“MANAJEMEN PEGADAIAN”
Disusun Oleh :
Anna Rosalina (Nim : 123070046)
Irma Yusnita (Nim : 123070050)
A. PENDAHULUAN
Unit layanan pegadaian syariah bermula dari terbitnya PP No.10 tanggal 1 April
1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu
dicermati bahwa PP 10/1990 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk
mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP No. 103 tahun 2000
yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pagadaian sampai sekarang.
Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16
Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus
diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat
Rahmat Allah SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep
pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus
yang menangani kegiatan usaha syariah.
Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada system administrasi modern
yaitu asas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan denganb nilai Islam.
Fungsi operasi Pegadaian syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang
Pegadaian Syariah / Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi
dibawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis
mandiri yang secara structural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional.
Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai
Syariah (ULGS) cabang dewi sartika dibulan januari tahun 2003. menyusul kemudian
ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta ditahun yang sama
hingga September 2003. Masih ditahun yang sama pula, 4 kantor Cabang Pegadaian di
Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.
D. PRODUK-PRODUK PEGADAIAN
1. KCA (Kredit Cepat Aman)
Pemberian kredit sistem gadai, prosesnya cepat (hanya 15 menit), aman dan
mudah prosedurnya, dengan jaminan barang bergerak seperti perhiasan (emas dan
berlian), kendaraan bermotor dan barang bergerak lainnya.
2. KRASIDA (Kreddit Angsuran Sistem Gadai)
Pemberian kredit gadai bagi usaha mikro & kecil dengan sistem angsuran bunga
1% / bulan, jangka waktu maksimal 3 tahun dengan jaminan barang bergerak
seperti perhiasan (emas dan berlian), kendaraan bermotor (sepeda motor &
mobil), dan barang bergerak lainnya (sama dengan KCA).
3. KREASI (Kredit Angsuran Sistem Fidusia)
Pemberian kredit sistem fidusia bagi usaha mikro & kecil dengan sistem angsuran
bung 1%/bulan, jangka waktu maksimal 2 tahun. Barang jaminan BPKB dan
survey kelayakan usaha.
4. JASA TAKSIRAN
Layanan untuk memberikan penilaian berbagai jenis dan kualitas perhiasan emas
dan berlian. Penaksir-penaksir kami akan menjelaskan kepada nasabah akan
karatase dan keaslian perhiasan nasabah.
5. JASA TITIPAN
Layanan penitipan/penyimpanan surat berharga / dokumen / sertifikat dan barang
berharga lainnya. Prosedur mudah, biaya murah dan barang / dokumen nasabah
akan aman.
Jangka waktu kredit yang diberikan oleh Perum Pegadaian adalah 120 hari atau 4
bulan, jika nasabah belum dapat mengembalikan pinjaman atau menebus maka dapat
diperpanjang atau digadai ulang. Permintaan atau perbaharui kredit dikenakan biaya
administrasi pada bank konvensional adalah sebesar 1 % dari uang pinjaman. Pemberian
uang pinjaman dan pelunasan pinjaman dapat digambarkan sebagai berikut :
2. PENAKSIR
1.
3. KASIR
1. 2. KASIR
3. Petugas penyimpan
barang jaminan
Jika setelah dilelang teradi kelebihan maka uang kelebihan dapat diambil sesudah
pelelangan. Tenggang waktu pengambilan uang kelebihan ditentukan selama 1 (satu)
tahun setelah tanggal lelang. Apabial dalam waktu yang ditentukan tidak diambil maka
uang kelebihan (kadaluarsa) akan menjadi milik perusahaan.
Gadai Syariah sering diidentikkan dengan Rahn yang secara bahasa diartikan al-tsubut
wa al-dawam (tetap dan kekal) sebagian Ulama Luhgat memberi arti al-hab (tertahan).
Sedangkan definisi al-rahn menurut istilah yaitu menjadikan suatu benda yang
mempunyai nilai harta dalam pandangan syar’a untuk kepercayaan suatu utang, sehingga
memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.
Istilah rahn menurut Imam Ibnu Mandur diartikan apa-apa yang diberikan sebagai
jaminan atas suatu manfaat barang yang diagunkan. Dari kalangan Ulama Mazhab Maliki
mendefinisikan rahn sebagai “harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang
yang bersifat mengikat“, ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “menjadikan
suatu barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai
pembayar hak tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya“. Ulama Syafii dan
Hambali dalam mengartikan rahn dalam arti akad yakni menjadikan materi (barang)
sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang
berhutang tidak bisa membayar hutangnya.
