Anda di halaman 1dari 10

5 Prinsip Kerja Seorang Muslim (Etos Kerja dalam Islam)

Muhammad Hamzah

1. Kerja, aktifitas, ‘amal dalam Islam adalah perwujudan rasa syukur kita
kepada ni’mat Allah SWT. (QS. Saba’ [34] : 13)

13/‫ر }سبأ‬
ُ ‫شُكو‬
ّ ‫ي ال‬
َ ‫عَباِد‬
ِ ‫ن‬
ْ ‫ل ّم‬
ٌ ‫شْكًرا َوَقِلي‬
ُ ‫ل َداُووَد‬
َ ‫عَمُلوا آ‬
ْ ‫}ا‬

2. Seorang Muslim hendaknya berorientasi pada pencapaian hasil: hasanah fi


ad-dunyaa dan hasanah fi al-akhirah – QS. Al-Baqarah [002] : 201)

201/‫ر }البقرة‬
ِ ‫ب الّنا‬
َ ‫عَذا‬
َ ‫سَنًة َوِقَنا‬
َ‫ح‬
َ ‫خَرِة‬
ِ ‫سَنًة َوِفي ال‬
َ‫ح‬
َ ‫ل َرّبَنا آِتَنا ِفي الّدْنَيا‬
ُ ‫}ِوِمْنُهم ّمن َيُقو‬

3. Dua karakter utama yang hendaknya kita miliki: al-qawiyy dan al-amiin. QS.
Al-Qashash [28] : 26

26/‫ن }القصص‬
ُ ‫لِمي‬
َْ ‫ي ا‬
ّ ‫ت اْلَقِو‬
َ ‫جْر‬
َ ‫سَتْأ‬
ْ ‫نا‬
ِ ‫خْيَر َم‬
َ ‫ن‬
ّ ‫جْرُه ِإ‬
ِ ‫سَتْأ‬
ْ ‫تا‬
ِ ‫حَداُهَما َيا َأَب‬
ْ ‫ت ِإ‬
ْ ‫}َقاَل‬

Al-qawiyy merujuk kepada : reliability, dapat diandalkan. Juga berarti,


memiliki kekuatan fisik dan mental (emosional, intelektual, spiritual)

Sementara al-amiin, merujuk kepada integrity, satunya kata dengan perbuatan


alias jujur, dapat memegang amanah.
4. Kerja keras. Ciri pekerja keras adalah sikap pantang menyerah; terus
mencoba hingga berhasil. Kita dapat meneladani ibunda Ismail a.s. Sehingga
seorang pekerja keras tidak mengenal kata “gagal” (atau memandang
kegagalan sebagai sebuah kesuksesan yang tertunda)

5. Kerja dengan cerdas. Cirinya: memiliki pengetahuan dan keterampilan;


terencana; memanfaatkan segenap sumberdaya yang ada. Seperti yang
tergambar dalam kisah Nabi Sulaeman a.s.

Jika etos kerja dimaknai dengan semangat kerja, maka etos kerja seorang
Muslim bersumber dari visinya: meraih hasanah fid dunya dan hasanah fi al-
akhirah.

Jika etos kerja difahami sebagai etika kerja; sekumpulan karakter, sikap,
mentalitas kerja, maka dalam bekerja, seorang Muslim senantiasa
menunjukkan kesungguhan

http://mhamzah.multiply.com/journal/item/18

Etos Kerja Dalam Pandangan Islam


Januari 6, 2007 oleh Moderator

Oleh Asep Setiawan

I. Pendahuluan

Etos kerja dalam arti luas menyangkut akan akhlak dalam pekerjaan. Untuk bisa
menimbang bagaimana akhlak seseorang dalam bekerja sangat tergantung dari cara
melihat arti kerja dalam kehidupan, cara bekerja dan hakikat bekerja. Dalam Islam, iman
banyak dikaitkan dengan amal. Dengan kata lain, kerja yang merupakan bagian dari amal
tak lepas dari kaitan iman seseorang.

