Anda di halaman 1dari 10

Bencana Chernobyl (Salah Satu Kecelakaan Industri Terparah)

Chernobyl
Reaktor Chernobyl jenis RBMK didirikan di atas tanah rawa di sebelah utara Ukraina,
sekitar 80 mil sebelah utara Kiev. Reaktor unit 1 mulai beroperasi pada 1977, unit 2 pada
1978, unit 3 pada 1981, dan unit 4 pada 1983. Sebuah kota kecil, Pripyat, dibangun dekat
PLTN Chernobyl untuk tempat tinggal pekerja pembangkit itu dan keluarganya.
Tipe PLTN Chernobyl dirancang untuk menghasilkan plutonium guna pembuatan senjata
nuklir serta listrik. Tipe PLTN berfungsi ganda seperti ini tidak ada di negara-negara Barat,
seperti, AS dan Prancis, yang merupakan negara pioner PLTN di samping Uni Soviet (pada
waktu itu) sebagai pioner pertama.

Deskripsi Bencana

Bencana Chernobyl adalah kecelakaan reaktor nuklir terburuk dalam sejarah. Pada
hari Sabtu 26 April 1986 dini hari sebuah reaktor nuklir unit 4 jenis RBMK-1000 mengalami
kecelakaan. Pada malam terjadinya kecelakaan, reaktor unit 4 sebenarnya sedang dipadamkan
(shutdown) dalam rangka perawatan rutin. Pada waktu yang sama operator bermaksud
menguji prosedur keselamatan reaktor. Uji keselamatan ini dimaksudkan untuk memeriksa
apakah turbin generator yang melambat masih menghasilkan daya yang cukup untuk
menjalankan pompa pendingin sampai generator diesel darurat dihidupkan. Untuk itu,
rencananya reaktor akan dioperasikan pada tingkat daya 30 % dari daya maksimalnya, tetapi
kelewatan sehingga turun sampai 10 %. Untuk menaikkannya lagi sampai tingkat daya 30 %
operator melakukan kesalahan kritis dengan menarik batang kendali, akibatnya uap pun
bertambah. Sayangnya, RBMK-1000 memiliki cacat desain dimana operasi pada tingkat daya
rendah (10 %) tidak stabil. Pertambahan uap tak terduga akan menaikkan daya, dan kenaikan
daya akan menambah uap lebih banyak lagi, dan seterusnya dan seterusnya. Pukul 01.23 dan
40 detik dinihari 26 April 1986, menyadari keadaan gawat, operator lantas menekan tombol
untuk mengaktifkan sistem proteksi atomatis, tetapi percuma sebab sudah terlambat. Dalam 3
atau 4 detik, produksi daya melonjak samapi 100 kali tingkat daya maksimum normalnya,
dan suhu teras pun meningkat tajam. Akibatnya terjadi dua kali ledakan dahsyat yang
menghancurkan gedung reaktor. Usaha mati-matian untuk memadamkan api tidak banyak
berarti. Ratusan ton grafit dalam reaktor terbakar selama 10 hari. Kebakaran melambungkan
gas-gas dan partikel radioaktif ke atmosfer sehingga Swiss, Jerman, Turki bahkan Amerika
Serikat dan Jepang pun radiasinya tercatat. Diantaranya yang berbahaya adalah Yodium-131,
Strontium-90 dan Cesium-137. Operator yang bertugas saat itu pun akhirnya ditahan.

Penyebab Umum

Kecelakaan PLTN Chernobyl masuk level ke-7 (level paling atas) yang disebut major
accident, sesuai dengan kriteria yang ditentukan INES (The International Nuclear Event
Scale). Di samping karena kesalahan operator yang mengoperasikannya di luar SOP
(standard operation procedure), PLTN Chernobyl juga tidak memenuhi standar desain
sebagaimana yang ditentukan oleh IAEA (International Atomic Energy Agency). PLTN
Chernobyl tidak mempunyai kungkungan reaktor sebagai salah satu persyaratan untuk
menjamin keselamatan jika terjadi kebocoran radiasi dari reaktor. Apabila PLTN Chernobyl
memiliki kungkungan maka walaupun terjadi ledakan kemungkinan radiasi tidak akan keluar
ke mana-mana, tetapi terlindung oleh kungkungan. Atau bila terjadi kebocoran tidak separah
dibandingkan dengan tidak memiliki kungkungan. Selain itu, UNSCEAR (United Nation
Scientific Committee on Effects of Atomic Radiation) (A/AC/82/R.469, 1988) juga
meyebutkan bahwa penyebab kecelakaan Chernobyl adalah struktur dan sifat reaktor yang
tidak sesuai dengan jenisnya, selain itu juga ketidaksempurnaan operasi reaktor, para operator
pun dengan sengaja melanggar prosedur, dan tidak adanya prosedur tertulis yang memadai.

