Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH SEISMOLGI

SEISMOGRAF

1.1. DEFINISI SEISMOGRAF


Instrumen pendeteksi gempabumi disebut dengan seismograf. Alat ini
dilengkapi rekaman data atau seismogram serta sistem perhitungan waktu
pencatatan getaran tanah hasil rambatan gelombang gempabumi.
Seismogram tergambar sebagai rekaman gelombang gempabumi selama
kurun waktu tertentu sesuai dengan lamanya getaran gempabumi dapat terekam.
Seismologist atau ilmuwan yang menekuni ilmu gempabumi, menggunakan
seismogram untuk mendapatkan berbagai informasi tentang gempabumi, antara
lain untuk penentuan parameter gempabumi, yaitu waktu asal kejadian, posisi
episenter (pusat gempabumi), kedalaman, kekuatan, dan parameter lainnya.
Dari seismogram ini pula dapat diketahui mekanisme sumber gempabumi,
interior dalam bumi, serta hal‐hal lain yang mendukung perkembangan ilmu
seismologi termasuk di dalamnya prediksi gempabumi. Namun, sejauh ini
prediksi gempabumi masih sangat sulit untuk diterapkan sebagai upaya mitigasi
walaupun beberapa seismologist dunia terus menerus melakukan penelitian
mengenai prediksi gempabumi.
Di dalam seismograf terdapat sebuah pendulum untuk mencatat arah gerakan
vertikal dan horisontal dengan dilengkapi oleh peredam berupa per untuk
membedakan getaran khusus gempabumi dengan getaran lainnya (noise) dengan
menyesuaikan nilai amplitudo dan frekuensi getarannya. Instrumen seismograf
dilengkapi sensor pendeteksi getaran tanah yang diletakkan di dasar lapisan tanah
bebatuan dasar (bedrock) yang dinamakan seismometer
Gambar 1 Seismometer Luigi Palmieri (1807‐1896)
(Sumber: Yokoi, 2006).

1.2. PENEMUAN KONVENSIONAL


Walaupun seismologi sebagai cabang ilmu bumi yang khusus mendalami
studi kegempaan termasuk ilmu baru, namun penemuan teknologi alat pendeteksi
gempabumi itu sendiri telah mengalami perkembangan yang cukup pesat selama
lebih dari 130 tahun. Alat pendeteksi getaran tanah sederhana atau seismoskop
telah ditemukan di Cina pada tahun 132 SM oleh Chang Heng.
Prinsip kerjanya sangat sederhana dimana beberapa butir kelereng diletakkan
dengan mudah di dalam mulut patung‐patung naga yang saling terhubung dengan
pengungkit ke sebuah pendulum di dalam globe. Arah hentakan kuat impuls
getaran tanah dapat diindikasikan dengan kereng yang jatuh tertampung ke dalam
mulut katak yang jumlah dan susunannya disesuaikan dengan 8 arah mata angin.
Seismoskop dikembangkan di kawasan Andrea Bina, Mediterania pada tahun
1751 dan juga oleh Ascanio Filomarino (1795).
Gambar 2. Ilustrasi seismograf konvensional horisontal. Latar belakang
terlihat rekaman seismogram (Sumber: STLOE, 2009).