Berdasarkan dua landasan hukum tersebut ulama bersepakat bahwa rahn
merupakan transaksi yang diperbolehkan dan menurut sebagian besar (jumhur) ulama,
ada beberapa rukun bagi akad rahn yang terdiri dari, orang yang menggadaikan (ar-
rahn), barang-barang yang digadai (marhun), orang yang menerima gadai (murtahin)
sesuatu yang karenanya diadakan gadai, yakni harga, dan sifat akad rahn. Sedangkan
untuk sahnya akad rahn, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang
terlibat dalam akad ini yakni: berakal, baligh, barang yang dijadikan jaminan ada pada
saat akad, serta barang jaminan dipegang oleh orang yang menerima gadai (marhun) atau
yang mewakilinya.
Dengan terpenuhinya syarat-syarat di atas maka akad rahn dapat dilakukan karena
kejelasan akan rahin, murtahin dan marhun merupakan keharusan dalam akad rahn.
Sedangkan mengenai saat diperbolehkan untuk menggunaan akad rahn, al-Qur’an dan
al-Sunah serta ijma ulama tidak menetapkan secara jelas mengenai akad-akad atau
transaksi jual beli yang diizinkan untuk menggunakan akad rahn.
Sebagian kecil ulama, sebagaimana yang dikemukakan Ibn Rudy bahwa mazhab
Maliki beranggapan bawa gadai itu dapat dilakukan pada segala macam harga dan pada
semua macam jual beli, kecuali jual beli mata uang, dan pokok modal pada akad salam
yang berkaitan dengan tanggungan, hal ini disebabkan karena pada shaf pada salam
disyaratkan tunai, begitu pula pada harta modal. Sedangkan kelompok Fuqaha Zahiri
berpendapat bahwa akad gadai (rahn) tidak boleh selain pada salam yakni pada salam
dalam gadai, hal ini berdasar pada ayat yang berkenaan dengan gadai yang terdapat
dalam masalah hutang piutang barang jualan, yang diartikan mereka sebagai salam.
Dari bebrapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa sebagian ulama beranggapan
bahwa rahn dapat digunakan pada transaksi dan akad jual beli yang bermacam-macam,
walaupun ada perbedaan ulama mengenai waktu dan pemanfaatan dari barang yang
dijadikan jaminan tersebut.
Sedangkan benda Rahn yang digadai, dalam konsep fiqh merupakan amanat yang
ada pada murtahin yang harus selalu dijaga dengan sebaik-baiknya, dan untuk menjaga
serta merawat agar benda (barang) gadai tersebut tetap baik, kiranya diperlukan biaya,
yang tentunya dibebankan kepada orang yang menggadai atau dengan cara
memanfaatkan barang gadai tersebut. Dalam hal pemanfaatan barang gadai, beberapa
ulama berbeda pendapat karena masalah ini sangat berkaitan erat dengan hakikat barang
gadai, yang hanya berfungsi sebagai jaminan utang pihak yang menggadai.
Agar lebih jelasnya perbedaan pendapat para ulama mengenai pemanfaatan barang
gadai akan dipaparkan sebagai berikut:
Jika syarat-syarat tersebut di atas telah jelas, maka menurut ulama Malikiyah
sah bagi penerima gadai untuk mengambil manfaat dari barang yang digadaikan.
Dari kedua pendapat ulama tersebut dapat diambil persamaan keduanya yaitu
bahwa manfaat barang jaminan gadai (rahn) ialah bagi orang yang memilikinya
(menggadainya). Sedangkan perbedaan yang nampak ialah pada bolehnya
pemanfaatan barang gadai dengan adanya syarat oleh Imam Malik sedangkan Imam
Syafii atau ulama Safiiyah membolehkan hanya dengan adanya izin dari penggadai
(orang yang mempunyai barang). Hadis yang dijadikan landasan oleh ulama yang
membolehkan pemanfaatannya ialah Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu
Hurairah sebagai berikut:
Sabda Rasulullah: “gadaian ditunggangi dengan nafkahnya, jika dia dijadikan
jaminan utang dan air susu diminum dengan nafkahnya jika dijadikan jaminan utang
dan kepada yang menunggangi dan meminum harus memberi nafkah” (HR Bukhari).
