Anda di halaman 1dari 24

Alat Deteksi Gempa dari Botol Bekas

CILEGON - Seorang karyawan sebuah perusahaan di Cilegon, Banten, menciptakan alat pendeteksi
sekaligus peringatan terjadinya gempa bumi. Uniknya, alat deteksi itu terbuat dari botol-botol bekas.

Memang, ketika menghampiri si pemilik ide di Cilegon, Banten, Sabtu (23/2/2008), tak ada yang spesial pada
alat sederhana ini. Alat pendeteksi gempa bumi ini hanya terbuat dari dua buah botol minuman yang
disusun.

Kedua botol mminuman itu lalu dipasangi kertas bertuliskan angka skala kekuatan gempa. Tapi siapa
sangka, alat yang diberi nama botol gempa itu, bisa memperingatkan orang disekitarnya, bahwa telah terjadi
gempa bumi. Sebab, botol gempa itu berfungsi sebagai alarm bahaya.
 
Caranya cukup sederhana, jika gempa terjadi, botol gempa akan bergetar. Kemudian, tumpukan botol pun
jatuh sehingga menimbulkan bunyi yang keras. Jatuhnya botol yang menimbulkan suara bising cukup
membuat orang yang berada disekitarnya terkejut.
 
"Jika ingin mendeteksi skala gempa yang lebih kecil, tak perlu repot, cukup menambahkan jumlah
tumpukan botol," ujar si pencipta botol gempa, Ahyadi.

Selain itu, tempat pemasangan botol gempa sangat praktis, yakni diletakan pada lantai gedung atau rumah
saja. Botol gempa ini diyakini dia cukup bekerja efektif, karena telah di uji coba dengan menentukan skala
gempanya. (Bayu Adi Wicaksono/Global/ism)

Alat Deteksi Gempa dari Botol Bekas


CILEGON - Seorang karyawan sebuah perusahaan di Cilegon, Banten, menciptakan alat pendeteksi
sekaligus peringatan terjadinya gempa bumi. Uniknya, alat deteksi itu terbuat dari botol-botol bekas.

Memang, ketika menghampiri si pemilik ide di Cilegon, Banten, Sabtu (23/2/2008), tak ada yang spesial pada
alat sederhana ini. Alat pendeteksi gempa bumi ini hanya terbuat dari dua buah botol minuman yang
disusun.

Kedua botol mminuman itu lalu dipasangi kertas bertuliskan angka skala kekuatan gempa. Tapi siapa
sangka, alat yang diberi nama botol gempa itu, bisa memperingatkan orang disekitarnya, bahwa telah terjadi
gempa bumi. Sebab, botol gempa itu berfungsi sebagai alarm bahaya.
 
Caranya cukup sederhana, jika gempa terjadi, botol gempa akan bergetar. Kemudian, tumpukan botol pun
jatuh sehingga menimbulkan bunyi yang keras. Jatuhnya botol yang menimbulkan suara bising cukup
membuat orang yang berada disekitarnya terkejut.
 
"Jika ingin mendeteksi skala gempa yang lebih kecil, tak perlu repot, cukup menambahkan jumlah
tumpukan botol," ujar si pencipta botol gempa, Ahyadi.

Selain itu, tempat pemasangan botol gempa sangat praktis, yakni diletakan pada lantai gedung atau rumah
saja. Botol gempa ini diyakini dia cukup bekerja efektif, karena telah di uji coba dengan menentukan skala
gempanya. (Bayu Adi Wicaksono/Global/ism)

QUAKE ALARM (Alat Deteksi Gempa Bumi)


Rate This
Quake Alarm” adalah sebuah alat yang dirancang untuk memberikan peringatan dini pada
sebuah gempa bumi tektonik dengan secara seketika mendeteksi gelombang kompresi ( P
compression wave) yang selalu menjalar lebih cepat dari pada gelombang perusak ( S shear
wave) . Quake Alarm” sangat sensitif untuk mendeteksi gempa bumi tektonik yang berpusat
ratusan kilometer jauhnya serta dapat mendeteksi gempa-gempa susulan yang terjadi didaerah
sekitar Anda.Quake Alarm” memberikan detik-detik berharga bagi Anda beserta keluarga untuk
dapat beraksi cepat dan tepat dalam mengambil langkah-langkah perlindungan.Quake Alarm”
sangat berguna pada malam hari karena bunyi alarm-nya dapat membangunkan Anda dari tidur
sehingga Anda sekeluarga dapat segera bersiaga dan berlindung ketempat yang lebih
aman.Quake Alarm” dapat mengeliminasi keraguan mengenai adanya suatu gempa bumi
dikarenakan pada saat bumi bergetar, kita mengalami disorientasi keseimbangan tubuh yang
mirip dengan gejala kesehatan vertigo ( kepala pening) . Suara keras dari pintu garasi yang
tertutup atau gemuruh kendaraan truk besar yang lewat juga dapat mengagetkan banyak orang
dan berpikir bahwa mereka sedang mengalami gempa bumi. Dengan adanya Quake Alarm” , kita
dapat memastikan bahwa yang terjadi pada saat itu adalah benar-benar sebuah gempa bumi
sehingga tidak ada lagi kebimbangan atau waktu yang tersia-sia untuk segera bertindak.5
KEUNGGULAN QUAKE ALARMTM: SIMPEL, MUDAH DAN TERJANGKAU
MEMBANGUNKAN ANDA SAAT TIDUR MEMASTIKAN ADANYA SEBUAH GEMPA
BUMI MEMBERIKAN DETIK-DETIK BERHARGA UNTUK BERLINDUNG SELAIN
GEMPA, JUGA DAPAT MENDETEKSI TANAH LONGSOR

KEUNTUNGAN QUAKE ALARM

a. Memberikan Peringatan Dini Pada Sebuah Gempa Bumi Tektonik : Dirancang Untuk
memberikan peringatan dini pada sebuah gempa bumi tektonik dengan secara seketika
mendeteksi gelombang kompresi ” P ” sehingga memberikan detik detik berharga untuk dapat
mengambil langkah perlindungan
b. Memastikan Adanya Sebuah Gempa Bumi : Dengan adanya Quake Alarm, kita dapat
memastikan bahwa yang terjadi saat itu adalah gempa bumi, sehingga tidak ada waktu yang
tersia-sia untuk dapat segera bertindak

c. Membangunkan Kita Saat Tidur : Quake Alarm sangat berguna pada malam hari, karena bunyi
alarmnya sangat keras ( 100 dB ) sehingga dapat membangunkan kita saat tidur, sehingga kita
dan keluarga dapat segera berlindung ke tempat yang lebih aman

d. Memonitor Gempa Gempa Susulan : Quake Alarm dapat memonitor gempa susulan yang
terjadi di sekitar tempat kita berada

d. Dapat Juga Mendeteksi Tanah Longsor : Quake Alarm akan berbunyi jika struktur dimana ia
berada mengalami kemiringan akibat bencana tanah longsor

