Anda di halaman 1dari 78

MODUS TRANSAKSI AMANAT PADA NOVEL

LARUNG KARYA AYU UTAMI


Skripsi

Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh


Gelar Strata Satu Program Studi
Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia

Oleh :

Pipit Farida

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANAN


PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
JOMBANG
2010
2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ancangan Semiotika adalah salah satu alternatif untuk mengkaji karya

sastra dan mengatasi kemacetan dalam merebut makna karya sastra. Dasar dari

Ancangan Semiotika ini adalah tanda sebagai tindak komunikasi (Teeuw

dalam Santosa, 1982 : 18). Berdasarkan pengertian ini, maka setiap tanda yang
1
terdapat dalam karya sastra, baik mengenai penanda maupun petandanya

selama masih dapat memungkinkan terjadinya komunikasi dengan berbagai

pihak yang terkait, terutama insan susastra, maka dapat dikategorikan

termasuk ancangan semiotika.

Karya sastra adalah fenomena unik, didalamnya penuh serangkaian

makna dan fungsi. Makna dan fungsi ini sering kabur dan tidak jelas karena

sastra memang syarat dengan imajinatif. Oleh sebab itu, peneliti sastra

memiliki tugas untuk mengungkapkan elemen-elemen dasar pembentuk dan

menafsirkan sesuai paradigma atau teori yang digunakan.

Roland Barthes, tokoh semiotika dari Prancis. Dalam tulisanya

berjudul S/Z (Paris : Seuil, 1970) mencoba menuntun pembaca susastra untuk

memperoleh produk amanat. Tujuannya adalah agar pembaca tidak sia-sia

melakukan interpretasi terhadap makna karya sastra. (Santosa, 1993 : 31)

seperti novel Larung karya Ayu Utami yang didalamnya, membicarakan

moral, terdapat pendobrakan terhadap nilai-nilai moral yang dianut oleh


3

sebagian rakyat Indonesia. Didalamnya mempersetankan atau meruntuhkan

lembaga perkawinan, tidak ada satu tokoh pun yang memperlihatkan seorang

perempuan yang bahagia. Ayu Utami lahir di Bogor, 21 November 1968.

besar di Jakarta dan menamatkan kuliah di Fakultas Sastra Universitas

Indonesia. Ia pernah menjadi wartawan di majalah Matra, Forum Keadilan,

dan D&R. Pada saat orde baru ia ikut mendirikan aliansi jurnalis independen

yang memperjuangkan kebebasan pers. Ia juga ikut membangun komunitas

Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi.

Ia juga menjadi anggota komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta pada tahun

2006 - 2009.

Kehadiran Ayu Utami dalam sejarah sastra Indonesia seperti magma

yang mengejutkan banyak pihak, terutama menyangkut kefasihanya

membicarakan seks secara erotis, yang kemudian melahirkan epigon di

wilayah ini seperti Djenar Maesya Ayu. Dr. Setya Yuwono sudikan, MA

pakar sastra dari Unesa pada seminar bertajuk ”fenomena pengarang wanita

dan wacana gender” yang di selenggarakan fakultas sastra dan sain

Universitas Wijaya Kusuma (UWKS) Surabaya menganalisis bahwa

munculnya banyak karya perempuan pengarang yang berbau seks itu lebih

dikarenakan sebagai pemberontakan, karena sekian lama mereka dikekang,

terutama di era orde baru berkuasa.

Novel pertama Ayu Utami adalah Saman dan berlanjut ke Larung.

Novel Saman memenangkan sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta pada

1998. Karena karyanya dianggap meluaskan batas penulisan dalam


4

masyarakat, ia mendapat Prince Claus Award pada tahun 2000 dan hadiah

Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) 2008.

Membaca karya Ayu Utami banyak pendapat yang bermunculan, Asep

Sambodja yang sependapat dengan Sapardi Djoko Damono misalnya, yang

mengatakan bahwa Ayu Utami memiliki kemampuan berbahasa, kemampuan

memilih dan mengolah kata (diksi) yang demikian cemerlang atau kata-

katanya bercahaya seperti kristal, sebagaimana yang di katakan Ignas Kleden.

Tapi bahasa yang canggih itu digunakan untuk mengemas gagasan besar yang

merontohkan nilai-nilai moral dalam masyarakatnya. Bahasa dapat menutupi

pikiran-pikiran, kata pepatah Perancis, dan memang daya ungkap Ayu Utami

memang luar biasa, sehingga pembaca dibuat terpukau dan terkejut sekaligus.

http://Asepsambodja.blogspot.com/2008/08/31

Dalam sebuah karya sastra dapat kita temukan beberapa kode atau

tanda, terlebih pada karya sastra yang berbentuk novel. Maka penulis tertarik

untuk mengangkat transaksi amanat untuk mengkaji sebuah novel dengan

mempertajam teori semiotika yang mempelajari kode-kode yang terdapat di

dalamnya.

Penelitian dengan teori semiotika sebelumnya pernah dilakukan oleh

peneliti sebagai berikut.

1. Anton Wahyudi Mahasiswa STKIP PGRI Jombang (2005)

dengan judul ”Semiotika dalam Kelenjar Laut Karya D.

Zawawi Imron.

2. Aditya Ardi Ardhana Mahasiswa STKIP PGRI Jombang


5

(2005) dengan Judul Mata Jendela sebuah kajian semiotika

karya Sapardi Djoko Damono

Anton Wahyudi dan Adhitya Ardi A sama-sama mengkaji Antologi

puisi. Dimana kajiaannya adalah sebuah tanda yang terdapat didalam karya

sastra tersebut, dan tanda tersebut mencakup ikon, indeks, simbol dan modus

transaksi amanat. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian

sebelumnya. Tetapi yang membedakan, selain objek yang berada dalam

penelitian ini, penulis mengarahkan fokus penelitian pada aspek semiotik

melalui Amanat yang terdapat dalam novel Larung karya Ayu Utami.

Sejauh pengamatan penulis, belum ada yang mangkaji novel larung

karya Ayu Utami dari modus transaksi amanat, khususnya di STKIP. Dari

semua paparan, maka peneliti ingin menganalis novel Larung karya Ayu

Utami dan modus transaksi amanat ini merupakan tujuan akhir dari

pembahasan.

B. Batasan Masalah

Penelitian ini diberi judul Modus Transaksi Amanat pada novel

Larung karya Ayu Utami. Cakupan kajian modus transaksi amanat, meliputi :

a. kode teka-teki;

b. kode simbolik;

c. kode aksian.

Penulis menggunakan ketiga kode tersebut sebagai batasan masalah

untuk mengkaji novel Larung karya Ayu Utami.


6

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian maka rumusan masalah dapat di

rumuskan sebagai berikut.

a. Bagaimanakah kode teka-teki dalam novel Larung karya Ayu Utami?

b. Bagaimanakah kode teka simbolik dalam novel Larung karya Ayu

Utami?

c. Bagaimanakah kode aksian dalam novel Larung karya Ayu Utami?

D. Tujuan Penelitian

d.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan novel

Larung karya Ayu Utami dari aspek Modus Transaksi Amanat.

d.2. Tujuan Khusus

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian ini mengkaji

tentang semiotika dalam modus transaksi amanat novel Larung karya

Ayu Utami yang meliputi beberapa aspek kode didalamnya, yaitu :

a. mendeskripsikan kode teka-teki dalam novel larung

karya Ayu utami;

b. mendeskripsikan kode simbolik dalam novel larung

karya Ayu utami;


7

c. mendeskripsikan kode aksian dalam novel larung

karya Ayu utami.

E. Manfaat Penelitian

e.1. Secara Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangsih pengembangan ilmu teori sastra, khususnya teori semiotika.

e.2. Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini sangat bermanfaat bagi pelajar,

mahasiswa, guru, dosen, dan peminat sastra sebagai referensi untuk

pembelajaran apresiasi sastra dan acuan bagi peneliti lain yang akan

mengkaji novel Larung karya Ayu Utami dari aspek lain.

F. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahfahaman dan agar tidak menimbulkan salah

penafsiran tentang konsep yang ada dalam penelitian ini, penulis

mendefinisikan istilah-istilah sebagai berikut :

Modus : Cara, jalan, atau aturan (Poerwardaminta, 1985:653)

Transaksi : Pemberesan atau persetujuan (Poerwardaminta, 1985:1089)

Amanat : Ajaran yang berupa pesan-pesan tata nilai dalam kehidupan

berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. (Santosa, 1993:32)

Jadi Modus transaksi amanat adalah salah satu alternatif dalam


8

menafsirkan suatu karya sastra, karena setiap bentuk karya sastra mempunyai

pesan atau amanat yang berbeda-beda yang disampaikan pengarang kepada

pembacanya. Ada beberapa kode untuk memperoleh modus transaksi amanat,

yaitu:

1. kode teka-teki : kode yang memberikan belitan tanda tanya dalam batin

pembaca yang dapat membangkitkan hasrat untuk menemukan jawaban

dari sebuah pertanyaan dalam sebuah karya sastra.

2. Kode simbolik : kode perlambangan yaitu dunia personifikasi manusia

dalam menghayati arti hidup dan kehidupan.

3. Kode aksian : kode yang berprinsip bahwa didalam tuangan bahasa secara

tulis perbuatan-perbuatan itu harus disusun secara linier.


9

BAB II

LANDASAN `TEORI

A. Sastra dan Semiotik

Istilah sastra di pakai untuk menyatakan gejala budaya yang dapat

dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial ekonomi, dan

keagamaan. Keberadaannya tidak merupakan keharusan. Hal ini merupakan

sastra gejala yang universal. Akan tetapi, suatu fenomena pula bahwa gejala

universal itu tidak mendapat konsep yang universal pula (Jabrahim,2003: 9)

Sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni ( Wellek dan

Warren,1990:3). Teeuw (Santoso,1986:1-2) mengemukakan bahwa

mempelajari sastra ibarat memasuki hutan, makin kedalam semakin lebat,

makin belantara. Dan di dalam ketersesatan itu ia akan memperoleh

kenikmatannya.

Jadi karya sastra adalah suatu kreativitas yang unik,yang didalamnya

banyak mengandung berbagai macam makna dimana dalam karya sastra

seseorang atau pembaca akan menemukan atau memperoleh kenikmatan

tersendiri yang tercipta dari dalam karya sastra tersebut.

Karya sastra sebagai objek penelitian, metode dan teori sebagai cara
10

untuk meneliti, berkembang bersama-sama dalam kondisi yang saling

melengkapi. Meskipun dengan demikian, khususnya dalam kaitanya dengan

proses kelahirannya, teori dan metode selalu lahir sesudah karya sastra yang

di jadikan sebagai objek (Ratna,2004:15)

Karya sastra baik berupa puisi, novel atau cerita rekaan maupun drama

terdapat berbagai macam lambang, antara lain : lambang warna, benda, bunyi,

suasana, nada, dan visualisasi imajinatif yang ditimbulkan dari tata wajah atau

tipografi.

Sebaiknya, tanda yang terdapat dalam karya sastra hanya bermanfaat

untuk mengenal aspek formal atau bentuk struktural fisiknya. Unsur-unsur

cerita rekaan seperti alur, penokohan, latar, sudut pandang, amanat, gaya dan

suasana dapat kita kenali dari pemahaman tanda-tanda struktural sebuah cerita

rekaan.

Mengatasi terjadinya kemacetan komunikasi dalam merebut makna

karya sastra ini, maka diciptakannya sebuah ancangan semiotika. Dasar dari

ancangan semiotik ini adalah tanda sebagai tindak komunikasi. Teeuw dalam

Santoso (1982:18) tokoh kebahasaan, Ferdinand De Saussure cenderung

menggunakan istilah semiologi, yang mula-mula merupakan bagiaan dari

bidang psikologi sosial. Langkah De Saussure selanjutnya adalah

mengembangkan pengertian semiologi menjadi ilmu pengetahuan yang

bertugas meneliti berbagai sistem tanda, (Teeuw dalam Santosa, 1984, 46-47).

Beberapa pakar susastra telah mencoba mendefinisikan semiotika yang

berkaitan dalam dengan keilmuan, antara lain sebagai berikut.


11

1. semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang

tanda-tanda, ilmu ini menganggap bahwa

fenomena sosial / masyarakat dan kebudayaan

itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu

mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan,

konvensi-konvensi yang memungkinkan

tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam

lapangan kritik sastra, penelitian semiotik

meliputi analisis sastra sebagai sebuah

penggunaan bahasa yang bergantung pada

(sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-

macam cara (modus) wacana mempunyai

makna (Preminger, dkk.,1974: 980)

2. semiotika adalah keseluruhan semesta

sebenarnya terbangun dari tanda. Menurut,

seluruh kognitis , pikiran, dan manusia itu

bersifat semiotik. Pikiran bersikap semiotik

karena mempunyai masa lalu sebagai

acuannya dan masa depan sebagai

interperetannya atau tujuannya, manusia pun

sebenarnya sebuah tanda dalam pengertian

tokoh tersebut. Peirce (Noth 1990: 980)

3. semiotika adalah ilmu yang mengkaji


12

kehidupan tanda dalam maknanya yang luas

dalam masyarakat, baik yang lugas (literal)

maupun yang luas (figurative), baik yang

mengguakan bahasa maupun yang non

bahasa) Wiryaatmadja dalam Santosa (1981:4)

4. semiotika adalah teori studi sistematis

mengenai produksi dan interpretasi tanda,

bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya

terhadap kehidupan manusia. Cobley dan Janz

dalam Ratna (2002:4).

Jadi semiotika adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang

mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu

informasi atau pesan baik secara verbal maupun non-verbal, sehingga bersifat

komunikatif, hal tersebut memunculkan suatu proses pemaknaan oleh

penerima tanda akan makna informasi atau pesan dari pengirim pesan.

B. Tanda dalam Semiotik

Melihat definisi semiotik yang artinya tanda. Tanda mempunyai dua

aspek, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah

bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang ditandai oleh penanda itu,

yaitu artinya. Contohnya kata “ibu” merupakan tanda berupa satuan bunyi

yang menandai arti : ”orang yang melahirkan kita”.

Dalam dunia Semiotika, terdapat beberapa pengertian tanda, salah satu


13

yang cukup populer adalah konsep tanda menurut Barthes dan Saussure.

Menurut konsep mereka, tanda adalah hasil penggabungan antara signified dan

signifier. Sebagai contoh obyek bunga (signifier) belum merupakan sebuah

tanda sebelum bunga itu diberi sebuah arti (signified), misalnya bunga tanda

cinta, atau bunga tanda berduka cita. Pemberian arti dapat dilakukan dengan

berbagai cara, misalnya diberikan pada situasi tertentu, pemilihan jenis bunga

tertentu atau disusun dalam bentuk tertentu.

Menurut Aart van Zoest (1993) tanda ialah segala sesuatu yang dapat

diamati. Atau tanda merupakan lambang yang digunakan untuk mengenali,

mengetahui dan mengecam sesuatu. Tulisan ‘Stop” pada papan tanda

berwarna merah di jalan raya merupakan tanda. . Pengguna jalan raya mesti

berhenti. Tanda ’stop’ objeknya pengguna jalan raya, makna tanda ialah idea

yang merujuk pada objek ”tanda yg dirujuk” (denotatum) dan merupakan

himpunan. Tanda tidak semestinya konkrit, boleh juga abstrak. Apa yang

difikirkan merupakan tanda.

Tanda dalam kehidupan manusia juga terdiri dari berbagai macam,

antara lain gerak atau isyarat, tanda verbal yang berbentuk ucapan kata,

maupun non verbal yang dapat berupa bahasa tubuh. Tanda isyarat dapat

berupa lambaian tangan, dimana hal tersebut bisa diartikan memanggil, atau

anggukan kepala dapat diterjemahkan setuju. Tanda bunyi, seperti klakson

motor, genderang, tiup pluit, trompet, suara manusia, dering telpon. Ada

beberapa tanda berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-


14

jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol.

