Tari melayu di Kepulauan Riau yang berkembang di kabupaten dan kota antara lain : Tari Zapin,
Tari Joget Dangong, Tari Jogi, Tari Melemang, Tari Makyong, Tari Mendu, Tari Inai, Tari
Dayung Sampan, Tari Topeng, Tari Lang-Lang Buana, Tari Alu, Tari Ayam Sudur, Tari Boria,
Tari Zikir Barat, Tari Rokana, Tari Joget lambak, Tari Damnah, Tari Semah Kajang, Tari
Dendang Dangkong, Tari Sirih Lelat, Tari Tebus Kipas, Tari Sekapur Sirih, Tari Engku Puteri,
Tari Mustika Kencana, Tari Marhaban, Tari Menjunjung Duli, Tari Tandak Pengasih, Tari Ikan
Kekek, Tari Tarek Rawai, Tari Pasang Rokok, Tari Masri, Tari Betabik, Tari Lenggang Cecak,
Tari Laksemane Bentan, Joget Bebtan, Tari Joget Kak Long dari Moro, Tari Joget Mak Dare,
Tari Joget Makcik Normah di pulau Panjang Batam.
Tarian Zapin merupakan salah satu dari beberapa jenis tarian Melayu yang masih eksis sampai
sekarang. Tarian ini diinspirasikan oleh keturunan Arab yang berasal dari Yaman. Menurut
sejarah, tarian Zapin pada mulanya merupakan tarian hiburan di kalangan raja-raja di istana
setelah dibawa dari Yaman oleh para pedagang-pedagang di awal abad ke-16. Masyarakat
Melayu termasuk seniman dan budayawannya memiliki daya kreasi yang tinggi. Hal ini dapat
dilihat dari perkembangan kreasi tari Zapin yang identik dengan budaya Melayu maupun dalam
hal berpantun. Seniman dan budayawannya mampu membuat seni tradisinya, tidak mandek tapi
penuh dinamika yang selalu dapat diterima dalam setiap keadaan. Tarian tradisional ini bersifat
edukatif dan sekaligus menghibur, digunakan sebagai media dakwah Islamiyah melalui syair
lagu-lagu zapin yang didendangkan.
SENI Tari adalah gerak indah dan berirama yang mengandung dua unsur penting: gerak dan
irama. Gerak merupakan gejala primer dan juga bentuk spontan dari kehendak yang terdapat di
dalam jiwa; sementara irama adalah bunyi teratur yang mengiringi gerak tersebut. Gerak tarian
biasanya diinspirasikan dari pengalaman hidup sehari-hari.
Satu tari tradisional Melayu yang sangat mengakar dan populer adalah Tarian Zapin. Tari ini
merupakan satu dari beberapa jenis tarian Melayu yang masih eksis sampai sekarang. Tarian ini
diinspirasikan oleh keturunan Arab yang berasal dari Yaman.
Menurut sejarah, tarian Zapin pada mulanya merupakan tarian hiburan di kalangan raja-raja di
istana setelah dibawa dari Yaman oleh para pedagang-pedagang di awal abad ke-16. Masyarakat
Melayu termasuk seniman dan budayawannya memiliki daya kreasi yang tinggi.
Hal ini dapat dilihat dari perkembangan kreasi tari Zapin yang identik dengan budaya Melayu
maupun dalam hal berpantun. Seniman dan budayawannya mampu membuat seni tradisinya,
tidak mandek tapi penuh dinamika yang selalu dapat diterima dalam setiap keadaan. Tarian
tradisional ini bersifat edukatif dan sekaligus menghibur, digunakan sebagai media dakwah
Islamiyah melalui syair lagu-lagu zapin yang didendangkan.