Idealnya, semakin tinggi iman itu maka semangat kerjanya juga tidak rendah. Ungkapan
iman sendiri berkaitan tidak hanya dengan hal-hal spiritual tetapi juga program aksi.
Artikel ini sendiri akan melihat pertama, kerja sebagai manifestasi program mewujudkan
tujuan hidup di muka bumi yakni mencari Ridha Allah dengan mewujudkan diri sebagai
khalifah di muka bumi. Kedua, karakteristik pekerjaan di masa datang yang diperlukan
umat Islam.

II. Manifestasi Mencari Ridha Allah

Sebenarnya umat Islam termasuk beruntung karena semua pedoman dan panduan sudah
terkodifikasi. Kini tinggal bagaiman menterjemahkan dan mengapresiasikannya dalam
kegiatan harian, mingguan dan bulanan. Jika kita pandang dari sudut bahwa tujuan hidup
itu mencari Ridha Allah SWT maka apapun yang dikerjakannya, apakah di rumah, di
kantor, di ruang kelas, di perpustakaan, di ruang penelitian ataupun dalam kegiatan
kemasyarakatan, takkan lepas dari kerangka tersebut.

Artinya, setiap pekerjaan yang kita lakukan, dilaksanakan dengan sadar dalam kerangka
pencapaian Ridha Allah. Cara melihat seperti ini akan memberi dampak, misalnya, dalam
kesungguhan menghadapi pekerjaan. Jika seseorang sudah meyakini bahwa Allah SWT
sebagai tujuan akhir hidupnya maka apa yang dilakukannya di dunia tak dijalankan
dengan sembarangan. Ia akan mencari kesempurnaan dalam mendekati kepada Al Haq. Ia
akan mengoptimalkan seluruh kapasitas dan kemampuan inderawi yang berada pada
dirinya dalam rangka mengaktualisasikan tujuan kehidupannya. Ini bisa berarti bahwa
dalam bekerja ia akan sungguh-sungguh karena bagi dirinya bekerja tak lain adalah
ibadah, pengabdian kepada Yang Maha Suci. Lebih seksama lagi, ia akan bekerja –
dalam bahasa populernya – secara profesional.

Apa sebenarnya profesional itu ? Dalam khasanah Islam mungkin bisa dikaitkan dengan
padanan kata ihsan. Setiap manusia, seperti diungkapkan Al Qur’an, diperintahkan untuk
berbuat ihsan agar dicintai Allah. Kata Ihsan sendiri merupakan salah satu pilar
disamping kata Iman dan Islam. Dalam pengertian yang sederhana, ihsan berarti kita
beribadah kepada Allah seolah-olah Ia melihat kita. Jikalau kita memang tidak bisa
melihat-Nya, tetapi pada kenyataannya Allah menyaksikan setiap perbuatan dan desir
kalbu kita. Ihsan adalah perbuatan baik dalam pengertian sebaik mungkin atau secara
optimal. Hal itu tercermin dalam Hadis Riwayat Muslim yang menuturkan sabda
Rasulullah SAW : Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu. Karena
itu jika kamu membunuh, maka berihsanlah dalam membunuh itu dan jika kamu
menyembelih, maka berihsanlan dalam menyembelih itu dan hendaknya seseorang
menajamkan pisaunya dan menenangkan binatang sembelihannya itu.

Menurut Nurcholis Madjid, dari konteks hadis itu dapat disimpulkan bahwa ihsan berarti
optimalisasi hasil kerja dengan jalan melakukan pekerjaan itu sebaik mungkin, bahkan
sesempurna mungkin. “Penajaman pisau untuk menyembelih” itu merupakan isyarat
efisiensi dan daya guna yang setinggi-tingginya. Allah sendiri mewajibkan ihsan atas
segala sesuatu seperti tercermin dalam Al Qur’an. Yang membuat baik, sebaik-baiknya
segala sesuatu yang diciptakan-Nya. (32:7). Selanjutnya Allah juga menyatakan telah
melakukan ihsan kepada manusia, kemudian agar manusia pun melakukan ihsan. Dan
carilah apa yang dianugerahkan kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan kebahagiaan dunia, dan berbuat ihsanlah kepada orang lain
sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu , dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan. (28:77).