3. Pendapat Imam Ahmad Ibn Hambal (Hambaliyah)
Dalam hal pemanfaatan barang gadai ulama Hambaliyah lebih menekankan
pada jenis barang yang digadaikan, yakni pada apakah barang yang digadai tersebut
hewan atau bukan, dan bisa ditunggangi serta diperah susunya atau tidak. Jika barang
yang digadai tidak dapat ditungangi dan diperah, maka boleh bagi penerima gadai
mengambil manfaat atas barang gadai. Sedangkan jika barang gadai tersebut tidak
dapat ditunggangi dan diperah maka barang tersebut dapat diambil manfaatnya
dengan seizin yang menggadaikan secara suka rela dan selama sebab gadai itu bukan
dari sebab hutang. (Sayyid Sabiq, hal. 189)
Secara jelas dapat dikatakan bahwa adanya perbedaan pendapat dikalangan
Ulama madzhab dalam membahas pemanfaatan barang gadai di atas merupakan
refrensi bagi para pihak dalam transaksi gadai (rahn) untuk dapat memilih atau
mencari jalan tengah dalam hal pemanfaatan barang gadai sesuai dengan kebutuhan
dan kondisi yang ada, sehingga tujuan utama gadai sebagai pengikat pada transaksi
yang tidak tunai tidak terabaikan.
- Pengertian rahn adalah menahan harta salah satu milik si peminjam sebagai
jaminan atas jaminan yang diterimanya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa
rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.
- Murtahun adalah pemilik dana (perum pegadaian) yang memeberikan pinjaman
kepada rahn dengan menerima barang jaminan sebagai pelunas pinjaman yang
diberikan kepada rahn.
- Marhun adalah harta / barang yang dijadikan sebagai rahn/jaminan (di-rahn kan),
yaitu barang yang berharga atau mempunyai nilai ekonomis serta dapat disimpan /
bertahan lama, seperti emas perhiasan atau batangan, barang-barang elektronik,
kendaraan bermotor.
- Sighat adalah ijab qobul antara rahn dan murtahin yang dituangkan dalam satu
akad.
- Akad adalah perjanjian, yaitu pertalian ijab dengan qobul menurut cara-cara yang
disyariatkan yang berpengaruh terhadap objek yang di akadkan dan menimbulkan
hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang melaksanakan akad.
- Al-Qardh adalah suatu akad pembiayaan dari murtahun (pihak yangn berpiutang)
kepada rahin (pihak yang berhutang) dengan ketentuan bahwa rahn wajib
mengembalikan dana yang diterimanya kepada murtahin pada waktu yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak.
- Ijaroh adalah akad pemindahan manfaat atas suuatu barang atau jasa dalam jangka
waktu tertentu melalui pembayaran upah / sewa tempat, tanpa diikuti
peminadahaan kepemilikan barang itu sendiri.
- Musta’jir adalah pihak penyewa tempat atas barang yang sedang dijadikan
jaminan pelunasan utang kepada pegadaian.
- Mu’ajjir adalah pihak penyewa tempat atas barang yang sedang dijadikan jaminan
pelunasan pinjaman kepada musta’jir.
- Ma’jur adalah barang yang dijadikan objek sewa menyewa dalam akad ijaroh.
Mengenai rukun dan sahya akad gadai dijelaskan oleh Pasaribu dan Lubis4
sebagai berikut :
1. Adanya lafaz, yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. (Ijab Qabul / sighot)
Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya
terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
2. Adanya pemberi dan penerima gadai. (Aqid)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang bertransaksi gadai yaitu rahin
(pemberi gadai) dan murthahin (penenima gadai) adalah Pemberi dan penerima
gadai haruslah orang yang berakal dan balig sehingga dapat dianggap cakap untuk
melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari’at Islam.
3. Adanya barang yang digadaikan. (Marhun)
Barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian gadai dan
barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang gadaian itu kemudian berada
dibawah pengasaan penerima gadai.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin
(pemberi gadai) adalah:
b. bermanfaat
d. jelas
Abu Bakr Jabir Al-Jazairi dalam buku “Minhajul Muslim” menyatakan bahwa
barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan, tidak boleh digadaikan, kecuali
tanaman dan buah-buahan dipohonnya yang belum masak. Karena penjualan
tanaman dan buahbuahan dipohonnya yang belum masak tersebut haram, namun
untuk dijadikan barang gadai hal ini diperbolehkan, karena didalamnya tidak
memuat unsur gharar bagi murthahin. Dinyatakan tidak mengandung unsur
gharar karena piutang murthahin tetap ada kendati tanaman dan buah-buahan
yang digadaikan kepadanya mengalami kerusakan (AlJazairi, 2000: 532).