Sebutan zapin umumnya dijumpai di Sumatera Utara dan Riau, sedangkan di Jambi, Sumatera
Selatan dan Bengkulu menyebutnya dana. Julukan bedana terdapat di Lampung, sedangkan di
Jawa umumnya menyebut zafin. Masyarakat Kalimantan cenderung memberi nama jepin, di
Sulawesi disebut jippeng, dan di Maluku lebih akrab mengenal dengan nama jepen. Sementara di
Nusatenggara dikenal dengan julukan dana-dani.
Rumah Adat Daerah Riau
Rumah Adat Daerah Riau - Sebenarnya tidaklah bisa disebut rumah adat Riau, namun
disebabkan oleh Riau identik dengan Melayu, maka Rumah adat Riau adalah rumah adat Melayu.
Ditambah pula Riau-ini terdapat banyak sungai maka setiap sungai itu beda pula beradaban serta
adatnya walaupun banyak terdapat persamaan.
Bentuk rumah tradisional daerah Riau pada umumnya adalah rumah panggung yang berdiri diatas
tiang dengan bangunan persegi panjang. Dari beberapa bentuk rumah, semuanya hampir serupa,
baik tangga, pintu, dinding, susunan ruangannya identik, kecuali rumah lontik yang-mendapat
pengaruh Minang.
Balai Salaso Jatuh mempunyai selasar keliling yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah,
karena itu dikatakan Salaso Jatuh. Semua bangunan baik rumah adat maupun balai adat diberi
hiasan terutama berupa ukiran.
Puncak atap selalu ada hiasan kayu yang mencuat keatas bersilangan dan biasanya hiasan ini
diberi ukiran yang disebut Salembayung atau Sulobuyung yang mengandung makna pengakuan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Artikel rumah adat Riau-ini terlalu singkat atau mungkin kurang lengkap. Bagi Anda yang-lebih
tahu mengenai seluk arsitektur rumah adat silakan dilengkap, apabila terdapat khilaf dipersilakan
perbaiki.
SUMBER CORAK
Corak dasar Melayu Riau umumnya bersumber dari alam, yakni terdiri atas flora, fauna, dan
benda-benda angkasa. Benda-benda itulah yang direka-reka dalam bentuk-bentuk tertentu, baik
menurut bentuk asalnya seperti bunga kundur, bunga hutan, maupun dalam bentuk yang sudah
diabstrakkan atau dimodifikasi sehingga tak lagi menampakkan wujud asalnya, tetapi hanya
menggunakan namanya saja seperti itik pulang petang, semut beriring, dan lebah bergantung.
Di antara corak-corak tersebut, yang terbanyak dipakai adalah yang bersumber pada tumbuh-
tumbuhan (flora). Hal ini terjadi karena orang Melayu umumnya beragama Islam sehingga corak
hewan (fauna) dikhawatirkan menjurus kepada halhal yang berbau “keberhalaan”. Corak hewan
yang dipilih umumnya yang mengandung sifat tertentu atau yang berkaitan dengan mitos atau
kepercayaan tempatan. Corak semut dipakai -walau tidak dalam bentuk sesungguhnya, disebut
semut beriringkarena sifat semut yang rukun dan tolong-menolong. Begitu pula dengan corak
lebah, disebut lebah bergantung, karena sifat lebah yang selalu memakan yang bersih, kemudian
mengeluarkannya untuk dimanfaatkan orang ramai (madu). Corak naga berkaitan dengan mitos
tentang keperkasaan naga sebagai penguasa lautan dan sebagainya. Selain itu, benda-benda
angkasa seperti bulan, bintang, matahari, dan awan dijadikan corak karena mengandung nilai
falsafah tertentu pula.
Ada pula corak yang bersumber dari bentuk-bentuk tertentu yakni wajik(Belah ketupat),
lingkaran, kubus, segi, dan lain-lain. Di samping itu, ada juga corak kaligrafi yang diambil dari
kitab Alquran. Pengembangan corak-corak dasar itu, di satu sisi memperkaya bentuk hiasan. Di
sisi lain, pengembangan itu juga memperkaya nilai falsafah yang terkandung di dalamnya.
