Anda di halaman 1dari 22

Ibnu Taimiyah dan Tawil

2
JUL
Pengantar

Cobaan bertubi sepertinya tak henti menjumpai Ibnu Taimiyah bahkan hingga
lebih dari 700 tahun dari wafatnya, namun perumpaan beliau layaknya cendana
yang memang harus dibakar agar tercium wanginya, dan terbukti bahwa wangi
dan keagungannya tak lekang oleh zaman.

Kali ini tuduhan aneh menyambangi beliau.

Bagaiman tidak aneh, atas dasar permusuhannya dengan Aqidah takwillah


beliau keluar masuk penjara dan bahkan menghembuskan nafas terakhirnya
dibalik jeruji besi didalam benteng yang kokoh.

hal ini adalah sesuatu yang umum dikalangan sahabat, murid dan musuhnya.
Permusuhan beliau dengan Aqidah takwil khususnya Asyairah tidak mungkin
samar lagi. Kalaulah beliau melakukan takwil dalam memahami nash-nash
terkait asma dan sifat Allah, maka apa arti permusuhan dengan orang-orang
yang mempertahankan aqidah tersebut dan apapula arti dari pembelaan muridmurid beliau terhadap keyakinan gurunya itu.

Mari kita ulas keanehan ini dengan memohon taufik dan hidayah semoga
pembahasan dan mungkin diskusi terkait tema ini adalah hanya mengharapkan
ridho dari Allah Subhanahu Wataala.
Makna Takwil

Disini harus didudukkan makna takwil berdasarkan pendapat salaf yang diikuti
oleh ibnu Taimiyah dan pengikutnya yang menjulukkan diri sebagai Salafi agar

kita dapat membuat keputusan yang adil tentang sikap ibnu Taimiyah yang
sebenarnya tentang Takwil

Takwil menurut Kholaf dan Asyairah


Takwil dikalangan Kholaf sangat popular dengan makna:

Takwil adalah memalingkan sebuah kata dari ahirnya dengan petunjuk-petunjuk


yang menyertainya.

Definisi ini merupakan istilah Mutaakhirin yang berbeda dengan takwil secara
bahasa dan perkataan salaf

Takwil Menurut Salaf dan Ibnu Taimiyah


Dalam Mukhtar Shihhh dikatakan:

Tawil adalah tafsir yang dikembalikan sesuatu kepadanya[1]

Dalam Lisaanul arab dikatakan bahwa ia berarti yang artinya kembali[2]

Secara ringkas dalam bahasa arab kata takwil bermuara kepada dua hal:

Pertama: tempat kembalinya sesuatu, yaitu hakikat yang perkataan


dikembalikan kepadanya.
sebagaiman kita tahu bahwa kalam itu bisa Khobariyah atau Thalabiyah, maka:
Takwil Khobar adalah hakikat dan kejadiannya (kejadian yang sebenarnya):
Seperti dalam firman Allah :

Artinya: inilah tawil mimpiku yang dahulu itu

maksudnya inilah hakikat dan kejadian sebenarnya dari mimpi yang pernah dia
alami[3]

Allah juga berfirman:

Artinya: Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran)


Al Quran itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Quran itu,
berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu

Maksudnya: mereka hanyalah menunggu terjadinya hal yang sama dengan yang
diberitakan oleh Allah berupa janji dan aab

Sedangkan tawil Thalabiyah yang merupakan amr (perintah) dan nahy


(larangan) adalah sama dengan perbuatan yang diperintahkan untuk
melaksanakannya dan beramal dengannya dan juga sama dengan larangan
yang ditinggalkan. Hal ini seperti perkataan Aisyah Radiyallhu anhu:

(( . ))

Artinya: Nabi Shallallhu alaihi Wasallam pernah membaca:

pada ruku dan sujudnya. (Aisyah berkata) : engkau mentakwilkan Al quran?

Maksudnya apakah engkau melaksanakan amalan sesuai dengan firman Allah:

Artinya: maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun


kepada-Nya.[4]

Kedua: takwil dengan makna tafsir

Yaitu perkataan yang digunakan untuk menjelaskan sebuah lafaz hingga dapat
dipahami maknanya. Inilah yang dimaksud dari perkataan para Mufassirin
yang sering digunakan oleh para Mufassirin[5]. Bahkan Ibnu Jarir al Thabar
menamai kitabnya:

Berdasarkan makna yang pertama maka takwil dari apa yang diberitakan oleh
Allah tentang sifat dan perbuatanNya adalah sama dengan keadaan yang
sebenarnya. Hal tersebut adalah hak Allah subhanahu wataala yang tidak
diketahui oleh selainNya dan tidak ada celah bagi kita untuk mengetahuinya dan
melingkupinya[6].

Berdasarkan makna yang pertama ini juga maka waqaf jatuh setelah kata
berikut:

Sedangkan berdasarkan makna kedua maka takwil tentang apa yang diberitakan
Allah mengenai sifat-sifatnya yang tinggi adalah tafsir dan pemahaman makna
dari apa yang Ia beritakan tentang dirinya yang memiliki sifat-sifat yang agung
dan tinggi. Inipun dikenal dalam bahasa yang Allah gunakan kepada manusia
dan kita pahami dengan perantaraan bahasa tersebut, namun dengan
pemahaman bahwa Allah tidak sama dengan apapun baik zatNya, SifatNya,
maupun perbuatannya.

Berdasarkan makna ini maka waqaf jatuh setelah kata berikut:

Sebagaimana mazhab kebanyakan ulama Salaf.

Ibnu Jarr berkata: Ahli takwil (tafsir, red) berselisih tentang takwilnya, apakah
kata menjadi athaf dari lafadz yang berarti mereka dapat mengetahui
ayat yang mutasyabih ataukah itu adalah istinaf (kalimat baru selanjutnya) yang
disebutkan untuk memberitakan mereka (orang-orang yang mendalam ilmunya)
yang berkata bahwa mereka beriman kepada ayat-ayat mutasyabih termasuk
menyatakan bahwa pengetahuan tentang ayat-ayat tersebut hanyalah dimiliki
oleh
Allah.

Sebagian dari mereka mengatakan: maknanya adalah tidak ada yang tahu
takwilnya kecuali Allah saja dengan pengetahuannya.

Adapun kata adalah kalimat selanjutnya yang menyatakan bahwa


mereka beriman kepada ayat-ayat mutasyabih dan Muhkam serta semua itu
berasal dari sisi Allah. Kemudian beliau menyebutkan yang berpendapat
demikin. : Aisyah, ibnu Abbas, urwah, Abi Nahik, dll.

