Tim Penyusun:
Kelompok 6
INDAH SELVIA KELVIANA E93217064
ROFIQOH NUR JANNAH E03217043
HUBBI ALFARODIES ACHMAD E93217106
1Sahiron Syamsuddin, dkk, Hermeneutika al-Qur’an MAzhab Yogya (Yogyakarta: Islamika, 2003), 69-70.
2Umar Shihab, Kontektualitas al-Qur’an KAjian Tematik Ayat-Ayat Hukum Dalam al-Qur’an (Jakarta: Permadani,
2005), 69.
3Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan), 26.
Ayat-ayat tentang Waris 2
maupun pembagian harta warisan. Pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan yang
terlihat lebih mengunggulkan salah satu menimbulkan suatu perselisihan.4
Islam merinci dan menjelaskan melalui al-Qur’an bagian tiap-tiap ahli waris dengan
tujuan mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Meskipun damikian, sampai saat ini persoalan
pembagian harta waris masih menjadi penyebab timbulnya keretakan hubungan keluarga karena
keserakahan dan ketamakan manusia. Disamping hal itu, kericuhan itu sering disebabkan oleh
kurang tahunya ahli waris akan hakikat waris dan cara pembagiannya. Kurang pedulinya umat
islam terhadap disiplin ilmu ini memang tidak dipungkiri lagi, bahkan Imam Qurtubi telah
mengisyaratkanya: “ Betapa banyak manusia sekarang mengabaikan ilmu faraid.
Dalam praktek kehidupan sehari-hari, persoalan waris seringkali menjadi krusial yang
terkadang memicu pertikaian dan menimbulkan keretakan hubungan keluarga. Penyebab
utamanya ternyata disebabkan oleh ketamakan dan keserakahan manusia, disamping kurang
tahunya mengenai ilmu faraid. Padahal Allah swt telah mengatur pembagian waris secara lengkap
dalam al-Qur’an. Sementara itu, disii lain, secara kenyataan bhawa beberapa kalangan termasuk
pelajar disekolah-sekolah islam, menganggap faraid sebagai momok yang menakutkan.
Allah swt. Telah menegaskan dan merincikan bagian setiap ahli waris yang berhak untuk
menerimanya. Perlu diketahui bahwa ayat 11, 12, dan 176 dalam surah an-Nisa merupakan asas
ilmu faraid, didalamnya berisi aturan dan tatacara yang berkenaan dengan hak dan pembagian
waris secara lengkap. Oleh sebab itu, orang yang memiliki pengetahuan dan hala ayat-ayat
tersebut akan lebih mudah untuk mengetahui bagian setiap ahli waris, sekaligus mengenali himah
Allah Yang Maha Bijaksana.
Allah yang Maha Adil tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli waris. Bahkan
dengan aturan yang sangat jelas dan sempurna. Allah menentukan pembagian hak setiap ahli
waris dengan adil serta penuh kebijak sanaan. Allah menerapkan hal ini dengan tujuan
mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia, meniadakan kezaliman di kalangan mereka,
menutup ruang gerak para pelaku kezaliman, serta tidak membiarkan terjadinya pengaduan yang
terlontar dari hati orang-orang yang lemah.
BAB II
4Ayu Faizah, dkk, Konsep Keadilan Gender Dalam Pembagian Warisan, Diya al-Afkar,Vol. 4, No. 02, Desember
2016, 23.
Ayat-ayat tentang Waris 3
PEMBAHASAN
Asbabul Nuzul
Sebab turunnya ayat ini diriwayatkan oleh Ahmad dari Jabir, dia berkata, “Wahai
Rasulullah, ini adalah dua anak perempuan Sa’ad bin Rabi’, ayahnya meninggal sebagai syahid
dalam perang uhud bersamamu, paman anak ini mengambil seluruh hartanya dan tidak
menyisakan untuknya sedikit pun, dan tidaklah keduanya menikah melainkan memiliki harta,
‘Nabi bersabda, ‘Allah akan memutuskan hal itu. ‘Maka turunlah ayat ini. Maka Rasulullah
mengirimkan utusan kepada paman anak itu. Rasulullah bersabd, ‘Berikanlah dua pertiga harta
kepada kedua putri Sa’ad, kepada ibunya seperdelapan, dan sisanya untuk kamu.” Yang jelas,
Ayat-ayat tentang Waris 4
bahwa hadits jabir yang pertama, yaitu yang diriwayatkan oleh Bukhari menjadi sebab bagi
turunnya ayat surat ini.5
Penafsiran :
Ayat ini merinci ketetapan-ketetapan tentang bagian-bagian hak waris, takwil firman
ِّ لذ َك ِر ِمثْل َح
Allah : ظ األ ْن َثَي ْي ِن َّ ِالد ُك ْم ل
ِ وصي ُكم اللَّهُ فِي َأو
ْ
ِ ي
ُ
ُ ُ
Abu jafar berkata: Makna firmannya : ُك ُم اللَّه ِ “ يAllah mensyariatkan bagimu.” Adalah,
ُ وصيُ
ِّ لذ َك ِر ِمثْ ل َح
“Allah mensyariatkan kepada kalian, ظ األ ْن َثَي ْي ِن َّ ِالد ُك ْم ل
ِ ’ فِي َأوTentang (pembagian pusaka
ْ
ُ
untukmu) anak-anakmu. Yaitu:bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak
perempuan’, Allah berfirman, ‘Allah mensyariatkan kepada kalian jika salah seorang diantara
kalian meninggal dunia dan meninggalkan anak laki-laki dan perempuan, maka semua anak-laki-
laki dan perempuan berhak atas warisan. Bagian laki-laki sama dengan bagian dua bagian anak
perempuan.”