Menurut ulama Hanafiyah dan Syafiiyah syarat utang yang dapat dijadikan alas
gadai adalah:
a. berupa utang yang tetap dapat dimanfaatkan;
Jika ada perselisihan mengenai besarnya hutang antara rahin dan murthahin, maka
ucapan yang diterima ialah ucapan rahin dengan disuruh bersumpah, kecuali jika
murthahin bisa mendatangkan barang bukti. Tetapi jika yang diperselisihkan
adalah mengenai marhun, maka ucapan yang diterima adalah ucapan murthahin
dengan disuruh bersumpah, kecuali jika rahin bisa mendatangkan barang bukti
yang menguatkan dakwaannya, karena. Rasulullah SAW bersabda: “barang bukti
dimintakan dari orang yang mengklaim dan sum pah dimintakan dan orang yang
tidak mengaku”. (Diriwayatkan Al-Baihaqi dengan sanad yang baik) (Al-Jazairi,
2000: 533).
Madzhab Maliki berpendapat bahwa gadai wajib dengan akad, setelah akad orang
yang menggadaikan (rahin) dipaksakan untuk menyerahkan barang untuk
dipegang oleh yang memegang gadaian (murtahin) (Sayyid Sabiq, 1987: 141).
Sedangkan menurut Al-Jazairi marbun boleh dititipkan kepada orang yang bisa
dipercaya selain murthahin sebab yang terpenting dan marhun tersebut dapat
dijaga dan itu bisa dilakukan oleh orang yang bisa dipercaya (Al-Jazairi, 2000:
532).
Di samping beberapa kemiripandari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan
konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri tersendiri yang
implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional. Lebih jauh tentang
ketiga aspek tersebut, dipaparkan dalam uraian berikut.
Hadist
Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda : Rasulullah membeli makanan dari seorang
yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi. HR Bukhari dan Muslim
Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda : Tidak terlepas kepemilikan barang gadai
dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung
risikonya. HR Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah
Dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda : Apabila ada ternak digadaikan, maka
punggungnya boleh dinaiki ( oleh yang menerima gadai), karena ia telah
mengeluarkan biaya ( menjaga)nya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya
yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah
mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka ia
harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya. HR Jemaah kecuali Muslim dan Nasai-
Bukhari
Ijtihad
Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat
boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai ini. Jumhur ulama
berpendapat bahwa disyariatkan pada waktu tidak berpergian maupun pada waktu
berpergian, berargumentasi kepada perbuatan Rasulullah SAW terhadap riwayat hadis
tentang orang Yahudi tersebut di Madinah
Di samping itu, para ulama sepakat membolehkan akad Rahn ( al-Zuhaili, al-Fiqh
al-Islami wa Adilatuhu, 1985,V:181)
Landasan ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional no 25/DSN-
MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan
menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan
ketentuan sebagai berikut.
a. Ketentuan Umum :
b. Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari
terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya.
Sesuai dengan landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di
atas dua akad transaksi Syariah yaitu.
1. Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan
memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai
jaminan atas utang nasabah.
2. Akad Ijaroh. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui
pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas
barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik
sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan
akad
Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup
menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan
disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai
taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan
pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan.
Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah
ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan
adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.
Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan
kesepakatan :
Taksiran
Rp. 80 x ----------------------
Rp. 10.000
3. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat
pencairan uang pinjaman. Dengan ketentuan sebagai berikut:
o mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang
sudah berjalan ditambah bea administrasi,
o atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo
nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.
Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan,
maka Pegadaian Syariah melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih
antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang
kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun
untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak
mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada
Badan Amil Zakat sebagai ZIS.
Dari uraian diatas dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi
Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu
Pegadaian syariah tidak menekankan pada pemberian bunga dari barang yang
digadaikan. Meski tanpa bunga, pegadaian syariah tetap memperoleh keuntungan seperti
yang sudah diatur oleh Dewan Syariah Nasional, yaitu memberlakukan biaya
pemeliharaan dari barang yang digadaikan. Biaya itu dihitung dari nilai barang, bukan
dari jumlah pinjaman. Sedangkan pada pegadaian konvensional, biaya yang harus dibayar
sejumlah dari yang dipinjamkan.
Menimbang :
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah
diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
2. Pandhuis Reglement (Aturan Dasar Pegadaian) Staatsblad Tahun 1928 Nomor
81;
3. Undang-undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara
(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor
1989);
4. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969
Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2890) tentang Bentuk-bentuk
Usaha Negara menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor
40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2904);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum
(PERUM) (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 16, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3732);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM)
PEGADAIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Perusahaan yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1969 sebagai
PERJAN Pegadaian sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1990, dilanjutkan berdirinya dan meneruskan usaha-usaha selanjutnya berdasarkan
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
BAB III
ANGGARAN DASAR PERUSAHAAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 3
(1) Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah Badan Usaha Milik Negara
yang diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan usaha menyalurkan
uang pinjaman atas dasar hukum gadai.
