Anda di halaman 1dari 17

RUMAH ADAT PROPINSI SUMATERA UTARA

Arsitektur rumah adat terdapat dalam berbagai bentuk ornamen.Pada umumnya bentuk bangunan rumah
adat pada kelompok adat batak melambangkan "kerbau berdiri tegak". Hal ini lebih jelas lagi dengan
menghias pucuk atap dengan kepala kerbau. Rumah adat etnis Batak, Ruma Batak, berdiri kokoh dan
megah serta masih banyak ditemui di Samosir.
Rumah adat Karo kelihatan besar dan lebih tinggi dibandingkan dengan rumah adat lainnya. Atapnya
terbuat dari ijuk dan biasanya ditambah dengan atap-atap yang lebih kecil berbentuk segitiga yang disebut
"ayo-ayo rumah" dan "tersek". Dengan atap menjulang berlapis-lapis itu rumah Karo memiliki bentuk
khas dibanding dengan rumah tradisional lainnya yang hanya memiliki satu lapis atap di Sumatera Utara.
Bentuk rumah adat di daerah Simalungun cukup memikat. Kompleks rumah adat di desa Pematang Purba
terdiri dari beberapa bangunan yaitu rumah bolon, balai bolon, jemur, pantangan balai butuh, dan lesung.
Bangunan khas Mandailing yang menonjol disebut "Bagas Gadang" (rumah Namora Natoras) dan "Sopo
Godang" (balai musyawarah adat).
Rumah adat di pesisir barat kelihatan lebih megah dan lebih indah dibandingkan dengan rumah adat
lainnya. Rumah adat ini masih berdiri kokoh di halaman Gedung Nasional Sibolga
RUMAH ADAT PROPINSI KEPULAUAN RIAU

Rumah adat di daerah Riau bernama Selaso Jatuh Kembar. Ruangan rumah ini terdiri dari ruangan besar
untuk tempat tidur. Ruangan bersila, anjungan dan dapur. Rumah adat ini dilengkapi pula dengan Balai
Adat yang dipergunakan untuk pertemuan dan musyawarah adat. Karena ternyata Rumah Selaso Jatuh
Kembar adalah sejenis bangunan berbentuk rumah (dilingkupi dinding, berpintu dan jendela) tapi
fungsinya bukan untuk tempat tinggal melainkan untuk musyawarah atau rapat secara adat karena
rumah ini tidak memiliki serambi atau kamar.
Jika dideskripsikan, denah rumah Selaso Jatuh Kembar hanya memiliki Selasar di bagian depan. Tengah
rumah pada bagian tengah dengan bersekat papan antara selasar dan telo. Kemudian bentuk rumah
mengecil pada bagian telo yang berguna sebagai tempat makan, dll. Dan pada bagian belakang terdapat
dapur. Balai Salaso Jatuh mempunyai selasar keliling yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah,
karena itu dikatakan Salaso Jatuh. Semua bangunan baik rumah adat maupun balai adat diberi hiasan
terutama berupa ukiran. Di puncak atap selalu ada hiasan kayu yang mencuat keatas bersilangan dan
biasanya hiasan ini diberi ukiran yang disebut Salembayung atau Sulobuyung yang mengandung makna
pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Selasar dalam bahasa melayu disebut denganSelaso. Selaso
jatuh kembar sendiri bermakna rumah yang memiliki dua selasar (selaso, salaso) yang lantainya lebih
rendah dari ruang tengah.
Rumah Selaso Jatuh Kembar dihiasi corak dasar Melayu Riau umumnya bersumber dari alam, yakni
terdiri atas flora, fauna, dan benda-benda angkasa. Benda-benda itulah yang direka-reka dalam bentuk-
bentuk tertentu, baik menurut bentuk asalnya seperti bunga kundur, bunga hutan, maupun dalam bentuk
yang sudah diabstrakkan atau dimodifikasi sehingga tak lagi menampakkan wujud asalnya, tetapi hanya
menggunakan namanya saja seperti itik pulang petang, semut beriring, dan lebah bergantung.
Di antara corak-corak tersebut, yang terbanyak dipakai adalah yang bersumber pada tumbuh-tumbuhan
(flora). Padahal sejak jaman dahulu gaya arsitektur bangunan dan seni ukir masyarakat Riau sangat kuat
dipengaruhi oleh corak Hindu-Budha. Peralihan gaya pada corak ini terjadi karena orang Melayu Riau
kekinian pada umumnya beragama Islam. Sehingga corak hewan (fauna) dikhawatirkan menjurus pada
hal-hal yang berbau keberhalaan. Jika kita telusuri sejarah kelahiran tulisan melayu (aksara arab) dan
corak seni ukir flora masyarakat Melayu Riau ini dilatarbelakangi oleh perkembangan Agama Islam
mulai dari jaman kerajaan Malaka.
Ada pun corak hewan yang dipilih umumnya yang mengandung sifat tertentu atau yang berkaitan dengan
mitos atau kepercayaan tempatan. Corak semut dipakai walau tidak dalam bentuk sesungguhnya, disebut
semut beriring karena sifat semut yang rukun dan tolong-menolong. Begitu pula dengan corak lebah,
disebut lebah bergantung, karena sifat lebah yang selalu memakan yang bersih, kemudian
mengeluarkannya untuk dimanfaatkan orang ramai (madu). Corak naga berkaitan dengan mitos tentang
keperkasaan naga sebagai penguasa lautan dan sebagainya. Selain itu, benda-benda angkasa seperti bulan,
bintang, matahari, dan awan dijadikan corak karena mengandung nilai falsafah tertentu pula.
Ada pula corak yang bersumber dari bentuk-bentuk tertentu yakni wajik (Belah ketupat), lingkaran,
kubus, segi, dan lain-lain. Di samping itu, ada juga corak kaligrafi yang diambil dari kitab Alquran.
Pengembangan corak-corak dasar itu, di satu sisi memperkaya bentuk hiasan. Di sisi lain, pengembangan
itu juga memperkaya nilai falsafah yang terkandung di dalamnya.

