Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Demensia adalah sebuah sindrom karena penyakit otak, bersifat kronis
atau progresif di mana ada banyak gangguan fungsi kortikal yang lebih tinggi,
termasuk memori, berpikir, orientasi, pemahaman, perhitungan, belajar,
kemampuan, bahasa, dan penilaian kesadaran tidak terganggu. Gangguan fungsi
kognitif yang biasanya disertai, kadang-kadang didahului, oleh kemerosotan
dalam pengendalian emosi, perilaku sosial, atau motivasi. Sindrom terjadi pada
penyakit Alzheimer, di penyakit serebrovaskular, dan dalam kondisi lain terutama
atau sekunder yang mempengaruhi otak (Durand dan Barlow, 2006)
Menurut data Asia Pasifik tahun 2006, jumlah orang yang menderita
demensia di wilayah Asia Pasifik pada 2025 diperkirakan meningkat lebih dari
dua kali lipat dan peningkatan ini akan lebih cepat dibandingkan dengan yang
terjadi di negara-negara barat. Sementara di dunia, pada tahun 2040 jumlah
penderita demensia diperkirakan menjadi sekitar 80 juta orang. (Demensia di
kawasan asia pasifik, 2006)
Gejala awal gangguan ini adalah lupa akan peristiwa yang baru saja
terjadi, tetapi bisa juga bermula sebagai depresi, ketakutan, kecemasan,
penurunan emosi atau perubahan kepribadian lainnya. Terjadi perubahan ringan
dalam pola berbicara, penderita menggunakan kata-kata yang lebih sederhana,
menggunakan kata-kata yang tidak tepat atau tidak mampu menemukan kata-kata
yang tepat. Ketidakmampuan mengartikan tanda-tanda bisa menimbulkan
kesulitan dalam mengemudikan kendaraan. Pada akhirnya penderita tidak dapat
menjalankan fungsi sosialnya. (…………..)
Demensia banyak menyerang mereka yang telah memasuki usia lanjut.
Bahkan, penurunan fungsi kognitif ini bisa dialami pada usia kurang dari 50

1
tahun. Sebagian besar orang mengira bahwa demensia adalah penyakit yang
hanya diderita oleh para Lansia, kenyataannya demensia dapat diderita oleh siapa
saja dari semua tingkat usia dan jenis kelamin (Harvey, R. J. et al. 2003). Untuk
mengurangi risiko, otak perlu dilatih sejak dini disertai penerapan gaya hidup
sehat. (Harvey, R. J., Robinson, M. S. & Rossor, M. N, 2003).

B. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah seminar klinis dengan
memfokuskan pada salah satu topik klinis yaitu demensia.
BAB II
ISI

A. Definisi
Menurut Emil Kraepelin (1856-1926), seorang psikiatri Jerman pada
tahun 1893. Kraepelin menyebutkannya dengan istilah “dementia praecox”.
Istilah dementia praecox berasal dari bahasa Latin “dementis” dan “precocious”,
mengacu pada situasi dimana seseorang mengalami kehilangan atau kerusakan
kemampuan-kemampuan mentalnya sejak dini. Menurut Kraepelin, “dementia
praecox” merupakan proses penyakit yang disebabkan oleh penyakit tertentu
dalam tubuh. Dementia praecox meliputi hilangnya kesatuan dalam pikiran,
perasaan, dan tingkah laku. Menurut orang awam istilah ini disebut suatu
kepikunan yaitu istilah deskripsi umum bagi kemunduran kemampuan intelektual
hingga ke titik yang melemahkan fungsi sosial dan pekerjaan. Demensia terjadi
secara sangat perlahan selama bertahun-tahun; kelemahan kognitif dan behavioral
yang hampir tidak terlihat dapat dideteksi jauh sebelum orang yang bersangkutan
menunjukkan hendaya yang jelas (Small dalam Davison dkk, 2006). Hal yang
sama juga dikemukakan oleh Pudjonarko (2010) bahwa demensia sering dianggap
proses yang normal pada orang tua, karena merupakan proses penuaan karena
Lansia selain mengalami kemunduran fisik juga sering mengalami kemunduran
fungsi intelektual. Sedangkan menurut Grayson (2004) menyebutkan bahwa
demensia bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang
disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan
kepribadian dan tingkah laku.

3
Dalam Durand dan Barlow (2006) demensia adalah onset-gradual fungsi
otak yang melibatkan kehilangan ingatan, ketidakmampuan mengenali berbagai
objek atau wajah, dan kesulitan dalam merencanakan dan penalaran abstrak.
Keadaan ini berhubungan dengan frustasi dan kehilangan semangat. Menurut
WHO dalam Clinical Deskriptions and Diagnostic Guidelines for Mental and
Behavioural Disorders dan International Classification of Diseases (10th
Revision) (ICD-10) (2008) demensia memiliki ciri-ciri yang harus ada
diantaranya:

1. Kemunduran kemampuan intelektual terutama


memori yang sampai menganggu aktivitas-aktivitas
keseharian sehingga menjadikan penderita sulit
bahkan tidak mungkin untuk hidup secara mandiri.

