Anda di halaman 1dari 58

26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI

smtr Genap 1

Standar Kompetensi (SK) Kompetensi Dasar (KD)

4. Memahami hukum Islam 4.1. Menjelaskan ketentuan Hukum


tentang tentang hukum keluarga perkawinan dalam Islam dan hikmahnya
4.2. Menjelaskan ketentuan Perkawinan
menerut perundang –undangan di
Indonesia

4.3. Menjelaskan konsep Islam tentang


perceraian, iddah, rujuk dan hikmahnya
4.4. Menjelaskan ketentuan Islam tentang
pengasuhan anak (hadhanah)
A. PENDAHULUAN
Menurut ajaran Islam, perkawinan adalah sunnah Allah SWT. yang berlaku umum
bagi semua makhluk. Dan Allah SWT. Berfirman (yang artinya):

‫ضُع ِإل ِبِعْلِمِه َوَما‬


َ ‫ن ُأْنَثى َول َت‬ْ ‫ل ِم‬
ُ ‫حِم‬
ْ ‫جا َوَما َت‬ ً ‫جَعَلُكْم َأْزَوا‬
َ ‫طَفٍة ُثّم‬
ْ ‫ن ُن‬
ْ ‫ب ُثّم ِم‬
ٍ ‫ن ُتَرا‬
ْ ‫خَلَقُكْم ِم‬
َ ‫ل‬ُّ ‫َوا‬
‫سيٌر‬
ِ ‫ل َي‬
ِّ ‫عَلى ا‬َ ‫ك‬َ ‫ن َذِل‬ّ ‫ب ِإ‬
ٍ ‫عُمِرِه ِإل ِفي ِكَتا‬ ُ ‫ن‬ ْ ‫ص ِم‬ُ ‫ن ُمَعّمٍر َول ُيْنَق‬ ْ ‫ُيَعّمُر ِم‬
“Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia
menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang
perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan
sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur
panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab
(Lohmahfuz). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah”.( QS. Fathir,
35:11)

Wahbah Az-Zuhaili, guru besar Ilmu Fikih di Universitas Dimasykus, Siria (1932 M--)
dalam bukunya, Al-Fiqhul Islam wa ‘Adillatuhu, menyatakan bahwa menurut hukum Islam,
perkawinan atau pernikahan adalah akad atau perjanjian atau ikatan yang menghalalkan
seorang pria dan seorang wanita hidup bersama sebagai suami-istri. Al-Qur’an
menyebutkannya dengan istilah: Mitsâqan Ghalîzhan (perjanjian yang kuat) sebagai berikut:

‫ظا‬
ً ‫غِلي‬
َ ‫ن ِمْنُكْم ِميَثاًقا‬
َ ‫خْذ‬
َ ‫ض َوَأ‬
ٍ ‫ضُكْم ِإَلى َبْع‬
ُ ‫ضى َبْع‬
َ ‫خُذوَنُه َوَقْد َأْف‬
ُ ‫ف َتْأ‬
َ ‫َوَكْي‬
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. , (QS. An-Nisa’, 4: 21)

Islam sangat menganjurkan pernikahan. Sebab, dengan pernikahan itu manusia akan
berkembang biak sehingga kehidupan umat manusia dapat dilestarikan. Tanpa pernikahan,
regenerasi akan terhenti, kehidupan manusia akan terputus, dunia akan sepi dan tidak berarti.
Dalam hal ini, Allah SWT. Berfirman:

ِ‫طّيَبات‬
ّ ‫ن ال‬
َ ‫حَفَدًة َوَرَزَقُكْم ِم‬
َ ‫ن َو‬
َ ‫جُكْم َبِني‬
ِ ‫ن َأْزَوا‬
ْ ‫ل َلُكْم ِم‬
َ ‫جَع‬
َ ‫جا َو‬ ً ‫سُكْم َأْزَوا‬ِ ‫ن َأْنُف‬
ْ ‫جَعلَ َلُكْم ِم‬َ ‫ل‬ ُّ ‫َوا‬
َ ‫ل ُهْم َيْكُفُرو‬
‫ن‬ ِّ ‫ن َوِبِنْعَمِة ا‬َ ‫ل ُيْؤِمُنو‬ِ‫ط‬ ِ ‫َأَفِباْلَبا‬
“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari
istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik.
Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah ?" (QS.
An Nahl, 16: 72)

Islam adalah agama fitrah, tidak membelunggu perasaan cinta manusia kepada lawan
jenisnya. Akan tetapi Islam memerintahkan manusia untuk menjaga perasaan cinta itu,
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 2

merawat dan melindunginya dari segala perbuatan yang kotor dan hina. Oleh karena itu, Islam
menetapkan institusi pernikahan untuk memelihara kesucian cinta dua anak manusia yang
berlainan jenis.

Kita semua mengetahui, bahwa dalam melaksanakan setiap perintah, Allah SWT. pasti
memberikan sejumlah pahala. Begitu juga dalam perenikahan, Allah memberikan pahala bagi
mereka yang melangsungkannya. Allah memisalkan hubungan dua jenis manusia yang diikat
dalam tali pernikahan bagaikan pakaian yang melekat pada tubuh pemakainya. Sebagai
pakaian, antara baju dan pemakai tentu saling melengkapi dan saling membutuhkan. Manusia
tidak akan sempurna tanpa pakaian. Demikian juga seorang lalaki tidak akan (belum)
sempurna tanpa adanya seorang istri.

Bentuk hubungan yang saling melengkapi itu hanya ada dalam lembaga perkawinan.
Tanpa perkawinan, tidak akan pernah ada proses saling melengkapi antara laki-laki dan
perempuan. Allah SWT. Berfirman:

‫حَمًة‬
ْ ‫ل َبْيَنُكْم َمَوّدًة َوَر‬
َ ‫جَع‬
َ ‫سُكُنوا ِإَلْيَها َو‬
ْ ‫جا ِلَت‬
ً ‫سُكْم َأْزَوا‬
ِ ‫ن َأْنُف‬
ْ ‫ق َلُكْم ِم‬
َ ‫خَل‬
َ ‫ن‬ْ ‫ن َآَياِتِه َأ‬
ْ ‫َوِم‬
َ ‫ت ِلَقْوٍم َيَتَفّكُرو‬
‫ن‬ ٍ ‫لَيا‬
َ ‫ك‬ َ ‫ن ِفي َذِل‬ ّ ‫ِإ‬
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (QS. Ar-Rum, 30: 21)

Para remaja yang sudah cukup umur dan dewasa tetapi masih membujang dianjurkan
untuk segera menikah. Begitu juga hamba sahaya yang dipandang sudah pantas. Mereka tidak
usah khawatir mengalami kesulitan ekonomi. Orang yang melaksanakan perkawinan
dipandang telah melakukan separuh dari agamanya. Rasulullah SAW. bersabda:

‫ف ْالباِقي‬
ِ ‫ص‬
ْ ‫ل ِفي الّن‬
َ ‫قا‬
ِ ‫ن َفْلَيّت‬
ِ ‫لْيما‬
ِ ‫ف ْا‬
ُ ‫ص‬
ْ ‫ل ِن‬
َ ‫سَتْكَم‬
ْ ‫ن َتَزّوجَ َفَقْد ا‬
ْ ‫َم‬
“Barangsiapa yang menikah (beristri), maka sempurnalah separuh imannya. Karena
itu, bertakwalah kepada Allah untuk melaksanakan separuh sisanya”. (Ath-Thabarani,
Mu’jamul Ausath, hds no. 7314. Ini hadits dha’if.)
Ada hadits lain yang berbunyi:

"‫لَمم‬
ُ ‫جوا فإّني ُمكاِثٌر بكم ا‬
ُ ‫"تزّو‬.
“Menikahlah kalian semua. Sesungguhnya aku senang kalian menjadi umat terbanyak”

Dan masih banyak hadits yang semakna dan menganjurkan pernikahan.

B. Hukum Nikah

Dalam kitab Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusydi mengemukakan, bahwa terdapat


perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang hukum pernikahan, sesuai dengan kondisi
masing-masing pihak yang akan melangsungkan pernikahan tersebut. Pernikahan bagi
seseorang dapat dikatakan wajib baginya, sedangkan bagi orang lain dapat juga sunnah
hukumnya, malah juga ada yang haram, atau mubah, sebagai berikut:

1. Mubah
Imam Asy-Syafi’I mengatakan, bahwa hukum melakukan pernikahan adalah ibahah atau
boleh bagi orang yang tidak khawatir akan melakukan zina jika tidak menikah, atau tidak
takut berbuat aniaya bila ia menikah. Hal ini berarti setiap orang halal, atau mempunyai
hak untuk melakukan suatu pernikahan dan berhak pula untuk tidak melakukannya. Setiap
orang, lelaki atau wanita bila memenuhi persyaratan perkawinan, maka boleh baginya
melakukan perkawinan. Ini sesuai dengan firman Allah SWT. :
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 3

ْ‫ع َفِإن‬
َ ‫ث َوُرَبا‬
َ ‫ل‬
َ ‫ساِء َمْثَنى َوُث‬
َ ‫ن الّن‬
َ ‫ب َلُكْم ِم‬
َ ‫طا‬
َ ‫حوا َما‬ ُ ‫طوا ِفي اْلَيَتاَمى َفاْنِك‬ ُ‫س‬ ِ ‫ل ُتْق‬
ّ ‫خْفُتْم َأ‬
ِ ‫ن‬ ْ ‫َوِإ‬
‫ل َتُعوُلوا‬
ّ ‫ك َأْدَنى َأ‬
َ ‫ت َأْيَماُنُكْم َذِل‬
ْ ‫حَدًة َأْو َما َمَلَك‬
ِ ‫ل َتْعِدُلوا َفَوا‬ّ ‫خْفُتْم َأ‬
ِ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(QS. An-Nisa’, 4: 43)

2. Wajib
Menurut sebagian besar Fukaha’, hukum melakukan pernikahan yang asalnya mubah dapat
berubah menjadi wajib, manakala seseorang merasa sangat khawatir akan melakukan
perbuatan zina jika ia tidak melangsungkan pernikahan. Perbuatan tersebut sangat tercela
dan terlarang karena merupakan dosa besar menurut ajaran Islam. Oleh karena itu, ia wajib
menikah jika memenuhi segala persyaratan untuk melakukannya. Bila ia adalah orang
yang cukup dewasa dari segi umur, jasmaniah sehat walafiat dan akal pikirannyapun
sempurna.
Perintah Allah berkenaan dengan pernikahan itu antara lain disebutkan dalam Al-Qur’an,
antaranya:

‫ضِلِه‬
ْ ‫ن َف‬
ْ ‫ل ِم‬
ُّ ‫ن َيُكوُنوا ُفَقَراَء ُيْغِنِهُم ا‬
ْ ‫عَباِدُكْم َوِإَماِئُكْم ِإ‬
ِ ‫ن‬
ْ ‫ن ِم‬
َ ‫حي‬
ِ ‫صاِل‬
ّ ‫لَياَمى ِمْنُكْم َوال‬َْ ‫حوا ا‬
ُ ‫َوَأْنِك‬
‫عِليٌم‬
َ ‫ل َواسٌِع‬
ُّ ‫َوا‬
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-
Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.(QS. An Nur, 24:
32)

Perintah itu dikemukakan setelah Allah SWT. memperingatkan agar setiap laki-laki
menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dari perbuatan rendah dan tercela
seperti dikemukakan dalam dua ayat sebelumnya yaitu dalam surat An-Nur (24) ayat 30-
31.

3. Sunnah
Seseorang yang telah mencapai tingkat dewasa, memiliki tingkat jasmani dan rohani yang
sehat, cukup layak hatinya cenderung dan mempunyai hasrat untuk menikah, memiliki
harta kekayaan yang memadai atau memilki pekerjaan yang dapat diandalkan untuk
membiayai dan member nafkah dalam hidup berumahtangga, disunnshksn untuk
melakukan pernikahan. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama selain Syafi’i (lihat:
Al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaili)
Dalam keadaan seperti, melakukan pernikahan adalah lebih baik daripada tidak menikah.
Dalam pernikahan itu, ia dapat menyalurkan dorongan naluri biologisnya secara baik (sex-
impuls).

4. Haram
Melakukan suatu pernikahan akan menjadi haram, jika dalam perbuatan itu seseorang
mempunyai iktikad yang tidak terpuji, seperti untuk menyakiti atau menganiaya istrinya.
Begitu juga seseorang yang berniat sekedar untuk mempermainkan pasangannya, maka
haram baginya melakukan pernikahan. Orang seperti itu bahkan wajib meninggalkan
pernikahan.
Haram pula melakukan pernikahan bagi seorang laki-laki yang nyata-nyata tidak mampu
memberikan nafkah lahir maupun batin terhadap istrinya, jika keadaan seperti itu justru
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 4

akan mengakibatkan seorang istri hidup dalam penderitaan. Firman Allah SWT.
menyebutkan:

‫ضِلِه‬
ْ ‫ن َف‬
ْ ‫ل ِم‬
ُّ ‫حّتى ُيْغِنَيُهُم ا‬
َ ‫حا‬
ً ‫ن ِنَكا‬
َ ‫جُدو‬
ِ ‫ل َي‬
َ ‫ن‬
َ ‫ف اّلِذي‬
ِ ‫سَتْعِف‬
ْ ‫َوْلَي‬
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nur, 24: 33)

Haram pula hukumnya melakukan pernikahan, jika seorang laki-laki membohongi calon
istrinya dengan menyebutkan keturunan, harta kekayaan, dan pekerjaan secara palsu.
Begitu pula haram bagi perempuan yang menyadari dirinya tidak mampu memenuhi hak-
hak suaminya tetapi ia tidak mau menjelaskan hal itu kepada calon suaminya sebelum
pernikahan dilangsungkannya.

5. Makruh
Orang yang mempunyai cukup hasrat untuk melakukan pernikahan, telah memenuhi
kedewasaan umur dengan jasmani yang sehat dan rohani yang sempurna, tetapi ia tidak
mampu memberi nafkah dan membiayai rumahtangga karena tidak mempunyai harta
kekayaan atau tidak mempunyai sumber penghasilan, maka makruh baginya melakukan
perkawinan. Begitu pula bagi laki-laki yang lemah syahwat, sungguhpun istrinya rela
untuk tidak menerima nafkah batin, maka makruh baginya melakukan perkawinan.
Demikian Sayyid Sabiq menjelaskan dalam bukunya, Fiqhus Sunnah.

C. TUJUAN PERKAWINAN

Tujuan dasar perkawinan adalah untuk mengembangbiakkan keturunan manusia secara


sah, sebagaimana firman Allah SWT.:

ً‫جال‬
َ ‫ث ِمْنُهَما ِر‬
ّ ‫جَها َوَب‬
َ ‫ق ِمْنَها َزْو‬
َ ‫خَل‬
َ ‫حَدٍة َو‬ِ ‫س َوا‬ٍ ‫خَلَقُكم ّمن ّنْف‬
َ ‫س اّتُقوْا َرّبُكُم اّلِذي‬
ُ ‫َيا َأّيَها الّنا‬
- ‫عَلْيُكْم َرِقيبًا ] سورة النساء‬ َ ‫ن‬َ ‫ل َكا‬ّ ‫نا‬ ّ ‫حاَم ِإ‬
َ ‫لْر‬َ ‫ن ِبِه َوا‬
َ ‫ساءُلو‬َ ‫ل اّلِذي َت‬
ّ ‫ساء َواّتُقوْا ا‬
َ ‫َكِثيرًا َوِن‬
1 ‫] الية‬
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu
dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.(QS. An-Nisa’, 4: 1)

Dalam ayat lain, Allah SWT. menyebutkan, sbb.:

َ ‫ن ِفي َذِل‬
‫ك‬ ّ ‫حَمًة ِإ‬
ْ ‫ل َبْيَنُكم ّمَوّدًة َوَر‬
َ ‫جَع‬
َ ‫سُكُنوا ِإَلْيَها َو‬
ْ ‫سُكْم َأْزَواجًا ّلَت‬
ِ ‫ن َأنُف‬
ْ ‫ق َلُكم ّم‬
َ ‫خَل‬
َ ‫ن‬ْ ‫ن آَياِتِه َأ‬
ْ ‫َوِم‬
[ 21 ‫ن ] سورة الروم – الية‬ َ ‫ت ّلَقْوٍم َيَتَفّكُرو‬
ٍ ‫لَيا‬
َ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum: 21)

Tujuan perkawinan tersebut adalah untuk menciptakan mawaddah wa rahmah dalam


keluarga, rumahtangga yang tenteram, penuh kasih sayang dan bahagia lahir dan batin.

Tujuan perkawinan tersebut tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat biologis yang
menghalalkan hubungan seksual antara kedua belah pihak, tetapi lebih luas dari itu, yaitu
meliputi segala aspek kehidupan, baik lahiriah maupun batiniah.
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 5

Sejalan dengan tujuannya, perkawinan mempunyai sejumlah hikmah atau keuntungan


bagi pelakunya. Sayid Sabiq dalam bukunya, Fiqhus Sunnah mengemukakan sbb.:

1. Dapat menyalurkan naluri seksualnya dengan cara sah dan terpuji.

2. Memelihara dan memperbanyak keturunan dengan terhormat, sehingga dapat


menjaga kelestarian hidup manusia.

3. Naluri keibuan dan kebapakkan akan saling melengkapi dalam kehidupan


rumahtannga bersama anak-anak.

4. Melahirkan organisasi dan pembagian tugas yang jelas dalam keluarga.

5. Memupuk rasa tanggung jawab yang satu terhadap yang lainnya dalam
keluarga, sehingga akan meningkatkan sikap disiplin, rajin, kerja keras dan
meningkatkan produksi untuk memperoleh penghasilan dan menambah kekayaan
keluarga.

6. Terbentuknya tali kekeluargaan dan silatur-rahmi antar keluarga, sehingga akan


memupuk rasa social dan melahirkan masyarakat yang kuat dan bahagia.

7. Umur rata-rata orang yang menikah relative lebih panjang dibanding umur rata-
rata orang yang tidak menikah.

D. RUKUN DAN SYARAT PERNIKAHAN

Suatu pernikahan dapat dikatakan sah menurut hukum Islam manakala memenuhi
rukun dan syaratnya. Sehingga tidak terpenuhinya mengenai rukun dan atau syarat pernikahan,
akan berakibat pernikahan tersebut tidak sah. Rukun pernikahan adalah merupakan unsur yang
harus ada dalam pernikahan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 14 menyebutkan, bahwa rukun atau unsur yang
harus dipenuhi sewaktu pernikahan dilangsungkan adalah:
a. Calon Suami,
b. Calon Isteri,
c. Wali nikah,
d. Dua orang saksi dan,
e. Ijab dan Kabul.
Sedangkan menurut Jumhur Ulama, bahwa rukun nikah adalah:
a. Calon suami
b. Calon istri
c. Wali.
d. Shighat (ijab dan qabul)
Sedangkan unsur saksi dalam pernikahan dipandang sebagai syarat, seperti adanya mahar atau
maskawin.
Rukun dalam pernikahan memerlukan adanya persyaratan supaya suatu pernikahan dipandang
sah. Jika rukun tidak memenuhi persyaratan, maka dapat mengakibatkan batalnya suatu
pernikahan, sehingga pernikahan tersebut tidak mempunyai akibat hukum. Untuk syarat-syarat
bagi masing masing rukun pernikahan sebagai di bawah ini.
1. Calon Suami-istri
a. Batas Umur
Islam tidak menentukan batas umur minimal bagi calon suami atau istri. Namun, Al-
Qur’an memberi isyarat bahwa kedua calon mempelai harus telah mencapai umur
dewasa. Allah SWT berfirman:
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 6

‫ل َتْأُكُلوَها‬
َ ‫شًدا َفاْدَفُعوا ِإَلْيِهْم َأْمَواَلُهْم َو‬
ْ ‫سُتْم ِمْنُهْم ُر‬ْ ‫ن َآَن‬ْ ‫ح َفِإ‬
َ ‫حّتى ِإَذا َبَلُغوا الّنَكا‬َ ‫َواْبَتُلوا اْلَيَتاَمى‬
‫ف َفِإَذا‬ِ ‫ل ِباْلَمْعُرو‬ ْ ‫ن َفِقيًرا َفْلَيْأُك‬
َ ‫ن َكا‬ ْ ‫ف َوَم‬ ْ ‫سَتْعِف‬ْ ‫غِنّيا َفْلَي‬
َ ‫ن‬َ ‫ن َكا‬ْ ‫ن َيْكَبُروا َوَم‬ ْ ‫سَراًفا َوِبَداًرا َأ‬ ْ ‫ِإ‬
‫سيًبا‬
ِ‫ح‬َ ‫ل‬ ِّ ‫عَلْيِهْم َوَكَفى ِبا‬ َ ‫شِهُدوا‬ ْ ‫َدَفْعُتْم ِإَلْيِهْم َأْمَواَلُهْم َفَأ‬
“Dan ujilah[269] anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian
jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak
yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu)
mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan
barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.
Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai
Pengawas (atas persaksian itu). (QS. An-Nisa’, 4: 6)

Kalimat: … cukup umur untuk kawin (cetak tebal), pada ayat tersebut bararti bahwa
untuk melangsungkan pernikahan diperlukan tingkat umur tertentu atau kedewasaan
untuk menikah.