Penyebab Rinci

Secara rinci, kecelakaan Chernobyl disebabkan oleh:

1. Desain reaktor, yakni tidak stabil pada daya rendah, daya reaktor bisa naik cepat tanpa
dapat dikendalikan. Tidak mempunyai kungkungan reaktor (containment). Akibatnya,
setiap kebocoran radiasi dari reaktor langsung ke udara.

2. Pelanggaran prosedur. Ketika pekerjaan tes dilakukan hanya delapan batang kendali
reaktor yang dipakai, yang semestinya minimal 30, agar reaktor tetap terkontrol.
Sistem pendingin darurat reaktor dimatikan. Tes dilakukan tanpa memberitahukan
kepada petugas yang bertanggung jawab terhadap operasi reaktor. Namun selain itu
prosedur tertulis pun kurang memadai.

3. Budaya keselamatan. Pengusaha instalasi tidak memiliki budaya keselamatan, tidak


mampu memperbaiki kelemahan desain yang sudah diketahui sebelum kecelakaan
terjadi.

Dampak

Jumlah radioaktivitas yang dilepaskan reaktor Chernobyl, menurut angka yng


diberitakan oleh pejabat Uni Soviet, adalah sebesar 90 juta Curie. Korban pertama
berjumlah 187 orang yang menderita radiasi akut, dan 31 diantaranya meninggal.
Kebanyakan dari mereka adalah petugas pemadam kebakaran.
Intensitas radiasi gamma di sekitar lokasi mencapai lebih dari 100 rontgen per
jam (angka ini bisa mengakibatkan dosis radiasi ratusan kali dari dosis aman,
sebagaimana ketentuan dari Komisi Proteksi Radiasi Internasional, ICRP). Paling besar di
atas atap bangunan reaktor yang mencapai 100.000 rontgen per jam. Bandingkan dengan
paparan radiasi alamiah (dari radiasi kosmik dan zat radioaktif di sekitar kita dan di dalam
tubuh) 0,2 rontgen per tahun. Dan dosis radiasi sinar-X 0,1 sampai 2 rontgen tiap kali
foto. Dan lebih dari 260.000 km persegi (berarti 2 kali luas pulau Jawa) wilayah di
Ukraine, Rusia dan Belarusia terkontaminasi Cesium-137 lebih dari 1-curie per kilometre
persegi.
Pada 2003, IAEA membentuk Forum Chernobyl bekerja sama dengan
organisasi PBB lainnya, seperti WHO, UNDP, ENEP, UN-OCHA, UN-SCEAR, Bank
Dunia dan ketiga pemerintahan Belarusia, Ukraina, dan Rusia. Forum ini bekerja untuk
menjawab pertanyaan, sejauh mana dampak kecelakaan ini terhadap kesehatan,
lingkungan hidup dan sosial ekonomi kawasan beserta penduduknya. Laporan ini diberi
Nama Chernobyl Legacy.
Data sampai dengan 2006, jumlah korban yang meninggal 56 orang, di mana
28 orang (para likuidator terdiri dari staf PLTN, tenaga konstruksi, dan pemadam
kebakaran) meninggal pada 3 bulan pertama setelah kecelakaan, 19 orang meninggal 8
tahun kemudian, dan 9 anak lainnya meninggal karena kanker kelenjar gondok.
Sebanyak 350.000 likuidator yang terlibat dalam proses pembersihan daerah PLTN yang
kena bencana, serta 5 juta orang yang saat itu tinggal di Belarusia, Ukraina, dan Rusia,
yang terkena kontaminasi zat radioaktif dan 100.000 di antaranya tinggal di daerah yang
dikategorikan sebagai daerah strict control, ternyata mendapat radiasi seluruh badan
sebanding dengan tingkat radiasi alam, serta tidak ditemukan dampak terhadap kesuburan
atau bentuk-bentuk anomali.
Kemudian pada 1992-2002 tercatat 4.000 kasus kanker kelenjar gondok yang
terobservasi di Belarusia, Ukraina, dan Rusia pada anak-anak dan remaja 0-18 tahun
ketika terjadi kecelakaan, termasuk 3.000 orang yang berusia 0-14 tahun. Selama
perawatan mereka yang kena kanker, di Belarusia meninggal delapan anak dan di Rusia
seorang anak. Yang lainnya selamat.
Secara rinci, penyakit-penyakit yang ditimbulkan dari kecelakaan Chernobyl meliputi :

Sindroma sumsum tulang.