2. Mengalami kemunduran dalam berfikir,


merencanakan dan mengorganisasikan hal-hal dari
hari ke hari.

3. Awalnya, mengalami kesulitan menyebutkan nama-


nama benda, orientasi waktu, tempat.

4. Kemunduran pengontrolan emosi, motivasi,


perubahan dalam perilaku sosial yang tampak dalam
kelabilan emosi, ketidak mampuan melakukan ritual
keseharian, apatis (tidak peduli) terhadap perilaku
sosial seperti makan, berpakaian dan interaksi
dengan orang lain.

Ada bermacam-macam jenis demensia, menurut Durland dan Barlow


(2006) ada lima golongan demensia berdasarkan etiologinya yang telah
didefinisikan yaitu : (1) demensia tipe Alzheimer, (2) demensia vaskular, (3)
demensia larena kondisi medis umum, (4) demensia menetap yang diinduksi oleh
substansi tertentu, dan (5) demensia karena etiologi ganda/multiple, (6) demensia
yang tak tergolongkan.

Demensia Alzheimer adalah demensia yang paling banyak terjadi dan


dicirikan oleh kemunduran intelektual yang progresif. Faktor risiko utama adalah
usia yang lanjut, keturunan dan trauma kepala.

Demensia vaskuler (multi infrak) adalah demensia kedua yang banyak


terjdai setelah demensia Alzheimer. Demensia vaskuler seringkali dicirikan oleh
adanya tanda dan gejala tertentu seperti kemunduran yang bertahap (step-wise),
riwayat sroke atau hipertensi, bukti adanya aterosklerosis, gejala neurologis fokal,
dan emosi stabil.

B. Sebab-Sebab
1. Penyebab secara biologis

a. Adanya penumpukan protein yang lengket yang disebut anyloid plauques


yang berakumulasi di otak pada penderita demensia. Plak amiloid juga
ditemukan pada lansia yang tidak memiliki gejala-gejala demensia, tetapi
juga dalam jumlah yang jauh lebih sedikit (Bourgeois dkk dalam Durand
dan Barlow, 2006)

b. Di dalam otak ditemukan jaringan abnormal (disebut plak senilis dan


serabut saraf yang semrawut) dan protein abnormal, yang bisa terlihat
pada otopsi. Demensia sosok Lewy sangat menyerupai penyakit
Alzheimer, tetapi memiliki perbedaan dalam perubahan mikroskopik yang
terjadi di dalam otak.
c. Penyebab yang lain dari demensia adalah serangan stroke yang berturut-
turut.Stroke tunggal ukurannya kecil dan menyebabkan kelemahan yang
ringan atau kelemahan yang timbul secara perlahan. Stroke kecil ini secara
5
bertahap menyebabkan kerusakan jaringan otak, daerah otak yang
mengalami kerusakan akibat tersumbatnya aliran darah disebut infark.
Demensia yang berasal dari stroke kecil disebut demensia multi-infark.
Sebagian besar penderitanya memiliki tekanan darah tinggi atau kencing
manis, yang keduanya menyebabkan kerusakan pembuluh darah di otak.

d. Demensia juga bisa terjadi setelah seseorang mengalami cedera otak atau
cardiac arrest. Penyebab lain dari demensia adalah penyakit parkinson,
penyakit pick, AIDS, penyakit paru, ginjal, gangguan darah, gangguan
nurtrisi, keracunan metabolism, diabetes.
e. Penyebab biologis demensia tidak diketahui penyebabnya hanya saja
masalah kerusakan cortex (jaringan otak). Penelitian otopsi
mengungkapkan bahwa lebih dari setengah penderita yang meninggal
karena demensia senile mengalami penyakit Alzheimer jenis ini. Pada
kebanyakan penderita, besar kasar otak pada saat otopsi jauh lebih rendah
yang ventrikel dan sulkus jauh lebih besar dibandingkan yang normal
yang seukuran usia tersebut. Demielinasi dan peningkatan kandungan air
pada jaringan otak ditemukan berdekatan dengan ventrikel lateral dan
dalam beberapa daerah lain di bagian dalam hemifsfer serebrum pad
penderita manula (http://www.scrib.com/doc/24799498/DEMENSIA).
f. Faktor genetik yang berhubungan dengan apoprotein E4 (Apo E4), alela
(4) kromosom 19 pada penderita Alzheimer familial/sporadic. Mutasi
21,1, 14 awal penyakit. Penyebab lainnya yaitu neorotransmiter lain yang
berkurang (defisit) yaitu non adrenergic presinaptik, serotonin,
somatostatin, corticotrophin, releasing faktor, glutamate, dll.