Hukum Islam tidak menutup kemungkinan penentuan batas umur minimal berdasarkan
ijmak atau kesepakatan para ulama mengingat kemaslahatan bagi pernikahan. Oleh
karena itu, batas umur minimal untuk melangsungkan pernikahan dapat disesuaikan
dengan kebutuhan dan kewajaran menurut situasi dan kondisi masyarakat setempat.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, menentukan umur calon suami sekurang-
kurangnya berusia 19 tahun, dan calon istri berumur minimal 16 tahun. (Kompilasi
ukum Islam, bagian II pasal 15 ayat 1 dan 2) Tapi, bila kedua calon mempelai kurang
dari 21 tahun, mereka harus dapat ijin orang tuanya. Dan izin orangtua tidak diperlukan
lagi, baik bagi calon suami maupun calon istri, bila mereka sudah genap umur 21
tahun.

b. Persetujuan antara calon suami-istri


Suatu pernikahan dipandang sah bila dilaksanakan atas persetujuan keduabelah pihak.
Kerelaan laki-laki dan perempuan serta persetujuan mereka untuk mengikat hidup
berkeluarga merupakan rukun pokok dalam pernikahan, demikian kata Sayyid Sabiq
dalam Fiqhus Sunnah-nya. Persetujuan keduabelah pihak harus sudah jelas sebelum
akad nikah diberlangsungkan. Bentuk persetujuan dari mempelai laki-laki harus
dinyatakan dengan tegas, baik secara tertulis maupun secara lisan. Sedangkan
persetujuan dari calon mempelai perempuan dapat berupa pernyataan tegas, dengan
isyarat atau dengan cara diam selama tidak ada penolakan dengan tegas. Kompilasi
Hukum Islam menyebutkan sebagai berikut:
Pasal 16
(1). Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
(2). Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas
dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam
dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. (Kompilasi Hukum Islam
pasal 16). Ada pernyataan Nabi
SAW yang menyebutkan, seperti berikut:

‫ن َوِلّيَها َواْلِبْكُر‬
ْ ‫سَها ِم‬
ِ ‫ق ِبَنْف‬
ّ‫ح‬َ ‫ب َأ‬
ُ ‫ الّثّي‬:‫ل‬
َ ‫ َقا‬-‫صلى ال عليه وسلم‬- ‫ى‬
ّ ‫ن الّنِب‬
ّ ‫س َأ‬
ٍ ‫عّبا‬ َ ‫ن‬ِ ‫ن اْب‬ِ‫ع‬َ
‫سُكوُتَها‬
ُ ‫سَتْأَمُر َوِإْذُنَها‬
ْ ‫ُت‬
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 7

Dari Ibnu Abbas, Nabi SAW. bersabda: “Seorang janda lebih berhak atas dirinya
daripada walinya. Dan seorang perawan diajak berembuk, tetapi izinnya adalah
diamnya”( Muslim, Shahih Muslim, IV: 141)

Ada lagi hadits dari Ibnu Abbas yang menjelaskan,

َ ‫ َوِه‬، ‫جَها‬
‫ي‬ َ ‫ن َأَباَها َزّو‬
ّ ‫ت َأ‬
ْ ‫سّلَم َفَذَكَر‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬ُّ ‫صّلى ا‬
َ ‫ي‬ّ ‫ت الّنِب‬
ْ ‫جاِرَيًة ِبْكًرا َأَت‬َ ‫ن‬ّ ‫َأ‬
‫سّلَم‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬
ُّ ‫صّلى ا‬َ ‫ل‬
ِّ ‫ل ا‬ ُ ‫سو‬ُ ‫خّيَرَها َر‬ َ ‫َكاِرَهٌة َف‬
Bahwa ada seorang perawan datang pada Nabi SAW. melaporkan bahwa ia
dinikahkan oleh bapakknya dengan lelaki yang tidak disukainya. Lalu, Nabi SAW.
memberinya alternative yang baik. (Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I: 638)

Wahbah Az-Zuhaili mengemukakan, bahwa jumhur ulama, kecuali ulama


Hanafiyah memandang bahwa pernikahan yang dilakukan dengan cara paksaan atau
tidak mendapat persetujuan dari salah satu atau bahkan keduabelah pihak, adalah
tidak sah; dan yang ternyata dilakukan dengan cara paksaan adalah batal, sesuai
dengan hadits Rasulullah SAW. :

َ ‫سَيا‬
‫ن‬ ْ ‫طَأ َوالّن‬
َ‫خ‬َ ‫ن ُأّمِتى اْل‬
ْ‫ع‬َ ‫جاَوَز‬
َ ‫ل َت‬
َّ ‫ن ا‬
ّ ‫ » ِإ‬-‫صلى ال عليه وسلم‬- ‫ل‬ ِّ ‫ل ا‬
ُ ‫سو‬ُ ‫ل َر‬
َ ‫َقا‬
‫عَلْيِه‬
َ ‫سُتْكِرُهوا‬
ْ ‫َوَما ا‬
Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya Allah memaafkan perbuatan umatku
karena kesalahan, karena lupa dan karena dipaksa” (HR. Ibnu Majah, Al-
Baihaqiy, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim. (Lihat juga: Maktabah Syamilah edisi -2)

c. Tidak terdapat halangan Pernikahan


Suatu pernikahan dapat dilangsungkan manakala antara calon suami dan istri tidak ada
penghalang. Sedangkan halangan pernikahan adalah karena: (1). Pertalian darah
(nasab), (2). Semenda, (3). Persusuan, (4). dalam masa iddah, (5). talak tiga, (6). waktu
ihram. Larangan perkawinan yang terdapat dalam Nash Al-Qur’an ada 14 kategori:
1) 7 (tujuh) larangan dari segi nasab:
a) Ibu kandung, nenek dan seterusnya ke atas
b) Anak perempuan, cucu perempuan seterusnya ke bawah
c) Saudara perempuan kandung
d) Saudara bapakk yang perempuan
e) Saudara ibu yang perempuan
f) Anak perempuan saudara laki-laki kandung
g) Anak perempuan saudara perempuan kandung.

2) 2 (dua) larangan dari segi susuan:


a) Ibu susuan
b) Saudara perempuan sepesusuan.
3) 4 (empat) larangan dari segi perkawinan:
a) Ibu dari istri (mertua)
b) Anak perempuan dari istri (anak tiri)
c) Istri dari bapakk (ibu tiri).
d) Istri dari anak (menantu).
4) 1 (satu) larangan dari segi poligami, yaitu saudara perempuan dari istri. Tidak
diperkenankan istri bersama bibiknya atau uncunya.

Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (Ensiklopedi Fikih Kuwait)


disebutkan secara terperinci wanita yang haram untuk dinikah. Ini dikelompokkan menjadi 2
(dua) macam:
A. Haram secara permanen/ abadi.
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 8

B. Haram secara kondisional /tidak permanen.

A. 1. Wanita yang diharamkan untuk dinikah secara abadi, ada 3 (tiga) kelompok:
a. Karena kekerabatan,
b. Karena perkawinan,
c. Karena Persusuan.

A.1.a. Haram karena kekerabatan ada 4 (empat):


1) Orangtua, yaitu: Ibu, nenek (dari pihak ibu atau bapakk) ke atas.
2) Anak perempuan, cucu perempuan sampai ke bawah. Dan anak perempuan
secara biologis, yakni hasil perzinaan. Demikian menurut mazhab Hanafi,
Maliki, dan Hambali. Tapi, menurut mazhab Syafi’I dan Ibnu Majisyun salah
seorang ulama Malikiyah tidak menjadikannya haram. Karena status anak
adalah sesuai prosedur legalitas syari’at.
3) Anak perempuan dari saudara (laki-laki atau perempuan)
4) Anak perempuan dari saudara kandung, seayah atau seibu sampai ke bawah.
Yakni cucu keponakan.
5) Bibi atau saudara perempuan ayah atau ibu, baik sekandung, seayah atau seibu.
Sedangkan anak-anak perempuan (bibi)-nya itu tidak diharamkan.

A.1.b. Haram karena Perkawinan ada 4 (empat):


1) Istri ayah ke atas, seperti istri kakek, baik dari jalur ayah atau ibu.
2) Ibu dari istri, atau nenek istri baik dari jalur bapakk atau ibu, selama si
istri telah berhubungan sebagai layaknya suami- istri.
3) Anak perempuan dari istri, yaitu anak tiri; dan cucu perempuan dari
anak tiri sampai ke bawah, dengan syarat khusus seperti tersebut di atas.
4) Istri dari anak laki-laki (menantu perempuan), atau istri dari cucu, baik
dari jalur anak laki-laki atau perempuan.
A.1.c. Haram karena Persusuan
1) Ibu persusuan, ibu dari ibu persusuan, seperti nenek dari jalur ayah atau
ibu sampai ke atas.
2) Anak perempuan dari ibu persusuan ( saudara perempuan sepersusuan)
ke bawah, atau anak perempuannya suami yang menjadi penyebab adanya
persusuan, sampai ke bawah.
3) Saudara perempuan dari orangtua (ayah/ ibu) persusuan, anak-anak
wanitanya sampai ke bawah,
4) Bibi (dari pihak ayah atau ibu) sepersusuan
B. Wanita yang haram dinikah karena kondisi tertentu, seperti di bawah ini:
1. Wanita yang masih dalam status istri orang, atau wanita yang masih dalam
masa iddah.
2. Wanita yang melakukan tindakan perzinaan, kecuali oleh lelaki yang
menzinahinya.
3. Wanita yang ditalak tiga bagi lelaki yang mentalaknya.
4. Wanita yang tidak seagama Islam
5. Wanita yang murtad
6. Menghimpun / memadu wanita bersaudara, atau bibinya menjadi istri, atau
wanita dan keponakannya menjadi istri.
7. Menghimpun istri melebihi empat orang wanita
8. Istri yang mendapat sumpah li’an bagi lelaki (suami) yang meli’annya.
C. Pernikahan terlarang:
Ada beberapa pernikahan yang dilarang dalam Islam, seperti berikut:
1. Nikah Mut’ah
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 9

Nikah Mut’ah adalah pernikahan dengan menyebutkan batas waktu tertentu dalam
akadnya dengan tujuan pemuasan nafsu atau pelampiasan syahwat..
2. Nikah Syighar
Pernikahan dua pasang (empat orang) dengan menjadikan dua wanita sebagai
maharnya untuk masing-masing suami. Dengan kata lain, nikah syighar adalah dua
orang laki-laki tukar menukar perempuan (anaknya sendiri atau adiknya) untuk
dijadikan istri dengan tanpa mahar.
3. Nikah Muhallil
Nikah dalam rangka menghalalkan pihak lain (mantan suami) dapat menikahi lagi
mantan istrinya. Istilah lain disebut nikah cina buta
4. Nikah Silang
Maksud pernikahan silang di sini adalah pernikahan oleh seorang muslim dengan
orang yang non-muslim. Lelaki muslim dilarang menikahi wanita non-muslim.
Sedangkan menikahi wanita Ahli Kitab, menurut Asy-Syafi’i, Malik, dan Ahmad
melarangnya; dan Abu Hanifah membolehkannya. Dan wanita muslim dilarang
menikah dengan lelaki non-muslim.

5. Nikah Akhdan
Pernikahan ini dimaksudkan untuk menjadikan wanita sebagai gundik atau piaraan,
atau selir. Atau sebaliknya, justru laki-laki itulah yang menjadi gundik bagi
perempuan.

6. Nikah Badal
Nikah Badal adalah bentuk pertukaran istri seperti layaknya barang dagangan, bahkan
biasanya dengan tukar-tambah, atau hanya pertukaran ‘tikar’ untuk dapat mencicipi
enaknya milik orang lain.

7. Nikah Istibdha’
Yaitu suami-istri yang dalam perkawinannya menginginkan anak dari orang lain,
karena alasan tertentu yang mungkin si suami tidak mampu membuahi istrinya.
Kemudian suami memerintahkan istrinya untuk disetubuhi lelaki lain, sampai hamil.

8. Nikah Rahth
Bila ada sekelompok orang menyetubuhi seorang wanita, lalu wanita itu hamil dan
melahirkan, maka wanita tersebut memanggil para laki-laki yang menyetubuhinya
untuk dipilih sebagai bapakk si anak. Sedangkan orang yang ditunjuk itu tidak boleh
menolaknya.

9. Nikah Baghaya
Yaitu pernikahan seorang pelacur yang tidak menolak lelaki yang menggaulinya. Bila
ia telah melahirkan anak, ia memanggil semua lelaki yang menyetubuhinya untuk
mengakui sebagai anaknya dengan cara memanggil seorang ahli genetic dengan cara
mempersamakan anak dengan bapakknya. Lelaki yang terpilih tidak boleh
menolaknya.

10. Nikah Sirri


Pernikahan ini dipandang bertentangan dengan aturan UU Perkawinan No.1 Tahun
1974, sehingga dihukum haram, di samping tidak sesuai dengan kaidah Maslahah
Mursalah.
D. Khidbah
Kata khitbah dalam terminology arab memiliki 2 akar kata. Yang pertama al-khithab
(‫)الخطاب‬ yang berarti pembicaraan dan yang kedua al-khathb (‫ )الخطب‬yang artinya
persoalan, kepentingan dan keadaan. Jadi, jika dilihat dari segi bahasa khitbah adalah
pinangan atau permintaan seseorang (laki-laki) kepada perempuan tertentu untuk
menikahinya. Makna khitbah menurut istilah syariat tidak keluar dari makna bahasa tadi.
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 10

Sesungguhnya Allah menjadikan khitbah sebagai salah satu syariat agama Islam. Seorang
muslim yang akan menikahi seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu,
karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Islam melarang seorang muslim
meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq 'alaihi). Dalam khitbah
disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu
Dawud, Tirmidzi dan Darimi).
Dalam islam, seorang laki-laki berhak meminang perempuan yang diinginkan menjadi
istrinya, demikian pula seorang perempuan boleh meminang laki-laki yang diinginkan
menjadi suaminya.
Khitbah dalam pandangan syariat bukanlah suatu akad atau transaksi antara laki-laki yang
meminang dengan perempuan yang dipinang atau pihak walinya. Khitbah bukanlah suatu
ikatan perjanjian antara kedua belah pihak untuk melaksanakan pernikahan. Khitbah tidak
lebih dari sekedar permintaan atau permohonan untuk menikah. Khitbah sudah sah dan
sempurna hanya dengan ungkapan permintaan itu saja, tanpa memerlukan syarat berupa
jawaban pihak yang dipinang. Sedangkan akad baru dianggap sah apabila ada ijab dan
qabul (ungkapan serah terima) kedua belah pihak.
Syarat yang dipinang
Perempuan boleh dipinang oleh laki-laki (begitu juga sebaliknya) apabila memenuhi 2
syarat berikut ini :
1. Pada waktu dipinang perempuan itu tidak memiliki halangan syar’i, yang
melarang dilangsungkannya pernikahan contoh, wanita yang sedang dalam masa
iddah.
2. Belum dipinang laki-laki lain secara sah.
Tata cara meminang
1. Laki-laki meminang melalui wali perempuan
2. Laki-laki meminang langsung kepada perempuan janda
3. Perempuan meminang laki-laki saleh Perempuan boleh meminang laki-laki
secara langsung oleh dirinya sendiri atau melalui perantara pihak lain agar
menyampaikan pinangan kepada seorang laki-laki untuk menjadi suaminya.
4. Khitbah dengan sindiran dimasa iddah (karena suaminya meninggal) Sindiran
itu misalnya seorang laki-laki mengatakan kepada seorang janda: “Saya ingin
menikah dengan perempuan shalehah”, atau “mudah-mudahan Allah memudahkan
saya untuk mendapat istri shalehahah”.

Hikmah Khitbah
Karena khitbah memberi peluang untuk saling ta'arruf / berkenalan dari segi lahir
maupun batin sebelum dilangsungkan pernikahan.
Hukum khitbah adalah "harus" tetapi Imam As-Syafie(dalam buku Mughni Almuhtaj)
mengatakan hukumnya adalah "al-istihbab / sunat". Dan Dr. Abd. Karim Zaidan(dalam
buku Almufassal fi Ahkam Al Mar'ah mengatakan bahawa hukum "al-istihbab / sunat"
ini lebih aula (utama / baik) dari hukum "harus" tadi.
Waktu untuk mengkhitbah (dari mulai masa ta'aruf maupun sampai masa walimah) tidak
ditentukan, satu catatannya adalah lebih cepat lebih baik.
Dengan demikian perlu adanya khitbah sebagai langkah awal menuju perkawinan,
namun harus memperhatikan hal-hal yang perlu dipertimbangkan, diantaranya sebagai
berikut :
1. Punya rencana kapan penikahan akan diadakan, jangan sampai jarak antara
khitbah dan perkawinan terlalu lama.
2. Sudah yakin siap mengikatkan diri pada satu orang.
3. Menikah dengan motivasi yang positif.
4. Kesiapan kedua belah pihak menhadapi limpahan tanggung jawab.
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 11

5. Status pendidikan dan penghasilan pasangan.

E. Wali Nikah
Kedudukan wali dalam pernikahan adalah sebagai rukun, menurut mazhab Malik dan
Asy-Syafi’i, sehingga pernikahan tidak sah tanpa wali. Nabi SAW. bersabda:
‫صّلى‬
َ ‫ل‬
ِّ ‫ل ا‬
ُ ‫ل رسو‬ َ ‫ قا‬: ‫ل‬
َ ‫عْنُهَما قا‬
َ ‫ل َتَعاَلى‬
ُّ ‫ي ا‬
َ ‫ن َأبيِه رض‬ْ‫ع‬ َ ‫ن أبي موسى‬ ِ ‫ن َأبي ُبْردَة ب‬ ْ‫ع‬
َ ‫َو‬
ّ ‫ن المدين‬
‫ي‬ ُ ‫ححُه اب‬ّ َ‫حَمُد والْرَبَعة َوص‬ ْ ‫ي " رواه َأ‬َ ‫ " ل نكاح إل بَول‬: ‫سّلم‬ َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ال‬
ِ ‫سا‬
‫ل‬ َ ‫عّله بالْر‬
َ ‫حّبان وَأ‬
ِ ‫ن‬ُ ‫ي واب‬ ّ ‫والّترمذ‬
Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
SAW. bersabda: "Tidak sah nikah kecuali dengan wali." Riwayat Ahmad dan Imam
Empat. Hadits shahih menurut Ibnu al-Madiny, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban. Sebagian
menilainya hadits mursal.
Syarat sebagai wali:
1. Balig dan berakal
2. Merdeka
3. Islam
4. Adil
5. Laki-laki
6. Pintar
7. Tidak sedang ihram
8. tidak terpaksa.
F. Saksi
Saksi dalam pernikahan terdiri dari dua orang laki-laki yang adil dari kaum muslim. Ini
diterangkan oleh Al-Qur’an sbb.:
‫ظ ِبِه‬
ُ‫ع‬َ ‫ل َذلُِكْم ُيو‬
ِّ ‫شَهاَدَة‬
ّ ‫ل ِمْنُكْم َوَأِقيُموا ال‬
ٍ ‫عْد‬
َ ‫ي‬
ْ ‫شِهُدوا َذَو‬
ْ ‫َوَأ‬
“... dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”. (Ath-Thalaq, 65: 2)
Adil, yaitu orang yang tidak pernah melakukan dosa besar, jujur pada diri sendiri dan
orang lain, serta bertakwa kepada Allah SWT.