Dari keterangan hadis dan uraian Al Qur’an jelaslah bahwa setiap Muslim harus menjadi
seorang pekerja yang profesional. Dengan demikian ia melaksanakan salah satu perintah
Allah untuk berbuat ihsan dan juga mensyukuri karunia Allah berupa kekuatan akal dan
fisiknya yang diberikan sebagai bekal dalam bekerja. Mengabaikan potensi akal dan fisik
ini atau tidak “menajamkannya” bisa bermakna tidak mensyukuri nikmat dan karunia
Ilahi Rabbi.

III. Karakteristik pekerjaan mendatang

Berbagai trend telah memperlihatkan bahwa bentuk pekerjaan mendatang tak hanya
mengandalkan fisik tetapi juga otak. Al Qur’an dalam berbagai ayat sudah mengajak
manusia untuk berpikir, membandingkan dan menggunakan akal dalam menghayati
kehidupan dan mengarungi samudera kehidupan. Peter Drucker, salah seorang pakar
manajemen, tahun 1960-an sudah memperingatkan akan datangnya “Knowledge
Society”.

Dalam masyarakat jenis ini banyak bentuk kegiatan ekonomi dan pekerjaan dilakukan
berdasarkan kepadatan pengetahuan. Ia memberi contoh mengetik. Dulua dengan
memencet tuts orang bisa membuat kalimat, tetapi sekarang dengan adanya komputer
sebelum memencet tuts harus dimiliki serangkaian pengetahuan cara bekerja perangkat
lunaknya.

Pakar manajemen lainnya seperti Charles Handy, Michael Hammer atau Gary Hamel
ataupun futurolog seperti John Naisbit dan Alvin Tovler sudah meramalkan jauh-jauh
hari akan datangnya jenis pekerjaan otak ini. Dalam ungkapan Handy, aset sebuah
organisasi tidak lagi terletak pada properti atau benda-benda fisik lainnya tetapi pada
sumber daya manusia. Dan inti dari sumber daya manusia itupun adalah otaknya.

Sebenarnya kalau kita cermat, Al Quran sudah mengisyaratkan akan lahirnya masyarakat
pengetahuan itu dengan ungkapan di ayat pertama, Iqra. Hanya tinggal manifestasi saja
bagaimana Iqra itu menjadi jalan kehidupan umat Islam, bukan sebagai jargon yang yang
dilafalkan.Membumikan istilah Iqra itulah merupakan tantangan umat Islam sehingga
tidak ketinggalan dalam budaya masyarakat pengetahuan.

Mengutip istilah Deputi PM Anwar Ibrahim, umat Islam itu harus mampu
menyumbangkan bagi peradaban yang hidup di dunia, sejajar dengan peradaban lainnya.
Dengan demikian etos kerja harus merupakan bagian dari tradisi umat Islam, bukan
tradisi masyarakat lain.

IV. Kesimpulan
Seruan akan etos kerja dalam Islam sebenarnya sudah banyak diungkapkan brebagai ayat
Al Quran atau diuraikan hadis. Kini saatnya menyadari makna al ihsan itu sehingga dari
kesadaran yang berdasarkan pengetahuan itu akan lahir sebuah budaya yang melihat
pekerjaan sebagai manifestasi pengabdian kepada Allah SWT.

Daftar Pustaka

Al Quran dan Terjemahnya

Gibson, Rowan, Rethinking the Future. London, Nicholas Brealy Publishing, 1997.

Ibrahim, Anwar, The Asian Renaissance.Singapore, Times BookInternational, 1996.

Iqbal, Sheikh Mohd, Misi Islam.Jakarta, Penerbit Gunung Jati, 1982.