2. Penyebab secara psikologis


Penderita yang mengalami depresi memiliki risiko dua kali lebih besar
mengalami demensia. Hal ini diperkuat dari hasil penelitian oleh Epidemiological
Pathways Follow-Up Study yang dilakukan selama lima tahun pasien yang sudah
di diagnosis menderita demensia dikeluarkan dari penelitian ini (……)
Selama periode lima tahun 36 dari 445, atau 7.9 persen dari pasien diabetes
dengan depresi berat didiagnosis dengan demensia. Di antara 3.382 pasien dengan
diabetes saja, 163 atau 4,8 persen mengembangkan gejala demensia. Para peneliti
menemukan hasil bahwa depresi berat dengan diabetes mengalami peningkatan
2.7 kali lipat untuk mengalami demensia, dibanding dengan pasien diabetes tanpa
mengalami depresi berat.
Depresi meningkatkan risiko demensia, karena kelainan biologis afektif ini
berhubungan dengan penyakit, termasuk tingginya kadar hormon stres kortisol,
atau masalah sistem saraf otonom yang dapat mempengaruhi jantung, pembekuan
darah. Selain itu faktor-faktor lain yang meningkatkan risiko demensia karena
perilaku umum dalam kondisi seperti merokok, makan berlebihan, kurang
olahraga, dan kesulitan dalam mengikuti rejimen pengobatan dan perawatan.

3. Penyebab secara sosial


Gaya hidup seseorang mungkin melibatkan kontak dengan faktor-faktor yang
dapat menyebabkan demensia, misalnya penyalahan substansi yang dapat
mengakibatkan demensia. Gaya hidup seperti diet, olahraga, dan stres
mempengaruhi penyakit kardiovaskuler dan dapat membantu menentukan siapa
saja yang akan mengalami demensia vaskuler. Gaya hidup yang sehat seperti diet,
olahraga dan kontrol terhadap makanan dapat meminimalisir kemungkinan
terjadinya stroke dan tekanan darah tinggi yang menyebabkan demensia vaskuler.
Sedangkan gaya hidup yang tidak sehat seperti stres, tidak mengontrol makanan,
jarang berolahraga dapat meningkatkan risiko terkena stroke dan tekanan darah
tinggi yang menyebabkan demensia vaskuler.
Faktor-faktor kultural juga dapat memengaruhi seseorang mengalami
demensia. Sebagai contoh, hipertensi dan stroke menonjol di kalangan orang-

7
orang Afrika-Amerika dan orang-orang Asia-Amerika tertentu (Cruickshank dan
Beevers dalam Durand dan Barlow, 2006), yang menjelaskan mengapa demensia
vaskular lebih sering dialami oleh kelompok ini. Hal ini terjadi akibat gaya hidup
yang kurang sehat seperti dikalangan orang-orang Afrika-Amerika yang sering
mengkonsumsi alkohol dan makanan-makanan cepat saji dan berpengawet yang
meningkatkan risiko terkena hieprtensi dan stroke yang menyebabkan demensia
varskuler ( de la Monte, et all dalam Durand dan Barlow, 2006).

4. Penyebab secara spiritual


Q.S An-Nahl: 70, Q.S Al-Hajj:5 , Q.S Yassin:68 yang menjelaskan bahwa
seorang manusia dapat bertambah umurnya akan mengalami penurunan ingatan
yang dapat menyebabkan umurnya akan mengalami penurunan ingatan yang
dapat menyebabkan pikun atau lupa.

Berkaitan dengan ini Ibnu Khaldun mengungkapkan bahwa akal memiliki


fungsi yaitu kerja otak baik kognitif maupun imajinatif dan dengan jelas tersirat
dan tersurat pada Al-qur’an (QS. Al’anfal:8 dan Al’A’raf: 9). Sebagaimana fungsi
akal adalah tempat untuk berfikir maka manusia haruslah menggunakan apa yang
telah diberikan Allah dengan optimal yaitu untuk mentafakkuri dan mentadabburi
ayat-ayat Allah baik yang tertulis dalam Al-Qur’an maupun di alam semesta. Jika
akal manusia tidak digunakan dengan semestinya maka akal tersebut akan
kehilangan fungsinya “otak berfikir”, selanjutnya diambil alih oleh otak binatang
yang dicirikan oleh nafsu tak terkendali yang bersifat kepemilikan dan
seksualitas. Hal yang serupapun dikemukakan oleh ahli neorologi bahwa fungsi
otak akan semakin menurun ketika sedikit mendapatkan stimulasi, saat hal
tersebut terjadi maka neuron-neuron dalam otak akan semakin melemah dan mati
sehingga akan memicu gangguan fungsi kognitif yang cukup signifikan. Jika otak
berfikir “mati” maka fungsi-fungsi kognisi manusia seperti; bahasa dan memori
kognitif akan rusak dan kehilangan kemampuan berfikir terutama kalkulasi
bahasa dan matematis logis dan kesulitan untuk memberikan respon atas setiap
stimulus yang masuk (Hasanuddin, 2010).