G. Kewajiban Suami-Istri:
1. Hak dan kewajiban bersama antara Suami- Istri
a. Suami- istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah.
(Ar-Rum: 21)
b. Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing
pasangannya. (An-Nisa’: 19 - Al-Hujuraat: 10)
c. Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
d. Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih).
2. Kewajiban Suami Kepada Istri .
Diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah:
a. Membayar mahar, Memberi nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal),
Menggaulinya dengan baik, Berlaku adil jika beristri lebih dari satu.
b. Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik
akhlaknya dan paling ramah terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)
c. Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan anaknya.
(Ath-Thalaq: 7)
d. Suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi)
e. Suami hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya. (Abu
Ya’la)
f. Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih
sayang, tanpa kasar dan zhalim. (An-Nisa’: 19)
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 12

g. Suami wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan, memberinya pakaian,
tidak memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah ranjang kecuali
dalam rumah sendiri. (Abu Dawud).
h. Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya,
dan menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (AI-Ahzab: 34,
At-Tahrim : 6, Muttafaqun Alaih)
i. Suami wajib mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita
(hukum-hukum haidh, istihadhah, dll.). (AI-Ghazali)
j. Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (An-Nisa’: 3)
k. Suami tidak boleh membuka aib istri kepada siapapun. (Nasa’i)
l. Jika suami hendak meninggal dunia, maka dianjurkan berwasiat terlebih dahulu
kepada istrinya. (AI-Baqarah: ?40)

3. Kewajiban Isteri Kepada Suami


Diantara kewajiban istri terhadap suaminya, ialah:
a. Menyerahkan dirinya,
b. Mentaati suami,
c. Tidak keluar rumah, kecuali dengan ijinnya,
d. Tinggal di tempat kediaman yang disediakan suami
e. Menggauli suami dengan baik. (Al-Ghazali)
f. Istri hendaknya selalu memenuhi hajat biologis suaminya, walaupun sedang
dalam kesibukan. (Nasa’ i, Muttafaqun Alaih)
g. Istri hendaknya mendahulukan hak suami atas orang tuanya. Allah swt.
mengampuni dosa-dosa seorang Istri yang mendahulukan hak suaminya daripada
hak orang tuanya. (Tirmidzi)
h. Yang sangat penting bagi istri adalah ridha suami. Istri yang meninggal dunia
dalam keridhaan suaminya akan masuk surga. (Ibnu Majah, TIrmidzi)
i. Kepentingan istri mentaati suaminya, telah disabdakan oleh Nabi saw.:
“Seandainya dibolehkan sujud sesama manusia, maka aku akan perintahkan istri
bersujud kepada suaminya. .. (Timidzi)
j. Istri wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya. (Thabrani)
k. Istri hendaknya senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan
suami(Thabrani)
l. Istri wajib menjaga kehormatan suaminya baik di hadapannya atau di
belakangnya (saat suami tidak di rumah). (An-Nisa’: 34)
m. Ada empat cobaan berat dalam pernikahan, yaitu: (1) Banyak anak (2) Sedikit
harta (3) Tetangga yang buruk (4) lstri yang berkhianat. (Hasan Al-Bashri)
n. Wanita Mukmin hanya dibolehkan berkabung atas kematian suaminya selama
empat bulan sepuluh hari. (Muttafaqun Alaih)

4.2. Ketentuan Perkawinan Menurut Perundang –Undangan Di Indonesia

Dalam hal perkawinan yang berlangsung dikalangan umat Islam di Indonesia telah
diatur oleh UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (14 bab 67 pasal). UU ini
disempurnakan dengan keputusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 tentang
pelaksanaan Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991 mengenai
Kompilasi Hukum Islam di bidang hukum Perkawinan.
Yang perlu diketahui dalam Kompilasi Hukum Islam di Bidang hukum Perkawinan,
antara lain sbb.:
1. Pengertian dan tujuan perkawinan:
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. (ps.2)
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 13

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,


mawaddah, dan rahmah. (ps.3)

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2
ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. (ps.4).

2. Sahnya Perkawinan

Di Indonesia, sahnya suatu perkawinan:


a. Apabila dilakukan menurut Hukum masing-masing Agamanya dan Kepercayaan
( pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 )
b. Tiap - tiap Perkawinan dicatat menurut Peraturan Per-Undang-Undangan yang
berlaku ( pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 )
Syarat Pencatatan perkawinan:
1. Warga Negara Indonesia (WNI)
 Mengisi formulir pendaftaran dari Dinas.
 FC. KTP & KK Mempelai
 Surat Pengantar dari Lurah diketahui Camat
 Surat pernyataan belum pernah menikah bermaterai cukup diketahui oleh Lurah
dan Camat.
 Surat Persetujuan orang tua bermaterai cukup diketahui Lurah dan Camat.
 FC. Akta Kelahiran WNI masing-masing mempelai yang dilegalisir oleh
instansi yang berwenang.
 FC. KTP 2 orang saksi.
 Akta Perceraian / Akta Kematian mantan suami / istri bagi yang pernah
menikah.
 FC. Akta kematian atau surat keterangan kematian orang tua apabila sudah
meninggal.
 Pas Foto ukuran 4 x 6 cm hitam putih berdampingan sebanyak 5 lembar.
 Surat keterangan pemberkatan nikah dari Pemuka Agama / kepercayaan.
 Surat Keterangan Imunisasi dari Puskesmas atau Rumah Sakit Pemerintah.
 FC. Surat Baptis.
 Surat Keterangan tentang hasil pengumuman perkawinan.
 Surat Ijin dari komandan bagi anggota TNI / Polri
 Bagi WNA melampirkan surat ijin dari kedutaan yang bersangkutan dan
dokumen imigrasi yang dilegalisir.
2. Bagi Warga Negara Asing (WNA) :
 Melampirkan surat ijin dari kedutaan yang bersangkutan dan dokumen imigrasi
yang dilegalisir.
 Penetapan Pengadilan bagi pencatatan beda agama.
Ketentuan Pencatatan perkawinan:
 Perkawinan dicatat oleh Instansi Pelaksana dimana peristiwa perkawinan
menurut tatacara agama dan kepercayaan itu terjadi
 Jangka waktu pelaporan paling lambat 60 (enampuluh) hari.
 Perkawinan di Luar Negeri wajib dicatatkan di KBRI setempat domisili,
dilaporkan kepada Instansi pelaksana paling lambat 30 (tigapuluh) hari sejak
yang bersangkutan kembali ke Indonesia.
.
PENCATATAN PERKAWINAN
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 14

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 Undang-
Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut
agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). (Lihat: Kompilasi
Hukum Islam di bidang Perkawinan, pasal 5 dan 6). Sedang bagi yang beragama Katholik,
Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
Sedangkan bagi Penganut Kepercayaan Sampai saat ini belum ada kebijakan yang jelas
tentang pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Namun Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN) dalam putusannya nomor
024/G.TUN/1997. PTUN Jkt, menyatakan bahwa KCS tidak berwenang menolak pencatatan
penganut kepercayaan. Sampai saat ini ternyata KCS tidak mau melaksanakan putusan-
putusan tersebut dan KCS menyatakan tunduk pada keputusan Menteri Dalam Negeri yang
pada pokoknya melarang KCS mencatat perkawinan penganut kepercayaan.
Akibat Hukum Tidak Dicatatnya Perkawinan
a. Perkawinan Dianggap tidak Sah
Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata
negara perkawinan Anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan
Agama atau Kantor Catatan Sipil.
b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu
Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat,
selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang
hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.
c. Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun
anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah
ataupun warisan dari ayahnya. Namun demikian, Mahkamah Agung RI dalam
perkara Nugraha Besoes melawan Desrina dan putusan Pengadilan Negeri
Yogyakarta dalam perkara Heria Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu
mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil hubungan kedua pasangan tersebut.

PENGESAHAN PERKAWINAN
Bagi ummat Islam, tersedia prosedur hukum untuk mengesahkan perkawinan yang
belum tercatat tersebut, yaitu dengan pengajuan Itsbat Nikah. Dalam Kompilasi Hukum
Islam di bidang Perkawinan pada pasal 7 ayat 2 dan 3 dinyatakan, bahwa dalam hal
perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya
ke Pengadilan Agama.

CATATKAN PERKAWINAN ANDA


Pencatatan perkawinan amatlah penting, terutama untuk mendapatkan hak-hak Anda,
seperti warisan dan nafkah bagi anak-anak Anda. Jadi sebaiknya, sebelum Anda
memutuskan menjalani sebuah perkawinan di bawah tangan (nikah syiri’), pikirkanlah
terlebih dahulu. Jika masih ada kesempatan untuk menjalani perkawinan secara resmi,
artinya perkawinan menurut negara yang dicatatkan di KUA atau KCS, pilihan ini jauh
lebih baik. Karena jika tidak, ini akan membuat Anda kesulitan ketika menuntut hak-hak
Anda.

AKTA NIKAH

Tentang Akta Nikah disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam di bidang Perkawinan,
pada Pasal 7 ayat :
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 15

(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah.

(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan
itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama

(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal
yang berkenaan dengan :

(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;

(b) Hilangnya Akta Nikah;

(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;

(d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun
1974 dan;

(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974;

KAWIN HAMIL
Disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam di bidang Perkawinan pada pasal 53 ayat 1,
2. dan 3 sbb.:
1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dialangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Tapi, bila wanita hamil diluar nikah tersebut dikawinkan dengan laki-laki yang tidak
menghamilinya, sahkah perkawinannya itu ?
Para ulama berbeda pendapat
1. Pendapat Jumhur (mayoritas) ulama
Jumhurul fuqaha' (mayoritas ahli fiqih) mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat
(QS. An-Nur: 3) tersebut bukanlah haram mutlak untuk menikahi wanita yang pernah
berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina sekalipun. Para
fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini:
• Kata/ lafaz 'hurrima' ( ‫رم‬
ّ ‫حح‬
ُ , diharamkan) dalam ayat tersebut bukanlah
pengharaman secara mutlak, tapi untuk tanzih (sebagai pembersihan, harga diri).
• Kalau memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu
diturunkan.
• Ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya
yaitu QS. An-Nur: 32
Pendapat ini merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Al-Khattab
radhiyallahu 'anhuma. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita
pezina. Seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah
secara sah.
2. Pendapat Yang Mengharamkan
Sebagian kecil ulama ada yang berpendapat mengharamkan tindakan menikahi wanita
yang pernah dizinainya sendiri. Di antaranya adalah Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-
Barra' dan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhum ajmain. Di antara tokoh di zaman sekarang
yang ikut mengharamkan adalah Syeikh Al-Utsaimin rahmahullah.
3. Pendapat Pertengahan
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 16

Sedangkan pendapat yang pertengahan adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.
Beliau mengharamkan seseorang menikah dengan wanita yang masih suka berzina dan
belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah, maka nikahnya tidak syah. Namun bila
wanita itu sudah berhenti dari dosanya dan bertaubat, maka tidak ada larangan untuk
menikahinya. Dan bila mereka menikah, maka nikahnya syah secara syar'i.
Nampaknya pendapat ini agak menengah dan sesuai dengan asas prikemanusiaan.
Karena seseorang yang sudah bertaubat berhak untuk bisa hidup normal dan
mendapatkan pasangan yang baik.
Sedangkan dalam penegakan syariah dan hukum hudud hanya bisa dilakukan oleh ulil
amri (pemerintah) maka hukum rajam, cambuk, dan yang lain belum bisa dilakukan.
Sebagai gantinya, tobat dari zina bisa dengan penyesalan, meninggalkan perbuatan
tersebut, dan bertekad untuk tidak mengulangi.
Dan hukum pernikahan di antara mereka sudah sah, asalkan telah terpenuhi syarat dan
rukunnya. Tidak Perlu Diulang.
Kalau kita mengunakan pendapat mayoritas ulama yang mengatakan pernikahan mereka
sah, maka karena akad nikah mereka sudah sah, sebenarnya tidak ada lagi keharusan
untuk mengulangi akad nikah setelah bayinya lahir. Karena pada hakikatnya pernikahan
mereka sudah sah. Tidak perlu lagi ada pernikahan ulang.

Buat apa diulang kalau pernikahan mereka sudah sah. Dan sejak mereka menikah,
tentunya mereka telah melakukan hubungan suami isteri secara sah. Hukumnya bukan
zina.

Status Anak:

Adapun masalah status anak, menurut sebagian ulama, jika anak ini lahir 6 bulan setelah
akad nikah, maka si anak secara otomatis sah dinasabkan pada ayahnya tanpa harus ada
ikrar tersendiri.
Namun jika si jabang bayi lahir sebelum bulan keenam setelah pernikahan, maka
ayahnya dipandang perlu untuk melakukan ikrar, yaitu menyatakan secara tegas bahwa
si anak memang benar-benar dari darah dagingnya. Itu saja bedanya.
Sedangkan bila menikah dengan laki-laki yang menzinahinya, tidak perlu
dilakukanistibra' karena kalaupun ada janin dalam perutnya, sudah bisa dipastikan
bahwa janin itu anak dari orang yang menzinahinya yang kini sudah resmi menjadi
suami ibunya.

KONSEP TENTANG TALAK/ CERAI, IDDAH, RUJUK DAN HIKMAHNYA

A. TALAK
1. Talak
Pengertian Perceraian
Talak atau perceraian adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang
menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Sedangkan menurut islam sendiri, talak
atau perceraian terambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “melepaskan
atau meninggalkan”.menurut istilah syara’, talak yaitu “melepas tali perkawinan dan
mengakhiri hubungan suami isteri”
Al-Jaziry mendefinisikan talak atau perceraian yaitu menghilangkan ikatan perkawinan
atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu.
Sedangkan menurut Abu Zakaria Al Anshari, talak yaitu melepas tali akad nikah dengan
kata talak dan yang semacamnya.
2. Macam-macam Talak
a. Talak Sunni
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 17

Talak sunni adalah talak yang legal, sesuai dengan syariat.Yaitu apabila seorang suami
mentalak isterinya yang telah disetubuhi dengan talak satu pada saat suci, yang belum
disetubuhinya.
b. Talak Bid’ah
Yaitu talak yang tidak sesuai dengan syariat. Seperti seorang suami mentalak tiga pada
istrinya dengan satu kata. Atau mentalak tiga secara terulang-ulang dalam satu majlis.
Seperti kalimat: Aku talak kamu. Aku talak kamu. Aku talak kamu. Jumhur
Ulama’ berpendapat, bahwa talak bid’ah ini jelas bertentangan dengan syariat islam,
dan hukumnya haram. Pelakunya berdosa, walau talaknya terjadi. (Lihat: Fiqhus
Sunnah, Sayid sabiq). Yang bentuknya ada beberapa macam, yaitu:
• Apabila seorang suami menceraikan isterinya ketika sedang dalam keadaan
haid atau nifas.
• Ketika dalam keadaan suci, sedang ia telah menyetubuhinya pada masa suci
tersebut.
• Seorang suami mentalak tiga isterinya dengan tiga kalimat dalam satu waktu.

c. Talak Ba’in
Talak ba’in yaitu talak yang putus penuh dalam arti tidak memungkinkan suami
kembali lagi kepada isterinya kecuali dengan nikah baru.
d. Talak Raj’i
Talak raj’i yaitu talak yang mana si suami diberi hak untuk kembali kepada isterinya
tanpa melalui nikah baru.selama isterinya dalam masa iddah.dan merupakan talak satu
atau dua tanpa didahului tebusan dari pihak isteri.
e. Talak sharih
Yaitu talak dimana suami tidak lagi membutuhkan adanya niat, akan tetapi cukup
dengan mengucapkan kata talak secara sharih (tegas).
f. Talak Sindiran
Yaitu talak yang memerlukan adanya niat pada diri suami. Karena, kata-kata yang
diucapkan tidak menunjukkan pengertian talak.
g. Talak Munjaz dan Mu’allaq
Talak munjaz adalah talak yang diberlakukan terhadap isteri tanpa adanya
penangguhan. Sedangkan talak mu’allaq adalah talak yang digantungkan oleh suami
dengan suatu perbuatan yang akan dilakukan oleh isterinya pada masa mendatang.
h. Talak Takhyir dan Tamlik
Talak takhyir adalah dua pilhan yang diajukan oleh suami kepada isterinya, yaitu
melanjutkan rumah tangga atau cerai. Sedangkan talak tamlik adalah talak dimana
seorang suami mengatakan kepada isterinya:”aku serahkan urusanmu kepadamu”.
i. Talak dengan Pengharaman
Yaitu talak yang mana jika seorang suami mengatakan kepada isterinya:”kamu haram
bagiku”. Jika dengan ucapan tersebut ia berniat sebagai talak, maka berlakulah talak
baginya.
j. Talak Wakalah dan Kitabah
Talak wakalah yaitu jika seorang suami mewakilkan kepada seseorang untuk mentalak
isterinya atau menuliskan surat kepada isterinya yang memberitahukan perihal
perceraiannya. Sedangkan talak kitabah ialah talak yang terdapat pada tulisan yang
menduduki posisi ucapan, ketika suami tidak bisa hadir atau menghadap istrinya secara
langsung.
k. Taklik-Talak
Setelah akad nikah, biasanya si suami disuruh mengucapkan sighat taklik-talak, yaitu
talak yang digantungkan dengan syarat atau perjanjian. Ini diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam bidang Perkawinan pada pasal 45, 46. asal tidak bertentangan dengan
hukum Islam. Dan taklik talak bukan suatu keharusan. Misalnya suami mengucapkan
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 18

untuk istrinya: “Bila selama tiga bulan berturut-turut saya tidak memberi nafkah
kepadamu, berarti saya telah mentalak engkau”. Taklik-talak dipandang sah.
l. Talak Haram
Yaitu apabila suami mentalak tiga isterinya dalam satu kalimat. atau mentalak dalam
tiga kalimat, akan tetapi dalam satu majlis.
3. Rukun Talak
Rukun talak ada 3: (1). Suami, (2). Istri. (3). Shighat/ ucapan talak. Masing-masing
rukun tersebut dipersyaratkan bagi:
a. Suami:
• Ada ikatan perkawinan yang sah dengan istri
• Balig
• Berakal/ tidak gila
• Kehendak sendiri/ Tidak terpaksa.
b. Istri:
• Masih terikat perkawinan yang sah dengan suami yang mentalaknya
• Masih dalam iddah talak raj’i yang dijatuhkan sebelumnya.
c. Shighat talak
Shighat/ lafal talak ada dua:
• Sharih/ jelas
Kata talak yang jelas adalah lafal yang digunakan mentalak istri dapat dipahami
maksudnya dengan jelas, seperti: “Aku ceraikan kamu”, atau “Aku talak
kamu”, dll.
• Kinayah/ sindiran
Kata sindiran talak, yaitu kata-kata yang diucapkan suami pada istrinya yang
mempunyai makna ganda (ambiguitas). Seperti kata: “Sudah, kamu pergi saja
dari rumah”. Kalimat ini dapat dimaknai: 1. Pergi tanpa kembali; 2. Pergi untuk
mencari makanan.
Dan talak bentuk ini harus ada niat talak.

4. Hikmah Talak
Ada beberapa hikmah tentang talak:
• Manakala pihak suami (baca: mantan) merasa menyesal atas keputusannya,
lantaran masih senang dengan istrinya. Ia dapat kembali memperbaiki bahtera
perkawinannya.
• Talak adalah satu rahmat dari Allah kepada hamba-Nya yang membuka pintu
penyelesaian terakhir kepada perselisihan dan pertengkaran antara suami- isteri
apabila tiada jalan yang lain lagi yang boleh menyelamatkan mereka.
• Dengan sebab salah seorang suami/ isteri mengidap penyakit yang berat yang
tidak tertanggung serta tidak mungkin akan sembuh.
• Dengan sebab kemandulan oleh salah seorang suami/ isteri yang tidak mungkin
sembuh yang membawa kepada hilang kasih sayang, menimbulkan kemarahan
dan kebencian.
• Apabila ikatan dan hubungan kemesraan dan kasih sayang antara suami- isteri
semakin meruncing, tidak lagi sehaluan dan tiada lagi kesefahaman, malah
sering berlaku pertengkaran dan pergaduhan sehingga tiada lagi jalan
penyelesaian.

B. FASAKH
1. Pengertian Fasakh
Fasakh ialah pembatalan ikatan perkawinan oleh pengadilan agama berdasarkan
dakwaan (tuntutan) istri atau suami yang dapat dibenarkan oleh pengadilan agama atau
karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum perkawinan, seperti
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 19

pengadilan agama telah memutuskan fasakh karena suami istri itu masih bersaudara
dekat.

Dalam BAB VI Pasal 37 Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan


UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa, “Batalnya suatu perkawinan hanya dapat
diputuskan oleh Pengadilan”. Dalam UU Perkawinan, tidak disebutkan pula tentang
istilah fasakh, melainkan pembatalan perkawinan. Pada BAB IV Pasal 22 UU
Perkawinan No 1 Tahun 1974, disebutkan, “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para
pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Sebagaimana
dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 dan UU Perkawinan, di dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) juga tidak disebutkan sama sekali tentang istilah fasakh, melainkan
pembatalan perkawinan. Dalam KHI ini juga tidak diberikan pengertian secara rinci
mengenai definisi pembatalan perkawinan, akan tetapi, dari penjelasan-penjelasan pada
BAB XI pasal 70 KHI, dapat diambil kesimpulan bahwa pembatalan perkawinan adalah
batalnya suatu perkawinan yang penyebab batalnya baru diketahui atau baru terjadi
setelah perkawinan tersebut sah diakui menurut hukum agama Islam maupun oleh
hukum Negara Indonesia.