RUMAH ADAT PROPINSI RIAU

Jika dideskripsikan, denah rumah Selaso Jatuh Kembar hanya memiliki Selasar di bagian depan. Tengah
rumah pada bagian tengah dengan bersekat papan antara selasar dan telo. Kemudian bentuk rumah
mengecil pada bagian telo yang berguna sebagai tempat makan, dll. Dan pada bagian belakang terdapat
dapur.
Balai Salaso Jatuh mempunyai selasar keliling yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah, karena itu
dikatakan Salaso Jatuh. Semua bangunan baik rumah adat maupun balai adat diberi hiasan terutama
berupa ukiran. Di puncak atap selalu ada hiasan kayu yang mencuat keatas bersilangan dan biasanya
hiasan ini diberi ukiran yang disebut Salembayung atauSulobuyung yang mengandung makna pengakuan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Selasar dalam bahasa melayu disebut dengan Selaso. Selaso jatuh
kembar sendiri bermakna rumah yang memiliki dua selasar (selaso, salaso) yang lantainya lebih rendah
dari ruang tengah.
Rumah Selaso Jatuh Kembar dihiasi corak dasar Melayu Riau umumnya bersumber dari alam, yakni
terdiri atas flora, fauna, dan benda-benda angkasa. Benda-benda itulah yang direka-reka dalam bentuk-
bentuk tertentu, baik menurut bentuk asalnya seperti bunga kundur, bunga hutan, maupun dalam bentuk
yang sudah diabstrakkan atau dimodifikasi sehingga tak lagi menampakkan wujud asalnya, tetapi hanya
menggunakan namanya saja seperti itik pulang petang, semut beriring, dan lebah bergantung.
Di antara corak-corak tersebut, yang terbanyak dipakai adalah yang bersumber pada tumbuh-tumbuhan
(flora). Padahal sejak jaman dahulu gaya arsitektur bangunan dan seni ukir masyarakat Riau sangat kuat
dipengaruhi oleh corak Hindu-Budha. Peralihan gaya pada corak ini terjadi karena orang Melayu Riau
kekinian pada umumnya beragama Islam. Sehingga corak hewan (fauna) dikhawatirkan menjurus pada
hal-hal yang berbau keberhalaan. Jika kita telusuri sejarah kelahiran tulisan melayu (aksara arab) dan
corak seni ukir flora masyarakat Melayu Riau ini dilatarbelakangi oleh perkembangan Agama Islam
mulai dari jaman kerajaan Malaka.
Ada pun corak hewan yang dipilih umumnya yang mengandung sifat tertentu atau yang berkaitan dengan
mitos atau kepercayaan tempatan. Corak semut dipakai walau tidak dalam bentuk sesungguhnya, disebut
semut beriring karena sifat semut yang rukun dan tolong-menolong. Begitu pula dengan corak lebah,
disebut lebah bergantung, karena sifat lebah yang selalu memakan yang bersih, kemudian
mengeluarkannya untuk dimanfaatkan orang ramai (madu). Corak naga berkaitan dengan mitos tentang
keperkasaan naga sebagai penguasa lautan dan sebagainya. Selain itu, benda-benda angkasa seperti bulan,
bintang, matahari, dan awan dijadikan corak karena mengandung nilai falsafah tertentu pula.
Ada pula corak yang bersumber dari bentuk-bentuk tertentu yakni wajik (Belah ketupat), lingkaran,
kubus, segi, dan lain-lain. Di samping itu, ada juga corak kaligrafi yang diambil dari kitab Alquran.
Pengembangan corak-corak dasar itu, di satu sisi memperkaya bentuk hiasan. Di sisi lain, pengembangan
itu juga memperkaya nilai falsafah yang terkandung di dalamnya.