RAGAM ORNAMEN
Bangunan BALAI ADAT MELAYU RIAU pada umumnya diberi ragam hiasan, mulai dari
pintu,jendelah,vetilasi sampai kepuncak atap bangunan,ragam hias disesuaikan dengan makna
dari setiap ukiran.
Selembayung
Selembayung disebut juga “ selo bayung “ dan “tanduk buang” adalah hiasan yang terletak
bersilangan pada kedua ujung perabung bangunan.pada bangunan balai adat melayu ini setiap
pertemuan sudut atap di beri selembayung yang terbuat dari ukiran kayu.
Hiasan pada bagian atas pintu dan jendelah yang disebut”lambai-lambai”,melambangkan sikap
ramah tamah. Hiasan “Klik-klik” disebut kisi-kisi dan jerajak pada jendelah dan pagar.
Asal-Usul
Rumah Lancang atau Pencalang merupakan nama salah satu Rumah tradisional masyarakat
Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, Indonesia. Selain nama Rumah Lancang atau Pencalang,
Rumah ini juga dikenal dengan sebutan Rumah Lontik. Disebut Lancang atau Pencalang karena
bentuk hiasan kaki dinding depannya mirip perahu, bentuk dinding Rumah yang miring keluar
seperti miringnya dinding perahu layar mereka, dan jika dilihat dari jauh bentuk Rumah tersebut
seperti Rumah-Rumah perahu (magon) yang biasa dibuat penduduk. Sedangkan nama Lontik
dipakai karena bentuk perabung (bubungan) atapnya melentik ke atas.
Rumah Lancang merupakan Rumah panggung. Tipe konstruksi panggung dipilih untuk
menghindari bahaya serangan binatang buas dan terjangan banjir. Di samping itu, ada kebiasaan
masyarakat untuk menggunakan kolong rumah sebagai kandang ternak, wadah penyimpanan
perahu, tempat bertukang, tempat anak-anak bermain, dan gudang kayu, sebagai persiapan
menyambut bulan puasa. Selain itu, pembangunan Rumah berbentuk panggung sehingga untuk
memasukinya harus menggunakan tangga yang mempunyai anak tangga berjumlah ganjil, lima,
merupakan bentuk ekspresi keyakinan masyarakat.
Dinding luar Rumah Lancang seluruhnya miring keluar, berbeda dengan dinding dalam yang
tegak lurus. Balok tumpuan dinding luar depan melengkung ke atas, dan, terkadang, disambung
dengan ukiran pada sudut-sudut dinding, maka terlihat seperti bentuk perahu. Balok tutup atas
dinding juga melengkung meskipun tidak semelengkung balok tumpuan. Lengkungannya
mengikuti lengkung sisi bawah bidang atap. Kedua ujung perabung diberi hiasan yang disebut
sulo bayung. Sedangkan sayok lalangan merupakan ornamen pada keempat sudut cucuran atap.
Bentuk hiasan beragam, ada yang menyerupai bulan sabit, tanduk kerbau, taji dan sebagainya.
Keberadaan Rumah Lancang, nampaknya, merupakan hasil dari proses akulturasi arsitektur asli
masyarakat Kampar dan Minangkabau. Dasar dan dinding Rumah yang berbentuk seperti perahu
merupakan ciri khas masyarakat Kampar, sedangkan bentuk atap lentik (Lontik) merupakan ciri
khas arsitektur Minangkabau. Proses akulturasi arsitektur terjadi karena daerah Kampar
merupakan alur pelayaran, Sungai Mahat, dari Lima Koto menuju wilayah Tanah Datar di
Payakumbuh, Minangkabau. Daerah Lima Koto mencakup Kampung Rumbio, Kampar, Air,
Tiris, Bangkinang, Salo, dan Kuok. Oleh karena Kampar merupakan bagian dari alur mobilitas
masyarakat, maka proses akulturasi merupakan hal yang sangat mungkin terjadi. Hasil dari
proses akulturasi tersebut nampak dari keunikan Rumah Lancang yang sedikit banyak berbeda
dengan arsitektur bangunan di daerah Riau Daratan dan Riau Kepulauan.