Kata “mitsu” dirafa’kan karena ia menjadi sifat, yaitu bagi huruf lam pada firman Allah, لِل
ِ “ يAllah
“ َّذ َك ِرBagian anak laki-laki”. Kata “mitslu” tidak dinasab oleh firman Allah, ُوص ي ُك ُم اللَّهُ
mensyariatkan bagimu” ‘sebab wasiat dalam firman Allah ini merupakan sebuah pemberitahuan,
yang bearti “perkataan” (Allah berfirman kepada kalian). Sedangkan prkataan itu tidak “jatuh”
pada nama-nama yang diberitakan tersebut. Jadi, dalam hal ini seakan-akan Allah berfirman,
“Hak kamu dalam (Pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki
diantara mereka, sama dengan bagian dua orang anak prempuan.”
Abu Ja’far berkata : Telah bahwa ayat ini diturunkan kepada Nabi SAW sebagai sebuah
penjelasan dari Allah tentang ketetuan yang diwajibkan ketika seseorang mewarisi orang yang
meninggal dunia, juga tentang hak untuk mewarisi yang dimiliki ahli waris, sebagaimana yang
telah dijelaskan tadi, sebab orang-orang jahiliyah dahulu tidak memberikan harta warisan mereka
kepada seorang ahli waris pun yang tidak nurut menghalau musuh dan berperang, yaitu anak-anak
mereka yang masih kecil dan istri-istri mereka.
Mereka mengkhususkan harta warisan mereka kepada orang-orang yang ikut berperang,
bukan kepada keturunan mereka.
Selanjutnya Allah SWT memberitahukan bahwa warisan yang ditinggalkan oleh orang
yang meninggal dunia itu berhak diwarisi oleh orang-orang yang disebutkan dan wajib menerima
warisan dalam ayat ini pada akhir surah.
5M.Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, (Jakarta:Gema Insani Press, 1999),
659.
Ayat-ayat tentang Waris 5
Allah berfirman tentang anak yang masih kecil dan sudah dewasa, yang laki-laki dan
perempuan, “Mereka berhak mewarisi harta ayah mereka jika tidak ada ahli waris lain selain
mereka. Bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan.”6
ِ
Takwil firman Allah : ق ا ْثنََت ْي ِن َفلَ ُه َّن ُثلُثَ ا َم ا َت َر َك ً ( فَ ِإ ْن ُك َّن ن َسdan jika anak itu semuanya
َ اء َف ْو
perempuan lebih dari dua maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan).
Abu Ja’far berkata :Maksud Firman Allah, فَ ِإ ْن ُك َّنadalah “jika yang ditinggalkan itu
ditinggalkan.” Sehingga anak-anak perempuan itu mendapatkan bagian dua pertiga dari harta
pusaka yang ditinggalkan oleh ayah mereka, tapi tidak untuk ahli warits yang lainnya, jika ayah
mereka tidak mempunyai anak laki-laki bersama mereka.
Pakar bahasa Arab berpendapat tentang firman Allah “ فَِإ ْن ُك َّنDan jika anak itu semuanya
perempuan.”
Sebagian pakar nahwu Bashrah berpendapat (Bahwa makna firman Allah tersebut adalah
seperti pendapat yang telah kami kemukakan sebelumnya, “jika orang-orang yang ditinggalkan
oleh si mayit semuanya adalah perempuan.” Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian fakar
nahwu.
Sebagian fakar nahwu lainnya berpendapat (bahwa makna firman Allah tersebut adalah),
jika anak-anak.