CARA KERJA QUAKE ALARM

a. Sistem Pendulum Terbaik : Quake Alarm dilengkapi dengan komponen sistem pendulum
terbaik ( reverse pendulum system USA patent no. 5475372 ) yang sangat sensitif untuk
mendeteksi gelombang kompresi ” P ” pada saat sebuah gempa bumi tektonik terjadi. Pendulum
bergerak memicu sirkuit elektronik yang membunyikan suara alarm
b. Gelombang ” P ” dan ” S ” : Pada saat terjadi sebuah gempa bumi, terbentuk gelombang
gelombang yang disebabkan oleh pergeseran plat bumi dibawah permukaan tanah. Dua
gelombang utamanya adalah gelombang ” P ” dan gelombang ” S “. Gelombang ” P ” menjalar
lebih cepat dan relatif tidak terlalu berbahaya, disusul oleh gelombang perusak ” S ” yang relatif
lebih berbahaya karena akan menggunacangkan tempat kita berada. Menurut Badan Pengawas
Geologi USA , gelombang perusak ” S ” menjalar lebih lamban 1,75 kali lipat dibandingkan
dengan gelombang kompresi ” P ” atau kira kira 3,2 km/detik dibanding 4,8 km/detik .
Berdasarkan fakta bahwa gelombang kompresi ” P ” selalu menjalar lebih cepat daripada
gelombang perusak ” S ” , maka Quake Alarm akan berbunyi sebelum getaran gempa bumi
terasa ( dalam hitungan detik sampai menit , tergantung dari faktor kekuatan gempa serta
jauhnya pusat gempa )

PEMASANGAN QUAKE ALARM

Quake Alarm sangat mudah dipasang tanpa menggunakan sekrup,baut, atau peralatan lainnya.
Menggunakan baterai 9 volt yang dapat bertahan sampai 3 tahun dan tidak memerlukan
perawatan yang khusus. Sebelum pemasangan, tentukan lokasi penempatan unit. Kepekaan yang
baik akan dihasilkan bila unit dipasang pada tiang pondasi, struktur beton, atau pada dinding
yang kokoh. Tidak dianjurkan untuk dipasang pada papan gypsum atau triplek.

Alat Deteksi Gempa Bengkulu Baru Enam


Unit
Selasa, 09 Februari 2010 | 14:54 WIB
Besar Kecil Normal

TEMPO Interaktif, Bengkulu -  Dari 10  Kabupaten/kota di Bengkulu baru enam


kabupaten/kota yang memiliki alat deteksi gempa bumi. Alat deteksi itu ada  di  Kabupaten
Mukomuko, Kabupaten Bengkulu Utara tepatnya di Pulau Enggano, Kabupaten Bengkulu
Selatan, Kabupaten Lebong, Kabupaten Kepahiang dan Kota Bengkulu.

"Padahal ke-10 kabupaten/kota di Bengkulu  berpotensi dilanda gempa bumi," kata Kepala Pusat
Geologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kepahiang, Dadang Permana, 
hari ini. Dia berharap empat kabupaten lainnya,  yakni Kabupaten Kaur, Kabupaten Bengkulu
Tengah, Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Seluma.

Dadang mengatakan, potensi gempa bumi sangat tinggi di Bengkulu dimana pada tahun 2009
terjadi 412 kali gempa di Bengkulu. Enam alat deteksi gempa yang terpasang di enam titik
tersebut berhasil mendeteksi gempa yang berkekuatan di atas 5 skala richter sedangkan dibawah
skala tersebut bisa dideteksi melalui empat alat mini regional yang dikelola BMKG stasiun
Kepahiang.

Gempa yang mengguncang Bengkulu, kata Dadang,  terbagi dua yakni gempa darat yang
diakibatkan patahan Sumatra (Sumatran fault) dan gempa laut yang diakibatkan gesekan dua
lempeng aktif yakni Eurasia dan Indoaustralia. "Setiap bulan Bengkulu diguncang gempa rata-
rata sebanyak 36 hingga 40 kali," katanya.

Cara Prediksi Gempa

nospamy
30-05-2006, 10:04 PM
Beberapa ilmuwan sedang mempelajari cara prediksi gempa dengan mengamati tingkah laku
hewan, deteksi gas radon / radioaktif atau dengan gelombang FM.

Apakah hal ini sudah dilakukan di Indonesia?


Apakah hal ini bisa menyelamatkan ribuan nyawa?

Dari Kompas:
Pada artikel ini dibahas sisi lain dari pemantulan gelombang radio di lapisan ionosfer, yang
berpotensi untuk mendeteksi dini gempa dengan teknologi yang murah dan banyak tersedia.
Dengan cara ini, sesungguhnya pemantulan gelombang radio di lapisan ionosfer berpotensi
sebagai pendeteksi dini adanya gempa. Model teknologi yang murah dan banyak tersedia ini
sangat mungkin untuk diaplikasikan di berbagai tempat di Indonesia yang memang rawan terjadi
gempa.

