Anda di halaman 1dari 5

Review Film : Adam

OPINI
Dee Dee
|  12 Juni 2010  |  09:40

418

47

5 dari 7 Kompasianer menilai Menarik.

Adam, adalah nama seorang pria penderita asperger syndrome, sejenis penyakit autisme. Namun
penderita asperger pada umumnya tidak mengalami kesulitan dalam berbicara dan bertingkah
laku, seperti yang ditemukan dalam identifikasi penderita autisme lainnya. Para penderita
asperger syndrome hanya mengalami kendala dalam berempati. Mereka tidak mengerti kalimat-
kalimat bermakna ironi, sarkasme atau bahasa slang. Mereka hanya mengerti arti kata dan
kalimat sesuai yang tertera di kamus. Mereka tidak bisa memahami ekspresi lawan bicaranya,
sulit berkomunikasi dengan orang baru. Cenderung pemalu dan kikuk, serta tidak nyaman dalam
keramaian.

Film dibuka oleh kisah Adam Raki, diperankan oleh Hugh Dancy, yang baru saja kehilangan
ayahnya. Adam yang dulu hanya hidup berdua dengan sang ayah, sekarang harus bertahan hidup
sendiri dengan penyakitnya. Sampai kemudian Adam memiliki tetangga baru, seorang
perempuan cantik bernama Beth Buchwald, yang diperankan oleh Rose Byrne.

Dan sejak itulah hidup Adam berubah. Bagaimana kebesaran hati Beth dalam mencintai
seseorang yang bahkan tidak bisa memahami perasaannya. Kesulitan berkomunikasi diantara
mereka memang menjadi kendala, tapi Beth yang berprofesi sebagai guru TK, dengan
kesabarannya pelan-pelan berhasil membantu Adam dengan masalahnya.

Ada beberapa adegan yang menurut saya cukup menarik dan menghibur, misalnya pada saat
pertama kali Adam mengungkapkan ketertarikannya pada Beth, setelah malam sebelumnya
mereka menghabiskan waktu melihat beberapa ekor rakun, yang hidup di central park New York.
Adam berkata seperti ini,

“Do you, sexually  attracted to me? Cause I did, when we were in the park last night.”

Beth yang tidak terbiasa mendengar kalimat seperti itu awalnya merasa agak tersinggung.
Barulah setelah Adam menjelaskan tentang penyakitnya, Beth sedikit demi sedikit mulai bisa
mengerti.

Ada juga adegan dimana Beth ingin bercinta, tapi Adam kesulitan memahaminya. Beth dengan
terang-terangan mengarahkan tangan Adam ke payudaranya (kok vulgar sih? haha) sambil
berkata,

“This, is what I mean.”

Dan ada beberapa adegan lagi yang sebenarnya cukup sedih. Seperti ketika Adam harus dipecat
karena terjadi pengurangan karyawan di kantornya. Atau bagaimana Adam berjuang keras untuk
bisa bersikap seperti orang normal dengan bantuan Beth. Adam harus bisa menyembunyikan
penyakitnya untuk menghadapi tes wawancara saat melamar pekerjaan.

Pada pertengahan film, diceritakan Beth mengalami permasalah keluarga ketika Ayahnya
menjadi terdakwa sebuah kasus dan harus dipenjara. Beth membutuhkan Adam untuk
menenangkannya, tapi Adam dengan keterbatasannya, tidak bisa melakukan itu. Adam hanya
bisa memikirkan dirinya sendiri. Dia tidak bisa memberikan afeksi apa-apa tanpa diminta.

Ayah Beth sendiri tidak setuju anaknya meneruskan hubungan dengan Adam. Tuan Buchwald
berpendapat Beth tidak akan bisa bahagia dengan lelaki yang hanya memikirkan dirinya sendiri.
Sementara Beth masih bersikeras ingin ikut dengan Adam yang baru saja mendapat pekerjaan
dan harus pindah ke California.

Ending film yang disutradrai Max Mayer ini sebenarnya cukup mudah untuk ditebak. Tapi yang
membuat film pemenang Sundance Film Festival 2009 ini begitu istimewa menurut saya adalah
pelajaran yang bisa kita ambil dari hubungan Adam dan Beth. Sejauh apa kita bisa mencintai
seseorang. Benarkah itu cinta, atau hanya rasa ketergantungan dan butuh, tanpa kita sadari (dan
saya yakin banyak diantara kita yang belum paham benar perbedaannya. haha).

Sebagai soundtrack, film ini mengambil beberapa lagu dari sebuah band Amerika, The Weepies
dan seorang penyanyi pria, Joshua Radin. Ada dua lagu yang paling saya suka di lagu ini. Yang
pertama adalah lagu dari The Weepies yang berjudul Can’t Go Back Now, dan kedua adalah lagu
dari Joshua Radin berjudul Someone Else’s Life. Lagu yang easy listening dengan lirik
menyentuh tentang hidup dan yaa tentu saja, cinta.

Saya memang bukan pengamat film yang rekomendasinya bisa diandalkan. Tapi kalau saya
boleh sarankan, film ini sangat, sangat layak untuk ditonton. Sinematografi yang sangat baik,
serta plot cerita yang tidak bertele-tele membuat durasi selama 90 menit tidak terasa lama. Film
ini juga cukup membuat kita berfikir, jadi siap-siap sedikit mengerutkan kening ya.

Dan.. Selamat menonton!