RUMAH ADAT PROPINSI BANGKA BELITUNG

Rumah panggung, rumah limas dan rumah rakit merupakan rumah tradisional Bangka Belitung. Hampir
sama dengan propinsi lain yang ada di Pulau Sumatera model arsitektur rumah adat Bangka Belitung
berciri arsitektur Melayu.
Terdapat tiga macam ciri arsitektur rumah adat yaitu arsitektur Melayu awal, Melayu Bubung Panjang
dan Melayu Bubung Limas. Arsitektur rumah Melayu Awal berujud rumah panggung kayu dimana
hampir semua bahan material yang di pakai untuk rumah ini berupa kayu, bambu, rotan, akar pohon,
daun-daun atau alang-alang yang banyak tumbuh dan sangat mudah diperoleh di sekitar pemukiman.
Arsitektur rumah Melayu Awal ini biasanya beratap tinggi dan sebagian atapnya miring. Saat
pembangunan rumah yang berkaitan dengan tiang, masyarakat Kepulauan Bangka Belitung mengenal
falsafah 9 tiang, dimana bangunan rumah yang didirikan memiliki 9 buah tiang. Tiang utama tempatnya
di tengah dan didirikan pertama kali. Kemuduan atap rumah ditutup dengan daun rumbia. Sementara
bagian dindingnya biasanya dibuat dari bahan pelepah/kulit kayu atau menggunakan buluh (bambu).

