Akhir-akhir ini, beberapa kalangan yang mengaku sebagai
pengikut Ibnu Taimiyah mengklaim bahwa beliau tidak memperbolehkan takwil dalam menyikapi ayat maupun hadits mutasyabihat yang berkenaan tentang sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Berikut ini beberapa penjelasan tentang pernyataan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa mengenai takwil kata “wajah Allah”:
1. “Wajah Allah” diartikan dengan “segala sesuatu yang (dilakukan) demi mendapatkan wajah-Nya.”
Ibnu Taimiyah berkata, “Jika yang dimaksud di sini adalah pembicaraan (kalam) mengenai tafsir ayat, maka kami mengatakan: menafsirkan ayat dengan apa-apa yang ma’tsur dan manqul dari perkataan salaf dan mufassirin, yaitu “Segala sesuatu akan binasa kecuali apa-apa yang (dilakukan) demi mendapatkan wajah-Nya,” adalah lebih baik daripada tafsir baru yang dibuat- buat itu (muhdats).” (Majmu’ Fatawa II/23)
2. “Wajah Allah” ditakwilkan dengan “agama Allah”
Ibnu Taimiyah berkata, “Tauhid ini dan tafsirnya yang telah disebutkan dalam hadits: Ketahuilah bahwa segala sesuatu selain Allah adalah bathil, adalah serupa dengan firman Allah, “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali wajah Allah.” Setelah ayat “Sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir. Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah. Bagi-Nya lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Qashash: 86-88)
Kemudian beliau melanjutkan, “Diriwayatkan dari Ja’far Ash-Shadiq (maksudnya yaitu): kecuali agama Allah.” (Majmu’ Fatawa II/258)
3. “Wajah Allah” diartikan dengan “Kebenaran” (Al-Haq)
Ibnu Taimiyah berkata, “Telah diriwayatkan dari Ali (bin Abi Thalib) sesuatu yang umum. Dalam tafsir Ats-Tsa’labi dari Shalih bin Muhammad, dari Sulaiman bin Amr, dari Salim Al- Afthas, dari Al-Hasan dan Said bin Jubair, dari Ali bin Abi Thalib, bahwa seorang laki-laki meminta kepadanya tapi beliau tidak memberinya, lalu laki-laki itu berkata, “Aku memintamu dengan wajah Allah.” Ali menjawab, “Bohong kau! Bukan dengan wajah Allah kau memintaku, karena wajah Allah adalah Al-Haq (kebenaran).” (Majmu’ Fatawa II/258)
4. “Wajah Allah” diartikan dengan “Allah”
Ibnu Taimiyah berkata, “Diriwayatkan dari Mujahid (bahwa maksud dari kata wajah Allah adalah): Allah.” (Majmu’ Fatawa II/258)
5. “Wajah Allah” diartikan dengan “Allah, Surga, Neraka dan Arsy”
Ibnu Taimiyah berkata, “Diriwayatkan dari Adh-Dhahak: segala sesuatu pasti binasa kecuali Allah, Surga, Neraka dan Arsy.” (Majmu’ Fatawa II/258)
6. “Wajah Allah” diartikan dengan “Kiblat Allah”
Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataan, ‘Kau menginginkan wajah ini’, maksudnya adalah arah ini atau sisi ini. Contohnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” Maksudnya adalah kiblat Allah atau pandangan Allah. Demikianlah pendapat Jumhur Salaf, meskipun mereka menganggapnya termasuk dalam ayat sifat.” (Majmu’ Fatawa II/259)
7. “Wajah Allah” diartikan dengan “agama Allah”, “kehendak Allah”, “ibadah kepada Allah”
Ibnu Taimiyah berkata, “Firman Allah: Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya, maksudnya adalah agama-Nya, kehendak-Nya dan ibadah (kepada)-Nya.” (Majmu’ Fatawa II/261)
8. “Wajah Alah” diartikan dengan “Dzat Allah”
Ibnu Taimiyah berkata, “Maka kepada dasar inilah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dikembalikan, “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya.” Sebagaimana ayat, “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” Sesungguhnya kekalnya wajah Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah kekalnya Dzat-Nya.” (Majmu’ Fatawa II/262)
Sekalipun beberapa kalangan masih bersikukuh berpendapat bahwa Ibnu Taimiyah tidak memperbolehkan takwil, namun contoh-contoh di atas setidaknya telah membuktikan bahwa ternyata beliau juga telah melakukan ta’wil tafshili dalam menyikapi ayat-ayat sifat.
Lalu apa sebenarnya yang tidak diperbolehkan oleh Ibnu Taimiyah? Apakah semua jenis takwil dilarang? Ataukah ada jenis takwil tertentu? Pertanyaan ini dijawab sendiri oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Risalah Tadmuriyah di kaidah kelima. Berikut ini petikannya:
وهلذا كان االئمة كاإلمام أمحد: وكذلك مدلول أمسائه وصفاته الذي خيتص هبا الىت هي حقيقة ال يعلمها اال هو تأويل ما تشابه عليهم من القرآن- من الذي حيرفون الكلم عن مواضعه- وغريه ينكرون على اجلهمية وأمثاهلم يف كتابه الذي صنفه يف الرد على الزنادقة واجلهمية فيما شكت فيه من متشابه: على غري تأويله كما قال أمحد القرآن وتأولته على غري تأويله وامنا ذمهم لك وهنم ت أولوه على غ ري تأويل ه وذك ر يف ذل ك م ا يش تبه عليهم معن اه وان ك ان ال يش تبه على غ ريهم من أن لفظ التأويل يراد به التفسري املبني: وذمهم تأولوه على غري تأويله ومل ينفي مطلق لفظ التأويل كما تقدم ملراد اهلل به فذلك ال يعاب بل حيمد ويراد بالتأويل احلقيقة اليت استأثر اهلل بعلمها فذلك ال يعلمه اال هو وقد بسطنا يف غري هذا املوضع اضطربت أقواله مثل طائفة يقولون إن التأويل باطل وانه جيب إجراء اللفظ ظاهره وحيتجون: ومن مل يعرف هذا { وما يعلم تأويله إال اهلل } وحيتجون هبذه اآلية على إبطال التأويل وهذا تناقض منهم الن هذه اآلية: بقوله تعاىل تقتضي أن هناك تأويال ال يعلمه اال اهلل وهم ينفون التأويل مطلقا
Jelas sekali dari penjelasan di atas bahwa takwil yang tidak diperbolehkan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang zindik dan Jahmiyah yang menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat tidak pada tempatnya. Jadi, tidak semua takwil dilarang. Buktinya, banyak di antara ulama Ahlus Sunnah yang menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat. Bahkan Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah sendiri juga melakukannya, dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya dalam kitab-kitab turats.