Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

Sutan Takdir Alisjahbana adalah seorang budayawan, sastrawan dan ahli

tata Bahasa Indonesia yang termasuk dalam angkatan Pujangga Baru. Novel

karyanya yang terkenal antara lain Tak Putus Dirundung Malang (1929), Dian

Tak Kunjung Padam (1932), Layar Terkembang (1936), dan Anak Perawan di

Sarang Penyamun (1940).

Layar Terkembang yang ditulis sebelum Perang Dunia II itu dianggap

memberikan gambaran adopsi budaya Barat oleh masyarakat Indonesia. Buku ini

sangat laris sehingga sempat mengalami cetak ulang beberapa kali dan bahkan

diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Di Malaysia sendiri buku ini sangat

terkenal dan juga sudah dicetak ulang.

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada zaman sekarang ini, masyarakat terutama anak muda kurang

berminat membaca karya sastra lama. Kebanyakan dari mereka hanya suka

membaca karya modern seperti novel teenlit, metropop, dan lain-lain. Padahal

karya sastra lama sangat beragam dan penulis akhirnya tertarik untuk memilih

novel Layar Terkembang.

Karya sastra lama ini menjadi sangat menarik karena tata bahasanya yang

berbeda serta pemilihan kata-kata yang kurang lazim didengar sehingga berbeda

dari novel-novel zaman sekarang. Selain itu Sutan Takdir Alisjahbana mampu

1
menyuguhkan tema yang unik sehingga sungguh tidak mudah untuk menebak alur

ceritanya.

Melalui karya tulis ini, penulis mencoba menganalisis salah satu karya

sastra lama Indonesia yang populer pada zamannya. Penulis, yang hidup di zaman

yang berbeda dengan Sutan Takdir Alisjahbana, ingin merasakan cita rasa sastra

zaman dulu.

Selanjutnya, penulis berharap jumlah pembaca karya sastra lama Indonesia

dapat meningkat sebab karya ini merupakan salah satu koleksi budaya Indonesia

yang berharga. Oleh karena itu, penulis juga berharap agar anak muda lebih

menaruh minat baca pada karya-karya sastra lama.

1.2 Perumusan Masalah

Dalam karya sastra ini ada beberapa masalah yang akan dianalisis oleh

penulis pada bab IV dan berikut ini permasalahan yang dimaksud:

1. Bagaimana gaya bahasa yang digunakan Sutan Takdir Alisjahbana dalam novel

Layar Terkembang?

2. Apa amanat yang didapat dipetik dari novel Layar Terkembang?

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan karya tulis ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan utama dan

tujuan tambahan. Tujuan utama adalah untuk memenuhi tugas akhir mata

pelajaran Bahasa Indonesia. Sementara tujuan tambahan yang ingin dicapai

penulis antara lain:

2
1. Untuk mengetahui gaya bahasa yang digunakan Sutan Takdir Alisjahbana

dalam novel Layar Terkembang.

2. Untuk mengetahui amanat yang disampaikan dalam novel Layar Terkembang.

1.4 Manfaat Penulisan

Dengan membuat karya tulis ini, penulis mendapatkan banyak manfaat

seperti mengetahui dan berani mencoba untuk membaca karya sastra lama. Selain

itu saat membaca novel Layar Terkembang, pengetahuan berbahasa penulis

menjadi lebih luas dan bertambah. Dalam proses pengerjaan, penulis menjadi tahu

cara menyusun sebuah karya tulis sederhana dan menganalisis sebuah karya

sastra.

Selain itu karya sastra lama ini membuat penulis bisa belajar memahami

latar belakang zaman penulisan yang tentu sangat berbeda dengan sekarang. Ini

menjadi tantangan tersendiri untuk mengolahnya menjadi sebuah karya tulis dan

dengan ini pengalaman penulis menjadi bertambah.

Karya tulis ini juga bermanfaat untuk membantu pembaca yang ingin

membuat sebuah karya tulis. Manfaat yang didapatkan dari karya tulis ini penulis

harap dapat digunakan sebaik mungkin demi kepentingan bersama.

1.5 Metode penulisan

Metode yang penulis gunakan dalam membuat karya tulis ini adalah

metode studi pustaka. Metode studi pustaka adalah metode pencarian data dan

informasi melalui buku ataupun media lainnya. Beberapa orang juga menyebutkan

3
bahwa metode studi pustaka adalah metode yang menggunakan buku sebagai

sumber utama.

Dalam hal ini penulis menggunakan novel Layar Terkembang sebagai

bahan utama dan buku Teori Pengkajian Sastra karya Burhan Nurgiyantoro

sebagai pedoman landasan teori. Selain itu penulis juga mencari tambahan

informasi melalui media internet.

1.6 Sistematika Penulisan

Pada bab satu yang merupakan bab pendahuluan, penulis menjelaskan

mengenai latar belakang pemilihan novel, permasalahan, tujuan penulisan,

manfaat penulisan dan pembuatan karya tulis ini, dan yang terakhir adalah

sistematika penulisan.

Bab dua menjelaskan mengenai landasan teori-teori unsur intrinsik yang

akan penulis pakai untuk menganalisis. Teori yang dimaksud ialah teori gaya

bahasa dan amanat.

Sementara bab tiga akan secara khusus membeberkan sinopsis novel

Layar Terkembang. Melalui sinopsis tersebut penulis akan mengulas garis besar

cerita yang akan menjadi bahan analisis.

Pada bab empat penulis menjelaskan analisis gaya bahasa dan amanat

yang terkandung di dalam novel Layar Terkembang. Bab ini juga menjabarkan

hasil analisis novel secara keseluruhan dengan menggunakan landasan teori yang

sudah dijelaskan pada bab dua.

Bab lima adalah bab penutup. Bab ini berisi tentang kesimpulan dari

4
karya tulis ini serta saran yang diberikan penulis terhadap novel Layar

Terkembang.

Pada lembaran-lembaran terakhir setelah bab lima, terdapat lampiran dan

daftar pustaka. Lampiran berisi informasi yang lebih mendalam mengenai novel

Layar Terkembang dan profil dari Sutan Takdir Alisjahbana. Daftar pustaka berisi

media-media yang telah membantu penulis dalam mencari informasi dan

mengerjakan karya tulis ini.

5
BAB II

LANDASAN TEORI

Untuk menganalisis unsur intrinsik sebuah novel dibutuhkan suatu

landasan teori yang sekaligus akan menjadi panduan agar unsur tersebut dapat

terjabarkan dengan benar. Dalam bab ini penulis akan menjelaskan teori-teori

tersebut. Teori-teori ini pada bab selanjurnya akan digunakan dalam menganalisis

gaya bahasa dan amanat dalam novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir

Alisjahbana.

Teori-teori ini penulis kutip dari buku Teori Pengkajian Fiksi karya Burhan

Nurgiyantoro dengan tambahan informasi yang penulis dapat melalui media

internet.

2.1 Teori Gaya Bahasa

Stile (style) atau gaya bahasa adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa,

atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan

dikemukakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2012:276).

