Anda di halaman 1dari 14

Tugas Mata Kuliah Kesehatan Kerja Industri

TF-6102

TUGAS MAKALAH
PRINSIP KESELAMATAN PLTN

Disusun oleh:

Angga Kautsar

23309010

Program Studi Teknik Fisika


Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Bandung
2009

BAB I

PENGENALAN PLTN
Masyarakat pertama kali mengenal tenaga nuklir dalam bentuk bom atom yang
dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki dalam Perang Dunia II tahun 1945. Sedemikian
dahsyatnya akibat yang ditimbulkan oleh bom tersebut sehingga pengaruhnya masih dapat
dirasakan sampai sekarang.
Di samping sebagai senjata pamungkas yang dahsyat, sejak lama orang telah
memikirkan bagaimana cara memanfaatkan tenaga nuklir untuk kesejahteraan umat
manusia. Sampai saat ini tenaga nuklir, khususnya zat radioaktif telah dipergunakan secara
luas dalam berbagai bidang antara lain bidang industri, kesehatan, pertanian, peternakan,
sterilisasi produk farmasi dan alat kedokteran, pengawetan bahan makanan, bidang
hidrologi, yang merupakan aplikasi teknik nuklir untuk non energi.
Salah satu pemanfaatan teknik nuklir dalam bidang energi saat ini sudah
berkembang dan dimanfaatkan secara besar-besaran dalam bentuk Pembangkit Listrik
Tenaga nuklir (PLTN), dimana tenaga nuklir digunakan untuk membangkitkan tenaga listrik
yang relatif murah, aman dan tidak mencemari lingkungan.
Pemanfaatan tenaga nuklir dalam bentuk PLTN mulai dikembangkan secara
komersial sejak tahun 1954. Pada waktu itu di Rusia (USSR), dibangun dan dioperasikan
satu unit PLTN air ringan bertekanan tinggi (VVER = PWR) yang setahun kemudian
mencapai daya 5 Mwe. Pada tahun 1956 di Inggris dikembangkan PLTN jenis Gas Cooled
Reactor (GCR + Reaktor berpendingin gas) dengan daya 100 Mwe.
Pada tahun 1997 di seluruh dunia baik di negara maju maupun negara sedang
berkembang telah dioperasikan sebanyak 443 unit PLTN yang tersebar di 31 negara
dengan kontribusi sekitar 18 % dari pasokan tenaga listrik dunia dengan total pembangkitan
dayanya mencapai 351.000 Mwe dan 36 unit PLTN sedang dalam tahap kontruksi di 18
negara.
Dalam pembangkit listrik konvensional, air diuapkan di dalam suatu ketel melalui
pembakaran bahan fosil (minyak, batubara dan gas). Uang yang dihasilkan dialirkan ke
turbin uap yang akan bergerak apabila ada tekanan uap. Perputaran turbin selanjutnya
digunakan untuk menggerakkan generator, sehingga akan dihasilkan tenaga listrik.
Pembangkit listrik dengan bahan bakar batubara, minyak dan gas mempunyai
potensi yang dapat menimbulkan dampak lingkungan dan masalah transportasi bahanbakar
dari tambang menuju lokasi pembangkitan. Dampak lingkungan akibat pembakaran bahan
fosil tersebut dapat berupa CO2 (karbon dioksida), SO2 (sulfur dioksida) dan Nox (nitrogen
oksida), serta debu yang mengandung logam berat. Kekhawatiran terbesar dalam
pembangkit listrik dengan bahan bakar fosil adalah dapat menimbulkan hujan asam dan
peningkatan pemanasan global.
PLTN berperasi dengan prinsip yang sama seperti PLK, hanya panas yang
digunakan untuk menghasilkan uap tidak dihasilkan dari pembakaran bahan fosil, tetapi
dihasilkan dari reaksi pembelahan inti bahan fisil (uranium) dalam suatu reaktor nuklir.
Tenaga panas tersebut digunakan untuk membangkitkan uap di dalam sistem pembangkit
uap ( Steam Generator) dan selanjutnya sama seperti pada PLK, uap digunakan untuk
menggerakkan turbingenerator sebagai pembangkit tenaga listrik. Sebagai pemindah panas
biasa digunakan air yang disirkulasikan secara terus menerus selama PLTN beroperasi.

