Anda di halaman 1dari 30

10

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Teori


2.1.1 Tuberkulosis

2.1.1.1 Pengertian Tuberkulosis


Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
Bakteri Mycobaclerium tuberculosis. Bakteri tersebut biasanya masuk ke
dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan kedalam paru, kemudian
menyebar dari paru ke organ tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfa, melalui saluran pernafasan (bronchus) atau
penyebaran langsung ke bagian lainnya. Tuberkulosis paru pada manusia
dapat dijumpai dalam 2 bentuk, yaitu: a) Tuberkulosis primer: bila penyakit
terjadi pada infeksi pertama kali; b) Tuberkulosis paska primer: bila
penyakit timbul setelah beberapa waktu seseorang terkena infeksi dan
sembuh. Tuberkulosis paru ini merupakan bentuk yang paling sering
ditemukan. Dengan ditemukannya Bakteri dalam dahak, penderita adalah
sumber penularan (Notoatmodjo, 2007).
TB paru disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosis yang
berbentuk batang berukuran 0,30,6 dan panjang 14 . Mempunyai
sifat khusus tahan terhadap asam pada pewarnaan. Bakteri TB cepat mati
dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup sampai

11

beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh,
kuman ini dapat tertidur lama (dorman) selama beberapa tahun.12 Ada
beberapa

jenis

Mikobakterium

seperti

Mycobacterium

africanus,

Mycobacterium bovis, mycobacterium kansasii, Mycobacterium avium dan


Mycobacterium nenopi. Namun yang penting adalah Mikobakterium
tuberkulosis yang menyebabkan penyakit tuberkulosis dan terutama
menyerang paru. (Sudoyo, 2009)
2.1.1.2 Cara Penularan Tuberkulosis Paru
Penularan

penyakit

tuberkulosis

disebabkan

oleh

Bakteri

Mycobacteriun tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat


seorang pasien tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung
bakteri terhirup oleh orang lain saat bernapas. Sumber penularan adalah
pasien tuberkulosis paru BTA positif, bila penderita batuk, bersin, atau
berbicara saat berhadapan dengan orang lain, basil tuberkulosis tersembur
kemudian terhisap ke dalam paru orang sehat, serta dapat menyebar ke
bagian tubuh lain melalui peredaran darah pembuluh limfe atau langsung
ke organ terdekat. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak. Masa inkubasinya selama 3-6 bulan (Widoyono, 2008).
Lingkungan yang tidak sehat (kumuh) sebagai salah satu reservoir
atau tempat baik dalam menularkan penyakit menular seperti penyakit
tuberkulosis. Menurut Azwar (1990), peranan faktor lingkungan sebagai
predisposing artinya berperan dalam menunjang terjadinya penyakit pada
manusia, misalnya sebuah keluarga yang berdiam dalam suatu rumah yang

12

berhawa lembab di daerah endemis penyakit tuberkulosis. Umumnya


penularan terjadi dalam ruangan tempat percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara
sinar matahari langsung dapat membunuh Bakteri (Widoyono, 2008).
Menurut Depkes RI (2008), risiko tertular tergantung dari tingkat
pajanan dengan percikan dahak. Pasien tuberkulosis paru dengan BTA
positif memberikan risiko penularan lebih besar dari pasien tuberkulosis
paru dengan BTA negatif.
Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk
of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko
terinfeksi tuberkulosis selama satu tahun. Di Indonesia angka risiko
penularan bervariasi antara 1 dan 3%. Infeksi tuberkulosis dibuktikan
dengan perubahan reaksi tuberculin negatif menjadi positif. Pada daerah
dengan ARTI 1%, diperkirakan di antara 100.000 penduduk rata-rata terjadi
1000 kasus tuberkulosis dan 10% di antaranya akan menjadi penderita
tuberkulosis setiap tahunnya dan sekitar 50 di antaranya adalah pasien
tuberkulosis BTA positif (Depkes RI, 2008).
Menurut Depkes RI (2008) riwayat alamiah pasien tuberkulosis
yang tidak diobati, setelah 5 tahun sebesar 50% akan meninggal, 25% akan
sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, dan 25% menjadi
kasus kronis yang tetap menular.
2.1.1.3 Aspek Klinis dan Klasifikasi Tuberkulosis Paru
a. Aspek klinis penyakit Tuberkulosis Paru

13

Gejala klinis pasien tuberkulosis paru menurut Depkes RI


(2008), adalah :
1) Batuk
Batuk berlangsung 2-3 minggu atau lebih karena adanya
iritasi pada bronkus, sifat batuk dimulai dari batuk kering
(nonproduktif)

kemudian

setelah

timbul

peradangan

menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang


lebih lanjut adanya dahak bercampur darah bahkan sampai
batuk darah (hemaptoe) karena terdapat pembuluh darah
yang pecah.
2) Nyeri dada
Gejala ini jarang ditemukan, nyeri dada timbul bila filtrasi
radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan
pleuritis.
3) Sesak napas
Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah
lanjut, dimana infiltrasinya sudah setengah bagian paruparu.