Tanda dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai lima

pengertian yakni yang menjadi alamat atau yang mengatakan sesuatu, gejala,

bukti, pengenal, dan petunjuk. Tidak semua tanda terlihat. Suara dapat

dikategorikan sebagai tanda, begitu juga bau, rasa, dan bentuk. Beberapa tanda

mempunyai dimensi visual dan mengetahui varisasi aspek-aspek visual tanda

adalah hal penting sebagai pertimbangan dalam analisis. Aspek-aspek tersebut

adalah penggunaan warna, ukuran, ruang lingkup, kontras, bentuk, dan detail

(Berger, 2000: 39-42).

b.1 Ikon

Kata ikon berasal dari bahasa Latin, yaitu icon yang artinya ’arca,

patung’ (Prent, 1969:396) atau bisa diartikan ’gambar’ atau ’patung yang

menyerupai contohnya’ (Verhoeven, 1969:274). Kata ikon selanjutnya dipakai

oleh Pierce sebagai istilah dari bagian Semiotika, yaitu untuk menyebut jenis

tanda yang petandanya memiliki hubungan kemiripan dengan objek yang

diacunya. Kata ikon kemudian dipakai dalam linguistik, yaitu ”untuk

menyebut tanda yang bentuk fisiknya memiliki kaitan yang erat dengan sifat

khas dari apa yang diacunya” (Sudaryanto, 1989:114).

Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat

alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan

persamaan, bisa juga disebut yang mirip dengan objek yang diwakilinya.

Misalnya foto SBY sebagai presiden NKRI adalah ikon dari Susilo Bambang
15

Yudhoyono.

Peirce (1965) menyifatkan ikon sebagai tanda merujuk kepada objek,

yang menunjukkan sifat yang sama seperti yang digambarkan dan

mempunyai persamaan. Paul Cobley & Litza Janz (1998) menyebut ikon

adalah tanda yang berhubung dengan objek tertentu karena keserupaan. Alex

Sobur (2003) ikon ialah tanda yang berhubungan penanda dengan petanda

bersamaan bentuk alamiah. Dalam ikon, hubungan tanda dan objeknya

terwujud sebagai kesamaan rupa yang terungkap oleh tanda. Peta atau lukisan

memiliki hubungan ikonik dengan objek nyatanya. Sejauh mana keserupaan,

membawa fungsi tertentu berkaitan tafsiran makna dengan struktur

permukaan.

Ikon lebih jelas didefinsikan menerusi fungsinya sebagai penanda

yang menjadi tanda pada penanda. Tegasnya definisi ikon didasarkan kepada

fungsinya sesuatu tanda daripada menggunakan konsep penyalinan (tidak

tepat dan lumrah). Lambang ikonik membawa berbagai tafsiran makna

dengan struktur permukaan. Bulan (malam), jam (waktu), burung (kebebasan).

Ada juga dituntut membiasakan diri dengan kebiasaan estetik sesuatu bahasa

yang digunakan. Lambang ikonik mempunyai berbagai makna . Misalnya

matahari (siang, kesenangan dan kemakmuran)

b.2 Indeks

Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan klausal (sebab

akibat) antara penanda dan petanda atau disebut juga tanda sebagai bukti.
16

Misalnya : Asap api, asap menunjukkan indeks adanya api. Bunyi lonceng

rumah sebagai indeks kehadiran tamu.

Hubungan antara tanda dengan objek bersifat konkrit dan biasanya

melalui cara yang berturutan. Indeks merujuk objek yang menunjukkan kesan

daripada objek nyatanya, yang memiliki keterikatan atau sebuah hubungan

sebab akibat. Indeks menghubungkan penanda dengan petanda yang

mempunyai sifat nyata, bertata urut, sebab akibat dan selalu mengisyaratkan

sesuatu (Puji Santosa 1993).

Indeks yang menunjukkan sesuatu tidak mementingkan hubungan

sebab akibat antara penanda dengan petanda (Aart van Zoest 1990). Semua

tanda yang menyebabkan kita terkejut, tersentuh dan menjadi marah adalah

tanda-tanda indeks.

b.3 Simbol

Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan

alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungannya bersifat arbitrer

(semau-maunya). Arti tanda ditentukan oleh konvensi, peraturan, atau

perjanjian yang disepakati bersama yang bersifat universal. Misalnya: Marka

Jalan tulisan “S” dicoret dengan garis warna merah menunjukkan simbol

dilarang berhenti.

Simbol merupakan salah satu jenis tanda yang bersifat arbitrer dan

konvensional. Peirce (1965) menamakan simbol sebagai tanda yang merujuk

kepada objek, yang menunjuk kepada peraturan (biasanya gabungan idea-idea


17

umum). Pengertian de Sausure tentang tanda dalam simbol digunakan secara

meluas dengan beragai pengertian yang difahami secara berhati-hati. Simbol

mempunyai ciri hubungan antara tanda dengan tanda dirujuknya ditentukan

sesuatu peraturan yang berlaku secara umum. Tanda yang berhubung dengan

objek tertentu kerena kesepakatan, terbentuk secara konvensional dan tidak

menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Bersifat

arbitrari dan berdasarkan konvensi masyarakat.

Simbol tidak berpisah dengan budaya. Levi Strauss (1950)

menganggap budaya sebagai himpunan simbol, terutama bahasa diikuti

peraturan perkawinan, hubungan ekonomi, seni, sains dan sebagainya..

Keupayaan manusia membentuk budaya bergantung pada keupayan mereka

untuk menciptakan simbol.

C. Modus Transaksi Amanat

Untuk mengetahui kedalaman makna dari suatu tanda, diperlukan

pendekatan semiotik untuk membedah lebih lanjut mengenai kode-kode yang

tersembunyi dibalik berbagai macam tanda dalam sebuah karya sastra.

Komunikasi yang diformulasikan dalam sebuah kode. Dalam hal ini dapat

berupa tutur kata, penomoran, formula bunyi, atau tanda-tanda yang lain. Oleh

sebab itu, sebuah amanat harus disampaikan melalui sebuah konteks dan agar

tercapai pengertian dari amanat yang disampaikan oleh si penyampai kepada si

penerima. Jadi, konteks-konteks dipahami dalam situasi, kondisi, dan kultur

dari seseorang penyampai. (Santosa, 1993:28).


18

Roland Barthes tokoh semiotika dari perancis, dalam tulisannya

berjudul S/Z (Paris:Seuil, 1970) mencoba menuntun pembaca susastra untuk

memperoleh modus transaksi amanat, tujuannya adalah agar pembaca tidak

sia-sia melakukan interpretasi terhadap makna karya sastra. Dia menawarkan

ada beberapa kode untuk memperoleh modus transaksi amanat. Yaitu : 1).

Kode teka-teki, 2). kode simbolik, 3). kode aksian. Ketiga kode ini

dimaksudkan agar pembaca dapat memperoleh modus transaksi amanat

dalam susastra secara baik dan tepat.

Amanat atau pesan sebuah karya sastra berhubungan dengan makna

karya sastra itu sendiri (sigfinance). Makna karya sastra selalu bersifat kias,

majas, subjektif dan khusus. Untuk menafsirkan amanat pembaca perlu

memantapkan bahwa suatu fakta itu merupakan “bukti” yang dimaksud

pengarang. Oleh sebab itu, makna karya sastra agar dapat mengemukakan

“bukti” menuntut pembaca untuk secara kreatif melakukan interpretasi

terhadapnya, rupa kreatifitas, pembaca tidak akan menemukan sesuatu yang

berarti. Sebab amanat biasanya selalu disembunyikan (secara implisit/ tersirat)

oleh pengarangnya.

Amanat atau pesan tampaknya membentuk suatu informasi, dan

kenyataannya memang begitu, sebagaimana halnya sinyal-sinyal fisik. Karena

dia mewakili suatu proses seleksi satu di antara sekian banyak simbol yang

sama-sama dapat dibuktikan.

Keanekaragaman kode, konteks dan situasi menunjukkan pada kita

bahwa pesan yang sama dapat dikodekan dari berbagai sudut pandang dan
19

dengan mengacu pada berbagai sisrem konvensi. Dan pada karya sastra

masing-masing kode tersebut mungkin dapat disimpangi, yaitu sebagai usaha

untuk menampilkan keharuan. Namun, ketiga kode tersebut tidak akan

seluruhnya disimpangi oleh pengarang, sebab karya sastra tersebut akan

menjadi tidak komunikatif. Jalinan antara satu kode dengan kode yang lain,

erat sekali hubungannya dalam membentuk sebuah karya sastra yang utuh,

bulat dan perpadu. Keterpaduan antar kode diatas mewujudkan keberadaan

berupa amanat dan tata nilai yang di ekspresikan oleh pengarang melalui karya

sastranya.

Modus transaksi amanat merupakan tujuan akhir dari setiap

pembahasan dalam mengkaji karya sastra. Setiap bentuk karya sastra sudah

barang tentu memiliki pesan atau amant yang ingin disampaikan pengarang

kepada pembacanya. Jika sebuah analisis atau telaah karya sastra belum

sampai memperoleh amanat, maka analisis atau telaah itu belumlah sempurna

atau tuntas. Inti komunikasi pengarang kepada pembaca terletak pada

amanat. Sebab dalam amanat terkandung hikmah dan tata nilai yang luhur dan

penuh dinamika yang hendak disampaiakn pengarang kepada pembaca.

Amanat dalam karya sastra merupakan arti yang relevan dalam rangka

pembinaan kepribadian bangsa. Pemakaian ekspresi koletif dan ekspresi

pribadi dalam karya sastra merupakan dasar wawasan budaya pengarang.

Dasar wawasan budaya pengarang ialah sebuah pewartaan (informasi) dalam

amanat tersampaikan, yaitu mengajarkan sesuatu hal sambil memberi hiburan.

Ajaran yang berupa pesan-pesan tata nilai dalam kehidupan berbangsa,


20

bernegara dan bermasyarakat ini perlu diamalkan dalam kehidupan sehari-

hari. Suatu nilai akan memberikan petunjuk umum yang mengarah terhadap

tingkah laku dan kepuasan batiniah, yaitu berupa fakta kesadaran manusia.

Tiap pengarang ataupun penyair bermaksud ingin meningkatkan martabat

manusian dan kemanusiaan.

Modus Transaksi Amanat yang dikemukakan Roland Barthes

memegang kendali yang kuat dalam mengkaji novel larung karya ayu utami.

Kode yang dikemukakan Roland Barthes meliputi : Kode teka-teki, kode

simbolik, dan kode aksian. Semua kode tersebut dicoba diterapkan dalam

mengkaji amanat novel larung. Hal ini beralasan bahwa novel larung

memiliki tanda-tanda yang menampilkan kode- kode tersebut.

c.1. Kode teka-teki

Kode teka-teki merupakan belitan tanda tanya dalam batin

pembaca yang dapat membangkitkan hasrat dan kemauan untuk

menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan inti yang dikandung karya

sastra. Kode teka-teki dipakai bilamana pembaca berhadapan dengan

sesuatu yang segera dapat dipahami. Misalnya dalam sebuah karya sastra,

siapakah mereka?, apa yang terjadi?, halangan apa yang muncul?,

bagaimana tujuannya?, dan sebagainnya. Dan disitulah diperlukan usaha

interpretasi, sehingga pembaca benar-benar menemukan semua jawaban

dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.

c.2. Kode Simbolik

Kode ini merupakan dunia perlambangan, yakni dunia


21

personifikasi manusia dalam menghayati arti hidup dan kehidupan. Hal ini

dapat kita kenali melalui kelompok-kelompok konvensi atau sebagai

bentuk yang teratur, mengulangi bermacam-macam mode dan bermacam-

macam maksud dalam sebuah teks sastra yang akhirnya menghasilkan

sebuah pengertian tentang makna kode tersebut. Yang mungkin bisa

diterapkan dalam kehidupan pembaca sehingga pengarang dalam

menciptakan karya sastra lebih berhati-hati untuk menerapkan dunia

perlambangan didalamnya.

c.3. Kode Aksian

Kode aksian merupakan prinsip bahwa didalam tuangan bahasa

secara tulis, perbuatan-perbuatan itu harus disusun secara linier. Dalam

sebuah peristiwa atau kejadian yang terdapat dalam cerita rekaan tidak

mungkin beberapa buah peristiwa atau kejadian disampaikan secara

serentak. Dalam film atau tv mungkin beberapa peristiwa dapat

ditampilkan secara serentak, dalam tanda tulis tentu sulit dan tak mungkin

dilakukan secara serentak. Oleh sebab itu, suatu perbuatan harus disusun

secara linier, bukan berarti harus kronologis berurutan dari peristiwa a ke

b, c, d, dan seterusnya, tetapi harus seimbang dengan prinsip-prinsip

hidup.

Teori Semiotika dirasa cukup tepat digunakan sebagai pisau

analisis untuk mengkaji sebuah novel, dimana didalamnya penuh dengan

tanda dan kode yang harus dipecahkan, maka kelebihan dari semiotika

adalah menyeleksi tanda dan kode yang memiliki kaitan fisik, sehingga
22

Tanda Modus Transaksi Amanat


Roland Barthes
memungkinkan sebuah interpretasi yang lugas dan objektif.

Ikon Indeks Simbol Argumentasi yang dikemukakan dalam teori semiotika adalah
Pesan Pengarang
asumsi bahwa karya sastra / seni merupakan proses komunikasi, dalam hal

ini karya seni barupa karya sastra dapat dipahami semata-mata dalam

Kode teka-teki kaitannya dengan


Kode pengirim dan penerima.
Simbolik Makna
Kode tanda ataupun kode-
Aksian

kode bukanlah milik dirinya sendiri, tetapi berasal dari konteks dimana dia

diciptakan, dimana dia ditanam. Jadi, sebuah tanda memiliki arti sangat

banyak, atauPerlambangan Perbuatan


sama sekali tidak berarti apabila yang
analisis semiotik khususnya
Dunia
tersusun secara
dari hasil penghayatan
kode hanya terbatas dalam memberikanlinier penjelasan pada aspek tekstual

saja.

NOVEL LARUNG
Karya Ayu Utami

KERANGKA LANDASAN TEORI


23

22 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pada umumnya dalam penelitian sastra digunakan metode atau tehnik

penelitian kualitatif. Pemilihan metode penelitian hendaknya didasari anggapan

yang jelas terhadap karya sastra yang menjadi objek penelitian. Pemilihan metode

yang tepat dan sesuai dengan objek penelitian sangat menunjang keberhasilan
Belitan Tanda tanda
penelitian

Penelitian kualitatif sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya

tidak diperoleh melalui prosedur statistic atau bentuk hitungan lainnya, contohnya

dapat berupa penelitian tentang kehidupan, riwayat, dan perilaku seseorang,

disamping juga tentang peranan organisasi. Penelitian kualitatif adalah penelitian

yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,

tindakan, dan lain-lain. Secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk

kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai alamiah. (Moleong, 2005:6). Ratna (2004:46)

beranggapan bahwa metode kualitatif pada dasarnya sama dengan metode

hermenuetika. Artinya, baik metode hermeneutika, kualitatif, dan analisis isi,

secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikan dalam

bentuk deskripsi.

Menurut Arikunto (2002:6) penelitian kualitatif selalu bersifat deskriptif

artinya data dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskriptif fenomena, tidak

dengan angka-angka atau koefisien tentang hubungan antar pararel. Data yang
24

terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar-gambar dan bukan angka.

Berdasarkan uraian tentang penelitian kualitatif, maka penelitian yang

tepat dan sesuai untuk Novel Larung karya Ayu Utami adalah pendekatan

penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Dengan alasan pendekatan kualitatif

merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi yang berupa

kata-kata tertulis.

A. Sumber data Dan Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini adalah Novel Larung karya Ayu

Utami yang diterbitkan tahun 2001, oleh kepustakaan populer Gramedia,

Jakarta.

Data yang diperoleh dari sumber penelitian pada novel Larung karya

Ayu Utami ini berupa:

• kode teka-teki,

• kode simbolik,

• dan kode aksian.