Abu Ja’far berkata : Menurut saya, pendapat pertama yang kami ceritakan dari kalangan
ulama Bashrah, lebih mendekati kebenarannya, sebab jika yang dimaksud oleh firman Allah : فَِإ ْن
“ ُك َّنDan jika anak itu semuanya perempuan”. Adalah al awlad (anak-anak), maka akan
dikatakan, wa in kaanuu (dan jika mereka), karena kata al awlad (anak-anak) adalah bentuk
jamak yang mencakup mudzakar dan mua’anas. Jika memang itu yang dimaksud, maka
seharusnya dikatakan, wa in kanu, bukan wa in kunna.7
Ada sedikit perbedaan dalam penafsiran potongan ayat tersebut dimana dalam tafsir Al-
Misbah dijelaskan bahwa penggalan ayat ini tidak menjelaskan beberapa bagian yang diperoleh
seandainya yang ditinggal dua orang anak perempuan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa
bagian dua orang perempuan sama dengan bagian lebih dari dua orang perempuan.8
Sedangkan tafsir Ibnu Katsir berpendapat bahwa: Jika semua anak itu perempuan dan
lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari pusaka yang ditinggalkan. Sebagian ulama
mengatakan bahwa kata fauqa merupakan tambahan. Pendapat ini tidak dapat diterima karena di
dalam al-Qur’an tidak adaungkapan tambahan yang tidak bermanfaat. Allah menetapkan bagian
dua pertiga bagi dua saudara perempuan. Jika dua saudara perempuan mendapat bagian
duapertida, maka bagian duapertiga maka bagian duapertiga bagi dua nak perempuan tentu lebih
utama lagi.9
( َولَ ٌدjika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua
orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak).
ditinggalkan itu satu orang, maka baginya setengah (bagian dari harta pusaka). Allah berfirman,
untuk anak perempuan yang seorang itu, setengah bagian dari harta yang ditinggalkan, jika tidak
ada anak lainnya bersamanya, baik anak laki-laki maupun perempuan.”
Jika seorang berkata, “Firman Allah ini berisi tentang bagian bagi seorang wanita, lalu
beberapa bagian untuk dua orang wanita atau lebih. Maka bagian mereka telah dijelaskan di
dalam sunnah, tentang warisan, yang tidak ada keraguan di dalamnya.”10
Sedangkan dalam tafsir ibnu katsir dijelaskan bahwa: “Jika anak perempuan itu seorang,
maka bagiannya setengah.” Seandainya dua anak prempuan mendapat bagian setengah, niscaya
bagian ini ditetapkan pula bagi du saudara perempuan. Namun, tatkala bagian setengah ini
ditetapkan pulla bagi dua orang saudara perempuan. Namun, tatkala bagian setengah ini
ditetapkan bagi anak perempuan yang sendiri, maka hal itu menunjukan bahwa dua anak
perempuan itu mendapat ketetentuan bagian dua pertiga.11
Firman Allah, ألب َويْ ِه
َ “ َوDan untuk dua orang ibu-bapak,” maknanya adalah, “Bagi kedua
orang tua dari seseorang yang telah meninggal dunia, masing-masing mendapatkan seperenam
dari sesuatu yang ditinggalkan dan dari harta pusaka yang diwariskan. Dalam hal ini, ibu dan
ayah mendapatkan bagian yang sama (yaitu seperenam). Tidak ada seorang pun dari keduanya
yang melebihi seperenam itu, jika orang yang meninggal dunia itu mempunyai anak, baik
anaknya itu laki-laki maupun perempuan, baik satu orang maupun beberapa orang.”
Takwil firman Allah : ث ُّ ألم ِه
ُ ُالثل ْ ( فَ ِإ ْن لjika orang yang meninggal
ِّ ََم يَ ُك ْن لَهُ َولَ ٌد َو َو ِرثَ هُ ََأب َواهُ ف
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga).
Abu Ja’far berkata : Makna firman Allah, ُك ْن لَه ْ فَِإ ْن لadalah, “jika yang meninggal dunia
ُ ََم ي
itu tidak mempunyai anak laki-laki atau anak perempuan, dan dia hanya diwarisi oleh ibu-
Abu Ja’far berkata: Jika seseorang berkata,”Apa makna penyebutan hukum (bagian)
bapak-ibu bersama dengan saudara perempuan dan tidak ada penyebutan merek bersama saudara
laki-laki?” maka aku katakana, “Perbedaan hukum keduanya bersama dengan saudara perempuan
yang berkelompok dan satu saudara laki-laki. Tidak dibutuhkan penjelasan Allah SWT tentang
hukum waris keduanya (orang tua) dari anak mereka yang meninggal, bersama dengan saudara
perempuannya, dan cukup bahwa hukum keduanya (orang tua) tetap tidak berubah sebagaimana
sebelumnya, dengan tidak adanya saudara laki-laki mayit dan ahli waris selain keduanya (ibu-
bapak), yang hal itu sudah diketahui oleh mereka, bahwa masing-masing yang berhak,
merupakan keputusan Allah yang tidak akan dipindah hak yang telah diputuskan oleh tuhannya
kepada selain dirinya, kecuali Allah memindahkannya kepada orang yang dipindahkab kepada-
Nya dari hamba-Nya.
