Anda di halaman 1dari 19

UU Praktik Keperawatan

June 3, 2008 by mirzal tawi

Undang – undang praktik keperawatan sudah lama menjadi bahan diskusi para
perawat. PPNI pada kongres Nasional ke duanya di Surabaya tahun 1980 mulai
merekomendasikan perlunya bahan-bahan perundang-undangan untuk perlindungan
hukum bagi tenaga keperawatan.
Tidak adanya undang-undang perlindungan bagi perawat menyebabkan perawat
secara penuh belum dapat bertanggung jawab terhadap pelayanan yang mereka lakukan.
Tumpang tindih antara tugas dokter dan perawat masih sering terjadi dan beberapa
perawat lulusan pendidikan tingi merasa frustasi karena tidak adanya kejelasan tentang
peran, fungsi dan kewenangannya. Hal ini juga menyebabkan semua perawat dianggap
sama pengetahuan dan ketrampilannya, tanpa memperhatikan latar belakang ilmiah yang
mereka miliki.
Undang-Undang yang ada di Indonesia yang berkaitan dengan praktik
keperawatan :
UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan
Bab II (Tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa
pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum.
UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan.
UU ini merupakan penjabaran dari UU No. 9 tahun 1960. UU ini
membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi
dokter, dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan
sarjana atau tenaga kesehatan dengan pendidikan rendah, termasuk bidan dan asisten
farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah pengawasan dokter, dokter gigi
dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada tenaga pendidikan rendah dapat diberikan
kewenangan terbatas untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan langsung.
UU ini boleh dikatakan sudah usang karena hanya mengkalasifikasikan tenaga
kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan bukan sarjana). UU ini juga tidak
mengatur landasan hukum bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya.
Dalam UU ini juga belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan
seperti sekarang ini dan perawat ditempatkan pada posisi yang secara hukum tidak
mempunyai tanggung jawab mandiri karena harus tergantung pada tenaga kesehatan
lainnya.
UU Kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang Wajib Kerja Paramedis.
Pada pasal 2, ayat (3) dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda,
menengah dan rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3
tahun.
Dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga
kesehatan yang dimaksud pada pasaal 2 memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri
sehingga peraturan-peraturan pegawai negeri juga diberlakukan terhadapnya.
UU ini untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan kemampuan pemerintah
dalam mengangkat pegawai negeri. Penatalaksanaan wajib kerja juga tidak jelas
dalam UU tersebut sebagai contoh bagaimana sistem rekruitmen calon peserta wajib
kerja, apa sangsinya bila seseorang tidak menjalankan wajib kerja dan lain-lain. Yang
perlu diperhatikan bahwa dalam UU ini, lagi posisi perawat dinyatakan sebagai
tenaga kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga
dari aspek profesionalisasian, perawat rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung
jawab terhadap pelayanannya sendiri.
SK Menkes No. 262/Per/VII/1979 tahun 1979
Membedakan paramedis menjadi dua golongan yaitu paramedis keperawatan
(temasuk bidan) dan paramedis non keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang
perlu dicatat disini bahwa tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk
katagori tenaga keperawatan.

Permenkes. No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun 1980


Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga
keperawaan dan bidan. Bidan seperti halnya dokter, diijinkan mengadakan praktik
swasta, sedangkan tenaga keperawatan secara resmi tidak diijinkan. Dokter dapat
membuka praktik swasta untuk mengobati orang sakit dan bidang dapat menolong
persalinan dan pelayanan KB. Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil
bagi profesi keperawatan. Kita ketahui negara lain perawat diijinkan membuka
praktik swasta. Dalam bidang kuratif banyak perawat harus menggatikan atau
mengisi kekurangan tenaga dokter untuk menegakkan penyakit dan mengobati
terutama dipuskesmas-puskesma tetapi secara hukum hal tersebut tidak dilindungi
terutama bagi perawat yang memperpanjang pelayanan di rumah. Bila memang
secara resmi tidak diakui, maka seyogyanya perawat harus dibebaskan dari pelayanan
kuratif atau pengobatan utnuk benar-benar melakukan nursing care.
SK Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No.
94/Menpan/1986, tanggal 4 November 1986, tentang jabatan fungsional tenaga
keperawatan dan sistem kredit point.
Dalam sisitem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya
atau naik pangkatnya setiap dua tahun bila memenuhi angka kredit tertentu.
Dalam SK ini, tenaga keperawatan yang dimaksud adalah : Penyenang
Kesehatan, yang sudah mencapai golingan II/a, Pengatur Rawat/Perawat
Kesehatan/Bidan, Sarjana Muda/D III Keperawatan dan Sarjana/S1 Keperawatan.
Sistem ini menguntungkan perawat, karena dapat naik pangkatnya dan tidak
tergantung kepada pangkat/golongan atasannya
UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992, merupakan UU yang banyak memberi
kesempatan bagi perkembangan termasuk praktik keperawatan profesional karena
dalam UU ini dinyatakan tentang standar praktik, hak-hak pasien,
kewenangan,maupun perlindungan hukum bagi profesi kesehatan termasuk
keperawatan.
Beberapa pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai
acuan pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah :
Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi
dan hak-hak pasien ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas
menyelenggarakan atau melaksanakan kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan
kewenangannya
Pasal 53 ayat 4 menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan
hukum bagi tenaga kesehatan.
Issue Utama Hari Perawat Sedunia, 12 Mei 2008.