Metode FM
Gelombang VHF, yang lebih sering kita kenal dengan gelombang FM karena sering digunakan
oleh radio untuk memancarkan siarannya, sesungguhnya merupakan gelombang yang banyak
fungsinya. Gelombang VHF (very high frequency) yang dipancarkan dari stasiun radio FM
(frequency modulation) sebenarnya (biasanya) jangkauannya tidak lebih dari radius sekitar 100
kilometer sehingga tanpa stasiun relay, gelombang FM yang dipancarkan dari Jakarta, misalnya,
tidak tertangkap stasiun penerima di Cirebon.
Namun, pada kondisi tertentu, gelombang yang dipancarkan dari sebuah stasiun FM bisa
menjangkau tempat yang letaknya sangat jauh. Kemampuan gelombang FM seperti inilah yang
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan pendeteksian. Misalnya, ketika ada gugusan komet
lewat, terjadi peningkatan kepadatan elektron di lapisan ionosfer sehingga gelombang FM yang
seharusnya menembus lapisan ionosfer mengalami pemancaran (scattering) dan pemantulan
(reflection) lagi ke Bumi.
Dengan memonitor gelombang FM dari stasiun pemancar jauh, setelah mengalami pemantulan
dan pemencaran bisa terdeteksi di stasiun penerima, bisa diperkirakan berapa jumlah komet yang
telah lewat. Metode ini dikenal dengan metode FM, dan bisa dilakukan hanya dengan stasiun
penerima FM biasa.
Metode FM ternyata tidak hanya teori belaka. Pada sekitar Agustus 1993, pada sebuah uji coba
metode FM di observatorium pegunungan Yatsugatake di Provinsi Yamanashi, Jepang, seorang
ahli astronomi Jepang, Y Kushida, memonitor karakter yang agak berbeda dengan gelombang
hasil pantulan yang disebabkan komet.
Dia memperkirakan kelainan gelombang pada stasiun penerima FM-nya tersebut ada
hubungannya dengan aktivitas lapisan bumi. Hipotesis tersebut menjadi sebuah keyakinan ketika
pada Januari 1995 tercatat kelainan data yang sangat signifikan dan kontinu dari arah Kobe.
Tidak lama berselang, tepatnya pada 17 Januari 1995, terjadilah gempa Kobe berkekuatan 7,3
skala Richter, yang memakan tidak kurang dari 6.400 korban jiwa. Sejak saat itu, aktivitas
penghitungan kometnya dihentikan, dan menggunakan fasilitas metode FM tersebut untuk
mendeteksi dini gempa. Sekarang di Jepang terdapat tidak kurang dari 50 tempat pengukuran,
yang diharapkan bisa memonitor 79 persen seluruh wilayah Jepang.
Tiga elemen prediksi gempa
Setelah temuan Y Kushida tersebut, semakin banyak data yang menunjukkan tingginya korelasi
kejadian gempa dan perubahan kondisi ionosfer. Namun, bagaimana sesungguhnya mekanisme
dan validitas metode ini untuk mendeteksi dini gempa, hal itu masih menjadi tanda tanya besar di
kalangan ilmuwan.
Salah satu hipotesis menyebutkan, pusat gempa (episentrum) mengalirkan arus listrik yang
sangat besar dan mengeluarkan gelombang elektro magnetik, yang disebabkan adanya perubahan
tegangan akibat aktivitas pergeseran dan patahan pada lapisan bumi.
Perubahan elektrisitas pada lapisan bumi ini berdampak pada peningkatan kepadatan elektron
pada lapisan ionosfer, tepat di atas pusat gempa (episentrum) dan sekitarnya, sehingga
terbentuklah partikel- partikel yang dapat memantulkan dan memencarkan gelombang FM.
Maka, pada kondisi tersebut, gelombang dari pemancar radio FM bisa menjangkau daerah yang
lebih jauh dari biasanya.
Menurut T Moriya dari Universitas Hokkaido, metode FM hanya memonitor bisa tidaknya sinyal
diterima sehingga tidak cukup untuk menjelaskan fenomena elektromagnetik yang terjadi. Untuk
mempelajari lebih dalam benang merah antara fenomena elektromagnetik tersebut dan gempa,
dia merintis pengukuran kekuatan gelombang dan kekuatan medan elektromagnetik
menggunakan peralatan yang sedikit lebih maju.
Lain lagi dengan S Fukushima, seorang guru ilmu alam di sekolah menengah di daerah Chiba.
Terilhami temuan Kushida, pada aktivitas ekstrakurikulernya dia berhasil mendeteksi fenomena
elektromagnetik lain yang terjadi menjelang gempa. Yaitu berupa peningkatan level noise
elektromagnetik yang cukup signifikan.
Metode tersebut berhasil memprediksi sekaligus mendeteksi gempa berkekuatan 4,7 skala
Richter di barat laut Chiba pada Agustus 2003. Hasil temuannya yang dipublikasikan lewat
internet diakses oleh sangat banyak pengunjung. Masyarakat Jepang, terutama sekitar Tokyo,
memiliki kekhawatiran cukup tinggi terhadap gempa. Karena menurut perkiraan para ahli
gempa, besar kemungkinan akan terjadi gempa besar di sekitar Tokyo dalam tenggang waktu 70-
100 tahun setelah bencana Kanto 1923.
Gempa berkekuatan 7,9 skala Richter yang terjadi pada tengah hari 1 September 1923 ini
mengakibatkan tidak kurang dari 140.000 korban jiwa dan menghancurkan lebih dari 440.000
rumah sehingga menjadi catatan sejarah yang sulit terlupakan sampai saat ini. Informasi gempa
setidaknya harus mencakup tiga elemen: waktu kejadian gempa, lokasi pusat gempa, dan
kekuatan gempa.
Y Kushida lebih jauh memaparkan bahwa metode FM berpotensi memenuhi ketiga syarat
tersebut. Untuk memprediksi waktu, berdasarkan pengalaman dan data, kelainan atmosferik
biasanya mulai muncul secara kontinu tidak lebih dari dua pekan sebelum terjadinya gempa.
Dimulai dengan kelainan berskala kecil, kemudian makin membesar dan membesar, dan setelah
itu terhenti. Beberapa saat setelah terhenti, barulah terjadi gempa. S Fukushima juga mendeteksi
noise elektromagnetik, terutama 100 jam sebelum terjadinya gempa. Dengan memperbanyak
data statistik, diharapkan prediksi waktu ini bisa semakin akurat. Sementara untuk memprediksi
lokasi pusat gempa mengingat metode FM hanya berdasar pada proses pemantulan gelombang
pada lapisan ionosfer di atas pusat gempa dan sekitarnya, metode ini hanya mengetahui arah
datangnya gelombang. Yaitu dengan melihat hubungan posisi geografis antara titik pengukuran
gelombang dan stasiun pemancar radio FM.
Posisi pemancar radio FM sendiri sangat mudah diketahui dari frekuensi yang dipergunakan.
Untuk meningkatkan akurasi prediksi lokasi, perlu memperbanyak titik pengukuran dan
menghubungkan data-data yang terkumpul satu sama lain. Mengenai kekuatan gempa, sebagian
ahli memperkirakan jenis dan bentuk gelombang yang terdeteksi dipengaruhi oleh panjang
retakan atau patahan, kekuatan gempa. Namun, informasi mengenai hal ini pun masih sangat
sedikit sehingga perlu diteliti lebih lanjut.
Kesulitan dalam memprediksi gempa
Banyak ilmuwan yang telah sepakat bahwa sebelum gempa, ada fenomena-fenomena tertentu
yang mendahuluinya. Misalnya, siaran televisi dan radio banyak noise-nya, telefon seluler susah
terhubungi. Fenomena tersebut diperkirakan ada kaitannya dengan gelombang radio
(elektromagnetik). Sering pula dilaporkan kepanikan pada hewan tertentu menjelang gempa.
Di antara hewan yang secara historis dianggap peka terhadap gempa adalah lele (Silurus asotus).
Pada kepercayaan lama di Jepang, bahkan lele ini yang diyakini membawa gempa karena
beberapa saat sebelum gempa, hewan ini sering menunjukkan kondisi panik dan tidak tenang.
Menurut sebuah studi, lele ini memiliki sensor khusus pada seluruh tubuhnya yang dapat
mendeteksi aliran listrik yang sangat lemah sekalipun. Dengan demikian, diperkirakan dia bisa
merasakan perubahan elektromagnetik menjelang datangnya gempa. Namun tentunya, sulit bagi
kita mengatakan kepanikan lele pasti tanda datangnya gempa.
Informasi prediksi gempa, karena beberapa alasan, tidak bisa disamakan dengan prediksi cuaca.
Gempa itu datangnya sewaktu-waktu, bahkan belum tentu sekali seumur hidup. Selain itu, akibat
kedua atau ketiga yang ditimbulkan pun bisa jauh lebih besar daripada gempa itu sendiri.
Bencana alam di Aceh beberapa saat lalu, korban akibat gelombang tsunami yang disebabkan
oleh gempa jauh lebih besar daripada korban getaran gempa itu sendiri secara langsung.
Dari segi biaya dan teknologi, studi lebih lanjut mengenai metode FM dan pengukuran
elektromagnetik tersebut termasuk cukup memungkinkan untuk dilaksanakan di Indonesia,
bahkan di berbagai pelosok daerah. Indonesia, yang secara geografis tempat bertemunya
beberapa plate besar, merupakan negara yang sering terjadi gempa bumi sehingga sudah
selayaknya mengembangkan metode FM yang murah ini untuk mendeteksi gempa.

Peramalan gempa di Taiwan dengan gas radon:

"The spectra of continuous monitoring of soil gas radon with an improved solid-state detector
placed in an active fault zone in south central Taiwan appear to support these theoretical
predictions. The observation is a quick raise in radon level about a couple of weeks before a
noticeable earthquake, and a peak precursor one to seven days before the occurrence. Noticeable
earthquakes occur frequently in Taiwan that permits us to recognize stressed and relaxed states
of the rock formations by using the recorded radon spectrum."