Setiap karya sastra memiliki gaya bahasa yang berbeda tergantung dengan

konteks, bentuk dan tujuannya. Namun tujuan utama dari stile adalah untuk

mendapatkan efek keindahan atau memberi ciri khas tersendiri bagi karya sastra

tersebut.

Dapat disimpulkan bahwa stile pada hakikatnya merupakan teknik, teknik

pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan

6
diungkapkan. Teknik itu sendiri, di pihak lain, juga merupakan suatu bentuk

pilihan dan pilihan itu dapat dilihat pada bentuk ungkapan bahasa seperti yang

dipergunakan dalam sebuah karya (Nurgiyantoro, 2012:277)

2.1.1 Unsur Stile

Unsur stile adalah unsur yang mendukung terwujudnya pengungkapan

bahasa yang dimaksud oleh pengarang. Kajian stile sebuah novel biasanya

dilakukan dengan menganalisis unsur-unsurnya yang bertujuan untuk mengetahui

unsur apa saja yang dominan dalam novel tersebut.

Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2012:290-295), unsur stile

dibedakan menjadi tiga macam yaitu:

1. Unsur Leksikal

Unsur ini mementingkan penggunaan kata-kata tertentu dan sering

disebut dengan diksi. Analisis unsur leksikal dapat dilakukan

berdasarkan tinjauan umum dan jenis kata.

2. Unsur Gramatikal

Unsur ini berpusat pada pengertian struktur kalimat sehingga kalimat-

kalimat yang ada harus sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa

yang bersangkutan.

3. Retorika

Retorika berkaitan dengan penggunaan semua unsur bahasa, seperti

pemanfaatan bentuk citraan, penggunaan bahasa kias, struktur kalimat,

segmentasi, dan lain-lain.

7
Dalam membuat sebuah novel, pengarang berusaha untuk mengungkapkan

bahasa dengan kemampuan imajinasi dan kreativitas dalam menyiasati gagasan

dan bahasa supaya mampu mendukung gagasan secara tepat sekaligus

mengandung sifat estetis sebagai sebuah karya seni.

Unsur retorika sendiri dibagi menjadi dua bagian menurut Keraf (dalam

Nurgiyantoro, 2012:296):

1. Pemajasan (figure of thought)

Pemajasan merupakan teknik pengungkapan makna yang tersirat dan

sering menggunakan bahasan kiasan. Majas sering digunakan untuk memperoleh

efek-efek tertentu yang membuat sebuah karya sastra semakin hidup.

Berikut menurut http://id.wikipedia.org/wiki/Majas penulis akan

membahas sedikit tentang jenis-jenis majas. Perlu diketahui bahwa masih ada

banyak lagi jenis-jenis majas selain yang penulis jabarkan sebagai berikut,

berdasarkan pembagiannya secara umum:

 Majas perbandingan

a. Simile/Asosiasi: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang

dinyatakan dengan kata depan dan penghubung, seperti layaknya,

bagaikan, umpama, dan lain-lain.

Contoh: Bibirnya laksana delima merekah.

b. Metafora: Gaya bahasa yang membandingkan suatu benda dengan

benda lain karena mempunyai sifat yang sama atau hampir sama.

Contoh: Siti adalah kembang desa di sini.

8
c. Metonimia: Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain

yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut.

Contoh: Kami berangkat ke Singapura naik Garuda.

d. Litotes: Ungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan

tujuan merendahkan diri.

Contoh: Maaf, kami tidak dapat menyediakan apa-apa. Sekedar air

untuk membasahi tenggorokan saja yang ada.

e. Hiperbola: Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga

kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.

Contoh: Suaranya menggelegar membelah angkasa.

f. Personifikasi: Pengungkapan dengan menggunakan perilaku manusia

yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia.

Contoh: Ombak berkejar-kejaran di tepi pantai.

g. Pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan

keseluruhan objek.

Contoh: Sudah seminggu ini dia tidak kelihatan batang hidungnya.

h. Totem pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang

dimaksud hanya sebagian.

Contoh: Dalam kejuaraan bulutangkis tahun lalu, Indonesia dapat

meraih medali emas.

i. Eufemisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa

kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus.

Contoh: Perusahaan itu merumahkan sebagian karyawannya.

9
j. Eponim: Menjadikan nama orang sebagai tempat atau pranata.

Contoh: Hercules dipakai untuk menyatakan kekuatan.

k. Simbolik: Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau

lambang untuk menyatakan maksud.

Contoh: Hubungan keduanya hanyalah cinta monyet.

 Majas sindiran

a. Ironi: Sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya

Contoh: Bagus sekali tulisanmu, sampai tidak bisa dibaca.

b. Sarkasme: Sindiran langsung dan kasar.

Contoh: Sudah berulang kali dia dinasihati, namun tidak digubrisnya.

Sudahlah, mampus pun aku sudah tidak peduli lagi.

c. Sinisme: Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa

kebaikan terdapat pada manusia (lebih kasar dari ironi).

Contoh: Halah, barang KW saja bangga dipamerkan ke semua orang.

1. Innuendo: Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya.

Contoh: Dari menyisihkan selembar dua lembar kertas kantor, kini ia

telah membuka toko alat tulis sendiri.

 Majas penegasan

a. Pleonasme: Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah

jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak

diperlukan.

Contoh: Ayah memajukan mobilnya ke depan untuk menghindari

tubrukan.

10
b. Repetisi: Perulangan kata, frasa, dan klausa yang sama dalam suatu

kalimat.

Contoh: Dialah yang kutunggu, dialah yang kunanti, dialah yang

kuharap

c. Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang

sederhana/kurang penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih

penting.

Contoh: Semua orang dari anak-anak, remaja, hingga orang tua

menghadiri acara peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

d. Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari

yang kompleks/lebih penting menurun kepada hal yang

sederhana/kurang penting.

Contoh: Kepala sekolah, guru, dan siswa hadir dalam acara syukuran

itu.

e. Inversi: Menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu kalimat

sebelum subjeknya.

Contoh: Pergilah ia meninggalkan kami.

f. Retoris: Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di

dalam pertanyaan tersebut atau tidak perlu dijawab.

Contoh: Untuk apa kita berperang, bukankah sebaiknya kita

berdamai?

g. Koreksio: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap

keliru atau kurang tepat, kemudian disebutkan maksud yang

11
sesungguhnya.

Contoh: Sudah empat kali saya mengunjungi kota itu, ah bukan,

sudah lima kali.

h. Eksklamasio: Ungkapan dengan menggunakan kata-kata seru.

Contoh: Wah alangkah indahnya pemandangan pantai itu!

i. Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frasa, atau

klausa yang sejajar.

Contoh: Bukan saja perbuatan itu harus dikutuk, tetapi juga harus

diberantas.

 Majas pertentangan

a. Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah

bertentangan, namun sebenarnya keduanya benar.

Contoh: Ia mati kelaparan di tengah-tengah kekayaannya yang

berlimpah-limpah.

b. Antitesis: Pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang

berlawanan arti satu dengan yang lainnya.