Oleh: Edy Wuryanto, SKp *)

12 Mei 2008 adalah Hari Keperawatan Sedunia. Di Indonesia, memontum tersebut akan
digunakan untuk mendorong berbagai pihak mengesahkan Rancangan Undang-Undang
Praktik keperawatan. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menganggap bahwa
keberadaan Undang-Undang akan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat
terhadap pelayanan keperawatan dan profesi perawat. Indonesia, Laos dan Vietnam
adalah tiga Negara ASEAN yang belum memiliki Undang-Undang Praktik Keperawatan.
Padahal, Indonesia memproduksi tenaga perawat dalam jumlah besar. Hal ini
mengakibatkan kita tertinggal dari negara-negara Asia, terutama lemahnya regulasi
praktik keperawatan, yang berdampak pada sulitnya menembus globalisasi. Perawat kita
sulit memasuki dan mendapat pengakuan dari negara lain, sementara mereka akan mudah
masuk ke negara kita.

Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang Praktik Keperawatan dibutuhkan.


Pertama, alasan filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan
derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari
pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan
perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan
pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga
memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian
yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika
profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas,
kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi,
pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi,
fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan
kesesuaian interprofesional (WHO, 2002).
Kedua, alasan yuridis. UUD 1945, pasal 5, menyebutkan bahwa Presiden
memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Demikian Juga UU Nomor 23 tahun 1992, Pasal 32, secara eksplisit
menyebutkan bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu
kedokteran dan atau ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Sedang pasal 53, menyebutkan
bahwa tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan
tugas sesuai dengan profesinya. Ditambah lagi, pasal 53 bahwa tenaga kesehatan dalam
melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak
pasien. Disisi lain secara teknis telah berlaku Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat.

Ketiga, alasan sosiologis. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya


pelayanan keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigma
dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari model medikal yang menitikberatkan
pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang lebih
holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus
pelayanan (Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan
keperawatan yang mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai
bagian integral dari pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada
pemberian dan penyelenggaraan pelayanan keperawatan.

Konsil Keperawatan.

Indonesia menghasilkan demikian banyak tenaga perawat setiap tahun. Daya serap
Dalam Negeri rendah. Sementara peluang di negara lain sangat besar. Inggris merekrut
20.000 perawat/tahun, Amerika sekitar 1 juta RN sampai dengan tahun 2012, Kanada
sekitar 78.000 RN sampai dengan tahun 2011, Australia sekitar 40.000 sampai dengan
tahun 2010. Belum termasuk Negara-negara Timur Tengah yang menjadi langganan kita.
Peluang ini sulit dipenuhi karena perawat kita tidak memiliki kompetensi global. Oleh
karena itu, keberadaan Konsil Keperawatan/Nursing Board sangat dibutuhkan. Konsil ini
yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengaturan, pengesahan, serta penetapan
kompetensi perawat yang menjalankan praktik dalam rangka meningkatkan mutu
pelayanan. Konsil bertujuan untuk melindungi masyarakat, menentukan siapa yang boleh
menjadi anggota komunitas profesi (mekanisme registrasi), menjaga kualitas pelayanan
dan memberikan sangsi atas anggota profesi yang melanggar norma profesi (mekanisme
pendisiplinan). Konsil akan bertanggungjawab langsung kepada presiden, sehingga
keberadaan Konsil Keperawatan harus dilindungi oleh Undang-Undang Praktik
Keperawatan.

Tentunya kita tidak ingin hanya untuk memperoleh pengakuan Registered Nurse (RN)
perawat kita harus meminta-minta kepada Malaysia, Singapura atau Australia. Negara
yang telah memiliki Nursing Board. Mekanisme, prosedur, sistem ujian dan biaya
merupakan hambatan. Belum lagi pengakua dunia internasional terhadap perawat
Indonesia. Oleh karena itu, sesuatu yang ironis ketika banyak negara membutuhkan
perawat kita tetapi lembaga yang menjamin kompetensinya tidak dikembangkan.