Pencurian Seismograf dan Buoy

Filed under Orek-orek

Baru-baru ini kita dikagetkan oleh berita hilangnya seismograf di salah satu stasiun pengamatan
Gunung Merapi di daerah kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Walaupun para pencurinya
sekarang sudah diamankan dan sedang menuju proses pengadilan, perasaan greget, kesal, muntab
dan sejenisnya tetep saja memenuhi benak dan pikiran saya. Kenapa hal seperti ini terus terjadi?.
Masih belum hilang dalam ingatan kita, kasus pencurian Buoy, alat pendeteksi tsunami yang
diletkakkan di lepas pantai Sumbar-Sumut. Alat pendeteksi dini tsunami hasil kerjasama anak
bangsa, orang-orang BPPT, dan Jerman ini dilarikan ke arah barat pesisir pantai Sumut oleh
kawanan maling dan ini diketahui oleh satelit pemantau TEWS (Tsunami Early Warning
System) di Jerman yang dilaporkan kepada BPPT. Padahal, menurut penuturan Koordinator
Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) wilayah Sumbar, Ir Ade Edward yang dikutip oleh
POSMETRO, Kamis (23/03/2006), Buoy tersebut adalah alat pemantau tsunami tercanggih di
dunia. Bahkan kalau dibandingkan dengan alat pemantau tsunami milik Jepang sekalipun, alat ini
jauh lebih canggih. Karena sistem kerja Buoy ini sangat aktif, berbeda halnya dengan pemantau
tsunami lain yang bersifat pasif. Informasi sekecil apapun dikirimkan alat ini ke satelit, sehingga
pergerakan gelombang laut diketahui setiap saat.

Kasus-kasus pencurian kabel telkom, kabel listrik dan besi rel kerata api adalah contoh-contoh
kasus lain yang tak sama tapi serupa. Entah sampai kapan kejadian pencurian alat-alat milik
negara yang menyangkut kepentingan dan kesalamatan orang banyak ini akan berhenti. Entah
apa pula yang hal sebenarnya yang melatarbelakangi para maling ini beraksi bahkan sampai pada
alat-alat strategis seperti ini. Kalaulah para pencuri in melakukannya karena iseng, mungkin
harus diberi hukuman yang berat sehingga menimbulkan efek jera bukan saja untuk dirinya tapi
juga bagi yang lain yang hendak mencoba bermain-main dengan keselamatan orang banyak.
Faktor ekonomi? karena terpakasa untuk membeli sesuap nasi? Sunggih miris kalau
kenyataannya seperti ini. Bagaimana tidak, alat-alat canggih seperti disebutkan di atas adalah
alat-alat berteknologi tinggi dan berharga mahal, alat yang bisa membantu “menyelamatkan”
ribuan nyawa orang, oleh para pencuri ini akan dihancurkan kemudian diperlakukan layaknya
besi tua dikilo dan dihargai dengan uang seharga beberapa piring nasi dan lauknya.

Memang dari beberapa kasus yang terkuak, apapun alasannya, alasan ekonomi, iseng ataupun
hobi mencuri, mereka semua dilandasi ketidaktahuan akan fungsi alat-alat yang mereka curi itu.
Para pencuri Buoy tidak menyadari kalau pada Buoy terpasang alat yang memungkinkan buoy
itu sendiri dapat terpantau oleh stasiun pemantau kemanapun perginya, sehingga pergerakan
yang terlalu jauh dari asalanya , yang dicurigai digerakan manusia dapat terdeteksi seperti pada
saat dicuri tersebut.

Mengapa masyarakat sampai tidak tahu seluk beluk alat-alat tersebut? Jawaban yang paling
mungkin adalah : Sosialisasi tentang alat-alat ini kepada masyaraka luas sangat kurang. Lebih
jauh mungkin sosialisasi tentang bencana alam dan seluk beluknya termasuk didalamnya tentang
penanggulangan dini, apa yang harus dilakukan tatkala terjadi sebuah bencana alam dan hal-hal
lainnya. Saya sendiri yakin instansi-instansi terkait sudah dan sedang melakukan sosialisi-
sosialisi seperti ini hanya mungkin belum optimal sehingga tidak menjangkau seluruh lapisan
masyarakat sampai ke pelososk-pelosok desa.

Untuk hal keteraturan dan kerapihan dalam mitigasi dan managemen bencana alam, negara
Jepang harus diakui ada di garis terdepan. Termasuk di dalamnya adalah sosialisasi tentang
bencana alam itu sendiri, fenomena kejadiannya, istilah-istilahnya, alat-alat, dan lain-lain yang
ada hubungannya dengan bencana alam tersebut. Sosialisasi ini bukan saja kepada orang dewasa,
bahkan betul-betul sejak dini, kepada anak kecil. Hal ini dialami oleh anak saya yang baru
berumur 5 tahun yang sudah masuk di sebuah play group.sejak tahun lalu. Setiap 6 bulan sekali
ada kunren (latihan) berupa simulasi antara pihak play group yang diwakili oleh guru-gurunya,
para anak dan orang tua. Simulasi ini memperagakan seandainya ada gempa terjadi betulan, apa
yang harus dilakukan oleh pihak sekolah, beserta anak dan begitu juga orang tua dari anak-anak
ini yang kebetulan sedang melakukan aktifitas sehari-hari, bekerja misalnya. Sederhana, tapi
sosialisasi ini bagus juga sekaligus menjadi pendidikan bagi anak saya. Anak saya jadi tahu
istilah gempa, kemana harus berlindung kalau ada gempa dan lain-lainnya.

Di masyarakat kita, istilah tsunami baru benar-benar memasyarakat setelah terjadi bencana besar
tsunami tahun 2004 itu. Kecuali orang-orang yang bergelut dengan ilmu geologi dan ilmu
sekerabatnya sajalah yang tahu proses terjadinya tsunami dan bahaya tsunami. Yaitu tadi
sosialisi tentang tsunami sebelum terjadinya bencana tsunami itu sangatlah kurang, hanya
terbatas pada lingkungan sekolah dan perguruan tinggi. Di jepang sosialisasi berbagai bencana
alam dengan berbagai penanggulangannya mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling
sulit dilakukan secara sistematis dan mudah dimengerti oleh masyarakat. Menyeluruh menyentuh
setiap lapisan masyarakat sampai ke pelosok desa, mulai dari anak-anak sampai orang tua
dangan bahasa yang mudah dimengerti.

Adalah menjadi tugas intansi-intansi terkait bekerja sama dengan aparat pemerintah sampai
lapisan terbawah untuk memberikan sosialisi-sosialisai semua hal tentang seluk-beluk tentang
bencana alam ini. Media masa baik elektronik ataupun cetak sudah semestinya turut dalam
menyukseskan program-program sosialisasi ini sebagai bentuk kesadaran dan sumbangan untuk
turut memberikan pencerahan kepada masyarakat. Para akademisi dan para peneliti mungkin
sudah saatnya untuk turun gunung, tidak saja hanya menyepi di lab melulu melakukan penelitian
(masih mending deng dari pada sibuk ngobjek….penelitian dilabpun terlantar.. ), tapi juga
menulis di media-media nasional atau apapun bentuknya, yang jelas menyumbangkan pemikiran
memberikan pencerahan kepada masyarakat awam khususnya tentang bencana alam dan seluk
beluknya. Dengan kata lain para akademisi dan para peneliti ini termasuk di dalamnya para
dosen, harus bisa membumikan bahasa enjlimet ilmu pengetahuan yang dimilikinya ke dalam
bahasa yang paling mudah yang bisa dimengerti oleh masyarakat awam sehingga masyarakat
tercerahkan.