Medan, 12 Juni 2010

sumpah ini pertama kali buat review film, gak terima kritik ya! haha

Tags: apapasajalah

Review Film : Adam


Adam adalah nama seorang pria penderita asperger syndrome, sejenis penyakit autisme. Namun
penderita asperger pada umumnya tidak mengalami kesulitan dalam berbicara dan bertingkah
laku, seperti yang ditemukan dalam identifikasi penderita autisme lainnya. Para penderita
asperger syndrome hanya mengalami kendala dalam berempati. Mereka tidak mengerti kalimat-
kalimat bermakna ironi, sarkasme atau bahasa slang. Mereka hanya mengerti arti kata dan
kalimat sesuai yang tertera di kamus. Mereka tidak bisa memahami ekspresi lawan bicaranya,
sulit berkomunikasi dengan orang baru. Cenderung pemalu dan kikuk, serta tidak nyaman dalam
keramaian.

Film dibuka oleh kisah Adam Raki, diperankan oleh Hugh Dancy, yang baru saja kehilangan
ayahnya. Adam yang dulu hanya hidup berdua dengan sang ayah, sekarang harus bertahan hidup
sendiri dengan penyakitnya. Sampai kemudian Adam memiliki tetangga baru, seorang
perempuan cantik bernama Beth Buchwald, yang diperankan oleh Rose Byrne.

Dan sejak itulah hidup Adam berubah. Bagaimana kebesaran hati Beth dalam mencintai
seseorang yang bahkan tidak bisa memahami perasaannya. Kesulitan berkomunikasi diantara
mereka memang menjadi kendala, tapi Beth yang berprofesi sebagai guru TK, dengan
kesabarannya pelan-pelan berhasil membantu Adam dengan masalahnya.

Ada beberapa adegan yang menurut saya cukup menarik dan menghibur, misalnya pada saat
pertama kali Adam mengungkapkan ketertarikannya pada Beth, setelah malam sebelumnya
mereka menghabiskan waktu melihat beberapa ekor rakun, yang hidup di central park New York.
Adam berkata seperti ini,

“Do you, sexually  attracted to me? Cause I did, when we were in the park last night.”

Beth yang tidak terbiasa mendengar kalimat seperti itu awalnya merasa agak tersinggung.
Barulah setelah Adam menjelaskan tentang penyakitnya, Beth sedikit demi sedikit mulai bisa
mengerti.

Ada juga adegan dimana Beth ingin bercinta, tapi Adam kesulitan memahaminya. Beth dengan
terang-terangan mengarahkan tangan Adam ke payudaranya (kok vulgar sih? haha) sambil
berkata,

“This, is what I mean.”


Dan ada beberapa adegan lagi yang sebenarnya cukup sedih. Seperti ketika Adam harus dipecat
karena terjadi pengurangan karyawan di kantornya. Atau bagaimana Adam berjuang keras untuk
bisa bersikap seperti orang normal dengan bantuan Beth. Adam harus bisa menyembunyikan
penyakitnya untuk menghadapi tes wawancara saat melamar pekerjaan.

Pada pertengahan film, diceritakan Beth mengalami permasalah keluarga ketika Ayahnya
menjadi terdakwa sebuah kasus dan harus dipenjara. Beth membutuhkan Adam untuk
menenangkannya, tapi Adam dengan keterbatasannya, tidak bisa melakukan itu. Adam hanya
bisa memikirkan dirinya sendiri. Dia tidak bisa memberikan afeksi apa-apa tanpa diminta.

Ayah Beth sendiri tidak setuju anaknya meneruskan hubungan dengan Adam. Tuan Buchwald
berpendapat Beth tidak akan bisa bahagia dengan lelaki yang hanya memikirkan dirinya sendiri.
Sementara Beth masih bersikeras ingin ikut dengan Adam yang baru saja mendapat pekerjaan
dan harus pindah ke California.

Ending film yang disutradrai Max Mayer ini sebenarnya cukup mudah untuk ditebak. Tapi yang
membuat film pemenang Sundance Film Festival 2009 ini begitu istimewa menurut saya adalah
pelajaran yang bisa kita ambil dari hubungan Adam dan Beth. Sejauh apa kita bisa mencintai
seseorang. Benarkah itu cinta, atau hanya rasa ketergantungan dan butuh, tanpa kita sadari (dan
saya yakin banyak diantara kita yang belum paham benar perbedaannya. haha).

Sebagai soundtrack, film ini mengambil beberapa lagu dari sebuah band Amerika, The Weepies
dan seorang penyanyi pria, Joshua Radin. Ada dua lagu yang paling saya suka di lagu ini. Yang
pertama adalah lagu dari The Weepies yang berjudul Can’t Go Back Now, dan kedua adalah lagu
dari Joshua Radin berjudul Someone Else’s Life. Lagu yang easy listening dengan lirik
menyentuh tentang hidup dan yaa tentu saja, cinta.

Saya memang bukan pengamat film yang rekomendasinya bisa diandalkan. Tapi kalau saya
boleh sarankan, film ini sangat, sangat layak untuk ditonton. Sinematografi yang sangat baik,
serta plot cerita yang tidak bertele-tele membuat durasi selama 90 menit tidak terasa lama. Film
ini juga cukup membuat kita berfikir, jadi siap-siap sedikit mengerutkan kening ya.

Dan.. Selamat menonton!

Medan, 12 Juni 2010

Anda mungkin juga menyukai