Kepentingan besar itulah yang saat ini sedang diperjuangkan oleh Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI). PPNI telah beberapa kali melobi Pemerintah, khususnya
Departemen Kesehatan dan DPR untuk melolosan RUU Praktik Keperawatan menjadi
Undang-Undang. Tetapi upaya itu masih sulit ditembus karena mereka menganggap
urgensi RUU ini masih dipertanyakan. Sementara tuntutan arus bawah demikian kuat.
Oleh karena itu, menindaklanjuti rekomendasi PPNI di Semarang, Hari Perawat Sedunia
12 Mei 2008 digunakan sebagai Hari Kebangkitan Perawat Sedunia untuk
memperjuangkan pengembangan keperawatan di masa yang akan datang.

*) adalah Sekretaris Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Propinsi Jawa Tengah
dan Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang (UNIMUS)
PEMBERDAYAAN PERAWAT DAN UU PRAKTIK KEPERAWATAN
Date: Friday, 16 May 2008 (15:20:19) WIT
Topic: Artikel

Issue Utama Hari Perawat Sedunia, 12 Mei 2008.

Oleh : Prof. Achir Yani S. Hamid, MN., DNSc.*)

12 Mei 2008 adalah Hari Keperawatan Sedunia. International Council of Nurses (ICN)
mengangkat tema”Delivering Quality, Serving Communities: Nurses Leading Primary
Health Care”. Tema tersebut sesungguhnya sangat relevan dengan kondisi Bangsa
Indonesia karena Pertama, Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat turut bertanggung
jawab untuk mewujudkan derajat kesehatan setinggi tingginya. Pada tahun 2004-2009,
Pemerintah telah menetapkan kebijakan pembangunan kesehatan yang diarahkan pada
peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas puskesmas, peningkatan kualitas dan kuantitas
tenaga kesehatan, pengembangan sistem jaminan kesehatan terutama bagi penduduk
miskin, peningkatan sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat, peningkatan
pendidikan kesehatan pada masyarakat sejak usia dini serta pemerataan dan peningkatan
kualitas fasilitas kesehatan dasar. Bahkan, pada tahun 2006, Menteri Kesehatan RI
menetapkan flatform baru, terutama inisiatif nasional untuk mobilisasasi sosial dan
pemberdayaan masyarakat serta meningkatkan kinerja sistem kesehatan.

Kedua, Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah tetapi masalah kesehatan justru semakin
kompleks. Krisis ekonomi dan berbagai bencana alam menyebabkan terpuruknya kondisi
masyarakat termasuk masalah kesehatan. Sebagian masyarakat tidak lagi mampu
membiayai pelayanan kesehatannya sendiri. Pola pelayanan kesehatan dasar sebagian
besar masih di bawah standar pelayanan minimum (Direktorat Kesehatan dan Gizi
Masyarakat Bappenas). Padahal, Pelayanan Kesehatan Dasar sangat diperlukan untuk
menanggulangi berbagai masalah kesehatan yang berkembang di masyarakat. Hal ini
mengakibatkan penyakit tidak menular meningkat drastis. Di Jawa dan Bali, sekitar 20
juta orang menderita penyakit jantung, dan 30% penyakit ini menyebabkan kematian.
Disisi lain, penyakit menular masih tinggi. Sekitar 22% kematian disebabkan oleh
penyakit menular dan parasit. Demikian juga angka kematian ibu 248/100,000 kelahiran
hidup, angka kematian bayi 26.9/1,000 kelahiran hidup (Data Pusat Statistik, 2007). Hal
ini sangat memprihatinkan, mengingat di Vietnam hanya 18, Thailand, 17, Filipina, 26,
Malaysia, 5.5, dan Singapura, 3. padahal angka-angka tersebut merupakan indikator
kesehatan suatu bangsa.