4) Malaise

14

Sering ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun


sakit kepala, meriang. Keluar keringat di malam hari tanpa
melakukan aktifitas.
5) Demam
Biasanya subfebris, menyerupai demam influenza tetapi
kadang-kadang suhunya 40-41C. Keadaan ini sangat
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh penderita dan berat
ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
Sedangkan menurut strategi yang baru DOTS (directly
observed treatment shortcourse), gejala utamanya adalah batuk
berdahak dan/atau terus-menerus selama tiga minggu atau
lebih. Berdasarkan keluhan tersebut, seseorang sudah dapat
ditetapkan sebagai tersangka. Gejala lainnya adalah gejala
tambahan.

Dahak

penderita

harus

diperiksa

dengan

pemeriksaan mikroskopis (Widoyono, 2008).


b. Klasifikasi penyakit tuberkulosis paru
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena :
1) Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru).
2) Tuberkulosis Extra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya

pleura,

selaput

otak,

selaput

jantung

15

(perikardium), kelanjar limfe, tulang, persendian, kulit,


usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
Klasifikasi

Berdasarkan

Hasil

Pemeriksaan

Dahak

Mikroskopik pada TB Paru :


1) Tuberkulosis Paru BTA Positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA (+), 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+) dan foto
toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis, 1
spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+) dan biakan kuman
TB Positif, 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif
setelah

3 spesimen

dahak SPS pada pemeriksaan

sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan


setelah pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Kriteria diagnosis TB paru BTA negatif harus meliputi: paling
tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif, foto
toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis,
tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT,
ditemukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pemeriksaan.
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi
menjadi beberapa tipe pasien, yaitu :
1) Baru

16

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau


sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4
minggu).
2) Kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, di diagnosis kembali dengan BTA positif (apusan
atau kultur).
3) Pengobatan setelah putus berobat (default)
Adalah pengobatan yang telah berobat dan putus berobat 2
bulan atau lebih dengan BTA positif.
4) Gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih
selama pengobatan.
5) Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki
register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6) Lain-lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.
Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien
dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan. (Depkes RI, 2008)

17

2.1.1.4

Patogenesis Tuberkulosis Paru


Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali
dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,
sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus,
dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di
sana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak
dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan radang
di dalam paru. Aliran getah bening akan membawa kuman TB ke
kelenjar getah bening di sekitar hilus paru, ini disebut sebagai
kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai
pembentukan kompleks primer adalah sekitar 46 minggu. Infeksi
dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin
dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer
tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya
respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi
daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan kuman TB.
Meskipun demikian beberapa kuman akan menetap sebagai
kuman persisten atau dorman (tidur). Kadang daya tahan tubuh
tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya
dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi sakit TB.
(Sudoyo, 2009)

2.1.1.5

Inkubasi Tuberkulosis Paru


Mulai saat masuknya bibit penyakit sampai timbulnya gejala

18

adanya lesi primer atau reaksi tes tuberkulosis positif kira-kira


memakan waktu 3-8 minggu. Resiko menjadi TB paru setelah
terinfeksi primer biasanya pada tahun pertama dan kedua. Infeksi
laten dapat berlangsung seumur hidup. Infeksi HIV meningkatkan
resiko terhadap infeksi TB dan memperpendek masa inkubasi.
(Sudoyo, 2009)
2.1.1.6

Diagnosis Tuberkulosis Paru


Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu
2 hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru
pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB
(BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan
dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai
dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya
berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering
terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak
selalu menunjukkan aktifitas penyakit (Kemenkes RI, 2009).

2.1.1.7

Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tuberkulosis Paru


Upaya

pencegahan

adalah

upaya

kesehatan

yang

dimaksudkan agar setiap orang terhindar dari terjangkitnya suatu


penyakit dan dapat mencegah terjadinya penyebaran penyakit.