Contoh: Kaya-miskin, tua-muda, besar-kecil, semuanya memiliki

kewajiban terhadap keamanan bangsa dan negara.

c. Anakronisme: Ungkapan yang mengandung ketidaksesuaian dengan

antara peristiwa dengan waktunya.

Contoh: Arjuna saling berkirim SMS dengan Srikandi untuk melepas

rasa rindu.

12
2. Pencitraan (imagery)

Penggunaan kata-kata dan ungkapan yang mampu membangkitkan

tanggapan indera pembaca sering disebut dengan pencitraan.

a. Penglihatan

b. Pendengaran

c. Gerakan

d. Rabaan

e. Penciuman

2.2 Teori Amanat

Pada umumnya, amanat atau moral adalah sesuatu yang ingin disampaikan

pengarang kepada pembaca yang terkandung dalam sebuah karya dan seringkali

yang disarankan lewat cerita. Moral juga dapat dipandang sebagai salah satu

wujud tema dalam bentuk yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan

moral (Kenny dalam Nurgiyantoto, 2012:320)

Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup

pengarang yang bersangkutan yang ingin disampaikan kepada pembaca.

Ia merupakan “petunjuk” tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah

kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan.

Fiksi mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku para

tokoh sesuai dengan pandangannya tentang moral, melalui cerita, sikap dan

tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah

dari pesan-pesan moral yang disampaikan. Setiap karya sastra pasti memiliki

13
pesan moral sebab pengarang yang bersangkutan memiliki tujuan yang ingin

dicapai.

2.2.1 Pesan Religius dan Kritik Sosial

Pesan moral yang berwujud moral religius dan kritik sosial dianggap

memberi banyak inspirasi bagi para penulis khususnya penulis sastra Indonesia

modern. Hal ini mungkin disebabkan banyaknya masalah kehidupan yang tidak

sesuai dengan harapan pengarang, kemudian mereka mengeluarkan pendapat dan

pikiran lewat karya sastra.

1. Pesan Religius dan Keagamaan

Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua

keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat

religius. Menurut Mangunwijaya (dalam Nurgiyantoro, 2012:327), religius

bersifat mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang nampak, formal,

dan resmi.

2. Pesan Kritik Sosial

Kritik sosial merupakan alat atau mediasi antar golongan dalam

masyarakat. Sebagaimana diungkapkan oleh Ratna (2008: 243), bahwa karya seni,

khususnya sastra merupakan alat atau media untuk menyatukan individu,

kelompok, suku, dan antar bangsa.

Karya sastra dapat juga dijadikan sebagai sarana aspirasi masyarakat

dan dapat pula dianggap sebagai perjuangan non fisik dan sastra bisa disampaikan

melalui sarana gayabahasa, peribahasa, kiasan semboyan dan lain-lain.

14
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa kritik sosial dalam karya sastra

merupakan usaha yang dilakukan seorang pengarang, dengan cara memberikan

suatu tanggapan terhadap persoalan-persoalan yang ia lihat pada masyarakat.

Dari teori-teori yang sudah diuraikan di atas, penulis akan membahas

lebih dalam mengenai gaya bahasa pemajasan dan amanat kritik sosial dari novel

Layar Terkembang pada bab empat.

15
BAB III

SINOPSIS

LAYAR TERKEMBANG

Layar Terkembang menceritakan tentang dua bersaudara yang memiliki

sifat yang sangat berbeda bagaikan siang dan malam. Sang kakak, Tuti, adalah

seorang guru sekaligus aktivis pergerakan wanita. Sifatnya yang serius dan teliti

berbanding terbalik dengan adiknya Maria. Maria adalah gadis yang ceria, terbuka

dan menikmati hidup apa adanya. Meskipun begitu, mereka hidup rukun dan

saling menyayangi.

Suatu hari Tuti dan Maria dipertemukan dengan seorang mahasiswa

sekolah Tabib Tinggi (Sekolah Kedokteran) yang bernama Yusuf. Perkenalan yang

sebentar dan tidak disengaja itu ternyata sangat membekas di hati, terutama bagi

Yusuf. Tanpa disadari, dirinya tertarik dengan Maria hingga semenjak itu ia rajin

menjemput Maria untuk berangkat bersama ke sekolah dan mengunjungi

rumahnya untuk sekadar bertemu.

Ketika Yusuf pulang ke kampung halamannya di Sumatera untuk berlibur,

ia merasa ada ruang hampa di dalam hatinya. Tapi begitu ia menerima surat dari

Maria yang sedang berlibur di rumah saudaranya di Bandung, ruang yang kosong

itu langsung terisi kembali. Saat itu juga ia memutuskan untuk menyusul Maria ke

Bandung.

Maria yang tidak menyangka akan kedatangan Yusuf, terkejut dan tidak

dapat menyembunyikan kegembiraannya melihat pemuda yang akhir-akhir itu

16
selalu ada di pikirannya. Akhirnya dua remaja yang saling menyukai dalam diam

itu memutuskan untuk berjalan-jalan melihat keindahan air terjun Dago sekaligus

melepas rindu karena tidak bertemu satu sama lain selama beberapa waktu.

Tak bisa dipungkiri, hati Yusuf sudah tidak bisa lagi menahan perasaannya

kepada gadis manis itu dan akhirnya ia dengan pelan tapi pasti menyuarakan isi

hatinya. Maria yang memang sudah menunggu-nunggu perkataan Yusuf itu tidak

menolak dan mereka pun menjadi sepasang kekasih.

Seperti pasangan-pasangan kekasih lainnya, Maria sedang dimabuk cinta.

Dirinya tak dapat henti-hentinya memikirkan Yusuf dan mengingat-ingat kembali

perjalanan mereka di Dago. Pikirannya yang sedang kalut itu membuat dirinya

menjadi suka melamun dan pelupa. Hal ini dimanfaatkan Rukamah, saudara

mereka, untuk menjahilinya. Tuti pun terkadang ikut tertawa melihat perubahan

drastis dari adiknya itu.

Namun lama kelamaan Tuti menjadi kurang setuju dengan sikap adiknya

yang terlalu mencintai kekasihnya itu. Menurutnya seorang wanita tidak boleh

terlalu bergantung dengan pria sehingga tidak akan dibodohi. Adiknya yang

mendengar nasehat tersebut menjadi tersinggung dan akhirnya mereka terlibat adu

mulut.

Maria merasa pandangan Tuti harus diubah. Ia menyinggung tentang masa

lalu percintaan kakaknya yang gagal menjalin hubungan dengan Hambali meski

sempat bertunangan. Kegagalan itu disebabkan karena Hambali merasa Tuti tidak

peduli dengan dirinya. Sedangkan Tuti sendiri sebenarnya butuh seseorang yang

dapat mengerti dan mendukung cita-citanya sebagai aktivis pergerakan wanita.

17
Semenjak bertengkar dengan Maria, sikap Tuti menjadi berubah. Dirinya

merasa sepi dan hampa karena di satu sisi dirinya sudah jarang mengobrol dengan

Maria yang sibuk dengan Yusuf. Padahal adiknya itu adalah salah satu orang yang

menjadi teman obrolnya selama ini. Di satu sisi dirinya mau tidak mau mengakui

bahwa diam-diam ia cemburu dan iri hati karena melihat adiknya yang sukses

menjalin hubungan percintaan sedangkan ia sendiri selalu gagal karena prinsip-

prinsip yang dipegang teguh olehnya.