2. Sebab-sebab Fasakh:
Sebab-sebab disebabkan oleh suami/ isteri:
a. Suami tidak memberi nafkah, menyediakan tempat tinggal, atau tidak membayar
mas kahwin isterinya.
b. Tidak diketahui kedudukan suami, sama ada masih hidup atau mati selama
bertahun-tahun lamanya.
c. Salah seorang daripada suami atau isteri menjadi cacat sebagaimana yang
dibenarkan oleh hukum syarak.
d. Murtad salah seorang daripada suami atau isteri atau kedua-duanya.
e. Masuk Islam salah seorang daripada suami atau isteri dan tidak diikuti oleb
seorang lagi dalam masa idah.
f. Berlakunya persetubuhan syubhat disebabkan salah sangka.
g. Suami zalim, iaitu selalu menganiaya isteri seperti memukul, mengugut, atau
tidak melayan isteri dengan baik dan adil
h. Tidak bernafsu sebagai seorang lelaki
i. Kecacatan syarie pada suami dan isteri
j.Suami mempunyai penyakit yg merbahaya spt AIDS, SARS, JE, Siplis dsb.

2. Hikmah Fasakh
a. Mengelakkan isteri dianiayai dan disiksa oleh suami.
b. Menunjukkan keadilan Allah kepada hambanya. Jika suami diberikan talak, isteri
diberikan fasakh.
c. Memberi peluang isteri berpisah drp suaminya dan memulakan hidup baru

C. KHULU’
1. Pengertian Khulu’
Al-Khulu’ dalam bahasa Indonesia disebut dengan: 1). perceraian atas permintaan pihak
perempuan dengan membayar sejumlah uang atau mengembalikan maskawin yang
diterimanya; 2). tebus talak. Dengan kata lain: Gugatan cerai. Kata Al-Khulu’ berasal
dari kata (‫‘ ) خلع الثوب‬khul’u ats-tsauwbi, dengan arti: Maknanya melepas pakaian.
Kemudian makna ini digunakan istilah bagi wanita yang meminta suaminya untuk
melepas dirinya dari ikatan pernikahan. Adapaun Syaikh Al-Bassam berpendapat, Al-
Khulu ialah perceraian suami-isteri dengan pembayaran yang diambil suami dari
isterinya, atau selainnya dengan lafazh yang khusus”
2. Hukum Al-Khulu’
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 20

Al-Khulu disyariatkan dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah Subhanahu wa


Ta’ala.
‫ت ِبِه‬
ْ ‫عَلْيِهَما ِفيَما اْفَتَد‬
َ ‫ح‬
َ ‫جَنا‬
ُ ‫ل َفل‬
ِّ ‫حُدوَد ا‬
ُ ‫خْفُتْم َأل ُيِقيَما‬
ِ ‫ن‬
ْ ‫َفِإ‬
“...Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
isteri untuk menebus dirinya...” [Al-Baqarah : 229]

3. Ketentuan Hukum Al-Khulu

Ada beberapa ketentuan hukum tentang Khulu’ seperti berikut:

a. Mubah (Diperbolehkan).

Ketentuannya, sang wanita sudah benci tinggal bersama suaminya, karena kebencian
dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat
menegakkan batasan-batasan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam mentaati suaminya.

Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan Al-Khulu (gugat cerai) bagi wanita,


apabila sang isteri membenci akhlak suaminya atau khawatir berbuat dosa karena
tidak dapat menunaikan haknya. Apabila sang suami mencintainya, maka
disunnahkan bagi sang isteri untuk bersabar dan tidak memilih perceraian.

b. Diharamkan Khulu’, Hal Ini Karena Dua Keadaan.

Bila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan komunikasi dengannya, atau
sengaja tidak memberikan hak-hak istri agar mau membayar tebusan kepadanya
dengan jalan gugat cerai. Ini berarti, pihak suami merekayasa agar ia digugat cerai
oleh istrinya. Ini suatu dosa besar.

‫شْيًئا‬
َ ‫خُذوا ِمْنُه‬
ُ ‫طاًرا َفل َتْأ‬
َ ‫ن ِقْن‬
ّ ‫حَداُه‬
ْ ‫ج َوآَتْيُتْم ِإ‬
ٍ ‫ن َزْو‬
َ ‫ج َمَكا‬
ٍ ‫ل َزْو‬
َ ‫سِتْبَدا‬
ْ ‫ن َأَرْدُتُم ا‬
ْ ‫َوِإ‬

‫خُذوَنُه ُبْهَتاًنا َوِإْثًما ُمِبيًنا‬


ُ ‫َأَتْأ‬
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka
janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu
akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata? (QS. An Nisa’ 4: 20)

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah


bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-
istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

Bila istri minta carai kepada suaminya tanpa alasan yang sah dengan cara gugat,
padahal hubungan suami-istri keadaannya baik dan tidak ada perselisihan.

c. Sunnah

Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah, maka sang isteri
disunnahkan Al-Khulu. Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal.

d. Wajib

Terkadang Al-Khulu menjadi wajib pada sebagiaan keadaan. Misalnya terhadap


orang yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah diingatkan. Demikian juga
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 21

seandainya sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat menyebabkan
keyakinan sang isteri keluar dari Islam dan menjadikannya murtad.

e. Hikmah Khulu’

Mengenai hikmah khulu’, Al Jurjawi menuturkan:

Sebenarnya, Khulu’di benci oleh syariat Islam, seperti halnya talak. Semua akal
sehat dan perasaan sehat menolak khulu’. Hanya saja Allah Yang Maha Bijaksana
memperbolehkannya untuk menolak bahaya ketika tidak mampu menegakan
hukum-hukum Allah.

Hikmah yang terkandung di dalamnya adalah manolak bahaya yaitu apabila


perpecahan antara suami istri telah memuncak dan dikhawatirkan keduanya tidak
dapat menjaga syari’at-syariat dalam kehidupan suami istri, maka khulu dengan cara
yang telah di tetapkan oleh Allah merupakan penolakan terjadinya permusuhan dan
untuk menegakan hukum-hukum Allah.

D. LI’AN
a. Arti Li’an:
Kata li’an, dari bahasa Arab yang berarti: saling melaknat yang terjadi di antara dua
orang atau lebih). Sedang, menurut istilah syar’i, li’an ialah sumpah dengan redaksi
tertentu yang diucapkan suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang
lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah
bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dirumuskan, bahwa: Lian adalah sumpah
seorang suami dengan tuduhan bahwa istrinya berzina, sebaliknya istrinya juga
bersumpah dengan tuduhan bahwa suaminya bohong (masing-masing mengucapkannya
empat kali, sedangkan yang kelima mereka berikrar bersedia mendapat laknat Allah
jika berdosta) sehingga suami istri itu bercerai dan haram menikah kembali seumur
hidup.

Tentang Li’an ini diterangkan dalam QS. An-Nur ayat 6-10, sbb.

‫حِدِهْم‬
َ ‫شَهاَدُة َأ‬
َ ‫سُهْم َف‬
ُ ‫شَهَداُء ِإل َأْنُف‬ ُ ‫ن َلُهْم‬ ْ ‫جُهْم َوَلْم َيُك‬ َ ‫ن َأْزَوا‬َ ‫ن َيْرُمو‬ َ ‫َواّلِذي‬
6‫ن‬ َ ‫صاِدِقي‬ّ ‫ن ال‬ َ ‫ل ِإّنُه َلِم‬ِّ ‫ت ِبا‬
ٍ ‫شَهاَدا‬ َ ‫َأْرَبُع‬
7‫ن‬ َ ‫ن اْلَكاِذِبي‬
َ ‫ن ِم‬ َ ‫ن َكا‬ ْ ‫عَلْيِه ِإ‬َ ‫ل‬ ِّ ‫ن َلْعَنَة ا‬
ّ ‫سُة َأ‬ َ ‫خاِم‬
َ ‫َواْل‬
8‫ن‬ َ ‫ن اْلَكاِذِبي‬َ ‫ل ِإّنُه َلِم‬ ِّ ‫ت ِبا‬
ٍ ‫شَهاَدا‬ َ ‫شَهَد َأْرَبَع‬ ْ ‫َت‬
9‫ن‬ َ ‫صاِدِقي‬ ّ ‫ن ال‬ َ ‫ن ِم‬ َ ‫ن َكا‬ ْ ‫عَلْيَها ِإ‬
َ ‫ل‬ ِّ ‫ب ا‬ َ ‫ض‬َ ‫غ‬ َ ‫ن‬ ّ ‫سةَ َأ‬ َ ‫خاِم‬
َ ‫َواْل‬
10 ‫حِكيٌم‬ َ ‫ب‬ ٌ ‫ل َتّوا‬ َّ ‫ن ا‬ّ ‫حَمُتُه َوَأ‬ ْ ‫عَلْيُكْم َوَر‬
َ ‫ل‬ ِّ ‫ل ا‬ُ‫ض‬ ْ ‫َف‬

Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah
empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-
orang yang benar. ayat 6
Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang
yang berdusta. ayat 7
Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah
sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta,
dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk
orang-orang yang benar. ayat 8-9
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 22

Dan andai kata tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas dirimu dan (andai kata)
Allah bukan Penerima Tobat lagi Maha Bijaksana, (niscaya kamu akan mengalami
kesulitan-kesulitan).ayat 10
b. Akibat hukum Li’an
Apabila suami isteri melakukan mula’anah atau li’an, maka berakibat hukum seperti
berikut :
1) Keduanya harus diceraikan,
2) Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya.
3) Wanita yang bermula’anah berhak memiliki mahar.
4) Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah, harus diserahkan kepada sang
isteri (ibunya).
5) Isteri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris anaknya dan begitu juga
sebaliknya.

E. ILA’
a. Arti Ila’
Yaitu apabila seseorang suami bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan
menyebut sifat Allah SWT untuk tidak bersetubuh dengan isterinya selama empat bulan
atau lebih atau dengan tidak menyebut batas waktunya. Firman Allah SWT.:
‫حيٌم‬
ِ ‫غُفوٌر َر‬
َ ‫ل‬
َّ ‫ن ا‬
ّ ‫ن َفاُءوا َفِإ‬
ْ ‫شُهٍر َفِإ‬
ْ ‫ص َأْرَبَعِة َأ‬
ُ ‫ساِئِهْم َتَرّب‬
َ ‫ن ِن‬
ْ ‫ن ِم‬
َ ‫ن ُيْؤُلو‬
َ ‫ِلّلِذي‬
‫عِليٌم‬
َ ‫سِميٌع‬ َ ‫ل‬
َّ ‫ن ا‬
ّ ‫ق َفِإ‬َ ‫طل‬ ّ ‫عَزُموا ال‬ َ ‫ن‬ْ ‫َوِإ‬
“Kepada orang-orang yang bersumpah tidak akan mencampuri isteri mereka, diberikan
tempoh untuk empat bulan. Setelah itu jika mereka kembali (mencampurinya), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mengasihani. Dan jika mereka
berazam hendak menjatuhkan talaq (menceraikan isteri), maka sesungguhnya Allah
Maha Mendengar “lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 226-227)
b. Akibat Hukum Ila’:
Sumpah suami tersebut hendaklah ditunggu sampai empat bulan. Jika sebelum empat
bulan, suami kembali kepada istrinya dengan baik, maka ia terkena denda membayar
kifarat sumpah. Bila sampai empat bulan tidak kembali kepada istrinya, maka sebagian
ahli fiqih ada yang berpendapat, bahwa dengan berlalunya waktu otomatis talaqnya
jatuh, tanpa menunggu keputusan hakim. (Fatwa Yusuf Qardhowi).

F. ZHIHAR
a. Arti Zhihar
Zhihar (‫)ظهار‬dari kata Arab yang berarti: punggung. Sedang menurut istilah syariat,
zhihar adalah ungkapan suami terhadap istrinya, “Bagiku, kamu seperti punggung
ibuku”, dengan maksud dia hendak mengharamkan istrinya bagi dirinya.
Dalam Islam, men-zhihar istri adalah perkara yang diharamkan. Seorang suami yang
mengeluarkan ucapan itu tidak boleh lagi mencampuri istrinya dan tidak pula
bermesraan dengannya melalui bagian anggota tubuhnya yang mana saja sebelum dia
menebusnya dengan membayar kafarah sebagaimana ketentuan agama. Masalah ini
tersebut dalam Al-Qur’an QS. Al-Mujadalah, 58: 3-4:

‫سا َذِلُكْم‬ّ ‫ن َيَتَما‬


ْ ‫ل َأ‬
ِ ‫ن َقْب‬
ْ ‫حِريُر َرَقَبٍة ِم‬ ْ ‫ن ِلَما َقاُلوا َفَت‬
َ ‫ساِئِهْم ُثّم َيُعوُدو‬ َ ‫ن ِن‬ْ ‫ن ِم‬َ ‫ظاِهُرو‬ َ ‫والذين ُي‬
‫خِبيٌر‬
َ ‫ن‬ َ ‫ل ِبَما َتْعَمُلو‬ ُّ ‫ن ِبِه َوا‬
َ ‫ظو‬ ُ‫ع‬َ ‫ُتو‬
ْ ‫م وَقَد‬ ْ ِ‫ن قَب ْل ِه‬ْ ‫م‬ِ ‫ن‬ َ ‫ذي‬ ِ ّ ‫ت ال‬ َ ِ ‫ما ك ُب‬
َ َ ‫ه ك ُب ُِتوا ك‬ ُ َ ‫سول‬ُ ‫ه وََر‬ َ ّ ‫ن الل‬ َ ‫دو‬ ّ ‫حا‬ َ ُ‫ن ي‬َ ‫ذي‬ِ ّ ‫ن ال‬
ّ ِ‫إ‬
َ َ ْ ‫ت وَل ِل‬ َ
‫م‬
ٌ ‫ب أِلي‬ ٌ ‫ذا‬ َ َ‫ن ع‬ َ ‫ري‬ ِ ِ‫كاف‬ ٍ ‫ت ب َي َّنا‬ٍ ‫أن َْزل َْنا آَيا‬
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 23

“Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali
apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak
sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu,
dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua
bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa
(wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya
kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi
orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih”. (QS. Al-Mujadalah, 58: 3-4)

b. Akibat hukum Zhihar:


Orang yang men-zhihar istrinya dalam jangka waktu sehari atau sebulan, misalnya dia
berkata, “Bagiku engkau seperti punggung ibuku selama sebulan” dan dia menepati
sumpahnya, maka dia tidak terkena denda. Namun manakala dia mencampuri istrinya
sebelum berakhirnya waktu yang telah ditetapkannya, maka dia wajib membayar
kafarah zhihar.
Allah mengkatagorikan zhihar sebagai perkataan yang munkar dan dusta. Allah juga
mengingkari orang yang men-zhihar istrinya, sebagaimana firmannya, “Orang yang
men-zhihar istrinya di antara kamu (menganggap istrinya sebagai ibunya), padahal
tiadalah istri mereka itu ibunya. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah yang melahirkan
mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan
yang munkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun.” (QS Al Mujadilah [58]: 2).
Kaum Muslim sebaiknya berhati-hati dengan kalimat yang menjurus ke arah zhihar.
Termasuk bila mengucapkannya di saat marah atau dalam pertengkaran antara suami-
istri.
Kebanyakan ulama fikih berpendapat, segala perbuatan yang dilakukan di saat marah,
termasuk talak dan zhihar, harus dipertanggungjawabkan. mereka berhujjah pada
sebuah hadis yang menceritakan tentang Khaulah binti Tha’labah, isteri Aus bin Ash-
Shamit. Suami Khaulah telah marah lalu dia men-zhihar dirinya. Khaulah lalu pergi
menemui Nabi SAW. dan memberitahukan perkaranya sambil berkata, “Dia tidak
bermaksud untuk mentalakku.”
Maka Nabi SAW. bersabda, “Aku tidak tahu melainkan engkau sebenarnya telah
menjadi haram baginya”.
Di dalam hadis ini Rasulullah telah menjadikan zhihar sebagai talak, dan talak itu jatuh
walaupun diucapkan dalam keadaan marah. Akan tetapi jika seseorang itu marah
sehingga dia hilang akal, talak itu tidak berlaku. Dalam keadaan ini dia menyerupai
orang gila, maka berlaku hukum ‘tidak jatuh talak yang lahir dari seorang gila’.
c. Kafarat Zhihar:
Kifarat Zhihar ini dikerjakan secara urut, sbb.:
1. Memerdekakan budak mukmin
2. Puasa dua bulan berturut-turut
3. Memberi makan 60 orang miskin.

B. IDDAH
1. Arti Iddah
Menurut bahasa, iddah (Arab) berarti hitungan. Yaitu masa tunggu bagi wanita untuk
mengetahui ada- tidaknya janin dalam kandungan. Sedangkan menurut istilah yaitu masa
tunggu bagi si istri yang telah diceraikan oleh suaminya dimana istri belum boleh kawin
lagi dengan laki-laki lain (bukan suaminya) sebelum masa iddah itu habis dan masa
iddah ini juga merupakan masa berfikir bagi suami apakah ia untuk meneruskan
perceraian tersebut atau kembali bekas istrinya.
2. Macam-macam Iddah:
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 24

Masa iddah ini terbagi atas 4 macam, yaitu :


a. Iddah masa kehamilan, yaitu waktunya sampai masa kelahiran kandungan yang
dikarenakan thalaq ba’in (perceraian yang mengakibatkan tidak kembali kepada
suaminya) atau talaq raj’i (perceraian yang dapat kembali kepada suaminya) dalam
keadaan hidup atau wafat.

b. Iddah muthlaqah (masa perceraian), yaitu masa iddah yang terhitung masa
haidh, maka wanita menunggu tiga quru’ (masa suci) Yaitu 3 kali masa haidh.
c. Perempuan yang tidak terkena haidh, yakni ada dua jenis perempuan yaitu
perempuan usia dini yang tidak/belum terkena haidh dan perempuan usia tua yang
telah berhenti masa haidhnya (menopause), iddahnya adalah selama 3 (tiga) bulan.

d. Istri yang ditinggal suaminya karena wafat, baik wanita yang telah disetubuhi
maupun yang belum disetubuhi, usia muda maupun usia tua dan TIDAK
TERMASUK WANITA HAMIL. Karena masa iddah bagi wanita hamil apabila
mereka sampai melahirkan, seperti yang telah dijelaskan diatas.

RUJUK
1. Arti Rujuk
Menurut bahasa, Rujuk dari kata Arab (‫ )الرجوع‬yang berarti: pulang atau kembali.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan, bahwa rujuk adalah kembalinya suami
kepada istrinya yang ditalak, talak satu atau talak dua, ketika istri masih dalam masa
iddah. Dalam istilah syara’, ruju' yaitu kembalinya seorang suami kepada istrinya yang
ditalak raj'i. tanpa melalui perkawinan dalam masa iddah.
Syariat tentang ruju' ini merupakan indikasi bahwa islam menghendaki bahwa suatu
perkawinan hendaklah berlangsung selamanya. Oleh karena itu, kendati telah terjadi
pemutusan hubugan perkawinan, Allah SWT. Masih memberi prioritas utama kepada
suaminya untuk menyambung kembali tali perkawinan yang nyaris terputus sebelum
kesempatan itu diberikan kepada orang lain setelah berakhirnya masa iddah.
2. Dasar hukum Rujuk:
Allah SWT. berfirman:
‫ل ِفي‬ُّ ‫ق ا‬ َ ‫خَل‬َ ‫ن َما‬َ ‫ن َيْكُتْم‬ْ ‫ن َأ‬ّ ‫ل َلُه‬
ّ‫ح‬ِ ‫ن َثلَثَة ُقُروٍء َول َي‬ ّ ‫سِه‬ِ ‫ن ِبَأْنُف‬
َ‫ص‬ْ ‫ت َيَتَرّب‬
ُ ‫طّلَقا‬َ ‫َواْلُم‬
‫ن َأَراُدوا‬ْ ‫ك ِإ‬َ ‫ن ِفي َذِل‬ّ ‫ق ِبَرّدِه‬ ّ‫ح‬ َ ‫ن َأ‬
ّ ‫خِر َوُبُعوَلُتُه‬
ِ ‫ل َواْلَيْوِم ال‬ِّ ‫ن ِبا‬ّ ‫ن ُيْؤِم‬
ّ ‫ن ُك‬ْ ‫ن ِإ‬ّ ‫حاِمِه‬
َ ‫َأْر‬
‫حِكيٌم‬
َ ‫عِزيٌز‬ َ ‫ل‬ ُّ ‫جٌة َوا‬
َ ‫ن َدَر‬ ّ ‫عَلْيِه‬
َ ‫ل‬ ِ ‫جا‬
َ ‫ف َوِللّر‬ ِ ‫ن ِباْلَمْعُرو‬
ّ ‫عَلْيِه‬
َ ‫ل اّلِذي‬ ُ ‫ن ِمْث‬
ّ ‫حا َوَلُه‬ً ‫صل‬ ْ ‫ِإ‬
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak
boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah, 2: 228).