Madjid, Nurcholis, Islam: Doktrin dan Peradaban.Jakarta, YayasanWakaf Paramadina,


1999

http://pustaka.wordpress.com/2007/01/06/48/

Etos
Kerja
Islam
Rabu, 10 Juni 2009 13:27

Beberapa tahun terkahir ini, kita sering


disuguhkan berbagai sikap dasar, dorongan dan
semangat kerja yang menghasilkan bermacam-
macam aktivitas kerja dengan keyakinan dan
tujuan yang beragam

Etos kerja yang berkembang saat ini, ternyata


lebih banyak didominasikan oleh konsep-konsep
yang bersifat materialistik (kebendaan). Konsep
yang hampa, tidak memiliki ruh batin yang paling
dalam dan jauh dari nilai-nilai Illahiyah. Orang
bekerja lebih didorong oleh semangat untuk menghasilkan kekayaan duniawi.

Kerja menurut aliran kapitalis-liberalis berpendapat bahwa kerja untuk mendapatkan uang
(Tylor dalam Ranupandoyo dan Husnah, 1992). Kerja merupakan suatu cara manusia
menyatakan harga diri, serta melihat harga diri (Drucker, 1978). Sedangkan menurut
Strauss dan Syles (1977) berpendapat bahwa manusia bekerja akan mendapatkan
kepuasan yang berujud kepuasan fisik dan rasa aman, kebutuhan sosial dan egoistik
(prestasi, otonomi dan pengetahuan).

berbeda dengan faham kapitalis-liberalis, menurut Islam, kerja adalah bagian ibadah.
Kerja yang dimaksud adalah kerja tidak dipandang dari dimensi material saja (uang,
jabatan dan status sosial). Melainkan kerja yang didasari oleh etos dan semangat
pengabdian kepada Allah, yaitu menjalankan perintahnya. Kerja adalah keyakinan
seorang muslim bahwa kerja berhubungan dengan tujuan hidupnya. yaitu memperoleh
ridlo Allah.

Islam adalah agama yang mengutamakan kerja, yaitu berhubungan dengan adanya
tanggung jawab pribadi yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat tanpa ada
pelimpahan pahala dan dosa kepada orang lain, dan berdasarkan apa yang telah diperbuat
oleh individu yang bersangkutan.

Islam secara tegas selalu menganjurkan seseorang untuk bekerja, tetapi kerja yang
dimaksud adalah kerja yang dibenarkan atau sesuai dengan akidah, etis dan moral yang
secara garis besar telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Hadits.

Beberapa norma atau etika bekerja tersebut antaralain:Mewajibkan manusia untuk bekerja
keras, memiliki tanggung jawab kerja tinggi, tekun dan menghargai waktu serta jujur.
Islam tidak membenarkan seseorang mencari kekayaan dengan jalan apa saja yang
dikehendakinya. Meskipun hasil kerja dan tujuan kerja tersebut dipergunakan
untukkebaikan, memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri dan keluarga, menjaga diri dari
pengangguran dan tindak kejahatan, menabung untuk hari tua dan hasrat meninggalkan
warisan untuk anak dan cucu, dan bekerja untuk kepentingan orang lain, jika ditempuh
dengan cara yang tidak baik maka hal ini tidak diperbolehkan (haram). Menurut islam
antara tujuan dan cara kerja harus sama baik (halal).

Dalam konteks inilah sangat relevan etos kerja Islam di terapkan dalam kehidupan
individu dan masyarakat, khususnya bangsa Indonesia yang sedang melaksanakan
pembangunan di segala aspek kehidupan: ekonomi, sosial budaya dan spiritual. Penerapan
nilai-nilai agamadiharapkan mampu menjadi bagian dan inti sistem dari nilai-nilai yang
ada dalam kerja bagi individu dan masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong
atau penggerak serta mengontrol dari tindakan-tindakan para anggota masyarakat untuk
tetap hidup dan bekerja sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam, terutama dikaitkan dengan
kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia adalah beragama Islam, yang
diharapkan mempunyai dampak yang langsung terhadap etos kerja individu dan
masyarakat.