Kembali lagi ke masalah pencurian seismograf tadi, pada akhirnya bicara masalah pencurian,
tidak lepas dari masalah mental. Apapun alasannya, mencuri tidak dapat dibenarkan. Hak orang
lain tetap menjadi hak orang lain. Hanya karena terlihat seperti tidak bertuan, tidak lantas
menjadi otomatis menjadi milik aku sendiri. Walaupun misalanya nggak ketahuan kambing
siapa, mentang-mentang masuk ke halaman rumah kita terus kita tangkep tuh kambing terus
disembelih, inipun nggak boleh..he..he…gak nyambung Ada tidaknya mental seperti inilah
yang akan memepengaruhi mencuri atau tidaknya seseorang. Masalah sulit nya ekonomi tidak
akan pernah menjadikan mencuri menjadi hal yang benar. Walaupun bisa jadi karena sebuah
alasan hukumannya akan menjadi ringan, atau bahkan tidak dihukum. Yang jelas mencuri adalah
mencuri. Seperti yang pernah terjadi pada saat Umar r.a menjadi Khalifah. Kasus pencurian
terjadi pada saat musim paceklik, orang serba susah pada saat itu. Umar r.a tidak menjatuhkan
hukuman potong tangan, malah beliau membebaskan si pencuri itu. Dan tindakan selanjutnya
yang diambil Umar r.a adalah memanggil semua gubernur untuk membicarakan jalan keluar
supaya tidak terjadi kasus pencurian lagi.

Maka itu, mengadili dan menghukum para pencuri itu sangatlah mudah. Akan tetapi yang harus
kita lukakan bukan saja menghukum dan mengadili pelaku pencurian itu, tapi bagimana agar
tidak terjadi kasus serupa atau paling tidak menekan angkanya, dengan memberikan pencerahan
dan pendidikan secara sitematis dan terpadu dari berbagai instansi dan orang-orang terkait
kepada masyarakat luas dalam bahasa yang paling mudah dimengerti oleh mereka.

Tags: buoy, earthquake, gempa, gunung api, merapi, seismograf, volcano

Melihat Kehidupan di Puing Gempa Sumbar


Laporan: Kompas.com
Kamis, 8 Oktober 2009 | 12:48 WITA

KEAMPUHAN sistem deteksi dengan menggunakan sistem radar kembali dibuktikan pada
penanganan bencana gempa Padang, Sumatera Barat. Selama ini aplikasi teknik deteksi radar
sudah dilakukan pada pemantauan cuaca serta lalu lintas penerbangan dan pelayaran.

Belakangan radar digunakan dalam pencarian situs purba di bawah tanah dan pencarian obyek
penting yang terpendam di bawah tanah.
Pada bencana gempa Padang akhir September lalu banyak bangunan bertingkat yang ambles
sehingga memerangkap beberapa orang di bawah reruntuhannya. Untuk mencari mereka yang
masih dalam kondisi hidup diterapkan alat yang disebut detektor kehidupan (life detector).
Pencarian dalam misi penyelamatan pascabencana dilakukan khususnya dalam lingkungan yang
sulit dan pada lokasi yang tertimbun dalam.

Menurut Emi Frizer, senior SAR Instructor di Basarnas yang mengoperasikan alat tersebut di
Padang, alat buatan Meksiko ini baru pertama kali digunakan di Indonesia sejak enam bulan
terakhir.

Sebelum digunakan di Padang, detektor ini digunakan untuk mencari korban yang tertimbun
longsoran di Tasikmalaya dan Cianjur, Jawa Barat, saat kawasan itu dilanda gempa.

"Pada pengoperasian di Tasikmalaya selama sembilan hari alat tersebut berhasil menyelamatkan
sekitar tiga orang dari dalam rumahnya yang tertimbun longsoran," ujar Emi.

Namun, Emi menyayangkan keberhasilan pendeteksian korban hidup yang terjebak dalam
reruntuhan bangunan di Hotel Ambacang dan beberapa gedung lain yang runtuh tidak diikuti
dengan evakuasi yang baik sehingga akhirnya nyawa mereka tidak terselamatkan.

"Penggunaan alat-alat berat dalam mengangkat puing, getarannya justru menggeser tumpukan
puing bangunan sehingga mengimpit mereka," ujar Emi.

Sementara itu, menurut Gagah Prakosa, Kepala Humas Basarnas, keterbatasan alat juga
membuat mereka yang terpantau di bawah puing akhirnya meninggal. Pembongkaran reruntuhan
bangunan yang memerangkap korban di Hotel Ambacang memakan waktu sekitar delapan jam.
Padahal saat hari pertama life detector memantau, ada empat orang yang masih hidup.

Aplikasi "life detector"

Sistem deteksi radar ini digunakan pada operasi pencarian korban yang masih hidup, tidak hanya
yang dilanda gempa bumi dan tanah longsor, tetapi juga investigasi tindak kriminal di konstruksi
bawah tanah.

Sistem deteksi ini memadukan teknologi radar pada kanal gelombang ultralebar dan teknologi
biomedicine. Dengan penetrasi yang kuat, alat ini mampu melacak karakter kehidupan, seperti
napas dan gerakan tubuh, secara tepat mengetahui jarak dan kedalaman jasad hidup yang
terkubur, serta memiliki kemampuan tinggi untuk mengatasi interferensi atau gangguan sinyal.

Dibandingkan dengan teknologi deteksi menggunakan frekuensi audio atau inframerah optis, alat
ini tidak terpengaruh oleh interferensi suhu lingkungan, obyek panas, dan suara.

Radar pendeteksi kehidupan telah dikembangkan untuk mendeteksi posisi korban hidup secara
cepat dan tanpa dibatasi kondisi geografi, seperti reruntuhan, asap, dan daerah pertambangan
yang kolaps serta kondisi korban, seperti terluka atau pingsan.
Sistem detektor ini terdiri dari bagian utama dan tampilan layar sistem pengontrol. Bagian utama
sistem radar terdiri dari antena, pemancar, penerima sinyal, pengatur awal dan pengontrol sinyal,
serta sistem daya.

Pada dasarnya bagian ini menangani gelombang elektromagnetik dan komunikasi data. Adapun
sistem pengontrol mengaktifkan konsol remote tanpa kabel dan bagian utama radar dengan
menampilkan hasil deteksi radar.

Dijelaskan Emi, dalam pengoperasiannya, alat ini harus dibebaskan dari keberadaan manusia
pada radius 30 kaki atau 9 meter. Adapun kedalaman lokasi yang dapat terpantau berkisar 3
meter hingga 6 meter.

Alat berukuran 60 x 40 sentimeter dan setinggi 20 sentimeter ini mampu memantau korban
berdasarkan gerakan tubuh dan detak jantung hingga kedalaman 6 meter. Adapun napas
terpantau hingga kedalaman 3 meter.

Lama gelombang untuk merambat hingga mencapai obyek tergantung dari kekerasan media yang
menutupi. Untuk media beton, maksimum waktu yang diperlukan 120 detik. "Bila dalam 120
detik layar monitor pada alat seukuran PDA atau telepon seluler yang dipegang operator tidak
menunjukkan hasil, itu artinya obyek tidak terdeteksi atau terjangkau alat ini," jelasnya.

Saat ini alat tersebut dikembangkan oleh beberapa negara, bukan hanya negara maju, melainkan
juga negara berkembang. Selain Meksiko, di pasaran juga ditemukan life detector buatan China
dan Singapura.(*)
 

Melihat Kehidupan di Puing

BIKEN.COM
Alat pendeteksi kehidupan
Artikel Terkait:
Kamis, 8/10/2009 | 10:28 WIB

Oleh Yuni Ikawati


KOMPAS.com - Keampuhan sistem deteksi dengan menggunakan sistem radar kembali
dibuktikan pada penanganan bencana gempa Padang, Sumatera Barat. Selama ini aplikasi teknik
deteksi radar sudah dilakukan pada pemantauan cuaca serta lalu lintas penerbangan dan
pelayaran.

Belakangan radar digunakan dalam pencarian situs purba di bawah tanah dan pencarian obyek
penting yang terpendam di bawah tanah.