C. Pendekatan Menurut Aliran-aliran


1. Sudut pandang behaviorisme
Demensia dapat disebabkan oleh salah satunya adalah penggunaan
obat-obatan terlarang dan alkohol, seseorang yang menggunakan obat-obatan
selain memiliki faktor internal, juga memeiliki faktor eksternal untuk
mengkonsumsi obat-obatan terlarang dan alkohol. Misalnya saja stress dalam
menjalani persoalaan hidup, kemudian ia memutuskan untuk mengkonsumsi
obat-obatan dan alkohol setelah ia melihat teman-teman yang mengkonsumsi
obat-obatan dan alkohol (lingkungannya merupakan lingkungan dengan
orang-orang yang sering mengkonsumsi obat-obatan dan alkohol). Sehingga
ia mengkonsumsi obat-obatan dan alkohol untuk menghilangkasn stresnya,
hal inilah yang akan menyebabkan ia dapat mengalami demensia.
2. Sudut pandang Neuropsikologi
Pendekatan ini memandang bahwa demensia terjadi karena adanya
kesalahan dalam menggunakan fungsi otak. Terkait hal ini, jika short term
memory tidak digunakan secara optimal, maka fungsi rehearsal pada long
term memorypun akan terganggu akibat akumulasi dari tindakan yang tidak
benar. Selain itu, ditinjau dari stuktur otak itu sendiri lama-kelamaan sel
neuron yang ada di otak akan melemah dan akhirnya mati karena kurangnya
pemberian stimulus. Jika hal ini dibiarkan berkepanjangan maka potensi
seseorang mengalami demensia akan lebih tinggi.
3. Sudut pandang kognitif
Menurut sudut pandang ini, orang yang mengalami demensia bisa
disebabkan karena stigma berfikir yang salah yaitu menganggap sesuatu

9
‘’lupa” bahkan “pikun” adalah hal yang wajar karena disebabkan oleh faktor
usia. Terkait ini seseorang tidak berusaha untuk menjaga memori yang
dimilikinya atau sekedar melakukan senam otak. Kecenderungan manusia
untuk malas berfikir misal melakukan hitungan sederhana tanpa menggunakan
kalkulator inilah salah satu faktor yang turut mempengaruhi kelemahan otak
untuk berfikir.
4. Sudut pandang psikologi islami
Berdasarkan tinjauan dari Al Qur’an, manusia dibekali kelebihan
untuk berpikir dimana hal tersebut terletak pada fungsi otak itu sendiri.
Bahkan Allah menjelaskan kedudukan manusia yang tidak mau menggunakan
otaknya untuk berfikir lebih rendah dari binatang ternak. (QS. Al A’araf: 7:
179). Penjelasan dari binatang ternak disini adalah sebuah kiasan yang bisa
diinterpretasikan dengan kemampuan berfikir manusia yang tidak manusiawi
(mengutamakan nafsu biologis semata), kemampuan berfikir manusia yang
sudah tidak logis, sistematis, disorientasi, bahkan kemunduran intelektual.
Dengan demikian sudah disinggung dalam Al-Qur’an bahwa otak yang telah
diberikan Allah SWT harus digunakan secara optimal.

D. Gejala
Gejala-gejala klinis demensia menurut Yatim (2003) meliputi:

1. Hilang atau menurunnya daya ingat serta penurunan intelektual.

2. Kadang-kadang gejala ini begitu ringan hingga luput dari perhatian


pemeriksa bahkan dokter ahli yang berpengalaman sekalipun.

3. Penderita kurang perhatian terhadap sesuatu yang merupakan kejadian


sehari-hari dan tidak mampu berfikir jernih atas kejadian yang di hadapi
sehari-hari, kurang inisiatif, serta mudah tersinggung.
4. Kurang perhatian dalam berfikir.

5. Emosi yang mudah berubah-ubah terlihat dari mudahnya gembira, tertawa


terbahak-bahak lalu tiba-tiba sedih berurai air mata hanya karena sedikit
pengaruh lain.

6. Muncul refleks sebagai tanda regresi (kemunduran kualitas fungsi seperti:


refleks mengisap, rrefleks memegang, dan refleks glabella).

7. Banyak perubahan perilaku diakibatkan oleh penyakit syaraf, maka


terlihat dalam bentuk lain yang dikaburkan oleh gejala penyakit syaraf.