(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, terhadap
Perusahaan berlaku Hukum Indonesia.
Bagian Kedua
Tempat Kedudukan dan Jangka Waktu
Pasal 4
Pasal 5
Bagian Ketiga
Sifat, Maksud dan Tujuan
Pasal 6
Sifat usaha dari Perusahaan adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum
dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan Perusahaan.
Pasal 7
Untuk mencapai maksud dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Perusahaan
menyelenggarakan usaha :
Pasal 9
Untuk mendukung pembiayaan kegiatan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan
Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dengan persetujuan Menteri
Keuangan Perusahaan dapat :
(1) Modal Perusahaan merupakan kekayaan Negara yang dipisahkan dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan tidak terbagi atas saham-saham.
(2) Besarnya modal Perusahaan pada saat Peraturan Pemerintah ini diundangkan adalah
sebesar seluruh nilai penyertaan modal Negara yang tertanam dalam Perusahaan,
berdasarkan penetapan Menteri Keuangan.
Pasal 11
Setiap penambahan dan pengurangan penyertaan modal Negara yang tertanam dalam
Perusahaan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
(1) Penerbitan obligasi dalam rangka pengerahan dana masyarakat oleh Perusahaan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Rencana penerbitan obligasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus
diberitahukan oleh Perusahaan kepada para kreditor tertentu.
Pasal 13
(1) Dalam hal Perusahaan menerbitkan obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1) dan Negara melakukan pengurangan penyertaan modal pada Perusahaan, maka
rencana pengurangan modal Negara tersebut harus diberitahukan kepada kreditur
sebelum ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pengurangan penyertaan modal Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
boleh merugikan kepentingan pihak ketiga.
Pasal 14
Semua alat-alat likuid yang tidak segera diperlukan oleh Perusahaan disimpan dalam
bank sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keenam
Pembinaan
Pasal 15
(2) Pembinaan Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
menetapkan kebijakan pengembangan usaha.
(4) Pembinaan sehari-hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
memberikan pedoman bagi Direksi dan Dewan Pengawas dalam menjalankan kegiatan
operasional Perusahaan.
(5) Pedoman sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) disusun berdasarkan kebijakan
pengembangan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 16
Menteri Keuangan tidak bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan hukum yang
dilakukan Perusahaan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perusahaan melebihi
nilai kekayaan Negara yang telah dipisahkan ke dalam Perusahaan, kecuali apabila :
a. Menteri Keuangan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk
memanfaatkan Perusahaan semata-mata untuk kepentingan pribadi;
b. Menteri Keuangan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan
Perusahaan; atau
c. Menteri Keuangan langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum
menggunakan kekayaan Perusahaan.
Bagian Ketujuh
Direksi Perusahaan
Pasal 17
(2) Jumlah anggota Direksi paling banyak 5 (lima) orang, dan seorang diantaranya
diangkat sebagai Direktur Utama.
(3) Penambahan jumlah anggota Direksi melebihi jumlah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), dilakukan dengan persetujuan Presiden.
Pasal 18
Yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perorangan yang :
Pasal 19
(1) Antara anggota Direksi dilarang memiliki hubungan keluarga sampai derajat ketiga
baik menurut garis lurus maupun garis ke samping, termasuk hubungan yang timbul
karena perkawinan.
(2) Jika hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terjadi sesudah
pengangkatan anggota Direksi, maka anggota Direksi tersebut harus mengajukan
permohonan kepada Menteri Keuangan untuk dapat melanjutkan jabatannya.
(3) Permohonan kepada Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diajukan dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak terjadinya hubungan
keluarga.
(4) Anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat melanjutkan jabatannya
sampai dikeluarkannya keputusan Menteri Keuangan bagi anggota Direksi tersebut
mengenai dapat atau tidak dapat melanjutkan jabatan.
(5) Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diberikan dalam
jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak permohonan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diajukan.
(6) Dalam hal keputusan Menteri Keuangan belum dikeluarkan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), Menteri Keuangan dianggap memberikan
keputusan bahwa anggota Direksi dapat melanjutkan jabatannya.
Pasal 20
a. Direktur Utama atau Direktur pada Badan Usaha Milik Negara, Daerah dan
Swasta atau jabatan lain yang berhubungan dengan kepengurusan perusahaan;
b. jabatan struktural dan fungsional lainnya dalam instansi/lembaga Pemerintah
Pusat atau Daerah;
c. jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 21
(2) Anggota Direksi diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun, dan dapat diangkat
kembali.