3. Hukum Rujuk
a. Wajib: bagi suami yang mentalak salah seorang istrinya, sebelum dia
sempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang di talak.
b. Haram; bila rujuknya itu justru menyakiti si istri.
c. Makruh; jika perceraian lebih baik dan berfaedah bagi keduanya (suami-isteri)
d. Jaiz; (boleh) ini adalah hukum ruju' yang asli.
e. Sunnah; jika yang dimaksud suami untuk memperbaiki keadaan istrinya , atau
karena ruju itu lebih berfaeah bagi keduanya ( suami-istri).
4. Rukun dan syarat Ruju'
a. Dari pihak Isteri:
1) Sudah berhubungan layaknya suami-istri (dukhul).
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 25

2) Terjadinya rujuk harus pada waktu istri masih dalam keadaan iddah.
3) Kejelasan istri yang dikehendaki untuk dirujuk.
4) Keadaan thalaq bersifat raj'i (talak I atau II).
b. Dari pihak Suami: di syaratkan bagi suami berkehendak sendiri, artinya bukan
di paksa.
5. Saksi dalam Rujuk:
Saksi tentang ruju’ diperselisihkan oleh ulama. Ada yang mewajibkan dan ada yang
berpendapat sunnat.
6. Shighat/ lafal.
Sighat (lafaz); sighat ada dua:
1) Dengan cara sharih (berterang-terangan), seperti dikatakakan:"saya kembali
kepada istri saya". Atau: " saya rujuk kepada kamu"
2) Dengan cara sendirian, seperti katanya: " saya pegang engkau", atau: ”saya
kawin engkau” atau dengan redaksi lain yang semakna.
Mengenai ruju’, disebutkan dalam Kompilasi hukum Islam pada pasal 163 sampai
dengan pasal 166, sedangkan tentang prosedur ruju' di atur dalam pasal-pasal 167
sampai pasal 169.
7. Hikmah Ruju’
Ada beberapa hikmah rujuk, di antaranya berikut ini:
a. Membangun kembali keretakan yang pernah terjadi dalam rumahtangga.
b. Menghindarkan perpecahan antar kerabat kedua belah pihak.
c. Membangun kasih sayang anak-anak mereka.
d. Menghindarkan diri dari kegagalan pendidikan anak.
e. Memperbaiki hubungan suami-istri.

D. KETENTUAN ISLAM TENTANG PENGASUHAN ANAK (HADHANAH)


1. Pengertian Hadhanah

Menurut bahasa, Hadhanah dari kata Arab yang berarti: meletakkan sesuatu dekat
dengan tulang rusuk seperti menggendong, atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan.
Sedangkan menurut istilah adalah tugas menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau
anak kecil sejak ia lahir sampai mampu menjaga dan mengatur dirinya sendiri.

Kewajiban melakukan hadhanah (pengasuhan) anak terletak dipundak kedua orang


tuanya. Prinsip tersebut berjalan lancar bilamana kedua orang tua tetap dalam hubungan
sebagai suami- isteri. Yang menjadi persoalan adalah apabila kedua orang tua si anak
telah berpisah cerai, maka pihak manakah yang lebih berhak terhadap anak itu. Dalam
kaitannya dengan masalah ini ada dua periode bagi anak yang perlu dikemukakan:

a. Periode Sebelum Mumayiz

Periode ini adalah dari waktu lahir sampai menjelang umur tujuh atau delapan tahun.
Pada masa tersebut pada galibnya seorang anak belum lagi mumayiz atau belum bisa
membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya sendiri. Pada
periode ini, setelah dilengkapi syarat-syarat pengasuh, maka pihak ibu lebih berhak
terhadap anak untuk melakukan hadanah/ pengasuhan.

b. Periode Mumayiz

Masa mumayiz adalah dari umur tujuh tahun sampai menjelang balig berakal. Pada
masa ini seorang anak secara sederhana telah mempu membedakan antara yang
berbahaya dan yang bermanfaat bagi dirinya. Oleh sebab itu, ia sudah dianggap
dapat menjatuhkan pilihannya sendiri apakah ia ikut ibu atau ikut ayahnya. Dengan
demikian ia diberi hak pilih menentukan sikapnya.
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 26

2. Syarat bagi pihak yang mempunyai hak asuh anak

Ada beberapa persyaratan bagi yang melakukan pengasuhan/ hadhanah, seperti di bawah
ini:

a. Sudah balig dan berakal sehat;

b. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik anak


yang diasuh dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas
hadhanah menjadi terlantar;

c. Seseorang yang melakukan hadhanah hendaklah dapat dipercaya memegang


amanah, sehingga dengan itu lebih menjamin pemeliharaan anak;

d. Jika yang akan melakukan hadhanah itu ibu kandung dari anak yang akan
diasuh, disyaratkan tidak kawin dengan lelaki lain kecuali laki-laki lain tersebut
adalah kerabat dekat si anak atau rela menerima kenyataan;

e. Beragama Islam.

3. Hadhanah Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam yang merupakan bagian upaya dalam rangka mencari
pola fikih yang bersifat khas Indonesia atau fikih yang bersifat kontekstual, masalah
hadanah diatur dalam Pasal 105 dan Pasal 156 :

Pasal 105

Dalam hal terjadinya perceraian :

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah
hak ibunya;

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan kepada anak untuk


memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;

c. Biaya pemeliharaan ditanggung ayahnya.

Pasal 156

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. Anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadanah dari ibunya, kecuali
bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :

1. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu;

2. Ayah;

3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;

4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;

6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

b. Anak yang sudah mumayiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari
ayah atau ibunya…;
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 27

Jadi menurut Kompilasi Hukum Islam, anak yang belum mumayiz atau belum berumur
12 tahun mendapat hadanah dari ibunya dan setelah mumayiz, anak dapat memilih untuk
mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

7. Akhir masa Pengasuhan:

Jika anak sudah tidak memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan
pribadinya sehari-hari dan sudah mencapai usia tamyiz, maka masa pengasuhan telah
berakhir. Setelah berakhir masa pengasuhan, si anak tersebut diperbolehkan memilih
untuk menetap tinggal bersama salah satu dari kedua orangtuanya bila kedua
orangtuanya bercerai; atau sesuai dengan keputusan pengadilan.

Imam Syafi’i berpendapat, bahwa pengurusan anak tidak ada batasan yang jelas kapan
berakhirnya. Namun, bila ia telah dewasa dipersilahkan baginya untuk memilih kepada
ibu atau bapakknhya. Meskipun pilihan jatuh pada ibunya, bapakknya tetap yang
menanggung beban pembiayaan, sesuai dengan ketentuan pengadilan.

=========

I. Kegiatan/ Tugas
Cobalah anda mendiskusikan dengan kelompoknya masing-masing dengan topic di
bawah ini:
A. Asas monogamy dalam perkawinan Islam
B. Poligami dalam pandangan Islam
C. Perkawinan antara seorang muslim dengan non-muslim
D. Talak sebagai solusi perkawinan
E. Problematika perkawinan dini.

II. Pekerjaan Rumah (PR)


1. Sebutkan masa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya !
2. Sebutkan pandangan ulama tentang wanita hamil di luar nikah dengan status
anaknya ?
3. Sebutkan peranan wali dalam pernikahan ?
4. Bagaimana status hukum dari nikah sirri ?
5. Bagaimana hukumnya kawin kontrak ?

EVALUASI
(MIDSEMESTER
A. Pilihlah jawaban yang tepat pada opsi a, b, c, d atau e

1. Pada dasarnya hukum perkawinan adalah:


a. Wajib
b. Sunnah
c. Makruh
d. Haram
e. Boleh/ ja’iz
2. Manakala seseorang merasa khawatir melakukan perbuatan zina, maka perkawinan
manjadi :
a. Wajib
b. Haram
c. Sunnah
d. Makruh
e. Boleh/ ja’iz
3. Dalam al-Qur’an, akad perkawinan disebutkan sebagai ikatan yang kuat dengan istilah:
a. Mitsaqan Jazman
b. Mitsaqan Ghalizhan
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 28

c. Mirfaqan Ghalizhan
d. Mitsaqan Dhaifan
e. Mitsaqan Tsaqilan

4. ‫ة‬
ً ‫حَم‬
ْ ‫َوَر‬ ‫ل َبْيَنُكْم َمَوّدًة‬
َ ‫جَع‬
َ ‫سُكُنوا ِإَلْيَها َو‬
ْ ‫جا ِلَت‬
ً ‫سُكْم َأْزَوا‬
ِ ‫ن َأْنُف‬
ْ ‫ق َلُكْم ِم‬
َ ‫خَل‬َ ‫ن‬ ْ ‫ن َآَياِتِه َأ‬
ْ ‫َوِم‬
َ ‫ت ِلَقْوٍم َيَتَفّكُرو‬
‫ن‬ ٍ ‫لَيا‬َ ‫ك‬ َ ‫ن ِفي َذِل‬
ّ ‫ِإ‬
Dalam ayat tersebut terkandung tujuan perkawinan, yaitu:
a. Memenuhi kebutuhan hidup biologis
b. Menempati dunia dengan perbanyakan anak-keturunan
c. Cinta dan kasih sayang
d. Untuk mengasah daya piker
e. Betul semua.

5. ‫جا‬
ً ‫َأْزَوا‬ ‫سُكْم‬
ِ ‫ن َأْنُف‬
ْ ‫ق َلُكْم ِم‬
َ َ‫خل‬
َ ‫ن‬
ْ ‫ن َآَياِتِه َأ‬
ْ ‫َوِم‬
Kata yang bergaris bawah bentuk jamak dari mufradnya:
a. ‫زيج‬
b. ‫زوجات‬
c. ‫زووج‬
d. ‫زوج‬
e. ‫وجوج‬
6. Unsur-unsur yang harus terpenuhi dalam perkawinan adalah sebagai berikut:
a. Calon Suami, dan Calon Isteri,
b. Wali Nikah
c. Dua orang saksi
d. Ijab dan Kabul.
e. Betul semua.
7. Usia minimal perkawinan bagi wanita menurut Kompilasi Hukum Islam adalah:
a. 10 tahun
b. 16 tahun
c. 20 tahun
d. 25 tahun
e. 30 tahun.
8. Usia minimal perkawinan yang tidak memerlukan ijin dari orang tuanya adalah:
a. 16 tahun
b. 19 tahun
c. 21 tahun
d. 25 tahun.
e. 28 tahun.
9. Anak perempuan dari istri adalah tidak boleh dinikah. Ini halangan dari segi:
a. Dari segi nasab
b. Dari segi perkawinan
c. Dari segi persusuan
d. Dari segi persaudaraan
e. Dari segi perhitungan
10. Di bawah ini adalah termasuk pernikahan terlarang:
a. Dari segi perkawinan
b. Dari segi persusuan
c. Dari segi persaudaraan
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 29

d. Dari segi lahir.


e. Dari segi batin.

JAWABLAH PERTANYAAN BERIKUT INI

1. Jelaskan apa yang disebut dengan nikah muhallil ?


2. Sebutkan syarat-syarat pernikahan !
3. Apa yang disebut dengan sumpah zhihar ?
4. Apa yang dinamakan dengan talak raj’i
5. Apa yang dinamakan dengan Mahram ?

ULANGAN
A. HARIAN
1. Dalam kehidupan berumahtangga, suami-istri sering terjadi cekcok berkepanjangan
sehingga berakhir fatal. Talak tak dapat dihindarkan. Hukum asal talak adalah:
A. Makruh
B. Sunnah
C. Haram
D. Wajib
E. Mubah
2. Salah satu syarat seorang suami menjatuhkan talak adalah
A. Ada ikatan perkawinan yang sah dengan istri
B. Balig
C. Berakal/ tidak gila
D. Kehendak sendiri/ Tidak terpaksa.
E. Betul semua.
3. Dalam perceraian ada yang namanya TALAK TEBUS. Yang dimaksud dengan istilah
itu adalah:
A. Talak ba’in
B. Talak raj’i
C. Khulu’
D. Khuruj
E. Li’an
4. Perhatikan ayat ini: ْ ‫عَلْيِهَما ِفيَما اْفَتَد‬
‫ت‬ َ ‫ح‬
َ ‫جَنا‬
ُ ‫ل َفل‬
ِّ ‫حُدوَد ا‬
ُ ‫خْفُتْم َأل ُيِقيَما‬
ِ ‫ن‬
ْ ‫َفِإ‬
‫ِبِه‬
Ayat tersebut adalah tentang kasus;
A. Talak ba’in
B. Li’an
C. Talak raj’i
D. Khulu’
E. Khuruj
5. Jika seorang suami menuduhan istrinya berzina dengan tanpa saksi, dan diiringi
dengan sumpah. Peristiwa seperti ini dinamakan:
A. Li’an
B. La’in
C. Mal’un
D. Mal’an
E. Mul’in.
6. Akibat yang timbul dari kasus Li’an sangat fatal. Di antaranya adalah:
A. Boleh ruju’
B. Tidak boleh ruju’ untuk selamanya
C. Boleh mengadakan surat-menyurat
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 30

D. Tidak boleh mengadakan kontak person melalui SMS


E. Boleh dinikah orang lain.
7. Perceraian yang terjadi karena suami sudah tidak sanggup memberi nafkah kepada
istrinya adalah:
A. Makruh
B. Sunnah
C. Haram
D. Wajib
E. Mubah

8. Perkawinan pesanan dengan wanita dari suami yang telah mentalak tiga disebut
dengan:
A. Cina buta
B. Cinta buta
C. Petai cina
D. Baju cina
E. Gadung cina.
9. Status hukum nikah sirri adalah:
A. Sah dan halal
B. Tidak sah dan haram
C. Sah tapi haram
D. Sah tapi makruh
E. tidak sah dan tetap haram
10. Bagi seorang muslim, pernikahan hendaklah dicatat di tempat:
A. KUD
B. KUA
C. KPU
D. KPK
E. KKK
11. Saksi dalam perkawinan dipandang sebagai keharusan. Di bawah ini salah satu syarat
sebagai saksi:
A. Adil
B. Jujur
C. Benar
D. Tidak pernah melakukan dosa besar
E. Benar semua.
12. Bila diketahui setelah akad nikah, suami-istri masih ada hubungan darah, maka
pernikahannya adalah:
A. Sah
B. Fasid
C. Batal
D. Syubhat
E. Boleh.
13. Di bawah ini termasuk mahram sebab persusuan, kecuali:
A. Ibu persusuan,
B. ibu dari ibu persusuan, seperti nenek dari jalur ayah
C. Anak perempuan dari ibu persusuan
D. Saudara perempuan dari orangtua (ayah/ ibu) yang suka minum susu
E. Bibi (dari pihak ayah atau ibu) sepersusuan
14. Perempuan yang ditalak bain sughra (talak satu atau dua) boleh dirujuk:
A. di masa iddah
B. dengan akad nikah baru
C. tidak usah nikah baru
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 31

D. nikah baru di asa iddah


E. Betul semua.
15. Yang berhak mengasuh anak balita sewaktu terjadi perceraian, adalah:
A. Ayah
B. Kakek
C. Ibu
D. Nenk
E. Saudara.
16. Zhihar menurut arti bahasa adalah:
A. Punggung
B. Waktu Zhuhur
C. Lahir
D. Jelas
E. terang benderang.
17. Contoh Zhihar seperti berikut:
A. Bagimu, aku adalah seperti punggung ibuku
B. Bagiku, kamu seperti punggung ibuku
C. Bagimu, akamu adalah seperti punggung ibumu
D. Baginya, aku adalah seperti punggung ibuku
E. Bagimu, di adalah seperti punggung ibuku

18. Akibat hukum dari sumpah Zhihar bila tidak menepati janjinya:
A. Memerdekakan budak mukmin
B. Puasa dua bulan berturut-turut
C. Memberi makan 60 orang miskin.
D. Memberi makan 60 orang fakir
E. Betul semua.
19. Maksud yang terkandung dalam pelaksanaan Iddah bagi wanita yang ditalak, adalah:
A. Untuk mengetahui ada-tidaknya menstruasi wanita
B. Untuk mengetahui janinnya.
C. Untuk mengetahui ada-tidaknya janin dalam kandungan.
D. Hanya sekedar menjalani syari’at.
E. Untuk kepentingan penelitian tentang bayi.

20. Iddah wanita yang ditalak sudah pernah tidak mengalami menstruasi:
A. Kelahiran anak yang dikandungnya
B. Selama 3 (tiga) bulan.
C. Selama 3 (tiga) kali suci.
D. Selama 4 (empat) bulan sepuluh hari
E. Selama 4 (empat) bulan setengah.

==========================================
B. Isilah definisi berikut ini:
1. Perkawinan, menurut hukum Islam adalah: ...........................................
2. Zhihar adalah ....................................................................................
3. Iddah adalah ......................................................................................
4. Rujuk adalah .....................................................................................
5. Hadhanah adalah ...............................................................................
============================
C. Jawablah dengan singkat:
1. Sebutkan rukun pernikahan !
Jawab: .....................................................................................................
.....................................................................................................
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 32

2. Sebutkan macam-macam sebab seorang wanita haram dinikah !


Jawab: .....................................................................................................
.....................................................................................................

3. Sebutkan syarat -syarat wali nikah !


Jawab: ....................................................................................................
....................................................................................................
4. Siapakah wali hakim itu !
Jawab: ....................................................................................................
....................................................................................................
5. Sebutkan perbedaan antara Wali nasab dengan wali hakim !
Jawab: ...................................................................................................
..................................................................................................

TES
LISANkewajiban suami terhadap istrinya !
1. Sebutkan
2. Sebutkan kewajiban istri terhadap suaminya !

Praktek menentukan
hukum
1. ‫ن ُأّمَهاُتُهْم ِإل اللِئي َوَلْدَنُهْم‬
ْ ‫ن ُأّمَهاِتِهْم ِإ‬
ّ ‫ساِئِهْم َما ُه‬
َ ‫ن ِن‬
ْ ‫ن ِمْنُكْم ِم‬
َ ‫ظاِهُرو‬
َ ‫ن ُي‬
َ ‫اّلِذي‬
‫صَياُم‬
ِ ‫جْد َف‬
ِ ‫ن َلْم َي‬
ْ ‫غُفوٌر َفَم‬
َ ‫ل َلَعُفّو‬
َّ ‫ن ا‬
ّ ‫ل َوُزوًرا َوِإ‬
ِ ‫ن اْلَقْو‬
َ ‫ن ُمْنَكًرا ِم‬
َ ‫َوِإّنُهْم َلَيُقوُلو‬
‫ك‬
َ ‫سِكيًنا َذِل‬
ْ ‫ن ِم‬
َ ‫سّتي‬
ِ ‫طَعاُم‬
ْ ‫طْع َفِإ‬
ِ ‫سَت‬
ْ ‫ن َلْم َي‬
ْ ‫سا َفَم‬
ّ ‫ن َيَتَما‬
ْ ‫ل َأ‬
ِ ‫ن َقْب‬
ْ ‫ن ِم‬
ِ ‫ن ُمَتَتاِبَعْي‬
ِ ‫شْهَرْي‬
َ
‫ب َأِليٌم‬
ٌ ‫عَذا‬
َ ‫ن‬
َ ‫ل َوِلْلَكاِفِري‬
ِّ ‫حُدوُد ا‬
ُ ‫ك‬
َ ‫سوِلِه َوِتْل‬
ُ ‫ل َوَر‬
ِّ ‫لُتْؤِمُنوا ِبا‬
Apa hukum yang dapat diperoleh dari ayat di atas !

2. Praktekkan lafal zhihar yang terkena kafarat !

PERBAIKAN

1. Sebutkan rukun talak !

Jawab: ...............................................................................................................

...............................................................................................................

2. Sebutkan apa yang dinamakan dengan talak sunni ?

Jawab: ..............................................................................................................

..............................................................................................................

3. Apa yang kamu ketahui tentang talak bain kubra ?


26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 33

Jawab: ..............................................................................................................

..............................................................................................................

4. Apa yang dimaksud dengan talak raj’i ?

Jawab: ..............................................................................................................

..............................................................................................................

5. Sebutkan tujuan perkawinan !

Jawab: .............................................................................................................

.............................................................................................................

PENGAYAAN

1. Apa yang dimaksud dengan Talak Ta’lik ?

Jawab: .............................................................................................................

.............................................................................................................

2. Sebutkan apa yang dimaksud dengan talak bid’i

Jawab: .............................................................................................................

.............................................................................................................

3. Apakah perkawinan itu harus ada persetujuan antara calon kedua mempelai ?

Jawab: .............................................................................................................

.............................................................................................................

4. Sebutkan halangan perkawinan dari pihak nasab !

Jawab: .............................................................................................................

.............................................................................................................

5. Sebutkan keharaman nikah secara abadi ?

Jawab: .............................................................................................................

.............................................................................................................

Latihan Ulangan
Tengahdalam
1. Pengertian kata: nikah, Semester
Al-Qur’an kebanyakan diartikan sebagai;
A. Persetubuhan
B. Lamaran
C. Hubungan laki-laki dan perempuan
D. Akad nikah
E. Perselingkuhan.
2. Dalam menjaga kemuliaan kedudukan manusia...
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 34

A. Allah membebaskan hubungan laki-laki dan perempuan tanpa ikatan


perkawinan.
B. Allah membuat peraturan untuk hubungan laki-laki dan perempuan yang
disebut: Nikah.
C. Allah memerintahkan manusia untuk membuat undang-undang tentang
perkawinan.
D. Allah menurunkan Adam dan Hawa untuk perkembangbiakan manusia di muka
bumi.
E. Allah menganjurkan laki-laki dan perempuan untuk saling kenal.