B. Cara Kerja Penelitian

Adapun beberapa langkah kerja dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

No Langkah kerja Cara kerja


1 Pembacaan Pembacaan dilakukan secara
menyeluruh dan berulang-ulang pada
novel Larung karya Ayu Utami
2 Pengelompokan data Pengelompokan data dilakukan dengan
cara mengklasifikasi data berdasarkan
kode teka-teki, kode simbolik, dan kode
aksian.
25

3 Penggolahan data Pengolahan data dilukukan dengan cara


penomoran atau menggarisbawahi setiap
jenis data yang sudah berhasil
dikumpulkan melalui observasi data
4 Analisis data Analisis data dilakukan dengan cara
menganalisis data sesuai dengan teori
modus transaksi amanat dan kemudian
menarik kesimpulan

C. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data adalah cara yang digunakan peneliti untuk

mengumpulkan data dari objek penelitiannya. Tehnik pengumpulan data

dalam penelitian ini menggunakan beberapa metode sebagai berikut.

a. Metode Batat

Metode batat adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data

dengan jalan membaca keseluruhan teks atau literatur yang menjadi objek

penelitian. Metode ini digunakan untuk memperoleh kutipan atau hal-hal

yang penting yang ada hubunganya dengan judul penelitian. Catatan yang

diperoleh ini kemudian dikembangkan secara lebih jauh dalam

pembahasan dan pengolahan data.

b. Metode Deskripsi

Metode deskriptif adalah metode yang digunakan untuk mendeskripsikan

data. Surakhmad (1980:139) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan

metode deskriptif tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan

data, melainkan meliputi analisis interpretasi tentang data itu.

c. Metode Studi Pustaka

Metode studi pustaka adalah metode yang digunakan untuk mencari dan
26

menelaah berbagai buku sebagai bahan pustaka yang digunakan untuk

sumber referensi yang bertalian dengan topik penelitian.

D. Instrumen Penelitian.

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh

peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaanya lebih mudah dan

hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga

lebih mudah diolah (Arikunto, 2002: 136)

Untuk mempermudah pengumpulan data mengenai semiotika

khususnya kode-kode dalam novel Larung karya Ayu Utami, peneliti

menggunakan instrumen berupa:

1. tabel rekapitulasi analisis data yang digunakan

untuk mencatat

2. merekapitulasi data hasil penelitian yang berupa

kode teka- teki, kode simbolik, dan kode aksian.

3. Hasil penelitian kode teka-teki berupa belitan tanda

Tanya dalam batin pembaca, kode simbolik berupa

dunia perlambangan dalam menghayati arti hidup

dan kehidupan, dan kode aksian berupa prinsip

yang didalam tuangan bahasa secara tulis,

perbuatan-perbuatan disusun secara linier.

Adapun tabel-tabel yang digunakan sebagai pencatat data tersebut


27

berbentuk kolom sebagai berikut:

Tabel Instrumen

No Kutipan Hal. Jumlah

kalimat dalam

novel
Kode teka- Kode Kode

teki simbolik aksian


Siapakah dia?, Alur, gerak, Kejadian-
apa yang dan irama kejadian
terjadi?, dalam
mengapa kehidupan
seperti itu?,
bagaimana
tujuannya?
Berupa Perlambangan Tersusun
pertanyaan- secara linier
pertanyaan

Keterangan:

 Kolom pertama di isi nomor urut dalam tabel.

 Kolom kedua di isi kutipan kalimat yang menjadi data penelitian.

 Kolom ketiga di isi halaman yang terdapat dalam Novel Larung.

 Kolom keempat di isi jumlah kode teka-teki, kode simbolik, dan kode

aksian dalam Novel Larung.


28

BAB IV

DESKRIPSI DATA

A. Modus27
Transaksi Amanat Novel Larung
Sebuah modus transaksi amanat akan menjadi mungkin, setelah kita

menangkap premise mayor atau gagasan utama yang mendasari seluruh isi

dalam Novel Larung, sehingga kita memperoleh value atau nilai-nilai yang

hendak ditransaksikan oleh pengarang sebagai pengirim pesan kepada

pembaca sebagai penerima pesan. Barangkali, dalam Novel Larung ini, Ayu

Utami hendak mengkomunikasikan sebuah pengalaman dengan

menggambarkan sesuatu yang melibatkan persepsi atau asumsi untuk

mengenali tokoh-tokoh perempuan yang melakukan perlawanan terhadap

norma-norma mapan yang telah ada, lembaga perkawinan, masalah

keperawanan, adalah beberapa contoh di antaranya. Tidak ada keadilan gender

di dalam semua itu. Dengan tokoh-tokoh seperti itu, maka perselingkuhan

adalah unsur paling dominan yang terdapat dalam novel Larung.

Karena gagasan utama yang hendak dibangun Ayu Utami adalah

meruntuhkan lembaga perkawinan, maka tidak ada satu tokoh pun yang

memperlihatkan seorang perempuan yang berbahagia. Justru yang tampak

adalah sebaliknya. Para tokoh perempuan itu, yakni Laila Gagarina (Laila),

Yasmin Moningka (Yasmin), Cokorda Gita Magaresa (Cok), dan Shakuntala

(Tala) memperlihatkan perempuan-perempuan yang gelisah dalam hidup

bermasyarakat, tepatnya kegelisahan seksual.


29

B. Kode teka-teki dalam novel Larung

Kode teka-teki merupakan belitan tanda tanya dalam batin pembaca

yang dapat membangkitakan hasrat dan kemauan untuk menemukan jawaban

dari sebuah pertanyaan inti yang dikandung karya sastra. Kode teka-teki

dipakai bilamana pembaca berhadapan dengan sesuatu yang segera dapat

dipahami. Misalnya dalam sebuah karya sastra, siapakah mereka?, apa yang

terjadi?, halangan apa yang nuncul?, bagaimana tujuannya?, dan sebagainnya.

Dan untuk itulah diperlukan usaha interpretasi, sehingga pembaca dapat

menemukan semua jawaban dari belitan tanda tanya dalam benaknya. Seperti

pada kutipan kalimat dibawah ini:

Keretaku berhenti di stasiun Tulungagung. Aku datang untuk


membunuh nenekku.
(Larung,2004: 03)

Kutipan kalimat (Larung,2004:03) dapat dimasukkan kode teka-teki,

yang kode Tanya atau belitan tanda Tanya yang terdapat dalam benak

pembaca, maka dapat dilihat bahwa kedatangan Larung dari stasiuan

Tulungagung adalah ingin membunuh neneknya atau Simbah.

Kenapa Larung ingin membunuh Simbah?, seorang pembaca mulai

timbul Tanya, dalam hal ini perlu di usahakan untuk adanya interpretasi pada

Novel Larung, sehingga pembaca menemukan belitan tanda Tanya tersebut.

Kutipan kalimat (Larung,2004: 03) tersebut sudah dapat di baca bahwa

larung adalah cucu yang ingin membunuh Simbahnya sendiri karena Larung

sudah jenuh merawat Simbah ketika melihat usia Simbah tak kunjung mati
30

juga di usia tua untuk pergi meninggalkan kehidupan duniawi.

Ia sudah begitu tua. Seperti bukan manusia bukan perempuan bukan


lelaki, seperti bekas manusia.
(Larung,2004: 07)

Ia adalah makhluk yang dari mulutnya yang tremor keluar kotoran


dari kekejian.
(Larung 2004: 10)

Kutipan kalimat (Larung,2004:07) dan (Larung,2004:10) Kode teka-

teki timbul pada pembaca ketika pembaca sudah berimajinasi tentang keadaan

Simbah. belitan tanda tanya kenapa Simbah bukan seperti manusia pada

umumnya, dia bukan laki-laki bukan juga perempuan?, Simbah seperti

manusia menjijikkan yang juga tidak punya rasa kemanusiaan terhadap orang-

orang di sekitarnya kecuali Larung?, kenapa kekejian keluar dari mulutnya?

betapa tua renta dia untuk tidak bisa melakukan apa-apa. Simbah hanya bisa

berbaring terlentang tak berdaya di atas tempat tidurnya.

Padahal Simbah di usia 150 tahun seharusnya hanya bisa diam tanpa

gerak atau mungkin mati tertelan bumi dan sudah tanpa tulang yang

menyisakan jasadnya. Kenapa Simbah seperti itu?. Pembaca pasti menemukan

jawaban dari semua pertanyaan karena Simbah adalah manusia yang mendapat

kekuatan bukan dari dunia manusia, melainkan dari alam gaib yang syirik

sehingga usia sudah terlampau tua, tubuh menjijikkan dan kekejian keluar dari

mulutnya tapi belum bisa meninggalkan dunia. Dalam hal ini, bisa dibuktikan

dengan:

Simbah masih melahirkan pada usia empat puluh lima?


Barangkali lima puluh. Ia kuat sekali.
31

(Larung,2004: 14)

Kutipan kalimat (Larung,2004: 14) diatas sudah jelas belitan Tanya

pada pembaca pasti muncul ketika pembaca ingin mengetahui, kenapa pada

usia empat puluh lima atau barangkali lima puluh tahun Simbah masih bisa

melahirkan?, dan Simbah kenapa bisa kuat sekali? Pembaca mulai berfikir

untuk menemukan jawabannya.

Pembaca akan berfikir usia normal untuk melahirkan pada usia seperti

Simbah sudah pasti tergolong resiko tinggi yang bisa menyebabkan kematian.

Tapi kenapa tokoh Simbah dalam novel Larung seperti itu? Semua akan

terjawab apabila pembaca benar-benar melakukan interpretasi.

Hal ini dikarenakan adanya kekuatan yang ada pada tubuh Simbah

sehingga Simbah bisa melewati semua itu, seperti melahirkan pada usia

empat puluh lima atau barangkali lima puluh tahun.

Sebelum susuk dan gotri itu dikeluarkan dari badannya, dan jampi-
jampi dilepas dari mulutnya. Ia tak bisa mati meskipun telah lama
mati.
(Larung,2004: 15-17)

Kutipan (Larung,2004: 15-17) kode teka-teki atau belitan Tanya

pembaca pasti muncul, seperti apakah kekuatan yang dimiliki Simbah dalam

tubuhnya sehingga ia bisa terus hidup sampai usia 150 tahun? Dalam hal ini

pembaca pasti bisa berimajinasi dalam menjawab semua belitan Tanya dalm

dirinya.

Dalam tubuh Simbah menyimpan susuk dan gotri, sebelum susuk dan
32

gotri itu dikeluarkan dari dalam tubuhnya, Simbah tidak akan bisa mati. Dan

mungkin kita juga akan mendahuluinya untuk pergi dari kehidupan ini.

Pembaca akan bertanya lagi dalam benaknya, Bagaimanakah cara

mengeluarkan susuk dan gotri dari dalam tubuh Simbah? Hal ini bisa terjawab

pada kutipan selanjutnya, yang tebih menjelaskan tentang sosok Larung yang

akan mencari suatu cara untuk kematian Simbah. Sampai akhirnyaLarung

bertemu dengan eyang Suprihatin teman seperguruan Simbah.

Lalu ia mencari tanganku dan aku menjulurkannya dan dalam


gemetar lelah ia menuang pada genggamanku bulir-bulir kasar yang
kukira batu namun dalam sorot kecil senter kutahu dari mana
datangnya. Seukuran kancing dan berwarna timah buram tetapi dari
permukaanya yang bertonjolan kutahu ada ukiran, barangkali tulisan,
barangkali kutuk, di sana.
( Larung 2004: 44)

Kutipan kalimat (Larung,2004: 44) Kode teka-teki dalam benak

pembaca pasti ingin segera terjawab. Apakah yang dilakukan Larung dan

eyang Suprihatin? Apakah Larung bertanya pada eyang Suprihatin tentang

susuk dan gotri yang ada pada tubuh Simbah?

Dalam kutipan tersebut eyang Suprihatin memberikan sesuatu pada

Larung, yaitu enam buah cupu yang berbentuk bulir-bulir kasar yang mungkin

bisa membantu kematian Simbah.

Dengan tanganku yang gentar kupungut dari dalam kantong satu per
satu biji-biji cupu dan kususun di pertemuan rusuk-rusuknya dengan
tanganku yang gentar.
( Larung 2004: 57)
33

Kutipan kalimat (Larung,2004:57) Kode teka-teki muncul pada

pembaca ketika pembaca berfikir tentang sosok Simbah pada kehidupan di

sekeliling kita, seperti apakah Simbah? Yang hanya bisa mati dengan enam

buah cupu? Yang hanya di berikan oleh eyang Suprihatin teman seperguruan

Simbah kepada Larung.

Jawaban dari semua belitan Tanya pembaca bisa terjawab, dengan

tangan yang gentar, Larung memungut semua keenam cupu kedalam

kantongnya satu per satu yang kemudian keenam cupu itu dijajarkan di tubuh

Simbah, dari dada hingga pusar, sehingga akan membuat arwahnya terbuka,

karena dalam tubuh Simbah menyimpan sebuah rahasia, kekuatan yang jauh

lebih berat dari timbangannya. Tapi kenapa bola hitam matanya masih

memandang Larung? Akhirnya muncul kecurigaan Larung dengan kematian

Simbah. Simbah benar mati atau hanya pura-pura?

Pertama, buatlah robekan vertical teoat di tengah tubuh, dari ujung


xiphois ke arah bawah hingga simpisis pubis. Lalu gunting melintang
ke atas, dari atas pusar ke pinggir dada, hingga ujung rusuk keenam,
satu di kanan satu di kiri.
(Larung,2004:71-72)

Kutipan (Larung,2004:71-72) kode teka-teki atau belitan Tanya

muncul ketika keberhasilan Larung menjajarkan enam buah cupu, dan

dengan rasa penasaran Larung mencoba membedah tubuh Simbah demi

menghilangkan keraguannya pada kematian Simbah. Dan apakah Larung

berhasil? Apakah yang di temukan? dan apakah Simbah benar-benar telah


34

mati? Terbesit tanya pada setiap kelanjutan tingkah laku setiap tokoh

terutama Larung pada Simbah.

Larung membuat robekan vertical tepat ditengah tubuh Simbah,

sampai pubis dan hingga ujung rusuk keenam, satu di kanan satu di kiri.

Apakah maksud Larung melakukan semua itu? Padahal Larung sudah

menjajarkan enam buah cupu ditubuh Simbah? Kenapa Larung

menelanjangi dan mengacak-acak tubuh Simbah?

Semua yang dilakukan Larung semata ingin mencari susuk dan gotri

dalam tubuh Simbah untuk dikeluarkan, dan untuk menghilangkan

keraguannya pada kematian Simbah, tetapi semua yang dilakukan Larung sia-

sia karena Larung tidak menemukan barang yang di carinya.

Selamat tinggal, Simbah. Kumakamkan engkau di kebun belakang,


dekat sumur pompa.
(Larung,2004:73)

Kutipan (Larung,2004: 73) setelah pembaca menemukan semua

jawaban pada setiap perilaku Larung sesudah melakukan hal-hal yang telah

membuat Larung yakin Simbah sudah mati, dalam benak pembaca akan

muncul kode teka-teki atau belitan tanya. Apakah Larung tetap mengacak-

acak tubuh Simbah dan terus mencari susuk dan gotri sampai Larung

menemukan barang itu? Ataukah Larung akan berhenti melakukan semua itu?

Dengan keyakinan kuat, Larung menghentikan dirinya untuk menelanjangi


35

dan mengacak-acak tubuh Simbah. Dengan mengucap selamat tinggal pada

Simbah, kemudian Larung memakamkan jasad Simbah dikebun belakang

dekat sumur pompa.

Istrimu sudah pulang?


Udah. Kamu mau ke sini?
Memang kamu mau saya ke situ?
(Larung,2004: 128)

Pada kutipan (Larung,2004: 128) kode teka-teki muncul ketika

pembaca dihadapkan pada pembicaraan yang mengindikasikan ketidakjelasan

sikap Sihar, dan Laila pun merasa ia tidak terlalu dibutuhkan oleh laki-laki itu.

belitan Tanya dalam benak pembaca mulai muncul ketika dihadapkan dengan

pertanyaan mengenai hubbungan Sihar dan Laila.