Proses pembangkitan listrik ini tidak membebaskan asap atau debu yang
mengandung logam berat yang dibuang ke lingkungan atau melepaskan partikel yang
berbahaya seperti CO2, SO2, Nox ke lingkungan, sehingga PLTN ini merupakan
pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Limbah radioaktif yang dihasilkan dari
pengoperasian PLTN adalah berupa elemen bakar bekas dalam bentuk padat. Elemen
bakar bekas ini untuk sementara bisa disimpan di lokasi PLTN sebelum dilakukan
penyimpanan secara lestari.
Jenis reaktor yang paling banyak dibangun saat ini adalah tipe Pressurized Water
Reactor dan Boiling Water Reactor. Perbedaannya adalah fasa pendingin pada siklus
pendingin primer. Untuk BWR pada siklus pendingin primer, pendingin berupa air ringan
mendidih menjadi uap yang selanjutnya digunakan untuk memutar turbin. Pada PWR
pendingin dengan tekanan tinggi dijaga dalam keadaan fasa cair yang selanjutnya melalui
steam generator memanaskan pendingin sekunder menjadi uap untuk memutar turbin.
Bagian-bagian dari PLTN yang utama antara lain teras reaktor, moderator, sistem
pendingin dan pengungkung. Teras reaktor terdiri dari bahan bakar, batang kendali dan
sistem pemantauan reaktivitas. Bahan bakar untuk tipe reaktor PWR maupun BWR adalah
uranium diperkaya 2-5 persen. Moderator dan pendingin reaktor adalah air ringan (H2O).
Moderator berfungsi untuk memperlambat neutron cepat hasil reaksi fisi sehingga akan
menjadi neutron thermal yang akan bereaksi dengan bahan bakar.
Teras reaktor memiliki potensi bahaya yang berasal dari energi panas dari reaksi
berantai dan bahaya radioaktif. Penyediaan sistem pengungkungan fisik terhadap material
radioaktif dalam reaktor dan sistem yang akan terus menjaga keutuhan pengungkung fisik
harus diimplemetasikan dalam desain dan direalisasikan dalam desain dan pembangunan
PLTN. Implementasi dari sistem keselamatan tersebut adalah berbentuk penghalang ganda
dan pertahanan berlapis.

BAB II
KECELAKAAN NUKLIR

Pengertian Kecelakaan Nuklir


Menurut definisi dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 Tentang
Ketenaganukliran, yang dimaksud Kecelakaan Nuklir adalah setiap kejadian atau rangkaian
kejadian yang menimbulkan kerugian nuklir. Adapun pengertian dari Kerugian Nuklir sendiri
adalah setiap kerugian yang dapat berupa kematian, cacat, cedera atau sakit, kerusakan
lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh radiasi atau gabungan radiasi dengan sifat racun,
sifat mudah meledak, atau sifat bahaya lainnya sebagai akibat kekritisan bahan bakar nuklir
dalam instalasi nuklir atau selama pengangkutan, termasuk kerugian sebagai akibat
tindakan preventif dan kerugian sebagai akibat atau tindakan untuk pemulihan lingkungan
hidup.
Berdasarkan definisi tersebut maka suatu kejadian dapat dikategorikan sebagai
kecelakaan nuklir apabila menimbulkan kerugian nuklir. Kerugian tersebut bisa terjadi
kepada pekerjanya sendiri, masyarakat ataupun lingkungan hidup.