Oleh: Muhadzib almuwafiq (Kudusterkini.com)


http://www.kudusterkini.com/Kolom/etoskerja.html

Etos Kerja
Dalam Islam
Sabtu, 28 Pebruari 2009
“Dialah Yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu
(kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. al-Mulk:15)

Islam menghendaki setiap individu hidup di tengah masyarakat secara layak sebagai
manusia, paling kurang ia dapat memenuhi kebutuhan pokok berupa sandang dan pangan,
memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahliannya, atau membina rumah tangga dengan
bekal yang cukup. Artinya, bagi setiap orang harus tersedia tingkat kehidupan yang sesuai
dengan kondisinya, sehingga ia mampu melaksanakan berbagai kewajiban yang
dibebankan Allah serta berbagai tugas lainnya. Untuk mewujudkan hal itu, Islam
mengajarkan, setiap orang dituntut untuk bekerja atau berusaha, menyebar di muka bumi,
dan memanfaatkan rezeki pemberian Allah SWT.

Kata “bekerja” dalam ayat di atas mengandung arti sebagai suatu usaha yang dilakukan
seseorang, baik sendiri atau bersama orang lain, untuk memproduksi suatu komoditi atau
memberikan jasa. Kerja atau berusaha merupakan senjata utama untuk memerangi
kemiskinan dan juga merupakan faktor utama untuk memperoleh penghasilan dan unsur
penting untuk memakmurkan bumi dengan manusia sebagai kalifah seizin Allah.

Ajaran Islam, menyingkirkan semua faktor penghalang yang menghambat seseorang


untuk bekerja dan berusaha di muka bumi. Banyak ajaran Islam yang secara idealis
memotivasi seseorang, seringkali menjadi kontra produktif dalam pengamalannya. Ajaran
“tawakkal” yang seringkali diartikan sebagai sikap pasrah tidaklah berarti meninggalkan
kerja dan usaha yang merupakan sarana untuk memperoleh rezeki. Nabi Muhammad
SAW, dalam sejumlah hadits, sangat menghargai “kerja”, seperti salah satu haditsnya
yang berbunyi, “Jika kalian tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Allah
akan memberi kalian rezeki seperti Dia memberi rezeki kepada burung yang terbang
tinggi dari sarangnya pada pagi hari dengan perut kosong dan pulang di sore hari dengan
perut kenyang.”

Hadits di atas sebenarnya menganjurkan orang untuk bekerja, bahkan harus meninggalkan
tempat tinggal pada pagi hari untuk mencari nafkah, bukan sebaliknya pasrah berdiam diri
di tempat tinggal menunggu tersedianya kebutuhan hidup. Hal ini dicontohkan oleh para
sahabat Rasulullah SAW yang berdagang lewat jalan darat dan laut dengan gigih dan ulet.
Mereka bekerja dan berusaha sesuai dengan kemampuan dan keahliannya masing-masing.

Dalam beberapa ayat di Al Qur’an, Allah telah menjamin rezeki dalam kehidupan
seseorang, namun tidak akan diperoleh kecuali dengan bekerja atau berusaha, antara lain
pada Surah Al-Jumu’ah ayat 10, dinyatakan; “Apabila telah ditunaikan Shalat, maka
bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung.”

Hal ini menunjukkan bahwa Islam menghendaki adanya etos kerja yang tinggi bagi
umatnya dalam memenuhi keinginannya, bukan semata-mata hanya dengan berdoa.
Bahkan untuk memotivasi kegiatan perdagangan (bisnis), Rasulullah SAW bersabda:
“Pedagang yang lurus dan jujur kelak akan tinggal bersama para nabi, siddiqin, dan
syuhada.” (HR Tirmidzi). Dan pada hadits yang lain Rasulullah SAW menyatakan bahwa:
“Makanan yang paling baik dimakan oleh seseorang adalah hasil usaha tangannya
sendiri.” (H.R. Bukhari)