Kerusakan kulit.

Sindroma usus.

Reaksi mulut dan faring.

Reaksi paru-paru.
Kerusakan mata.

Berdasarkan laporan Chernobyl Lecacy, sebagian besar daerah pemukiman


yang semula mendapat kontaminasi zat radioaktif karena kecelakaan PLTN Chernobyl
telah kembali ke tingkat radiasi latar, seperti sebelum terjadi kecelakaan. Dampak
psikologis adalah yang paling dahsyat, terutama trauma bagi mereka yang mengalaminya
seperti stres, depresi, dan gejala lainnya yang secara medis sulit dijelaskan.
Akibat kecelakaan itu, IAEA dan semua negara yang memiliki PLTN membangun
konsensus internasional untuk selalu menggalang dan memutakhirkan standar
keselamatan. Di sisi lain, pihak yang anti-PLTN telah menggunakan isu kecelakaan di
Chernobyl sebagai bahan kampanye untuk menolak kehadiran PLTN, termasuk di
Indonesia.
PENCEMARAN LOGAM BERAT (HG) DI TELUK BUYAT MINAHASA SULAWESI
UTARA OLEH PT. NEWMONT MINAHASA RAYA

Teluk Buyat, terletak di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, adalah lokasi


pembuangan limbah tailing (lumpur sisa penghancuran batu tambang) milik PT. Newmont
Minahasa Raya (NMR). Sejak tahun 1996, perusahaan asal Denver, AS, tersebut membuang
sebanyak 2.000 ton limbah tailing ke dasar perairan Teluk Buyat setiap harinya. Sejumlah
ikan ditemui memiliki benjolan semacam tumor dan mengandung cairan kental berwarna
hitam dan lendir berwarna kuning keemasan. Fenomena serupa ditemukan pula pada
sejumlah penduduk Buyat, dimana mereka memiliki benjol-benjol di leher, payudara, betis,
pergelangan, pantat dan kepala. Sejumlah laporan penelitian telah dikeluarkan oleh berbagai
pihak sejak 1999 hingga 2004. Penelitian-penelitian ini dilakukan sebagai respon atas
pengaduan masyarakat nelayan setempat yang menyaksikan sejumlah ikan mati mendadak,
menghilangnya nener dan beberapa jenis ikan, serta keluhan kesehatan pada masyarakat. Dari
laporan-laporan penelitian tersebut, ditemukan kesamaan pola penyebaran logam-logam berat
seperti Arsen (As), Antimon (Sb), dan Merkuri (Hg) dan Mangan (Mn), dimana konsentrasi
tertinggi logam berbahaya tersebut ditemukan di sekitar lokasi pembuangan tailing Newmont.
Hal ini mengindikasikan bahwa pembuangan tailing Newmont di Teluk Buyat merupakan
sumber pencemaran sejumlah logam berbahaya. Namun demikian, sejumlah Menteri,
diantaranya Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim, mengeluarkan pernyataan bahwa
Teluk Buyat tidak tercemar. Menteri Kesehatan Achmad Sujudi bahkan mengatakan seolah-
olah penyakit yang diderita oleh masyarakat Teluk Buyat adalah penyakit kulit dan akibat
kekurangan gizi. Perdebatan yang selama ini muncul terkait dengan dugaan penyakit
Minamata seperti yang pernah terjadi di Jepang lebih dari tiga dekade yang lalu. Padahal
penyakit Minamata itu adalah penyakit akibat kontaminasi merkuri, sedangkan di Teluk
Buyat yang terjadi adalah kontaminasi sejumlah logam berat: arsen, merkuri, antimon,
mangan, dan senyawa sianida. Jadi, yang harus diverifikasi atau diuji adalah keterkaitan
antara keluhan-keluhan masyarakat atau penyakit mereka dengan gejala penyakit yang
diakibatkan oleh sejumlah logam berat tersebut. Kontaminasi Arsen pada tubuh
menimbulkan gejala-gejala seperti dada panas, rasa mual, mudah lelah dan lupa, kolaps, dan
kanker kulit. Yang tidak pernah dilihat adalah dampak dari logam-logam lain, seperti
antimon, mangan, dan juga sianida. Sianida dan mangan bisa menyebabkan gangguan kulit,
terutama mangan, seperti yang kita lihat di pertambangan di Kalimantan, papar Raja Siregar
pengkampanye di Eksekutif National WALHI.