International Nuclear Event Scale


Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) telah mengeluarkan suatu skala mengenai
kejadian dan kecelakaan nuklir. Skala ini pertama kali ditetapkan pada tahun 1989 dan
hanya berlaku untuk reaktor nuklir namun kemudian diperluas untuk semua instalasi nuklir.
Pada tahun 2006, untuk mengakomodasi perkembangan maka diperluas untuk semua
kejadian penting yang terkait pengangkutan, penyimpanan dan penggunaan zat radioaktif.
Kelompok ahli nuklir yang tergabung dalam Badan Tenaga Atom Internasional
(IAEA) dan Organisasi Masyarakat Ekonomi Eropa (OECD) telah merumuskan INES yang
terdiri atas tujuh tingkat ukuran kecelakaan. Tolok ukur itu kini telah menjadi acuan semua
negara anggota IAEA dan OECD. Kecelakaan yang paling serius merupakan kecelakaan
yang paling jarang terjadi, demikian pula sebaliknya. Versi terakhir dari manual INES
ditetapkan pada 1 Juli 2008.
Seperti halnya dengan gempa bumi, tanpa adanya skala seperti Richter akan sulit
untuk menentukan besaran dari gempa tersebut. INES menjelaskan seberapa besar suatu
kejadian,dalam penggunaan radiasi dalam industri dan kesehatan, pengoperasian reaktor
nuklir dan pengangkutan zat radioaktif.
Dalam INES, kejadian diklasifikasikan dalam 7 tingkat. Skala 1 sampai 3 disebut
dengan incident atau kejadian, Skala 4 sampai 7 disebut dengan accidents atau kecelakaan.
Skala tersebut disusun berdasarkan tingkat keparahan suatu kejadian, dan keparahannya
berlipat sepuluh kali lipat untuk setiap tingkatnya. Suatu kejadian tanpa adanya pengaruh
disebut deviasi dan diklasifikasikan pada tingkat 0.
Berdasarkan akibatnya, INES menggolongkan kejadian dan kecelakaan nuklir dan
radiologi ke dalam 3 kelompok dampak, yaitu:
1. Masyarakat dan Lingkungan, kelompok ini mempertimbangkan dosis radiasi ke
masyarakat yang berada di sekitar kejadian dan di wilayah yang terkena penyebaran
lepasan zat radioaktif dari instalasi. Merupakan efek ke luar tapak. Pada skala INES
kelompok ini mencakup skala 2 sampai 7.
2. Penghalang dan Pengendalian Radiologi, mencakup kejadian yang tidak
menimbulkan dampak langsung ke ke masayarakat atau lingkungan dan hanya
mempengaruhi fasilitas utama berupa level radiasi tinggi dan penyebaran sejumlah
besar zat radioaktif yang masih terkungkung di dalam instalasi. Pada skala INES
kelompok ini mencakup skala 2 sampai 5.
3. Pertahanan berlapis, kelompok ini juga mencakup kejadian yang tidak menimbulkan
dampak langsung ke masyarakat dan lingkungan tetapi untuk keadaan dimana
tindakan pencegahan kecelakaan tidak berfungsi sesuai dengan tujuannya. Pada
skala INES kelompok ini mencakup skala 1 sampai 3.

Adapun perincian dari masing-masing skala adalah sebagai berikut:


1. Skala 1, disebut juga anomali. Skala ini hanya mempengaruhi sistem pertahanan
berlapis. Ditandai dengan:
- Terlewatinya batas operasi pada reaktor.
- Ketidaknormalan unjuk kerja peralatan yang dioperasikan.
2. Skala 2, kejadian biasa. Skala ini ditandai dengan:
- mempengaruhi masyarakat dan lingkungan ditandai dengan paparan pada
masyarakat melebihi 10 mSv dan paparan kepada pekerja melebihi batas
tahunan yang ditetapkan. Contoh kejadian skala 1 adalah di Atucha, Argentina
pada tahun 2005 dimana terjadi paparan berlebih kepada pekerja PLTN yang
melebihi batas tahunan.
- Mempengaruhi sistem pertahanan radiologi ditandai dengan tingkat radiasi di
area operasi lebih dari 50 mSv/jam dan terjadi kontaminasi yang signifikan di
fasilitas. Contoh kejadian ini adalah di Cadarache, Perancis pada tahun 1993
dimana terjadi kontaminasi di area yang tidak direncankan dalam desain.
- Mempengaruhi sistem pertahanan berlapis ditandai dengan kegagalan dari
perlengkapan keselamatan tapi tanpa adanya konsekuensi. Contoh kejadian ini
adalah di Forsmark, Swedia, pada tahun 2006. Terjadi penurunan fungsi
keselamatan untuk kegagalan penyebab sama dalam sistem catu daya darurat
pada PLTN.
3. Skala 3, kejadian serius. Skala ini ditandai dengan:
- mempengaruhi masyarakat dan lingkungan ditandai dengan paparan 10 kali lipat
batas tahunan pekerja.
- Mempengaruhi sistem pertahanan radiologi ditandai dengan laju paparan di area
operasi lebih dari 1 Sv/jam. Terjadi kontaminasi parah di area dengan
probabilitas rendah adanya paparan ke masyarakat. Contoh kejadian ini adalah
di Sellafield, Inggris tahun 2005. Terjadi lepasan zat radioaktif dalam jumlah
besar di dalam instalasi.
- Mempengaruhi sistem pertahanan berlapis ditandai dengan mendekati suatu
kecelakaan dengan tidak tersisanya sistem pertahanan berlapis . Contoh
kejadian ini PLTN Vandellos, Spanyol tahun 1989, mendekati kecelakaan
dikarenakan kebakaran yang mengakibatkan hilangnya sistem keselamatan.
4. Skala 4, kejadian tanpa risiko dampak ke lingkungan. Skala ini ditandai dengan:
- mempengaruhi masyarakat dan lingkungan ditandai paparan kecil. Dosis
masyarakat masih dalam batas yang ditetapkan. Contoh kejadian ini adalah di
Tokaimura, Jepang, 30 September 1999. Terjadi reaksi berantai yang tak
terkendali pada instalasi pemroses bahan bakar uranium. Kejadian ini
mengakibatkan terlepasnya gas radioaktif ke udara dan dilaporkan
mengakibatkan satu orang pekerja meninggal.
- Mempengaruhi sistem pertahanan radiologi ditandai dengan lelehnya bahan
bakar atau kerusakan bahan bakar menyebabkan lebih 0,1 % lepas ke teras.
Dosis radiasi besar di dalam instalasi dengan kemungkinan adanya paparan
kepada masyarakat. Contoh kejadian ini adalah di Saint Laurent des Eaux,
Perancis tahun 1980. Terjadi pelelehan bahan bakar di salah satu kanal reaktor.
Tanpa adanya lepasan keluar tapak.
5. Skala 5, kecelakaan dengan risiko dampak ke lingkungan. Skala ini ditandai dengan:
- mempengaruhi masyarakat dan lingkungan ditandai dengan paparan terbatas.
Dampak terhadap masyarakat dan lingkungan. Contoh kejadian ini adalah di
PLTN Windscale No.1, Liverpool Inggris, 7 Oktober 1957. Terjadi kebakaran di
dalam bangunan PLTN tipe pendingin gas bermoderator grafit (graphite-cooled
reactor, GCR). Kejadian ini mengakibatkan terjadi kontaminasi di sekitar tampak
seluas 200 mile persegi.
- Mempengaruhi sistem pertahanan radiologi ditandai.. Contoh kejadian ini adalah
kerusakan parah di teras reaktor dan pelindung radiologis, lepasan sejumlah
besar zat radioaktif di instalasi dengan probabilitas tinggi paparan ke masyarakat.
Contoh kejadian ini adalah di PLTN Three Mile Islands, Amerika Serikat, 28
Maret 1979. Salah satu dari dua reaktor yang beroperasi terjadi kehilangan
sistem pendinginan yang diakibatkan terjadi kenaikan temperatur. Kejadian ini
mengakibatkan terjadi pelelehan teras parsial. Air dan gas radioaktif terlepas dari
sistem pendingin.
6. Skala 6, kecelakaan serius. Skala ini mempengaruhi masyarakat dan lingkungan
ditandai dengan lepasan signifikan zat radioaktif ke lingkungan. Contoh kejadian ini
adalah di Kyshtym, Rusia, tahun 1957. Adanya lepasan zat radioaktif signifikan
akibat ledakan tangki limbah.
7. Skala 7, kecelakaan besar. Skala ini mempengaruhi masyarakat dan lingkungan
ditandai dengan lepasan besar zat radioaktif ke lingkungan secara luas. Contoh
kejadian ini adalah di Chernobyl, Ukraina, 26 April 1986. Terjadi peledakan dan
kebakaran di dalam teras grafit pada salah satu dari 4 PLTN Rusia tipe RMBK.
Kejadian ini mengakibatkan terjadinya pelepasan material radioaktif ke beberapa
daerah Soviet, Eropa Timur, Scandinavia dan sampai ke Eropa bagian barat. Pada
kejadian ini dilaporkan telah terjadi kematian sebanyak 31 orang dan akibat yang lain
tidak diketahui dengan pasti.
BAB III
MULTIPLE BARRIERS