3. Orang (lelaki) yang sudah mampu secara materi dan jasmani dan dikhawatirkan
melakukan perzinaan, maka nikah baginya adalah:
A. Wajib
B. Haram
C. Sunah
D. Makruh
E. ja’iz/ mubah.
4. Allah SWT. berfirman: ‫ء‬
ِ ‫سا‬
َ ‫الّن‬ َ ‫ت ِم‬
‫ن‬ ِ ‫شَهَوا‬
ّ ‫ب ال‬
ّ ‫ح‬
ُ ‫س‬
ِ ‫ن ِللّنا‬
َ ‫( ُزّي‬Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-
wanita...)
Ayat tersebut bila dihubungkan dengan tujuan pernikahan, maka salah satu tujuan
perkawinan adalah;
A. Dapat menyalurkan naluri seksualnya dengan cara sah dan terpuji.
B. Memelihara dan memperbanyak keturunan dengan terhormat, sehingga dapat
menjaga kelestarian hidup manusia.
C. Melahirkan organisasi dan pembagian tugas yang jelas dalam keluarga.
D. Terbentuknya tali kekeluargaan dan silatur-rahmi antar keluarga,
E. Umur rata-rata orang yang menikah relative lebih panjang.

5. Orang yang melakukan hidup bersama tanpa ikatan perkawinan akan timbul bencana.
Di antaranya adalah;
A. Gonorhe
B. Sipilis
C. Kencing nanah
D. AIDS
E. Betul semua.
6. Ada beberapa orang wanita yang dapat dinikahi, sbb.:
A. Saudara perempuan kandung
B. Ibu tiri
C. Mertua
D. Anak pembantu
E. Saudara sesusuan.

7. Kedudukan mahar dalam perkawinan adalah sebagai:


A. Rukun
B. Syarat
C. Kewajiban
D. Kewenangan
E. Keharusan.
8. Sebelum melakukan akad nikah, seorang muslim terlebih dulu mengadakan
pendekatan, seperti berikut:
A. Khitbah
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 35

B. Pertonangan dengan cara tukar cincin


C. Pacaran
D. Pendekatan pada calon mertua
E. Memberikan sesuatu barang pada mertua.
9. Pernikahan tanpa wali hukumnya adalah:
A. Haram
B. Makruh
C. Sunnah
D. Tidak sah
E. Mubah.
10. Dua orang saksi dalam perkawinan adalah salah satu:
A. Rukun nikah
B. Syarat nikah
C. Syarat bagi mempelai wanita
D. rukun bagi ijab kabul
E. Bukan persyaratan nkah.
11. Perceraian antara suami-istri dipandang sah, menurut UU Perkawinan No. 1 Th. 1974
adalah di depan:
A. Di depan Penghulu/ KUA.
B. Di depan Masjid
C. Di depan pengadilan Agama
D. Di Pengadilan Negari
E. Di depan mertua wanita
12. Talak pada istri yang pernah didukhul dalam keadaan suci sebelum melakukan
hubungan hembali disebut:
A. Talak sunnah
B. Talak bid’ah
C. Talak bukan sunnah dan bukan bid’ah
D. Talak raj’i
E. Talak ba’in shugra.
13. Kata-kata suami: “Kamu tertalak bila meninggalkan shalat”. Talak seperti ini jatuh
manakala si istri meninggalkan shalat. Talak tersebut dinamakan:
A. Talak mu’allaq
B. Talak ghairu mu’allaq
C. Talak ba’in
D. Talak raj’i
E. Talak bid’ah.
14. Talak yang boleh dirujuk kembali sebelum iddah habis dinamakan:
A. Talak mu’allaq
B. Talak ghairu mu’allaq
C. Talak ba’in
D. Talak raj’i
E. Talak bid’ah.
15. Wanita yang ditalak raj’i, berhak menerima:
A. Belanja dan tempat tinggal
B. Nafkah dan tempat tinggal
C. Tempat tinggal tanpa belanja
D. Tempat tinggal saja
E. Belanja saja.
16. Wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil, iddahnya adalah:
A. 3 bulan 10 hari
B. 4 bulan
C. 3 kali suci
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 36

D. 3 kali haid
E. Waktu yang paling lama.
17. Di bawah ini termasuk batalnya perkawinan:
A. Fasakh
B. Iddah
C. Rujuk
D. Khulu’
E. Hadhanah.
18. Saudara perempuan kandung tidak boleh dinikah karena ...
A. Sebab perkawinan
B. Sebab nasab
C. Sebab susuan
D. Sebab dilarang agama
E. Sebab dilarang masyarakat.
19. Menantu haram untuk dinikah. Ini adalah larangan karena:
A. Sebab perkawinan
B. Sebab nasab
C. Sebab susuan
D. Sebab dilarang agama
E. Sebab dilarang masyarakat.
20. Anak dari ibu susuan adalah haram dinikah karena:
A. Sebab perkawinan
B. Sebab nasab
C. Sebab susuan
D. Sebab dilarang agama
E. Sebab dilarang masyarakat.
==========

Standar Kompetensi (SK) Kompetensi Dasar (KD)

5. Memahami hukum Islam 5.1. Menjelaskan ketentuan Hukum Waris


tentang Waris dalam Islam
5.2. Menjelaskan keterkaitan Waris
dengan Wasiat
5.3. Menunjukkan contoh cara
pelaksanaan waris dan wasiat

halaman 33

INDIKATOR

Setelah mempelajari hukum Islam tentang hukum waris, diharapkan siswa/


peserta didik mampu:
1. menjelaskan ketentuan hukum waris dalam Islam
2. menjelaskan tentang orang yang menjadi ahli waris menurut ketentuan
hukum Islam
3. menjelaskan tentang ketentuan wasiat dan orang yang mendapatkan
wasiat

A. HUKUM WARIS ISLAM


26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 37

1. Ketentuan Mawaris

Orang-orang Arab sebelum Islam hanya memberikan warisan kepada kaum lelaki saja
sedang kaum perempuan tidak mendapatkannya, dan warisan hanya untuk mereka yang
sudah dewasa, anak-anak tidak mendapatkannya pula. Disamping itu ada juga waris-
mewaris yang didasarkan pada perjanjian. Maka Allah membatalkan itu semua dan
menurunkan firman-Nya:
‫ن ُثُلَثا‬
ّ ‫ن َفَلُه‬ِ ‫ق اْثَنَتْي‬
َ ‫ساًء َفْو‬ َ ‫ن ِن‬ّ ‫ن ُك‬ ْ ‫ن َفِإ‬
ِ ‫ظ الْنَثَيْي‬ ّ‫ح‬ َ ‫ل‬ ُ ‫ل ِفي َأْولِدُكْم ِللّذَكِر ِمْث‬ ُّ ‫صيُكُم ا‬ ِ ‫ُيو‬
َ ‫س ِمّما َتَر‬
‫ك‬ ُ ‫سُد‬ ّ ‫حٍد ِمْنُهَما ال‬ ِ ‫ل َوا‬ ّ ‫ف َولَبَوْيِه ِلُك‬ ُ ‫ص‬ ْ ‫حَدًة َفَلَها الّن‬ ِ ‫ت َوا‬ ْ ‫ن َكاَن‬ ْ ‫ك َوِإ‬َ ‫َما َتَر‬
ْ ‫س ِم‬
‫ن‬ ُ ‫سُد‬ ّ ‫خَوٌة َفلّمِه ال‬ ْ ‫ن َلُه ِإ‬َ ‫ن َكا‬ْ ‫ث َفِإ‬
ُ ‫ن َلُه َوَلٌد َوَوِرَثُه َأَبَواُه َفلّمِه الّثُل‬ ْ ‫ن َلْم َيُك‬ ْ ‫ن َلُه َوَلٌد َفِإ‬َ ‫ن َكا‬ ْ ‫ِإ‬
‫ب َلُكْم‬ُ ‫ن َأّيُهْم َأْقَر‬َ ‫ن آَباُؤُكْم َوَأْبَناُؤُكْم ل َتْدُرو‬ ٍ ‫صي ِبَها َأْو َدْي‬ ِ ‫صّيٍة ُيو‬ ِ ‫َبْعِد َو‬
(11) ‫حِكيًما‬ َ ‫عِليًما‬ َ ‫ن‬ َ ‫ل َكا‬ َّ ‫ن ا‬ ّ ‫ل ِإ‬ِّ ‫ن ا‬ َ ‫َنْفًعا َفِريضًَة ِم‬
ْ ِ‫ن م‬
‫ن‬ َ ‫ن َوَلٌد َفَلُكُم الّرُبُع ِمّما َتَرْك‬ ّ ‫ن َلُه‬َ ‫ن َكا‬ ْ ‫ن َوَلٌد َفِإ‬ ّ ‫ن َلُه‬
ْ ‫ن َلْم َيُك‬ ْ ‫جُكْم ِإ‬ُ ‫ك َأْزَوا‬ َ ‫صفُ َما َتَر‬ ْ ‫َوَلُكْم ِن‬
ّ ‫ن َلُكْم َوَلٌد َفَلُه‬
‫ن‬ َ ‫ن َكا‬ ْ ‫ن َلْم َيُكنْ َلُكْم َوَلٌد َفِإ‬ ْ ‫ن الّرُبُع ِمّما َتَرْكُتْم ِإ‬ ّ ‫ن َوَلُه‬ٍ ‫ن ِبَها َأْو َدْي‬ َ ‫صي‬ِ ‫صّيٍة ُيو‬ ِ ‫َبْعِد َو‬
‫ث َكلَلًة َأِو اْمَرَأٌة َوَلُه‬ ُ ‫ل ُيوَر‬ ٌ‫ج‬ُ ‫ن َر‬َ ‫ن َكا‬ ْ ‫ن َوِإ‬ ٍ ‫ن ِبَها َأْو َدْي‬َ ‫صو‬ ُ ‫صّيٍة ُتو‬ ِ ‫ن َبْعِد َو‬ ْ ‫ن ِمّما َتَرْكُتْم ِم‬ ُ ‫الّثُم‬
‫ن َبْعِد‬ْ ‫ث ِم‬
ِ ‫شَرَكاُء ِفي الّثُل‬ ُ ‫ك َفهُْم‬َ ‫ن َذِل‬ ْ ‫ن َكاُنوا َأْكَثَر ِم‬ ْ ‫س َفِإ‬ ُ ‫سُد‬ ّ ‫حٍد ِمْنُهَما ال‬ ِ ‫ل َوا‬ ّ ‫ت َفِلُك‬ ٌ ‫خ‬ ْ ‫خ َأْو ُأ‬
ٌ ‫َأ‬
(12) ‫حِليٌم‬ َ ‫عِليٌم‬َ ‫ل‬ ُّ ‫ل َوا‬ ِّ ‫ن ا‬ َ ‫صّيًة ِم‬ ِ ‫ضاّر َو‬ َ ‫غْيَر ُم‬ َ ‫ن‬ ٍ ‫صى ِبَها َأْو َدْي‬ َ ‫صّيٍة ُيو‬ ِ ‫َو‬
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakkmu.
Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan;
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari satu, maka bagi mereka duapertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja maka dia
memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapakk bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapakknya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika orang yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
yang lebih dekat (banyak) manfa'atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An-Nisa, 4: 11)
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu.
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja)
atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudarat
(kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang
benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (An-Nisa’,
4: 12)
2. Keutamaan Ilmu Faraidh
َ‫ َيا أََبا ُهَرْيَرة‬: -‫صلى ال عليه وسلم‬- ‫ل‬ ِّ ‫ل ا‬
ُ ‫سو‬ ُ ‫ل َر‬
َ ‫ل َقا‬َ ‫ن َأِبى ُهَرْيَرَة َقا‬
ْ ‫َع‬
ُ ‫ىٍء ُيْنَتَز‬
‫ع‬ ْ ‫ش‬َ ‫ل‬ُ ‫سى َوُهَو َأّو‬
َ ‫ف اْلِعْلِم َوُهَو ُيْن‬
ُ ‫ص‬
ْ ‫عّلُموَها َفِإّنُه ِن‬
َ ‫ض َو‬َ ‫َتَعّلُموا اْلفََراِئ‬
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 38

(‫ماجه‬ ‫ن ُأّمِتى )رواه ابن‬


ْ ‫ِم‬

Dari Abu Hurairah berkata: Telah bersabda Rasululloh SAW: "Pelajarilah Faroidh dan
ajarkanlah ia kepada manusia. Sesungguhnya ia adalah separoh ilmu. Ia akan
dilupakan. Dan ia adalah sesuatu yang pertama kali akan dicabut dari umatku”. (HR.
Ibnu Majah). Dan masih banyak lafal hadits yang seperti ini.

Ilmu Faraidh, secara syar'ie dapat dikatakan sebagai ilmu tentang pembagian warisan,
atau Ilmu Waris / Kewarisan.

3. Definisi Ilmu Fara’idh


Prof. Dr. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan ilmu fari’id sebagai ilmu yang
mempelajari tentang orang-orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, kadar yang
diterima setiap ahli waris dan cara pembagiannya.
Ilmu Fara’id/ ilmu warisan ini bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijmak Ulama,
bukan yang bersumber dari hukum adat atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Perdata) sebagai hukum warisan Belanda.

4. Sebab-sebab adanya hak Kewarisan:


a. Rukun Waris :
1) Pewaris (al-waarits) ialah orang yang mempunyai hubungan penyebab
kewarisan dengan mayit sehingga dia memperoleh kewarisan.
2) Orang yang mewariskan (al-muwarrits): ialah mayit itu sendiri, baik nyata
maupun dinyatakan mati secara hukum, seperti orang yang hilang dan
dinyatakan mati.

3) Harta yang diwariskan (al-mauruuts): disebut pula peninggalan dan warisan.


Yaitu harta atau hak yang dipindahkan dari yang mewariskan kepada pewaris.

b. Sebab mendapatkan Warisan:


Ada tiga sebab :
1) Nasab Hakiki (kerabat yang sebenarnya), firman Allah SWT:
‫عِليٌم‬
َ ‫يٍء‬
ْ ‫ش‬
َ ‫ل‬
ّ ‫ل ِبُك‬
َّ ‫ن ا‬
ّ ‫ل ِإ‬
ِّ ‫ب ا‬
ِ ‫ض ِفي ِكَتا‬
ٍ ‫ضُهْم َأْوَلى ِبَبْع‬
ُ ‫حاِم َبْع‬
َ ‫َوُأوُلو الْر‬
"Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagian lebih berhak
terhadap sesamanya daripada yang bukan kerabat di dalam Kitab Allah (QS.
Al-Anfal, 8 : 75)
2) Nasab Hukumi (wala = kerabat karena memerdekakan), sabda
Rasulullah SAW:
‫حَمٌة‬
ْ ‫لُء ُل‬
َ ‫» اْلَو‬: -‫صلى ال عليه وسلم‬- ‫ل‬
ِّ ‫ل ا‬
ُ ‫سو‬ُ ‫ل َر‬َ ‫ل َقا‬َ ‫ن َقا‬
ِ َ‫حس‬ َ ‫ن اْل‬
ِ‫ع‬ َ
(‫ الدارمي‬،‫ ابن حبان‬،‫ب )رواه الحاكم‬ ُ ‫ل ُيوَه‬َ ‫ع َو‬ُ ‫ل ُيَبا‬
َ ‫ب‬ِ ‫س‬ َ ‫حَمِة الّن‬ْ ‫َكُل‬
"Wala itu adalah kerabat seperti kekerabatan karena nasab" (HR. Al-Hakim,
Ibnu Hibban dan Ad-Darimiy).

3) Perkawinan yang Shahih, firman Allah SWT:

ُ‫ن َوَلٌد َفَلُكم‬


ّ ‫ن َلُه‬
َ ‫ن َكا‬ ْ ‫ن َوَلٌد َفِإ‬ ّ ‫ن َلُه‬
ْ ‫ن َلْم َيُك‬ ْ ‫جُكْم ِإ‬
ُ ‫ك َأْزَوا‬َ ‫ف َما َتَر‬ ُ ‫ص‬ ْ ‫َوَلُكْم ِن‬
‫ن الّرُبُع ِمّما َتَرْكُتْم‬ ّ ‫ن َوَلُه‬ ٍ ‫ن ِبَها َأْو َدْي‬ َ ‫صي‬ِ ‫صّيٍة ُيو‬ ِ ‫ن َبْعِد َو‬ ْ ‫ن ِم‬ َ ‫الّرُبُع ِمّما َتَرْك‬
‫صّيٍة‬
ِ ‫ن َبْعِد َو‬ ْ ‫ن ِمّما َتَرْكُتْم ِم‬ ُ ‫ن الّثُم‬ّ ‫ن َلُكْم َوَلٌد َفَلُه‬َ ‫ن َكا‬ْ ‫ن َلُكْم َوَلٌد َفِإ‬
ْ ‫ن َلْم َيُك‬
ْ ‫ِإ‬
ٍ ‫ن ِبَها َأْو َدْي‬
‫ن‬ َ ‫صو‬ ُ ‫ُتو‬
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-
istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 39

sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar
utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika
kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. (QS. An-
Nisaa', 4: 12)

c. Halangan memperoleh Warisan


Orang yang terhalang memperoleh warisan ada empat:
1) Perbudakan: Baik orang itu menjadi budak dengan sempurna atau tidak.
Allah SWT. berfirman:

... ‫يٍء‬
ْ ‫ش‬
َ ‫عَلى‬
َ ‫عْبًدا َمْمُلوًكا ل َيْقِدُر‬
َ ‫ل َمَثل‬
ُّ ‫ب ا‬
َ ‫ضَر‬
َ
“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki
yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun....” (QS. An-Nahl, 16: 75).

2) Pembunuhan dengan sengaja yang diharamkan.


Adapun pembunuhan yang tidak disengaja, terdapat selisih pendapat: Berkata
Asy-Syafi'i: Setiap pembunuhan menghalangi pewarisan, sekalipun
pembunuhan itu dilakukan oleh anak kecil atau orang gila, dan sekalipun
dengan cara yang benar seperti had atau qishash. Mazhab Maliki berkata:
Sesungguhnya pembunuhan yang menghalangi pewarisan itu adalah
pembunuhan yang sengaja bermusuhan, baik langsung ataupun melalui
perantaraan.
(‫ رواه الدارمي‬.‫شْيئًا‬
َ ‫ل‬
ِ ‫ن اْلَمْقُتو‬
َ ‫ل ِم‬
ُ ‫ث اْلَقاِت‬
ُ ‫ل َيِر‬
َ :‫ل‬
َ ‫س َقا‬
ٍ ‫عّبا‬
َ ‫ن‬
ِ ‫ن اْب‬
ِ‫ع‬َ
“Dari Ibnu Abbas, berkata: “Seorang pembunuh tidak akan mewarisi sesuatu
pun dari orang yang dibunuh”. (HR. Ad-Darimiy).

3) Berlainan Agama

Dengan demikian seorang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan
seorang kafir tidak mewarisi dari seorang muslim; karena hadits yang
diriwayatkan oleh empat orang ahli hadits, dari Usamah bin Zaid, bahwa
Nabi saw bersabda:
‫ن الّنِبىّ صلى ال عليه وسلم‬ّ ‫ َأ‬- ‫ رضى ال عنهما‬- ‫ن َزْيٍد‬ ِ ‫ساَمةَ ْب‬
َ ‫ن ُأ‬
ْ‫ع‬َ
.‫سِلَم‬
ْ ‫ل اْلَكاِفُر اْلُم‬
َ ‫ َو‬، ‫سِلُم اْلَكاِفَر‬
ْ ‫ث اْلُم‬
ُ ‫ل َيِر‬ َ :‫ل‬ َ ‫َقا‬
Dari Usamah bin Zaid RA., bahwa Nabi SAW. bersabda: "Seorang muslim
tidak mewarisi dari seorang kafir, seorang kafirpun tidak mewarisi dari
seorang muslim".

Adapun orang-orang yang bukan muslim, maka sebagian mereka mewarisi


sebagian yang lain, karena mereka dianggap satu agama.