Pada bencana gempa Padang akhir September lalu banyak bangunan bertingkat yang ambles
sehingga memerangkap beberapa orang di bawah reruntuhannya. Untuk mencari mereka yang
masih dalam kondisi hidup diterapkan alat yang disebut detektor kehidupan (life detector).
Pencarian dalam misi penyelamatan pascabencana dilakukan khususnya dalam lingkungan yang
sulit dan pada lokasi yang tertimbun dalam.

Menurut Emi Frizer, senior SAR Instructor di Basarnas yang mengoperasikan alat tersebut di
Padang, alat buatan Meksiko ini baru pertama kali digunakan di Indonesia sejak enam bulan
terakhir.

Sebelum digunakan di Padang, detektor ini digunakan untuk mencari korban yang tertimbun
longsoran di Tasikmalaya dan Cianjur, Jawa Barat, saat kawasan itu dilanda gempa.

”Pada pengoperasian di Tasikmalaya selama sembilan hari alat tersebut berhasil menyelamatkan
sekitar tiga orang dari dalam rumahnya yang tertimbun longsoran,” ujar Emi.

Namun, Emi menyayangkan keberhasilan pendeteksian korban hidup yang terjebak dalam
reruntuhan bangunan di Hotel Ambacang dan beberapa gedung lain yang runtuh tidak diikuti
dengan evakuasi yang baik sehingga akhirnya nyawa mereka tidak terselamatkan.

”Penggunaan alat-alat berat dalam mengangkat puing, getarannya justru menggeser tumpukan
puing bangunan sehingga mengimpit mereka,” ujar Emi.

Sementara itu, menurut Gagah Prakosa, Kepala Humas Basarnas, keterbatasan alat juga
membuat mereka yang terpantau di bawah puing akhirnya meninggal. Pembongkaran reruntuhan
bangunan yang memerangkap korban di Hotel Ambacang memakan waktu sekitar delapan jam.
Padahal saat hari pertama life detector memantau, ada empat orang yang masih hidup.

Aplikasi ”life detector”

Sistem deteksi radar ini digunakan pada operasi pencarian korban yang masih hidup, tidak hanya
yang dilanda gempa bumi dan tanah longsor, tetapi juga investigasi tindak kriminal di konstruksi
bawah tanah.

Sistem deteksi ini memadukan teknologi radar pada kanal gelombang ultralebar dan teknologi
biomedicine. Dengan penetrasi yang kuat, alat ini mampu melacak karakter kehidupan, seperti
napas dan gerakan tubuh, secara tepat mengetahui jarak dan kedalaman jasad hidup yang
terkubur, serta memiliki kemampuan tinggi untuk mengatasi interferensi atau gangguan sinyal.
Dibandingkan dengan teknologi deteksi menggunakan frekuensi audio atau inframerah optis, alat
ini tidak terpengaruh oleh interferensi suhu lingkungan, obyek panas, dan suara.

Radar pendeteksi kehidupan telah dikembangkan untuk mendeteksi posisi korban hidup secara
cepat dan tanpa dibatasi kondisi geografi, seperti reruntuhan, asap, dan daerah pertambangan
yang kolaps serta kondisi korban, seperti terluka atau pingsan.

Sistem detektor ini terdiri dari bagian utama dan tampilan layar sistem pengontrol. Bagian utama
sistem radar terdiri dari antena, pemancar, penerima sinyal, pengatur awal dan pengontrol sinyal,
serta sistem daya. Pada dasarnya bagian ini menangani gelombang elektromagnetik dan
komunikasi data. Adapun sistem pengontrol mengaktifkan konsol remote tanpa kabel dan bagian
utama radar dengan menampilkan hasil deteksi radar.

Dijelaskan Emi, dalam pengoperasiannya, alat ini harus dibebaskan dari keberadaan manusia
pada radius 30 kaki atau 9 meter. Adapun kedalaman lokasi yang dapat terpantau berkisar 3
meter hingga 6 meter.

Alat berukuran 60 x 40 sentimeter dan setinggi 20 sentimeter ini mampu memantau korban
berdasarkan gerakan tubuh dan detak jantung hingga kedalaman 6 meter. Adapun napas
terpantau hingga kedalaman 3 meter.

Lama gelombang untuk merambat hingga mencapai obyek tergantung dari kekerasan media yang
menutupi. Untuk media beton, maksimum waktu yang diperlukan 120 detik. ”Bila dalam 120
detik layar monitor pada alat seukuran PDA atau telepon seluler yang dipegang operator tidak
menunjukkan hasil, itu artinya obyek tidak terdeteksi atau terjangkau alat ini,” jelasnya.

Saat ini alat tersebut dikembangkan oleh beberapa negara, bukan hanya negara maju, melainkan
juga negara berkembang. Selain Meksiko, di pasaran juga ditemukan life detector buatan China
dan Singapura.

TANDA SEBELUM TSUNAMI


2008-08-07 23:51

Hewan Pendeteksi Gejala  Tsunami

GEMPA bumi dan gelombang tsunami yang melanda Asia telah memicu digelarnya Konferensi
Tingkat Tinggi Tsunami (KTT Tsunami) di Jakarta pada tanggal 6 Januari 2005 lalu. KTT yang
dihadiri para pemimpin negara dan organisasi internasional ini telah menyepakati dibangunnya
sistem peringatan dini (early warning system) untuk meminimalisasi risiko yang ditimbulkan
bencana tsunami.
Pembangunan sistem peringatan dini ini memerlukan dana lebih dari 1 miliar dolar AS. Sistem
ini pun membutuhkan sedikitnya 30 seismograf, sepuluh pelampung pendeteksi gelombang, dan
enam alat khusus yang ditempatkan di kedalaman lautan. Jika saja manusia dapat merasakan
gejala tsunami, pembangunan sistem peringatan dini ini pun tidak begitu diperlukan.

Sebenarnya, alam telah memberikan peringatan sebelum terjadinya sebuah gempa atau tsunami.
Beberapa hewan memiliki kemampuan untuk mendeteksi dan merasakan gejala tsunami yang
tidak dapat dilakukan manusia dan peralatan secanggih apa pun.

Kantor berita Reuters melaporkan, Taman Nasional Yala di Sri Langka telah dipenuhi mayat
manusia, namun tidak satu pun ditemukan bangkai-bangkai hewan. Taman Nasional Yala
merupakan rumah bagi 200 ekor gajah Asia, leopard, rusa, dan hewan liar lainnya. Gelombang
tsunami yang menerjang Sri Langka sama sekali tidak membunuh hewan-hewan yang terdapat di
daerah tersebut.

Seorang staf di Taman Nasional Yala mengatakan, tidak ada gajah yang mati, bahkan tidak
ditemukan bangkai hewan kecil seperti kelinci sekalipun. Hewan memiliki indra keenam dan
dapat merasakan gejala suatu bencana.

Di Pantai Khao Lak, Thailand, gajah-gajah tunggang yang sedang dinaiki turis terlihat gelisah
dan berlarian ke arah bukit. Beberapa saat sebelum datangnya gelombang, gajah ini terus-
menerus bersuara dan gelisah (agitated). Mereka ini kembali tenang dan tidak bersuara setelah
berada di bukit. Setelah itu, muncul gelombang tsunami yang menghantam pantai sejauh 1 km.
Gajah-gajah yang ditunggangi turis itu pun selamat dan tidak tersentuh gelombang. Gajah ini
telah menyelamatkan sejumlah turis asing dari gelombang tsunami.