Mengapa sikap Sihar terhadap Laila seperti itu? Sihar yang sudah

punya istri mengapa masih bersikap mesra pada Laila? Semua itu akan

terjawab setelah pembaca melakukan interpretasi terhadap novel Larung.

Kutipan (Larung,2004: 128) diatas merupakan ironi karena

sebelumnya Laila bahkan tidak menuntut Sihar untuk mencintainya. Dari

semua itu akhirnya terjadi perubahan sikap didalam dirinya setalah ia

melewati proses bersama Sihar. Obsesi Laila pada lelaki itu seolah mencapai

titik anti klimaks.

Apa sesungguhnya motivasi Sihar untuk mengencani Laila menjadi

tanda tanya besar bagi perempuan itu. Apakah Sihar benar-benar

mencintainya? Namun, bagaimanapun sebagai kepala rumah tangga ia

mempunyai beban dan tanggung jawab lain yang harus diprioritaskan?


36

Ataukah ia hanya menganggap Laila sebagai selingan untuk mengisi

kekosongan di waktu senggang.

Laila tidak lagi memusingkan masalah itu. Ia hanya memikirkan

perasaannya sendiri, dan bagaimana agar ia bisa berkencan lagi dengan Sihar?.

Ada sebuah kenyataan ironi di dalam hubungan mereka. Dari sikap Sihar yang

selalu menghindar, tidak memaksa Laila untuk melakukan senggama

dengannya waktu di hotel, dan menyeret Laila pada sebuah ketidakpastian,

secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa Sihar adalah tipe laki-laki yang

tidak terlalu memusingkan masalah keperawanan. Istrinya sebagai seorang

janda beranak satu, semakin mempertegas hal itu. Sedangkan Laila, adalah

perempuan yang begitu protektif dengan keperawanannya. Usaha protektif

tersebut harusnya membuat Laila menjadi perempuan yang istimewa, sebab

laki-laki pada umumnya mengincar keperawanan dari pasangannya. Namun,

Laila Justru sebaliknya, ia terombang-ambing oleh rasa cintanya kepada laki-

laki yang telah beristri.

Sikap setengah hati Sihar, membuat kebimbangan besar di dalam hati

Laila. Kebimbangan yang akhirnya melahirkan keraguan. Ia sebelumnya

begitu menggebu-gebu untuk bisa bercumbu dengan lelaki itu, sampai ia pun

menyusul Sihar ke Amerika. Namun, di sana kesempatan itu tak kunjung

datang karena keberadaan istri Sihar. Akan tetapi, keraguan tadi justru muncul

setelah istrinya kembali ke Indonesia dan peluang melakukan selingkuh

terbuka begitu lebar.


37

Tidak ada bahaya, Sihar. Sebab saya bukan penuntut.


Kau takkan tau perasaanmu satu atau sua tahun lagi.
Kita sudah satu tahun. Kamu masih takut pada saya?
Saya tidak mau jatuh cinta.
Kamu tidak usah.
Aku tidak mau kamu jatuh cinta.
(Larung,2004: 99)

Pada kutipan (Larung,2004: 99) Kode teka-teki muncul setelah

pembaca dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai hubungan

Sihar dan Laila. Pada (Larung,2004: 99) dijelaskan bahwa sebenarnya Sihar

sadar kalau sudah berkeluarga, begitu juga dengan Laila yang menyadari hal

itu. Tapi kenapa mereka masih berhubungan? Padahal Sihar takut untuk jatuh

cinta kepada Laila.

Pembaca harus mengulas lagi tentang hubungan antara Sihar dan

Laila, perselingkuhan mungkin lebih tepat menyebut mereka. Sihar dan Laila

yang berbaring bersama ditempat tidur tanpa sungguh bersetubuh melakukan

semua dengan senang hati.

Pembaca akan muncul Tanya lagi, apakah itu hanya nafsu dan

kepuasan semata? Setelah pembaca melakukan interpretasi, pembaca bisa

menemukan jawabannya, mungkin ini terjadi diluar dugaan Laila dan Sihar.,

imana Sihar yang mempunyai istri tetapi masih berhubungan dengan Laila.

Yang sampai sekarang masih lajang. Mereka sama-sama senang melakukan

semua itu, dan Sihar mungkin tidak merasa berdosa karena istrinya janda dan

tak bisa mengandung lagi.

Malam ini, Please Laila, mala mini aja, persetan dengan laki-laki.
Apalagi yang sudah kawin.
38

(Larung,2004: 118)
Kutipan kalimat (Larung,2004: 118) mengandung kode teka-teki

ketika pembaca dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul

ketika pembaca ingin mengetahui Cok meminta kepada Laila untuk sejenak

melupakan laki-laki, kenapa Cok bersikap begitu kepada Laila?

Cok yang merupakan sahabat Laila tidak ingin sahabatnya larut dengan

kekecewaan mendalam akibat beberapa sahabatnya yang menyebabkan Laila

merasa bahwa ketidak hadirannya membuat percakapan yang mengecualikan

dirinya. Cok yang mengetahui setitik air telah terkumpul di ujung dalam

matanya, seperti selaput air yang menunggu tumpah, segera membangkitkan

gairah sahabatnya dengan secangkir kopi. Bukan Cok saja yang menemani

Laila, Shakuntala juga berusaha menenangkan hati Laila dengan mengajaknya

minum arak beras dengan camilan rumput laut serta lotus di Sake House.

Ya, gue bisa di bilang begitu karena gue udah tidur dengan entah
berapa lelaki. Perawan, lakor, duda. Sampai kadang capek.
Hubungan-hubungan pendek membikin kita yakin bahwa cinta dan
seks itu nggak istimewa amat.
(Larung,2004: 118)

Kutipan kalimat (Larung,2004: 118) merupakan kode teka-teki dalam

benak pembaca yang muncul ketika pembaca ingin mengetahui apa

hubungannya sahabat dengan hubungan Laila dengan berbagai laki-laki?

Pembaca bisa membayangkan ketika dihadapkan dengan situasi bersama

sahabat dan dengan laki-laki ketika bersenang-senang untuk mencari kepuasan

tersendiri. Hal ini bisa membantu pembaca menemukan jawaban dari semua
39

belitan Tanya pada benaknya.

Laila yang kecewa dengan Sihar dan Saman, membuatnya menyadari

apa yang dia tahu tentang laki-laki? Mereka lebih tahu tentang Saman, Dan

perihal Sihar, Laila merasa tidak pernah mempunyainya. Disinilah pembaca

mulai bisa menjawab tentang semua Tanya mengenai Laila pada saat bersama

sahabat dalam kekecewaan.

Tapi kamu datang bersama seorang perempuan! Ia menggunakan


sepatu buts, hampir seprti milik saya, celana ketat berwarna hitam,
baju leher tinggi juga hitam, dan jaket kulit merah yang ramping.
(Larung,2004, 123)

Pada kutipan (Larung,2004, 123) menyiratkan kode teka-teki atau

tanda Tanya dalam benak pembaca, Siapakah perempuan yang datang

bersama Sihar? Apakah perempuan itu istri Sihar?

Pembaca dituntut lebih aktif dalam menemukan belitan Tanya

tersebut. Kutipan (Larung,2004, 123) dijelaskan bahwa perempuan itu

menggunakan sepatu buts, celana ketat berwarna hitam, baju leher tinggi jaga

hitam, dan jaket kulit merah yang ramping.

Pembaca akan terus melakukan interpretasi pada novel Larung dan

akhirnya pembaca menemukan belitan Tanya bahwa perempuan yang datang

bersama Sihar adalah istrinya. Tapi sahabat-sahabatnya tidak mengetahui. Dan

didalam hati Sihar mengucap kata maaf kepada Laila. Yang selanjutnya

memperkenalkan istrinya kepada sahabat-sahabatnya dan terjadilah

perbincanagn dalam pertemuan itu.


40

Saya ingat ketika Sihar datang dengan istrinya sebagai mana saya
ingat ketika dia masuk kedalam taxi dan tak menatap saya lagi.
(Larung,2004: 127)

Kutipan (Larung,2004: 127) pada kode teka-teki atau belitan Tanya

pembaca terdapat pada perhianatan yang dilakukan Sihar kepada Laila. Tanya

pembaca dalam hal ini berupa; Mengapa Laila merasa dirinya dikhianati?

Laila bukan pacar ataupun istrinya Sihar?

Pembaca bisa membayangkan hal itu, membayangkan hati Laila

setelah dikhianati Sahar ketika bersama istrinya, Laila begitu sakit melihat

Sihar dan istrinya masuk dalam taxi tanpa menolehnya lagi. Dari sinilah

pembaca bisa menemukan jawaban tersendiri. Sikap Sihar semata demi

menghormati dan menghargai keberadaan istrinya, dan Laila hanyalah

selingkuhan bagi Sihar.

Namun, selalu, setelah saya tak mengharapkannya lagi, telepon


bordering. Suara Sihar di ujung itu.
Apa kabarmu, Laila?Kamu bertanya.
Menurut kamu gimana? Walaupun saya berdebar.
Kedengarannya kamu baik….maafkan saya, Laila.
(Larung,2004: 128)

Kutipan kalimat (Larung,2004: 128) dijelaskan bahwa Laila sendirian

di apartemen Shakuntala dan berharap Sihar meneleponnya dari Odessa.

Pembaca dihadapkan pada suatu suasana sehingga kode teka-teki

terbesit dibenaknya, ketika Laila mengharapkan telepon Sihar. Kenapa Sihar

masih telepon Laila? Dan kekecewaan pada Laila tapi masih menharapkan

telepon Sihar.
41

Pembaca harus bisa membaca atau menginterpretasi kondisi tokoh-

tokoh tersebut. Laila yang sangat berharap ditelepon Sihar, kemudian rasa itu

hilang. Tapi tiba-tiba telepon berdering, dan suara Sihar yang terdengar. Sihar

menanyakan keadaan Laila, dan meminta maaf kepadanya. Sihar menjelaskan

semua kepada Laila, bagaimana sulitnya mengatur waktu ketika Sihar sedang

bersama istrinya.

Ia berdiri. Menghadap saya. Saya ajari kamu tango! Supaya kalau


kamu ketemu Sihar dan suntuk, kamu bisa menari.
(Larung,2004, 131)
Kutipan (Larung,2004, 131) setelah pembaca bisa menikmati beberapa

peristiwa Laila dan Sihar serta sahabat-sahabatnya, kode teka-teki dalam

pikiran pembaca muncul setelah ada ucapan Shakuntala untuk mengajari Laila

menari.

Kenapa Shakuntal mengajari Laila menari? Pembaca merasa, ajakan

Shakuntala kepada Laila tidak akan dihiraukannya karena Laila tidak

semangat lagi untuk melakukan hal tersebut. Tetapi kenyataanya Laila

bergerak bersama Shakuntala setelah musik Astor Piazolla dimainkan dan

pantry dipadamkan. Ternyata Laila menikmati semua itu dan bisa melupakan

Sihar sejenak.

Laila yang terus bergerak untuk menari bersama Shakuntala, sekilas

menemukan bayangan Sihar pada Shakuntala, Laila merasa Shakuntala


42

mempunyai hangat nafas yang sama dengan Sihar bahkan Saman.

Perdebatan pertama. Apakah Sihar mencintai Laila? Yasmin dengan


tegas mengatakan tidak. Seseprang tidak akan membiarkan orang
yang ia cintai terombang-ambing, katanya. Jika ia tak bisa
meneruskan hubungan, ia akan terus terang. Jika ia ingin melanjutkan
hubungan, ia akan konsekuen. Tapi Sihar Cuma main tarik ulur.
Karena itu,berlebihan kalau Laila menyusul Sihar ke Odessa. Lalu ia
menambahkan, belum lagi, Sihar pasti akan memerawani Laila, lalu
betul-betul meninggalkannya setelah ia mendapatkan itu.
(Larung,2004: 146)

Pada kutipan (Larung,2004: 146) kode teka-teki muncul setelah

pembaca dihadapkan dengan perdebatan antara Yasmin dan Cok. Mereka

mendebatkan hubungan Laila dan Sihar.

Pembaca akan bertanya, Mengapa Yasmin dan Cok mendebatkan hal

tersebut? Pentingkah semua itu? Pembaca akan terus mencari jawaban untuk

menemukan pertanyaanya. Pembaca bisa berfikir kenapa Yasmin dan Cok

berdebat soal itu, karena Yasmin merasa Sihar tidak mencintai Laila, dia

Cuma akan memerawaninya dan setelah itu meninggalkan Laila, Yasmin

menjelaskan bahwa seseorang tidak akan membiarkan orang yang dicintainya

terombang-ambing. Jika seseorang ingin melanjutkan hubungan, ia akan terus

terang dan konsekuen tetapi semua itu tidak ada pada diri Sihar.

Anak itu adalah target yang ada dalam daftar.


(Larung,2004, 258)

Kutipan kalimat (Larung,2004, 258) didalamnya termasuk kode taka-


43

teki, yang menjadi belitan Tanya dalam benak pembaca. Pembaca dihadapkan

pada pertanyaan, Siapakah anak yang menjadi target dalam daftar itu? Kenapa

anak itu menjadi target yang masuk dalam daftar? Ada apakah sebenarnya?

Pembaca dituntut aktif dalam melakukan interpretasi sehingga

pembaca dapat menemukan semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya.

Pada kutipan (Larung,2004, 258) dijelaskan bahwa Saman, Larung dan Anson

adalah target yang masuk daftar pencarian yang di kategorikan dalam bagian

struktur yang tak terlihat pada kerusuhan massa.

Pembaca bisa mengulas kembali pikiran tentang peristiwa 27 juli 1996.

Dimana peristiwa itu hanya rekayasa dari dalam puncak kongres IV di Medan

pertengahan Juni 1996 yang mengakibatkan kongres mengangkat Soerjadi

menjadi ketua umum partai. Dan pad tanggal 27 Juli 1996 pasukan yang

mengatas namakan pendukung Soerjadi melancarkan penyerbuan yang

mengakibatkan kerusuhan.

Dari semua penjelasan melalui ulas balik yang dilakukan pembaca

sehingga pembaca bisa benar-benar menemukan jawabannya.

Kalau tidak salah anda Lettu Bram Marsudi, keponakan Brigjen


Prabas Sasmoyo, komandan pasukan khusus.
(Larung,2004: 262)
Pada kutipan kalimat (Larung,2004: 262) kode teka-teki muncul ketika

pembaca dihadapkan pada semua pertanyaan yang muncul untuk mengetahui

siapakah Lettu Bram Marsudi? Dan meskipun dia keponakan Brigjen Prabas

Sasmoyo komandan pasukan khusus, berkuasa dalam hal apakah dia?


44

Dari semua belitan Tanya dalam benak pembaca, pembaca diharapkan

bisa menginterpretasi dalam hal yang mengenai peristiwa pada 27 Juli 1996.

Apakah Lettu Bram Marsudi berhubungan langsung dengan peristiwa itu?

Sehingga Saman, Larung dan Anson bisa bertemu dengannya. Lettu Bram

Marsudi adalah orang yang menangkap Saman, Larung dan Anson yang

bangga dengan jabatan pamannya, yang menikah dengan salah satu

kemenakan RI-1. Dan tela mendapat penghargaan serta kenaikan jabat pada

waktu menjadi polisi di Dili.

Kode teka-teki mempunyai fungsi yang bisa membantu pembaca

menemukan semua jawaban yang menjadi belitan Tanya dalam benaknya.

Pesan atau amanat kode teka-teki yang terdapat pada novel Larung hendaknya

bisa menjauhkan kita dari kekuatan dikuar dunia manusia, agar kita terhindar

dari hal-hal yang bersifat negative yang bisa berdampak pada diri kita sendiri.