19

Tujuannya adalah untuk mengendalikan faktor-faktor yang


mempengaruhi timbulnya penyakit yaitu penyebab penyakit
(agent), manusia atau tuan rumah (host) dan faktor lingkungan
(environment). Untuk memberantas penyakit tuberkulosis paru
yang perlu dilakukan adalah mengendalikan keseimbangan unsurunsur seperti manusia, sumber penyakit, dan lingkungan, serta
memperhitungkan

interaksi

dari

ketiga

unsur

tersebut

(Notoatmodjo, 2007).
Upaya pencegahan dan pemberantasan tuberkulosis secara
efektif diuraikan sebagai berikut:
1) melenyapkan sumber infeksi,
2) penemuan penderita sedini mungkin;
3) isolasi

penderita

sedemikian

rupa

selama

masa

penularan/penderita tersebut masih dapat menular;


4) segera diobati;
5) memutuskan mata rantai penularan;
6) pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit
tuberkulosis paru; (Depkes RI, 2008).
2.1.1.8

Program Penanggulangan TB
Strategi Direct Observed Treatment Short-Course (DOTS)
adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan
kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan
penularan TB dan dengan demikian menurunkan insiden TB di

20

masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan


cara

terbaik

dalam

pencegahan

penularan

TB.

Dengan

menggunakan strategi DOTS, biaya program penanggulangan TB


akan lebih hemat (Kemenkes RI, 2010).
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci yaitu:
1) Komitmen politis
2) Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB
dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan
langsung pengobatan.
4) Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.
5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan
penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja
program secara keseluruhan (Kemenkes RI, 2010).
2.1.2 Faktor faktor Yang Mempengarhi Kejadian Tuberkulosis Paru
Teori John Gordon tahun 1950 yang dikutip oleh Azrul Azwar (1999)
mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh
tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), pejamu (host), dan lingkungan
(environment).
Beberapa faktor risiko pada penyakit tuberkulosis paru adalah:
2.1.2.1 Faktor Penyebab Penyakit (Agent)
Faktor agen yaitu semua unsur baik elemen hidup atau mati
yang kehadirannya dan atau ketidakhadirannya, apabila diikuti

21

dengan kontak yang efektif dengan manusia rentan dalam keadaan


yang memungkinkan akan memudahkan terjadinya suatu proses
penyakit. Agen diklasifikasikan sebagai agen biologis, kimia,
nutrisi, mekanik, dan fisik. Untuk khusus TB paru yang menjadi
agen adalah bakteri Mikobakterium tuberkulosis (Bustan, 2002).
Bakteri Mycobacterium tuberculosa ditemukan pertama
kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Hasil penemuan ini
diumumkan di Berlin pada tanggal 24 Maret 1882 dan tanggal 24
Maret setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Tuberkulosis
(Notoatmodjo,

2007).

Bakteri

Mycobacterium

tuberculosis

mempunyai ukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron dengan bentuk


batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak
mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang
terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Bakteri Mycobacterium
tuberculosis dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan
asam dan alkohol, sehingga disebut basil tahan asam (BTA), tahan
terhadap zat kimia dan zat fisik, serta tahan dalam keadaan kering
dan dingin, bersifat dorman (dapat tertidur lama) dan aerob
(Depkes RI, 2002).
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100C
selama 5-10 menit atau pada pemanasan 60C selama 30 menit,
dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan
selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap bisa

22

berbulan-bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau


aliran udara. Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk
mendapatkan 90% udara bersih dari kontaminasi bakteri
memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam (Widoyono, 2008).
2.1.2.2

Faktor Penjamu (Host)


Faktor

pejamu

adalah

manusia

yang

mempunyai

kemungkinan terpapar oleh agen. Ada beberapa faktor yang


berkaitan dengan penjamu antara lain usia, jenis kelamin, ras,
sosial ekonomi, kebiasaan hidup, status perkawinan, pekerjaan
keturunan, nutrisi dan imunitas. Faktor tersebut menjadi penting
karena dapat mempengaruhi resiko untuk terpapar, sumber infeksi
dan kerentanan serta resistensi dari manusia terhadap suatu
penyakit atau infeksi seperti halnya, (Bustan, 2002) :
a. Umur
Umur merupakan faktor predisposisi terjadinya perubahan
perilaku yang dikaitkan dengan kematangan fisik dan psikis
penderita TB paru. Pada saat ini angka kejadian TB paru mulai
bergerak kearah umur dewasa karena kepasrahan mereka
terhadap penyakit yang diderita. Menurut kelompok umur,
kasus baru paling banyak ditemukan pada kelompok umur 2534 tahun yaitu sebesar 20,76% diikuti kelompok umur 45-54
tahun sebesar 19,57% dan pada kelompok umur 35-44 tahun
sebesar 19,24% (Kemenkes RI, 2014).