Allah SWT telah menyebutkan bagian untuk ibu jikaanaknya yang meninggal (mayit)
tidak memiliki pewaris selain dirinya dan bapaknya. Saudara laki-laki bukanlh petunjuk jelas bagi
manusia bahwa bagian tersebut adalah sepertiga harta mayit sebagai hal wajib baginya (ibu),
sampai bagian tersebut diganti oleh yang member bagiannya, jadi, ketika Allah mengganti
penyebutan bagian untuknya bersama kelompok saudara perempuan dan tidak mengubahnya
bersama satu saudara laki-laki, maka diketahui bahwa bagian ibu tidak berubah kecuali di saat
yang diubah, dan wajib bagi hamba-Nya untuk menaati-Nya, dan tidak untuk kondisi yang lain”.
Ahli takwil berbeda pendapat tentang jumlah saudara perempun yang disebutka Allah
SWT dalam firmannya tersebut.
Sekelompok sahabat Rasulullah SAW dan para tabi’in serta yang setelahnya dari ulama
Islam sepanjang zaman, berpendapat bahwa makna firman Allah tersebut adalah dua saudara atau
lebih, dua saudara perempuan atau lebih, atau dua saudara laki-laki atau lebih, atau salah satunya
laki-laki dan yang satunya lagi perempuan.
Abu Ja’far berkata: Menurutku, pendapat yang benar adalah yang mengatakan bahwa dua
saudara mayit atau lebih, sesuai yang dikatakan oleh para sahabat Rasulullah SAW selain Ibnu
Abbas RA. Umat ini juga telah meriwayatkan, sehingga menjadi hujjah dan pengingkaran mereka
terhadap perkataan Ibnu Abbas.14
Abu Ja’far berkata: Pendapat yang paling benar adalah, hendaknya dikatakan,
“sesungguhnya Allah SWT menyebutkan bagian untuk ibu seperenam bersama saudara-
saudara.” Bila dikatakan bahwa itu karena apa yang menjadi kewajiban bapak kepada anak-
anaknya. Bisa juga karena yang lain, dan itu bukan tugas kita untuk mengetahuinya. Sedangkan
yang diriwayatkan dari Thawus dari Ibnu Abbas, adalah pendapat yang menyelisihkan
14Ibid.,542-544.
Ayat-ayat tentang Waris 9
kesepakatan umat, yaitu kesepakatan bersama bahwa “tidak ada bagian waris bagi saudara
simayit dengan keberadaan bapaknya”. Dan ‘ijma’ (kesepakatan) umat yang menyelisihi
pendapat tersebut dapat dijadikan bukti atas ketidak benaran pendapat tersebut.
ِ ٍ ِ ِ ِ
ْ ( م ْن َب ْع د َوص يَّة يُوص ي بِ َه اpembagian-pembagian tersebut atas
Takwil firman Allah: َأو َديْ ٍن
sesudah dipenuhi wasiat yangia buat atau dan sesudah dibayar utangnya).
Abu Ja’far berkata: “Maknanya adalah bahwa harta yang Allah tentukan pembagiannya
untuk anak-anak mayit, laki-laki dan perempuan, untuk bapak-ibunya dari harta yang
ditinggalkan, ketentuan-ketentuan itu dibagikan kepada mereka sesuai pembagian dalam ayat ini,
setelah dibayarkan seluruh utang-utangnya dan setelah dilaksanakan seluruh wasiatnya.
Allah SWT tidak menjadikan penyebutnya untuk seseorang dari ahli waris dan tidak untuk
seseorang dari yang diwasiatkan dengansesuatu kecuali setelah membayar utangnya dari harta
peninggalan, meski itu menghabiskan keseluruhannya. Kemudian setelah utang dilunasi, orang-
orang yang mendapat wasiat mendapat bagian bersama ahli waris apabila wasiat itu tidak
melebihi sepertiga. Jika melebihi sepertiga maka kelebihan itu dijadikan sebagai pemberian, atau
dikembalikan kepada ahli waris . jika mereka (ahli waris) rela maka kelebihan itu boleh diberikan
kepada orang yang menerima wasiat, namun jika mereka menginginkannya (tidak rela) maka
hendaknya dikembalikan kepada ahli waris. Sedangkan sisa dari sepertiga itu sudah menjadi hak
yang ditetapkan untuk ahli waris. Semua ini berdasarkan kesepakatan umat.15
Dalam tafsir al-Misbah dijelaskan penyebutan wasiat didahulukan atas penebutan
hutang,walaupun dalam pelaksanaannya yang paling utama diselesaikan adalah hutang, sehingga
jika harta yang ditinggalkan hanya cukup untuk membayar hutang, maka siapa pun keluarga yang
ditinggalkan tidak akan memperoleh sesuatu. Di dahulukannya kata wasiat disini adalah untuk
menunjukan betapa penting berwasia, dan untuk mengingatkan para warisa agar
memperhatikannya, karena tidak mustahil mereka mengabaikan wasiat atau
menyembunyikannya. Berbeda dengan hutang yang sulit disembunyikan, karena pasti yang
memberi hutang akan menuntut dan seharusnya ia memiliki bukti-bukti hutang piutang itu.16
Takwil firman Allah: ك ْم َن ْف ًعا ُ ( آبَ اُؤ ُك ْم َو َْأبنَ اُؤ ُك ْم ال تَ ْد ُرو َن َُّأي ُه ْم َأ ْق َرTentang orang tuamu dan
ُ َب ل
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu).