5. Harta peninggalan sebelum diwaris


Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan itu ada empat.
Keempatnya tidak sama kedudukannya, sebagiannya ada yang lebih kuat dari yang lain
sehingga ia didahulukan atas yang lain untuk dikeluarkan dari peninggalan.
Hak-hak tersebut menurut tertib berikut :

a. Biaya mengkafani dan memperlengkapinya menurut cara yang telah diatur dalam
masalah jenazah

b. Melunasi hutangnya.
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 40

Ibnu Hazm dan Asy-Syafi'i mendahulukan hutang kepada Allah seperti zakat dan
kifarat, atas hutang kepada manusia.
c. Pelaksanaan wasiat dari sepertiga sisa harta semuanya sesudah hutang dibayar.Tapi,
wasiat tidak boleh kepada ahli waris. Nabi SAW. bersabda:

-‫صلى ال عليه وسلم‬- ‫ل‬ ِّ ‫ل ا‬


َ ‫سو‬ ُ ‫ت َر‬
ُ ‫سِمْع‬
َ ‫ت َأَبا ُأَماَمَة‬
ُ ‫سِمْع‬
َ ‫سِلٍم‬
ْ ‫ن ُم‬ ِ ‫ل ْب‬َ ‫حِبي‬
ْ ‫شَر‬ ُ ‫ن‬ْ‫ع‬
َ
.(‫ )رواه أبو داود‬.‫ث‬
ٍ ‫صّيَة ِلَواِر‬
ِ ‫ل َو‬
َ ‫حّقُه َف‬
َ ‫ق‬
ّ‫ح‬ َ ‫ل ِذى‬ ّ ‫طى ُك‬َ‫ع‬ ْ ‫ل َقْد َأ‬
َّ ‫ن ا‬ ّ ‫ ِإ‬: ‫ل‬
ُ ‫َيُقو‬
Dari Syurahbil bin Muslim, berkata: Saya mendengar Abu Umamah, katanya: Saya
mendengar Rasulullah SAW. bersabda: “Sesunggunghnya Allah SWT. telah
memberikan suatu hak kepada setiap yang mempunyai hak. Karena itu, tidak ada
wasiat bagi ahli waris”. (HR. Abu Dawud).

d. Pembagian sisa harta di antara para ahli waris.


Setelah harta peninggalan dipergunakan biaya penyelenggaraan jenazah, hutang dan
wasiat, maka harta tersebut dibagi kepada para ahli waris.

6. Orang-orang yang berhak menerima warisan:


Dari segi kelamin (gender), ahli waris ada dua: Lelaki dan perempuan. Yang laki-laki
ada 15 orang, dan yang perempuan ada 10 orang.

a. Ahli waris dari pihak laki-laki:


1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki, seterusnya ke bawah.
3) Ayah/ Bapakk
4) Kakek (ayahnya ayah) dan seterusnya ke atas.
5) Saudara laki-laki sekandung.
6) Saudara laki-laki seayah.
7) Saudara laki-laki seibu.
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.
9) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
10) Paman sekandung dengan ayah
11) Paman (saudara laki-laki) seayah.
12) Anak laki-laki dari paman sekandung dengan ayah
13) Anak laki-laki dari paman seayah dengan ayah
14) Suami
15) Orang laki-laki yang memerdekakan budak.

Bila ada orang yang meninggal dunia (istri) dan ahli warisnya ada semua seperti
tersebut di atas, maka yang mendapat warisan hanyalah: (1). Suami, (2). Ayah, (3).
anak laki-laki. Sedangkan yang lain adalah mahjub.

b. Ahli waris dari pihak perempuan:


1) Anak perempuan
2) Anak perempuan dari anak laki-laki (alias cucu perempuan dari anak laki-
laki), seterusnya ke bawah.
3) Ibu
4) Nenek dari jalur ibu
5) nenek dari jalur ayah
6) Saudara perempuan sekandung
7) Saudara perempuan seayah
8) Saudara perempuan seibu.
9) Istri
10) Seorang wanita yang memerdekakan budak.
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 41

Bila ada orang yang meninggal dunia (suami) dan ahli waris perempuan tersebut ada
semua, maka yang mendapatkan harta warisan hanya: (1). Istri, (2). Anak
perempuan, (3). Cucu perempuan dari anak laki-laki, (4). Ibu, (5). Saudara
prempuan kandung. Sedangkan yang lain adalah mahjub.

Jika ahli waris semua ada, baik laki-laki atau perempuan, maka yang mendapat
warisan hanyalah: (1). Suami/ istri, (2). Ayah, (3). Ibu, (4). Anak perempuan, (5)
Anak laki-laki. Sedangkan yang lain adalah mahjub.

7. Ahli waris dilihat dari kepastian memperoleh bagiannya secara quota atau
tidak, terbagai menjadi dua: (A. Ashhabul Furudh, dan B. Ashabah).

a. Ashhabul-furudh adalah semua ahli waris yang mendapat bagian (fardh, qouta)
tertentu seperti tertulis dalam An-Nisa' ayat 11, 12, dan 176, yaitu 1/2
(setengah), 1/4 (seperempat), 1/8 (seperdelapan), 2/3 (dua pertiga), 1/3
(sepertiga), dan 1/6 (seperenam).

b. Ashhabul Furudh ada dua belas orang:


1) Empat laki-laki, yaitu:
a) Ayah,
b) Kakek yang sah dan seterusnya ke atas,
c) Saudara laki-laki seinu, dan
d) Suami.

2) Dan delapan perempuan, yaitu:


a) isteri,
b) anak perempuan,
c) saudara perempuan sekandung,
d) saudara perempuan seayah,
e) saudara perempuan seibu,
f) anak perempuan dari anak laki-laki,
g) ibu,
h) dan nenek serta seterusnya sampai ke atas.

A. Bagian Ashhabul Furudh (‫ )أصحاب الفروض‬:


Secara terperinci, Ashhabul-furudh adalah sebagai berikut:
1. Bagian SETENGAH (1/2) harta. Ini ada lima orang, yaitu:
a. Seorang anak perempuan (jika tidak bersama-sama dengan anak laki).
b. Seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki (jika tidak ada cucu
perempuan atau cucu laki-laki keturunan anak laki-laki).
c. Suami (jika tidak ada anak).
d. Seorang saudara perempuan kandung (jika tidak ada saudara laki-laki
kandung).
e. Seorang saudara perempuan sebapakk (jika tidak ada saudara laki-laki
sebapakk).
2. Bagian SEPEREMPAT (1/4) harta adalah untuk dua orang ahli waris, yaitu:
a. Suami (jika ada anak) dan
b. Isteri (jika tidak ada anak).
3. Bagian SEPERDELAPAN (1/8) harta hanya diperuntukkan bagi seorang ahli
waris, yaitu isteri jika memiliki anak.
4. Bagian DUA PERTIGA (2/3) harta. Ini ada empat macam, yaitu:
a. Dua orang anak perempuan atau lebih (jika tidak ada anak laki-laki),
b. Dua orang cucu perempuan atau lebih (jika tidak ada cucu laki-laki atau
anak perempuan),
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 42

c. Dua orang saudara perempuan kandung atau lebih (jika tidak ada
saudara laki-laki kandung), dan
d. Dua orang saudara perempuan sebapakk atau lebih (jika tidak ada
saudara laki-laki sebapakk, anak perempuan, cucu perempuan, dan saudara
perempuan kandung).
5. Bagian SEPERTIGA (1/3) harta adalah untuk dua macam ahli waris, yaitu:
a. Ibu (jika tidak ada anak, atau tidak ada dua orang saudara atau lebih,
baik sekandung, sebapakk, maupun seibu) dan
b. Dua orang atau lebih saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan.
6. Bagian SEPERENAM (1/6) harta adalah menjadi hak dari tujuh macam ahli waris:
a. Bapakk (jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki),
b. Ibu (jika ada anak, atau ada dua saudara atau lebih),
c. Kakek (jika ada anak laki-laki, dan tidak ada bapakk),
d. Nenek (jika tidak ada ibu),
e. Saudara laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu (jika seorang diri
dan tidak ada anak, bapakk, dan kakek),
f. Cucu perempuan (jika bersama seorang anak perempuan), dan
g. Saudara perempuan sebapakk (jika bersama dengan saudara perempuan
kandung).
B. ASHABAH
a. Arti Ashabah
'Ashobah ‫ ))عصبة‬adalah jamak dari 'aashib ( ‫)عاصحب‬. Yang dimaksud disini ialah
mereka yang mendapatkan sisa sesudah Ashhabul Furudh (‫)أصححححاب الفحححروض‬
mengambil bagian-bagian yang ditentukan bagi mereka. Apabila tidak ada sisa
sedikitpun dari mereka (ashhaabul furuudh), maka mereka ('ashobah) tidak
mendapatkan apa-apa, kecuali bila 'Ashib itu seorang anak laki-laki, maka dia tidak
akan mendapatkan bagian, bagaimanapun keadaannya.
Dinamakan 'ashobah juga mereka yang berhak atas semua peninggalan bila tidak
didapatkan seorangpun di antara ashhaabul furuudh, karena hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim, dari Ibnu 'Abbas, bahwa Nabi saw
bersabda:
‫ صحيح مسلم‬.‫ل َذَكٍر‬
ٍ‫ج‬ُ ‫لْوَلى َر‬
َ ‫ى َفُهَو‬
َ ‫ض ِبَأْهِلَها َفَما َبِق‬
َ ‫حُقوا اْلَفَراِئ‬
ِ ‫َأْل‬
(59 ‫ ص‬،5 ‫)ج‬
"Berikanlah bagian-bagian yang telah ditentukan itu kepada pemiliknya yang
berhak menurut nash; dan apa yang tersisa maka berikanlah kepada 'ashobah
laki-laki yang terdekat kepada si mayit". Redaksi oleh Muslim.
b. PEMBAGIAN 'ASHOBAH
'Ashobah itu dibagi menjadi dua bagian :
1. 'Ashobah Nasabiyah,
2. 'Ashobah Sababiyah.
a) 'ASHOBAH NASABIYAH
'Ashobah Nasabiyah ada tiga golongan :
1) 'Ashobah bin nafsi
2) 'Ashobah bil ghoiri
3) 'Ashobah ma'al ghoiri.

'ASHOBAH BIN NAFSI


'Ashobah bin nafsi ialah semua orang laki-laki yang nasabnya dengan si mayit tidak
diselingi oleh perempuan. 'Ashobah bin nafsi ada empat golongan:
 Bunuwwah (keanakan), dianamakan juz-ul mayyit.
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 43

Ini meliputi: anak-anak laki-laki (‫)ابن‬ dan anak laki-laki dari anak laki-laki (‫ابن‬
‫ ) ابن‬dan seterusnya ke bawah.
 Ubuwwah (keayahan), dinamakan ashlul mayyit.
Ini meliputi: Ayah (‫ )أب‬, kakek (‫أب‬ ‫ )أبو‬dan seterusnya.
 Ukhuwwah (kesaudaraan), dinamakan juz-u abiih.
Ukhuwwah ini meliputu saudara-saudara laki-laki sekandung (‫ )أخ لبوين‬, saudara-
saudara laki-laki seayah (‫)أخ لب‬, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung (
‫)ابن الخ لبوين‬, anak-anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah (‫)ابن الخ لب‬,
dan seterusnya ke bawah.

 Umumah (kepamanan), dinamakan juz-ul jadd.

(‫ )العم لبوين‬, paman seayah (‫ )العم لب‬, anak laki-


Ini meliputi paman sekandung
laki paman sekandung (‫ )ابن العم لبوين‬dan (‫)ابن العم لب‬.
Cara pewarisannya adalah bila didapatkan sejumlah orang dari satu tingkatan, maka
yang paling berhak untuk mendapatkan warisan adalah mereka yang paling dekat kepada si
mayit.
Dan bila terdapat sejumlah orang yang sama hubungan nasabnya dengan si mayit dari
segi jihat dan derajat, maka yang paling berhak mendapatkan warisan adalah mereka yang
paling kuat hubungan kekerabatannya dengan si mayit.
'ASHOBAH BIL GHOIR
'Ashobah bil ghoir adalah kelompok perempuan atau wanita yang mendapatkan bagian
setengah bila sendirian dan duapertiga bila lebih dari seorang. yang bersama dengan
Mu’ashibnya. Perempuan-perempuan yang menjadi 'Ashobah bil ghoir ada empat :

 Seorang anak perempuan atau anak-anak perempuan, (‫ بنتان‬،‫)بنت‬


 Seorang anak perempuan atau anak-anak perempuan dari anak laki-laki,
‫ بنتا ابن‬،‫))بنت ابن‬
 Seorang saudara perempuan atau saudara-saudara perempuan sekandung,
‫ أختان لبوين‬، ‫) )أخت‬
 Seorang saudara perempuan atau saudara-saudara perempuan seayah.
(‫ أختان لب‬، ‫)أخت‬
Setiap golongan tersebut menjadi 'Ashobah bersama orang lain, yaitu saudara laki-
lakinya (mu’ashibnya). Dengan ketentuan bahwa laki-laki memperoleh dua bagian daripada
yang perempuan.

'ASHOBAH MA’AL GHOIRI (‫)عصبة مع الغير‬


'Ashobah ma’al ghoiri ialah setiap perempuan yang memerlukan perempuan lain untuk
menjadi 'Ashobah. 'Ashobah ma’al ghoiri ini terbatas hanya pada dua golongan dari
perempuan, yaitu :

 Saudara perempuan sekandung atau saudara-saudara perempuan sekandung (‫أخت أو‬


‫ )أختان لبوين‬bersama dengan anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-
laki. (‫)بنت أو بنت ابن‬
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 44

 Saudara perempuan seayah atau saudara-saudara perempuan seayah (‫أخت‬


‫ )أو أختان لب‬bersama dengan anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-
laki (‫ ;)بنت أو بنت ابن‬mereka mendapatkan sisa peninggalan sesudah furudh.

'ASHOBAH SABABIYAH
'Ashib Sababi adalah maula (tuan) yang memerdekakan. Bila orang yang
memerdekakan tidak ada, maka warisan itu bagi 'ashobahnya yang laki-laki.

HAJBU DAN HIRMAN

1. Pengertian:
Hajbu/ Hijab menurut bahasa berarti man'u: menghalangi, mencegah. Maksudnya adalah
terhalangnya seseorang tertentu dari semua atau sebagian warisannya karena adanya
orang lain. Sedangkan Hirman ialah terhalangnya seseorang tertentu dari warisannya
karena terjadi penghalang pewarisan.

2. Pembagian Hajbu

Hajbu ada dua macam :

a. Hajbu bil washfi, yaitu orang terhalang mendapatkan hak waris secara
keseluruhan karena berstatus pembunuh, murtad, atau menjadi budak.

b. Hajbu bisy-Syakhshi, yakni: Gugurnya hak waris sebagian atau keseluruhan


bagi seseorang, karena ada orang lain yang justru lebih berhak menerimanya. Ini
terbagi dua:

1) Hajbu Hirman. Yaitu, penghalang yang menggugurkan seluruh hak waris


seseorang, misal terhalangnya kakek karena ada bapakk.

Ahli waris yang dapat terkena hajbu hirman adalah;

Dari pihak Waris Lelaki

a) Kakek apabila ada Bapak. kakek yang jauh akan terhalang dengan
adanya kakek yang dekat

b) Saudara laki-laki sekandung (seibu- sebapak) (‫لبوين‬ ‫)أخ‬ bila ada:

(1). bapak

(2). anak laki-laki kandung

(3). cucu laki-laki dari anak laki-laki (‫ابن‬ ‫)ابن‬


c) Saudara L sebapak (‫لب‬ ‫ )أخ‬apabila ada:
(1). bapak

(2). anak L

(3). cucu L dari anak L

(4). saudara L seibu sebapak

(5). Saudara P seibu sebapak yang termasuk dalam golongan 'Asabah

Ma'a Ghairihi
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 45

d) Saudara L seibu dan Saudara P seibu (‫ أخححت لم‬،‫)أخ‬ apabila ada


bersama dengan:

(1) bapak

(2) Kakek

(3) anak L

(4) cucu L dari anak L dan seterusnya ke bawah

(5) anak P

(6) cucu P dari anak L dan seterusnya ke bawah

e) Cucu laki-laki dari anak L (‫)ابن ابن‬, apabila ada anak L (‫)بن‬, cucu
yang dekat akan menghalang cucu yang jauh (cicit)

f) Anak saudara dari saudara L seibu-sebapak (‫)ابن الخ لبوين‬, apabila


ada:
(1) bapak
(2) Kakek
(3) anak L
(4) cucu L dari anak L dan ke bawah
(5) saudara L sebapak

g) anak saudara dari saudara L sebapak (‫لب‬ ‫)ابن الخ‬ apabila ada:

(1). Bapak
(2). Kakek
(3). Anak L
(4). Cucu L dari anak L dan ke bawah
(5) saudara L sebapak
(6) anak saudara dari saudara L seibu sebapak
h) Bapak Saudara seibu-sebapak (‫ )العم لبوين‬apabila ada:
(1) bapak
(2) Kakek
(3) anak L
(4) cucu L dari anak L dan ke bawah
(5) saudara L sebapak
(6) anak saudara dari saudara L seibu sebapak
(7) anak saudara dari saudara L sebapak
i) Bapak Saudara sebapak (‫ )العم لب‬apabila adanya sama ada
(1) bapak
(2) Kakek
(3) anak L
(4) cucu L dari anak L dan ke bawah
(5) saudara L sebapak
(6) anak saudara dari saudara L seibu sebapak
(7) anak saudara dari saudara L sebapak
(8) Bapak Saudara seibu sebapak
j). Anak Bapak Saudara (sepupu) seibu-sebapak (‫لبوين‬ ‫ )ابن العم‬apabila
bersama dengan:
(1). bapak
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 46

(2) Kakek
(3). anak L
(4). cucu L dari anak L dan ke bawah
(5). saudara L sebapak
(6). anak saudara dari saudara L seibu sebapak
(7). anak saudara dari saudara L sebapak
(8). Bapak Saudara seibu sebapak
(9). Bapak Saudara sebapak

k) Anak Bapak Saudara (sepupu) sebapak (‫ )ابن العم لب‬apabila bersama:


(1) bapak
(2) Kakek
(3) anak L
(4) cucu L dari anak L dan ke bawah
(5) saudara L sebapak
(6) anak saudara dari saudara L seibu sebapak
(7) anak saudara dari saudara L sebapak
(8) Bapak Saudara seibu sebapak
(9) Bapak Saudara sebapak
(10) Anak Bapak Saudara (sepupu) seibu sebapak

Waris Perempuan
a) Nenek (‫أب‬ ‫ أم‬،‫ )أم أم‬apabila ada ibu (‫)أم‬
b) Cucu P dari anak L (‫ )بنت ابن‬apabila ada:
1) anak L (‫)ابن‬
2) 2 orang atau lebih anak P (‫)بنتان او أكثر‬, kecuali dia menjadi 'asabah
c) Saudara Perempuan seibu-sebapak (‫ )أخت لبوين‬apabila ada:
1) bapak
2) anak L
3) cucu L dari anak L dan ke bawah
d) Saudara Perempuan sebapak (‫ )أخت لب‬apabila ada:
1) bapak
2) anak L
3) cucu L dari anak L dan ke bawah
4) Saudara Perempuan seibu sebapak yang termasuk dalam golongan 'Asabah
Ma'a Ghairihi
5) 2 orang Saudara Perempuan seibu sebapak kecuali dia menjadi 'asabah.

e) Saudara Perempuan seibu apabila ada:


1) bapak
2) kakek
3) anak L
4) anak P
5) cucu L dari anak L dan seterusnya ke bawah
6) cucu P dari anak L dan seterusnya ke bawah

HAJBU NUQSHAN.
c. Hajbu Nuqshan, atau dinamakan juga: Hajbu bisy Syakhshi, yakni terhalang
memperoleh bagian sempurna lantaran ada seseorang.
Hajbu Nuqshon ini terjadi pada lima orang :
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 47

1. Suami terhalang dari separuh menjadi seperempat di waktu ada anak laki-laki.
(1/2 ¼)

2. Isteri terhalang dari seperempat menjadi seperdelapan di waktu ada anak lelaki
( ¼ 1/8)

3. Ibu terhalang dari sepertiga menjadi seperenam di waktu ada keturunan yang
mewarisi. (1/3 1/6)

4. Anak perempuan dari anak laki-laki.

5. Saudara perempuan seayah.

d. Hajbu Hirman, yakni terhalangnya seseorang ahli waris untuk memperoleh


warisan, missal sebagai pembunuh. Atau bersama dengan seseorang tertentu,
sehingga tidak mendapatkan sama sekali harta waris.

Ahli waris yang tidak terkena hajbu hirman adalah :

1) Ayah

2) Ibu,

3) Anak laki-laki dan

4) Anak perempuan ,

5) Suami, atau

6) Istri.

‘AUL DAN RAD

Dalam masalah Aul dan Rad, kaidahnya adalah:

1. Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli warisnya Dzawil furud
menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka
penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta
warisnya dibagi secara Aul menurut angka pembilang.