C. Kode Simbolik dalam novel Larung


Kode simbolik merupakan dunia perlambangan, yakni dunia

personifikasi manusia dalam menghayati arti hidup dan kehidupan. Hal ini

dapat kita kenali melalui kelompok-kelompok konvensi atau sebagai bentuk

yang teratur, mengulangi bermacam-macam mode dan bermacam-macam

maksud dalam sebuah teks sastra yang akhirnya menghasilkan sebuah

pengertian tentang makna kode tersebut.

Kode simbolik dalam novel Larung dapat ditemukan secara kreatif

dan dinamis oleh pembaca. Melalui alur, yaitu berupa motif kematian, motif

percintaan, perselingkuhan dan peristiwa 27 juli 1996. Melambangkan


45

kehidupan yang penuh dinamika dan silih berganti. Irama dan gerak

kehidupan selalu berubah-ubah diantara satu peristiwa dan peristiwa lalu, satu

masalah dengan masalah yang lain, dan satu tugas dengan tugas yang lain

saling menyusul.

Setiap tokoh yang ditampilkan selalu mempunyai pergolakan hidup,

seperti dalam kehidupan Larung yang mencari dan berusaha mencari cara

untuk membunuh Simbah dengan berbagai hal, dan empat berkawan antara

Cok, Laila, Yasmin dan Shakuntala yang mempunyai kehidupan seks dengan

bebas dan dengan adanya perselingkuhan diantaranya. Dan meraka juga harus

memperjuangkan persahabatan karena adanya tuduhan pada peristiwa 27 juli

1996.

Laila, saya kan menelepon kamu,


Tapi, kalau ke sini, kamu jangan menginap di staff house. Kita cari
hotel.
Kenapa?
Nggak begitu enak aja.
Kalau saya di hotel, kamu sibuk training di staff house, kamu tak
selalu bisa menengok saya, untuk apa saya ke sana?
Saya usahakan menengok kamu tiap sore.
(Larung,2004:128-129)

Kutipan (Larung,2004:127-128) bisa kita lihat bahkan mendapatkan

perlambangan (kondisi) dalam dua kebudayaan berbeda, yang bisa

mempengaruhi sikap seseorang. Pada kutipan (Larung,2004:127-128) dunia

perlambangan budaya dibuktikan dengan Laila dan Sihar yang sudah

mengadakan perjanjian di hotel. Ketika berpindah ke lain tempat yang

mempunyai kultur berbeda, yang menjunjung tinggi kebebasan manusia,


46

terjadi perubahan sikap pada diri Laila.

Laila yang sebelumnya hati-hati dalam melakukan hubungan terlalu

jauh dengan Sihar, kini merasa dirinya terlepas bagaikan seekor burung.

Sebelumya ia bercumbu dengan Sihar, meski tetap menjaga keperawanannya,

Laila merasa telah berdosa. Karena ia merasa berada di bawah aturan sistem

nilai yang berlaku di Indonesia. Tetapi, kini situasinya menjadi lain, dimana

Laila tidak lagi memusingkan keperawanannya. Karena di Amerika, orang

sama sekali tidak mempedulikan apakah perempuan itu masih perawan atau

tidak, dan status pernikahan juga tidak terlalu penting.Laila sudah

membayangkan bagaimana ia akan mendapat kebebesan untuk mendapatkan

Sihar tanpa halangan.

Pemerintah Suharto mencoba menjatuhkan putri presiden pertama itu


dengan merekayasa perlawanan dari dalam yang berpuncak pada
kongres IV di Medan Pertengahan Juni 1996 lalu. Kongres ini
mengangkat kader jenggot Soerjadi menjadi ketua umum partai.
(Larung, 2004:176).

Kutipan (Larung, 2004:176) bisa dilihat bahwa dunia perlambangan

pada peristiwa 27 Juli 1996 adalah perlambangan ideology yang merenggut

banyak korban, beberapa tokoh diceritakan melewati konflik yang

mengenaskan itu, sebagai aktifis yang dijadikan kambing hitam oleh pelaku

sesungguhnya, yakni pemerintah Suharto. Dan di ungkapkan juga keterlibatan

pemerintah orde baru dalam sengketa internal yang terjadi antar Partai

Demokrasi Indonesia kubu Megawati Soekarnoputri dan kubu Soerjadi adalah

sebuah strategi politik yang dilakukan rezim orde baru demi kepentingan
47

kelanggengan kekuasaannya. Indikasi-indikasi keterliban Suharto dalam

perebutan secara paksa kantor DPP PDI Jakarta Pusat yang dikuasai kubu

Megawati terdapat dalam kutipan berikut:

Beberapa saksi mata mengatakan, Komandan Kodim Jakarta Pusat

Letkol. Zul Effendi terlihat berada di sana dan ikut mengatur menit-

menit awal penyerbuan.

( Larung 2004:177)

Kutipan ( Larung 2004:177) dijelaskan bahwa penyerbuan tersebut

dilakukan secara terencana, dan disiapkan secara matang. Keterlibatan TNI

maupun POLRI adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan. Peristiwa ini

meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, terutama di

kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, dan Kramat. Beberapa kendaraan dan

gedung dibakar massa yang tak terkendali. Selain terjadi sejumlah

pelanggaran Hak Asasi Manusia, hasil penyelidikan Komnas HAM

menemukan data bahwa dalam tragedi ini, 5 orang meninggal dunia, 149

orang (sipil maupun aparat) luka-luka, dan 136 orang ditahan.

Hal ini merupakan Simbol (perlambangan ideologi) Bangsa Indonesia

yang berkuasa tetap berkuasa dan menang dalam segala hal, yang kalah atau

tertindas makin tertindas dan makin lemah.

Pemerintah orde baru pada peristiwa tersebut mencoba memanipulasi

fakta sejarah dengan menjadikan para aktivis PRD sebagai kambing hitam

yang menjadi dalang dari kerusuhan ini. Akibatnya beberapa aktivis PRD
48

dijebloskan ke dalam penjara. Pemerintah dengan ini mencoba membentuk

opini publik untuk menutupi keterlibatan mereka:

Di depan kantor PDI, saling memperkuat antara orang-orang yang melawan


Suharto. Di situlah intel-intel mencatat dan merekam wajah mereka.”
(Larung, 2004:186).

Kutipan (Larung, 2004:186) dijelaskan bahwa Setelah rezim orde baru

tumbang proses hukum untuk menyelesaikan masalah ini juga terkesan angin-

anginan. Beberapa tokoh militer yang dianggap terlibat pun divonis bebas oleh

pengadilan. Tidak tuntasnya penyelesaian kasus ini adalah cermin penegakan

hukum di Indonesia yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dari sini

masyarakat bisa melihat, bila sudah berhadapan dengan penguasa, hukum pun

tidak bisa berbuat apa-apa. Dunia perlambangan pada peristiwa 27 Juli juga

mencerminkan karakteristik kediktaktoran pemerintahan orde baru yang selalu

menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya.

Kode simbolik mempunyai fungsi membawa dunia perlambangan

dalam penghayatan kehidupan manusia. Pesan atau amanat kode simbolik

pada novel Larung dapat kita peroleh melalui contoh kekuasaan pada

peristewa 27 juli 1996 yang merenggut banyak korban dan

mengkambinghitamkan aktifis oleh pelaku sebenarnya dari peristiwa tersebut.

Hal itu dikarenakan Soeharto masih ingin tetap langgeng dalam kekuasaannya.

Peristiwa 27 juli 1996 sangat tidak baik kita terapkan dalam kehidupan kita

sehari-hari, yang berkuasa tetap berkuasa dan menang, yang kalah makin

kalah dan akan tertindas.


49

D. Kode aksian dalam novel Larung

Kode aksian merupakan prinsip bahwa didalam tuangan bahasa secara

tulis, perbuatan-perbuatan itu harus disusun secara linier. Dalam sebuah

peristiwa atau kejadian yang terdapat dalam cerita rekaan tidak mungkin

beberapa buah peristiwa atau kejadian disampaikan secara serentak. Dalam

film atau tv mungkin beberapa peristiwa dapat ditampilkan secara serentak,

dalam tanda tulis tentu sulit dan tak mungkin dilakukan secara serentak. Oleh

sebab itu, suatu perbuatan harus disusun secara linier, bukan berarti harus

kronologis berurutan dari peristiwa a ke b, c, d, dan seterusnya.

Kejadian-kejadian yang berlangsung dalam Novel Larung dikisahkan

secara baik oleh pengarang. Usaha Larung untuk merawat Simbah

dilakukannya dengan penuh kasih saying, tetapi kehidupan Simbah di usia 150

tahun yang bahkan tidak layak hidup lagi di dunia berakhir dengan enam buah

cupu yang diberikan oleh eyang Suprihatin teman seperguruan Simbah kepada

Larung.

Enam buah cupu dijajarkan di tubuh Simbah yang menyebabkan

Simbah mati dan dimakamkan di kebun belakang dekat sumur pompa. Semua

kejadian-kejadian itu tersusun secara linier, dan hal ini bisa juga dibuktikan

pada kutipan kalimat dibawah ini.

Paling tidak, aku bisa menyombong bahwa akulah satu-satunya dari


kami berempat yang pertama kali melakukan hubungan seks karena
50

sadar dan suka. Shakuntala menghabisi keperawanannya lebih karena


pemberontakan. Dia tidak menikmatinya. Laila masih suci-hama
sampai sekarang. Dan Yasmin berbuat karena keterusan.
(Larung, 2004:86).

Kutipan kalimat (Larung, 2004:86) menunjukkan adanya kehidupan

tokoh-tokoh perempuan yang membangkang dengan segala aturan yang

berada di sekitarnya. Cokorda Gita Magaresa atau Cok adalah sosok paling

liar diantara teman-temannya, Laila, Yasmin, dan Shakuntala. Sejak remaja ia

mempunyai kebiasaan ganti-ganti pacar. Meski Shakuntala adalah orang

pertama yang kehilangan keperawanannya di antara mereka berempat, tetapi

Cok yang lebih dulu melakukannya atas dasar keinginan dan kepuasan. Hal ini

lebih dijelaskan lagi pada kutipan:

Lho, justru lakor itu aman, Min. Mereka nggak posesif karena punya
keluarga. Bujangan cenderung mau menguasai kita. Dengan lakor,
kita bisa putus dengan gampang.
(Larung, 2004:89).

Kutipan (Larung, 2004:89) di atas dapat dilihat bahwa di dalam setiap

hubungan, Cok selalu mengincar kepuasan lain tidak peduli bujang atau lai-

laki orang (lakor) diluar rasa cinta: Seksualitas, dan kepentingan bisnis.

Karena Cok adalah seorang pengusaha yang mengelola sebuah hotel miliknya

sendiri, dan Cok adalah perempuan yang tidak ingin terikat dengan laki-laki.

Ia bebas ingin menikmati apapun tanpa ada sebuah ikatan dan itu terjadi

secara beraturan dalam kehidupannya.

Ayu Utami menonjolkan tokoh-tokoh perempuan yang melakukan


51

perlawanan terhadap norma-norma yang telah ada. Kebudayaan dan

konstruksi moral yang ada didalam masyarakat mengungkung kebebasan

perempuan. Lembaga perkawinan, masalah perkawinan, adalah beberapa

contoh diantaranya.

Ia berganti peran dengan putaran-putaran. Ia bertelanjang dada,


hanya mengenakan kaindan sangkur. Ia tak berpayudara, tetapi saya
bisa merasakan ranum pucuk buah dadanya ketika ia menjelma Sita.
Dada yang sama itu menjadi perkasa, otot pektoranya mengembang,
ketika ia memerankan sang dasamuka.
(Larung,2004: 127)

Pada kutipan (Larung,2004: 127) dijelaskan bahwa kehidupan yang

diperankan sosok Shakuntala terdapat kehidupan yang tersusun secara linier.

Hal ini terlihat pada waktu Shakuntala menarikan Sita, Rama dan Rahwana.

Shakuntala yang berputar-putar dengan telanjang dadanya mengenakan kain

dan sangkur. Berpayudara ketika menjelma memerankan dasamuka.

Keuletan dan kelihaian Shakuntaladalam memainkan tari sungguh

terlihat du kehidupan didalam tubuhnya, laki-laki dan perempuan.

Lalu saya menemukan wajah saya telah bersandar pada siku


lehernya. Dan saya menangis. Sebab sesungguhnya saya tahu saya
terluka oleh sikap Sihar. Sebab kini saya tak tahu lagi siapa dia.
Apakah Tala apakah Saman apakah Sihar. Hangat nafasnya terasa.
Cahaya rendah.
(Larung, 2004:131-132).

Pada kutipan (Larung,2004:131-132) kehidupan bisa tersusun secara

linier pada sosok Laila yang baru saja mengalami kekecawaan terhadap Sihar

terhipnotis oleh daya tarik yang ditunjukkan Shakuntala lewat kemampuan


52

menarinya, begitu terhipnotis hingga ia pun secara alamiah larut dalam

pelukan sahabatnya itu. Ia melepaskan hasrat seksual dengannya.

Shakuntala adalah sosok yang memiliki kehidupan unik. Ia memiliki

jiwa sebagai seorang seniman yang menikmati keindahan menurut tafsirannya

sendiri. Kapan ia menyadari ada sisi kelaki-lakian dalam dirinya dan apa

penyebabnya juga bagai misteri:

Tetapi lelaki dalam diriku datang suatu hari. Tak ada yang memberi
tahu dan ia tak memperkenalkan diri, tapi kutahu dia adalah diriku
laki-laki. Ia muncul sejak usiaku amat muda, ketika itu aku menari
baling-baling.
(Larung, 2004:133).

Pada kutipan (Larung, 2004:133) dijelaskan dalam kehidupannya

sosok Shakuntala dijadikan sebagai wujud metaforis dari jiwa manusia dengan

dua dimensinya. Yang memiliki unsure linier lelaki dan perempuan.

Pembagian tersebut tidak hanya sebatas pada jenis kelamin yang dimiliki, tapi

memiliki makna lebih di luar hal-hal fisik. Daya tarik kepribadian atau

karisma, dan lain-lain. Laila, sahabatnya bisa secara spesifik merasakan unsur

kelaki-kelakian dalam diri Shakuntala ketika Shakuntala mempertunjukan

kemampuan menarinya yang bisa menampakkan dua kepribadian sekaligus.

Hal itulah yang menunjukkan dua unsur antara laki-laki dan

perempuan yang tersusun sekaligus.

Aku mempunyai kakak lelaki. Dia anak pertama ayah ibuku. Orang
tuaku percaya bahwa pria cenderung rasional dan wanita emosional.
Karena itu pri akan memimpin dan wanita mengasihi. Pria
53

membangun dan wanita memelihara. Pria membikin anak dan wanita


melahirkan. Maka bapak mengajari abangku menggunakan akal untuk
mengontrol dunia, juga badan.Aku tak pernah dipaksanya untuk hal
yang sama, sebab ia percaya pada hakikatnya aku tak mampu. Wanita
diciptakan dari iga. Karena itu ia ditakdirkan memiliki kecenderungan
untuk bengkok sehingga harus diluruskan oleh pria.
(Larung,2004: 138)

Kutipan (Larung,2004: 138) dijelaskan bahwa Yasmin menceritakan

keluarganya, dimana pria cenderung rasional dan wanita emosional. Karena

itu pria memimpin dan wanita memelihara. Pria membikin anak dan wanita

melahirkan.

Pembaca harus menginterpretasi dalam kehidupan yang diciptakan

pengarang dalam karya sastranya adalah suatu peristiwa yang sungguh terjdi

dalam kehidupan kita. Laki-laki menggunakan akal untuk mengontrol dunia,

juga badan dan wanita tidak mungkin dipaksa untuk semua itu.

Kisah kehidupan yang terjadi secara serentak dalam kehidupan kita

hendaknya lebih disesuaikan lagi. Tapi tidak menuntut kemungkunian bahwa

wanita terkesan lemah, wanita hanya ditakdirkan untuk berada dibawah laki-

laki dalam tata nilai keluarga. Dan apabila semua itu tidak sesuai, wanita bisa

membangkang dari aturan kapan saja, seperti pada tokoh-tokoh yang ada

dalam novel Larung karya Ayu Utami.