Sumber potensi bahaya dalam reaktor nuklir adalah kandungan produk fissi yang
ada dalam bahan bakar reaktor. Produk fissi yang terkandung dalam bahan bakar nuklir
mempunyai beragam sifat radioaktif baik dalam tingkat aktivitas maupun panjang umur
waktu paronya. Sifat fisik produk fissi dapat berupa gas, bahan mudah menguap dan
padatan.
Konsep multiple barriers disebut juga dengan penghalang ganda. Bertujuan untuk
menghalangi penyebaran zat radioaktif dari bahan bakar ke lingkungan bebas. Dalam
desain PLTN tipe reaktor ringan yang banyak beroperasi pada saat ini terdapat empat
penghalang fisik untuk mencegah penyebaran zat radioaktif. Penghalang tersebut adalah:
1. Matriks bahan bakar (fuel matrix)
2. Kelongsong bahan bakar (fuel cladding)
3. Bejana reaktor (reactor pressure vessel)
4. Sungkup reaktor (reactor containment) dan struktur pendukungnya.
5. Gedung reaktor (reactor building)

A. Matriks bahan bakar


Matriks bahan bakar merupakan penghalang fisik pertama dalam sistem
penghalang ganda suatu PLTN. Matriks bahan bakar yang secara fisik berbentuk
pelet berdiameter berdiamnater lebih kurang satu sentimeter dan tebal sekitar satu
setengah sentimeter cukup efektif untuk menahan pergerakan serpihan nuklida hasil-
hasil reaksi fissi agar tetap di tempat. Walaupun matriks bahan bakar berada dalam
kondisi lingkungan yang berat karena tekanan dan temparatur yang tinggi, tetapi
sebagaian besar radionuklida produk fissi tetap tertahan dalam kisi matriks uranium
dioksida dalam pil bahan bakar. Produk fissi berbentuk zat padat akan keluar dari
matrik pil bahan bakar jika terjadi kondisi yang sangat parah.
Produk fissi berbentuk gas dan bersifat mudah menguap sebagian besar
akan berdifusi ke luar pelet bahan bakar dipicu oleh adanya perbedaan temperatur.
B. Kelongsong Bahan Bakar
Bentuk penghalang fisik yang kedua adalah kelongsong bahan bakar
berbentuk tabung panjang dengan diameter beberapa milimeter lebih besar dari
pelet bahan bakar. Pil bahan bakar disusun dan dimasukkan dalam tabung
kelongsong, selanjutnya kedua ujung tabung ditutup rapat dan kedap. Dalam tabung
kelongsong terdapat celah ruang kosong antara pil dan tabung kelongsong. Celah
tersebut diisi dengan gas helium bertekanan untuk memperbaiki sifat perpindahan
panas anatara pil dan dinding tabung kelongsong bahan bakar. Selain itu ruang
kosong juga berfungsi untuk menampung gas produk fissi yang terbebaskan dari
matrik bahan bakar.
C. Bejana reaktor.
Penghalang fisik yang ketiga adalah bejana tekan reaktor bersama sistem
perpipaan saluran pendingin primer. Bejana tekan reaktor adalah tabung yang
mengungkung teras reaktor dan tahan terhadap tekanan operasi. Bejana terbuat
dasri sejenis baja karbon yag dicetak dengan sistem cetak tekan dan memiliki
ketebalan lebih kurung 25 cm untuk PWR. Kegagalan sistem pendingin primer
mengakibatkan kebocoran sehingga radionuklida yang terkandung di dalamnya
keluar.
D. Sungkup reaktor
Sungkup reaktor dan struktur bangunan pendukung sungkup adalah
implementasi penghalang fisik yang keempat. Bagian dalam struktur sungkup reaktor
mempunyai penguat dalam bentuk liner baja yang kedap. Di dalam sungkup terdapat
sistem pendingin primer. Antara sungkup reaktor dan gedung reaktor terdapat
rongga yang disebut annulus. Rongga tersebut akan memberikan ruang pendinginan
liner baja dan akan menampung apabila tedapat kebocoran gas di sistem pendingin
primer.
E. Gedung reaktor
Gedung reaktor adalah penghalang fisik yang termakhir. Terbuat dari pelat
baja dan beton setebal dua meter.
BAB IV
PERTAHANAN BERLAPIS