RUMAH ADAT PROPINSI GADANG SUMATERA BARAT

Rumah gadang merupakan rumah adat Minangkabau. Rumah gadang ini mempunyai ciri-ciri yang sangat
khas. Bentuk dasarnya adalah balok segi empat yang mengembang ke atas. Garis melintangnya
melengkung tajam dan landai dengan bagian tengah lebih rendah. Lengkung atap rumahnya sangat tajam
seperti tanduk kerbau, sedangkan lengkung badan dan rumah landai seperti badan kapal. Atap rumahnya
terbuat dari ijuk. Bentuk atap yang melengkung dan runcing ke atas itu disebut gonjong. Karena atapnya
membentuk gonjong, maka rumah gadang disebut juga rumah bagonjong.
Asal usul bentuk rumah gadang
Bentuk atap rumah gadang yang seperti tanduk kerbau sering dihubungkan dengan cerita Tambo Alam
Minangkabau. Cerita tersebut tentang kemenangan orang Minang dalam peristiwa adu kerbau melawan
orang Jawa.
Bentuk-bentuk menyerupai tanduk kerbau sangat umum digunakan orang Minangkabau, baik sebagai
simbol atau pada perhiasan. Salah satunya pada pakaian adat, yaitu tingkuluak tanduak (tengkuluk
tanduk) untuk Bundo Kanduang.
Asal-usul bentuk rumah gadang juga sering dihubungkan dengan kisah perjalanan nenek moyang
Minangkabau. Konon kabarnya, bentuk badan rumah gadang Minangkabau yang menyerupai tubuh kapal
adalah meniru bentuk perahu nenek moyang Minangkabau pada masa dahulu. Perahu nenek moyang ini
dikenal dengan sebutan lancang.
Menurut cerita, lancang nenek moyang ini semula berlayar menuju hulu Batang Kampar. Setelah sampai
di suatu daerah, para penumpang dan awak kapal naik ke darat. Lancang ini juga ikut ditarik ke darat agar
tidak lapuk oleh air sungai.
Lancang kemudian ditopang dengan kayu-kayu agar berdiri dengan kuat. Lalu, lancang itu diberi atap
dengan menggantungkan layarnya pada tali yang dikaitkan pada tiang lancang tersebut. Selanjutnya,
karena layar yang menggantung sangat berat, tali-talinya membentuk lengkungan yang menyerupai
gonjong. Lancang ini menjadi tempat hunian buat sementara. Selanjutnya, para penumpang perahu
tersebut membuat rumah tempat tinggal yang menyerupai lancang tersebut. Setelah para nenek moyang
orang Minangkabau ini menyebar, bentuk lancang yang bergonjong terus dijadikan sebagai ciri khas
bentuk rumah mereka. Dengan adanya ciri khas ini, sesama mereka bahkan keturunannya menjadi lebih
mudah untuk saling mengenali. Mereka akan mudah mengetahui bahwa rumah yang memiliki gonjong
adalah milik kerabat mereka yang berasal dari lancang yang sama mendarat di pinggir Batang Kampar.
Bagian-bagian dalam Rumah Gadang Minangkabau
Rumah adat Minangkabau dinamakan rumah gadang adalah karena ukuran rumah ini memang besar.
Besar dalam bahasa Minangkabau adalah gadarig. Jadi, rumah gadang artinya adalah rumah yang besar.
Bagian dalam rumah gadang merupakan ruangan lepas, kecuali kamar tidur. Ruangan lepas ini
merupakan ruang utama yang terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Tiang rumah gadang
berbanjar dari muka ke belakang atau dari kiri ke kanan. Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang
mbnandai lanjar, sedangkan tiang dari kini ke kanan menandai ruang. Jadi, yang disebut lanjar adalah
ruangan dari depan ke belakang. Ruangan yang berjajar dari kiri ke kanan disebut ruang.
Jumlah lanjar tergantung pada besar rumah. Biasanya jumlah lanjar adalah dua, tiga clan empat. Jumlah
ruangan biasanya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas. Ukuran rumah gadang tergantung
kepada jumlah lanjarnya.
Sebagai rumah yang besar, maka di dalam rumah gadang itu terdapat bagian-bagian yang mempunyai
fungsi khusus. Bagian lain dari rumah gadang adalah bagian di bawah lantai. Bagian ini disebut kolong
dari rumah gadang. Kolong rumah gadang cukup tinggi dan luas. Kolong ini biasanya dijadikan sebagai
gudang alat-alat pertanian atau dijadikan sebagai tempat perempuan bertenun. Seluruh bagian kolong ini
ditutup dengan ruyung yang berkisi-kisi jarang.
Dinding rumah gadang terbuat dari kayu, kecuali bagian belakang yang dari bambu. Dinding papan
dipasang vertikal. Pada setiap sambungan papan diberi bingkai. Semua papan tersebut dipenuhi dengan
ukiran. Kadang-kadang tiang yang ada di dalam juga diukir. Sehingga, ukirang merupakan hiasan yang
dominan dalam bangunan rumah gadang Minangkabau. Ukiran disini tidak dikaitkan dengan kepercayaan
yang bersifat sakral, tetapi hanya sebagai karya seni yang bernilai hiasan.

RUMAH ADAT PROVINSI BENGKULU

Rumah adat daerah Bengkulu dinamakan Rumah Rakyat. Rumah Rakyat merupakan rumah panggung
yang terdiri dari 3 kamar yaitu, kamar orang tua, kamar gadis, dan kamar bujang. Kolong dibawahnya
untuk penyimpanan kayu dapur dan barang lainnya. Pada piintu masuk ruang tengah terdapat gambar
Buraq, pertanda ketangguhan hati penduduknya menjalankan agama islam.
Rumah Rakyat terbuat dari kayu meranti dan dilengkapi dengan tangga masuk dari semen. Pada tiang
depan rumah disebalah kiri biasanya terdapat tanduk kerbau. Hal ini menunjukkan bahwa yang punya
runah pernah mengadakan upacara atau pesta perkawinan. Jumlah tanduk sesuai pula dengan banyaknya
upacara atau pesta yang telah diadakan.
Rumah Bengkulu memiliki beberapa ruang. Ada berendo atau beranda, yang biasa digunakan menerima
tamu tak dikenal. Ada bilik gedang, atau kamar utama. Ini adalah kamar tidur bagi suami istri dan anak-
anak yang masih kecil. Kemudian, bilik gadis. Bilik ini sebagai kamar anak gadis. Letaknya biasanya
dekat dengan kamar utama, agar orang tua lebih mudah mengawasi anak gadis mereka. Selain itu, ada
ruang tengah, tempat untuk berkumpul anggota keluarga. Juga biasa digunakan sebagai tempat makan dan
tempat tidur bujang (anak laki-laki remaja). Kemudian, dapur. Rumah keluarga berada biasanya
dilengkapi ruang makan, garang (ruang tempat menyimpan air), dan beranda belakang.