15Ibid.,549.
16M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…,345.
Ayat-ayat tentang Waris 10
Abu Ja’far berkata: Makna firmannya, (“ آبَ اُؤ ُك ْم َو َْأبنَ اُؤ ُكمtentang) orang tuamu dan anak-
anakmu.”adalah, orang-orang yang Allah wasiatkan kepada kalian dari pembagian harta warisan
yang meninggal, dari bagian yang telah ditentukan untuk kalian dan dijelaskan dalam ayat ini.
Tentang firmannya, ك ْم َن ْف ًعا ُ (“ آبَ اُؤ ُك ْم َو َْأبنَ اُؤ ُك ْم ال تَ ْد ُرو َن َُّأي ُه ْم َأ ْق َرtentang) orang tuamu dan
ُ َب ل
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu,” Abu ja’far berkata, “Maknanya adalah, ‘berikanlah hak-hak mereka dari
harta warisan yang telah diwasiatkan kepada kalian untuk mereka dari harta warisan kepada
kalian untuk memberikannya. Sesungguhnya kalian tidak tahu siapa yang lebih dekat dan banyak
manfaatnya untuk kalian di dunia dan akhirat.17
Dalam tafsir al-Misbah dijelaskan bahwa: ayat tersebut mengandung makna anak dan
bapak tidak dapat sama dalam manfaat masing-masing yang mereka berikan, karena manfaat
yang dapat mereka berikan tergantung pada kadar kasih sayang mereka, serta kebutuhan masing-
masing. Kebutuhan serta tolok ukurnya dapat berbeda-beda, sehingga tidak pernah akan sama,
tidak akan terpercaya dan tidak juga akan adil. Karena itu, yang menentukannya adalah Allah,
yang paling mengetahui kebutuhan dan keseimbangan serta jauh dari emosi dan ketidak adilan.18
ِ ِ ِ ِ َ ( فَ ِرIni adalah ketetapan dari Allah.
Takwil firman Allah : يما ً يض ةً م َن اللَّه ِإ َّن اللَّهَ َك ا َن َعل
ً يم ا َحك
Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.)
Abu Ja’far berkata:Makna firman Allah ta’ala يض ةً ِم َن اللَّ ِه
َ “ فَ ِرIni adalah ketetapan dari
Allah,” adalah, jika yang meninggal dunia memiliki saudara, maka ibunya mendapat seperenam,
sebagai sebuah ketetapan yang telah Allah terangkan kepada mereka.
di sini dikeluarkan dari makna perkataan tersebut, tau jika makna tersebut sesuai yang disifati.
Atau, terkadang berkedudukan manshub dengan tidak mengaitkan kepada lafadz, ٌفَ ِإ ْن َك ا َن لَهُ ِإ ْخ َوة
“Ketahuilah wahai manusia, Allah mengetahui apa yang menjadi maslahat bagi hamba-Nya,
maka taatilah perintah-Nya demi kemaslahatan kalian sendiri”.
Firman-Nya, يما ِ
ً “ َحكLagi maha bijaksana.” Maknanya adalah, “Allah maha bijaksana
dalam pengaturannya, demikian halnya dengan pembagian untuk sebagian orang diantara kalian
dari warisan sebagian yang lain dan apa-apa yang telah ditetapkan diantara kalian sebagai sebuah
ketetapan, dan keetapan-Nya tidak mungkin salah atau keliru, karena itu merupakan ketetapan
dari Dzat yang maha mengetahui kemaslahatan pada setiap perkara, sebelum dan sesudahnya.”19
Dalam tafsir al misbah dijelaskan bahwa : arti penggalan ayat di atas adalah Allah adalah
satu-satunya wujud yang tidak mengalami perubahan. Yang berubah adallah mahluk. Jika
demikian pada saat kita membaca kana yang dikaitkan dengan Allah, seperti maha mengetahui,
maha penyayang, dan lain-lain, maka pada saat makna dahuku itu muncul dalam benak, pada saat
itu juga harus dimunculkan kalimat dan sampai kini serta seterusnya Allah demikian.20
Dalam tafsir Ibnu katsir dijelaskan bahwa: penjelasan kewarisan yang telah kami utarakan
dan pemberian bagian kepada satu pihak yang lebih besar daripada kepada orang lain merupakan
ketetapan Allah yang telah ditetapkan dan diputuskan-Nya karena Allah maha mengetahui lagi
maha bijaksana dalam menempatkan sesuatu.21
Harta warisan yang dapat dibagi. Misalnya uang, tanah yang harga dan isinya sama, dsb.