Selama beberapa waktu Tuti mengalami perang batin yang sangat

melelahkan karena ia tidak dapat henti-hentinya memikirkan masa lalunya.

Pendiriannya juga menjadi goyah dan sering kali ia melamun dan termenung.

Bahkan terkadang karena terlalu banyak pikiran, Tuti menjadi lemah dan hilang

tenaga.

Namun perlahan tapi pasti pola pikir Tuti mulai berubah. Ditambah lagi

muncul sosok pemuda yang lembut dan bersahaja yaitu Supomo guru muda yang

baru enam bulan kembali dari Belanda yang ternyata jatuh hati kepadanya.

Kehadiran Supomo ini membuat pikirannya kalut karena sesungguhnya Tuti ingin

menerima cinta Supomo, tapi ia masih terbayang-bayang akan prinsip hidupnya

sebagai wanita tangguh. Sehingga setelah mempertimbangkan masak-masak, Tuti

memutuskan untuk menolaknya. Dirinya tidak mau menerima Supomo hanya

karena ketakutan menjadi seorang perawan tua.

Di tengah-tengah ketidakjelasan pikiran dan batinnya tersebut, Tuti harus

menerima kenyataan yang pahit. Maria terserang penyakit malaria dan TBC.

Begitu lemah dan parah kondisinya hingga harus dirawat di luar Jakarta.

18
Wiriatmaja, ayah mereka, Tuti dan Yusuf sangatlah terpukul mengetahui hal ini,

mengingat Yusuf dan Maria sudah bertunangan dan hendak melangsungkan

pernikahan dalam waktu dekat. Tapi apalah daya, Maria yang lincah dan ceria itu

harus menghabiskan waktunya di rumah sakit.

Tuti yang sudah lebih terbuka itu bahkan rela meninggalkan kongres

organisasinya demi menjenguk Maria yang hari demi hari makin lemah fisiknya.

Yusuf dan Tuti sebenarnya sudah mulai khawatir dengan kondisi Maria tersebut.

Tapi mereka tetap berpikir positif dan memberi Maria semangat. Maria sendiri

sudah pasrah dan terkadang dirinya berpikir yang bukan-bukan, tapi ia masih terus

memotivasi dirinya sendiri dan berjuang sampai akhir.

Seringnya mereka bersama-sama pergi menjenguk Maria, perlahan-lahan

tumbuh tali persaudaraan yang lebih erat dari sebelumnya di antara Yusuf dan

Tuti. Mendekati ajalnya, Maria berpesan kepada Yusuf dan Tuti bahwa ia ingin

kakak dan tunangannya itu menikah sebab ia tidak rela orang yang dicintainya itu

mencari orang lain. Akhirnya Yusuf dan Tuti menyanggupinya dan ternyata itu

benar-benar permintaan terakhir Maria sebab nyatanya itulah kehendak Yang

Mahakuasa.

19
BAB IV

ANALISIS GAYA BAHASA DAN AMANAT

Setelah membahas teori-teori pada bab sebelumnya yaitu pada bab II,

maka pada bab IV ini penulis akan menganalisis lebih dalam mengenai gaya

bahasa yang dipakai dalam novel Layar Terkembang dan amanat yang bisa dipetik

dari novel tersebut.

4.1 Analisis Gaya Bahasa

Seperti yang sudah penulis jabarkan pada bab 2, pada bagian ini penulis

akan menganalisis mengenai gaya bahasa pemajasan yang terkandung di dalam

novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana.

Dari sekian banyak majas yang ada, penulis hanya mengambil sebagian

saja sebagai contoh untuk dianalisis. Penulis pertama-tama akan mengutip kalimat

yang mengandung majas itu. Selanjutnya penulis akan menganalisis tujuan

penggunaan majas tersebut dihubungkan dengan konteks kalimat tersebut serta

bagaimana dampak penggunaan majas tersebut dalam penyampaian pesan kepada

para pembaca.

4.1.1. Inversi

Majas inversi adalah salah satu dari majas penegas. Ciri dari majas ini

adalah penyebutan predikat terlebih dahulu dibanding subjeknya di dalam sebuah

kalimat.

20
1. “Melepaskan dirinya dari pelukan kekasihnya itu Maria berkata, selaku tiba-

tiba ingatannya berkisar.” (Alisjahbana, 1981: 99)

Bila membaca kalimat-kalimat sesudah kutipan tersebut, kita bisa mengerti

maksud dari penggunaan majas inversi adalah untuk menggambarkan Maria yang

tiba-tiba teringat sesuatu hal tentang Tuti. Dari penegasan ini pembaca bisa

memahami betapa Maria peduli pada Tuti.

2. “Takjublah Yusuf dan Sukarto melihat mereka mengayuhkan sampan itu.”

(Alisjahbana, 1981:46)

Penggunaan majas ini membuat kata 'takjub' menjadi lebih ditekankan.

Sehingga dari kutipan tersebut terlihat jelas bahwa Yusuf dan temannya Sukarto

sangat terpesona dengan keindahan danau Ranau dan pembaca juga bisa ikut

merasa takjub karena penjabaran keindahan alam di sana yang begitu detail.

3. “Teringat kepadanya, bahwa ia akan meminta kepada juru rawat dan dokter,

supaya Tuti dan Yusuf dapat tiap-tiap hari mengunjunginya selama libur

mereka ini.” (Alisjahbana, 1981:119)

Majas inversi pada kutipan tersebut ingin menjelaskan kepada pembaca di saat

Maria sedang lesu karena memikirkan penyakitnya yang tak kunjung sembuh, ia

tiba-tiba teringat kepada Tuti dan Yusuf. Penggunaan majas inversi dalam kalimat

tersebut memberikan kesan yang mendadak atau tiba-tiba.

21
4. “Pergi ia kembali ke pokok kayu tempat sepatu dan bajunya direngangkannya

pantalonnya sedapat-dapatnya dan dengan lengah berjalanlah ia perlahan-

lahan menuju ke kota.” (Alisjahbana, 1981:45)

Dalam kutipan tersebut sedang dijelaskan mengenai Yusuf yang sedang pergi

memancing namun tiba-tiba teringat bahwa hari sudah malam dan menuntutnya

untuk segera pulang. Penggunaan majas inversi dalam kutipan tersebut secara

tidak langsung ingin menegaskan kalimat-kalimat sesudahnya, bahwa Yusuf pergi

dengan perasaan yang gembira dan santai.

5. “Kelihatan kepadanya seorang anak kira-kira umur empat belas tahun. Melihat

rupanya tahu sekali ia, bahwa anak itu adik Supomo, sebab pada mukanya ada

cahaya kelembutan…” (Alisjahbana, 1981:103)

Bila diperhatikan ada dua kali penggunaan majas inversi dalam kutipan

tersebut. Penyebutan predikat di awal kalimat dalam kutipan tersebut ingin

menggambarkan keadaan di mana Tuti yang tiba-tiba melihat seorang anak kecil

di depan rumahnya. Penyebutan yang kedua menjelaskan kepada pembaca bahwa

dalam sekejap saja Tuti bisa tahu bahwa anak kecil itu adalah adik Supomo.