Bertahun-tahun aku hidup dengan fantasi itu, tanpa pernah


mewujudkannya. Hingga hari aku bertemu kamu lagi. Kamu
membangkitkan kembali khayal kanak-kanakku yang lama kukhianati.
Tanpa kamu ketahui terlepaskanlah keperempuananku yang telah
dipenjarakan hampir dua puluh tahun.
(Larung, 2004:164-165).
54

Kutipan (Larung, 2004:164-165) dijelaskan bahwa Saman yang hidup

dalam kesendiriannya, dengan ketaatannya terhadap agama mampu

dilumpuhkan Yasmin dengan naluri primitifnya. Di situlah letak kepuasan

Yasmin terhadap Saman. Penaklukan atas keangkuhan soliternya. Hal tersebut

juga yang menyebabkan Yasmin sangat tergila-gila kepada Saman dan bukan

lelaki lain, termasuk suaminya sendiri. Dari sini bisa dilihat bahwa

perselingkuhan yang dilakukan Yasmin selain disebabkan oleh alasan

emosional dan seksual, juga merupakan wujud pemberontakan.

Kita tertangkap.
(Larung,2004: 254)

Pada kutipan (Larung,2004: 254) dijelaskan bahwa dalam perjalanan

naik kapal selepas dari pulau hantu menuju laut terbuka Cina selatan, Anson,

Bilung, Koba, Wayan tagog, Saman dan Larung sdah merasakan kecemasan

ketika tirai kapal yang berlapis-lapis terlihat ada sebuah kapal nelayan

Thailand yang menyorotkan lampu member perintah. Kapal itu mengibarkan

bendera kuning biru dengan pola vertikal. Ternyata mereka tertangkap.

Sosok-sosok dari sana muncul yang sebagian berseragam polisi,

sebagian mengacungkan pistol. Disinilah kehidupan mereka dikisahkan terjadi

secara linier mulai dari keberangkatan sampai akhirnya bertemu dengan polisi

air dari yang menggunakan kapal nelayan.

Kecemasan yang muncul ketika polisi air menghampiri mereka

membuat Saman berjanji untuk tetap tutup mulut mengenai kekasihnya


55

Yasmin. Akhirnya keenam lelaki itu menjadi tahanan dan mereka dirantai

bergabung dengan yang lain dalm masing-masing rangkai.

Para polisi menurunkan tangga pandu dan orang-orang itu naik.


(Larung,2004: 257)

Kutipan kalimat (Larung,2004: 257) menunjukkan bahwa para polisi

dan para petugas sudah bersiaga, padahal mereka tidak tahu yang datang itu

siapa. Kehidupan yang tersusun secara linier tercipta ketika kedatangan perahu

semua melambaikan tangan memberi hormat militer, meskipun mereka tidak

menggunakan seragam maupun topi. Ketika mereka menurunkan tangga,

orang-orang tidak memperlihatkan kartu pengenal apapun, yang ada hanya

menunjukkan kekuasaan terhadap lawan bicaranya. Bisa kita pahami

kehidupan bagi orang-orang yang mempunyai kekuasaan selalu tidak

memperdulikan yang lain.

Kode aksian mempunyai fungsi yang bisa diterapkan dalam kehidupan

pembaca, kejadian-kejadian yang berlangsung dalam kehidupan bisa disusun

secara berurutan. Pesan atau amanat kode aksian pada novel Larung tidak

semua peran dalam kehidupan bisa tersusun secara berurutan, tetapi semua

mempunyai proses atau tahap.


56

Tabel Rekapitulasi

No Novel Hal. Jumlah

Kode teka- Kode Kode

teki simbolik aksian


57

1 (Larung,2004) 03 

2 (Larung,2004) 07 

3 (Larung 2004) 10 
4 (Larung 2004) 14

5 (Larung,2004) 15-17

6 (Larung 2004) 44

7 (Larung 2004) 57

8 (Larung 2004) 71-72

9 (Larung 2004) 71-72

10 (Larung,2004) 86 

11 (Larung,2004) 89 

12 (Larung,2004) 99

13 (Larung,2004) 118

14 (Larung,2004) 118

15 (Larung,2004) 123

16 (Larung,2004) 127
(Larung,2004) 
17 127 
(Larung,2004)
18 128
(Larung,2004)
19 128
(Larung,2004)
20 128-129 
(Larung,2004)
21 131 
(Larung,2004)
22 131-132
(Larung,2004) 
23 (Larung,2004) 133

58

24 (Larung,2004) 138 

25 (Larung,2004) 146

26 (Larung,2004) 164-165 
(Larung,2004)
27 176 
(Larung,2004)
28 177  
(Larung 2004)
29 186  
(Larung,2004)
30 254 
(Larung,2004)
31 257
(Larung,2004) 
32 258

33 262

A. TABEL KODE TEKA-TEKI DALAM NOVEL LARUNG

No Kutipan kalimat Halaman


1 Keretaku berhenti di stasiun (Larung,2004: 03)
Tulungagung. Aku datang untuk
membunuh nenekku.
59

2 Ia sudah begitu tua. Seperti bukan (Larung,2004: 07)


manusia bukan perempuan bukan
lelaki, seperti bekas manusia.
Zombi atau mumi, barangkali. Jika
engkau melihat tangannya yamg
sedang dijulurkan di atas perdu
teh-tehan pada saat berjemur
pukul sepuluh pagi, Kau akan
merasa bertemu tokek raja yang
kulitnya bukan keriput melainkan
keras dan berserat seperti batang
kayu, berbelang tua dan muda oleh
pigmen yang tak lagi rata.
3 Ia adalah makhluk yang dari (Larung 2004: 10)
mulutnya yang tremor keluar
kotoran dari kekejian. Inilah
kekejian nenekku: kata-kata. Kata-
katanya melukai, tetapi engkau tak
bisa menyerangnya karena benci.
Kau hanya bisa menganiaya
dirimu sendiri sebagai proyeksi
dari luap keinginanamu membunuh
dia. Aku mengingatnya, setelah ia
menghujamkan serapahnya, ibuku
menusuk pergelangan tangan
sendiri dengan garpu suatu kali,
dan menusuk garpu lehernya kali
lain. Dan Simbah hanya
memandangnya, ia bagai selembar
cermin yang memantulkan niat
jahat ibu. Sebab, itulah yang Ibu
ingin lakukan padanya.
4 Simbah masih melahirkan pada (Larung,2004: 14)
usia empat puluh lima?
Barangkali lima puluh. Ia kuat
sekali.
5 Sebelum susuk dan gotri itu (Larung,2004: 15-
dikeluarkan dari badannya, dan 17)
jampi-jampi dilepas dari mulutnya.
Ia tak bisa mati meskipun telah
lama mati.
Ia adalah mayat hidup yang akan
bernafas lebih lama dari pada
kamu sebab jika ia mati ia pasti
pergi ke neraka sebelum meniti
sepertujuh tipis rambut.
60

6 Lalu ia mencari tanganku dan aku ( Larung 2004: 44)


menjulurkannya dan dalam
gemetar lelah ia menuang pada
genggamanku bulir-bulir kasar
yang kukira batu namun dalam
sorot kecil senter kutahu dari mana
datangnya. Seukuran kancing dan
berwarna timah buram tetapi dari
permukaanya yang bertonjolan
kutahu ada ukiran, barangkali
tulisan, barangkali kutuk, di sana.
7 Dengan tanganku yang gentar ( Larung 2004: 57)
kupungut dari dalam kantong satu
per satu biji-biji cupu dan kususun
di pertemuan rusuk-rusuknya
dengan tanganku yang gentar.
8 Pertama, buatlah robekan vertical (Larung,2004:71-
teoat di tengah tubuh, dari ujung 72)
xiphois ke arah bawah hingga
simpisis pubis. Lalu gunting
melintang ke atas, dari atas pusar
ke pinggir dada, hingga ujung
rusuk keenam, satu di kanan satu
di kiri.
9 Selamat tinggal, Simbah. (Larung,2004:73)
Kumakamkan engkau di kebun
belakang, dekat sumur pompa.
10 Istrimu sudah pulang? (Larung,2004: 128)
Udah. Kamu mau ke sini?
Memang kamu mau saya ke situ?
11 Tidak ada bahaya, Sihar. Sebab (Larung,2004: 99)
saya bukan penuntut.
Kau takkan tau perasaanmu satu
atau dua tahun lagi.
Kita sudah satu tahun. Kamu
masih takut pada saya?
Saya tidak mau jatuh cinta.
Kamu tidak usah.
Aku tidak mau kamu jatuh cinta.
12 Malam ini, Please Laila, mala (Larung,2004: 118)
mini aja, persetan dengan laki-laki.
Apalagi yang sudah kawin
13 Ya, gue bisa di bilang begitu (Larung,2004: 118)
karena gue udah tidur dengan
entah berapa lelaki. Perawan,
61

lakor, duda. Sampai kadang capek.


Hubungan-hubungan pendek
membikin kita yakin bahwa cinta
dan seks itu nggak istimewa amat.
14 Tapi kamu datang bersama (Larung,2004, 123)
seorang perempuan! Ia
menggunakan sepatu buts, hampir
seprti milik saya, celana ketat
berwarna hitam, baju leher tinggi
juga hitam, dan jaket kulit merah
yang ramping.
15 Saya ingat ketika Sihar datang (Larung,2004: 127)
dengan istrinya sebagai mana saya
ingat ketika dia masuk kedalam
taxi dan tak menatap saya lagi.
16 Namun, selalu, setelah saya tak (Larung,2004: 128)
mengharapkannya lagi, telepon
bordering. Suara Sihar di ujung
itu.
Apa kabarmu, Laila?Kamu
bertanya.
Menurut kamu gimana? Walaupun
saya berdebar.
Kedengarannya kamu
baik….maafkan saya, Laila.
17 Ia berdiri. Menghadap saya. Saya (Larung,2004, 131)
ajari kamu tango! Supaya kalau
kamu ketemu Sihar dan suntuk,
kamu bisa menari.
18 Perdebatan pertama. Apakah Sihar (Larung,2004, 131)
mencintai Laila? Yasmin dengan
tegas mengatakan tidak. Seseprang
tidak akan membiarkan orang yang
ia cintai terombang-ambing,
katanya. Jika ia tak bisa
meneruskan hubungan, ia akan
terus terang. Jika ia ingin
melanjutkan hubungan, ia akan
konsekuen. Tapi Sihar Cuma main
tarik ulur. Karena itu,berlebihan
kalau Laila menyusul Sihar ke
Odessa. Lalu ia menambahkan,
belum lagi, Sihar pasti akan
memerawani Laila, lalu betul-betul
meninggalkannya setelah ia
62

mendapatkan itu.
19 Anak itu adalah target yang ada (Larung,2004, 258)
dalam daftar.
20 Kalau tidak salah anda Lettu Bram (Larung,2004: 262)
Marsudi, keponakan Brigjen
Prabas Sasmoyo, komandan
pasukan khusus.

B.TABEL KODE SIMBOLIK DALAM NOVEL LARUNG

No Kutipan kalimat Halaman


1 Laila, saya kan menelepon kamu, (Larung,2004:127-
Tapi, kalau ke sini, kamu jangan 128)
menginap di staff house. Kita cari
hotel.
Kenapa?
Nggak begitu enak aja.
Kalau saya di hotel, kamu sibuk
training di staff house, kamu tak
selalu bisa menengok saya, untuk
apa saya ke sana?
Saya usahakan menengok kamu tiap
sore.

2 Pemerintah Suharto mencoba (Larung, 2004:176).


menjatuhkan putri presiden pertama
itu dengan merekayasa perlawanan
dari dalam yang berpuncak pada
kongres IV di Medan Pertengahan
Juni 1996 lalu. Kongres ini
mengangkat kader jenggot Soerjadi
menjadi ketua umum partai.

3 Beberapa saksi mata mengatakan, ( Larung 2004:177)


Komandan Kodim Jakarta Pusat
Letkol. Zul Effendi terlihat berada di
sana dan ikut mengatur menit-menit
awal penyerbuan.
63

4 Di depan kantor PDI, saling


memperkuat antara orang-orang
yang melawan Suharto. Di situlah (Larung, 2004:186).
intel-intel mencatat dan merekam
wajah mereka.

C. TABEL KODE AKSIAN DALAM NOVEL LARUNG

No Kutipan kalimat Halaman


1 Paling tidak, aku bisa menyombong (Larung, 2004:86).
bahwa akulah satu-satunya dari
kami berempat yang pertama kali
melakukan hubungan seks karena
sadar dan suka. Shakuntala
menghabisi keperawanannya lebih
karena pemberontakan. Dia tidak
menikmatinya. Laila masih suci-
hama sampai sekarang. Dan Yasmin
berbuat karena keterusan.
2 Lho, justru lakor itu aman, Min.
Mereka nggak posesif karena punya
keluarga. Bujangan cenderung mau (Larung,2004: 89)
menguasai kita. Dengan lakor, kita
bisa putus dengan gampang.
Ia berganti peran dengan putaran- (Larung,2004: 127)
3 putaran. Ia bertelanjang dada,
hanya mengenakan kaindan
sangkur. Ia tak berpayudara, tetapi
saya bisa merasakan ranum pucuk
buah dadanya ketika ia menjelma
Sita. Dada yang sama itu menjadi
perkasa, otot pektoranya
mengembang, ketika ia memerankan
sang dasamuka.
4 Lalu saya menemukan wajah saya (Larung,2004:131-
telah bersandar pada siku lehernya. 132).
Dan saya menangis. Sebab
sesungguhnya saya tahu saya
terluka oleh sikap Sihar. Sebab kini
saya tak tahu lagi siapa dia. Apakah
Tala apakah Saman apakah Sihar.
Hangat nafasnya terasa. Cahaya
rendah.
5 Tetapi lelaki dalam diriku datang (Larung, 2004:133).
suatu hari. Tak ada yang memberi
64

tahu dan ia tak memperkenalkan


diri, tapi kutahu dia adalah diriku
laki-laki. Ia muncul sejak usiaku
amat muda, ketika itu aku menari
baling-baling.
6 Aku mempunyai kakak lelaki. Dia (Larung,2004: 138)
anak pertama ayah ibuku. Orang
tuaku percaya bahwa pria
cenderung rasional dan wanita
emosional. Karena itu pri akan
memimpin dan wanita mengasihi.
Pria membangun dan wanita
memelihara. Pria membikin anak
dan wanita melahirkan. Maka bapak
mengajari abangku menggunakan
akal untuk mengontrol dunia, juga
badan.Aku tak pernah dipaksanya
untuk hal yang sama, sebab ia
percaya pada hakikatnya aku tak
mampu. Wanita diciptakan dari iga.
Karena itu ia ditakdirkan memiliki
kecenderungan untuk bengkok
sehingga harus diluruskan oleh pria.
7 Bertahun-tahun aku hidup dengan (Larung,2004: 164-
fantasi itu, tanpa pernah 165).
mewujudkannya. Hingga hari aku
bertemu kamu lagi. Kamu
membangkitkan kembali khayal
kanak-kanakku yang lama
kukhianati. Tanpa kamu ketahui
terlepaskanlah keperempuananku
yang telah dipenjarakan hampir dua
puluh tahun.
8 Kita tertangkap. (Larung,2004: 254)
9 Para polisi menurunkan tangga (Larung,2004: 257)
pandu dan orang-orang itu naik.

BAB V

PENUTUP
65

65

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis semiotik Roland Bathes pada modus

transaksi amanat dalam Novel Larung karya Ayu Utami diperoleh beberapa

simpulan sebagai berikut.