Pengembangan seismograf sudah dimulai sejak abad ke‐18. Pertama kali


dilakukan oleh Luigi Palmieri (Itali, 1807‐1896). Literatur lain menyebutkan
Filippo Cecchi (Italia, 1875) sebagai sang penemu seismograf. Dilanjutkan
kemudian oleh Ewing, Gray, dan Milne (Inggris) atas undangan Universitas
Tokyo dengan meneliti kegempaan Jepang tahun 1872. Para ilmuwan di Postdam,
Jerman berhasil mendeteksi gempabumi jauh di Jepang pada tanggal 17 April
1889 dengan waktu deteksi hanya 15 menit setelah waktu asal gempabumi terjadi.
Prinsip kerja seismograf tipe konvensional bekerja dengan prinsip inersi ‐
objek yang diam, seperti beban yang ada pada Gambar 6.3, akan tetap diam
sampai ada gaya yang bekerja padanya. Beban akan berusaha untuk tetap diam
saat kerangka dan drum bergerak. Seismometer yang digunakan dalam studi
gempabumi didesain sangat sensitif terhadap gerakan bumi, sehingga gerakan
sekecil 1/10.000.000 cm (hampir sekecil jarak spasi atom) dapat dideteksi pada
tempat yang tenang. Gempabumi terbesar, seperti gempabumi 9,1 skala Richter di
Sumatera‐Kepulauan Andaman pada tahun 2004, menghasilkan gerakan yang
meliputi seluruh bagian bumi yang dapat mencapai ketinggian sampai beberapa
centimeter.
Sebuah massa inersi dapat bergerak relatif terhadap kerangka/dudukan alat,
diikatkan pada kerangkanya dengan sejenis pegas yang akan menjaganya tetap
diam relatif terhadap kerangka alat saat tidak ada gerakan, dan juga meredam
gerakan‐gerakan saat kerangka/dudukan alat berhenti bergerak. Setiap gerakan
tanah akan menggerakkan kerangka/dudukan alat. Massa cenderung untuk tidak
bergerak karena inersi‐nya, dan dengan mengukur gerakan antara rangka/dudukan
dan massa, gerakan tanah dapat diukur, meskipun massa tidak bergerak.
Perkembangan berikutnya seismometer menggunakan optical levers atau
mechanical linkages untuk memperjelas gerakan yang kecil, dan mencatatnya
pada kertas soot‐covered atau kertas foto.

Gambar 3. Seismograf mekanik menggunakan perekaman kertas foto


(Sumber: BMKG, 2008).

Gambar 4. Seismograf Broadband STS‐2 3‐komponen tergabung dalam satu tabung


sensor dengan frekuensi sangat sensitif diletakkan pada tembok semenang
terhubung langsung dengan batuan dasar bedrock (kiri).
Sensor dilengkapi dengan instrumen elektronik
pendukung lainnya seperti modem,
digitizer, dan data logger
(Sumber: Astiz dan Stewart, 2008).
Gambar 5. Seismograf Broadband single component jenis CMG‐3ESP (kiri) untuk
keperluan borehole yang dipasang oleh CTBT (kanan)
(Sumber: Astiz dan Stewart, 2008).

1.3. DIGITAL MODERN


Seismometer moderen menggunakan sistem elektronik. Pada beberapa sistem,
massa dijaga sampai hampir tidak bergerak relatif terhadap kerangka alat dengan
sebuah komponen elektronik negative feedback loop (putaran umpan balik
negatif). Gerakan relatif massa terhadap kerangka akan terukur, dan putaran
umpan balik menggunakan gaya magnet atau gaya elektrostatis untuk menjaga
massa hampir tidak bergerak.
Tegangan listrik (voltage) yang diperlukan untuk menghasilkan gaya ini
adalah output dari seismometer yang direkam secara digital. Pada sistem yang lain
massa dibiarkan bergerak, dan gerakan ini menghasilkan sebuah tegangan listrik
dalam kumparan yang dipasang pada massa dan bergerak melalui medan magnet
dari sebuah magnet yang dipasang pada kerangka/dudukan.
Seismometer modern bekerja secara elektronik, yang tidak lagi menggunakan
pena dan drum, gerakan relatif antara beban dan rangka menghasilkan tegangan
listrik yang direkam oleh sebuah komputer. Dengan memodifikasi susunan pegas,
beban, dan rangka, seismometer dapat merekam gerakan pada berbagai arah.
Seismometer juga merekam gerakan tanah yang disebabkan oleh berbagai jenis
sumber getaran alami dan sumber getaran buatan manusia, seperti pohon tertiup
angin, mobil dan truk di jalan raya, dan ombak lautan yang menghantam pantai.
Seismograf Magnifikasi dan Sensitivitas Tinggi dapat merekam gempabumi
sangat kecil seperti mikrotremor atau gempabumi jauh tanpa mengalami
simpangan. Seismograf Strong Motion dapat merekam gerakan tanah yang kuat
atau merusak dengan tanpa batas atas (clipping). Seismograf Dinamis Lebar dapat
merekam spektrum getaran sangat kecil hingga gerakan tanah kuat secara
simultan. Umumnya semua tipe sistem operasi seismograf sekarang ini dilengkapi
oleh putaran gulungan koil yang terhubungkan dengan penguat listrik. Hal
terpenting dalam sistem seismograf adalah dinamika pendulum, mekanis
seismograf, putaran koil dalam jenis seismometer elektromagnet, dan seismometer
arus‐balik (feed back).