4.2.2 Simile

Majas simile termasuk dalam kategori majas perbandingan atau

perumpamaan. Majas ini diungkapkan dengan perbandingan tegas dan jelas yang

dinyatakan dengan kata depan dan penghubung.

22
1. “Sebagai cambuk perkataan itu berdengung-dengung di telinganya.”

(Alisjahbana, 1981:70)

Setelah bertengkar dengan Maria, Tuti sempat mengalami pergolakan batin

karena Maria mengingatkannya pada masa lalunya dan mengucapkan kata-kata

yang pedas. Tuti menganggap kata-kata itu seperti cambuk karena setiap kali

teringat, hatinya sakit dan marah. Dari kutipan tersebut pembaca bisa merasakan

betapa hebat dampak pertengkaran itu kepada Tuti.

2. “Mata suami istri yang memandang kepadanya itu adalah sebagai lembing yang

tajam yang menusuknya.” (Alisjahbana, 1981:78)

Maria yang sudah bertunangan saat itu sedang dijamu oleh paman dan bibinya.

Sementara itu di lain sisi Tuti menjadi sasaran untuk ditagih; membawa pria yang

akan menjadi calon suaminya.

Tuti merasa serangan paman dan bibinya itu sangat mengenai hatinya dan

pandangan mereka ia samakan dengan lembing tajam yang menusuknya sehingga

membuatnya sesak dan tidak dapat menjawab mereka. Di sini pembaca menjadi

paham suasana hati Tuti.

3. “Laksana hidup di surgalah baginya yang suka akan warna dan kepermaian,

melancong-lancong di sekitar rumah sakit itu.” (Alisjahbana, 1981:111)

Penggunaan majas simile pada kutipan tersebut adalah untuk menyamakan

suasana berjalan-jalan di taman rumah sakit dengan kehidupan di surga. Bila tidak

menggunakan majas ini, pembaca akan kurang bisa merasakan bosannya hidup di

23
rumah sakit bagi Maria yang suka akan keramaian.

4.2.3 Antitesis

Majas antitesis termasuk dalam majas pertentangan yang berupa paduan

dua kata yang berlawanan dalam susunan kata yang sejajar. Majas ini sering kali

digunakan untuk membandingkan dua hal yang berlawanan.

1. “Tetapi perbedaan sifat dan pekerti yang sebagai siang dan malam itu…”

(Alisjahbana, 1981:8)

Majas antitesis dalam kutipan tersebut menjelaskan dengan singkat namun

tepat sifat Tuti dan Maria yang berbeda jauh yang diibaratkan bagai siang dan

malam. Apalagi pada kalimat-kalimat sesudahnya dijabarkan mengenai

perbedaan-perbedaan sifat mereka tersebut. Di sini pembaca dibawa untuk

mengenali karakter dari tokoh-tokoh utama. Dengan pengenalan ini pembaca akan

dapat memasuki bagian-bagian selanjutnya dengan lebih baik.

2. “Dalam perasaan bahagia sekejap itu cepat gembira naik-turun dadanya.”

(Alisjahbana, 1981:120)

Ketika sedang putus asa karena penyakitnya tak kunjung sembuh, Maria tiba-

tiba teringat akan Yusuf yang berjanji akan menyembuhkannya bila sudah menjadi

dokter. Dari kutipan tersebut bisa dilihat bahwa Maria menjadi begitu gembira,

terlihat dari gerak tubuhnya.

24
4.2.4 Repetisi

Majas repetisi adalah salah satu dari majas penegas, disebut penegas

karena terjadi pengulangan kata atau frasa yang sama dalam satu kalimat.

1. “Bukanlah guna-guna, bukanlah mantera, bukanlah yang gaib-gaib, yang dapat

dipakai untuk melayani laki-laki. Tetapi perempuan yang menurut selalu akan

dicintai oleh suaminya.” (Alisjahbana, 1981:34)

Majas repetisi dalam kutipan tersebut ingin menceritakan bagaimana begitu

semangatnya Tuti dalam menyampaikan pidatonya dalam kongres. Kata 'bukanlah'

yang diulang hingga tiga kali itu mengisyaratkan sebuah ketegasan dan dengan

majas ini pembaca bisa membayangkan kewibawaan Tuti dan kegeraman atau

semangat yang berkobar dalam suaranya dalam memperjuangkan aspirasi kaum

perempuan.

4.2.5 Hiperbola

Majas hiperbola merupakan bagian dari majas perbandingan. Penggunaan

gabungan kata yang memang sengaja dilebih-lebihkan atau dibesar-besarkan dari

sisi jumlah, bentuk, ukuran adalah ciri khas pada majas hiperbola.

1. “Baru habis ucapan ketua itu, memecahlah di tengah-tengah kesucian itu tepuk

orang amat riuhnya, sehingga gedung yang besar itu selaku bergegar.”

(Alisjahbana, 1981:32)

Majas hiperbola pada kutipan tersebut digunakan untuk menggambarkan

25
suasana gedung kongres Putri Sedar saat ketua pergerakan wanita tersebut selesai

berbicara dan yang antusias dan gembira menyambut Tuti untuk berpidato tentang

sikap perempuan baru.

2. “Maka gemurulah bunyi tepuk orang, menyatakan puasnya akan yang

dilihatnya itu.” (Alisjahbana, 1981:86)

Dalam kongres Pemuda Baru ditampilkan sebuah sandiwara yang ternyata

membuat semua penontonnya terpukau. Hal ini dipertegas dengan penggunaan

majas hiperbola untuk menggambarkan betapa ramainya para penonton bertepuk

tangan. Pembaca di sini dapat memahami antusiasme para peserta kongres

terhadap sandiwara tersebut.

4.2.6 Personifikasi

Majas personifikasi termasuk dalam majas perbandingan. Ciri dari majas

ini adalah membandingkan benda mati atau tidak dapat bergerak sehingga seperti

tampak bernyawa dan dapat berperilaku seperti manusia.

1. “Di gunung-gunung kabut yang tebal berkejar-kejaran, sangat cepat tiada habis-

habis lakunya…” (Alisjahbana, 1981:118)

Kabut dalam kutipan tersebut diceritakan sedang 'berkejar-kejaran' yang

menjelaskan suasana saat itu yang sedang hujan deras dan karenanya Maria jadi

teringat akan Yusuf. Suasana yang mendung itu juga membuatnya menjadi sayu

dan berpikir apakah dia akan sembuh atau tidak.

26
2. “Bau air yang rangsang, gemuruh bunyi ombak memecah dan pemandangan

kepada air yang putih-putih yang tiada berhenti-henti berkejar-kejaran dari

tengah...” (Alisjahbana, 1981:42)

Dari kutipan tersebut dijelaskan dengan begitu rinci keadaan laut di kampung

Yusuf yang membuat pembaca ikut bisa merasakan keindahannya. Apalagi air laut

di sana diceritakan sedang 'berkejar-kejaran' yang membuat pembaca ikut merasa

ingin 'berkejar-kejaran' pula di pantai.