Sistem pertahanan berlapis, secara umum dapat diartikan sebagai suatu sistem yang
harus menjaga keutuhan penghalang fisik dalam berbagai kondisi operasi reaktor. Kondisi
operasi reaktor secara umum dibagi menjadi dua kondisi yaitu kondisi operasional dan
kondisi kecelakaan. Kondisi operasional terdiri dari operasi normal dan kejadian operasional
terantisipasi sedangkan kondisi kecelakaan terdiri dari kecelakaan dasar desain (DBA) dan
kecelakaan melampaui dasar desain (BDBA).
Sistem pertahanan berlapis harus mampu mempertahankan keutuhan penghalang
fisik dengan melakukan tindakan pencegahan maupun mitigasi terhadap segala kejadian
yang muncul dari kondisi-kondisi di atas kecuali BDBA. Sistem pertahanan berlapis terdiri
dari lima lapis yaitu:
A. Lapisan 1: Pencegahan operasi abnormal dan menghindari terjadinya kegagalan.
Lapisan ini dimulai sejak pemilihan tapak, desain, perakitan dan kontruksi
hingga komisioning dan dilanjutkan dengan tahap operasi daya. Tapak reaktor nuklir
untuk PLTN dipilih sedemikian rupa sehingga semua faktor lingkungan di sekitar
tapak tidak membawa pengaruh negatif terhadap keselamatan nuklir. Lingkungan
sekitar tapak juga diperhitungkan kemampuannya untuk menerima limbah reaktor
baik dalam kondisi normal maupun kecelakaan, dapat mendukung pembebasan zat
radioaktif dalam manajemen kecelakaan, dan mampu menyerap dan mengambil
energi panas yang dikandung reaktor setelah reaktor dipadamkan.
Desain reaktor nuklir harus mampu mempertimbangkan berbagai kejadian
yang mengancam keselamatan reaktor, termasuk kecelakaan dasar desain.
Komponen sistem dan struktur yang dipilih harus mempunyai karakteristik yang
sesuai dan dapat memenuhi persyaratan spesifikasi unjuk kerja. Teknologi yang
akan diterapkan dalam desain harus sudah teruji baik dalam pengalaman maupun
pengujian khusus. Untuk PLTN yang akan dibangun di Indonesia, disyaratkan desain
tersebut telah proven technology.
B. Lapisan 2: Pengendalian kondisi abnormal dan deteksi kegagalan.
Fitur ini bertujuan untuk mengendalikan kondisi operasi yang abnormal
kembali ke kondisi normal dengan aman. Selain itu fitur ini juga akan mampu
melakukan deteksi dini terhadap kegagalan sehingga dampaknya dapat diatasi
secara lebih awal. Bentuk dari lapisan ini adalah sistem proteksi yang dapat
membatasi kondisi operasi sehingga berada pada batas aman. Juga dilakukan
pengawasan terhadap sistem, struktur, dan komponen secara teliti sehingga setiap
ada kelainan akan terdeteksi dengan cepat. Untuk menghindari human error,
personil pengoperasi reaktor harus terdidik dan terlatih sesuai dengan kompetensi
yang disyaratkan. Tanggung jawab keselamatan harus jelas, sehingga tidak akan
menimbulkan kesalahan tindakan dan salah interpretasi terhadap kondisi
operasional.
C. Lapisan 3: Pengendalian kecelakaan dasar desain
Fitur ketiga ini akan berperan jika terjadi suatu kecelakaan dasar desain, yaitu
kecelakaan yang sudah diperhitungkan pada saat mendesain reaktor. Bentuk dari
sistem keselamatan ini adalah sistem keselamatan teknis dan prosedur kecelakaan.
Sistem tersebut antara lain sistem reactor trip, sistem pendinginan teras darurat,
sistem pendinginan panas sisa, pengambilan radioaktifitas pasca kecelakaan dan
keutuhan sungkup reaktor.
D. Lapisan 4. Pengendalian kondisi kecelakaan parah
Fitur ini berupa tindakan pelengkap yang mnyempurnakan tindakan
penanganan kecelakaan serta manajemen kecelakaan. Dilakukan untuk
mengendalikan kecelakaan tidak berkembang menjadi lebih parah, termasuk mitigasi
akibat kecelakaan parah.
E. Lapisan 5: Tindakan tanggap darurat nuklir di luar tapak.
Fitur ini adalah suatu tindakan lebih lanjut untuk melindungi kelangsungan
hidup manusia apabila sistem proteksi mengalami kegagalam. Tindakan yang
dilakukan diantaranya melindungi penduduk dengan penyelamatan, evakuasi,
sheltering, dan food controling. Fitur ini selain dilakukan oleh organisasi pengoperasi
dan badan pengawas juga melibatkan pemerintah dan sistem penanggulangan
bencana nasional dan daerah.
BAB V
KESIMPULAN