RUMAH ADAT PROVINSI JAMBI

Jambi pernah berada pada masa-masa pencarian identitas rumah adat. Uniknya pencarian identitas
tersebut bukan karena rumah adat di Jambi telah punah, melainkan karena terlalu banyak pilihan dan
harus memilih satu di antara dua jenis arsitektur rumah tertua di Jambi. Hingga kemudian pada tahun 70-
an, gubernur menyelenggarakan sayembara untuk memastikan rumah adat identitas negeri Sepucuk
Jambi Sembilan Lurah ini.
Dari hasil sayembara tersebut, rumah panggung yang menjadi simbol hunian tradisional masyarakat
Jambi dan kita kenal hari ini adalah Rumah Panggung Kajang Leko. Sebagai bentuk dukungan
langsung, Pemerintah Provinsi Jambi membangun rumah tersebut di dalam kompleks Kantor Gubernur
Jambi. Dikerjakan pada tahun1971-1974 serta memusiumkannya. Hingga hari ini kita masih mudah
menemukan Rumah Panggung Kajang Leko, bahkan di luar kantor-kantor pemerintahan. Hal ini
menjadi poin positif tentunya, karena masyarakat Jambi justru bereforia membangun rumah-rumah
berarsitektur adat di tengah perkembangan budaya dan rongrongan kemajuan zaman.
Rumah Panggung Kajang Leko adalah konsep arsitektur dari Marga Bathin. Sampai sekarang orang
Bathin masih mempertahankan adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka, bahkan
peninggalan Kajang Leko atau Rumah Lamo pun masih bisa dinikmati keindahannya dan masih
dipergunakan hingga kini. Salah satu perkampungan Bathin yang masih utuh hingga sekarang
adalah Kampung Lamo di Rantau Panjang.
Tipologi Rumah Kajang Leko berbentuk bangsal, empat persegi panjang dengan ukuran 12 meter x 9
meter. Keunikannya terletak pada struktur konstruksi dan seni ukiran yang menghiasi bangunan. Seperti
yang telah kita ketahui dan dinyatakan oleh Budihardjo (1994:57), bahwa rumah adalah aktualisasi diri
yang diejawantahkan dalam bentuk kreativitas dan pemberian makna bagi kehidupan penghuninya. Selain
itu rumah adalah cerminan diri, yang disebut Pedro Arrupe sebagai Status Conferring Function,
kesuksesan seseorang tercermin dari rumah dan lingkungan tempat huniannya.
Dari segi konstruksi bubungan atap bangunan rumah panggung Kejang Lako dinamai gajah mabuk
diambil dari nama pembuat rumah yang mabuk cinta tetapi tidak mendapat restu orang tuanya. Bubungan
tersebut dibuat menyerupai perahu dengan ujung bagian atas bubungan melengkung ke atas yang
disebut potong jerambah, atau lipat kajang. Dengan atap bagian atas dinamakan kasau bentuk dibuat
dari mengkuang atau ijuk yang dianyam kemudian dilipat dua, berfungsi untuk mencegah air hujan agar
tidak masuk ke dalam rumah.
Pada bagian langit-langit ada yang dinamai tebar layar yang berfungsi sebagai dinding penutup ruang atas
dan penahan rembesan tempias air hujan. Sementara ruang antara tebar layar dan bubungan atap
difungsikan sebagai tempat menyimpan barang tak terpakai dinamai panteh. Dan pada bagian samping,
masing-masing dinding, terbuat dari papan yang diukir. Sedangkan pintunya terdiri dari 3 macam. Ketiga
pintu tersebut adalah pintu tegak, pintu masinding, dan pintu balik melintang.
Rumah Panggung Kajang Lako memiliki 30 tiang yang terdiri dari 24 tiang utama dan 6 tiang palamban.
Tiang utama dipasang dalam bentuk enam jajar, dengan panjang masing-masing 4,25 meter. Tiang utama
berfungsi sebagai tiang bawah (tongkat) dan sebagai tiang kerangka bangunan juga sebagai tiang
penyekat yang membagi ruangan menjadi 8 ruangan, dan keseluruhan ruangan tersebut memiliki ukuran
dan kegunaannya masing-masing.