23

Berdasarkan hasil penelitian Ketut Sudiantara tahun 2014


ditemukan bahwa sebagaian besar faktor yang mempengaruhi
tingginya kasus TB paru yaitu faktor Usia = 51-60 tahun (53%).
b. Jenis Kelamin
WHO (2012) melaporkan bahwa di sebagian besar dunia,
lebih banyak laki-laki daripada wanita didiagnosis tuberkulosis.
Hal ini didukung dalam data yaitu antara tahun 1985-1987
penderita tuberkulosis paru pada laki-laki cenderung meningkat
sebanyak 2,5%, sedangkan pada wanita menurun 0,7%.
Tuberkulosis

paru

lebih

banyak

terjadi

pada

laki-laki

dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar


mempunyai

kebiasaan

merokok

sehingga

memudahkan

terjangkitnya tuberkulosis paru.


Menurut Kemenkes RI (2014) jenis kelamin laki-laki
memiliki prevalensi lebih tinggi pada kasus TB paru yaitu
sebesar 0,4% dibandingkan pada perempuan yang sebesar 0,3%.
Hasil penelitian Elisa S. Korua tahun 2014 ini menunjukan
jumlah pasien rawat jalan di RSUD Noongan didominasi oleh
Laki-laki dan range umur paling banyak adalah 15-55 tahun
(73,8%). Jumlah pasien rawat jalan di RSUD Noongan yang
menderita TB Paru (BTA+) sebesar (62,3%). Ada hubungan
antara jenis kelamin dengan kejadian TB Paru pada pasien rawat
jalan di RSUD Noongan dengan p=0,01.

24

Hasil penelitian Faris Muaz tahun 2014 dari hasil analisis


multivariat, variabel yang paling berpengaruh dengan kejadian
TB Paru BTA Positif Di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang
Kota Serang adalah jenis kelamin (OR= 4,772).
Berdasarkan hasil penelitian Ketut Sudiantara tahun 2014
ditemukan bahwa sebagaian besar faktor yang mempengaruhi
tingginya kasus TB paru yaitu faktor jenis kelamin = laki-laki
(56%).
c. Pendidikan
Pendidikan akan menggambarkan perilaku seseorang dalam
kesehatan. Semakin rendah pendidikan maka ilmu pengetahuan
di bidang kesehatan semakin berkurang, baik yang menyangkut
asupan makanan, penanganan keluarga yang menderita sakit
dan usaha-usaha preventif lainnya (Crofton, 1992).
Tingkat pendidikan yang rendah dapat mempengaruhi
pengetahuan di bidang kesehatan, maka secara langsung
maupun tidak langsung dapat mempengaruhi lingkungan fisik,
lingkungan biologis dan lingkungan sosial yang merugikan
kesehatan dan dapat mempengaruhi penyakit TB dan pada
akhirnya mempengaruhi tingginya kasus TB yang ada (Depkes
RI, 2004).
Pendidikan berkaitan dengan pengetahuan penderita.
Pendidikan penderita yang rendah mengakibatkan pengetahuan

25

rendah, sehingga memungkinkan penderita dapat putus dalam


pengobatan karena minimnya pengetahuan dari penderita dan
ketidakmengertinya

pengobatan.

Hal

ini

mengakibatkan

penderita tidak dapat teratur dalam program pengobatan yang


dijalani. Hampir seluruh penelitian sebelumnya menemukan
faktor pendidikan sangat erat kaitannya dengan ketidakteraturan
berobat dan minum obat (Wirdani, 2000).
Hasil

penelitian

Theresia

Novitasari

tahun

2015

menunjukan bahwa ada hubungan antara pendidikan (P=0,0163;


OR=3,750) dengan Penyakit TB Paru di Rumah Sakit Marinir
Cilandak.
d. Pekerjaan
Hubungan antara penyakit TB paru erat kaitannya dengan
pekerjaan. Secara umum peningkatan angka kematian yang di
pengaruhi rendahnya tingkat sosial ekonomi yang berhubungan
dengan

pekerjaan

didasarkan

pada

merupakan
tingkat

penyebab

pekerjaan.

tertentu

Hasil

yang

penelitian

mengemukakan bahwa sebagian besar penderita TB paru adalah


tidak bekerja (53,8 %).
Hasil penelitian Faris Muaz tahun 2014 dari hasil analisis
multivariat, variabel yang paling berpengaruh dengan kejadian
TB Paru BTA Positif Di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang
Kota Serang adalah pekerjaan (OR= 3,272).