Yang lain berkata: maknanya adalah tidak ada yang mengetahui tawilnya
melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. dengan memiliki
pengetahuan dan kedalaman ilmunya tersebut mereka tetap mengatakan Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan
kami. Kemudian beliau menyebutkan yang berpendapat demikin. : Ibnu
Abbas, Mujahid, Rab bin Anas, dan Muhammad bi Jafar bin Zubair, dll[7]

Inilah takwil yang dimaksud oleh para salaf dan juga Ibnu Taimiyah ketika dia
mengikuti mereka dalam menjelaskan beberapa makna ayat-ayat sifat.

Ibnu Taimiyah berkata:

Adapun yang aku katakan sekarang dan aku tulis sekalipun aku belum pernah
menulisnya dalam jawaban-jawabanku adalah bahwa semua yang ada di quran
berupa ayat-ayat sifat tidak pernah didapat perselisihan dari sahabat seputar
takwilnya. Sungguh aku telah menelaah berbagai tafsir yang dinukil dan
diriwayatkan dari para sahabat dan hadits-hadits. Aku juga telah membacaMasya Allah- banyak dari kitab-kitab para pembesar dan Sighar lebih dari seratus
tafsir, namun sampai saat ini aku belum mendapatkan satupun dari sahabat
yang mentakwilkan ayat-ayat atau hadits-hadits sifat dengan tafsiran yang
menyelisihi tuntutan-tuntutan makna yang dipahami dan populer. Bahkan yang
aku dapat adalah persetujuan, penetapan, dan penjelasan mereka bahwasanya
hal tersebut termasuk sifat-sifat Allah yang menyelisihi perkataan tukang-tukang
takwil yang tidak terhitung jumlahnya.[8]

Dalam penjelasan ibnu taimiyah jelaslah bagi kita bahwa para sahabat juga
melakukan takwil yang bermakna tafsir terhadap ayat-ayat sifat, namun Ibnu
Taimiyah juga mengatakan:

Bahkan yang aku dapat adalah persetujuan, penetapan, dan penjelasan mereka
bahwasanya hal tersebut termasuk sifat-sifat Allah yang menyelisihi perkataan
tukang-tukang takwil yang tidak terhitung jumlahnya.

Point penting dalam bahasan ini adalah bahwa tawil dengan makna tafsir justeru
memperkuat istbat atau penetapan sifat-sifat Allah. Hal ini terbukti dengan
banyaknya penjelasan salaf tentang Sifat-sifat Allah misalnya Allah Taala
bersemayam di atas Arsy. Di dalam ayat disebutkan Ar-Rahmaanu alal arsy
istawaa. Secara bahasa istiwa itu memiliki empat makna yaitu:

1. ala (tinggi)

2. Irtafaa (terangkat)

3. Shouda (naik)

4. Istaqarra (menetap)

Imam Bukhari membuat bab khusus tentang istiwa dengan teks berikut:

Ibnu Taimiyah juga mengatakan:

Sesungguhnya lafadz tawil menurut pemahaman orang-orang yang suka


bertentangan (yakni Ahlul Kalam), bukanlah tawil yang dimaksud dalam At-Tanzil
(wahyu yang diturunkan). Bahkan bukan pula yang dikenal oleh para ulama tafsir
terdahulu.

Sesungguhnya para ulama tafsir Al-Quran terdahulu memahami lafadz tawil


dengan maksud tafsir. Tawil semacam ini dapat diketahui oleh ulama yang
mengetahui tafsir Al-Quran. Oleh sebab itulah Imam Mujahid, imamnya ahli
tafsir dan murid Ibnu Abbas, pernah menanyakan seluruh tafsir Al-Quran kepada
Ibnu Abbas, dan Ibnu Abbas pun telah menjelaskan tafsir seluruhnya. Ketika
beliau (Mujahid) mengatakan : Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar
ahlil-ilmi (Ar-Rasikhum fi Al-Ilmi) jika memahami tentang tawil, maka maksud
tawil itu adalah tafsir yang telah disebutkan pada ibnu Abbas.

Adapun lafal tawil menurut At-Tanzil (wahyu yang diturunkan), maknanya adalah
hakikat, yakni sesuatu yang menjadi asal sebuah pembicaraan. Dan itu sama
dengan hakikat-hakikat yang telah diberitakan oleh Allah Taala, misalnya tawil
tentang hari akhir yang telah diberitakan oleh Allah ialah kejadian yang akan
terjadi di hari akhir itu sendiri (hakikat kejadiannya). Tawil tentang apa yang Dia
beritakan mengenai Diri-Nya itu sendiri yang Maha Suci lagi tersifati dengan

sifat-sifat Maha Tinggi. Tawil (dalam arti hakikat) inilah yang tidak dapat
diketahui kecuali oleh Allah Taala sendiri.

Oleh karena itulah kaum salaf mengatakan :Istiwa telah dimaklumi


(maknanya), sedangkan bagaimana hakikatnya itu majhul (tidak dapat
diketahui). Untuk itu kaum salaf mengistbatkan (menetapkan) pengetahuan
tentang Istiwa. Inilah yang disebut tawil dalam arti tafsir, yaitu memahami
makna yang dimaksud oleh suatu pembicaraan, sehingga dapat merenungi,
memahami dan mengerti.

Sedangkan perkataan mereka Al-Kaif (bagaimana hakikatnya) adalah majhul


(tidak dapat diketahui). Hal ini adalah tawil yang hanya bisa diketahui oleh Allah
semata, yaitu tentang hakikat yang tiada satu mahluk pun dapat
mengetahuinya.[9]

Adapun istilah yang digunakan oleh para Mutaakhirin dari kalangan Muatthilah
berbeda dengan definisi diatas dimana mereka mengatakan bahwa takwil
adalah: Memalingkan[10] lafaz dari zohirnya dan hakikatnya kepada majaz dan
apa yang berbeda dengan zohirnya dengan adanya penyertaan (Qarinah)[11]. Ini
adalah istilah yang baru.

Mereka menjadikan Qarinah-qarinah untuk memalingkan makna sifat-sifat Allah


dari zohirnya dan hakekatnya berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh akal
mereka bukan berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh Atsar dan yang telah
disepakati oleh salaf. Mereka menjadikan akal mereka sebagai hakim untuk
sifat-sifat Allah yang merupakan hakikat dan yang bukan hakikat. Bukan
berdasarkan dalil-dalil Naqli berupa ayat-ayat, hadits, maupun qaul Salaf.