Islam juga mengajarkan bahwa apabila peluang kerja atau berusaha di tempat tinggal asal
(kampung halaman) tertutup, maka orang-orang yang mengalami hal tersebut dianjurkan
merantau (hijrah) untuk memperbaiki kondisi kehidupannya karena bumi Allah luas dan
rezeki-Nya tidak terbatas di suatu tempat, sebagaimana Firman Allah SWT: “Barang siapa
berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang
luas dan rezeki yang banyak…...” (QS. an-Nisa’:100)

Ajaran Islam, sangat memotivasi seseorang untuk bekerja atau berusaha, dan menentang
keras untuk meminta-minta (mengemis) kepada orang lain. Islam tidak membolehkan
kaum penganggur dan pemalas menerima shadaqah, tetapi orang tersebut harus didorong
agar mau bekerja dan mencari rezeki yang halal sebagaimana hadits Rasulullah SAW
yang berbunyi, “Bila seseorang meminta-minta harta kepada orang lain untuk
mengumpulkannya, sesungguhnya dia mengemis bara api. Sebaiknya ia mengumpulkan
harta sendiri.” (H.R. Muslim). Oleh karena itu, Islam, memberikan peringatan keras
kepada yang meminta-minta (mengemis), sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu
Qayyim, bahwa mengemis kepada orang lain adalah tindakan zalim terhadap
Rabbul’alamin, hak tempat meminta, dan hak pengemis itu sendiri.

Tindakan zalim terhadap hak Rabbul’alamin artinya meminta, berharap, menghinakan


diri, dan tunduk kepada selain Allah. Ia meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya,
mempersembahkan sesuatu bukan kepada yang berhak, dan berlaku zalim terhadap tauhid
dan keikhlasan. Berlaku zalim terhadap tempat meminta artinya menzalimi orang yang
diminta sebab dengan mengajukan permintaan, ia menghadapkan orang yang diminta
kepada pilihan sulit antara memuhi permintaannya atau menolaknya. Jika orang itu
terpaksa memnuhi permintaanya, ada kemungkinan disertai dengan rasa dongkol. Namun
bila tidak memberi, orang itu akan merasa malu. Sedangkan berlaku zalim terhadap diri
sendiri artinya seorang pengemis menghina diri sendiri, menghamba bukan kepada Sang
Pencipta, merendahkan martabat diri, dan rela menundukkan kepala kepada sesama
makhluk. Ia menjual kesabaran, ketawakkalan, dan melalaikan tindakan mencegah diri
dari mengemis kepada orang lain.

Islam menuntun setiap orang untuk mendayagunakan semua potensi dan mengarahkan
segala dayanya, betapa pun kecilnya. Islam melarang seseorang mengemis sedangkan ia
mempunyai sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk membuka peluang kerja yang akan
mencukupi kebutuhannya.

Islam mengajarkan, bahwa semua usaha yang dapat mendatangkan rezeki yang halal
adalah sesuatu yang mulia, walaupun rezeki itu diperoleh dengan susah payah daripada
mengemis dan meminta-minta kepada orang lain. Islam membimbing seseorang agar
melakukan pekerjaan sesuai dengan kepribadian, kemampuan, dan kondisi
lingkungannya, serta tidak membiarkan si lemah terombang-ambing tanpa pegangan.

Masyarakat Islam, baik penguasa maupun rakyat, diminta untuk mengerahkan segenap
potensinya untuk menghilangkan kemiskinan. Mereka harus memanfaatkan semua
kekayaan, sumber daya manusia maupun sumber daya alam sehingga akan meningkatkan
produksi serta berkembangnya berbagai sumber kekayaan secara umum yang akan
berdampak dalam pengentasan umat dari kemiskinan.

Umat Islam diminta bergandengtangan menghilangkan semua cacat yang dapat merusak
bangunan masyarakatnya. Masyarakat Islam dituntut menciptakan lapangan kerja dan
membuka pintu untuk berusaha (berbisnis). Di samping itu, juga harus menyiapkan
tenaga-tenaga ahli yang akan menangani pekerjaan tersebut. Hal ini merupakan kewajiban
kolektif umat Islam. Namun, realitas yang ada di masyarakat Islam saat ini sangat jauh
dari idealisme yang diajarkan Islam dalam memotivasi seseorang untuk menjadi berhasil
dalam kehidupannya.