26

Berdasarkan hasil penelitian Ketut Sudiantara tahun 2014


ditemukan bahwa sebagaian besar faktor yang mempengaruhi
tingginya kasus TB paru yaitu faktor pekerjaan = tidak bekerja
(62%).
e. Penghasilan
Pendapatan akan banyak berpengaruh terhadap perilaku
dalam menjaga kesehatan perindividu dan dalam keluarga. Hal
ini disebabkan pendapatan mempengaruhi pendidikan dan
pengetahuan

seseorang

dalam

mencari

pengobatan,

mempengaruhi asupan makanan, mempengaruhi lingkungan


tempat tinggal seperti keadaan rumah dan bahkan kondisi
pemukiman yang di tempati. Sekitar 90% penderita tuberkulosis
paru di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi
lemah atau miskin (WHO, 2003).
Faktor kemiskinan walaupun tidak berpengaruh langsung
pada kejadian tuberkulosis paru namun dari beberapa penelitian
menunjukkan adanya hubungan antara pendapatan yang rendah
dan kejadian tuberkulosis paru. Lebih lagi, bahwa ada hubungan
pengangguran dengan kejadian tuberkulosis (Coker, 2005).
Menurut Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (2012),
mengukur kemiskinan menggunakan konsep kemampuan
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan
pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidak-

27

mampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar


makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Hasil penelitian Faris Muaz tahun 2014 dari hasil analisis
multivariat, variabel yang paling berpengaruh dengan kejadian
TB Paru BTA Positif Di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang
Kota Serang adalah penghasilan (OR= 6,575).
f. Status Gizi
Secara umum kekurangan gizi, atau gizi buruk akan
berpengaruh terhadap kekuatan, daya tahan dan respon imun
terhadap serangan penyakit. Faktor ini sangat penting pada
masyarakat miskin, baik pada orang dewasa maupun pada anak.
Menurut Misnardiarly dalam Toyalis menyebutkan bahwa
faktor kurang gizi atau gizi buruk akan meningkatkan angka
kesakitan/kejadian TB paru, terutama TB paru pertama sakit
(Faris Muaz, 2014).
Menurut Badan Litbang Depkes RI (2012), proporsi
tuberkulosis paru ditemukan sedikit lebih besar pada yang
mengkonsumsi buah sayur kurang dari 5 porsi/hari. Proporsi
tuberkulosis paru yang besar juga ditemukan pada kondisi status
gizi kurus.

28

Menurut Narasimhan et al. (2012), malnutrisi (baik mikro


dan makro-defisiensi) meningkatkan risiko tuberkulosis karena
adanya respon kekebalan yang terganggu. Penyakit tuberkulosis
dapat menyebabkan kekurangan gizi itu sendiri karena
penurunan

nafsu

makan

dan

perubahan

dalam

proses

metabolisme. Hubungan antara malnutrisi dan tuberkulosis telah


ditunjukkan dengan uji vaksin BCG yang dilakukan di Amerika
Serikat pada tahun 1960 dan memperkirakan bahwa anak-anak
kekurangan gizi akan berisiko dua kali untuk terkena penyakit
tuberkulosis daripada anak-anak yang gizinya baik.
Hasil penelitian Putra Yasa tahun 2013 menunjukkan bahwa
variabel yang berpengaruh dengan kejadian TB Paru di
Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram Provinsi NTB
adalah status gizi (OR: 4,833; 95%CI: 2,26-10,32).
g. Status Imunisasi BCG
Hubungan kekebalan (status imunisasi) dengan kejadian
tuberkulosis, bahwa anak yang divaksinasi BCG memiliki risiko
0,6 kali untuk terinfeksi tuberkulosis (95% CI 0,43-0,83, p=
0,003), dibandingkan dengan anak-anak yang belum divaksin.
Walaupun imunisasi BCG tidak mengegah infeksi tuberkulosis
namun dapat mengurangi risiko tuberkulosis berat seperti
meningitis tuberkulosa dan tuberkulosis milier. Daya cegah
faksin BCG terhadap Tuberkulosis tidak tetap. Hasil penelitian

29

menunjukan bahwa efek pencegahan BCG bervariasi antara


0%-80% (WHO, 1999).
Hasil penelitian Faris Muaz tahun 2014 dari hasil analisis
multivariat, variabel yang paling berpengaruh dengan kejadian
TB Paru BTA Positif Di Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang
Kota Serang adalah imunisasi BCG (OR= 3,041).
h. Merokok
Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian
dihisap isinya. Definisi perokok menurut WHO dalam depkes
tahun 2004 adalah mereka yang merokok setiap hari untuk
jangka waktu minimal 6 bulan selama hidupnya. Merokok
merupakan penyebab utama penyakit paru yang bersifat kronis
dan obstruktif, misalnya bronkitis dan emfisema. Merokok juga
terkait dengan influenza dan radang paru lainnya. Pada
penderita asma, merokok akan memperparah gejala asma sebab
asap rokok akan lebih menyempitkan saluran pernapasan. Efek
merugikan

tersebut

mencakup

meningkatnya

kerentanan

terhadap batuk kronis, produksi dahak dan serak. Merokok


diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko
untuk mendapatkan kanker paru, penyakit jantung koroner,
bronkitis kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan
merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak
2,2 kali (Faris Muaz, 2014).