Ethologi sebagai ilmu

Kepercayaan yang mengatakan, hewan dapat merasakan gejala alam dan gempa telah ada sejak
berabad-abad yang lalu. Tahun 373 sebelum masehi, sejumlah sejarawan mencatat, hewan
seperti tikus, ular, dan musang telah meninggalkan kota Helis di Yunani beberapa hari sebelum
terjadinya gempa yang menghancurkan kota tersebut.

Hewan memiliki tingkah laku yang terlihat dan saling berkaitan secara individual maupun
kolektif. Berbagai macam tingkah laku hewan merupakan cara bagi hewan tersebut untuk
berinteraksi secara dinamik dengan lingkungannya. Tingkah laku yang dimiliki berbagai macam
hewan telah melahirkan bidang ilmu tersendiri bernama ethology. Ethologi merupakan ilmu yang
mempelajari gerak-gerik atau tingkah laku hewan di lingkungan alam dan di lingkungan lain
hewan tersebut biasa hidup.

Para peneliti perilaku hewan (ethologist) mempelajari fisiologi perilaku dengan metode analisis
dan morfologi perilaku dengan metode komparatif. Konrad Z. Lorenz dianggap sebagai Bapak
Ethologi Modern. Lorenz merumuskan, perilaku hewan, adaptasi fisiknya, merupakan bagian
dari usahanya untuk hidup. Dalam ethologi diakui, perilaku hewan timbul berdasarkan motivasi,
hal ini menunjukkan, hewan mempunyai emosi. Etologi erat kaitannya dengan bidang ilmu lain
seperti geologi, karena ada beberapa perilaku hewan yang dapat menunjukkan akan terjadinya
suatu gempa atau tsunami.

Meskipun demikian, beberapa ahli geologi di Amerika masih bersikap skeptis dalam melihat
fenomena tingkah laku hewan sebelum terjadinya tsunami. Andi Michael, seorang ahli dari
United States Geological Survey (USGS) menganggap, tingkah laku abnormal hewan yang
terlihat sebelum terjadinya tsunami ini hanyalah sebuah anekdot.

USGS menyatakan, tidak ada hubungan antara perilaku hewan dengan terjadinya gempa. Pada
tahun 1970-an, USGS pernah melakukan penelitian tentang prediksi gempa melalui pengamatan
perilaku hewan, namun tidak ada hasil nyata dari penelitian tersebut.

Gempa di Haicheng dan Tangshan

Sementara itu, George Carayanis dalam artikelnya menulis, sebuah penelitian di Cina telah
mengindikasikan penggunaan perilaku hewan sebagai metoda untuk memprediksi sebuah gempa.
Para peneliti telah sukses memprediksi sebuah gempa di Kota Haicheng pada bulan Februari
1975 melalui pengamatan perilaku hewan yang abnormal. Ular keluar dari lubangnya di musim
dingin dan terlihat pula kemunculan sejumlah besar tikus yang berlari tanpa arah. Kejadian ini
diakhiri beberapa gempa pada akhir Desember 1974.

Pada bulan Januari 1975, laporan mengenai perilaku hewan yang abnormal telah diterima di
berbagai tempat di kota Haicheng. Aktivitas ini semakin intensif pada tiga hari pertama di bulan
Januari dan telah dilaporkan pula, hewan ternak seperti sapi, babi, kuda, dan anjing telah
memperlihatkan tingkah laku yang abnormal. Setelah itu, pada tanggal 4 Februari 1975 sebuah
gempa pun menghancurkan kota Haicheng di Provinsi Liaoning Cina. Namun, melalui
pengamatan perilaku hewan ini, sekira 90.000 nyawa dapat diselamatkan.

Setahun kemudian, seorang peternak kuda di sekitar kota Tangshan, Cina, melaporkan, kuda dan
keledai mereka tidak mau makan, namun ternak tersebut malah melompat dan menendang
hingga keluar dari kandang. Beberapa detik kemudian, terlihat cahaya putih menyilaukan di
angkasa dan terjadilah gempa di area tersebut. Laporan lain menyebutkan, beberapa ekor
kambing menolak kembali ke kandang, kucing dan anjing membawa anak-anaknya keluar
rumah, babi mengeluarkan suara-suara aneh, ayam meninggalkan kandang di tengah malam, ikan
berenang tanpa tujuan, dan burung-burung meninggalkan sarangnya.

Kasus serupa terjadi pula di Jepang. Sekira 80% gempa di Jepang terjadi di tengah lautan. Hal ini
menyebabkan terjadinya perilaku abnormal pada ikan. Spesies ikan yang biasa hidup di lautan
dingin yang dalam, dapat tertangkap nelayan di perairan yang dangkal dan hangat beberapa saat
sebelum terjadinya gempa. Ikan memiliki sensitivitas tinggi terhadap variasi medan elektrik yang
terjadi sebelum gempa. Sensitivitas seperti ini memungkinkan beberapa hewan untuk dapat
mendeteksi gas radon yang dikeluarkan dari tanah sebelum gempa.

Setelah diketahui, hewan dapat memprediksi terjadinya bencana alam, beberapa peneliti Cina
telah melakukan survei mengenai variasi perilaku hewan sebelum terjadinya gempa. Kelompok
peneliti yang terdiri dari ahli biologi, geofisika, kimia, meteorolgi dan biofisika ini melakukan
survei di kota Tangshan dan sejumlah daerah disekitarnya yang telah dilanda gempa pada tahun
1976. Setelah mengunjungi beberapa tempat dan melakukan wawancara dengan penduduk lokal,
peneliti ini memperoleh 2.000 kasus tentang perilaku abnormal hewan yang terjadi sebelum
gempa.

Beberapa perilaku abnormal

Berbagai fenomena dan fakta tentang perilaku abnormal hewan sebelum terjadinya gempa
tertulis pula dalam artikel David Jay Brown yang berjudul Etho-Geological Forecasting.
Disebutkan, seorang ahli geologi dari California,AS mengklaim dapat memprediksi sebuah
gempa dengan tingkat akurasi 75% melalui penghitungan jumlah hewan peliharaan (pets) yang
hilang, penghitungan ini telah dilakukan selama bertahun-tahun. Akhirnya, dapat disimpulkan,
angka hilangnya hewan peliharaan (anjing dan kucing) akan naik secara signifikan selama dua
minggu sebelum gempa. Kesimpulan ini terbukti ketika memprediksi gempa di Loma Prieta,
Northern California, AS.

Sebelum terjadinya gempa, beberapa hewan menunjukkan perilaku abnormal dengan pola
tingkah laku yang khas pada setiap spesies. Ular merupakan hewan yang biasa tidur di musim
dingin (hibernate), namun ular ini akan keluar dari lubangnya sebelum terjadinya gempa,
kemudian membeku di atas permukaan salju. Tikus akan terlihat linglung (dazed) beberapa saat
sebelum gempa, sehingga dapat dengan mudah ditangkap tangan. Burung merpati akan
memperlambat terbangnya ketika akan menuju suatu tempat. Ayam akan menghasilkan telur
yang sedikit, bahkan tidak bertelur sama sekali. Babi secara agresif saling menggigit satu sama
lain sebelum terjadinya gempa (Tributsch, 1982).

Lebah terlihat meninggalkan sarangnya dalam kondisi panik beberapa menit sebelum gempa, dan
tidak akan kembali ke sarangnya sampai 15 menit setelah gempa berhenti. Bahkan hewan kecil
seperti lintah (leechs), cumi-cumi (squid), dan semut pun memperlihatkan perilaku abnormal
sebelum terjadinya gempa (Miller, 1996).