Inilah jenis takwil yang telah dikarang oleh Abu Bakr bin Faurak[12] dalam
sebuah kitab yang berjudul Tawl al Musyki al Qurn dan dibantah oleh Qadh
Abu Yala dengan sebuah kitab yang berjudul ibthl al tawlt f akhb al
Shift. Begitu juga Ibnu Qudamah yang telah mencela takwil dengan kitabnya
yang berjudul Zamm al tawl

Batalnya klaim-klaim takwil oleh salaf terkait ayat-ayat sifat

Yang sering terjadi dalam klaim-klaim orang-orang yang menukil takwil tentang
ayat-ayat sifat dari kaum salaf yang dilakukan oleh kalangan Asyairah lalu
mereka jadikan pembelaan untuk melakukan pemalingan makna terhadap
semua ayat-ayat sifat adalah sebagai berikut:

klaim itu tidak benar karena tidak ada sumbernya atau dhoif sanadnya, atau
menyalahi perkataan yang lebih masyhur dari salaf tersebut
tidak sesuai dengan tempatnya, seperti takwilan tersebut bukanlah pada nashnash yang terkait dengan ayat-ayat sifat atau diperselisihkan sebagai ayat sifat
tidak memahami perbedaan takwil bathil yang berarti pemalingan makna
dengan takwil yang bermakna tafsir.
Sebagai contoh yang sering adalah klaim bahwa Mujahid, Al Dhahak, Al Syafii,
dan al Bukhr mentakwil lafadz wajah dalam firman Allah taala :

Dengan mengatakan bahwa Mujahid berkata: Qiblatullah dan Imam Syafii


mengatakan

yaitu arah yang ditunjukkan oleh Allah bagi kalian.

Jawabannya dari semua itu adalah bahwa ayat ini termasuk yang diperselisihkan
oleh salaf ayat sifat atau bukan. Kebanyakan salaf menganggapnya bukan ayat
sifat maka mereka mentafsirkannya sebagaimana telah disebutkan diatas.

Hal ini karena dalam bahasa arab terkadang berarti arah, dan inilah yang
populer. Dzohir ayat menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah arah bukan
sifat Allah, yang semisal ini bukanlah takwil karena takwil berdasarkan
pemahaman mutaakhirin adalah memalingkan ayat dari maksud, penunjukkan,
dan arti yang dikenal.

Seluruh penukilan tafsir ayat ini adalah sehubungan dengan pendapat mereka
bahwa ayat ini bukanlah ayat sifat. Adapun dalam ayat lain yang merupakan

ayat sifat mereka menetapkan bahwa Allah memiliki wajah dalam arti yang
hakiki

Al-Qadli Abu Yala rahimahullah meriwayatkan dengan sanad yang sampai


kepada Al-Imam Asy-Syafii rahimahullah bahwa beliau berkata :

) , ( ) ( )
) ( ) ,(
(

Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan dengan dalil firman-Nya :


Tetapi kedua tangan Allah itu terbuka (QS. Al-Maaidah : 64). Dia juga memiliki
wajah dengan dalil firman Allah : Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali (wajah)
Allah (QS. Al-Qashaash : 88) dan juga firman-Nya : Dan tetap kekal wajah
Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (QS. Ar-Rahmaan : 27). Dia
juga mempunyai kaki dengan dalil sabda Nabi shallallaahu alaihi wasallam :
Hingga Rabb (Allah) azza wa jalla meletakkan kaki-Nya padanya (HR.
Bukhari dan Muslim) yaitu pada neraka [13]

Adapun yang diriwayatkan dari Mujahid, al Dhahak, Abu ubaidah, dan Bukhari
tentang firman Allah taala : bahwa al Dhahak dan Abu Ubaidah
berkata: artinya kecuali Dia, Maka ini bukanlah pemalingan makna sama sekali,
karena sesuatu terkadang diungkapkan dengan sebagian kriterianya, maka
maksud adalah zatNya yang disifatkan dengan beberapa sifat diantaranya
dan ini jelas karena tidak sama sekali menafikan sifat Allah Taala. Allah
mengungkapkan zatNya dengan menyebutkan salah satu sifatnya yaitu wajah
Allah taala.

Adapun riwayat dari Imam Bukhari serta Mujahid mengatakan: kecuali apa yang
dilakukan untuk menharapkan wajahnya.

Maka hal ini merupakan tafsir yang sesuai dengan syariat dimana segala sesuatu
yang dilakukan memang harus diniatkan untuk Allah Subhanahu wataala.

Namun begitu, hal tersebut tidak dimaksudkan untuk menolak penetapan sifat
Allah yang memiliki wajah yang sesuai

dengan keagungan dan kebesaran Allah Subahanahu Wataala. Dalam


mentafsirkan firman Allah Subahanahu Wataala:

Al imam Daruquthni meriwayatkan dalam kitab al ruyah dari al dhahak ia


berkata:

Al ziyadah adalah memandang wajah Allah ajja Wajalla[14]

al Laliki juga menyandarkan kepada Mujahid dari jalan ibnu abi Hatim
bahwasanya ia berkata : ia berkata: Al Husna adalah Syurga
dan Al ziydah adalah memandang Rabb.[15]

Imam Bukhari menetapkan Wajah Allah sesuai dengan Kesempurnaan Sifat Allah,
tanpa beliau palingkan pada makna lain. Bagaimana kita tahu bahwa beliau
menetapkan Wajah bagi Allah? Bisa kita simak dalam kitab Shahih beliau
sendiri pada bagian yang lain. Beliau menempatkan bab tersendiri dalam
penafsiran ayat itu, kemudian menyebutkan riwayat hadits yang menjelaskan
kandungan bab itu sendiri.

Imam al Bukhri menyatakan dalam kitab Shahihnya:

{ }

}

} {
{


} {

Bab firman Allah Taala : Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya

Telah memberitahukan kepada kami Qutaibah bin Said (ia berkata) telah
memberitahukan pada kami Hammad bin Zaid dari Amr dari Jabir bin Abdillah
beliau berkata: ketika turun ayat ini : Katakan: Dialah (Allah) Yang mampu untuk

mengirim adzab dari atas kalian, Nabi shollallahu alaihi wasallam berkata: Aku
berlindung kepada WajahMu, kemudian firman Allah : atau dari bawah kaki
kalian, Nabi shollallaahu alaihi wasallam berkata: aku berlindung kepada
WajahMu, kemudian firman Allah: atau Dia mencampurkan kamu dalam
golongan-golongan (yang saling bertentangan), Nabi shollallaahu alaihi
wasallam berkata: Ini lebih ringan

Telah dimaklumi di kalangan para Ulama Ahlul hadits bahwa pemilihan riwayat
hadits dalam suatu bab merupakan representasi pemahaman Imam Bukhr
terhadap makna yang ada pada bab tersebut.ini terungkap dalam sebuah
kaedah :

Pemahaman Bukhri terletak pada babnya, yaitu kesimpulan tentang pendapat


beliau mengenai suatu masalah biasanya direpresentasikan dalam bab yang
beliau buat. Ketika Imam Bukhr menyebutkan hadits perkataan/ doa Nabi: Aku
berlindung kepada WajahMu, beliau tidaklah mentakwilkan ucapan Nabi tersebut
pada makna-makna lain.. Beliau sekedar menyebutkan riwayat itu saja. Dari sini
juga kita bisa melihat bahwa Imam Bukhr menjadikan hadits tersebut sebagai
tafsir dari wajah. Ini menunjukkan bahwa Imam Bukhr menetapkan Sifat
Wajah bagi Allah tanpa mentahrif (memalingkan) pada makna yang lain.