4.2.7 Eksklamasio

Majas eksklamasio merupakan salah satu dari majas penegasan. Majas ini

mudah sekali dicari karena selalu menggunakan tanda seru sebagai penegas.

1. “Alangkah indah-indahnya!” katanya kepada dirinya sendiri. Tetapi pada saat

itu seakan-akan insyaf ia akan keganasannya menjatuhkan buah-buahan itu dari

tempat gantungnya…” (Alisjahbana, 1981:44)

Majas eksklamasio pada kutipan tersebut digunakan untuk menceritakan Yusuf

yang kagum melihat begitu banyaknya buah-buahan yang ranum di dekat pantai

sehingga membuatnya ingin memetiknya. Dengan majas ini, pembaca juga bisa

melihat bahwa Yusuf sangat senang dan menikmati liburan di kampungnya.

2. “Engkau tidak usah mempedulikan urusan saya! Saya tidak minta nasehatmu!”

(Alisjahbana, 1981:64)

Ketika Maria dan Tuti sedang bertengkar, Tuti berusaha untuk menasehati

27
adiknya tapi tidak berhasil. Malah keadaan semakin buruk seperti yang

digambarkan pada kutipan tersebut. Bila majas eksklamasio tidak digunakan,

maka ketegangan suasana pertengkaran itu akan kurang dirasakan oleh pembaca.

3. “Mendengar jawab Maria itu segera berubah muka Yusuf, keningnya berkerut

dan cemas menajam matanya memandang kepada gadis di sisinya itu, “Engkau

sakit Maria…!” (Alisjahbana, 1981:54)

Saat sedang berjalan-jalan di Dago, Yusuf merasa Maria tiba-tiba menjadi lesu

dan ketika ditanya ternyata Maria merasa kurang enak badan dan lesu. Sontak

Yusuf panik dan saat itulah majas eksklamasio terlihat jelas kegunaannya, yaitu

untuk mengajak pembaca turut merasakan kecemasan Yusuf.

4. “Dan pura-pura orang tiada menyangka berkatalah ia menyambut tunangannya,

“O, engkau Yusuf!” (Alisjahbana, 1981:92)

Kutipan tersebut menceritakan tentang Maria yang sesungguhnya sedang

menunggu kedatangan Yusuf. Tanda seru pada kutipan tersebut menegaskan

bahwa Maria tidak dapat menahan kegembiraannya saat melihat Yusuf walaupun

sesungguhnya ia berpura-pura seperti tidak menyangka kekasihnya itu akan

datang.

5. “Nantilah kita lihat, janganlah engkau cemas... Tetapi Maria, pabilakah habis

pelajaran tunanganmu itu. Katamu dahulu ia sudah tahun yang penghabisan!”

(Alisjahbana, 1981:121)

28
Dalam kutipan tersebut, diceritakan mengenai perawat yang sedang berusaha

membangkitkan semangat Maria lagi. Ciri pada majas eksklamasio yang berupa

tanda seru tersebut justru memberi kesan menghibur, mengingat tanda seru hanya

dikenal masyarakat sebagai nada membentak atau marah. Bila tidak ada majas ini,

pembaca tidak bisa membayangkan nada suara sang perawat dan jika tanda seru

diganti dengan tanda titik, kalimat akan terlihat datar.

4.2.8 Sarkasme

Majas sarkasme termasuk dalam majas sindiran yang seringkali digunakan

untuk menyindir, atau menyinggung seseorang atau sesuatu. Sarkasme dapat

digunakan untuk mengekspresikan rasa kesal dan marah dengan menggunakan

kata-kata kasar. Majas ini dapat melukai perasaan seseorang.

1. “Orang hendak memberi nasehat yang baik kepadanya. Tidak membalas guna.

Maumulah!” (Alisjahbana, 1981:64)

Maria yang tidak mau mendengarkan nasehatnya membuat Tuti marah

sehingga ia sudah tidak peduli lagi dengan adiknya dan itu bisa dilihat dari

kutipan tersebut.

Majas sarkasme pada kutipan tersebut dapat dilihat melalui ucapan Tuti yang

cukup kasar dan membuat pembaca bisa turut merasakan kekesalan dan

kemarahan Tuti.

29
4.2 Analisis Amanat

Novel Layar Terkembang memiliki banyak amanat yang bisa dipetik

melalui kisah serta konflik yang dihadapi oleh para tokoh. Selain itu di dalamnya

juga terdapat cukup banyak pesan kritik sosial. Berikut ini amanat yang bisa

dipetik antara lain;

a. Ikhlas dan tulus hati

Maria terserang penyakit malaria dan TBC, padahal saat itu ia sudah

bertunangan dengan Yusuf. Ia berjuang melawan penyakitnya dengan sekuat

tenaga namun Tuhan berkata lain. Menjelang ajalnya Maria berpesan kepada Tuti

dan Yusuf agar mereka berdua menikah. “Alangkah berbahagia saya rasanya di

akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan

berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini...”

(Alisjahbana, 1981:135)

Di situ terlihat jelas bahwa Maria dengan tulus dan ikhlas merelakan,

bahkan cenderung menganjurkan, mereka menikah dan itu merupakan permintaan

terakhir dari Maria. Maria menyadari bahwa Tuti, kakaknya, sulit membina

hubungan dengan laki-laki. Oleh sebab itu dia merasa bahagia saat melihat adanya

kedekatan hubungan Tuti dengan Yusuf.

b. Kasih sayang mengalahkan segalanya

Kongres Putri Sedar dilaksanakan tepat saat Maria sedang sakit keras

sehingga Tuti dihadapkan dengan pilihan adiknya atau organisasi tercintanya.

30
“Sebenarnya belum puas lagi ia bersua dengan teman-temanya
dan bukan main ingin hatinya menanti kongres itu sampai habis.
Tetapi tidak, liburnya tinggal hanya seminggu lagi dan yang
semingu itu hendak dipakainya untuk menggirangkan hati Maria.”
(Alisjahbana, 1981:117)

Namun, Tuti memutuskan untuk mengikuti kongres hanya sebentar saja

lalu segera pergi menjenguk Maria. Padahal dirinya masih ingin mengikuti

kongres sampai selesai, tapi karena rasa sayang pada adiknya, ia rela

meninggalkan kongres tersebut.

c. Di balik kelebihan, terdapat kekurangan

Di dalam novel ini Tuti digambarkan sebagai wanita yang memegang

teguh prinsip bahwa perempuan tidak boleh bergantung kepada laki-laki. Tetapi

setelah pertengkarannya dengan Maria, pikirannya menjadi terbuka dan

pendiriannya mulai goyah.