Pasal 22
(1) Anggota Direksi dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya oleh Menteri
Keuangan apabila berdasarkan kenyataan anggota Direksi :
(2) Keputusan pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diambil setelah yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri.
(3) Pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan secara tertulis dan
disampaikan kepada Menteri Keuangan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak
anggota Direksi yang bersangkutan diberitahu secara tertulis oleh Menteri Keuangan
tentang rencana pemberhentian tersebut.
(4) Selama rencana pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) masih dalam
proses, maka anggota Direksi yang bersangkutan dapat melanjutkan tugasnya.
(5) Jika dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal penyampaian
pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Menteri Keuangan tidak
memberikan keputusan pemberhentian anggota Direksi tersebut, maka rencana
pemberhentian tersebut menjadi batal.
(6) Pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d,
merupakan pemberhentian tidak dengan hormat.
Pasal 23
(2) Untuk menyelenggarakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), Direksi berwenang menetapkan kebijaksanaan teknis dan non teknis sesuai dengan
kebijakan Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e.
Pasal 24
a. Direktur Utama dapat bertindak atas nama Direksi berdasarkan persetujuan para
anggota Direksi lainnya;
b. para Direktur berhak dan berwenang bertindak atas nama Direksi, masing-masing
untuk bidang yang menjadi tugas dan wewenangnya.
(2) Apabila salah satu atau beberapa anggota Direksi berhalangan tetap menjalankan
pekerjaannya atau apabila jabatan itu terluang dan penggantinya belum diangkat atau
belum memangku jabatannya, maka jabatan tersebut dipangku oleh anggota Direksi
lainnya yang ditunjuk sementara oleh Menteri Keuangan.
(3) Dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak terjadinya keadaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Menteri Keuangan menunjuk anggota Direksi
yang baru untuk memangku jabatan yang terluang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2).
(4) Apabila semua anggota Direksi berhalangan tetap menjalankan pekerjaannya atau
jabatan Direksi terluang seluruhnya dan belum diangkat, maka sementara waktu
pengurusan Perusahaan dijalankan oleh Dewan Pengawas.
(5) Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1) huruf c, Direksi dapat melaksanakan sendiri atau menyerahkan kekuasaan
tersebut kepada :
b. seorang atau beberapa orang pegawai Perusahaan baik sendiri maupun bersama-
sama; atau
c. orang atau badan lain; yang khusus ditunjuk untuk hal tersebut.
Pasal 25
Pasal 26
Anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5) huruf a tidak berwenang
mewakili Perusahaan apabila :
Pasal 27
Besar dan jenis penghasilan Direksi ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 28
(3) Keputusan rapat Direksi diambil atas dasar musyawarah untuk mufakat.
(4) Dalam hal tidak tercapai kata mufakat, maka keputusan diambil berdasarkan suara
terbanyak.
Pasal 29
(1) Rencana Jangka Panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf f,
sekurang-kurangnya memuat :
(2) Rancangan Rencana Jangka Panjang yang telah ditandatangani bersama dengan
Dewan Pengawas disampaikan kepada Menteri Keuangan, untuk disahkan.
Pasal 30
(1) Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1) huruf f sekurang-kurangnya memuat :
b. Anggaran Perusahaan;.
(2) Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diajukan kepada Menteri Keuangan, paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun
anggaran dimulai, untuk memperoleh pengesahan.
(3) Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
disahkan oleh Menteri Keuangan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tahun
anggaran berjalan.
(4) Dalam hal Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan belum disahkan oleh Menteri
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka Rencana Kerja dan Anggaran
Perusahaan tersebut dianggap sah untuk dilaksanakan sepanjang telah memenuhi
ketentuan tata cara penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan.
Bagian Kedelapan
Dewan Pengawas
Pasal 31
(2) Jumlah anggota Dewan Pengawas disesuaikan dengan kebutuhan Perusahaan paling
sedikit 2 (dua) orang dan paling banyak 5 (lima) orang, seorang diantaranya diangkat
sebagai Ketua Dewan Pengawas.
(3) Dewan Pengawas dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas
untuk kepentingan dan tujuan Perusahaan.
Pasal 32
Yang dapat diangkat sebagai Dewan Pengawas adalah orang perorangan yang :
Pasal 33
Pasal 34
Dewan Pengawas terdiri dari unsur-unsur pejabat Departemen Keuangan dan
departemen/instansi lain yang kegiatannya berhubungan dengan Perusahaan, atau
pejabat lain yang ditetapkan Menteri Keuangan.