Dari berbagai laporan penelitian, termasuk yang dilakukan WALHI, sejumlah


konsentrasi logam berat (arsen, merkuri, antimon, mangan) dan senyawa sianida pada
sedimen di Teluk Buyat sudah tinggi. Jika dibandingkan pada konsentrasi logam berat
sebelum pembuangan tailing (data dari studi Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan/AMDAL tahun 1994), konsentrasi arsen di daerah dekat mulut pipa tailing di
Teluk Buyat meningkat hingga 5-70 kali lipat (data WALHI dan KLH 2004). Konsentrasi
merkuri meningkat 10 kali lipat di sekitar pipa pembuangantailing.Jika dibandingkan dengan
Teluk Totok (lokasi penambangan rakyat), konsentrasi arsen dan antimon jauh lebih tinggi di
sekitar pembuangan tailing PT NMR (data Walhi dan KLH 2004). Untuk merkuri,
konsentrasi di Teluk Buyat dan Teluk Totok hampir sama. Namun, pada data penelitian KLH
2004, konsentrasi merkuri di lokasi pembuangan tailing Newmont lebih besar dibandingkan
dengan di Teluk Totok. Pola Penyebaran Logam Berbahaya Arsen, Antimon dan Merkuri (As,
Sb, dan Hg) (laporan penelitian terbaru Pusarpedal-KLH (2004) dan Evan Edinger- Memorial
University of Newfoundland (2004)) Logam Indikator Laporan Penelitian Evan Edinger, dkk
(2004) Laporan Penelitian Pusarpedal-KLH (2004):

Arsen (As) Konsentrasi As pada sedimen yang tertinggi (663, 74 ppm) ditemukan tepat
di ujung pipa pembuangan di Teluk Buyat. Konsentrasi As menurun seiring pertambahan
jarak dari ujung pipa. Konsentrasi As pada sedimen Teluk Buyat rata-rata lebih besar
dibandingkan di Teluk Totok (lokasi tambang rakyat). Konsentrasi As tertinggi di depan
mulut Sungai Totok hanya sebesar 65,92 ppm. Konsentrasi As pada sedimen yang tertinggi
(1.831 ppm) ditemukan pada stasiun C dekat ujung pipa dan E di Teluk Buyat (1.790 ppm).
Konsentrasi As pada sedimen Teluk Buyat rata-rata lebih tinggi dibandingkan di Teluk Totok
(lokasi tambang rakyat).

Antimon (Sb) Konsentrasi logam Sb di sedimen memiliki pola penyebaran yang sama
dengan As. Konsentrasi Sb pada sedimen yang tertinggi ditemukan tepat di ujung pipa
pembuangan di Teluk Buyat sebesar 583,13 ppm atau 100 kali lipat dibanding konsentrasi Sb
tertinggi di Sungai Totok (5,37 ppm). Konsentrasi Sb menurun seiring pertambahan jarak dari
ujung pipa. Konsentrasi logam Sb di sedimen memiliki pola penyebaran yang sama dengan
As. Konsentrasi Sb pada sedimen yang tertinggi ditemukan stasiun BB-6 (kurang lebih 1 km
depan pipa tailing) sebesar 88,967ppm dan pada stasiun C (dekat ujung pipa) sebesar 66,089
ppm) dekat pipa tailing.

Merkuri (Hg) Puncak konsentrasi Hg pada sedimen yang tertinggi ditemukan pada 2
lokasi; yakni di mulut Sungai Totok (10,60 ppm) dan pada stasiun di ujung pipa tailing di
Buyat (5,80 ppm). Puncak konsentrasi Hg pada sedimen yang tertinggi ditemukan di stasiun
D dekat pipa tailing (sebesar 3,509 ppm) dan pada stasiun BB5 (+/- 1 km depan pipa tailing)
sebesar 2,642 ppm dan depan mulut sungai Totok (2,605 ppm). Penyebaran Hg di air juga
memiliki pola yang sama. Konsentrasi Hg pada perairan Teluk Buyat jauh lebih tinggi
dibandingkan di Teluk Totok. Dari pola penyebaran tersebut diatas, logam As, dan Sb
merupakan indikator logam yang konsisten (metal tracers) untuk menunjukkan pencemaran
oleh tailing Newmont. Rona awal kondisi sedimen terukur untuk arsen (rata-rata 14 ppm),
merkuri sangat bervariasi antar lokasi dengan nilai rata-rata sebesar 0,16 ppm, dan Antimon
rata-rata sebesar 0,9 ppm (data AMDAL PT.NMR 1994).
Proses pencemaran air laut oleh logam berat.

Air laut adalah suatu komponen yang berinteraksi dengan lingkungan daratan, di
mana buangan limbah dari daratan akan bermuara ke laut. Selain itu air laut juga sebagai
tempat penerimaan polutan (bahan cemar) yang jatuh dari atmosfir. Limbah tersebut yang
mengandung polutan kemudian masuk ke dalam ekosistem perairan pantai dan laut. Sebagian
larut dalam air, sebagian tenggelam ke dasar dan terkonsentrasi ke sedimen, dan sebagian
masuk ke dalam jaringan tubuh organisme laut (termasuk fitoplankton, ikan, udang, cumi-
cumi, kerang, rumput laut dan lain-lain). Kemudian, polutan tersebut yang masuk ke air
diserap langsung oleh fitoplankton. Fitoplankton adalah produsen dan sebagai tropik level
pertama dalam rantai makanan. Kemudian fitoplankton dimakan zooplankton. Konsentrasi
polutan dalam tubuh zooplankton lebih tinggi dibanding dalam tubuh fitoplankton karena
zooplankton memangsa fitoplankton sebanyak-banyaknya. Fitoplankton dan zooplankton
dimakan oleh ikan-ikan planktivores (pemakan plankton) sebagai tropik level kedua. Ikan
planktivores dimangsa oleh ikan karnivores (pemakan ikan atau hewan) sebagai tropik level
ketiga, selanjutnya dimangsa oleh ikan predator sebagai tropik level tertinggi. Ikan predator
dan ikan yang berumur panjang mengandung konsentrasi polutan dalam tubuhnya paling
tinggi di antara seluruh organisme laut. Kerang juga mengandung logam berat yang tinggi
karena cara makannya dengan menyaring air masuk ke dalam insangnya setiap saat dan
fitoplankton ikut tertelan. Polutan ikut masuk ke dalam tubuhnya dan terakumulasi terus-
menerus dan bahkan bisa melebihi konsentrasi yang di air. Polutan tersebut mengikuti rantai
makanan mulai dari fitoplankton sampai ikan predator dan pada akhirnya sampai ke manusia.
Bila polutan ini berada dalam jaringan tubuh organisme laut tersebut dalam konsentrasi yang
tinggi, kemudian dijadikan sebagai bahan makanan maka akan berbahaya bagi kesehatan
manusia. Karena kesehatan manusia sangat dipengaruhi oleh makanan yang dimakan.
Makanan yang berasal dari daerah tercemar kemungkinan besar juga tercemar. Demikian juga
makanan laut (seafood) yang berasal dari pantai dan laut yang tercemar juga mengandung
bahan polutan yang tinggi. Salah satu polutan yang paling berbahaya bagi kesehatan manusia
adalah logam berat. WHO (World Health Organization) atau Organisasi Kesehatan Dunia dan
FAO (Food Agriculture Organization) atau Organisasi Pangan Dunia merekomendasikan
untuk tidak mengonsumsi makanan laut (seafood) yang tercemar logam berat. Logam berat
telah lama dikenal sebagai suatu elemen yang mempunyai daya racun yang sangat potensil
dan memiliki kemampuan terakumulasi dalam organ tubuh manusia. Bahkan tidak sedikit
yang menyebabkan kematian.
Logam berat Air Raksa atau Mercury (Hg) adalah salah satu logam berat dalam bentuk cair.
Terjadinya pencemaran mercury di perairan laut lebih banyak disebabkan oleh faktor manusia
dibanding faktor alam. Meskipun pencemaran mercury dapat terjadi secara alami tetapi
kadarnya sangat kecil. Pencemaran mercury secara besar-besaran disebabkan karena limbah
yang dibuang oleh manusia. Manusia telah menggunakan mercury oksida (HgO) dan mercury
sulfida (HgS) sebagai zat pewarna dan bahan kosmetik sejak jaman dulu. Dewasa ini mercury
telah digunakan secara meluas dalam produk elektronik, industri pembuatan cat, pembuatan
gigi palsu, peleburan emas, sebagai katalisator, dan lain-lain. Penggunaan mercury sebagai
elektroda dalam pembuatan soda api dalam industri makanan seperti minyak goreng, produk
susu, kertas tima, pembungkus makanan juga kadang mencemari makanan tersebut.
Pencemaran logam mercury (Hg) mulai mendapat perhatian sejak munculnya kasus
minamata di Jepang pada tahun 1953. Pada saat itu banyak orang mengalami penyakit yang
mematikan akibat mengonsumsi ikan, kerang, udang dan makanan laut lainnya yang
mengandung mercury. Kasus minamata yang terjadi dari tahun 1953 sampai 1975 telah
menyebabkan ribuan orang meninggal dunia akibat pencemaran mercury di Teluk Minamata
Jepang. Industri Kimia Chisso menggunakan mercury khlorida (HgCl2) sebagai katalisator
dalam memproduksi acetaldehyde sintesis di mana setiap memproduksi satu ton acetaldehyde
menghasilkan limbah antara 30-100 gr mercury dalam bentuk methyl mercury (CH3Hg) yang
dibuang ke laut Teluk Minamata. Methyl mercury ini masuk ke dalam tubuh organisme laut
baik secara langsung dari air maupun mengikuti rantai makanan. Kemudian mencapai
konsentrasi yang tinggi pada daging kerang-kerangan, crustacea dan ikan yang merupakan
konsumsi sehari-hari bagi masyarakat Minamata. Konsentrasi atau kandungan mercury dalam
rambut beberapa pasien di rumah sakit Minamata mencapai lebih 500 ppm. Masyarakat
Minamata yang mengonsumsi makanan laut yang tercemar tersebut dalam jumlah banyak
telah terserang penyakit syaraf, lumpuh, kehilangan indera perasa dan bahkan banyak yang
meninggal dunia.