Delapan ruangan tersebut antara lain; Ruang pelamban letaknya berada di sebelah kiri bangunan induk.
Ruangan ini menggunakan bambu belah yang telah diawetkan sebagai lantainya, dipasang agak jarang
untuk mempermudah air mengalir ke bawah. Pelamban difungsikan sebagi ruang tunggu bagi tamu yang
baru datang sebelum diizinkan masuk rumah. Berikutnya adalah ruang gaho, ruang ini terletak pada ujung
sebelah kiri bangunan dengan posisi memanjang. Karena dalam ruang gaho terdapat dapur, tempat air dan
tempat penyimpanan barang. Ruangan ini dihiasi motif ikan dibuat tidak berwarna dan diukirkan di
bagian bendul gaho.
Di bagian depan terdapat ruang masinding. Masyarakat Jambi biasanya menggelar musyawarah adat di
rungan ini, dan dipergunakan untuk tempat duduk khusus untuk kaum laki-laki. Karena ruangan ini
berfungsi sebagai sarana interaksi sosial, tak heran jika kita mendapati beberapa ragam ukiran. Antara lain
motif bungo tanjung yang diukirkan di bagian depan masinding. Kemudian motif tampuk manggis di atas
pintu masuknya. Berikutnya kita akan menemukan motif bungo jeruk yang diukir pada luar rasuk
(belandar) di atas pintu. Ragam hias dengan motif flora tersbut dibuat berwarna. Ketiga motif ragam hias
tersebut dimaksudkan untuk memperindah bangunan dan ruangan masinding khususnya, dengan makna
filofosis menggambarkan kesuburan alam Jambi.
Setelah kita dibuat terpukau dengan ukiran-ukiran yang terdapat di ruang masinding, langsung saja kita
memasuki ruang tengah. Ruang tengah adalah ruang yang berada di tengah-tengah Rumah Panggung
Kajang Leko. Antara ruang tengah dengan ruang masinding ini tidak disekat oleh dinding. Fungsinya
secara khusus, ruang tengah ini ditempati oleh para wanita pada saat pelaksanaan upacara adat. Ruangan
lain dalam rumah tinggal orang Bathin adalah ruang balik menalam atau ruang dalam. Ruangan ini dibagi
lagi menjadi beberapa bagian, atara lain; ruang makan, ruang tidur anak gadis, dan ruang tidur orang tua.
Berikutnya adalah ruang balik malintang. Ruang ini terletak di ujung sebelah kanan Rumah Panggung
Kajang Leko dengan posisi menghadap ke ruang tengah dan ruang masinding. Lantai pada ruangan ini
dibuat lebih tinggi daripada ruangan lainnya, karena berfungsi sebagai ruang utama, ruangan ini tidak
boleh ditempati oleh sembarang orang. Besarnya ruangan balik melintang berukuran 29 meter, atau
sama dengan luas ruang gaho. Seperti halnya ruang gaho, ruangan balik melintang pun dihiasi ragam
ukiran yang berbentuk ikan yang sudah distilir ke dalam bentuk daun-daunan yang dilengkapi dengan
bentuk sisik ikan.
Sementara di bagian bawah terdapat ruang bauman. Ruang ini tidak berlantai dan tidak berdinding,
dipergunakan untuk menyimpan abrang, atau memasak pada waktu ada pesta, serta kegiatan
lainnya. Rumah Panggung Kajang Leko memiliki dua tangga, yaitu: tangga utama yang terdapat di
sebelah kanan pelamban dan tangga penteh yang dipakai untuk naik ke penteh.
Rumah Panggung Kajang Leko adalah salah satu bentuk pengejawantahan cita rasa seni, budaya, dan
keyakinan masyarakat Jambi yang tersirat mulai dari bentuk bangunan, fungsi ruangan, seni ukiran, dll.
Padahal pada awal peradaban manusia, fungsi dasar rumah adalah untuk melindungi gangguan alam dan
binatang. Namun sejalan dengan peradaban, fungsi rumah berkembang sebagai sumber rasa aman dan
kenyamanan. Secara sosial rumah juga berfungsi sebagai tatus simbol dan ukuran kemakmuran. Kini
keberadaan Rumah Panggung Kajang Leko juga digunakan sebagai sarana investasi, pariwisata, dan
sumber penilitian akademiki.