Pada gejala klinis usia lanjut telihat dari penurunan perkembangan


pemahaman yang terlihat sebagai berikut:

1. Penurunan daya ingat.

2. Salah satu gangguan pengamatan:

a. Aphasia (kurang lancar berbahasa).

b. Apraxia (tidak ada kemauan).

c. Agnosia (kurang mampu merasakan rangsangan bau,


penciuman dan rasa).

3. Penurunan pengamatan timbul secara bertahap dan terus


menurus dari waktu ke waktu sehingga menggangu kerja dan
hubungan masyarakat.

E. Onset
Onset muda demensia menunjuk kepada mereka yang mengembangkan
demensia sebelum usia 65 (previosly disebut 'pra-pikun' demensia); onset akhir
demensia mulai menunjuk kepada mereka yang mengembangkan penyakit setelah

11
berusia lebih dari 65 ('pikun' demensia).
Perbedaan antara awal dan akhir penyakit onset klinis masih memiliki
utilitas karena etiologi dan ciri-ciri orang dengan demensia berbeda antara onset
muda dan onset akhir, dan orang-orang dengan demensia diperkirakan
membutuhkan pendekatan yang berbeda. AD (Alzheimer Dieases) menyumbang
sekitar 60% dari semua kasus; penyebab umum lainnya pada orang tua termasuk
penyakit serebrovaskular (demensia vaskular (VAD)) dan demensia dengan badan
Lewy (DLB) akuntansi selama 15-20% dari kasus masing-masing. Dalam kasus
young onset, frontotemporal dementia (FTD) juga merupakan penyebab terbesar
ke dua setelah Alzheimer diaeses.
Penyebab demensia lainnya termasuk penyakit degeneratif lainnya
(misalnya, penyakit hungtington), penyakit prion (penyakit Creutzfeldt-Jakob
(CJD)) HIV dan beberapa beracun dan gangguan metabolisme (misalnya, alkohol
yang berhubungan dengan demensia). Demensia juga berkembang antara 30-70%
dari orang-orang dengan penyakit parkinson, namun tergantung pada durasi dan
usia (the british psychology & Gaskell. 2007)

F. Prevalensi
Alzheimer’s Disease International (ADI) 2008 memperkirakan bahwa ada
sekitar 30 juta jiwa di dunia yang mengalami demensia dengan 4,6 juta yang
memiliki kasus-kasus baru disetiap tahunnya. Jumlahnya akan meningkat lebih
dari 100 juta jiwa pada tahun 2050. Perkiraan ini diperoleh berdasarkan penelitian
pada populasi terperinci terhadap prevelensi demensia di Negara-negara yang
berbeda.
Tabel 1: rata-rata kemunculan dan prevalensi demensia berdasarkan
penelitian orang eropa di Negara maju
Kelompok Kemunculan tahunan per 100 Prevalensi (%)
usia Laki-laki – Perempuan Laki-laki - Perempuan
60-64 0.2 0.2 0.4 0.4
65-69 0.2 0.3 1.6 1.0
70-74 0.6 0.5 2.9 3.1
75-79 1.4 1.8 5.6 6.0
80-84 2.8 3.4 11.0 12.6
85-89 3.9 5.4 12.8 20.2
90+ 4.0 8.2 22.10 30.8
Prevalensi yang ditunjukkan pada laki-laki dan perempuan kedua-duanya
meningkat tiap 5 tahunnya setelah usia 65 tahun. Demensia kebanyakan
merupakan penyakit orang tua, tetapi 2 % darinya dialami oleh orang-orang di
bawah usia 65 tahun. Sedangkan pada Negara berkembang jumlah orang-orang
tua akan meningkat 200% dibandingkan pada Negara maju pada tahun 2020. Pada
prevalensi baru yang dipublikasikan tahun 2008 mengungkapkan bahwa
penaksiran yang dipaparkan mengarah kepada penaksiran yang terlalu rendah
pada prevalensi dan jumlah orang-orang yang mengalami demensia pada negara
maju.
Table 2: Perkiraan consensus ADI terhadap prevalensi demensia (%) oleh
Negara-negara WHO dan kelompok usia. A= Negara dengan
tingkat mortalitas paling rendah ; E= Negara-negara dengan
tingkat mortalitas paling tinggi (2008).