Harta yang tidak bisa dibagi sama rata. Misalnya bangunan, tanah yang berbeda isinya, barang
perkakas, kendaraan, dan lainnya.
Harta yang dapat dibagi, bisa langsung diberikan berdasarkan bagiannya masing-masing.
Akan tetapi, harta yang tidak bisa dibagi, harus diuangkan terlebih dahulu. Kalau tidak, maka
hanya akan diperoleh angka bagian di atas kertas dalam bentuk nisbah (persentase). Artinya
masing-masing ahli waris yang sudah ditetapkan bagiannya, memiliki saham atas harta tersebut.
Misalnya seorang wafat meninggalkan dua buah rumah yang sama besar, tetapi beda
harganya. Ia memiliki dua orang anak laki-laki, maka harta ini tidak dapat dibagi Kecuali jika
19Affandi, Tafsir Ath-Thabari…, 554-555.
20M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, 346.
21Ar-Rifa’I, Ibnu Katsir…, 662.
Ayat-ayat tentang Waris 12
mereka mau berdamai, atau saling mengikhlaskan, itu pun setelah mengetahui bagian yang
seharusnya mereka terima] tetapi hanya bisa diberikan nisbah (persentase) bagian sebagaimana
yang sudah diatur dalam ilmu Faraa’id.
Menurut sebagian ulama termasuk juga ke dalam waris adalah segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh si mayyit, berupa harta yang ia peroleh selama hidupnya, atau hak dia yang ada
pada orang lain seperti barang yang dihutang, atau gajinya, atau yang akan diwasiatkan, atau
amanatnya, atau barang yang digadaikan atau barang baru yang diperoleh karena terbunuhnya
dia, atau kecelakaan yang berupa santunan ganti rugi.
Adapun barang yang tidak berhak diwarisi di antaranya adalah:
a. Peralatan tidur untuk istri dan peralatan yang khusus bagi dirinya, atau pemberian
suami kepada istrinya semasa hidupnya.
b. Harta yang diwaqafkan oleh si mati, seperti kitab dan lainnya.
c. Barang yang diperoleh dengan cara haram, seperti barang curian, hendaknya
diserahkan kepada pemiliknya atau diserahkan kepada pihak yang berwajib.
22Syaikh Imam Zaki al-Barudi, Tafsir Wanita , penerj. Samson Rahman ( Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), 302-
307.
Ayat-ayat tentang Waris 14
Faedah:23
Jika ada pertanyaan, “Apakah hukum warisan pembunuh, budak, orang yang berbeda agama,
muba’adh (budak yang separuh dirinya merdeka), khunta (banci), kakek bersama saudara-saudara
bukan seibu, ‘aul, radd, dzawul arham, ‘ashabah lainnya, saudari-saudari tidak seibu beserta
anak perempuan atau puteri dari anak laki-laki bisa diambil dari Al Qur’an?” Jawab: “Ya, di
dalam Al Qur’an terdapat isyarat yang halus yang memang agak sulit dipahami bagi orang yang
kurang cermat. Tetapi di sana ada yang menunjukkan demikian.
– Tentang pembunuh dan orang yang berlainan agama, keduanya tidak mendapatkan warisan
berdasarkan penjelasan hikmah ilahi yang membagikan harta kepada ahli waris sesuai kedekatan
mereka dan manfaat bagi mereka baik manfaat agama maupun dunia. Hikmah ini diisyaratkan
oleh firman Allah, “Laa tadruuna ayyuhum aqrabu lakum naf’aa” (kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu). Kita mengetaui bahwa seorang
pembunuh berusaha menimpakan bahaya, sehingga tidak ada dalam dirinya sesuatu yang
mendorong untuk diberi warisan, di samping itu, dalam pembunuhan memutuskan tali
silaturrahim, dan lagi ada kaidah “Manis ta’jala qabla awaanihi ‘uuqiba bihirmaanih” (Barang
siapa yang terburu-buru sebelum tiba waktunya, maka ia diberi hukuman dengan tidak
memperolehnya). Adapun tentang berlainan agama, Ibnul Qayyim berkata dalam Jalaa’ul
Afhaam, “Perhatikanlah makna ini dalam ayat tentang warisan dan pengkaitan dari Allah
Subhaanahu wa Ta’aala terhadap waris-mewarisi dengan lafaz zaujah (istri), tidak dengan lafaz
mar’ah (wanita) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala, “Wa lakum nishfu maa taraka
azwaajukum” (untuk kamu separuh dari harta yang ditinggalkan istri-istrimu) sebagai
pemberitahuan bahwa waris-mewarisi hanyalah terjadi jika terjalin hubungan pernikahan yang
menghendaki kesamaan dan keserasian. Orang mukmin dan orang kafir tidaklah sama dan tidak
serasi, sehingga tidak mungkin terjadi antara keduanya saling waris-mewarisi. Rahasia satuan
kata dalam Al Qur’an dan gabungannya dengan kata yang lain memang berada di atas akal
seluruh makhluk.”