Mungkin masih tersisa pertanyaan: Jika benar Imam Bukhr memilih pendapat
yang kedua dalam menafsirkan ayat itu, bukankah juga berarti beliau
menakwilkan ayat tersebut. Kalimat: Segala sesuatu akan binasa, kecuali Wajah
Allah ditakwilkan sebagai Segala sesuatu akan binasa kecuali yang
mengharapkan Wajah Allah. Benar, itu adalah takwil yang beliau lakukan
sebagaimana penakwilan al Tsaur. Penakwilan tersebut tidaklah batil, karena
memang dipahami dari ucapan lafadz Arab.

Al-Imam al Thobry menyatakan dalam tafsirnya juz 19 halaman 643 bahwa


penafsiran tersebut sesuai dengan perkataan syair:

Aku memohon ampun kepada Allah dari dosa yang aku tak mampu
menghitungnya

(Dialah) Rabb hamba-hamba, kepadaNyalah wajah (kehendak) dan amalan

Lafadz ( wajah) dalam kalimat syair tersebut berarti kehendak dan keinginan.
Takwil yang demikian bukanlah takwil yang batil, karena merupakan salah satu
penjelasan terhadap makna kalimat yang sesuai dengan konteks bahasa Arab
yang biasa dipahami. Selain itu, penakwilan ini tidaklah menafikan penetapan
Wajah bagi Allah sesuai dengan Keagungan, Kemulyaan, dan Kesempurnaan
Allah, yang tidak sama dengan makhlukNya, dan tidak diketahui kaifiyatnya
kecuali Allah.

Ibnu taimiyah mengatakan : tawil dari salaf jika berasal dari sahabat maka hal
itu diterima, karena mereka mendengarnya dari Rasul, Jika berasal dari selain
mereka dan pengikut mereka (tabiin) dan dijadikan pedoman oleh para Imam
maka kita juga menerimanya. Namun kalau ia menyendiri maka kita berpaling
darinya sebagaimana kita berpaling dari takwil kholaf.[16]

Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dan praktek-praktek yang dilakukan Ibnu Taimiyah dalam
banyak tulisannya maka jelaslah bahwa komentar-komentar beliau terkait sifat
Allah hanyalah sebatas tafsiran yang berasal dari para pendahulu kaum
muslimin dari kalangan salaf dan sahabat. Kalaupun dia menulis dengan kata
takwil maka hal tersebut bermakna tafsir yang sangat berbeda dengan
pemahaman Mutaakhirin yang memalingkan makna atau bahkan merubah
(tahrif).

Tafsir-tafsir tersebut sama sekali tidak menodai akidah terhadap Sifat Allah
berupa penetapan sifat sebagai mana datangnya dan sesuai dengan apa yang
Allah sifatkan bagi diriNya tanpa tahrif tathil dan tamsil. Beliau banyak
menjelaskan hal ini dalam kitab-kitabnya, maka ambillah pelajaran.

Wallahu alam Bisshowab

Semoga bermanfaat

Saudaramu: dobdob

Maraji:

Al Asyirah F Mizni Ahli al Sunnah


Mauqif Ibnu Taimiyah Min Asyirah
Majmu Fatwa
al Rislah al Tadmuriyyah
http://www.darussalaf.or.id
http://www.almanhaj.or.id
[1] Mukhtar Sihhh: unsur-unsur

[2] Lisn al arab: unsur-unsur

[3] Diawal surat yusuf dijelaskan tentang cerita dimana planet-planet bersujud
padanya dan kejadian itu terjadi dimesir ketika beliau menjadi salah seorang
pembesar negeri itu. Itulah takwil atau kejadian yang sebenarnya dari mimpi
tersebut.

[4] Maksudnya isi bacaan Rasulullah ketika ruku dan sujud berisi tasbih dan
istighfar sesuai dengan ayat dalam surat al Nashr ayat 3 tersebut

[5] Perkataan seperti ini sering sekali ditemukan dalam tafsir-tafsir semisal al
Thabar dan Ibnu katsir serta lain-lain ketika memulai mentafsirkan sebuah ayat
Al quran

[6] Inilah yang merupakan ranah kaifiat yang kita jahil tentang hal tersebut
kecuali yang telah diberitakan oleh Allah, tidak ada jalan lain kecuali menetapkan
sesuai dengan dzohirnya, yakni yang sesuai dengan keagungan dan
kebesarannya tanpa takyif, tasybih dan tamsil.

[7] Tafsir Ibnu Jarr ( 3/182-183). Secara jelas juga bahwa waqaf dalam ayat
tersebut memiliki dua riwayat yang keduanya boleh digunakan dan kedua
pendapat tersebut memiliki Faidah yang melengkapi bukan bertentangan

[8] Majmu Fatwa 6/394

[9] Daru Taarudh Al-Aql wa An-Naql, Ibnu Taimiyah, jilid 5/381-383, Tahqiq. Dr
Muhammad Rosyad Salim

[10] Seharusnya mereka menyebutnya dengan istilah tashrif (pemalingan) atau


tahrif (perubahan) karena kata takwil sejatinya berkonotasi positif dan akrab
ditelinga kaum salaf. Mungkin mereka menggunakan istilah takwil demi untuk
dianggap baik lalu mereka menyebutkan sesuatu bukan dengan namanya untuk
mengaburkan pendengar.

[11] Yaitu qarinah yang mereka klaim sebagai Tanzih (pensucian), namun
sejatinya justeru jurang yang menjerumuskan mereka kepada berbicara tentang
Allah yang mereka tidak memiliki ilmu tentang hal tersebut. Mereka mengatakan
bahwa istiwa bermakna istawla, karena kalau bermakna istiwa maka sesuai
pikiran sempit mereka akan membuat Allah sama dengan makhluknya, padahal
dengan memaknakan istawla justeru membuat tandingan-tandingan bagi Allah
karena dalam bahara arab istawla hanya digunakan untuk Sesutu yang berkuasa
setelah mengalahkan sesuatu. Apakah Allah perlu mengalahkan sesuatu untuk
menguasai alam semesta padahal ia menciptakan yang tidak ada menjadi ada?
Wal iyadzu billah

[12] Salah seorang pemuka Asyariyah yang menjadi penyebar mazhab ini
setelah sebelumnya redup

[13] Thabaqat Al-Hanabilah oleh Al-Qaadliy Abu Yala Al-Farraa, 2/269, tahqiq :
Dr. Abdurrahman bin Sulaiman Al-Utsaimin; Cet. Tahun. 1419

[14] Al Ruyah al Druqutni 162

[15] Al-lliki 3/454-463

[16] Naqdhut tasis (manuskrip/2/20) nukilan dari atsar yang didapat dari para
Imam sunnah tentang bab Itiqad dari kitab siyar alami al Nubal.