Asal-Usul
Kepulauan Riau merupakan salah satu satu provinsi di Indonesia. Daerah ini merupakan gugusan
pulau yang tersebar di perairan selat Malaka dan laut Cina selatan. Keadaan pulau-pulau itu
berbukit dengan pantai landai dan terjal. Mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan dan
petani. Sedangkan agama yang dianut oleh sebagian besar dari mereka adalah Islam.
Kondisi alam dan keyakinan masyarakat Kepulauan Riau sangat mempengaruhi pola arsitektur
rumahnya. Pengaruh alam sekitar dan keyakinan dapat dilihat dari bentuk rumahnya, yaitu
berbentuk panggung yang didirikan di atas tiang dengan tinggi sekitar 1,50 meter sampai 2,40
meter. Penggunaan bahan-bahan untuk membuat rumah, pemberian ragam hias, dan penggunaan
warna-warna untuk memperindah rumah merupakan bentuk adaptasi terhadap lingkungan dan
ekpresi nilai keagamaan dan nilai budaya.
Salah satu rumah untuk tempat tinggal masyarakat Kepulauan Riau adalah rumah Belah Bubung.
Rumah ini juga dikenal dengan sebutan rumah Rabung atau rumah Bumbung Melayu. Nama
rumah Belah Bubung diberikan oleh orang Melayu karena bentuk atapnya terbelah. Disebut
rumah Rabung karena atapnya mengunakan perabung. Sedangkan nama rumah Bubung Melayu
diberikan oleh orang-orang asing, khususnya Cina dan Belanda, karena bentuknya berbeda
dengan rumah asal mereka, yaitu berupa rumah Kelenting dan Limas.
Nama rumah ini juga terkadang diberikan berdasarkan bentuk dan variasi atapnya, misalnya:
disebut rumah Lipat Pandan karena atapnya curam; rumah Lipat Kajang karena atapnya agak
mendatar; rumah Atap Layar atau Ampar Labu karena bagian bawah atapnya ditambah dengan
atap lain; rumah Perabung Panjang karena Perabung atapnya sejajar dengan jalan raya; dan
rumah Perabung Melintang karena Perabungnya tidak sejajar dengan jalan.
Besar kecilnya rumah yang dibangun ditentukan oleh kemampuan pemiliknya, semakin kaya
seseorang semakin besar rumahnya dan semakin banyak ragam hiasnya. Namun demikian,
kekayaan bukan sebagai penentu yang mutlak. Pertimbangan yang paling utama dalam membuat
rumah adalah keserasian dengan pemiliknya. Untuk menentukan serasi atau tidaknya sebuah
rumah, sang pemilik menghitung ukuran rumahnya dengan hitungan hasta, dari satu sampai lima.
Adapun uratannya adalah: ular berenang, meniti riak, riak meniti kumbang berteduh, habis utang
berganti utang, dan hutang lima belum berimbuh. Ukuran yang paling baik adalah jika tepat pada
hitungan riak meniti kumbang berteduh.
Jenis rumah adat melayu yang lain adalah rumah tradisional Belah Bubung. Kalau di Riau
daratan, rumah tradisionalnya ada Rumah Lontik, dan Rumah Salaso Jatuh Kembar.
Pakaian adat Kepulauan Riau memiliki variasi pakaian adat. Sebagai salah satu daerah yang
kental dengan budaya Melayu, pakaian adat Riau terdiri dari busana Melayu. Variasi pakaian adat
Riau di antaranya, pakaian adat Indragiri, Melayu Bengkalis Riau, Melayu Siak Riau, dan lain-
lain.
Untuk pakaian pria, baju yang dipakai adalah baju Melayu berupa atasan yang disebut teluk
belanga. Selain itu, busana ini terdiri dari celana, kain sampin, dan songkok atau penutup kepala.