Pasal 35
(1) Anggota Dewan Pengawas diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Keuangan.
(2) Anggota Dewan Pengawas diangkat untuk masa jabatan yang sama dengan anggota
Direksi dan dapat diangkat kembali.
Pasal 36
(1) Anggota Dewan Pengawas dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya oleh
Menteri Keuangan, apabila berdasarkan kenyataan anggota Dewan Pengawas :
(2) Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan setelah
yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri.
(3) Pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan secara tertulis dan
disampaikan kepada Menteri Keuangan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak
anggota Dewan Pengawas yang bersangkutan diberitahu secara tertulis oleh Menteri
Keuangan tentang rencana pemberhentian tersebut.
(4) Selama rencana pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) masih dalam
proses, maka anggota Dewan Pengawas yang bersangkutan dapat melanjutkan
tugasnya.
(5) Jika dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal penyampaian
pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) Menteri Keuangan tidak
memberikan keputusan pemberhentian anggota Dewan Pengawas tersebut, maka
rencana pemberhentian tersebut menjadi batal;
(6) Pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d,
merupakan pemberhentian tidak dengan hormat.
Pasal 37
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a termasuk pengawasan
terhadap pelaksanaan :
Pasal 38
Pasal 39
Pasal 40
Pasal 41
Jika dianggap perlu Dewan Pengawas dalam melaksanakan tugasnya dapat memperoleh
bantuan tenaga ahli yang diikat dengan kontrak untuk waktu tertentu atas beban
Perusahaan.
Pasal 42
Semua biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas Dewan Pengawas
dibebankan kepada Perusahaan dan secara jelas dimuat dalam Rencana Kerja dan
Anggaran Perusahaan.
Pasal 43
(2) Dalam rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dibicarakan hal-hal yang
berhubungan dengan Perusahaan sesuai dengan tugas, kewenangan dan kewajiban
Dewan Pengawas.
(3) Keputusan rapat Dewan Pengawas diambil atas dasar musyawarah untuk mufakat.
(4) Dalam hal tak tercapai kata mufakat, maka keputusan diambil berdasarkan suara
terbanyak.
Bagian Kesembilan
Satuan Pengawasan Intern
Pasal 44
(2) Satuan Pengawasan Intern sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipimpin oleh
seorang Kepala yang bertanggung jawab kepada Direktur Utama.
Pasal 45
Pasal 46
Pasal 47
Pasal 48
Bagian Kesepuluh
Sistem Akuntansi dan Pelaporan
Pasal 49
Tahun buku Perusahaan adalah tahun takwim, kecuali jika ditetapkan lain oleh Menteri
Keuangan.
Pasal 50
Perhitungan Tahunan dibuat sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku.
Pasal 51
Dalam waktu 5 (lima) bulan setelah tahun buku Perusahaan ditutup, Direksi wajib
menyampaikan Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf l
kepada Menteri Keuangan, yang memuat sekurang-kurangnya :
a. Perhitungan Tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau
dan perhitungan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan serta penjelasan
atas dokumen tersebut;
b. laporan mengenai keadaan dan jalannya Perusahaan serta hasil yang telah
dicapai;
c. kegiatan utama Perusahaan dan perubahan selama tahun buku;
d. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang mempengaruhi kegiatan
Perusahaan;
e. nama anggota Direksi dan Dewan Pengawas; dan
f. gaji dan tunjangan lain bagi anggota Direksi dan Dewan Pengawas.
Pasal 52
(1) Laporan Tahunan ditandatangani oleh semua anggota Direksi dan Dewan Pengawas
serta disampaikan kepada Menteri Keuangan.
(2) Dalam hal ada anggota Direksi atau Dewan Pengawas tidak menandatangani Laporan
Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus disebutkan alasannya secara
tertulis.
Pasal 53
(1) Perhitungan Tahunan disampaikan oleh Direksi kepada Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan untuk diperiksa.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan oleh Akuntan
Publik yang ditunjuk oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dengan
ketentuan bahwa hasil pemeriksaannya disetujui oleh Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan.
(4) Laporan hasil pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau
Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) disampaikan
secara tertulis oleh Direksi kepada Menteri Keuangan untuk disahkan.
(5) Perhitungan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diumumkan dalam surat
kabar harian.
Pasal 54
(1) Pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (4) membebaskan Direksi
dari tanggung jawab terhadap segala sesuatunya yang termuat dalam Perhitungan
Tahunan tersebut.