30

Hasil penelitian Ryan Arvisza Falletehan tahun 2014 pada


penderita TB paru ditemukan lebih banyak adalah perokok
(25,7%), sedangkan bukan penderita TB paru lebih banyak
ditemukan adalah bukan perokok (30,0%). Hasil uji statistik
antara perilaku merokok dengan kejadian TB paru dengan Chi
square diperoleh nilai p=0,027, yang berarti terdapat hubungan
yang bermakna. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara perilaku merokok dan kejadian kejadian TB
paru dilakukan di BBKPM Surakarta dimana angka kejadian TB
paru lebih tinggi pada kelompok perokok yaitu (25,7%).
i. Pengetahuan
Pengetahuan penderita yang baik tentang penyakit TB paru
dan pengobatannya akan meningkatkan keteraturan penderita,
dibandingkan dengan penderita yang kurang akan pengetahuan
penyakit TB paru dan pengobatannya. Karena itu bimbingan
dan pengawasan yang dilakukan oleh PMO akan lebih terarah
dan baik. Sehingga akan meningkatkan keteraturan penderita
dalam pengobatan tersebut sehingga angka penularan akan
menurun. Seseorang yang punya pengetahuan yang baik tentang
penularan

TB

paru,

akan

berupaya

untuk

mencegah

penularannya. Kategori pengetahuan dapat dikelompokkan


berdasarkan perempuan benar responden. Pengetahuan tinggi

31

jika responden dapat menjawab dengan benar 75%, dan rendah


bila < 75% (Faris Muaz, 2014).
Hasil penelitian Iriyanti tahun 2015 menunjukkan ada
hubungan antara pengetahuan (P=0,047; OR=2,100) dengan
penyakit TB Paru di Puskesmas Jati Rahayu Kota Bekasi.
Hasil
menunjukan

penelitian
bahwa

Theresia
ada

Novitasari

hubungan

antara

tahun

2015

pengetahuan

(P=0,049; OR=3,059) dengan Penyakit TB Paru di Rumah Sakit


Marinir Cilandak.
2.1.2.3

Faktor Lingkungan (Environment)


a. Kepadatan Penghuni Rumah
Ukuran luas ruangan suatu rumah sangat terkait dengan
luas lantai bangunan rumah, dimana luas lantai bangunan
rumah yang sehat harus cukup untuk penghuni didalamnya.
Luas

bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah

penghuninya akan menyebabkan overcrowded. Hal ini tidak


sehat, sebab disamping meyebabkan kurangnya konsumsi
oksigen, jika salah satu anggota keluarga terkena penyakit
infeksi, akan mudah menularkan kepada anggota keluarga yang
lain. Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat
menyediakan 2,5-3 m2 untuk setiap orang (tiap anggota
keluarga) (Soekidjo, 2007).

32

Hasil penelitian Iriyanti tahun 2015 menunjukkan ada


hubungan antara kepadatan penghuni rumah (P=0,174) dengan
penyakit TB Paru di Puskesmas Jati Rahayu Kota Bekasi.
Hasil penelitian I Ketut Sujana tahun 2014 menunjukan
bahwa kepadatan penghuni rumah memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian penyakit TB Paru dengan nilai odds
ratio (OR) kepadatan penghuni rumah = 14,929. Maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kepadatan
penghuni dengan kejadian penyakit TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Mengwi I.

b. Kelembaban Rumah
Indikator kelembaban udara dalam rumah sangat erat
dengan kondisi ventilasi dan pencahayaan rumah. Bila kondisi
suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas akan
berdampak pada cepat lelah saat bekerja dan tidak cocok untuk
istirahat. Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan tidak
menyenangkan

dan

pada

orang

orang

tertentu

dapat

menimbulkan alergi. Hal ini perlu diperhatikan karena


kelembaban dalam rumah akan mempermudah berkembang
biaknya mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia
dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam
tubuh melalui udara, selain itu kelembaban yang tinggi dapat
menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering

33

sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme


(Kepmenkes, 1999).
Hasil penelitian Iriyanti tahun 2015 menunjukkan ada
hubungan antara kelembaban (P=0,314) dengan penyakit TB
Paru di Puskesmas Jati Rahayu Kota Bekasi.
c. Ventilasi
Ventilasi pada rumah memiliki banyak fungsi, selain
menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar juga
membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama
bakteri pathogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang
terus menerus. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar
ruangan rumah selalu dalam kelembaban yang optimum.
Ventilasi

yang

tidak

mencukupi

akan

menyebabkan

peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses


penguapan dan penyerapan cairan dari kulit. Kelembaban
ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk
tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri-bakteri patogen
termasuk kuman tuberkulosis (Soekidjo, 2007).
Hasil penelitian I Ketut Sujana tahun 2014 menunjukan
bahwa ventilasi memiliki hubungan yang signifikan dengan
kejadian penyakit TB Paru dengan nilai odds ratio (OR)
ventilasi = 9,048. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat

34

hubungan antara ventilasi dengan kejadian penyakit TB Paru di


Wilayah Kerja Puskesmas Mengwi I.
Hasil penelitian Iriyanti tahun 2015 menunjukkan ada
hubungan antara ventilasi (P=0,491) dengan penyakit TB Paru
di Puskesmas Jati Rahayu Kota Bekasi.
d. Pencahayaan Sinar Matahari
Cahaya

matahari

dapat

membunuh

bakteri-bakteri

pathogen dalam rumah, termasuk basil tuberkulosis. Oleh


karena itu, rumah yang sehat harus memiliki jalan masuk
cahaya yang cukup yaitu dengan intensitas cahaya minimal 60
lux atau tidak menyilaukan. Jalan masuk cahaya minimal 15%20% dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan rumah.
Cahaya matahari dimungkinkan masuk ke dalam rumah
melalui jendela rumah ataupun genteng kaca. Cahaya yang
masuk juga harus merupakan sinar matahari pagi yang
mengandung sinar ultraviolet yang dapat mematikan kuman,
dan memungkinkan lama menyinari lantai bukannya dinding
(Soekidjo, 2007).
Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko
menderita tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah
yang dimasuki sinar matahari (Depkes, 2008).
Hasil penelitian I Ketut Sujana (2014) menunjukan bahwa
pencahayaan

sinar

matahari

memiliki

hubungan

yang

35

signifikan dengan kejadian penyakit TB Paru dengan nilai odds


ratio (OR) pencahayaan sinar matahari = 11,4. Maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pencahayaan
sinar matahari dengan kejadian penyakit TB Paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Mengwi I. Serta, hasil penelitian Iriyanti
(2015) menunjukkan ada hubungan antara pencahayaan sinar
matahari (P=0,470) dengan penyakit TB Paru di Puskesmas
Jati Rahayu Kota Bekasi.
e. Lantai Rumah
Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses
kejadian tuberkulosis paru, melalui kelembaban dalam
ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban,
pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat
menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya (Azwar,
1996). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Iriyanti (2015)
bahwa kondisi rumah yang berlantai tanah memiliki hubungan
bemakna dengan kejadian tuberkulosis paru dengan (p= 0,125).
2.2 Penelitian yang relevan
Beberapa penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
penyakit TB paru, antara lain :
Berdasarkan hasil penelitian Ketut Sudiantara tahun 2014 ditemukan bahwa
sebagaian besar faktor yang mempengaruhi tingginya kasus TB paru yaitu faktor

36

Usia = 51-60 tahun (53%), Jenis Kelamin = laki-laki (56%), Pekerjaan = tidak
bekerja (62%).
Hasil penelitian Iriyanti tahun 2015 menunjukkan ada hubungan antara
pengetahuan (P=0,047; OR=2,100), sikap (P=0,033; OR=2,217), perilaku
(P=0,023; OR=2,344), kelembaban (P=0,314), lantai (P=0,125), suhu udara
(P=0,137), ventilasi (P=0,491), pencahayaan sinar matahari (P=0,470) dan
kepadatan penghuni rumah (P=0,174) dengan penyakit TB Paru di Puskesmas
Jati Rahayu Kota Bekasi.
Hasil penelitian Elisa S. Korua tahun 2014 ini menunjukan jumlah pasien
rawat jalan di RSUD Noongan didominasi oleh Laki-laki dan range umur paling
banyak adalah 15-55 tahun (73,8%). Dan hasil dari kepadatan hunian yang
memenuhi syarat 8m/kapita dengan total 58 responden. Jumlah pasien rawat
jalan di RSUD Noongan yang menderita TB Paru (BTA+) sebesar (62,3%). Ada
hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian TB Paru pada pasien rawat jalan
di RSUD Noongan dengan p=0,01.
Hasil penelitian Rikha Nurul Pertiwi tahun 2011 ini, beberapa faktor risiko
yang berhubungan dengan kejadian TB Paru adalah riwayat kontak penderita TB
Paru serumah (=0,001) dan lingkungan pekerjaan responden (=0,024). Dari
penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa riwayat kontak penderita TB Paru
serumah dan lingkungan pekerjaan merupakan faktor risiko kejadian TB Paru di
Kecamatan Semarang Utara.