Masalah gizi juga sangat memprihatinkan. Pada tahun 2007, penderita gizi kurang
mencapai 21.9%. Pada tahun 2005 terdapat sekitar 5 juta anak menderita gizi kurang
dimana 1,5 juta diantaranya menderita gizi buruk, dan 150,000 diantaranya mengalami
gizi buruk berat (marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor). Ada sekitar 232
balita meninggal dunia karena masalah pada periode Januari-November 2005. Kondisi ini
mengakibatkan pertahanan tubuh lemah sehingga penyakit menular seperti TB Paru,
Malaria, dan demam berdarah cenderung meningkat. Bahkan, angka kesakitan TB Paru
mencapai 102/100,000. Hal yang sama juga terjadi pada lanjut usia (lansia). Lansia akan
tumbuh sebesar 7%. Pada tahun 1990 sampai 2025, Indonesia akan mengalami kenaikan
lansia hingga 414%. Angka ini menjadikan kita menduduki peringkat ke-3 dunia, setelah
Cina dan India (Bureau of the Cencus USA, 1993). Pada awal abad ke 21 ini diperkirakan
mencapai 15 juta orang dan pada tahun 2020 jumlah lanjut usia tersebut akan meningkat
sekitar 30-40 juta orang.
Ketiga, Alokasi anggaran kesehatan kita masih di bawah standar WHO, yaitu minimal
5%. Anggaran sekecil itu oleh pemerintah diarahkan pada bantuan Jaminan Kesehatan
Masyarakat bagi yang sakit, bukan pada upaya promotif dan preventif. Disisi lain,
kemampuan fiskal daerah tidak menjamin alokasi biaya kesehatan, terutama public
goods, disaat kemampuan masyarakat miskin untuk menjangkau pelayanan kesehatannya
masih rendah. Hal ini mengakibatkan kita tertinggal dalam pencapaian berbagai indikator
kesehatan dasar.
Keempat, seluruh potensi profesi kesehatan belum dioptimalkan. Sejak dulu hingga
sekarang, profesi kesehatan selalu diarahkan untuk pelayanan pengobatan (kuratif).
Perawat sesungguhnya memiliki kemampuan dan kompetensi untuk memimpin
pelayanan kesehatan primer. Perawat mampu memberdayakan keluarga dan masyarakat
untuk membantu mengatasi masalah kesehatannya sendiri.
Undang-Undang Praktik Keperawatan.

Tetapi, dalam peringatan Hari Perawat Sedunia ini Persatuan Perawat Nasional Indonesia
(PPNI) lebih mendorong disahkannya Undang-Undang Praktik Keperawatan. Hal ini
karena pertama, Keperawatan sebagai profesi memiliki karateristik yaitu, adanya
kelompok pengetahuan (body of knowledge) yang melandasi keterampilan untuk
menyelesaikan masalah dalam tatanan praktik keperawatan; pendidikan yang memenuhi
standar dan diselenggarakan di Perguruan Tinggi; pengendalian terhadap standar praktik;
bertanggungjawab dan bertanggungugat terhadap tindakan yang dilakukan; memilih
profesi keperawatan sebagai karir seumur hidup, dan; memperoleh pengakuan
masyarakat karena fungsi mandiri dan kewenangan penuh untuk melakukan pelayanan
dan asuhan keperawatan yang beriorientasi pada kebutuhan sistem klien (individu,
keluarga, kelompok dan komunitas).

Kedua, Kewenangan penuh untuk bekerja sesuai dengan keilmuan keperawatan yang
dipelajari dalam suatu sistem pendidikan keperawatan yang formal dan terstandar
menuntut perawat untuk akuntabel terhadap keputusan dan tindakan yang dilakukannya.
Kewenangan yang dimiliki berimplikasi terhadap kesediaan untuk digugat, apabila
perawat tidak bekerja sesuai standar dan kode etik. Oleh karena itu, perlu diatur sistem
registrasi, lisensi dan sertifikasi yang ditetapkan dengan peraturan dan perundang-
undangan. Sistem ini akan melindungi masyarakat dari praktik perawat yang tidak
kompeten, karena Konsil Keperawatan Indonesia yang kelak ditetapkan dalam Undang
Undang Praktik Keperawatan akan menjalankan fungsinya. Konsil Keperawatan melalui
uji kompetensi akan membatasi pemberian kewenangan melaksanakan praktik
keperawatan hanya bagi perawat yang mempunyai pengetahuan yang dipersyaratkan
untuk praktik. Sistem registrasi, lisensi dan sertifikasi ini akan meyakinkan masyarakat
bahwa perawat yang melakukan praktik keperawatan mempunyai pengetahuan yang
diperlukan untuk bekerja sesuai standar.
Ketiga, perawat telah memberikan konstribusi besar dalam peningkatan derajat
kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan mulai dari
pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil dan
perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan
pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga
memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian
yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika
profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas,
kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi,
pemerintah dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi,
fleksibilitas, efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan
kesesuaian interprofesional (WHO, 2002).

Keempat, Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan


keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran paradigma dalam
pemberian pelayanan kesehatan, dari model medikal yang menitikberatkan pelayanan
pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang lebih holistik yang
melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan
(Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang
mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian integral dari
pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan
penyelenggaraan pelayanan keperawatan.