(2) Dalam hal dokumen Perhitungan Tahunan yang diajukan dan disahkan tersebut
ternyata tidak benar dan atau menyesatkan maka anggota Direksi dan Dewan Pengawas
secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak ketiga yang dirugikan.
(3) Anggota Direksi dan Dewan Pengawas dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) apabila terbukti bahwa keadaan tersebut bukan karena
kesalahannya.
Pasal 55
(1) Laporan berkala baik laporan triwulan, laporan semester maupun laporan lainnya
tentang kinerja Perusahaan disampaikan kepada Dewan Pengawas.
(2) Tembusan laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan
kepada Menteri Keuangan.
Pasal 56
Bagian Kesebelas
Pegawai Perusahaan
Pasal 57
Pasal 58
(1) Segala ketentuan eselonisasi jabatan yang berlaku bagi Pegawai Negeri tidak berlaku
bagi pegawai Perusahaan.
(2) Direksi dapat mengatur dan menetapkan ketentuan eselonisasi jabatan tersendiri bagi
pegawai Perusahaan.
Bagian Keduabelas
Penggunaan Laba
Pasal 59
(1) Setiap tahun buku, Perusahaan wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih
untuk cadangan tujuan, penyusutan dan pengurangan lainnya yang wajar.
(2) Empat puluh lima persen (45%) dari sisa penyisihan laba bersih sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dipakai untuk :
Pasal 60
(1) Seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 disetorkan sebagai Dana Pembangunan Semesta.
(2) Dana Pembangunan Semesta yang menjadi hak Negara wajib disetorkan ke
Bendahara Umum Negara segera setelah Laporan Tahunan disahkan sesuai ketentuan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
Bagian Ketigabelas
Ketentuan lain-lain
Pasal 61
Tata cara penjualan, pemindahtanganan atau pembebanan atas aktiva tetap Perusahaan
serta penerimaan pinjaman jangka menengah/panjang dan pemberian pinjaman dalam
bentuk dan cara apapun serta tidak menagih lagi dan menghapuskan dari pembukuan
piutang dan persediaan barang oleh Perusahaan ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 62
Pengadaan barang dan jasa Perusahaan yang menggunakan dana langsung dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 63
(1) Selain organ Perusahaan, pihak lain manapun dilarang turut mencampuri pengurusan
Perusahaan.
(2) Organ Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Direksi dan Dewan
Pengawas.
Pasal 64
(1) Direksi hanya dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar Perusahaan
dinyatakan pailit berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan.
(2) Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan
Perusahaan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap
anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
(3) Anggota Direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan
atau kelalaiannya, tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian
tersebut.
Pasal 65
(1) Anggota Direksi dan semua pegawai Perusahaan yang karena tindakan-tindakan
melawan hukum menimbulkan kerugian bagi Perusahaan, diwajibkan mengganti kerugian
tersebut.
(2) Ketentuan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap anggota Direksi
diatur oleh Menteri Keuangan, sedangkan terhadap pegawai Perusahaan diatur oleh
Direksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 66
Semua surat dan surat berharga yang termasuk kelompok pembukuan dan administrasi
Perusahaan disimpan di tempat Perusahaan atau tempat lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 67
(2) Semua kekayaan Perusahaan setelah diadakan likuidasi, menjadi milik Negara.
(4) Menteri Keuangan memberi pembebasan tanggung jawab tentang pekerjaan yang
telah diselesaikan likuidatur.
Pasal 68
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 69
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua ketentuan pelaksanaan yang
telah ditetapkan dan diberlakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1990, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti dengan
ketentuan baru yang ditetapkan dan diberlakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 70
Pasal 71
Ditetapkan di Jakarta
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2000
ttd
DJOHAN EFFENDI
Pertama: Hukum
Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk
Rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut.
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.Dr.H.Veithzal Rivai, M.B.A; Andria Permata Veithzal, S.Acct., M.B.A; Ferry N.
Idroes, S.E., M.M.. 2007. Bank and Financial Institution Management. Edisi 1.
Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada.
Abdul Ghofur Anshori. 2007. Gadai Syariah di Indonesia. Jakarta: Gadjah Mada
Univercity Press.
Ruslan Abdul Ghafur. Konsep Gadai Syariah (Ar-Rahn) Dalam Fiqih.01 Maret 2008.
MSI-UII.
Ari Agung Nugraha. Gambaran Umum Usaha Pegadaian Syariah. Perum Pegadaian
Cabang Batam.
Vibisnews.com. Konsep, Operasionalisasi, dan Prospek Pegadaian Syariah di Indonesia.
Al-Quran dan Terjemahannya.