Jawaban Ahlussunnah Terhadap Argumentasi Takwil Para Pengingkar Sifat Uluw


Oleh: DR. Alimusri Semjan Putra, MA
Para pembaca yang dirahmati Allah! Semoga petunjuk Allah senantiasa tercurah kepada kita semua.
Pada bahsan yang lalu kita telah menjelaskan tentang jawaban dan bantahan Ahlussunnah terhadap
Syubhat Aqliyah (argumen logika) para pengingkar sifat Uluw. Sebagai kelanjutan dari pembahasan
tersebut, bagaimana pula jawaban dan bantahan Ahlussunnah terhada Syubhat Naqliyah (argumen
takwil) para pengingkar sifat uluw terhadap ayat dan hadits-hadits yang menetapkan sifat tersebut
bagi Allah?
Ada dua cara yang dilakukan oleh para pengingkar sifat Uluw terhadap nash-nash yang menetapkan
sifat Uluw bagi Allah:
Cara Pertama: Mereka mencoba menolak dalil-dalil yang menetapkan sifat Uluw bagi Allah dengan
caramentafwidh (menyerahkan maknanya kepada Allah) dan mengingkari makna yang terkandung
lafaz secara zohir. Sebahagian mereka menisbahkan cara ini kepada para ulama salaf. Mereka tidak
bisa membedakan antar tafwidh yang dipahami oleh ulama salaf dengan tafwidh yang pahami oleh
Ahlul kalam. Tafwidh yang dipahami oleh ulama salaf adalah dalam masalah kaifiyah (bentuk /hakikat)
tentang sifat tersebut bukan makna dari sifat. Adapun tafwidh yang pahami oleh Ahlul kalam adalah
tafwidh terhadap makna sifat.
Tentang kebatilan manhaj Tafwidh yang dipahami oleh Ahlul kalam sudah pernah kita jelaskan dalam
pembahasan tentang kaedah-kaedah dalam memahami nash-nash sifat. Secara ringkas dapat kita
sebutkan kembali di sini sisi-sisi kebatilan mahaj Ahlul Tafwidh;
1.
Mereka telah menutup jalan yang paling utama untuk mengenal Allah, yaitu melalui nama dan
sifat-sifat-Nya yang mulia. Karena menurut Ahlu Tafwidh nash-nash sifat tersebut tidak bisa
dipahami dan tidak dimengerti makna dan maksudnya.
2.

Menurut mereka Al Quran tidak dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk mengenal Allah,
karena menurut mereka ayat-ayat sifat tersebut adalah lafaz-lafaz yang tidak diketahui maknanya.

3.

Mereka telah menuduh -tanpa mereka sadari- bahwa Nabi r dan para sahabat y dalam
membaca ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah mereka tidak memahaminya dan tidak
mengetahui maknanya. Ini adalah prasangka yang amat buruk kepada Nabi r dan para sahabat
mulia y.
Cara Kedua: Mereka mentakwil ayat dan hadits-hadits yang menetapkan sifat tersebut.
Namun bila kita cermati sesungguhnya takwil-takwil yang mereka sebutkan sangat bertolak belakang
dengan maksud dari nash-nash tersebut, bahkan terkesan mereka telah mempermainkan ayat-ayat
Allah atau hadits-hadits Rasulullah r. Sebelum kita masuk kepada topik pembahasan takwil para Ahli
kalam terhadap dalil-dalil Uluw, ada baiknya terlebih dahulu kita kemukakan penjelasan para ulama
tentang pengertian takwil secara ringkas.
Takwil dalam penjelasan para ulama memiliki tiga pengertian[1]:
Pertama takwil bermakna: tafsir, pengertian takwil dengan makna ini sangat masyhur dikalangan
ulama salaf dan sangat banyak terdapat dalam ungkapan para ulama ahli tafsir yang terdahulul
(mutaqaddimin).
Seperti yang terdapat dalam doa Nabi r untuk sahabat yang mulia Ibnu Abbas t:


Ya Allah! Pahamkanlah ia tentang agama dan ajarkan kepadanya takwil (tafsir) [2]
Demikian pula ungkapan Imam Thobary -yang digelari sebagai imam mufassirin- berulang kali
menggunakan kata takwil untuk makna tafsir dalam kitab tafsir beliau yang monumental Jaamiul
Bayaan:

Penjelasan tentang takwil (tafsir) firman Allah Taalaa.
Kedua takwil bermakna: hakikat tentang sesuatu perkara/kejadian, sebagaimana hakikat dari mimpi
nabi Yusuf u, ketika beliau melihat sebelas bintang, matahari dan bulan bersujud kepadanya. Lalu
mimpi tersebut terbukti setelah beberapa waktu kemudian, sebagaimana dinyatakan dalam firman
Allah:
[100/} { ]
Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) menundukkan
diri seraya bersujud kepada Yusuf. Dan berkatalah Yusuf: Wahai ayahku inilah takwil mimpiku yang
dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan.
Makna yang kedua ini juga makna yang sering dipergunakan oleh para ulama salaf dalam ungkapan
mereka.
Ketiga takwil bermakna: memalingkan lafaz dari maknanya yang zohir kepada makna lain karena
adanya qorinah (dalil) yang membolehkannya. Takwil dengan pengertian ini hanya dikenal dikalangan
para ulama yang zaman terakhir (muta-akhirin) secara khusus lebih banyak dipergunakan oleh para
ulama ahli ushul fiqh. Para ulama yang memakai takwil untuk makna ini menetukan syarat-syarat
yang harus terpenuhi untuk melakukan takwil terhadap sebuah nash/dalil.
Diantara syarat-syarat tersebut adalah:
1.
Penentuan makna dalam mentakwilkan sebuah lafaz/kalimat harus ada qorinah/dalil lain yang
mendukungnya, baik dalil syari atau dalil lughawi (bahasa).
Maka seseorang tidak boleh mentakwil hanya sekedar berdasarkan kepada logikanya
semata, dan mengabaikan dalil-daliil yang lain, karena hal tersebut akan menimbulkan
kontradiksi /kerancuan dalam memahami nash-nash agama.
1 Penetuan makna dalam mentakwilkan sebuah lafaz/kalimat harus memperhatikan gramatika bahasa
Arab serta memperhatikan susunan rangkaian kata-kata dari sebuah lafaz dan kalimat.
Dalam bahasa Arab sebuah kata bisa memiliki bebrapa makna, seperti kata Ainun bisa
berarti mata yang dapat melihat, dan bisa berarti mata air, atau berarti jasus (intel) dan bisa
juga berarti bagian dari sesuatu untuk diteliti di labor. Yang dapat menetukan makna yang
sebenarnya adalah tergantung dari gramatika dan susunan rangkaian kata yang terdapat
dalam sebuah ungkapan.
1 Makna yang menjadi pilihan dalam mentakwilkan sebuah lafaz/kalimat haruslah diantara maknamakna yang tercakup dan terkandung dalam lafaz/kalimat tersebut dalam bahasa Arab.
Maka tidak boleh mentakwilkan sebuah lafaz dengan kata yang tidak tercakup dalam makna
lafaz tersebut. Seperti takwilan orang-orang bathiniyah terhadap lafaz puasa dengan
makna menjaga rahasia guru-guru mereka.
1 Tidak terdapat dalil lain yang menolak lebih kuat terhadap makna yang ditakwilkan tersebut, baik dalil
syari maupun dalil lughawi (garamatika bahas Arab).
Seperti mentakwilkan kata tangan dengan qudrat dalam firman Allah berikut ini:
[75/} { ]
Allah berfirman: Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku?.