Negara-negara ASEAN seperti Philippines, Thailand, Singapore, Malaysia, sudah


memiliki Undang Undang Praktik Keperawatan (Nursing Practice Acts) sejak puluhan
tahun yang lalu. Mereka siap untuk melindungi masyarakatnya dan lebih siap untuk
menghadapi globalisasi perawat asing yang masuk ke negaranya dan perawatnya bekerja
di negara lain. Ketika penandatanganan Mutual Recognition Arrangement di Philippines
tahun 2006, posisi Indonesia, bersama dengan Vietnam, Laos dan Myanmar, yang belum
memiliki Konsil Keperawatan. Semoga apa yang dilakukan oleh PPNI dapat mengangkat
derajad bangsa ini dengan negara lain, khususnya dalam pelayanan keperawatan.
*) adalah Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia ( PP PPNI)
dan Guru Besar Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Dalam rangka Hari Keperawatan Sedunia besok, kita-kita (perawat) mau aksi, ini
sebenarnya untuk pencerdasan buat semuanya. Tulisan temen, sebenernya aku udah niat
banget mau bikin tulisan, tapi berhubung kerjaan banyak, sampe hari ini belom sempet
juga (loh kok jadi curhat?). Selamat membaca..Hidup Perawat Indonesia!!
www.inna-ppni.or.id/index.php?name=News&file=article&sid=208 - 49k

oleh: Yudi Ariesta Candra

Pentingnya Undang-Undang keperawatan

Keperawatan merupakan salah satu profesi dalam dunia kesehatan. Sebagai profesi, tentunya
pelayanan yang diberikan harus profesional, sehingga para perawat/ ners harus memilki kompetensi dan
memenuhi standar praktik keperawatan, serta memperhatikan kode etik dan moral profesi agar masyarakat
menerima pelayanan dan asuhan keperawatan yang bermutu.

Saat ini 40% - 75% pelayanan di rumah sakit merupakan pelayanan keperawatan (Swansburg,
1999). Hal ini dikarenakan telah terjadi pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan dari
model medikal yang menitikberatkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan ke paradigma
sehat yang lebih holistik yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi, bukan sebagai fokus
pelayanan (Cohen, 1996). Berdasarkan hasil penelitian Direktorat Keperawatan dan PPNI mengenai
kegiatan perawat di Puskesmas, ternyata lebih dari 75% dari seluruh kegiatan pelayanan adalah kegiatan
pelayanan keperawatan (Depkes, 2005). Dari sini kita dapat menyadari bahwa perawat berada pada posisi
kunci dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada masayarakat, sehingga diperlukan suatu regulasi yang
jelas dalam mengatur pemberian asuhan keperawatan dan perlindungan hukum pun mutlak didapatkan oleh
perawat.

Tetapi bila kita lihat realita yang ada, dunia keperawatan di Indonesia masih memprihatinkan.
Fenomena “gray area” pada berbagai jenis dan jenjang keperawatan yang ada maupun dengan profesi
kesehatan lainnya masih sulit dihindari. Berdasarkan hasil kajian (Depkes & UI, 2005 ) menunjukkan
bahwa terdapat perawat yang menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep obat (93,1%),
melakukan tindakan pengobatan di dalam maupun di luar gedung Puskesmas (97,1%), melakukan
pemeriksaan kehamilan (70,1%), melakukan pertolongan persalinan (57,7%), melaksanakan tugas petugas
kebersihan (78,8%), dan melakukan tugas admisnistrasi seperti bendahara, dll (63,6%).

Pada keadaan darurat, “gray area” sering sulit dihindari. Dalam keadaan ini, perawat yang
tugasnya berada di samping klien selama 24 jam sering mengalami kedaruratan klien sedangkan tidak ada
dokter yang bertugas. Hal ini membuat perawat terpaksa melakukan tindakan medis yang bukan merupakan
wewenangnya demi keselamatan klien. Tindakan yang dilakukan tanpa ada delegasi dan petunjuk dari
dokter, terutama di Puskesmas yang hanya memiliki satu dokter yang berfungsi sebagai pengelola
Puskesmas, sering menimbulkan situasi yang mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan.
Fenomena ini tentunya sudah sering kita jumpai di berbagai Puskesmas terutama di daerah-daerah
terpencil. Dengan pengalihan fungsi ini, maka dapat dipastikan fungsi perawat akan terbengkalai, dan tentu
saja hal ini tidak mendapatkan perlindungan hukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
professional.

Kemudian fenomena melemahnya kepercayaan masyarakat dan maraknya tuntutan hukum


terhadap praktik tenaga kesehatan termasuk keperawatan, sering diidentikkan dengan kegagalan upaya
pelayanan kesehatan. Padahal perawat hanya melakukan daya upaya sesuai disiplin ilmu keperawatan.

Dari beberapa kenyataan di atas, jelas bahwa diperlukan suatu ketetapan hukum yang mengatur
praktik keperawatan dalam rangka menjamin perlindungan terhadap masyarakat penerima pelayanan
asuhan keperawatan serta perawat sebagai pemberi pelayanan asuhan keperawatan. Hanya perawat yang
memenuhi persyaratan yang mendapatkan izin melakukan praktik keperawatan.