“Tidak, tidak, ia tidak iri kepada adiknya. Ia tidak akan hendak


menghambakan dirinya kepada laki-laki serupa Maria. Biar seumur
hidupnya ia hidup seorang diri. Tetapi dalam ia melawan perasaan
yang menggelombang di dalam jiwanya yang hasrat tak tentu yang
dihasratkan itu, selaku terdengar di telinganya suara...” (Alisjahbana,
1981:70)

“Di dalam penyerahannya yang lemah bunyinya itu terasa


kepadanya terkandung suara alam yang dahsyat, yang tiada
berbanding dengan tenaganya yang lemah.” (Alisjahbana, 1981:71)

Dengan ini terlihat jelas bahwa sesempurna apapun sifat atau sikap kita,

pasti di balik itu terdapat kekurangan. Sebab tidak ada manusia yang sempurna.

31
d. Menjalani hidup harus dengan semangat

Setiap orang yang sedang sakit kadang merasa lemah dan tidak berguna.

Begitu pula dengan Maria. Semenjak ia sakit, ia menjadi kehilangan semangat.

Hal itu berbeda sekali dengan sifatnya yang biasa. “Maria, engkau mesti kuat.

Engkau mesti girang selalu. Jangan diturutkan hati iba. Lawan rasa kesepian

engkau mesti lekas baik lagi.” (Alisjahbana, 1981:134)

Dalam 'keterpurukan' Maria tersebut, Tuti dan Yusuf setia menemani dan

menyemangati. Hidup memang harus terus dijalani dengan semangat meskipun

berbagai tantangan menghadang. Peran keluarga dan sanak saudara serta sahabat

dalam hal memberi semangat juga sangat penting.

e. Berpikirlah dulu sebelum mengambil keputusan

Saat Supomo menyatakan cintanya kepada Tuti, Tuti sempat mengalami

pergolakan batin karena ia merasa bimbang dan ragu. Namun ia memutuskan

untuk berpikir matang-matang terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan.

“Sebentar serasa tidak mungkin tidak ia harus menerima


permintaan Supomo itu, sebab kesempatan yang serupa itu tiada
akan datang lagi. Tetapi sebentar ditangkapnya dirinyalah oleh
perasaan kelemahan. Ia tiada dapat cinta akan Supomo dengan
sepenuh-penuhnya hatinya, sebab Supomo tergambar kepadanya
hanya sebagai orang yang baik hati, yang tiada mempunyai sesuatu
kecakapan yang akan dapat dipujanya. Kalau ia menjadi istrinya,
maka perbuatannya itu bukanlah oleh karena cintanya kepada
Supomo, tetapi untuk melarikan dirinya dari perasaan
kehampaan dan kesepian.” (Alisjahbana, 1981:105)

Dari kutipan tersebut, terlihat jelas Tuti sangat bimbang dan tidak mau

32
dirinya menerima Supomo hanya karena ia takut tidak mendapat pasangan hingga

tua.

f. Wanita harus bangkit

Sebagai anggota pergerakan wanita, Putri Sedar, Tuti memiliki semangat

untuk memajukan kehidupan wanita pada zaman itu. Pidato yang disampaikannya

berisi tentang rendahnya derajat kaum wanita karena hanya menjadi hamba dari

laki-laki.

“Tetapi lebih-lebih dari segalanya haruslah kaum perempuan


sendiri insyaf akan dirinya dan berjuang untuk mendapat
penghargaan dan kedudukan yang lebih layak. Ia tiada boleh
menyerahkan nasibnya kepada golongan yang lain, apalagi...”
(Alisjahbana, 1981:37)

Tuti mengajak agar seluruh wanita bangkit dan membanting tulang untuk

mendapatkan haknya. Ia juga berharap agar Putri Sedar sebagai organisasi

pergerak wanita turut terlibat aktif. Di dalam konteks masa sekarang ini, peran

wanita dalam berbagai bidang sudah jauh lebih terasa. Wanita sudah tidak lagi

tertinggal dari laki-laki. Tentunya hal ini harus terus dipertahankan.

g. Perempuan harus memiliki pengetahuan yang luas

Tuti dalam pidatonya juga mengajak agar perempuan memperdalam

pengetahuannya dalam berbagai hal.

“Dalam bermacam-macam pekerjaan, jiwanya yang gelisah


dan pencari akan mendapat kepuasan. Ia akan menyerbukan
dirinya dalam dunia pengetahuan, ia akan turut menyusun dan
mengemudikan negeri, ia akan menjelmakan jiwanya dalam
seni, ia akan turut bekerja dan memimpin dalam bermacam-
macam pekerjaan dan perusahaan.” (Alisjahbana, 1981:38)

33
Dengan bertambahnya pengetahuan maka kesempatan kaum perempuan

untuk bangkit semakin besar sehingga perempuan juga dapat turut memajukan

negara dan melakukan berbagai macam pekerjaan.

h. Perempuan dan laki-laki sederajat

“Demikianlah perempuan yang dicita-citakan oleh Putri Sedar


bukanlah perempuan yang berdiri dalam masyarakat sebagai
hamba dan sahaya, tetapi sebagai manusia yang sejajar dengan
laki-laki, yang tidak usah takut dan minta dikasihani. Ya,
pendeknya seratus persen manusia bebas dalam segala hal.”
(Alisjahbana, 1981:38)

Pada zaman itu perempuan dianggap memiliki kedudukan yang lebih

rendah dibanding laki-laki. Dalam kutipan di atas dikatakan bahwa perempuan

memiliki hak untuk menjadi manusia bebas yang memiliki kedudukan sejajar

dengan laki-laki.

i. Keadilan harus ditegakkan

Derajat perempuan yang rendah membuat wanita kehilangan tempat

dalam masyarakat, seperti tidak mendapat kesempatan untuk bekerja di luar

rumah.

“... puncak kecerdasan dan kemajuan yang boleh dicapai oleh


perempuan telah diwatasi. Oleh itulah maka berabad-abad
perempuan takluk kepada laki-laki, dalam segala hal ia
bergantung. Maka itu kepada perempuan baru harus diberi
gelanggang yang lebih lebar dari lingkungan rumah dan
kerabatnya saja agar dapat mengembangkan rohani- jasmaninya
sesempurna-sempurnanya.” (Alisjahbana, 1981:116-117)

Ketidakadilan inilah yang harus ditegakkan dan karena itu perempuan

34
harus diberi kesempatan untuk bekerja mengembangkan kemampuan seluas-

luasnya.

j. Perbedaan harus disyukuri

Tuti dan Maria dalam novel Layar Terkembang ini digambarkan sebagai

dua bersaudara yang memiliki sifat dan sikap yang sangat berbeda.

“Teristimewa sesudah bunda mereka berpulang dua tahun yang


lalu, sehingga tinggallah mereka bertiga saja dengan ayah mereka,
kedua belah pihaknya berdaya-upaya memaklumi dan
menghargai masing-masing. Tuti berusaha sedapat-dapatnya
menggantikan kedudukan dan pekerjaan bundanya. Sekalian
pekerti dan kelakuan adiknya itu dicobanya menerimanya dan
menyesuaikannya dengan hatinya meskipun hal itu tidak dapat
dalam segala hal...” (Alisjahbana, 1981:9)

Namun dalam kutipan di atas terlihat jelas bahwa perbedaan tersebut

dapat diatasi dan malah menimbulkan sikap toleransi juga saling menerima di

antara mereka.