2. Apabila dalam pembarian harta warisan di antara para ahli waris Dzawil furud
menunjukkanbahwa angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut, sedangkan
tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara
rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedang sisanya dibagi
berimbang di antara mereka.
Masala
CONTOH-CONTOH
Misal h AUL
MASALAH 'AUL
Ahli AM Contoh No. 1
TAM= 10
Waris =6
Suami 1/2 3 3 Contoh No. 2
2 orang
Ahli waris AM TAM
saudara
pr
2/3 = 64 =4 8
Suami
kandung 1/2 3 3/8 3
Ibu
2 orang 1/6 1 1/8 1
saudara
Saudara 1/2 3 2 3/8
1/3 23
pr seibu
Prmp
sekandung
Ibu 1/6 1 1
Saudara
Jumlah 1/6 110 1/8 101

Ket:
AM = Aslul Mas'alah
TAM = Tashih Aslul Mas'alah/ koreksi Asal
mas'alah
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 48

Prmp seibu
Jumlah 8 8

CARA PEMECAHAN MASALAH-MASALAH 'AUL


Cara pemecahan masalah Aul ialah harus mengetahui pokok masalah, yakni yang
menimbulkan masalah itu, dan mengetahui saham-saham setiap ashhabul furudh serta
mengabaikan pokonya. Kemudian bagian-bagian mereka dikumpulkan, dan
kumpulan itu dijadikan sebagai pokok. Lalu peninggalan dibagi atas dasar itu. Dan
dengan demikian, maka akan terjadi kekurangan bagi setiap orang sesuai dengan
sahamnya. Di dalam masalah ini tidak ada kezaliman dan kecurangan.
Misalnya, bagi suami dan dua orang saudara perempuan sekandung, maka pokok
masalahnya adalah enam, untuk suami separuh, yaitu tiga, dan untuk dua orang
saudara perempuan sekandung duapertiga, yaitu empat. Maka jumlahnya menjadi
tujuh. Dan tujuh itulah yang menjadi dasar pembagian harta peninggalan. Lihat
contoh berikut ini:

Contoh
'AUL
AM
Ahli Waris 6 7
Suami 1/2 3 3/7 3
2 orang
saudara
2/3 4 4/7 4
kandung

Jumlah 7 7

B. Radd (‫)الرد‬
Kata radd berarti i'aadah (‫)العادة‬: mengembalikan. Yang dimaksud radd menurut para
Ahli Fikih ialah pengembalian apa yang tersisa dari bagian dzawul furudh nasabiyah kepada
mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka bila tidak ada orang lain yang berhak
untuk menerimanya. Yang tidak menerima bagian Radd adalah suami atau istri.
Misal: Perhitungan
RADD
Ahli
AM= Rad=
Waris x5
6 30 5
Ibu 1/6 1 5 1/5 +1 6
5 @
2 anak pr 2/3 4 20 4/5 +4 24 12
Jumlah 5 25 +5 30
Rad 1 5
Ket: AM = Aslul Mas’alah

Conto
h Rad
I Rad 4 II III IV
Ahli
AM=
waris 48
12 x 4
1
12
Suami 1/4 3 2
8 2/8 = +
8
Ibu 1/6 2 1/4 1 9
Anak 1/2 6 6/8 = 24 + 2
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 49

Prmp
3/4 3 7
tunggal
Jumlah 11 44
48
Rad 1 4

Keterang
an:
Untuk mengolah bagian
Rad:
1. Jumlahkan bagian perolehan yang
mendapatkan Rad.
Suami atau istri tidak memperoleh bagian
Rad.
2. Hasil jumlah tersebut (no.1) jadikan
penyebut.
3. Perolehan Ahli waris pada angka Romawi I
dijadikan
pembilang. Atau jadikan KPK-nya.
4. Setelah menemukan KPK Rad, lalu dibuat
mengalikan
Aslul Masalah. Dalam contoh 12 x 4
= 48
5. Angka Romawi III Rad yang ditambahkan pada
ahli waris
6. Angka Romawi IV hasil akhir perolehan ahli
waris.

LANGKAH-LANGKAH PERHITUNGAN WARISAN:


1. Tentukan ahli warisnya lebih dulu, laki-laki ataukah perempuan.

2. Tentukan perolehannya ashhabul furudh atau ashabah.

3. Tentukan mana yang mahjub bil washfi/ ahli waris yang terkena hajbu hirman.

4. Tentukan ahli waris apa semuanya dzawil furudh saja, atau ashabah semua, ataukah
terdiri dari dzawil furudh dan ashabah.

MASALAH-MASALAH KEWARISAN:

1. Gharrawain

Ini ada dua perasalahan perwarisan:

a. Suami, Ibu, Bapak:

b. Istri, Ibu, Bapak:

Ahli A A Ahli A A
Waris M M Waris M M
6 6 12 12
Suami 1/2 3 1/2 3 Istri 1/4 3 1/4 3
1/3 1/3
Ibu 1/3 2 sisa 1 Ibu 1/3 4 sisa 3
sisa sisa sisa sisa
Bapak hrt 1 hrt 2 Bapak hrt 5 hrt 6
Jumlah 6 6 Jumlah 12 12

Perhatikan bagian Ibu dan Bapak dalam kedua masalah di atas. Ini adalah untuk
mensesuaikan prinsip: Laki-laki memperoleh dua bagian dari perempuan (2; 1).
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 50

WASIAT

Tentang Wasiat diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 194 - 204.

Sebelum harta benda dibagi untuk para ahli warisnya, harta peninggalan si mayit harus
dikeluarkan untuk keperluan wasiatnya (kalau ada) atau hutangnya (kalau ada). Setelah itu
barus dibagi untuk ahli warisnya, seperti tertulis dalam QS. An-Nisa’, 4: 11; Al-Maidah, 5:
106 dan hadits Nabi SAW.

‫ئ ُمسِْلٍم َلُه‬
ٍ ‫ق اْمِر‬
ّ‫ح‬ َ ‫ َما‬: ‫ل‬ َ ‫سّلَم َقا‬
َ َ‫عَلْيِه و‬
َ ‫ل‬ُّ ‫صّلى ا‬ َ ‫ل‬ ِّ ‫ل ا‬
َ ‫سو‬ ُ ‫ن َر‬
ّ ‫عْنُهَما َأ‬
َ ‫ل‬ ُّ ‫ي ا‬
َ‫ض‬ِ ‫عَمَر َر‬
ُ ‫ن‬
ِ ‫ن اْب‬
ْ‫ع‬َ
‫عْنَدُه‬
ِ ‫صّيُتُه َمْكُتوَبٌة‬
ِ ‫ل َوَو‬ ّ ‫نإ‬ ِ ‫ت َلْيَلَتْي‬
ُ ‫ي ِفيِه َيِبي‬
َ‫ص‬ ِ ‫ن ُيو‬ ْ ‫يٌء ُيِريُد َأ‬
ْ ‫ش‬
َ
Hadis riwayat Ibnu Umar, ia berkata: Bahwa Rasulullah bersabda: Tidak baik bagi
seorang muslim memiliki sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam dua malam, kecuali
wasiatnya itu tertulis di sisinya. (Shahih Muslim No.3074)
Ada beberapa ketentuan dalam berwasiat, sbb.:

1. Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa
adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau
lembaga.

2. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.

3. Pemilikan terhadap harta benda bagi orang yang menerima wasiat baru dapat
dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.

4. Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua
orang saksi, atau dihadapan Notaris.

5. Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali


apabila semua ahli waris menyetujui.

6. Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris dan dibuat secara
lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan
Notaris.

7. Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengan tegas dan
jelas siapa- siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang
diwasiatkan.

BATAL WASIAT:

1. Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan


Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:

a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya


berat kepada pewasiat;

b. dipersalahkan secara memfitrnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat


telahmelakukan sesuatu kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau
hukuman yanglebih berat;

c. dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk


membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima
wasiat;
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 51

d. dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat


dan pewasiat.

2. Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:

a. tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai meninggal dunia sebelum


meninggalnya pewasiat;

b. mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya;

c. mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau
menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.

3. Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah.

4. Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatu benda
haris diberikan jangka waktu tertentu.

5. Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum


menyatakan persetujuan atau sesudah menyatakan persetujuan tetapi kemudian
menarik kembali.

6. Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua
orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua prang saksi atau berdasarkan akte
Notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan, dengan ketentuan:

a. Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis
dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte Notaris.

b. Bila wasiat dibuat berdasarkan akte Notaris, maka hanya dapat dicabut
berdasartkan akte Notaris.

7. Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila karena suatu sebab yang sah
mengalamipenyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat meninggal dunia,
maka penerima wasiathanya akan menerima harta yang tersisa.

8. Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris ada
yang tidak menyetujui,maka wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta
warisnya.

9. Apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan sedangkan harta


wasiat tidak mencukupi, maka ahli waris dapat menentukan kegiatan mana yang
didahulukan pelaksanaannya.

10. Apabila surat wasiat dalam keadaan tertup, maka penyimpanannya di tempat
Notaris yang membuatnya atau di tempat lain, termasuk surat-surat yang ada
hubungannya.

11. Bilamana suatu surat wasiat dicabut sesuai dengan Pasal 199 maka surat wasiat
yang telah dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat.

12. Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang tertutup dan disimpan
pada Notaris,dibuka olehnya di hadapan ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan
dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat itu.

13. Jikas surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada Notaris maka penyimpan
harus menyerahkan kepada Notaris setempat atau Kantor Urusan Agama setempat dan
selanjutnya Notaris atau Kantor Urusan Agama tersebut membuka sebagaimana
ditentukan.
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 52

14. Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh Notaris
atau Kantor Urusan Agama diserahkan kepada penerima wasiat guna penyelesaian
selanjutnya.

TIDAK BERHAK MENERIMA WASIAT

Wasiat tidak diperbolehkan kepada:

1. Orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang

2. Orang yang memberi tuntunan kerohanian sewaktu ia menderita sakit sehingga


meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa.

3. Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akte tersebut.

4. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3, begitu juga bapak angkatnya.

============

evaluasi

A. Pilihlah jawaban yang tepat pada opsi a, b, c, d atau e

1. Ilmu yang pertama kali dihilangkan Allah dari muka bumi adalah ilmu:
A. Fara’id/ waris
B. Bumi
C. Matematika
D. Fisika
E. Biologi
2. Ilmu waris adalah ilmu yang membahas tentang:
A. Pembagian uang dan harta benda
B. Pembagian warisan, dan orang yang memperolehnya
C. Harta peninggalan dan keturunannya
D. Pembagian rugi -laba harta warisan
E. Pengganti orang yang memberi warisan.
3. Orang muslim tidak berhak memperoleh warisan dari pewaris;
A. Fasik
B. Fakir
C. Kafir
D. Munafik
E. Mukallid
4. Tidak membagi harta warisan menurut ketentuan Allah dipandang sebagai;
A. Fasik
B. Fakir
C. Zalim
D. Zakki
E. Zindiq
5. Hukum mempelajari ilmu Fara’id adalah:
A. Fardhu ain
B. Fardhu kifayah
C. Sunnah
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 53

D. Makruh
E. Mubah.
6. Orang yang terhalang memperoleh warisan adalah;
A. Membunuh pencuri.
B. Bunuh diri
C. Membunuh pewarisnya
D. Membunuh pacarnya
E. Membunuh orang kafir
7. Anak laki-laki termasuk ahli waris:
A. Ashhabul Furudh
B. Ashhabul Ashabah
C. Dzawul Arham
D. Dzawul Wurud
E. Dzawul Fulus.
8. Anak perempuan termasuk ahli waris:
A. Dzawul Fulus.
B. Ashabah bin Nafsi
C. Ashabah bil ghair
D. Dzawul Arham
E. Dzawul Wurud
9. Bapak, adalah ahli waris:
A. Yang tidak dapat terhalang sama sekali
B. Yang dapat terkurangi haknya
C. Yang dapat haknya bila ada istri
D. Yang terhalang karena ada kakek
E. Betulnya semua.
10. Zaid adalah suami dari Laila. Kewarisan mereka ini karena:
A. Hubungan nasab
B. Hubungan perkawinan
C. Hubungan perwala’an
D. Hubungan kekerabatan
E. Hubungan persaudaraan.
=============

JAWAB PERTANYAAN
BERIKUT INI:
1. Apa yang dikehendaki dengan Ilmu Mawaris ?
Jawab: ........................................................................................................
........................................................................................................
2. Apa tujuan mempelajari ilmu fara’id ?
Jawab: ........................................................................................................
........................................................................................................
3. Sebutkan orang-orang yang terhalang memperoleh warisan ?
Jawab: ........................................................................................................
........................................................................................................
4. Sebutkan sebab-sebab orang memperoleh warisan ?
Jawab: ........................................................................................................
........................................................................................................
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 54

5. Tulislah dalil/ nash yang menunjukkan seorang pembunuh tidak mendapatkan


warisan !
Jawab: ........................................................................................................
........................................................................................................
===========

PENGAYAAN

1. Siapakah Ashhabul Furudh yang mendapatkan bagian ½ (setengah) harta ?


Jawab: ........................................................................................................
........................................................................................................
2. Siapakah Ashhabul Furudh yang mendapatkan bagian ¼ (seperempat) harta ?
Jawab: ........................................................................................................
........................................................................................................
3. Siapakah Ashhabul Furudh yang mendapatkan bagian 1/8 (seperdelapan) harta ?
Jawab: ........................................................................................................
........................................................................................................
4. Siapakah Ashhabul Furudh yang mendapatkan bagian 2/3 (duapertiga) harta ?
Jawab: ........................................................................................................
........................................................................................................
5. Siapakah Ashhabul Furudh yang mendapatkan bagian 1/6 (seperenam) harta ?
Jawab: ........................................................................................................
........................................................................................................

ULANGAN AKHIR SEMESTER


GENAP
1. Dalam al-Qur’an, akad perkawinan disebutkan sebagai ikatan yang kuat dengan istilah:
A. Mitsaqan Tsaqilan.
B. Mitsaqan Jazman
C. Mitsaqan Ghalizhan
D. Mirfaqan Ghalizhan
E. Mitsaqan Dhaifan
2. Pada dasarnya hukum perkawinan adalah:
A. Wajib
B. Sunnah
C. Makruh
D. Haram
E. Boleh/ ja’iz
3. Orang (lelaki) yang sudah mampu secara materi dan jasmani dan dikhawatirkan
melakukan perzinaan, maka nikah baginya adalah:
A. Wajib
B. Haram
C. Sunah
D. Makruh
E. ja’iz/ mubah.
4. Orang yang melakukan hidup bersama tanpa ikatan perkawinan akan timbul bencana.
Di antaranya adalah;
A. Sipilis
B. Gonorhe
C. Kencing nanah
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 55

D. AIDS
E. Betul semua.
5. Unsur-unsur yang harus terpenuhi dalam perkawinan adalah sebagai berikut:
A. Calon Suami, dan Calon Isteri,
B. Wali Nikah
C. Dua orang saksi
D. Ijab dan Kabul.
E. Betul semua.
6. Usia minimal perkawinan bagi wanita menurut Kompilasi Hukum Islam adalah:
A. 10 tahun
B. 16 tahun
C. 20 tahun
D. 25 tahun
E. 30 tahun.
7. Anak perempuan dari istri adalah tidak boleh dinikah. Ini halangan dari segi:
A. Dari segi nasab
B. Dari segi perkawinan
C. Dari segi persusuan
D. Dari segi persaudaraan
E. Dari segi perhitungan
8. Dalam kehidupan berumahtangga, suami-istri sering terjadi cekcok berkepanjangan
sehingga berakhir fatal. Talak tak dapat dihindarkan. Hukum asal talak adalah:
A. Makruh
B. Sunnah
C. Haram
D. Wajib
E. Mubah
9. Perceraian antara suami-istri dipandang sah, menurut UU Perkawinan No. 1 Th. 1974
adalah di depan:
A. Di depan Penghulu/ KUA.
B. Di depan Masjid
C. Di depan pengadilan Agama
D. Di Pengadilan Negeri
E. Di depan mertua wanita
10. Dalam perceraian ada yang namanya TALAK TEBUS. Yang dimaksud dengan
istilah itu adalah:
A. Talak ba’in
B. Talak raj’i
C. Khulu’
D. Khuruj
E. Li’an
11. Perhatikan ayat ini: ْ ‫عَلْيِهَما ِفيَما اْفَتَد‬
‫ت‬ َ ‫ح‬
َ ‫جَنا‬
ُ ‫ل َفل‬
ِّ ‫حُدوَد ا‬
ُ ‫خْفُتْم َأل ُيِقيَما‬
ِ ‫ن‬
ْ ‫َفِإ‬
‫ِبِه‬
Ayat tersebut adalah tentang kasus;
A. Talak ba’in
B. Li’an
C. Talak raj’i
D. Khulu’
E. Khuruj
12. Akibat yang timbul dari kasus Li’an sangat fatal. Di antaranya adalah:
A. Boleh ruju’
B. Tidak boleh ruju’ untuk selamanya
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 56

C. Boleh mengadakan surat-menyurat


D. Tidak boleh mengadakan kontak person melalui SMS
E. Boleh dinikah orang lain.
13. Kata-kata suami: “Kamu tertalak bila meninggalkan shalat”. Talak seperti ini jatuh
manakala si istri meninggalkan shalat. Talak tersebut dinamakan:
A. Talak mu’allaq
B. Talak ghairu mu’allaq
C. Talak ba’in
D. Talak raj’i
E. Talak bid’ah.
14. Perceraian yang terjadi karena suami sudah tidak sanggup memberi nafkah kepada
istrinya adalah:
A. Makruh
B. Sunnah
C. Haram
D. Wajib
E. Mubah
15. Perkawinan pesanan dengan wanita dari suami yang telah mentalak tiga disebut
dengan:
A. Cina buta
B. Cinta buta
C. Baju cina
D. Gadung cina.
E. Petai cina
16. Status hukum nikah sirri adalah:
A. Sah dan halal
B. Tidak sah dan haram
C. Sah tapi haram
D. Sah tapi makruh
E. Tidak sah dan tetap haram
17. Saksi dalam perkawinan dipandang sebagai keharusan. Di bawah ini salah satu syarat
sebagai saksi:
A. Adil
B. Jujur
C. Benar
D. Tidak pernah melakukan dosa besar
E. Benar semua.
18. Di bawah ini termasuk mahram sebab persusuan, kecuali:
A. Ibu persusuan,
B. ibu dari ibu persusuan, seperti nenek dari jalur ayah
C. Anak perempuan dari ibu persusuan
D. Saudara perempuan dari orangtua (ayah/ ibu) yang suka minum susu
E. Bibi (dari pihak ayah atau ibu) sepersusuan
19. Perempuan yang ditalak bain sughra (talak satu atau dua) boleh dirujuk:
A. di masa iddah
B. dengan akad nikah baru
C. tidak usah nikah baru
D. nikah baru di asa iddah
E. Betul semua.
20. Yang berhak mengasuh anak balita sewaktu terjadi perceraian, adalah:
A. Ayah
B. Kakek
C. Ibu
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 57

D. Nenk
E. Saudara.
21. Zhihar menurut arti bahasa adalah:
A. Punggung
B. Waktu Zhuhur
C. Lahir
D. Jelas
E. terang benderang.
22. Contoh Zhihar seperti berikut:
A. Bagimu, aku adalah seperti punggung ibuku
B. Bagiku, kamu seperti punggung ibuku
C. Bagimu, akamu adalah seperti punggung ibumu
D. Baginya, aku adalah seperti punggung ibuku
E. Bagimu, di adalah seperti punggung ibuku
23. Maksud yang terkandung dalam pelaksanaan Iddah bagi wanita yang ditalak,
adalah:
A. Untuk mengetahui ada-tidaknya menstruasi wanita
B. Untuk mengetahui janinnya.
C. Untuk mengetahui ada-tidaknya janin dalam kandungan.
D. Hanya sekedar menjalani syari’at.
E. Untuk kepentingan penelitian tentang bayi.

24. Di bawah ini termasuk batalnya perkawinan:


A. Fasakh
B. Iddah
C. Rujuk
D. Khulu’
E. Hadhanah.
25. Wanita yang ditalak raj’i, berhak menerima:
A. Belanja dan tempat tinggal
B. Nafkah dan tempat tinggal
C. Tempat tinggal tanpa belanja
D. Tempat tinggal saja
E. Belanja saja.
26. Pembunuhan tidak sengaja pada pewaris:
A. Tidak dapat menerima warisan
B. Dapat menerima warisan
C. Dapat menerima warisan dengan syarat
D. Dipenjara sehingga tidak merima warisan
E. Anaknya yang dapat menerima warisan.

27. Ayah bila bersama dengan anak perempuan, memperoleh:


A. 1/6 bagian
B. 1/6 bagian + Ashabah
C. Ashabah
D. 1/3 bagian
E. ¼ bagian.
28. Dalam kasus Gharrawain, ibu memperoleh:
A. 1/3 bagian
B. 1/6 bagian
C. 1/3 sisa
D. ¼ bagian
E. 2/6 bagian.
26 Desember 2010 Ahad Pon ME Fikih XI
smtr Genap 58

29. Suami bersama anak dari istri, mendapat bagian:


A. ½ harta
B. ¼ harta
C. Ashabah
D. ¼ sisa
E. 1/8 harta.

30. Wasiat yang disampaikan orang sehari sebelum meninggal dunia, dapat
dipandang sah bila disampaikan:
A. Secara lisan
B. secara tertulis
C. Secara jelas
D. Pada penerima wasiat langsung
E. Pada orang yang dapat dipercaya.
============

Anda mungkin juga menyukai