Upaya penanganan pencemaran logam berat sebenarnya dapat dilakukan dengan


menggunakan proses kimiawi. Seperti penambahan senyawa kimia tertentu untuk proses
pemisahan ion logam berat atau dengan resin penukar ion (exchange resins), serta beberapa
metode lainnya seperti penyerapan menggunakan karbon aktif, electrodialysis dan reverse
osmosis. Namun proses ini relatif mahal dan cenderung menimbulkan permasalahan baru,
yaitu akumulasi senyawa tersebut dalam sedimen dan organisme akuatik (perairan).
Penanganan logam berat dengan mikroorganisme atau mikrobia (dalam istilah Biologi
dikenal dengan bioakumulasi, bioremediasi, atau bioremoval), menjadi alternatif yang dapat
dilakukan untuk mengurangi tingkat keracunan elemen logam berat di lingkungan perairan
tersebut. Metode atau teknologi ini sangat menarik untuk dikembangkan dan diterapkan,
karena memiliki kelebihan dibandingkan dengan proses kimiawi. Beberapa hasil studi
melaporkan, penggunaan mikroorganisme untuk menangani pencemaran logam berat lebih
efektif dibandingkan dengan ion exchange dan reverse osmosis dalam kaitannya dengan
sensitivitas kehadiran padatan terlarut (suspended solid), zat organik dan logam berat lainnya.
Serta, lebih baik dari proses pengendapan (presipitation) kalau dikaitkan dengan kemampuan
menstimulasikan perubahan pH dan konsentrasi logam beratnya. Dengan kata lain,
penanganan logam berat dengan mikroorganisme relatif mudah dilakukan, murah dan
cenderung tidak berbahaya bagi lingkungan. Organisme Selular Sianobakteria merupakan
organisme selular yang termasuk kelompok mikroalga atau ganggang mikro. Di alam,
organisme ini tersebar luas baik di perairan tawar maupun lautan. Sampai saat ini diketahui
sekitar 2.000 jenis sianobakteria tersebar di berbagai habitat. Berdasarkan penelitian terbaru,
sianobakteria merupakan salah satu organisme yang diketahui mampu mengakumulasi
(menyerap) logam berat tertentu seperti Hg, Cd dan Pb. Suhendrayatna (2001) dalam
makalahnya, menjelaskan lebih rinci tentang proses penyerapan ion logam berat oleh
sianobakteria dan mikroorganisme secara umum. Umumnya, penyerapan ion logam berat
oleh sianobakteria dan mikroorganisme terdiri atas dua mekanisme yang melibatkan proses
aktif uptake (biosorpsi) dan pasif uptake (bioakumulasi).