1.4. SEJARAH MONITORING GEMPABUMI DI INDONESIA


Untuk menempatkan sensor gempabumi di setiap lokasi memerlukan
persyaratan tertentu. Ada beberapa persyaratan yang harus dilalui dalam hal
pemilihan lokasi sensor, di antaranya: berada pada batuan keras, jauh dari
kebisingan jalan berkendaraan, keamanan terjamin, tersedia fasilitas listrik, solar
panel, dan komunikasi.

Gambar 6. Seismograf Weischert pertama kali dipasang di Indonesia tahun 1908


menggunakan sistem mekanik penuh dengan pemberat 2 ton dengan
rekaman menggunakan kertas jelaga (smoke paper)
(Sumber: BMKG, 2007)
Era tahun 1900‐1930. Pengamatan aktivitas gempabumi di Indonesia
dilakukan sejak zaman kolonial Belanda pada tahun 1898 dengan mengoperasikan
seismograf mekanik Ewing. Pada tahun 1908 telah mulai mengoperasikan stasiun
pemantau gempabumi permanen, yakni dengan memasang seismograf Wichert
komponen horisontal di Jakarta. Sedangkan komponen vertikal sesimograph
tersebut dipasang pada tahun 1928 di beberapa kota, yaitu Jakarta, Medan,
Bengkulu, dan Ambon.
Era Tahun 1950‐1980. Pada tahun 1953 dengan nama PMG (Pusat
Meteorologi dan Geofisika) sebagai instansi yang terkait dengan pengamatan
gempabumi memasang seismograf Elektromagnetik Sprengnether di Lembang ‐
Bandung yang disusul dengan pemasangan seismograf bertipe sama di Jakarta,
Medan, Tangerang, Denpasar, Ujungpandang, Kupang, Jayapura, Manado, dan
Ambon sehingga terbentuk jaringan seismograf yang pertama kali di Indonesia.
Seismograf 3 komponen ini beroperasi di sepuluh kota tersebut sampai dengan
tahun 1980‐an.
Pada tahun 1964 di stasiun Lembang dipasang Seismograf Teledyne Geotech
yang termasuk dalam jaringan WWSSN (World Wide Standard Seismololgical
Network). Seismograf ini memiliki 6 komponen dan mengalami modifikasi pada
tahun 1978.
UNDP‐Unesco pada tahun 1974 mengadakan proyek pengembangan
seismologi di Indonesia yang antara lain meliputi standarisasi seismograf dan
proses pengolahan data gempabumi bumi serta pengembangan jaringan pemantau.
Salah satu bentuknya adalah pemasangan seismograf periode pendek (Short
Period Seismograf‐ Kinemetric) komponen Z di 27 stasiun seluruh Indonesia.
Tiap‐tiap stasiun dilengkapi dengan seismograf 1 komponen vertikal periode
pendek, dan sinyal seismik direkam pada kertas seismogram.
Era Tahun 1990. Dengan nama baru BMG (Badan Meteorologi dan
Geofisika), era sistem pemantauan telemetri dimulai ketika pada tahun 1989
dioperasikan Seismograf Telemetri Periode Pendek komponen Z dari
LDG‐Perancis di 28 stasiun pemantau di seluruh Indonesia. Stasiun‐stasiun ini
dikelompokkan menjadi 5 wilayah yang masing‐masing memiliki satu Pusat
Gempabumi bumi Regional (Regional Seismological Center) dengan pemantauan
secara real time yang dipusatkan di Jakarta sebagai Pusat Gempabumi Nasional
(National Seismological Center).
Seluruh stasiun ini pada tahun 1998 dilengkapi dengan fasilitas GARNET.
Jaringan tersebut masih beroperasi hingga saat ini dan merupakan jaringan
pemantau seismik utama BMG. Sejak tahun ini pula dapat dikatakan bahwa
BMKG memiliki dua tipe stasiun pemantau gempabumi bumi di Indonesia.
Pertama adalah stasiun telemetri yang tidak berawak atau telemetri dan lainnya
adalah stasiun geofisika konvensional. Di stasiun geofisika konvensional, data
gempabumi diobservasi dengan bantuan operator kemudian dilanjutkan dengan
pengolahan data dan analisis parameter gempabumi bumi sementara.