Fenomena terjadinya perilaku yang tidak lazim pada hewan sebelum terjadinya gempa dapat
dijelaskan dengan berbagai teori. Sebagian besar hewan memiliki kapasitas pendengaran
(auditory capacities) yang melebihi manusia. Selain itu, hewan dapat memberikan reaksi
terhadap pancaran suara ultra (ultrasound) sebagai getaran mikroseismik dari patahan batuan.

Fluktuasi medan magnet bumi dapat menyebabkan perilaku abnormal pada hewan. Beberapa
hewan memiliki sensitivitas terhadap variasi medan magnet bumi yang terjadi di dekat pusat
gempa (episenter). Perubahan medan magnet bumi dapat memengaruhi proses migrasi burung-
burung, dan menganggu kemampuan navigasi ikan. Selain itu, ion-ion yang bermuatan dapat
keluar sebelum terjadinya gempa. Hal ini menyebabkan partikel ion yang bermuatan listrik dapat
mengubah pemancar gelombang saraf (neurotransmitter) dalam otak hewan.

”Animal’s warning system”

Kemampuan hewan yang dapat mendeteksi sebuah gempa memberikan inspirasi pada manusia
untuk membuat peralatan yang memiliki kemampuan serupa. Marsha Adams, seorang peneliti
gempa di San Fransisco, AS mengklaim dirinya telah mengembangkan sensor yang dapat
menangkap sinyal elektromagnetik frekuensi rendah dengan keakuratan 90%. Peralatan itu
menangkap sinyal yang sama dengan sinyal yang ditangkap hewan. Beberapa hewan memiliki
reseptor untuk menangkap getaran berfrekuensi tinggi dan rendah.

Sistem peringatan dini (early warning system) dengan menggunakan pengamatan terhadap
perilaku hewan memerlukan pengembangan dan penelitian lebih lanjut. Cina telah menjadi
pioner dengan mendirikan stasiun percobaan (experimental station) untuk memprediksi
terjadinya gempa bumi menggunakan observasi biologi di Provinsi Xingtai pada tahun 1968.
Jika sistem ini telah teruji dan berkembang dengan baik, maka sistem ini dapat menghemat biaya
dalam membeli berbagai instrumen dan peralatan untuk memprediksi gempa.***
Alat ini terlihat seperti gadget yang tidak ternilai harganya bagi para pendaki dan Tim SAR mana
pun.Alat ini memungkinkanTim penyelamat menemukan anda dan mengeluarkan dengan
cepat.Alat ini dapat juga untuk memeriksa kesehatan Anda,seperti PDA gadget ini mengandung
accelerometer yang dapat memeriksa pernapasan Anda.
Alat ini membantu untuk menemukan Orang-orang yang terperangkap di dalam salju longsor
maupun saat tertimpa bangunan,menunjukan Anda seberapa jauh Korban berada dari anda dan
kearah mana .Alat ini menggunakan Layar LCD sederhana yang dapat dilihat dari semua sudut
dan dari sinar matahari langsung.
cara kerjanya : Alat ini mendeteksi Detak jantung Korban

Specifications:

* Weight with batteries: 210 grams

* Transmitting frequency: 457 kHz

* W-Link frequency: 868 / 915 MHz

* Battery type: Alkaline; 3 x AAA 1.5 Volt

* Battery life: at least 200 hours

* Range: 60 meters

* Search strip width: 40 meters

* Dimensions: 113 / 75 / 27 millimeters

Spoiler for Radar Pendeteksi kehidupan:


Proses
evakuasi korban reruntuhan gedung pasca gempa, kerap menghadapi berbagai kendala di
lapangan. Dari mulai sulitnya medan, minimnya peralatan, hingga curah hujan yang tinggi,
seperti yang terjadi di Padang saat ini.

Dalam kondisi seperti itu kehadiran teknologi akan sangat membantu proses penyelamatan
korban. Tak hanya memanfaatkan anjing dan lalat, penggunaan teknologi bernama life locator
atau life detecting radar, juga bisa mempercepat upaya pencarian korban.
Life locator adalah alat yang bisa digunakan untuk melakukan pendeteksian terhadap korban
yang masih bertahan. Alat ini biasanya digunakan untuk mencari korban yang selamat dari
gempa bumi, tanah longsor, bencana konstruksi dalam tanah, dan bencana lainnya.

Seperti halnya perangkat pengintai tembus dinding yang kerap digunakan untuk aksi membekuk
teroris atau para penjahat, perangkat life locator ini juga menggunakan sinyal Ultra Wideband.

Ultra Wideband (UWB) adalah teknologi nirkabel yang mampu mentransimisikan data digital
dalam jumlah yang sangat besar melalui spektrum frekuensi yang sangat lebar dengan daya yang
rendah, dalam jarak yang sangat dekat.

Tak hanya itu, kebutuhan daya yang kecil membuatnya secara teoritis tidak akan mengalami
interferensi dengan sinyal lain di sekelilingnya. Sinyal UWB juga mampu membawa sinyal
informasi tembus melalui rintangan-rintangan yang biasanya bersifat memantulkan sinyal
narrowband (sinyal yang memiliki kapasitas data yang lebih rendah).

Namun, alat ini tak hanya menggunakan teknologi ultra wideband, melainkan juga
mengkombinasikannya dengan teknologi radar dan teknologi biomedis. Oleh karenanya ia
mampi mendeteksi tanda-tanda kehidupan, seperti gerak tubuh.

Ia mampu mengenali kondisi korban, apakah masih sadar, terluka, atau sedang tak sadarkan diri.
Selain itu, alat ini juga mampu memprediksi secara akurat jarak dan kedalaman korban, dari
lokasi alat tersebut.

Salah satu alat semacam ini yang beredar di pasaran adalah Biken-Tech SJ-3000 besutan vendor
China. Alat ini sudah digunakan ketika terjadi gempa di Wenchuan China, 12 Mei 2008 lalu.
Dalam 10 hari pencarian korban di berbagai puing-puing gedung TK, sekolah, kantor
pemerintahan, dan pertokoan, alat ini berhasil menyelamatkan 21 nyawa manusia.

SJ-3000 terdiri dua bagian, yakni perangkat utama dan kontroler display. Perangkat utama antara
lain terdiri dari antena, blok transmitter (pengirim sinyal), receiver (penerima sinyal), penyampel
sinyal, sistem kontrol sinyal, serta sistem tenaga. Secara umum, bagian ini menangani emisi dan
penerimaan sinyal elektromagnet untuk komunikasi dan pengolahan informasi.

Sementara bagian kontroler display berfungsi sebagai konsol display dan pengendali dari hasil
pengamatan perangkat utama. SJ-3000 mampu mengukur jarak korban yang tertimbun tanah,
puing batu bata, beton multilapis, hingga jarak sekitar 15 meter (dengan resolusi atau tingkat
koreksi sebesar 10 cm).

Adapun teknologi biomedis dari alat ini mampu mengenali kondisi korban dalam berbagai
posisi, apakah korban sedang dalam keadaan tertelungkup, berbaring miring, serta mengenali
tanda-tanda vital seperti nafas dan denyut jantung. Bahkan dengan 'kepandaiannya' alat ini
diklaim mampu membedakan tubuh manusia dengan tubuh binatang.
Alat sejenis ini juga telah digunakan untuk menjejaki korban gempa Tasikmalaya, maupun
korban gempa Padang, di lokasi reruntuhan Hotel Ambacang.

Spoiler for Radar pendeteksi kehidupan:

Spoiler for Radar pendeteksi kehidupan:


Spoiler for Radar pendeteksi kehidupan:

Spoiler for Radar pendeteksi kehidupan:

Anda mungkin juga menyukai