Seandainya kata tangan ditakwil dengan qutrat, berarti qudrat Allah ada dua! karena kata
tangan dalam ayat di atas dikaitkan dengan bilangan dua. Kemudian
jika tangan diartikan qutrat berarti tidak ada keistimewaan Adam dari Iblis karena Iblis juga
diciptakan dengan qudrat Allah.
Jika salah satu syarat yang kita sebutkan di atas tidak terpenuhi maka takwil tersebut dinilai
sebagaitakwil fasid (cacat). Takwil dalam pengertian terakhir ini yang selalu menjadi perdebatan
kalangan para ulama. Karena takwil dalam pengertian ini bisa benar atau bisa salah, dan bahkan bisa
menimbulkan kesesatan dalam agama. Konsep takwil seperti ini sering dipergunakan oleh para
pengingkar sifat-sifat Allah dalam argumentasi mereka, sebagaimana yang akan kita jelaskan pada
berikutnya nanti. Alat untuk mengukur dan memastikan kebenaran takwil tersebut adalah dengan
merujuk kepada pemahaman para ulama salaf dalam memahami nash /dalil.
Takwil-takwil Ahlul kalam terhadap dalil-dalil Uluw
Pada berikut ini kita kemukakan beberapa takwil yang digunakan Ahlul kalam dalam mengingkari
sifat-sifat Allah subhaanahu wataalaa yang terdapat dalam Al Quran dan sunnah, secara khusus
sifat Uluw.
Pertama: Mentakwil nash-nas yang menunjukkan tentang sifat Uluw dan Fauqiyyah (Allah di
atas seluruh zat makhluk) dengan makna ketinggian nilai dan kekuasan (rutbah dan qohhar).
Mereka mencontohkannya dalam ungkapan seseorang: emas lebih tinggi dari perak, ketua lebih
tinggi dari wakilnya. Ketinggian yang dimaksud dalam ungkapan tersebut adalah ketinggian nilai dan
kekuasaan, bukan ketinggian zat masing-masing di atas yang lainnya. Demikian analogi yang mereka
pakai dalam mentakwil nash-nash yang menetapkan sifat Uluw bagi Allah subhaanahu wataalaa.
Sebagai contoh firman Allah:[ } { 16/]
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit
Maka menurut pemahaman Ahlu Takwil maksud firman Allah tersebut ialah: Allah lebih mulia dari
langit atau Allah lebih berkuasa dari langit. Bukan berarti Allah berada di atas langit.
Contoh lain firman Allah:[ } { 50/]
Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka
Menurut Ahlu Takwil maksud firman Allah tersebut ialah: Allah lebih mulia dari mereka atau Allah lebih
berkuasa dari mereka. Bukan berarti Allah berada di atas mereka.
Maka mereka tidak mengimani bahwa Zat Allah Maha Tinggi di atas seluruh makhluk-Nya, akan tetapi
mereka hanya membatasi keimanan pada bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Mulia di atas seluruh
makhlukn-Nya.
Adapun Ahlussunnah mengimani seluruh bagian dari makna uluw secara mutlak bagi Allah, baik dari
segi zat maupun sifat-sifat-Nya termasuk sifat Maha Kuasa dan sifat Maha Mulia.
Jawaban Ahlussunnah:
Jika kita cermati takwil mereka terhadap sifat Uluw dengan makna ketinggian nilai dan kekuasan
seperti dalam dua ayat di atas memiliki kesalahan dari beberapa sisi:
1.
Mentakwil nash-nas Uluw dengan makna Maha Mulia dan Maha Kuasa tidak sesuai dengan
gramatika yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut. Karena ayat-ayat tersebut tidak berbicara
tentang konteks perbandingan kelebihan Allah di atas makhluk-Nya dalam segi kekuasan dan
kemulian. karena tidak ada sedikitpun kedekatan antara Allah dan makhluk dalam hal tersebut! Hal
tersebut sama dengan ungkapan seseorang: permata lebih tinggi nilainya dari kulit bawang atau
pedang lebih tajam dari pada tongkat. Bila ada seseorang yang berkata demikian sungguh semua
orang akan ketawa mendengarkannya. Karena hal tiu tidak perlu dibandingkan sebab begitu jauh
perbedaan anatar keduanya. Ungkapan tersebut adalah sesuatu yang sia-sia, apalagi perbandingan
kemulian dan kekuasaan Allah dengan kemulian dan kekuasaan makhluk! Sesungguhnya Allah
Maha Suci dari segala perkataan yang sia-sia.

2.

Allah tidak pernah dalam memuji diri-Nya baik dalam Al Quran maupun melalui sabda Rasul
r, bahwasanya Dia (Allah) lebih mulia dari Arasy, atau lebih baik dari langit. Akan tetapi
perbandingan yang sering disebutkan dalam Al Quran tentang sesembahan dari selain Allah
manakah yang lebih baik dari Allah? Seperti dalam firman Allah:

( 39) }
[40 39/ { ]
Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi
Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) namanama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu
keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah
memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.
1 Nash-nash yang menyatakan tentang sifat Uluw (keMahatinggian Zat Allah) di atas seluruh makhlukNya diungkapkan dalam berbagai redaksi dan sinonim yang menafikan takwil terhadap sifat
tersebut.
Sebagai contoh firman Allah:
[10/ { ]