– Adapun budak, maka ia tidaklah mewarisi dan tidak pula diwarisi. Keadaannya tidak diwarisi
adalah jelas, karena memang ia tidak memiliki harta untuk diwarisi, bahkan apa yang ada
padanya semuanya untuk tuannya. Adapun keadaannya tidak mewarisi adalah karena ia tidak
memiliki, kalau pun memiliki, maka itu untuk tuannya. Dengan demikian, budak adalah orang
ajnabiy (asing) bagi si mati. Ayat “Wa lakum nishfu maa taraka azwaajukum” (dan untuk kamu
separuh dari hharta yang ditinggalkan istrimu) diperuntukkan bagi orang yang siap memiliki,
adapun budak tidak demikian. Dari sini diketahui, bahwa budak tidak mewarisi.
– Adapun orang yang dalam dirinya terdapat separuh budak dan separuh merdeka (muba’adh),
maka hukumnya terbagi dua. Bagian dirinya yang merdeka berhak mendapatkan warisan,
Ayat-ayat tentang Waris 17
sedangkan bagiannya yang masih budak, tidak mendapatkan warisan. Dengan demikian, hartanya
dibagi dua, ia mewarisi dan diwarisi, namun dihalangi sesuai kebudakan yang ada dalam dirinya.
– Adapun khuntsa (banci), maka tidak lepas dari kemungkinan diketahui apakah ia laki-laki atau
wanita atau kemungkinan musykjil (samar). Jika diketahui laki-laki atau perempuan, maka
masalahnya beres, namun jika musykil (misalnya memiliki kelamin ganda), maka jika bagian
warisannya tidak berubah baik ia sebagai laki-laki atau perempuan –seperti halnya saudara seibu-,
maka masalahnya jelas. Namun jika bagiannya berbeda jika ditentukan sebagai laki-laki atau
perempuan, di antara ulama ada yang berpendapat dengan memperhatikan dari mana air
kencingnya keluar. Jika tidak bisa, maka dengan memperhatikan tanda kedewasaannya (tanda
bagi laki-laki misalnya tumbuh janggut dan kumis, suara besar dsb. sedangkan tanda bagi
perempuan misalnya tumbuh buah dada, haidh, hamil, dsb.), namun jika tidak berhasil juga dan
tidak ada cara untuk mengetahuinya, maka kita tidak memberikannya bagian yang terbesar dari
dua kemungkinan (laki-laki atau perempuan) dan tidak memberikan sedikit, bahkan sisanya
ditunda sampai keadaannya jelas. Atau jika terus menerus tidak jelas, maka dengan jalan tengah,
yakni memberikan bagian pertengahan di antara dua kemungkinan, berdasarkan ayat, “I’diluu
huwa aqrabu lit taqwa” (berbuat adillah, karena ia lebih dekat kepada takwa), dan Allah tidak
membebani kecuali sesuai dengan kesanggupan kita.
– Adapun bagian kakek bersama beberapa saudara sekandung atau sebapak, yakni apakah saudara
tersebut mewarisi bersamanya atau tidak, maka Al Qur’an lebih menunjukkan kepada pendapat
Abu Bakar Ash Shiddiq, yakni bahwa kakek menghalangi saudara sekandung atau sebapak atau
pun saudara seibu sebagaimana bapak menghalangi mereka. Hal ini, karena kakek dianggap
sebagai bapak dalam beberapa ayat Al Qur’an, seperti di surat Al Baqarah: 133 dan surat Yusuf
ayat 38. Jika cucu saja dianggap sebagai anak, maka kakek pun sama dianggap bapak. Para ulama
juga sepakat bahwa jika kakek bagi bapak bersama putera dari saudara, maka kakek menghalangi
putera dari saudara tersebut.
– Adapun tentang ‘aul, maka hukumnya juga diambil dari Al Qur’an, yaitu karena Allah Ta’ala
juga menetapkan untuk para ahli waris bagiannya, dan mereka itu berada di antara dua
kemungkinan:
a. Bisa berupa saling menghalangi antara satu dengan yang lain. Jika seperti ini, maka yang
dihalangi gugur, tidak dapat mendesak dan memperoleh apa-apa.
Ayat-ayat tentang Waris 18
b. Namun jika tidak menghalangi satu sama lain, maka bisa berupa orang-orang yang mendapat
bagian tertentu tidak menghabisi tarikah (harta peninggalan) dan masih ada sisa untuk ‘ashabah,
atau menghabisi tanpa ditambah dan dikurang atau bagiannya dinaikkan terhadap tarikah. Dalam
dua keadaan yang pertama, masing-masing mengambil jatahnya secara sempurna, sedangkan
untuk keadaan yang terakhir, yakni ketika bagiannya terhadap tarikah dinaikkan, maka keadaan
ini pun tidak lepas dari dua keadaan:
– Kita mengurangi bagian sebagian ahli waris dan kita sempurnakan yang lain bagiannya, namun
hal ini tidak tepat, karena sebagian mereka tidak lebih berhak daripada yang lain. Atau,
– Kita berikan bagian masing-masing semampunya, yaitu menaikkan bagian atau fardhnya.