Untuk itu diperlukan Undang-undang Praktik keperawatan yang mengatur keberfungsian Konsil
Keperawatan sebagai badan regulator untuk melindungi masyarakat. Fungsi Konsil keperawatan, sebagai
Badan Independen yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden, yakni mengatur sistem registrasi,
lisensi, dan sertifikasi bagi praktik perawat (PPNI, 2006). Dengan adanya Undang-undang Praktik
Keperawatan maka akan terdapat jaminan terhadap mutu dan standar praktik, di samping sebagai
perlindungan hukum bagi pemberi dan penerima asuhan keperawatan.

Seruan Aksi Nasional Perawat sukseskan UU Keperawatan.

Saat ini desakan dari seluruh elemen keperawatan akan perlunya UU Keperawatan semakin tinggi.
Uraian di atas cukup menggambarkan betapa pentingnya UU Keperawatan tidak hanya bagi perawat
sendiri, melainkan juga bagi masyarakat selaku penerima asuhan keperawatan. Sejak dilaksanakannya
Lokakarya Nasional Keperawatan tahun 1983 yang menetapkan bahwa keperawatan merupakan profesi dan
pendidikan keperawatan berada pada pendidikan tinggi, berbagai cara telah dilakukan dalam memajukan
profesi keperawatan.

Pada tahun 1989, PPNI sebagai organisasi profesi perawat di Indonesia mulai memperjuangkan
terbetuknya UU Keperawatan. Berbagai peristiwa penting terjadi dalam usaha mensukseskan UU
Keperawatan ini. Pada tahun 1992 disahkanlah UU Kesehatan yang di dalamnya mengakui bahwa
keperawatan merupakan profesi ( UU Kesehatan No.23, 1992). Peristiwa ini penting artinya, karena
sebelumnya pengakuan bahwa keperawatan merupakan profesi hanya tertuang dalam Peraturan Pemerintah
( PP No.32, 1966). Dan usulan UU Keperawatan baru disahkan menjadi Rancangan Undang-uandang
( RUU) Keperawatan pada tahun 2004.

Perlu kita ketahui bahwa untuk membuat suatu undang-undang dapat ditempuh dengan dua cara
yakni melalui Pemerintah (UUD 1945 Pasal 5 ayat 1) dan melalui DPR (Badan Legislatif Negara). Selama
hampir 20 tahun ini PPNI memperjuangkan UU Keperawatan melalui Pemerintah, dalam hal ini Depkes
RI. Dana yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Tapi kenyataannya hingga saat ini RUU keperawatan berada
pada urutan 250-an pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas), yang pada tahun 2007 berada pada
urutan 160 ( PPNI, 2008).

Berdasarkan hal tersebut, akhirnya PPNI merubah haluan dalam memperjuangkan UU


Keperawatan, yakni dengan melalui DPR RI.

Tentunya, pengetahuan masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan mutlak diperlukan. Hal ini
terkait status DPR yang merupakan lembaga perwakilan rakyat, sehingga pembahasan-pembahasan yang
dilakukan merupakan masalah yang sedang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, pencerdasan kepada
masyarakat akan pentingnya UU Keperawatn harus dilakukan agar masyarakat merasa butuh dan usulan
UU Keperawatan pun masuk dalam agenda DPR RI.

Berkaitan dengan itu, pada Rakernas II PPNI, 17 – 19 Mei 2008 di Semarang, disepakati
pelaksanaan Gerakan Nasional Perawat Sukseskan Undang-undang Keperawatan dengan turun ke jalan
melakukan demonstrasi ke DPR RI dan melakukan aksi simpatik, dengan tidak meninggalkan pelayanan
dengan tujuan pem-blow up-an isu pentingnya UU Keperawatan ke masyarakat yang pada akhirnya
memberi desakan kepada DPR RI untuk segera mengesahkan UU Keperawatan.

Pentingnya Keikutsertaan Mahasiswa

Perlu kita cermati bahwa aksi nasional yang akan dilakukan bukan sekedar aksi yang
mengatasnamakan perawat seja, tetapi juga nama baik profesi keperawatan keseluruhan. Keberhasilan
pelaksanaan aksi tidak hanya menjadi presiden yang baik untuk profesi ini tetapi juga memperlancar
terbentuknya UU Keperawatan, demikian pula sebaliknya.
Belajar dari pengalaman tahun lalu, saat memperingati Hari Keperawatan Sedunia di mana
mahasiswa berjalan sendiri dengan aksi demonstrasinya di HI dan PPNI sibuk dengan konferensi pers-nya
padahal kenyataannya dua kegiatan tersebut memiliki tujuan yang sama yakni Pencerdasan public tentan
UU Keperawatan, yang berujung pada kurang ter-blow up-nya isu ke masyarakat, dapat menjadi pelajaran
untuk kita semua bahwa pentingnya kesatuan gerak seluruh elemen keperawatan dalam mensukseskan UU
Keperawatan. Pelaksanaan Aksi Nasional 12 Mei 2008 ini merupakan momentum yang tepat untuk mulai
mewujudkannya.