WHO region Description 60- 65- 70- 75- 80- 85+


64 69 74 79 84
EURO (A) W Eropa 0.9 1.5 3.6 6.0 2.2 24.
8
EURO (B) E Eropa 0.9 1.3 3.2 5.8 12.2 24.
7
EURO (C) E Eropa 0.9 1.3 3.2 5.8 11.8 24.
5
AMRO (A) N Amerika 0.8 1.7 3.3 6.5 12.8 30.
1
AMRO (D) S Amerika 0.8 1.7 3.4 7.6 14.8 33.
13
2
AMRO (C) S Amerika 0.7 1.5 2.8 6.2 11.1 28.
1
EMRO (B) Timur 0.9 1.8 3.5 6.6 13.6 25.
5
Tengah
EMRO (D) N Africa, 1.2 1.9 3.9 6.6 13.9 23.
5
Timur
Tengah
WPRO (A) Jepang, 0.6 1.4 2.6 4.7 10.4 22.
1
Australia
WPRO (B) Cina dan 0.6 1.7 3.7 7.0 14.4 26.
2
Negara-
negara
tetangga
SEARO (B) Indonesia, 1.0 1.7 3.4 5.7 10.8 17.
6
Srilangka,
Thailand
SEARO (D) India dan 0.4 0.9 1.8 3.7 7.2 14.
4
Negara-
negara
tetangga
AFRO (D) Bagian 0.3 0.6 1.3 2.3 4.3 9.7
gurun
sahara
Afrika
AFRO (E) Bagian 0.5 1.0 1.9 3.8 7.0 14.
gurun 9
sahara
Afrika

Dari hasil data epidemiologi mengungkapkan bahwa prevalensi terhadap


kecenderungan demensia pada negara berkembang lebih rendah dibanding pada
Negara maju (lihat. Tabel 2). Perbedaan ini bisa disebabkan karena kemampuan
survive orang-orang yang berada di Negara berkembang lebih rendah dari pada
orang-orang yang ada pada Negara maju. Alasan-alasanya adalah karena adanya
perbedaan budaya dalam hal ini demensia ringan sering diabaikan dan deteksi
dini terhadap faktor risiko yang rendah seperti merokok dan penyakit
kardiovaskular. Selain itu juga pada negara miskin, hanya sedikit orang-orangnya
yang mampu bertahan hidup sampai usia 65 tahun. Namun, tidak menutup
kemungkinan bahwa bentuk-bentuk ketidak normalan dan tingkat mortalitaspun
terjadi pada negara maju. Sehingga pertanyaannya adalah akankah prevalensi
demensia mengarah pada beban yang semakin meningkat pada negara yang lebih
miskin. Meskipun sekarang tampak bahwa orang-orang dengan gangguan
demensia hidup pada negara-negara berkembang yaitu 60% pada tahun 2001 dan
eningkat 71% di tahun 2040.
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa meningkatnya usia harapan
hidup akan meningkatkan pula populasi demensia. Pengaruh lain dari
meningkatnya usia harapan hidup adalah meningkat pula penyakit kardiovakuler
antara lain stroke yang meningkat pada usia 65 tahun dan telah diketahui dan
disepakati sebagai penyebab demensia vaskuler.
G. Terapi
Hasil dari consensus epidemiologi di atas menyatakan bahwa prosentase
untuk prevalensi orang yang mengalami demensia semakin meningkat setiap
tahunnya, sehingga perlu diupayakan tindakan-tindakan promotif, preventif
maupun kuratif. Baik bagi mereka tanpa masalah maupun yang sudah bermasalah
sesuai dengan yang sudah dibahas di atas.

Penanganan yang bisa dilakukan:

a. Farmakologis (dengan obat): hal ini perlu pemeriksaan dan pertimbangan


secara individual.

15
b. Non-Farmakologis (tanpa obat): hal ini bisa dilakukan oleh semua warga
senior tanpa ada pertimbangan baik sebagai upaya promotif, prefentif
maupun kuratif.

Penanganan secara farmakologis yang dilakukan (Yatim, 2003)


diantaranya:
a. Mengobati penyakit-penyakit yang memperberat kejadian
demensia.

b. Mengobati gejala-geja gangguan jiwa yang mungkin menyertai


demensia.

c. Mengatasi masalah penyimpangan perilaku dengan obat-obat


penenang (tranzquillizer dan hypnotic) serta memberikan obat-
obatan anti kejang bila perlu.

d. Intervensi lain yaitu dengan antipsykotics, Anxiiolitycs,


Selegiline, Antimanic drugs,Acetlcholinesterase inhibit
( Gaskel, 2007)

Konsep penanganan Non-farmakologis bisa menggunakan rekreasi


terapeutik. Konsep ini bermanfaat untuk meningkatkan dan mempertahankan
kebutuhan psikososial warga senior serta bertujuan meningkatkan dan
mempertahankan kepercayaan diri, motivasi, mobilitas tantangan, interaksi sosial
dan kebugaran mental.

Aktivitas-aktivitas yang memiliki dampak terapeutik (Kusumoputro &


Sidiarto,2006) diantaranya:

1. Reminisensi

2. Orientasi realitas
3. Stimulasi kognitif

4. Stimulasi sensorik

5. Stimulasi fisik (berupa gerak dan latihan otak, GLO)

Pelaksanaan program dilakukan dengan jumlah peserta yang tidak


terlampau banyak, dipimpin seorang koordinator yang memahami konsep ini.
Peserta harus dalam kelompok kebersamaan.