RUMAH ADAT PROPINSI SUMATERA SELATAN

Merupakan Rumah panggung kayu. Bari dalam bahasa Palembang berarti lama atau kuno. Dari segi
arsitektur, rumah-rumah kayu itu disebut rumah limas karena bentuk atapnya yang berupa limasan.
Sumatera Selatan adalah salah satu daerah yang memiliki ciri khas rumah limas sebagai rumah tinggal.
Alam Sumatera Selatan yang lekat dengan perairan tawar, baik itu rawa maupun sungai, membuat
masyarakatnya membangun rumah panggung. Di tepian Sungai Musi masih ada rumah limas yang pintu
masuknya menghadap ke sungai.

Rumah panggung secara fungsional memenuhi syarat mengatasi kondisi rawa dan sungai seperti di
Palembang, yang sempat dijuluki Venesia dari Timur karena ratusan anak sungai yang mengelilingi
wilayah daratannya. Batanghari sembilan adalah sebutan untuk Sungai-sungai yang bermuara ke Sungai
Musi. Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Enim, Sungai Hitam, Sungai Rambang,
Sungai Lubay.Namun, seiring berjalannya waktu, lingkungan perairan sungai dan rawa justru semakin
menyempit. Rumah- rumah limas yang tadinya berdiri bebas di tengah rawa atau di atas sungai akhirnya
dikepung perkampungan.

Ada dua jenis rumah limas di Sumatera Selatan, yaitu rumah limas yang dibangun dengan ketinggian
lantai yang berbeda dan yang sejajar. Rumah limas yang lantainya sejajar ini kerap disebut rumah ulu.

Bangunan rumah limas biasanya memanjang ke belakang. Ada bangunan yang ukuran lebarnya 20 meter
dengan panjang mencapai 100 meter. Rumah limas yang besar melambangkan status sosial pemilik
rumah. Biasanya pemiliknya adalah keturunan keluarga Kesultanan Palembang, pejabat pemerintahan
Hindia Belanda, atau saudagar kaya.

Bangunan rumah limas memakai bahan kayu unglen atau merbau yang tahan air. Dindingnya terbuat
dari papan-papan kayu yang disusun tegak. Untuk naik ke rumah limas dibuatlah dua undak-undakan
kayu dari sebelah kiri dan kanan.

Bagian teras rumah biasanya dikelilingi pagar kayu berjeruji yang disebut tenggalung. Makna filosofis di
balik pagar kayu itu adalah untuk menahan supaya anak perempuan tidak keluar dari rumah. Memasuki
bagian dalam rumah, pintu masuk ke rumah limas adalah bagian yang unik. Pintu kayu tersebut jika
dibuka lebar akan menempel ke langit-langit teras. Untuk menopangnya, digunakan kunci dan pegas.
Bagian dalam ruangan tamu, yang disebut kekijing, berupa pelataran yang luas. Ruangan ini menjadi
pusat kegiatan berkumpul jika ada perhelatan. Ruang tamu sekaligus menjadi "ruang pamer" untuk
menunjukkan kemakmuran pemilik rumah. Bagian dinding ruangan dihiasi dengan ukiran bermotif flora
yang dicat dengan warna keemasan. Tak jarang, pemilik menggunakan timah dan emas di bagian ukiran
dan lampu- lampu gantung antik sebagai aksesori.

Bagi pemilik rumah yang masih memerhatikan perbedaan kasta dalam keturunan adat Palembang,
mereka akan membuat lantai rumahnya bertingkat-tingkat untuk menyesuaikan kasta tersebut. Salah
satu rumah limas yang menghormati perbedaan adat itu adalah rumah limas milik keluarga almarhum
Bayumi Wahab. Lantai rumah itu dibuat menjadi tiga tingkat sesuai dengan urutan keturunan
masyarakat Palembang, yaitu raden, masagus, dan kiagus. Rumah yang berada di Jalan Mayor Ruslan ini
awalnya berdiri di daerah Tanjung Sejaro, Ogan Komering Ilir. Rumah ini dipindahkan ke Palembang
tahun 1962, tetapi rumah tersebut tidak lagi dipakai sebagai hunian sehari-hari.

Begitulah, rumah limas yang tidak sekadar indah, tetapi juga mempunyai banyak filosofi di dalamnya,
pelan-pelan tertinggal oleh kemajuan zaman