PLTN memiliki potensi bahaya radiasi dan panas di terasnya. IAEA sebagai badan
tenaga atom nasional telah mengeluarkan suatu skala kecelakaan nuklir. Berdasar dari
keparahan dan dari kecelakaan tersebut. Untuk itu diperlukan sistem keselamatan yang
akan menjamin keselamatan pengoperasian PLTN dan menjamin keselamatan pekerja,
masyarakat dan lingkungan. Terdapat dua sistem keselamatan utama dari PLTN yaitu
penghalang ganda dan pertahanan berlapis. Sistem penghalang ganda berupa penghalang
fisik yang mengungkung zat radioaktif tetap di dalam instalasi dari mulai bentuk fisik bahan
bakar sampai gedung reaktor. Sementara penghalang berlapis adalah suatu sistem untuk
menjaga keutuhan penghalang fisik. Sistem ini lebih kepada suatu filosofi keselamatan yang
menyeluruh dimulai dari tahap desain, konstruksi dan pengoperasian reaktor. Termasuk
manajemen dan personil pengoperasi.
Daftar Pustaka

• Widodo, Surip. Materi Basic Profesional Training Course on Nuclear Safety.


BAPETEN, 2009

• Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran

• Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2007 Tentang Keselamatan Radiasi Pengion


Dan Keamanan Sumber Radioaktif

• IAEA, The International Nuclear Event Scale User’s Manual, 2001

• Matsuno, Yoshiaki. Basic Concept of Nuclear Power Plant Safety. JAEA, 2009

• Aoki, Tadao. Case Study of Nuclear Events in Japanese NPP. JAEA. 2009

• JNES, Safety Design of Nuclear Power Plant, 2001

• IAEA, INSAG 10: Defence In Depth In Nuclear Safety. 1996

Anda mungkin juga menyukai