Kain sampin biasanya memiliki warna dan corak yang sama dengan baju atasannya. Pakaian adat
ini disebut dengan baju Melayu teluk belanga.
Untuk perempuan, pakaian yang dipakai berupa baju kurung, kain, dan selendang. Selendang
dipakai dengan cara disampirkan di bahu. Busana Melayu Riau ini identik dengan nilai-nilai
Islam.
Tradisi Melayu Riau memang bersumber dari nilai-nilai Islam. Pakaiannya yang tertutup
mencerminkan makna bahwa pakaian haruslah menutup aurat, selain melindungi tubuh dari
cuaca.
Meskipun pakaian adat merupakan salah satu ciri budaya, generasi muda zaman sekarang tidak
memakai pakaian adat lagi. Berkembangnya gaya hidup yang berbeda dari zaman dahulu,
membuat intensitas pemakaian busana daerah berkurang.
Variasi pakaian adat Riau membedakan pula waktu pemakaiannya. Busana yang disebut dengan
istilah baju Melayu cekak musang dipakai saat acara keluarga. Busana yang disebut dengan
istilah baju Melayu gunting cina dipakai saat tidak resmi atau saat di rumah.
Saat ini, tampaknya gunting cina tidak lagi dipakai sebagai busana sehari-hari di rumah.
Meskipun demikian, pemakaian pakaian adat pada saat-saat resmi dan dalam sebuah acara,
seperti pernikahan, memungkinkan bertahannya pakaian adat tersebut.
Ditambah lagi, gencarnya kebangkitan busana daerah dapat membangkitkan pula pakaian adat
Riau. Hal ini turut membangkitkan pula kebudayaan nasional.
Pakaian adat Riau juga memiliki makna tersendiri. Selain sebagai penutup aurat dan pelindung
tubuh, pakaian adat bermakna sebagai penolak bala. Sebuah pakaian adat juga dianggap sebagai
nilai dan moral pemakainya yang mewakili tradisi sebuah daerah.
Oleh karena itu, pakaian adat bukan hanya sebagai ciri budaya, melainkan lambang tradisi sebuah
daerah yang patut dijaga dan dilestarikan.
Berikut beberapa foto pakaian adat, tradisional daerah Riau. Pakain Adat ini adalah pakaian
tradisional Riau, walaupun ada beberapa macam-macam namun hanya satu pakaian adat untuk
daerah Riau, yaitu Pakaian Adat Melayu Riau.
- Gambar Pakaian Adat, Tradisional Indragiri Riau
Walaupun begitu Kuliner, Masakan Khas Riau tetap memiliki ciri khas dibandingkan masakan
daerah lain. Seperti salah satu masakan khas Riau berupa Sambal terung Asam. Kuliner ini juga
terdapat di Kalimantan. Lalu gulai asam pedas ikan patin mungkin juga dapat ditemukan daerah
Sumatra lainnya.
Berikut daftar menu kuliner, masakan Riau beserta resepnya yang-bisa ditemukan di-berbagai
tempat Bumi Lancang Kuning :
Untuk mendapatkan informasi lengkap mengenai cara memasak, resep (bahan-bahan) masing-
masing Kuliner, Masakan Khas diatas, silakan klik nama Masakan nya.
Beberapa kuliner, Masakan yang-pernah dipatenkan namun tidak kami sertakan disini karena
memang masakan masakan tersebut benar-benar baru.
Kuliner di Pekanbaru, Jus Tiga Rasa di Pondok Makanan Khas Melayu - Untuk
mengembangkan dan memperkenalkan budaya khas melayu dapat dilakukan dengan berbagai
cara terutama dikota Pekanbaru yang dikenal dengan kota bertuah. Selain budaya atau adat
istiadat melayu, pakaian melayu, masih terdapat satu lagi yang memiliki ciri khas melayu yang
terdapat di kota bertuah ini yaitu makanan dan minuman khas melayu.