Faktor utama untuk kembali kepada ajaran motivasi Islam yang berorientasi kepada falah
oriented, yakni menuju kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat, adalah
membangkitkan kembali semangat ukhuwah islamiyah di antara kita. Hal ini merupakan
tugas kita semua secara bersama-sama sebagai umat Muslim yang peduli terhadap
keluarga kita umat Islam di seluruh jagad raya agar tidak tertinggal dan dapat “duduk
sama rendah berdiri sama tinggi” dengan umat lainnya di muka bumi ini. Dan, terakhir,
perlu kita sadari, bahwa Allah SWT tidak akan mengubah nasib kita tanpa kita sendiri
mengubah nasib kita, dan oleh karena itu kita harus menjaga dan meningkatkan etos kerja
kita agar kita tidak tertinggal oleh yang lain, sebagaimana firman Allah SWT:
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah
keadaan suatu kaum sehinga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri………” (QS.13/ ar-Ra’d: 11)
Terakhir Diperbaharui ( Senin, 17 Mei 2010 )
http://baitul-maal.com/artikel/etos-kerja-islam.html

Resensi

>> Rabu, 04 Februari 2009


Resensi adalah suatu tulisan atau ulasan mengenai nilai sebuah hasil karya atau buku.
Tujuan resensi adalah menyampaikan kepada para pembaca apakah sebuah buku atau
hasil karya itu patut mendapat sambutan dari masyarakat atau tidak.

Seorang penulis resensi (pertimbangan buku) bertolak dari tujuan untuk membantu para
pembaca dalam menentukan perlu tidaknya membaca sebuah buku tertentu atau perlu
tidaknya menikmati suatu hasil karya seni. Hasil karya seni misalnya: drama, film,
sinetron, sebuah pementasan, dst.

Resensi harus disesuaikan dengan selera pembaca. Oleh karena itu resensi yang dimuat
melalui sebuah majalah mungkin tidak sama dengan yang disiarkan oleh majalah lain.
Resensi juga harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan para pembacanya. Pembaca
merupakan orang-orang yang akan dihadapi secara langsung oleh penulis resensi.

Untuk memberi pertimbangan atau penilaian secara objektif atas sebuah hasil karya atau
buku, penulis resensi harus memperhatikan dua faktor:
1.Penulis resensi harus memahami sepenuhnya tujuan pengarang buku. Hal ini dapat
dilihat dari Kata Pengantar.

2.Penulis resensi harus menyadari sepenuhnya apa maksudnya membuat resensi.

Adapun struktur dari resensi adalah sebagai berikut:


1.Tema resensi
Tujuannya untuk menarik pembaca

2.Deskripsi isi buku


Dengan deskripsi, pembaca yang belum tahu, dapat memperoleh gambaran tentang isi
buku tersebut. Deskripsi buku tidak hanya terdisri dari isi buku, melainkan juga
identitasnya. Antara lain: penerbit, tahun terbit, tempat terbit, tebal buku, format
(ukuran), dan harga.
Penulis resensi juga dapat memperkenalkan pengarang/penulis bukunya, missal: nama,
ketenarannya, dan buku atau karyanya.

3.Jenis buku
Penulis resensi juga harus mencantumkan jenis buku tersebut, baik secara eksplisit
maupun implisit.

4.Keunggulan dan kekurangan buku


Untuk menentukan keunggulan dan kekurangan buku, dapat dilihat berdasarkan:
a.Organisasi (kerangka)
b.Isi -> apakah sudah jelas/tuntas, ada uraian/contoh tidak, berikut pembahasannya.
c.Teknik -> perwajahan (lay-out), kebersihan, pencetakan kata-katanya, tanda baca, dst.

5.Nilai buku
Penulis resensi juga harus memberikan sugesti kepada pembaca, apakah buku tersebut
layak dibaca atau tidak. Tetapi penilaian yang diberikan harus objektif.

Anda mungkin juga menyukai