Aktivitas reminisensi dilakukan dengan berbincang-bincang mengenai


masalah yang lampau, mengingat kembali masa lampaunya dengan memori
episodik (materi tentang waktu dan tempat kejadian). Dengan mengaktifkan
memori episodik yang naratif, imajinatif dan emosional akan meningkatkan daya
ingat kembali. Bersamaan dengan aktivitas tersebut juga dilakukan aktivitas
orientasi nyata dengan mengingatkan lokasi, waktu dan perang orang-orang di
masa lampau.

Sebagai aktivitas rekreasi terapeutik ini juga dilakukan stimulasi kognitif


disebut juga memory training, memory retraining atau cognitive rehabilitation.
Aktivitas ini perlu ditambah dengan aktivitas fisik seperti senam ataupun menurut
selera masing-masing. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kerja jantung dan
paru untuk mengalirkan darah yang penuh oksigen ke bagian-bagian tubuh
terutama otak selain itu juga memiliki tujuan renovasi sel tubuh. Berbagai hal
yang disebutkan tadi juga menguntungkan bagi kondisi klinis prademensia seperti
mild cognitive impairment, MCI dan vascular cognitive impairment, VCI serta
kondisi klinis demensia vaskuler dan Alzeimer.

Dalam jurnal yang meniliti melalui efek dari terapi musik terhadap lansia
penderita demensia (Wall, & Duffy, 2010 ). Dalam jurnal tersebut dijelaskan
melalui kebiasaan mendengarkan music walaupun secara singkat akan sangat

17
bermanfaat untuk melatih ingatan para lansia penderitanya. Tingkat
kegelisahannya pun akan menurun, termasuk perilaku agresif verbal maupun non-
verbalnya.

Terapi lain dengan pendekatan psikososial adalah :

1. Care giver : mengoptimalkan kemampuan yang masih ada

2. Mengurangi perilaku sulit

3. Menjaga keselamatannya

4. Memperbaiki kualitas hidup

5. Mengurangi stres terhadap care giver

6. Memberi kepuasaan kepada care giver

H. Prevensi
Untuk deteksi dini terhadap gangguan demensia, tentunya kita harus
memahami terlebih dahulu fungsi kognitif pada dementia syndrome yang
berbeda dari proses normal penuaan. Strategi-strategi yang mungkin bisa
mencegah terhadap demensia diantaranya:

a. Mengetahui faktor-faktor risiko pada demensia dan sub tipe-tipenya.

b. Perluasan pengetahuan seperti mengetahui faktor-faktor risiko yang


bisa dimodifikasi

c. Tanda bahwa modifikasi (merubah) faktor risiko untuk mengurangi


kemunculan demensia.

Beberapa faktor risiko yang bisa diminimalisir atau memiliki potensi


modifiable:

a. Pengkonsumsian alkohol.

b. Smoking.

c. Obesitas.

d. Hipertensi.

e. Hyperkolesteroaemia (kadar kolesrterol yang melebihi


239 mg/mL dalam darah) terjadi akibat adanya
akumulasi kolesterol dan lipid pada dinding pembuluh
darah.

f. Luka kepala.

g. Tingkat rendahnya folat dan meningkatnya


homocysteine.

h. Depresi.

Sedangkan faktor risiko demensia yang tidak bisa dilakukan modifikasi:

a. Bertambahnya usia.

b. Gen.

c. Jenis kelamin.

d. Memiliki learning disability (kesulitan belajar).


Terapi penggantian estrogen bisa dilakukan, hal ini berhubungan dengan
penurunan risiko demensia tipe Alzheirmer di kalangan perempuan (Shepherd
dalam Durand dan Barlow, 2006). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa

19
penanganan yang baik terhadap hipertensi sistolik juga mengurangi risiko
demensia (Clarke dalam Durand dan Barlow, 2006). Karena kemungkinan
perannya dalam perkembangan demensia, penanganan dan pencegahan yang baik
terhadap stroke mestinya mengurangi demensia yang terkait dengan penyakit
serebrovaskular. Upaya-upaya keselamatan yang menyebabkan perluasan reduksi
trauma kepala dan paparan neurotoksin mungkin juga ikut membantu usaha ini.