1. Amanat novel Larung karya Ayu Utami adalah:

a. Seks dan seksualitas harus menjadi wacana dialogis yang tidak

perlu ditabukan lagi

b. Seksualitas tidak boleh menjadikan wanita sebagai subordinate

laki-laki atau menjadi masyarakat kelas dua

c. Kekuasaan dan kekerasan harus dihentikan agar masyarakat hidup

secara demokratis

2. Kode teka-teki dalam novel Larung karya Ayu

Utami berhubungan erat dengan pembaca,

bersama dengan munculnya belitan tanda tanya

dan hasrat ingin mengetahui serta menjawab

semua tanda dalam batin diri pembaca. Dalam

hal ini bisa diungkapkan pada salah satu bentuk

tanda tanya yang terdapat dalam novel Larung,

mengapa larung membunuh simbah dengan

enam buah cupu? Hal tersebut disebabkan

karena dalam tubuh simbah terdapat susuk dan

gotri.

3. Kode simbolik dalam novel Larung


66

berhubungan dengan dunia perlambangan

dimana keterkaitan lambang dengan perbutan

manusia bisa ditafsirkan melalui pemikiran yang

bersifat konvensional. Salah satu yang terdapat

dalam novel Larung adalah adanya alur

perselingkuhan dan seks bebas serta peristiwa

27 Juli 1996.

4. Kode Aksian dalam novel Larung berhubungan

dengan perbuatan-perbuatan yang tersusun

secara linier. Dalam novel Larung didalamnya

terdapat kejadian-kejadian yang berlangsung

secara baik. Salah satunya ditunjukkan dengan

adanya kehidupan tokoh perempuan yang

membangkang dengan segala aturan yang ada

disekitarnya.

B. Saran-saran

Beberapa saran yang peneliti harapkan dalam penelitian ini antara

sebagai berikut:

1. Karya Ayu Utami belum

banyak di teliti, maka

penulis menyarankan agar

penelitian-penelitian
67

terhadap novel Ayu

Utami segera dilakukan.

Hal ini dimaksudkan

untuk melengkapi dan

memperkaya keberadaan

ilmu sastra, khususnya

teori sastra.

2. Hasil penelitian ini dapat

dimanfaatkan sebagai

acuan referensi bagi

peneliti lain yang hendak

melakukan penelitian

terhadap karya Ayu

Utami dengan

menggunakan kajian

semiotik.

3. Penulis menyarankan agar

novel Larung karya

Utami digunakan sebagai

tambahan ilmu apresiasi

sastra agar tidak adanya

rasa tabu terhadap isi

novel, dan dapat


68

memperoleh nilai-nilai

yang adi luhung dan

mendapat pencerahan

baru dalam proses hidup.

Demikian simpulan dan saran-saran yang penulis sampaikan, semoga

hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu sastra,

khususnya teori sastra.


69

DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwadi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:Pustaka


Widyatama

Hoed, Benny H. 2008. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok:Fakultas


Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB)

Jabrahim.2003. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta:Hanita Graha Widya

Poerwadarminta, W.J.S. 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Indonesia,


Jakarta:Balai Pustaka

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan Tehnik Penelitian Sastra.
Yogyakarta:Pustaka Belajar

Santoso, Puji. 1993. Ancaman Semiotika dan Pengkajian Susastra.


Bandung:Angkasa

Suratman, Winarno. 1980. Pengantar penelitian Ilmiah Dasar, Metode dan


Teknik. Bandung:Angkasa

Utami, Ayu.2008. Larung. Jakarta:Gramedia

Wellek, Rene dan Austin Weren.1990. Teori Kesustraan. Jakarta:Gramedia

http://Asepsambodja.blogspot.com/2008/08/31
70

Larung
Minggu, 19 Oktober 2008 22:31 administrator
Sinopsis:
Lanjutan kisah Saman. Saman telah menjadi pelarian politik di New York.
Shakuntala mendapat beasiswa sebagai penari di kota besar dunia itu. Tiga wanita
yang lain datang berkunjung. Diam-diam mereka membawa misi rahasia untuk
menyelamatkan tiga aktivis kiri untuk melarikan diri dari tanah air.
Dalam misi rahasia itu muncul seseorang: Larung. Tokoh ini gelap dan
menimbulkan keraguan. Akankah Saman berhasil menyelamatkan para aktivis
mahasiswa itu?
Novel Larung diterbitkan juga ke dalam bahasa Belanda (de Geus).
tahun 1985
pukul 5:12 Siapakah yang menentukan jam kematian seseorang?
Selalu ada aroma perjalanan pada rel dan subuh. Lampu sisa malam pada tembok
muram dan tepi jalan. Kuning, semakin padam oleh langit yang bangkit.
Dan inilah yang terjadi setiap dini sebagaimana terjadi jam lima ini:
Ketika bau hangat matahari telah tercium di timur laut, sebelum warna terangnya
terpantul pada atmosfir, burung bencé segera menghentikan tur malamnya lalu
menyusup ke sebuah ceruk yang tak diketahui cahaya. Dengarlah, kita hanya
menangkap sisa-sisa gema triolnya, tinggi dan jauh, lalu hilang dalam warna
hitam di balik gedung dan pepohonan. Ada makhluk-makhluk, seperti kelelawar,
yang tidak menyukai terang.
Tetapi burung dandang-haus tetap berkitar-kitar meski fajar akan segera
menelanjangi segala yang muncul dari permukaan bumi ke dalam cahayanya yang
congkak. Orang menyebut kehadirannya tanda buruk. Dan kita tahu, jika bunyinya
masih terdengar, getir yang tinggi namun tidak jauh, kita tahu bahwa ia telah
mencium bau kematian di dekatnya (di dekat kau dan aku, yang mendengar
nyanyinya). Maka ia tidak pergi ke dalam gelap sebab ia tahu matahari tak mampu
mengusir maut. Terang tidak mengalahkan kematian.
Dan inilah yang terjadi pada setiap subuh yang tak diketahui orang:
Ketika burung dandang hinggap pada nok di bubungan, dan di rumah itu
seseorang mati dini hari dengan dada membiru, maka kita tahu bahwa sebelumnya
71

telah terjadi pertempuran roh-roh malam, dan badan halusnya meninggalkan


raganya untuk ikut berlaga, tetapi ia telah kalah dalam perang itu dan tak bisa
kembali. Maka raga itu tetap kosong ketika pertempuran selesai dan arwah yang
menang melayanglayang, pulang sebelum fajar. tetapi ia kalah dan mati dalam siat
wengi. Duh, jasad yang kasat, beruntunglah mata yang masih bisa menyaksikan
cahaya-cahaya roh berlesatan di bawah langit ketika pertarungan itu sedang terjadi
sebab mereka yang eling akan melafalkan ayat-ayat kursi dengan khusyu pada
lantai yang anyep agar jangan ada kekuatan halus menghirupnya ke dalam senyap.
Ada makhluk-makhluk, seperti kelelawar, yang hidup dalam gelap dan tak
menyukai terang.
Tetapi subuh adalah saat menjelang cahaya lewat dan gelap lari ke barat. Di sana
ada aroma keberangkatan, aroma perhentian, dan bau asap pertama: pada subuh
ada perjalanan yang tak habis-habis.
Keretaku berhenti di stasiun Tulungagung. Aku datang untuk membunuh
nenekku. Tetapi seperti ada tenaga angin yang menahan kereta ini dari kecepatan
wajarnya.
Ritme gerit roda pada sambungan rel yang melambat membuatku terjaga. Gerak
itu rasanya selalu sama sejak aku kecil: terdiri dari tujuh ketukan dan pada
hitungan keempat jatuh hentakan terkuat, berasal dari gerus roda di bawah kursiku
dengan sambungan rel. Dan goncangan pada gerbong yang membuat bahuku
berayun kanan-kiri, juga gemretuk gelas pada meja dan sendok logam pada piring
aluminium, serta ngilu menahan kencing, bau mulut yang lama mengatup adalah
rasa yang abadi setiap perjalanan.
Dari kaca jendela terpantul cahaya stasiun kecil itu, terpendar dalam serat-serat
gelas yang melingkar. Aku tak bisa ingat lagi kapan terakhir aku di sini.
Kabupaten pasti telah memerintahkan pengecatan baru-baru ini: warna putih dan
biru pada tembok dan tiang-tiang seperti masih meruapkan bau turpentin pada
orang-orang yang terkantuk di peron pada bangku-bangku Fuji Film, yang
sebagian bangkit melihat keretaku dan salah satunya, seorang ibu tua, tiba-tiba
telah berdiri di depanku untuk menggantikan tempat aku duduk sebab kereta
Matarmaja ini akan melanjutkan rute ke Blitar. Dalam perjalanan kita bertemu
orang yang takkan kita kenal lagi.
Tetapi wanita itu lalu berlari mengejarku sambil berseru mas, mas, ketika aku
hampir sampai di pintu peron sebab aku cuma membawa sebuah tas. Aku berbalik
ke arahnya dan setelah ia di hadapanku dari suara dan rautnya aku tahu ia lebih
muda daripada yang kukira sebelumnya.
“Anak ketinggalan buku alamat,” ujarnya menyodorkan agendaku. tetapi tangan
itu lebih tua daripada wajahnya.
Aku mengutuki keteledoranku. tapi itu bukan sekadar alamat.
Ketika ia menunduk ke arah jari-jarinya yang menggenggam notesku, aku melihat
kupingnya yang berada di depan mataku. Duh, relung, setiap telinga adalah labirin
72

dengan bulu-bulu kecil. Dan kuping, sahabatku, adalah tubuh kita yang tak pernah
menjadi tua. tulang yang tetap rawan sampai kelak tiada. Lihatlah ulirnya,
cupingnya, debu bercampur minyak di sana yang menimbulkan bau bantat yang
gurih, dan liang gelap itu, di mana ada cairan lumas yang melindungi gendang
yang lunak, dan gemuk itu mengeluarkan bau pahit yang sengak sehingga
serangga tak mau pergi ke sana. Liang vagina mengingatkan aku pada jaringan
seperti malam tempat hidup pertama dilentuk, bau asam yang menanti basa mani,
lembab dan hangat, tapi lorong telinga mengingatkan aku pada kematian: sebuah
akhir yang tak selesai.
Bu, pucuk daun kupingmu runcing seperti mambang.
“Aduh, terima kasih banyak, Bu.”
“Ya, ya… Anak menjenguk simbah di sini?”
Tetapi peluit berbunyi dengan hembusan beberapa nada seperti dalam minor yang
disonan dan ia segera pergi. Bagaimana Ibu bisa tahu?—kataku dalam sendiri.
Aku ke sini untuk membunuh nenekku. tapi ada angin dingin yang bertiup dari
luar seperti menahanku dari gerbang.
Kereta berangkat ketika itu, saat kulihat ia masih berdiri dalam wagon yang
sambungannya bergerit-gerit, gerbong demi gerbong membikin rangkaian yang
bergerak dalam gertak-gertak mula yang lambat dan berat, lalu makin gegas,
makin lekas: kereta pergi ke arah timur, seperti hendak menyusul pagi. Lonceng-
lonceng peron, suara pengumuman yang rutin. Stasiun adalah mesin arloji
mekanik setiap hari: ada yang selalu kembali pada jalur, plat-plat logam, tuas-tuas
yang menggerakkan gir, roda, dan genta-genta kecil.
Aku bukan orang yang percaya takhayul, rasanya. tapi siapakah perempuan tua itu
yang lari dari gerbong mengembalikan buku alamat? Barangkali ia hanyalah
sebuah firasat. Bahwa aku telah ketinggalan—atau suatu kekuatan telah membikin
tertinggal dalam kereta—notes adres yang tanpanya aku akan gagal membunuh
nenekku dalam perjalanan kali ini. Dan ibu tua itu barangkali adalah pertanda
bahwa aku harus menyelesaikan rencana itu.
Dari pintu stasiun bermunculan wajah-wajah berminyak tukang becak yang
bersaing penumpang dan lupa pada bau ketiak, mbok pedagang jeruk, juga
penjaga peron yang tak peduli.
Mas Becak, (Mas Becak yang ngantuk), bawa aku ke Penginapan Wigati di jalan
Agus Salim, tetapi pernahkah Mas melihat hantu?
Ya. Ia bercerita sambil mengayuh perlahan: Seorang pemuda turun dari kereta
sebelum subuh. Penumpang terakhir sebelum sepur berikutnya. Ia minta diantar
ke gang Lor, kirakira hisapan satu klobot jauhnya dari stasiun. Anak itu nampak
biasa saja, tetapi ia masuk ke rumah dan tak keluar lagi hingga suara adzan
membangunkan saya dari tidur menunggu dalam becak. Lalu saya bercerita pada
ibunya yang keluar pagi-pagi untuk menyapu ratan dan membakar daun-daun
kering: anak Ibu belum membayar ongkos becak saya. Lalu ibu itu menangis
mendengarnya dan bercerita pada saya bahwa anaknya tergilas kereta api tujuh
73

hari lalu dan mereka hampir-hampir tak bisa menguburnya karena tubuhnya telah
menjadi serpih-serpih daging dan penggali makam merasa sia-sia telah membuat
lubang sepanjang dua meter. Lalu ibu itu berhenti menangis dan berkata,
syukurlah, anakku telah pulang hari ini.
Apakah ia berbau?
Siapa?
Si anak.
tidak sama sekali.
Aneh, hantu biasanya berbau, anyir atau harum (hanya yang masih hidup yang
berbau apek). Barangkali Mas pilek pagi itu. Apakah si ibu menggantikan ongkos
becak?
Ia menggantikan tujuh kali ongkos pulang pergi.
Sayang, kalau anaknya mati empat puluh hari sebelumnya, Mas akan mendapat
ganti empat puluh kali. tapi, pada hari keempat puluh umumnya arwah yang mati
telah sungguhsungguh meninggalkan dunia, ke surga atau ke neraka, tak ada yang
tahu. Ia tak akan pulang pada hari keempat puluh.
Tapi, betismu sungguh mengkal. Berbuah-buah dengan keras dan indah, seperti
patung beton cor yang diciptakan seniman realisme sosialis. Apakah perut Mas
juga berbuah-buah? Ndak tahu, katanya. Saya tidak pernah melihat, saya tidak
punya pengilon.
tapi Mas punya istri?
Istri saya sudah lama mati.
Ia mati sebelum bilang apa-apa tentang perut Mas? Kalau lonte-lonte di tepi rel
itu, apa komentar mereka tentang perut Mas?
Ia tertawa. Waktu itu juga ada yang mati ketabrak sepur.
Kasihan, betapa hidup ini penuh dengan cerita orang yang mati.
“Mas bade tindak pundi ing mriki?” lalu ia seperti mengalihkan pembicaraan.
“Aku arep mateni simbahku.” Aku mau membunuh nenekku.
“Lho, kenapa?”
“tidak apa-apa. Dia terlalu bawel aja, dan dia sudah waktunya meninggal.”
Setelah itu kami tidak bicara lagi.
Inilah nenekku: Ia sudah begitu tua. Seperti sudah bukan manusia bukan
perempuan bukan lelaki, seperti bekas manusia. Zombi atau mumi, barangkali.
Jika engkau melihat tangannya yang sedang dijulurkan di atas perdu teh-tehan
pada saat berjemur pukul sepuluh pagi, kau akan merasa bertemu tokek raja yang
kulitnya bukan keriput melainkan keras dan berserat seperti batang kayu,
berbelang tua dan muda oleh pigmen yang tak lagi rata. tubuhnya seperti telah
koma sehingga hanya otototot tak sadar saja yang bekerja, bernafas, membuang
keringat, kencing, dan tai. Aku merasa hanya kepalanya saja yang masih hidup.
tapi lihatlah wajah itu, pelupuk yang menyisakan celah sempit saja bagi pupilnya
mengintip dunia, dan bagi dunia matanya hanya nampak sebagai kelereng hitam
dengan lapis-lapis katarak seperti langit malam yang pudar oleh kabut. Dan kalau
aku membuka kelopaknya untuk meneteskan pirenoksin pada permukaan yang
74