}
Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu
semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh Ia angkat
kepada-Nya.
Dan firman Allah:[ } { 158/]
Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya.
Kata-kata; naik dan diangkat dalam dua ayat tersebut sangat jelas lafaz yang menunjukan posisi
dari bawah ke atas dan tidak mungkin ditakwil lagi dengan ketinggian nilai dan kekuasaan atau
makna-makna lain yang mau dicari oleh Ahlu Takwil.
Kedua: Mereka mentakwil lafaz Istawaa ( )yang terdapat dalam Al Quran dengan
makanaIstawlaa () .
Dianatara dalil yang menyatakan bahwa Allah bersifat Uluw adalah ayat-ayat yang menyatakan
bahwa Allah beristiwaa di atas Arasy. Sebagaimana telah kita jelaskan permasalahan ini dalam
pembahasan tentang dalil-dalil Uluw dari ayat-ayat Al Quran. Namun orang-orang Ahlul kalam
berusaha menolak makna Istiwaa dengan cara mentakwilnyat dengan makna istilaa (berkuasa).
Jawaban Ahlussunnah:
1.
Garamatika penggunaan lafaz istiwaa dalam bahasa Arab ada dua bentuk:
1. Mutlak yaitu penggunaannya tidak dihubungkan dengan huruf bantu .
2. Muqayyad yaitu penggunaannya dihubungkan dengan huruf bantu .
Ketika lafaz istiwaa dalam gramatika Mutlak berbeda maknanya ketika berrada dalam
gramatikaMuqayyad, begitu pula dalam garamatika Muqayyad dengan huruf tertentu maka
maknanya bisa sama atau bebrbeda bila saat Muqayyad dengan huruf yang lain.
Bila lafaz istiwaa berada dalam gramatika Mutlak maka ia bermakna: sempurna atau matang (
). seperti diungkapkan dalam bahasa Arab: ( ) atinya: tanaman itu telah
tumbuh sempurna dan makanan itu telah matang.
Adapun lafaz istiwaa yang Muqayyat dengan huruf, ia berada dalam tiga gramatika:
1. Digabung dengan huruf banru Ilaa ( ) seperti dalam ungkapan berikut: artinya:
Sipulan naik ke atas loteng. Untuk gramatika ini terdapat dalam Al Quran dalam dua ayat:
Pertama dalam firman Allah:
}
[29/ { ]

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit.
Kedua dalam firman Allah:[ } { 11/]
Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap.
Dalam konteks ini istawaa mennjukkan dua Makna:( bermaksud) dan makna
( tinggi/ di atas) untuk menetukkan makna yang tepat dari dua makna tersebut dilihat dari
sisi gramatikanya, sebagaimana dalam contoh di atas.
a Digabung dengan huruf bantu Alaa ( ) sebagaimana dalam beberpa ayat berikut:
Pertama dalam firman Allah:
{[ } 44/]
Dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi
Kedua firman Allah:
{[ } 13/]
Supaya kamu duduk di atas punggungnya.
Ketiga firman Allah:
{[ } 29/]
Tegak lurus di atas rumpunnya.
Dalam konteks ini dalam semua nash istawaa menunjukkan makna ( tinggi/ di atas)
dan tidak bisa tawil dengan makna dari selain itu. Dalam sifat Istiwaa Allah terdapat tujuh
ayat[3] yang muqayyad dengan huruf Alaa ( ) sebagaimana telah jelaskan ketika
membahas dalil-dalilUluw dalam Al Quran.
Bila kita cermati semua nash yang menunjukkan tentang Istiwaa Allah hanya berada dalam
hal yaitu: muqayyad dengan huru Ilaa ( ) atau huruf Alaa ( ) saja.
a Digabung dengan huruf penghubung Waaw ( )yang menunjukkan akan makna maful maah
(kesamaan /sebanding) seperti ungkapan seseorang: ) ( artinya air dan kayu
sejajar.
Jika kita cermati lafaz Istawaa ( )dalam dari berbagai gramatika bahasa Arab tidak ada
satupun yang bermakna Istawlaa ( ) dan tidak ada satupun dari ulama pakar bahasa arab
yang terpercaya menyebutkannya.
Seorang ulama pakar bahasa Arab yaitu Khalil bin Ahmad pernah ditanya: apakah engkau
pernah menemukan dalam bahasa Arab Istawaa ( )dengan makna Istawlaa (?)
Beliau menjawab: ini adalah sesuatu yang tidak pernah dikenal orang Arab dan tidak pernah
digunakan dalam bahasa mereka[4].
1 Istawaa ( )dan Istawlaa ( ) adalah dua kata yang berbrbeda dari sisi lafaz dan makna.
Karena tidak penah ditemukan penggunaan Istawlaa ( ) dalam Al Quran dan sunnah maupun
dalam bahasa Arab untuk menunjukkan makna Istawaa (), ini membuktikan bahwa
lafaz Istawaa ( )tidak boleh ditakwilkan dengan makna Istawlaa () , kalau hal tesebut
diperbolehkan tentu akan terdapat penggunaan kedua lafaz tersebut saling bergantian.
Andaikan lafaz Istawlaa ( ) disebutkan dalam Al Quan, namun bila dibandingkan
lafaz Istawaa( )jumlahnya lebih banyak disebutkan umpamanya, tentu yang seharusnya
dilakukan adalah menggunakan makna Istawaa ( )untuk lafaz Istawlaa () , bukan
sebaliknya! Apalagi kenyataanya justru lafaz Istawlaa ( ) tidak pernah penah disebut dalam Al
Quran, lalu dari mana bisa kita bisa menjadikan makna Istawlaa ( ) sebagai takwil bagi
lafaz Istawaa (?)
1 Bila Istawaa ( )ditakwilkan dengan makna Istawlaa ( ) hal tersebut akan melazimkan
kerancuan dalam makna dan dalam pemahaman kaum muslimin. Hal tersebut ditinjau dari
beberapa segi:
1. Tatanan gramatika bahasa Arab, kalimat Istawaa ( )didahului oleh kata penghubung Tsumma()
yang menunjukkan runtutan kejadian /peristiwa (tartib).
Sebagaimana dalam firman Allah:

}
[4/ { ]

Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam
enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy.
Bila lafaz Istawaa ( )ditakwilkan dengan makna Istawlaa ( ) berarti Arsy sebelumn
pencitaan langit dan bumi berada di luar kekuasaan Allah. Lalu Arasy tersebut di bawah
kekuasaan siapa sebelumnya? Karena arti dari makna Istawlaa ( ) itu menguasai jauh
beda dengan makna Istawaa ().
a Bila Bila lafaz Istawaa ( )ditakwilkan dengan makna Istawlaa ( ) berarti ada yang berusaha
menguasai Arasy dari selain Allah! karena penggunaan lafza Istawlaa ( ) dalam bahsa Arab
adalah untuk menunjukkan dua pihak yang saling berebut menguasai sesuatu, bila salah satu di
anatara keduanya dapat mengalahkan yang lainnya maka ia disebut menguasanya ( ) .
Apakah ada yang berusaha merebut Arasy dari kekuasaan Allah sebelumnya? Bila ada di anatara
manusia yang berasumsi demikian sesunggunya ia telah jatuh kedalam kesesatan yang nyata.
1 Jika lafaz Istawaa ( )ditakwilkan dengan makna Istawlaa ( ) yang artinya menguasai.
Melazimkan para Ahlu Takwil memilih salah satu dari dua pilihan yang kedua-duanya bagaikan
memakan buah simalakama:
1. Berarti boleh dikatakan oleh seseorang bahwa Allah Istiwaa ( )di atas gunung, di atas pohon, dan
di atas semua makhluk yang ada di muka bumi. Karena kekuasaan tidak terbatas atas Arasy saja.
Lalu apa artinya Allah mengkhusus Arasy dengan sifat istiwaa ( )dalam setiap ayat dalam Al
Quan!?
2. Atau Allah hanya mengusai Arasy saja setelah menciptakan langit dan bumi, karena Allah
mengkhusus Arasy dengan sifat istiwaa ( )dalam setiap ayat dalam Al Quan!? Lalu siapa yang
menguasai langit dan bumi kalau bukan Allah!?
Kesimpulanya lafaz Istawaa ( )tidak bisa ditakwilkan dengan makna Istawlaa ()
karena kedua saling berbeda dilalahnya menurut syara dan lughah.
1 Jika lafaz Istawaa ( )ditakwilkan dengan makna Istawlaa ( ) ini adalah tahrif
(penyelewengan) terhadap kalam Allah. Seperti perbuatan orang-orang Bani Irail ketika
diperintahkan Allah untuk mengucapkan Hiththoh (ampunan) mereka menukar ucapan tersebut
dengan kata Hinthoh (gandum).
Sebagaimana diceritakan dalam firman Allah:
[59 58/( { ]58) }
Dan katakanlah: Bebaskanlah kami dari dosa, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu,
dan kelak Kami akan menambah (kebaikan) kepada orang-orang yang berbuat baik. Lalu orangorang yang zalim mengganti ucapan yang tidak dikatakan kepada mereka.
Maka orang yang suka metakwil kalam Allah adalah telah meniru kebiasaan orang-orang Bani
Israil yang telah merubah-rubah kalam Allah yang diturunkan kepada mereka. Oleh sebab itu
ulama kita mengatakan Laam ( )yang ditambahkan oleh Ahlu Kalam terhadap lafaz ()
sehinggga menjadi ( ) sama dengan perbuatan orang Bani Israil yang menambah Nuun ()
terhadap kalimat ( )sehingga menjadi ().
1 Alasan utma orang Ahlul kalam mentakwil lafaz Istawaa ( )dengan makna Istawlaa ( ) adalah
takut terjatuh kedalam aqidah Tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Akan tetapi dalam
kenyataannya justru mereka terjatuh pada lubang yang mereka gali sendiri, karena makhluk juga
memilki sifat Istawlaa () . Jika mereka menetapkan sifat Istawlaa ( ) bagi Allah berarti
mereka juga menyerupakan Allah dengan makhluk. Bahkan lebih keliru lagi ketika mereka
mentakwil sifat Allah dengan makna yang tidak pantas dinisbahkan kepada Allah. Karena Istawlaa (
) maknanya menyadingkan Allah dengan makhluk dalam berebut menguasai Arasy. Oleh

sebab itu Allah tidak pernah menisbahkan sifat tersebut kepada diri-Nya dalam Al Qu;an, demikian
pula Rasulullah r dalam sabdanya.
Di sini mereka harus mengakui kebenaran pandangan Ahlussunnah tentang sifat Istiwaa ():
bahwa Allah beristiwaa di Arasy sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya, tidak sama
seperti beristiwaanya makhluk.
1 Takwil yang dilakukan oleh Ahlul kalam terhadap ayat-ayat tentang sifat Uluw adalah takwil yang
cacat hukum karena tidak memenuhi syarat-syarat dan kriteria yang ditetukan oleh para ulama
sebagaimana yang kita sebutkan di awal bahasan ini. Bahkan Tidak ditemukan seorang pun dari
para sahabat dan para ulama salaf dikalangan umat ini yang mentakwil ayat-ayat tentang sifat Uluw
bagi Allah. Kecuali mereka yang terpengaruh dengan aqidah filsafat Yunani.
1 Sebagai pemungkas untuk orang-orang yang mengaku mengikuti aqidah Imam Abu hasan Asyari. Di
sini kami sebutkan bantahan beliau terhadap orang yang mentakwil lafaz ( )dengan makna (
) dalam kitab munumental beliau Al Ibaanah[5]: Sesungguhnya orang-orang Mutazilah,
Jahmiyah dan Haruriyah berpendapat bahwa firman Allah:[ } { 5/]
Tuhan Yang Maha Pemurah beristiwaa di atas Arsy.
Menurut mereka makna ( )adalah menguasai ( ) dan zat Allah berada disetiap
tempat. Mereka mengikari bahwa Allah berada di atas Arasy sebagaimana yang diyakini oleh
Ahlul Haq, mereka mengartikan Istiwaa dengan Qudrah.
Kalau benar apa yang mereka sebutkan tentu tidak ada perbedaanya antara Arasy dengan bumi
yang dilapisan ketujuh! Karena segala sesuatu berada di bawah kekuasan Allah. Bumi, tempat
buang kotoran dan segala yang di dalam alam ini adalah di bawah kekuasaan Allah.
Jika istiwaa Allah di atas Arasy diartikan istilaa tentu Allah itu beristiwaa di atas segala
sesuatu?! berarti Allah beristiwaa di atas Arasy, bumi, langit, tempat buang hajat dan di atas
segala tempat yang kotor?! Karena Zat Yang kuasa atas segala sesuatu berarti Ia telah
memilikinya () . Sekalipun Allah menguasai segala sesuatu, namun tidak ada seorangpun
dari kalangan kaum muslimin yang membolehkan ungkapan: Allah beristiwaa di atas tempat
buang hajat dan kotoran .
Asumsi orang-orang Mutazilah, Haruriyah dan Jahmiyah bahwa zat Allah berada disetiap
tempat, melazimkan Allah berada dalam perut Maryam, tempat buang kotoran dan tempat buang
hajat, hal ini adalah bertentangan dengan agama. Hal ini juga melazimkan Allah berada diantara
diantara langit dan bumi, dianatara dua langit dan dianatara dua lapis bumi, ini senua merupakan
kemustahilan dan saling bertentangan.
Demikian bantahan Imam Abu Hasan Asyary secara ringkas. Semoga orangorang Asyaairah yang mengaku sebagai pengikut beliau mau menerima keyakinan imam mereka
dan meninggalkan keyakinan orang-orang MuTazilah, Haruriyah dan Jahmiyah.
Wallahu Alam wa Ahkam

[1] Penjelasan lebih luas tentang hal ini dapat dilihat dalam kitab Jinayah at Takwil al Faasid
karangan Dr. Muhammad Ahmad Luh, MA. Dan kita-kitab Ulumuttafsir.
[2] H.R. Imam Ahmad no (2397), dan dishohihkan oleh Syeikh Al Bany dalam silsilah shohihah no
(2589).
[3] Lihat: Q.S. Al Araaf:( 54), Yunus:( 3), Thohaa:( 5), Ar Rad:( 2), Al Furqon:( 59), As Sajdah:( 4),
Fushshilat:( 11).
[4] Lihat: Aqoowiil Ats Tsiqqoot karangan Al karmy, hal: 124.
[5] Lihat: Al Ibaanah, hal: 98-99.

Anda mungkin juga menyukai