Untuk mendapatkan makanan khas melayu dapat ditemukan disalah satu pondok makanan khas
melayu (PMKM) yang terletak di Jalan Simpangtiga Pekanbaru, Riau. Aneka makanan dan
minuman khas melayu yang siap untuk disantap yang selalu mengoyangkan dan membuka selera
makan bagi masyarakat kota Pekanbaru maupun pengunjung yang dating dari luar kota
Pekanbaru.
Ibu Yusmiati, merupakan pemilik sekaligus pengelola pondok makanan khas melayu
ini,mengatakan bahwa ide untuk mengembangkan usaha ini muncul saat ia melakukan kunjungan
kenegara tetangga yaitu Malaysia , Singapore , dan Negara tetangga lainnya.
Pondok makanan khas melayu ini menyajikan berbagai macam aneka rasa makanan melayu
diantarannya, ayam goring kampung asli, asampedas tempoyak, sambal belacan, dan kerang khas
melayu. Selain makanan di sini terdapat minuman jus yang sangat unik yaitu minuman jus tiga
rasa buah. Minuman inilah yang membuat setiap pengunjung pondok makanan khas melayu ini
ingin mampir untuk yang kesekian kalinya.
Uniknya minuman jus khas melayu yang dibuat oleh wanita 50 tahun silam ini sangat berbeda
dengan jus yang biasanya dijumpai dikebanyakan rumah makan yang ada dikota pekanbaru.
Sering dijumpai minuman jus itu hanya memiliki satu rasa buah saja, tetapi minuman jus disini
memiliki tiga rasa buah yang berbeda-beda.
Ibu dari dua orang anak ini dapat inspirasi membuat jus tiga rasa buah ini, pada awalnya hanya
mencoba saja dengan mengkombinasikan berbagai macam rasa buah,dan ternyata jus ini
mendapat memberikan apresiasi lebih dari keluarga, karyawan maupun pengunjung yang dating
kesini.
Menurut wanita yang telah mempunyai kurang lebih 30 orang karyawan ini, pada dasarnya
kesuksesannya kini tidaklah terlepas dari kerja keras dan dukungan keluarganya dan tidak lepas
dari orang-orang yang menyukai makanan melayu di pondok makanan khas melayu miliknya ini.
Kebanyakan lagu daerah Riau jarang diputar radio-radio kota Pekanbaru, kecuali lagu-lagu sudah
sangat populer seperti Lancang Kuning yang memang maestronya lagu daerah Riau.
Lagu Seroja
Lagu Tuanku Tambusai
Lagu Lancang Kuning
Lagu Tanjung Katung
Lagu Selayang Pandang
Lagu Hangtuah
Lagu Bunga Tanjung
Lagu Soleram
Kutang Barendo, Lagu daerah Kampar
Moncik Badasi, Lagu daerah Kampar
Randai Lomak Diurang Katuju di Awak, Lagu daerah Taluk Kuantan, Kuansing
Sejenis Senjata tradisional dari daerah Kepulauan Riau. Pada pangkal sarung Tumbuk Lada
terdapat bonjolan bundar yang selalunya dihias dengan ukiran yang dipahat. Sarung senjata ini
selalunya dilapis dengan kepingan perak yang diukir dengan pola-pola rumit.
Panjang bilah tumbuk lada sekitar 27 cm hingga 29 cm. Lebar bilahnya sekitar 3.5 cm hingga 4
cm. Dari tengah bilah sampai ke pangkalnya terdapat alur yang dalam.
Selain keris, Tumbuk Lada pada zaman dulu juga menjadi salah satu kelengkapan pakaian adat di
Kepulauan Riau, Deli, Siak dan Semenanjung Tanah Melayu.
Tumbuk Lada digunakan secara menikam, mengiris dan menusuk dalam pertempuran jarak
dekat. Ia boleh dipegang dengan dua jenis genggaman yaitu dengan mata keatas ataupun mata ke
bawah.