lunak itu, maka albumennya (aku selalu membayangkan mata sebagai telur) telah
penuh dengan pembuluh-pembuluh lelah sehingga kita lupa pada warna putih.
Aku yang merawatnya. Inilah yang kukerjakan saban pagi: mendudukkan tubuh
ringannya pada kursi roda dan membawanya ke kamar mandi, lalu kubasuh
dengan air hangat serta sabun non-deterjen. Dua atau tiga kali seminggu
kusandarkan ia di kloset dan kubersihkan kotorannya yang tak lancar sebab
metabolisme yang lamban. Bau yang disimpan lama dalam lembab. tai yang tak
liat. tidak coklat tidak hitam melainkan bau. Badannya kukeringkan dengan
handuk lalu kubopong kembali ke ranjang, kubedaki bagai bayi celah-celah
kulitnya. Aku obati ulkus bernanah pada tumit dan tulang ekornya, juga borok
yang memperlihatkan ujung iga kanan seperti cula yang tak jadi tumbuh, jaringan
kulit yang terkikis oleh beban tubuh sebab ia berbaring dengan posisi yang hampir
selalu sama bertahun-tahun. Simbah, tidakkah tubuhmu lupa pada rasa sakit?
Begitulah ia tiap-tiap hari di hadapanku, sebelum waktunya berjemur pukul
sembilan hingga sepuluh: telanjang tanpa daging. teronggok pada kasur. Dada
yang panjang susut, puting yang kaku, tak tersisa seglendir kelenjar pun di
dalamnya, segalanya telah menjadi pipih, tempat ayahku yang mati pernah
menyusu. Jembut putih pada labia yang menghitam.
Sebelum kukenakan pakaiannya serta kusisir rambutnya yang panjang dan telah
begitu jarang, aku selalu berlamalama menyaksikan lekuk-lekuk tulang belakang
di bawah kulit punggungnya, begitu jelas seperti pipa udara yang telah menghisap
jutaan debu, ruas-ruas vertebra itu melengkung ke kanan depan. Rangkamu tanpa
kalsium, condong hampir melingkar, seperti mencari aroma tanah dan tak siapa
pun bisa menegakkannya kembali. Belulang yang menunggu punah.
Setiap kali aku berhubungan dengan tubuh yang masai tanpa daya itu, menyentuh
permukaannya yang kesat, kelaminnya yang menyisakan lembab, jemariku, diriku
adalah kelunakan dua siput bugil yang tak jantan tak betina, dengan tubuh warna
dodol yang berlumur lendir, ketika birahi menggeliatkan jaringan yang semula
pipih pada tanah, sebelum berbelitan dalam persetubuhan yang lamban dan
menjijikkan dari dua moluska dengan sungut-sungut halus. Lihatlah, kawan,
betapa ganjil keintiman antara sepasang makhluk hermafrodit yang memualkan
mulut. Pandanglah keindahan yang lahir dari kejijikan. Bukankah hidup adalah
kutukan.
Dan sembari aku membacakan koran pagi, ia selalu bicara kepadaku dengan leher
yang berteriak tetapi suara seperti derit yang keruh. Hanya bau tajam salak alum,
sepat, yang keluar dari mulutnya seperti berasal dari sesuatu yang busuk di rongga
perutnya. Enzim dan liur yang tak lagi jernih. Cuma daun telinga yang tak
menjadi tua.
“Larung,” ia selalu memanggil setelah menatapi aku lama. “Larung. Anak
lanang.” Dengan matanya yang hanya hitam (kadang aku teringat mata kera).
“Anak lanang, persis bapakmu, persis mbah kakungmu.” Nenekku hanya mau aku
yang mengurus. Ia cepat merajuk jika pembantu atau perawat, bahkan ibuku,
menantunya, yang meladeni. Atau, barangkali ia hanya menghargai keturunan
75

laki-laki. Atau, ia hanya mencintai laki-laki. Siapakah aku bagi dia: cucu, anak,
suami?
Setiap kali aku menatap mata yang menatap aku itu, aku adalah monyet betina
yang menyusui dan mata itu milik bayiku ketika mulutnya mencucup ujung
susuku dan tangannya memijat dan telinganya mencari-cari detak jantungku yang
memberinya ketenangan. Marilah, aku adalah ibu yang tahu, dekap dan degupku
menyamankan, serta bulu-buluku melindungi sosok rentanmu.
Tapi tubuh nenekku menyimpan rahasia. Kekuatan yang jauh lebih berat daripada
timbangannya. Seseorang yang mampu melihat aura akan bisa menyaksikan prana
hitam di sekelilingnya. Bukan jingga, putih, atau nila, melainkan sinar hitam.
Seperti lubang gelap pada galaksi, itu adalah energi sesuatu yang mati. Bintang
masif yang semula hidup tetapi kemudian padam dan gerak matinya menghasilkan
ruang gravitasi tempat cahaya pun surut sehingga tak ada terang di sana. Lama-
lama aku tahu bahwa ia seharusnya sudah lama mati. tetapi rahasia membuat
organ-organ tubuhnya tidak berhenti berdenyut.
Dan orang bisa melihat pancar rahasia itu dalam kekejian yang aneh pada dirinya.
Kukatakan demikian, sahabatku, karena sosok dan odornya telah begitu
menyedihkan sehingga tak seorang pun sanggup membencinya. Nenekku adalah
siksaan bagi yang melihatnya, tapi kau akan merasa berdosa jika memalingkan
wajah dari dia. Atau menutup hidung di dekatnya. Setiap yang bertatapan dengan
nenekku tak bisa melarikan diri dan akan mengalami yang takterkatakan:
semacam gangguan jiwa bahwa alam tak punya tujuan.
Ia adalah makhluk yang dari mulutnya yang tremor keluar kotoran dan kekejian.
Inilah kekejian nenekku: kata-kata. Kata-katanya melukai, tetapi engkau tak bisa
menyerangnya karena benci. Kau hanya bisa menganiaya dirimu sendiri sebagai
proyeksi dari luap keinginanmu membunuh dia. Aku mengingatnya, setelah ia
menghunjamkan serapahnya, ibuku menusuk pergelangan tangan sendiri dengan
garpu suatu kali, dan menusuk juga dengan garpu lehernya kali lain. Dan Simbah
hanya memandangnya, ia bagai selembar cermin yang memantulkan niat jahat
Ibu. Sebab, itulah yang Ibu ingin lakukan padanya.
Aku mengingatnya, setengah berbaring pada kasur pada tumpukan bantal di
punggung, ketika perawat yang terakhir masuk ke kamarnya, memperkenalkan
diri di muka ranjang. Perawat yang keseratus lima puluh. Seratus empat puluh
sembilan suster telah datang lalu pergi dengan takut dan benci selama tujuh tahun
itu. Aku melihat dengan mataku yang tak nampak, sisi belakang perempuan muda
itu, seragam putihnya, rambut-rambut halus lehernya, betisnya yang lurus, bekas
luka, barangkali terpanggang knalpot, sol sepatu. tak kulihat rautnya. tapi kulihat
wajah nenekku yang bersandar di hadapannya, matanya yang gelap dan
kelopaknya yang penuh lipit, cahaya suram. Jarak membuat ia amat kecil seperti
bukan berasal dari dunia ini sementara daun kupingnya nampak menonjol sebab
telinga selalu mencolok pandanganku betapapun kecil dan sederhana. tangan
nenekku terlipat pada pangkuan, urat-urat yang melebar. tubuh yang lama
bengkok membuat kepalanya seolah tumbuh dari tengah-tengah rusuk. Ia menatap
76

gadis itu seperti seekor kukang.


Tapi mulutnya seperti ubur-ubur, mengembang dan mengatup dalam gelombang
pelan, menyimpan racun. Lalu aku melihat, kata-kata kotor muntah dari perutnya,
dari hatinya yang telah mati dijalari sirosis, seperti cairan jorok yang penuh
gumpalan bekas makanan dan gelembung gas bau, menyemburi seragam bersih
perawat itu sehingga ia terjengat satu ubin ke belakang, hampir terjerembab. Ia tak
berani menggerakkan tangan untuk menutup telinga, ia ingin melarikan diri oleh
rasa ngeri dan jijik, tetapi cahaya lampu membuat tangan nenekku menjelma
bayangan hitam yang mencekalnya pada tempat itu. Lihatlah kaki-kaki kurus
gadis itu gemetar, seperti menahan kencing, seperti merasakan hawa neraka dari
suhu badan perempuan tuaku yang luka dan
perkasa. Lalu, ketika amarahnya dari rasa sakit yang panjang itu telah selesai, di
lantai tersisa air liur yang asam dan lekat seperti ampas persetubuhan.
Lama-lama aku tahu ia telah lama mati.
Sayup-sayup pernah kudengar orang membaca lontar di kebun belakang (cahaya
samar pada kelir, blencong yang kerlip-kerlip). Sebuah kisah tua tentang rangda
yang menghirup darah, satu janda dari Jirah dengan payudara menjuntai dalam
belang putih hitam, yang membangunkan orang-orang mati yang masih segar dan
menggiring mereka dari kuburan ke pertapaan untuk diolah sebagai perhiasan,
bukan makanan. Mayat yang membusuk mereka tinggalkan bagi anjing dan
burung nasar. Jenazah dibariskan dan orang-orang mati itu menangis ketika tiba
giliran disembelih untuk aksesori. Air mata mereka menetes sampai ke tanah
tetapi butir-butir itu hilang sebab bumi Jirah yang haus segera menyerapnya. Lalu
Ni Rangda keluar dari biliknya, telah mengenakan pending dari paru-paru, anting
limpa, dan usus dijadikan kalung bergulunggulung, kancing bola mata. (Para
muridnya telah mencuci organ-organ itu dari darah, seperti Ibu membersihkan isi
perut ayam, sehingga aku bisa melihat gelembung-gelembung alveoli pada pleura
yang keunguan, usus yang krem oleh lemak, simpulsimpul limfa seumpama bros,
juga empedu yang hijau bagus, mata yang seperti telur asin.) Demikian ia
berdandan di antara sesaji. tetapi nenekku berkata kepadaku (nenekku ataukah Ni
Rangda yang berkata kepadaku?): Diamlah, Nak. Jangan benci. Sebab dendam
menyelamatkan kita dari dendam yang lain, kematian menghidupkan kita dari
kematian yang akan datang. Kejahatanku mengusir orang-orang yang mengutuki
kita.
Ketika itu aku masih amat kecil. Sebab ayahku masih hidup. Nenek tidak
kelihatan masih muda.
Tiga bulan setelahnya, aku mendengar suara burung dandang berkitar-kitar di
bubungan, dan pagi-pagi buta orang-orang berkumpul di pelataran rumah. Mereka
mengetuk pintu dan membawa ayahku ke luar rumah, tanpa obor, hanya sentir
yang cahayanya rapuh. Aku melihat ia menjauh, semakin kecil ke dalam gelap.
tetapi bayangannya semakin besar sebelum pudar, seperti molekul-molekul ketika
sebuah benda padat menjadi gas. Lalu Simbah menjauhkan aku dari Ibu yang
menangis. Ia menutup segala jendela dan berkata, “Lupakanlah.”
“Bapakmu mati oleh dendam orang-orang yang membawanya.”
77

Namun nenekku berhasil mengusir mereka yang datang lagi untuk mengambil
kami semua. Ia mengenyahkan orang-orang yang mengepung hanya dengan
berdiri di depan pintu, memandang ke arah laut. Sejak itu kutahu ia menyimpan
rahasia dalam tubuhnya. Aku tak pernah bertemu Ayah sejak ia digiring pergi,
juga jenazahnya, tetapi nenekku selalu ada padaku. Ia tak pernah muda, dari dulu.
tidak. Simbahmu pernah muda. Begitu ibuku berkata waktu aku tanya. Ia adalah
wanita yang kuat, cerewet, dan pongah. Ia luar biasa berani dan tak pernah merasa
salah.
Kapan ia lahir?—kubertanya.

Ketika waktu belumlah sesuatu yang linear, melainkan sebuah siklus yang terus-
menerus. Pada masa orang mencatat hari dan wuku weton namun umur bukan hal
yang penting (sebab hari adalah sesuatu yang berulang-ulang namun usia tidak).
Pada suatu Selasa Pahing sebelum sensus yang
pertama. tapi tanggal berapa yang tercantum di KtP-nya? tanpa tanggal, hanya
tahun: 1900. Sebab ia tengah merasakan sakit payudara yang tumbuh ketika
Perang Puputan terjadi di sebelah barat dan timur dan orangtuanya diam-diam
mengutuki diri sebab mereka tak pernah mencoba melawan tentara Belanda
seperti orang-orang dari Badung dan tabanan. Dan 1900 juga angka yang
gampang. Barangkali ia lahir tujuh atau sepuluh tahun sebelumnya. tapi tahun
1800-an adalah waktu yang tak terbayangkan. Ia selalu mengaku berasal dari
kasta ksatriya Gianyar yang kawin lari dengan seorang pedagang candu Belanda
dan kabur ke pulau Jawa untuk menghindari kemarahan keluarga. Suaminya, si
pria putih, masuk kamp tahanan ketika Jepang berkuasa, lalu ia kawin lagi dengan
seorang gerilya republik dan melahirkan ayahmu pada 1944. Bapakmu menikah
dengan aku ketika kami berdua umur tujuh belas dan kamu lahir tahun 1960.
“Simbah masih melahirkan pada usia empat puluh lima?”
“Barangkali lima puluh. Ia kuat sekali.”
Sebab ia mendapatkan kekuatannya bukan dari dunia manusia, melainkan dari
alam gaib yang syirik. Gunung dan makam manakah di Jawa dan Bali yang tak ia
kunjungi untuk berilmu?—kata ibuku dingin, namun aku merasa ada sesuatu yang
tidak dingin. Apakah mencari ilmu sesuatu yang salah?—lalu aku bertanya. tidak,
kata Ibu, tetapi tubuhnya penuh susuk, hatinya berisi jopa-japu, dan pikirannya
hanya mantra. Ia pernah menelan tujuh puluh tujuh gotri untuk kekebalan. Ibu
tidak pernah melihatnya sendiri, bukan?—aku menegur. Memang, tetapi tidak
ingatkah kamu bahwa ia suka mandi keramas tujuh kali semalam? Ya, tapi kukira
itu karena malam begitu gerah. Aku lebih ingat, setelah mandi, kutangnya hitam
dan ia mengenakannya terbalik, yang depan di belakang. teteknya panjang.
Ia tidak mengenakannya terbalik—bantah Ibu. Ia sedang mengancingkan kait
korsetnya. Setelah terpasang, ia memutarnya kembali lalu memampatkan susunya
ke dalam kapnya. Begitu cara perempuan mengenakan kutang torso tanpa
bantuan.
78

Tapi apakah kamu lupa ia juga beberapa kali melarang kita menyalakan listrik dan
lampu sehari semalam bukan pada hari Nyepi; itu dinamakan pati-geni, salah satu
syarat yang harus dilakoni jika memiliki isim. Ya, kalau itu aku ingat meski aku
tak tahu namanya dan gunanya. Lalu ibuku berkata: Simbah seharusnya sudah
meninggal dalam kecelakaan tiga belas tahun yang lalu. Bisnya tabrakan dengan
truk pasir dan masuk jurang di sekitar Alas Roban. Rusuk si supir hancur di dalam
paru-parunya, seluruh penumpang tewas, kecuali dia: nenek berusia delapan puluh
tahun yang tak lecet sekulit ari pun padahal ia duduk agak di depan. Nak,
simbahmu tak bisa mati sebelum susuk dan gotri itu dikeluarkan dari badannya,
dan jampi-jampi dilepas dari mulutnya. Ia tak bisa mati meskipun telah lama mati.
Ia adalah mayat hidup yang akan bernafas lebih lama daripada kamu sebab jika ia
mati ia pasti pergi ke neraka sebelum meniti sepertujuh tipis rambut. Dan kamu
perlu tahu, dosa musyriknya bukan tanpa tumbal. tak ada lakilaki berumur
panjang di dekatnya: suami-landanya, kakekmu, ayahmu, mereka cepat mati.
Kamu masih muda.
Ibu, tidakkah Ibu membenci Simbah karena ia yang memberi aku nama?
“Aku ingin menamaimu Begawan.”
tapi namaku sudah Larung.
“Itu nama perempuan.”
Namaku Larung Lanang.

Anda mungkin juga menyukai