1. Proses aktif uptake

Proses ini juga dapat terjadi pada berbagai tipe sel hidup. Mekanisme ini secara
simultan terjadi sejalan dengan konsumsi ion logam untuk pertumbuhan sianobakteria,
dan/atau akumulasi intraselular ion logam tersebut. Logam berat dapat juga diendapkan pada
proses metabolisme dan ekresi sel pada tingkat kedua. Proses ini tergantung dari energi yang
terkandung dan sensitivitasnya terhadap parameter yang berbeda seperti pH, suhu, kekuatan
ikatan ionik, cahaya dan lainnya. Namun demikian, proses ini dapat pula dihambat oleh suhu
rendah, tidak tersedianya sumber energi dan penghambat metabolisme sel. Peristiwa ini
seperti ditunjukkan oleh akumulasi kadmium pada dinding sel Ankistrodesmus dan Chlorella
vulgaris yang mencapai sekitar 80 derajat dari total akumulasinya di dalam sel, sedangkan
arsenik yang berikatan dengan dinding sel Chlorella vulgaris rata-rata 26 persen.
Suhendrayatna (2001) menambahkan, untuk mendesain suatu proses pengolahan limbah yang
mengandung ion logam berat dengan melibatkan sianobakteria relatif mudah dilakukan.
Proses pertama, sianobakteria pilihan dimasukkan, ditumbuhkan dan selanjutnya dikontakkan
dengan air yang tercemar ion logam berat tersebut. Proses pengontakkan dilakukan dalam
jangka waktu tertentu yang ditujukan agar sianobakteria berinteraksi dengan ion logam berat,
selanjutnya biomassa sianobakteria ini dipisahkan dari cairan. Proses terakhir, biomassa
sianobakteria yang terikat dengan ion logam berat diregenerasi untuk digunakan kembali atau
kemudian dibuang ke lingkungan. Pemanfaatan sianobakteria untuk menanggulangi
pencemaran logam berat merupakan hal yang sangat menarik dilakukan, baik oleh
masyarakat, pemerintah maupun industri. Karena, sianobakteria merupakan organisme selular
yang mudah dijumpai, mempunyai spektrum habitat sangat luas, dapat tumbuh dengan cepat
dan tidak membutuhkan persyaratan tertentu untuk hidup, mudah dibudidayakan dalam
sistem akuakultur.

2. Proses pasif uptake

Proses ini terjadi ketika ion logam berat terikat pada dinding sel biosorben.
Mekanisme passive uptake dapat dilakukan dengan dua cara, pertama dengan cara pertukaran
ion di mana ion pada dinding sel digantikan oleh ion-ion logam berat; dan kedua adalah
pembentukan senyawa kompleks antara ion-ion logam berat dengan gugus fungsional seperti
karbonil, amino, thiol, hidroksi, fosfat, dan hidroksi-karboksil secara bolak balik dan cepat.
Sebagai contoh adalah pada Sargassum sp. dan Eklonia sp. di mana Cr(6) mengalami reaksi
reduksi pada pH rendah menjadi Cr(3) dan Cr(3) di-remove melalui proses pertukaran kation.
DAFTAR PUSTAKA

http://adinfobogor.blogspot.com/2008/01/bahaya-pencemaran-logam-berat-dalam-
air_31.html
http://www.serasan.co.cc/2008/11/dampak-pencemaran-pantai-bagi-kesehatan.html
http://www.walhi.or.id/kampanye/tambang/buanglimbah/040803_buyatcemar_cu/
http://ergonomi-fit.blogspot.co.id/2011/03/bencana-chernobyl-salah-satu-kecelakaan.html

Anda mungkin juga menyukai