I. Kualitas Hidup
Penderita demensia sering terbangun dari tidur malamnya dan panik
karena tidak mengetahui berada di mana, berteriak-teriak dan sulit untuk
ditenangkan. Selain itu juga penderita demensia melakukan sesuatu yang kadang
mereka sendiri tidak memahaminya. Tindakan tersebut dapat saja membahayakan
dirinya sendiri maupun orang lain, misalkan mereka tiba-tiba menyalakan kompor
dan meninggalkan begitu saja, merasa mampu mengemudikan kendaraan dan
tersesat atau malah mengelami kecelakaan, atau juga menggunakan pakaiain
berlapis-lapis pada suhu yang panas. Penderita demensia rentan juga terhadap
depresi dan frustasi akibat ketidakmampuannya melakukan tugas sehari-hari.

Dukungan- dukungan yang bisa diberikan untuk membantu penderita


demensia:

a. Pelajari lebih dalam tentang demensia.

b. Curahkan kasih sayang dan berusaha untuk tenang dan sabar dalam
menghadapi penderita.

c. Berusaha memahami apa yang dirasakan penderita.

d. Perlakukan penderita demensia sebagaimana biasa, tetap hormati dan


usahakan untuk tidak berdebat dengan penderita.
e. Bantu penderita dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang lambat
laun akan mengalami penurunan. Menjalani kegiatan mandi, makan,
tidur dan aktivitas lainnya secara rutin, bisa memberikan rasa
keteraturan kepada penderita.

f. Mempertahankan lingkungan yang familiar akan membantu penderita


tetap memiliki orientasi. Kalender yang besar, cahaya yang terang, jam
dinding dengan angka-angka yang besar atau radio juga bisa
membantu penderita tetap memiliki orientasi.

g. Menyembunyikan kunci mobil dan memasang detektor pada pintu bisa


membantu mencegah terjadinya kecelekaan pada penderita yang
senang berjalan-jalan.

J. Ayat Al-Qur’an
Beberapa dalil Al-Qur’an yang berkaitan mengenai demensia antaranya:
Q.S An Nahl ayat 70
“Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu; dan di antara kamu ada
yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia tidak
mengetahui lagi sesuatupun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”

Q.S Al Hajj ayat 5


“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur),
maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah,
kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari
segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar
Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami
kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu
sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada

21
kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara
kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui
lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini
kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu
dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang
indah.”

Q.S Yaa Siin ayat 68


“Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan
dia kepada kejadian(nya) . Maka apakah mereka tidak memikirkan?”

“Bacalah dengan nama TuhanMu yang menciptakan, Dia telah menciptakan


manusia dari segumpal darah, Bacalah dan TuhanMulah Yang Maha Pemurah,
Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam, Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya” (Q.S. Al-Alaq: 1-5).
Dalam ayat ini terkandung makna akan pentingnya membaca, maksud
membaca disini bukanlah hanya membaca buku cetak akan tetapi juga membaca
“buku” alam semesta (ayat-ayat kauniyyah) dengan merenungi dan berfikir
tentangnya. Di sisi lain selain membaca bisa menambahkan ilmu pengetahuan,
membaca juga memberikan manfaat bisa terhindar dari penyakit demensia.
Menurut penelitian Coffey menyatakan bahwa dengan membaca, seseorang bisa
menciptakan semacam lapisan penyangga yang melindungi dan mengganti rugi
perubahan otak. Hal ini dibuktikan dengan meneliti struktur otak 320 orang
berusia 66-99 tahun yang terkena demensia.
BAB III

A. Kesimpulan
Para ahli sepakat mendefinisikan demensia sebagai gangguan fungsi
kognitif berupa kemunduran kemampuan intelektual hingga ke titik yang
melemahkan fungsi sosial dan pekerjaan. Hal ini disebabkan oleh faktor
biopsikososioreligi. Prevalensi yang mengalami gangguan ini selalu meningkat
tiap 5 tahunnya dan negara-negara maju memiliki potensi prevalensi yang lebih
tinggi mengalami demensia dibandingkan negara-negara berkembang. Hal ini
disebabkan karena negara maju memiliki harapan hidup yang lebih tinggi
dibanding negara berkembang. Onset orang yang mengalami gangguan ini
cenderung pada orang-orang di atas usia 65 tahun, akan tetapi tidak menutup
kemungkinan jika seseorang bisa mengalami demensia saat berusia masih muda.
Terapi-terapi yang dilakukan bisa berupa terapi farmakologis dan terapi non
farmakologis. Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan adalah dukungan dari
keluarga, manipulasi lingkungan dan penanganan pasien (berupa latihan &
rehabilitasi). Pada kenyataannya sebagian besar demensia ini dapat dicegah atau

23
diobati karena bersifat reversible atau potensial reversible bila terdeteksi dini dan
dilakukan penatalaksanaan yang tepat.

B. Saran

untuk penulis selanjutnya seharusnya lebih menjabarkan bagian-bagian dari


demensia (sub tipe-tipenya) kemudian perbedaan gejala-gejala dari sub tipe-tipe
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai