BJ. Selective Surgery for Intermittent Exotropia Based on Distance/Near Differences.
Arch Ophthalmol; 1998; 116: 324-28.

15

18. Benish R, Flanders M: The Role of Stereopsis and Early Postoperative Alignment in Long-term
Surgical Results of Intermittent Exotropia. Can J Ophthal; 1994; 29:119-124
19. Ruttum MS. Initial verses Subsequent Postoperative Motor Alignment in Intermittent Exotropia. J
Am Ass Pediatr Ophthalmol Strabismus; 1997;1:88-91.
20. Olitsky SE. Early and Late Postoperative Alignment Following Unilateral Lateral Rectus
Recession for Intermittent Exotropia. J Pediatr Ophthalmol Strabismus;1998; 35: 146-148.
21. Stoller SH, Simon JW, Li ninger LL. Bilateral Lateral Rectus Muscle Recession for Exotropia: A
Survival Analysis. J Pediatr Ophthalmol Strabismus; 1994; 31:89-92.
22. Yildrem C, Mutlu FM, Chen Y, et al: Assessment of Central and Peripheral Fusion and Near and
Distance Stereoacuity in Intermittent Exotropic Patients before and after Strabismus Surgery. Am J
Ophthalmology; 1999; 128:222-230.

16

Anda mungkin juga menyukai