37

Hasil penelitian Siti Nurjanah tahun 2013 menunjukkan ada hubungan yang
signifikan antara keberadaan sumber penularan dengan kejadian suspek TB Paru
( P= 0,005; OR= 2,364; CI 95%= 1,721-3,247).
Berdasarkan hasil penelitian Putra Yasa tahun 2013 menunjukan bahwa
variabel yang merupakan faktor risiko determinan terhadap kejadian tuberkulosis
paru adalah faktor ventilasi rumah (OR: 3,495; 95%CI: 1,47-8,32), kelembaban
(OR: 3,819; 95%CI: 1,61-9,08), pencahayaan (OR: 4,100 95%CI: 1,66-10,13),
suhu rumah (OR: 5,431; 95%CI: 1,90-15,39), dan status gizi (OR: 4,833; 95%CI:
2,26-10,32).
Hasil penelitian Theresia Novitasari tahun 2015 menunjukan bahwa ada
hubungan antara pengetahuan (P=0,049; OR=3,059), pendidikan (P=0,0163;
OR=3,750), kepadatan hunian (P=0,028; OR=3,431), dan pencahayaan hunian
(P=0,030; OR=3,333) dengan Penyakit TB Paru di Rumah Sakit Marinir
Cilandak.
Hasil penelitian I Ketut Sujana tahun 2014 menunjukan bahwa ventilasi,
pencahayaan sinar matahari dan kepadatan penghuni rumah memiliki hubungan
yang signifikan dengan kejadian penyakit TB Paru dengan nilai odds ratio (OR)
ventilasi = 9,048 , pencahayaan sinar matahari = 11,4 dan kepadatan penghuni
rumah = 14,929. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara
ventilasi, pencahayaan sinar matahari dan kepadatan penghuni dengan kejadian
penyakit TB Paru di Wilayah Kerja PT Puskesmas Mengwi I.
Hasil penelitian Ryan Arvisza Falletehan tahun 2014 pada penderita TB paru
ditemukan lebih banyak adalah perokok (25,7%), sedangkan bukan penderita TB

38

paru lebih banyak ditemukan adalah bukan perokok (30,0%). Hasil uji statistik
antara perilaku merokok dengan kejadian TB paru dengan Chi square diperoleh
nilai p=0,027, yang berarti terdapat hubungan yang bermakna. Maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara perilaku merokok dan kejadian
kejadian TB paru dilakukan di BBKPM Surakarta dimana angka kejadian TB
paru lebih tinggi pada kelompok perokok yaitu (25,7%).
Hasil penelitian Faris Muaz tahun 2014 dari hasil analisis multivariat,
variabel yang paling berpengaruh dengan kejadian TB Paru BTA Positif Di
Puskesmas Wilayah Kecamatan Serang Kota Serang adalah penghasilan (OR=
6,575), jenis kelamin (OR= 4,772), pekerjaan (OR= 3,272), dan imunisasi BCG
(OR= 3,041).
Hasil penelitian Putra Yasa tahun 2013 menunjukkan bahwa variabel yang
berpengaruh dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Karang Taliwang Kota
Mataram Provinsi NTB adalah ventilasi rumah (OR: 3,495; 95%CI: 1,47-8,32),
kelembaban (OR: 3,819; 95%CI: 1,61-9,08), pencahayaan (OR: 4,100 95%CI:
1,66-10,13), suhu rumah (OR: 5,431; 95%CI: 1,90-15,39), dan status gizi (OR:
4,833; 95%CI: 2,26-10,32).
2.3 Kerangka Teori
Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya penyakit TB Paru di Puskesmas wilayah Kecamatan
Cipayung Kota Jakarta Timur tahun 2016 dengan pendekatan teori Teori John
Gordon tahun 1950 yang dikutip oleh Azrul Azwar (1999) mengemukakan

39

bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu
bibit penyakit (agent), pejamu (host), dan lingkungan (environment).
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Faktor Penyebab Penyakit (Agent)
Mycobacteriun tuberculosis

Faktor Manusia (Host)


1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Pendidikan
4. Pekerjaan
5. Penghasilan
6. Status gizi
7. Status imunisasi BCG
8. Perilaku Merokok
9. Pengetahuan
Faktor Lingkungan (Environment)
1. Kepadatan penghuni rumah
2. Kelembaban rumah
3. Ventilasi
4. Pencahayaan Sinar Matahari
5. Lantai rumah

Penderita
Penyakit TB

Anda mungkin juga menyukai