Mahasiswa keperawatan dengan kuantitas massa dan intelektualitasnya yang besar dapat menjadi
salah satu kekuatan utama dalam pelaksanaan aksi nasional ini. Dan mengingat bahwa aksi ini merupakan
awal perjuangan baru dalam mensukseskan UU Keperawatan, peranan mahasiswa sebagai social control
mutlak diperlukan terutama setelah pelaksanaan aksi dalam menjaga kontinuitas usaha PPNI dalam
memperjuangkan terciptanya UU Keperawatan.

Tags: aksi, keperawatan, mahasiswa


Prev: Melihat Kuaci Lebih Dalam
Next: Aksi, Kunjungan, Kelelahan, dan Infeksi, Warna-warni Hari-hariku Belakangan
http://pemikirulung.multiply.com/journal/item/149

A. Hak Perawat

Dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang merupakan salah satu dari praktik
keperawatan tentunya seorang perawat memiliki hak dan kewajiban. Dua hal dasar yang
harus dipenuhi, dimana ada keseimbangan antara tuntutan profesi dengan apa yang
semestinya didapatkan dari pengembanan tugas secara maksimal. Memperoleh
perlindungan hukum dan profesi sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar profesi
dan Standar Operasional Prosedur (SOP) merupakan salah satu hak perawat yang
mempertahankan kredibilitasnya dibidang hukum serta menyangkut aspek legal atas
dasar peraturan perundang-undangan dari pusat maupun daerah. Hal ini seperti
dipaparkan pada materi sebelumnya sedang dipertimbangkan oleh berbagai pihak, baik
dari PPNI, Organisasi profesi kesehatan yang lain, lembaga legislatif serta elemen
pemerintahan lain yang berkepentingan.
Selain mendapatkan perlindungan hukum secara legal, perawat berhak untuk
memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari klien dan atau keluarganya agar
mencapai tujuan keperawatan yang maksimal. Jadi kepada klien dan keluarga yang
berada dalam lingkup keperawatan tidak hanya memberikan informasi kesehatan klien
kepada salah satu profesi kesehatan lainnya saja, akan tetapi perawat berhak mengakses
segala informasi mengenai kesehatan klien, karena yang berhadapan langsung dengan
klien tidak lain adalah perawat itu sendiri.

Hak perawat yang lain yaitu melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi dan
otonomi profesi. Ini dimaksudkan agar perawat dapat melaksanakan tugasnya hanya yang
sesuai dengan ilmu pengetahuan yang didapat berdasarkan jenjang pendidikan dimana
profesi lain tidak dapat melakukan jenis kompetensi ini. Bagaimana dengan beberapa
jenis kompetensi profesi yang keilmuannya hampir sama dengan keperawatan? hal ini
tentunya ada perimbangan sendiri mengenai kompleksitas alur kerjasama antara perawat
dan bidang profesi lainnya.

Perawat berhak untuk dapat memperoleh penghargaan sesuai dengan prestasi,


dedikasi yang luar biasa dan atau bertugas di daerah terpencil dan rawan. Penulis sangat
berterima kasih sekali kepada pemerintah dan masyarakat atas penghargaan yang
diberikan, yaitu berupa kerja sama yang baik dari masyarakat dan sertifikat resmi dari
pusat DEPKES RI Litbangkes sebagai perawat pelaksana saat bertugas di
DACILGALTAS (Daerah Terpencil, tertinggal, rawan konflik dan bencana alam serta
tidak diminati). Hanya saja penulis hingga saat ini masih bingung, selain sebagai
pajangan dirumah kira-kira sertifikat tersebut bisa digunakan untuk apa ya?
Layaknya pegawai pemerintahan lainnya (Pegawai Negeri Sipil) perawat juga
berhak memperoleh jaminan perlindungan terhadap resiko kerja yang berkaitan dengan
tugasnya. Di Indonesia biasanya kita kenal dengan Asuransi Kesehatan (ASKES). Bagi
pegawai negeri sipil (PNS) berhak memiliki ASKES tersebut tak terkecuali perawat yang
berstasus PNS, sebagai jaminan kesehatan selama menjalani masa tugas hingga masa
pensiun nantinya. Kalau dilihat dari hak perawat yang telah di tetapkan ini sepertinya
belum berjalan dengan optimal. Sebenarnya hak mendapatkan perlindungan terhadap
resiko kerja ini bukan hanya untuk PNS saja, tetapi untuk semua perawat yang sedang
dalam masa tugasnya, misalnya saja yang berada dirumah sakit atau klinik dan balai
perawatan swasta. Semestinya perawat tetap mendapatkan jaminan kesehatan baik itu
dalam lingkungan pemerintahan maupun swasta, namun pada kenyataannya belum
terpenuhi terutama di lingkungan swasta. Hal ini juga tergantung kebijakan dan ketentuan
yang diberlakukan oleh manajemen yang memanfaatkan tenaga perawat tersebut.