– Adapun tentang warisan ‘ashabah, seperti bunuwwah (anak), ubuwwah (bapak), ukhuwwah
(saudara dan anak-anaknya) dan umumah (paman dan anak-anaknya), maka hal ini ditunjukkan
oleh hadits “Berikanlah bagian ashabul furudh, sisanya untuk laki-laki yang lebih dekat.”
Sehingga jika ada sisa, maka diberikan kepada mereka sesuai urutan tersebut, dan yang terakhir
setelah paman dan anak-anaknya jika tidak ada, maka yang mewarisinya adalah yang
memerdekakan atau disebut wala’. Jika ‘ashabah tersebut dalam posisi yang sama, maka
didahulukan yang lebih kuat, misalnya saudara sekandung dengan saudara seayah, maka saudara
sekandung lebih didahulukan daripada saudara seayah. Jika sama kuatnya, maka mereka
mengambil secara bersama-sama.
– Adapun tentang beberapa saudari tidak seibu (yakni saudari sekandung atau sebapak) bersama
dengan beberapa orang anak perempuan atau beberapa orang puteri dari anak laki-laki sebagai
‘ashabah ma’a gharih yang mengambil sisanya, maka karena di dalam Al Qur’an tidak ada ayat
yang menunjukkan bahwa saudari-saudari tersebut gugur karena puteri. Dengan demikian, setelah
anak perempuan mengambil bagiannya, maka sisanya diberikan kepada para saudari, tidak
kepada ‘ashabah yang lebih jauh yaitu anak dari saudara laki-laki dan paman atau ‘ashabah
lainnya lebih jauh, wallahu a’lam.
Yakni yang kurang dari 1/3. Wasiat ini diperuntukkan kepada selain ahli waris, adapun
selain itu maka tidak diberlakukan kecuali dengan izin ahli waris. Menyusahkan ahli waris ialah
melakukan tindakan-tindakan seperti: a. Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b.
Ayat-ayat tentang Waris 19
Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Meskpun kurang dari sepertiga bila ada niat
mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
Menurut ar-Razi dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa hikmah hokum warisan
sebagai berikut:24
1. Perempuan mendapatkan lebih sedikit daripada laki-laki, hal ini dikarenakan perempuan lebih
lemah disbanding laki-laki, sehingga perempuan lebih sedikit keluar untuk berperang dan
nafkah perempuan telah diberikan oleh suaminya. Kebutuhan dan tanggung jawab laki-laki
yang lebih besar tehadap istri dan anak-anaknya itu yang membuat laki-laki membutuhkan
harta yang lebih banyak.
2. Laki-laki lebih sempurna dari perempuan, hal ini dapat dilihat dari segi moral dan intelektual.
Demikian pula dengan kesaksian perempuan separuh dari kesaksian laki-laki, sehingga wajar
bagi laki-laki mendapatkan harta warisan yang lebih banyak.
3. Perempuan itu sedikit akalnya tetapi banyak keinginan, jika harta ditambah lagi untuk
perempuan, maka akan semakin banyak peluang untuk terjadi kerusakan. Ia akan berlebih-
lebihan apabila banyak harta.
4. Laki-laki mempunyai intelektual yang bagus yang mampu membelanjakan harta yang dimiliki
untuk hal-hal bermanfaat yang mendapat pujian atau kebaikan di dunia dan akhirat.
Contohnya membangun pesantren, menolong orang menderita, dan menafkahi anak-anak
yatim dan janda. Laki-laki mampu melakukan seperti itu karena ia banyak bergaul dengan
orang lain, sementara perempuan lebih sedikit bergaul dengan manusia, sehingga ia tidak
mampu bertindak demikian.
Bab III
Penutupan
Kesimpulan
Dari uraian diatas kami dapat menyimpulkan bahwa, warisan adalah harta yang dalam
istilah fara’id dinamakan tirkah (peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang
meninggal, baik berupa uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh syariat islam untuk
24Wasiul Fikri, DekonstruksiPenafsiran Ayat-Ayat al-Qur’an tentang Warisan Perempuan Menuju Keadilan
Gender, Muwazah, Vol. 7, No. 1, Juni 2015, 70.
Ayat-ayat tentang Waris 20
diwariskan kepada ahli warisnya, dan dalam pelaksanaanya atau apa- apa yang ditinggalkan oleh
yang meninggal harus diartikan sedemikian luas sehingga mencakup hal- hal yang ada pada
baginya.
Daftar pustaka :