Gambar 7. Seismograf generasi ketiga SPS (Short Period Seismograph) dipasang


tahun 1980 menggunakan sistem mekanik dan elekterik dengan rekaman kertas pias
(Sumber: BMKG, 2007).

Pada tahun 1993 di Stasiun Geofisika Tretes Jawa Timur dipasang seismograf
periode panjang (Long Period Seismograf) 3 komponen yang dilengkapi dengan
TREMORS. Di tahun ini pula dipasang seismograf periode pendek 3 komponen
SPS‐3 (Kinemetrics) di 9 stasiun geofisika konvensional di seluruh Indonesia,
yaitu di Banda Aceh, Padang Panjang, Kepahiyang, Kotabumi, Tanjungpandan,
Kupang, Palu, Ambon, dan Sorong.
Perkembangan lain dari sistem pemantau seismik BMKG adalah dimulainya
era broadband sejak tahun 1992 pada saat dioperasikannya seismograf 3
komponen tipe Broadband di stasiun Parapat dan Jayapura. Keduanya hingga saat
ini masih beroperasi. Menyusul pada kurun waktu 1997‐2001 dengan adanya
proyek kerjasama Indonesia dan Jepang, yaitu Joint Operation of Japan ‐
Indonesia Seismik Network (JISNET) dipasang seismograf jenis broadband di 23
stasiun di seluruh Indonesia. Tahun 1996 sistem monitoring real‐time telah
ditingkatkan dengan menambah data akuisisi dengan fasilitas database komputer,
display signal, dan perangkat pemetaan untuk prosesing digital di PGN dan waktu
GPS di semua regional. Pada saat itu BMKG telah mampu melakukan deteksi
pusat gempabumi dalam waktu 15 menit sampai 1 jam dengan besaran
gempabumi terendah mulai skala magnitudo 4.
Sementara itu, pada tahun 1999 di Kappang (Sulawesi Selatan) dipasang
seismograf 3 komponen jenis broadband yang merupakan kerjasama
BMG‐UCSD/USA. Pada tahun 2002 di stasiun yang sama kembali dipasang
seismograf bertipe broadband yang merupakan salah satu dari 6 stasiun seismik
CTBTO (Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty Organization). Lima stasiun
lainnya adalah Parapat, Lembang, Kupang, Sorong, dan Jayapura.

Gambar 8. Stasiun Lembang, Bandung, Jawa Barat tempat dipasangnya sensor


sensor seismograf WWSNN, tahun 1976 dan sensor broadband
CTBTO tahun 1999 (Sumber : BMKG, 2007).

Anda mungkin juga menyukai