35
BAB V

PENUTUP

Setelah menganalisis gaya bahasa dan amanat dalam novel Layar

Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana, penulis akan mengakhiri karya tulis

ini dengan menuliskan kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan

pada bab I dan menyampaikan saran.

5.1 Kesimpulan

1. Setelah menganalisis gaya bahasa yaitu majas, penulis dapat

menyimpulkan bahwa majas yang digunakan dalam novel Layar

Terkembang ini kurang lebih ada delapan majas. Dari majas yang penulis

jelaskan di sini mungkin ada yang terlewat dan tidak disebutkan oleh

penulis. Namun secara keseluruhan delapan majas ini sudah mencakup

semua gaya bahasa dalam novel ini.

Menurut penulis majas yang menonjol dan sering digunakan adalah majas

inversi, majas eksklamasio, dan majas simile. Meskipun perbedaan jumlah

contoh yang diberikan penulis tiap majas tidak terlalu dominan, tetapi bila

mencantumkan semuanya maka akan terlihat perbedaan jumlahnya.

Secara keseluruhan gaya bahasa yang digunakan Sutan Takdir Alisjahbana

memang terlihat tidak lazim karena bila dilihat sekilas seperti bahasa

Melayu. Kalimat-kalimat dan dialog-dialog para tokoh tersusun rapi

36
bagaikan pantun. Namun di dalamnya ternyata terdapat banyak sekali

penggunaan majas.

Penggunaan majas inilah yang membuat cerita menjadi menarik bila

pembaca bisa betul-betul membayangkan dan memahaminya.

Penulis juga bisa menyimpulkan bahwa gaya bahasa dalam novel ini

menjadi salah satu ciri khas kuat yang membuat pembaca sangat menyukai

novel ini.

2. Novel Layar Terkembang memiliki banyak amanat yang bisa dipetik dan

penulis merangkumnya menjadi sepuluh amanat. Dari novel ini tersirat

jelas bahwa derajat perempuan pada zaman itu masih rendah sehingga Tuti

sebagai tokoh pergerakan wanita sangat memperjuangkan hak kaumnya.

Oleh sebab itu amanat dalam novel ini didominasi oleh pesan kritik sosial.

Secara keseluruhan amanat utama dalam novel ini adalah perempuan harus

berjuang untuk mendapatkan haknya yang saat itu lebih banyak diberi

kepada laki-laki.

Selain itu amanat utama lainnya adalah bahwa perbedaan yang tidak

menghalangi apapun sebab dari awal cerita sudah dijelaskan mengenai

perbedaan sifat dan sikap dari Maria dan Tuti yang justru menjadi ciri khas

tersendiri bagi novel ini.

5.2 Saran

Setiap karya fiksi pasti memiliki sebuah pesan yang dalam dan dapat

37
dinikmati oleh semua kalangan masyarakat. Demikian pula dengan Novel Layar

Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana ini. Oleh sebab itu penulis sangat

menganjurkan pembaca untuk membaca novel ini.

Sebagai salah satu karya sastra yang paling terkenal di Indonesia dan

menjadi salah satu buku wajib untuk bacaan sastra di Sekolah Menengah Pertama

(SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) novel ini menarik karena para

pembaca diajak untuk belajar memahami kondisi sosial masyarakat Indonesia di

era tahun 1930-an dan menimba pelajaran darinya.

Selain itu nilai moral yang terkandung dalam novel ini banyak dan dapat

bermanfaat bagi para pembaca, terutama tentang kodrat dan pergerakan wanita

pada zaman itu. Dengan ini pembaca diharapkan untuk lebih menghargai kaum

hawa dan tidak merendahkan mereka karena pada dasarnya kodrat perempuan dan

laki-laki adalah sama.

Untuk para pembaca terutama generasi muda, penulis berharap agar

generasi muda tertarik dan mencoba untuk membaca karya sastra yang ternyata

sangat menarik dan memiliki makna yang dalam. Memang akan ada kesulitan saat

awal membacanya mengingat adanya jurang perbedaan zaman yang cukup lebar

antara penulis dengan pembaca. Perbedaan ini menyebabkan kesulitan dalam

memahami latar belakang sosial budaya saat novel ditulis dan juga dalam

memahami kalimat yang digunakan. Namun seiring dengan makin banyaknya

halaman yang dibaca, semakin pembaca akan dapat memahaminya.

Sebagai kata penutup, penulis ingin berterima kasih kepada para pembaca

yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk membaca karya tulis ini.

38
Semoga karya tulis ini pada akhirnya dapat memberikan inspirasi, menjadi

referensi yang baik dan membantu para pembaca yang membutuhkan.

39
DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, Sutan Takdir. 1981. Layar Terkembang. Jakarta. Balai Pustaka

Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta. Gajah Mada


University Press

http://eprints.undip.ac.id/40985/3/BAB_III.pdf

https://id.wikipedia.org/wiki/Sutan_Takdir_Alisjahbana

https://en.wikipedia.org/wiki/Layar_Terkembang

https://khaerulsobar.wordpress.com/pengetahuan-umum/kritik-sosial-terhadap-
karya-sastra/

https://id.wikipedia.org/wiki/Majas

http://www.kelasindonesia.com/2015/05/pengertian-dan-contoh-majas-sindiran-
lengkap.html

http://www.kelasindonesia.com/2015/03/pengertian-dan-contoh-majas-hiperbola-
lengkap.html

http://www.ilmusiana.com/2015/05/majas-personifikasi-pengertian-dan.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Sarkasme

40
LAMPIRAN

Data Buku

Judul : Layar Terkembang

Pengarang : Sutan Takdir Alisjahbana

Penerbit : PT Balai Pustaka (Persero)

Tahun terbit : 1936

Cetakan ke : 24

Harga Buku : Rp 47.000

Tebal buku : 139 halaman

Nomor ISBN: 978-979-407-065-9

41
Profil Pengarang

Sutan Takdir Alisjahbana (STA) lahir di Natal, Sumatera Utara pada

tanggal 11 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86

tahun.

Saat kecil STA bukan seorang kutu buku melainkan seorang yang suka

bepergian dan aktif dalam kegiatan politik. Ia merupakan salah seorang pendiri

Universitas Indonesia.

Setelah lulus dari sekolah dasar , STA sering pergi ke Bandung dan

menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa ke Sumatera. Pengalaman

ini yang membantunya untuk menuliskan perjalanan Yusuf, salah satu karakter di

dalam salah satu bukunya yang paling terkenal yaitu Layar Terkembang.

Ia yang pertama kali menulis Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)

dipandang dari segi Indonesia, yang mana masih dipakai sampai sekarang. Serta

Kamus Istilah yang berisi istilah-istilah baru yang dibutuhkan oleh negara baru

yang ingin mengejar modernisasi dalam berbagai bidang.

42
KARYA-KARYA LAIN OLEH SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA

43

Anda mungkin juga menyukai