Satu hal lagi yang sering terabaikan, yaitu mengenai hak perawat untuk menerima
imbalan jasa profesi yang proporsional sesuai dengan ketentuan/peraturan yang berlaku.
Penulis berharap agar teman-teman sejawat juga dapat mendiskusikannya disini, karena
dari sekian banyak perawat yang bekerja belum tentu mendapatkan imbalan yang sesuai
dengan ilmu yang diaplikasikan terhadap masyarakat. Akan tetapi jika untuk
menyampaikan keluhan dengan maksud memprotes atau sejenisnya bukan disini
tempatnya. Disini kita hanya mendiskusikan bagaimana mengambil langkah ke depan,
sehingga tidak terjadi lagi hal yang tidak menyenangkan.

B. Kewajiban Perawat

Dalam melaksanakan praktik keperawatan perawat berkewajiban untuk


memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan standar profesi, standar praktek
keperawatan, kode etik, dan SOP serta kebutuhan klien atau pasien dimana standar
profesi, standar praktek dan kode etik tersebut ditetapkan oleh organisasi profesi dan
merupakan pedoman yang harus diikuti oleh setiap tenaga keperawatan. Perawat yang
melaksanakan tugasnya diwajibkan untuk merujuk klien dan atau pasien ke fasilitas
pelayanan kesehatan yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila
tidak mampu melakukan suatu pemerikasaan atau tindakan. Hal ini juga tergantung
situasi, jika lingkungan kita juga tidak memungkinkan maka kita sebagai perawat dapat
menerangkan alasan yang tepat.

Perawat wajib untuk merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang klien
dan atau pasien, kecuali untuk kepentingan hukum. Hal ini menyangkut privasi klien
yang berada dalam asuhan keperawatan karena disis lain perawat juga wajib
menghormati hak-hak klien dan atau pasien dan profesi lain sesuai dengan ketentuan dan
peraturan yang berlaku.

Perawat wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,


kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya. Jika dalam
konteks ini memang agak membingungkan, saya hanya bisa menjelaskan seperti ini,
pelaksanaan gawat darurat yang sangat membutuhkan pertolongan segera dapat
dilaksanakan dengan baik yaitu di rumah sakit yang tercipta kerja sama antara perawat
serta tenaga kesehatan lain yang berhubungan langsung, sedangkan untuk daerah yang
jauh dari pelayanan kesehatan modern tentunya perawat kebanyakan menggunakan
seluruh kemampuannya untuk melakukan tindakan pertolongan, demi keselamatan jiwa
klien.

Kewajiban lain yang jarang diperhatikan dengan serius yaitu menambah ilmu
pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu keperawatan dalam meningkatkan
profesionalsme. Beberapa faktor-faktor yang membuat kita malas mengembangkan ilmu
keperawata banyak sekali. Contoh kecil saja ketika sudah bekerja, mungkin akan berfikir
bahwa ilmu pengetahuan kita akan bertambah seiring dengan pengalaman yang
didapatkan dilapangan, untuk itu kita harus dapat membagi fokus kita antara belajar dan
bekerja sehingga orientasi kerja juga tidak terganggu dan ilmu kita bertambah banyak.
Bahkan ada yang hanya mengejar pangkat atau golongan sehingga yang dituju adalh
jenjang pendidikan yang kadang-kadang tidak sesuai, misalkan yang seharusnya dari DIII
keperawatan lanjut ke S1 Keperawatan tetapi beralih kejurusan lain, sekolah murah asal
naik pangkat, menurut saya hal ini hanya menyemakkan ruang kerja saja yang berisi
orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan yang seharusnya mereka miliki.
Namun disisi lain, untuk mencapai jenjang pendidikan yang tinggi di bidang keperawatan
membutuhkan biaya yang super tinggi pula, sehingga mereka yang mengejar pangkat tadi
merasa tidak seimbang dengan apa yang akan mereka dapatkan kelak.

Jadi apa yang dimaksud disini adalah bahwa untuk meningkatkan ilmu
pengetahuan tentang keperawatan bukan hanya di bangku kuliah saja, akan tetapi bisa

melalui internet seperti yang anda lakukan sekarang ini, serta disisi lain kita juga
perlu mengejar jenjang pendidikan karena semua itu tidak kalah pentingnya.

Sumber Bacaan:

Perlindungan Konsumen Kesehatan Berkaitan dengan Malpraktik


Medik
BAB VIII PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEPERAWATAN Pasal
37

Implementasi Kinerja Perawat di Rumah Sakit,Pendidikan dan


Komunitas

http://www.jurnalkeperawatan.info/

Anda mungkin juga menyukai