RUMAH ADAT PROVINSI LAMPUNG

Rumah Adat Lampung umumnya terdiri dari bangunan tempat tinggal disebut Lamban, Lambahana atau
Nuwou, bangunan ibadah yang disebut Mesjid, Mesigit, Surau, Rang Ngaji, atau Pok Ngajei, bangunan
musyawarah yang disebut sesat atau bantaian, dan bangunan penyimpanan bahan makanan dan benda
pusaka yang disebut Lamban Pamanohan
Rumah adat orang Lampung biasanya didirikan dekat sungai dan berjajar sepanjang jalan utama yang
membelah kampung, yang disebut tiyuh. Setiap tiyuh terbagi lagi ke dalam beberapa bagian yang disebut
bilik, yaitu tempat berdiam buway . Bangunan beberapa buway membentuk kesatuan teritorial-genealogis
yang disebut marga. Dalam setiap bilik terdapat sebuah rumah klen yang besar disebut nuwou menyanak.
Rumah ini selalu dihuni oleh kerabat tertua yang mewarisi kekuasaan memimpin keluarga.
Arsitektur lainnya adalah lamban pesagi yang merupakan rumah tradisional berbentuk panggung yang
sebagian besar terdiri dari bahan kayu dan atap ijuk. Rumah ini berasal dari desa Kenali Kecamatan
Belalau, Kabupaten Lampung Barat.. Ada dua jenis rumah adat Nuwou Balak aslinya merupakan rumah
tinggal bagi para Kepala Adat (penyimbang adat), yang dalam bahasa Lampung juga disebut Balai
Keratun. Bangunan ini terdiri dari beberapa ruangan, yaitu Lawang Kuri (gapura), Pusiban (tempat tamu
melapor) dan Ijan Geladak (tangga "naik" ke rumah); Anjung-anjung (serambi depan tempat menerima
tamu), Serambi Tengah (tempat duduk anggota kerabat pria), Lapang Agung (tempat kerabat wanita
berkumpul), Kebik Temen atau kebik kerumpu (kamar tidur bagi anak penyimbang bumi atau anak
tertua), kebik rangek (kamar tidur bagi anak penyimbang ratu atau anak kedua), kebik tengah (yaitu
kamar tidur untuk anak penyimbang batin atau anak ketiga).
Bangunan lain adalah Nuwou Sesat. Bangunan ini aslinya adalah balai pertemuan adat tempat para
purwatin (penyimbang) pada saat mengadakan pepung adat (musyawarah). Karena itu balai ini juga
disebut Sesat Balai Agung. Bagian bagian dari bangunan ini adalah ijan geladak (tangga masuk yang
dilengkapi dengan atap).
Atap itu disebut Rurung Agung. Kemudian anjungan (serambi yang digunakan untuk pertemuan kecil,
pusiban (ruang dalam tempat musyawarah resmi), ruang tetabuhan (tempat menyimpan alat musik
tradisional), dan ruang Gajah Merem ( tempat istirahat bagi para penyimbang) . Hal lain yang khas di
rumah sesat ini adalah hiasan payung-payung besar di atapnya (rurung agung), yang berwarna putih,
kuning, dan merah, yang melambangkan tingkat kepenyimbangan bagi masyarakat tradisional Lampung
Pepadun.
Arsitek tradisinoal Lampung lainnya dapat ditemukan di daerah Negeri Olokgading, Teluk Betung Barat,
Bandar Lampung. Negeri Olokgading ini termasuk Lampung Pesisir Saibatin .Begitu memasuki
Olokgading kita akan menjumpai jajaran rumah panggung khas Lampung Pesisir, dan di sanalah kita akan
melihat Lamban Dalom Kebandaran Marga Olokgading, yang menjadi pusat adat istiadat Marga Balak
Olokgading. Bangunan ini berbahan kayu dan di depan rumah berdiri plang nama bertuliskan Lamban
Dalom Kebandaran Marga Balak Lampung Pesisir. Bentuknya sangat unik dan khas dengan siger besar
berdiri megah di atas bangunan bagian muka .
Sampai sekarang lamban dalom ini ditempati kepala adat Marga Balak secara turun temurun.
Meskipun berada di perkotaan, fungsi rumah panggung tidak begitu saja hilang. Lamban Dalom
Kebandaran Marga Balak berfungsi sebagai tempat rapat, musyawarah, begawi, dan acara-acara adat lain.
Di Lamban Dalom ini ada siger yang berusia ratusan tahun, konon sudah ada sebelum Gunung Krakatau
meletus. Siger yang terbuat dari bahan perak ini adalah milik kepala adat dan diwariskan secara turun
temurun.Siger ini hanyalah salah satu artefak atau peninggalan budaya yang sudah ratusan tahun usianya
disimpan oleh Marga Balak. Selain siger ada juga keris, pedang, tombak samurai, kain sarat( kain khas
Lampung Pesisir seperti tapis), terbangan( alat musik pukul seperti rebana), dan tala(sejenis alat musik
khas Lampung sejenis kulintang) dan salah satunya dinamakan Talo Balak.

Anda mungkin juga menyukai