Anda di halaman 1dari 19

Kata ya‘tadzirûn/mengemukakan uzur menggunakan bentuk kata kerja masa kini dan

datang. Seperti yang penulis kemukakan di atas, bentuk kata itu mengisyaratkan
bahwa mereka terus-menerus akan mengemukakan dalih.

“Dan Allah akan melihat pekerjaan kamu, dan rasul-Nya (juga). Tidak menyatakan
Allah dan rasul-Nya akan melihat pekerjaan kamu.” Ini untuk mengisyaratkan bahwa
pengetahuan Allah berbeda dengan pengetahuan Rasul, penglihatan-Nya pun
berbeda. Pengetahuan Allah secara langsung dan amat terperinci, sedang
pengetahuan Rasul tidak langsung, tetapi melalui pemberitaan Allah swt. dan atau
melalui firasat yang Allah swt. Anugerahkan kepada beliau. Itu pun tidak seterperinci
dan sejelas pengetahuan Allah swt.

wa sayara allâhu ‘amalakum wa rasûluh/dan Allah akan melihat pekerjaan kamu dan
Rasul-Nya dapat dipahami sebagai ajakan bertaubat sebagaimana terbaca dalam
rangkaian penjelasan di atas, dan dapat juga dipahami dalam arti ancaman buat
mereka.

Kalau ayat yang lalu menyebut tujuan sumpah mereka adalah agar tidak dikecam,
kali ini dikemukakan bahwa tujuan mereka adalah agar direstui.

al-a‘râb siapa pun yang tinggal di daerah yang jauh dari perkotaan atau tempat
pemukiman umum, baik orang Arab maupun bukan orang Arab, dan baik yang
tinggal di wilayah Arab atau bukan.

ad-dawâ’ir adalah jamak dari kata (i i) dâ’irah, yakni lingkaran. Kata ini digunakan
untuk peristiwa-peristiwa buruk atau beralihnya sesuatu yang positif menjadi
negatif. Kondisi, situasi, dan peristiwa terjadi silih berganti; hari-hari berputar
bagaikan roda atau lingkaran. Kaum munafikin menantikan datangnya
hari/peristiwa-peristiwa buruk dan beralihnya situasi positif yang dinikmati oleh
kaum muslimin menjadi situasi negatif. Jika kini kaum muslimin berada pada posisi
atas, perputaran lingkaran diharapkan oleh kaum munafikin segera terjadi agar kaum
muslimin berada pada posisi bawah dan mereka pada posisi atas.

qurubât adalah bentuk jamak dari kata (i i) qurbah yang digunakan dalam arti sarana
pendekatan diri kepada Allah

Kata (i i) shalawât adalah bentuk jamak dari kata (i i) shalâh. Kata ini mempunyai
aneka makna sesuai dengan pelakunya. Bila pelaku- Nya Allah swt., ia berarti
curahan rahmat, bila pelakunya malaikat, maknanya adalah memohonkan
maghfirah/pengampunan, sedang bila pelakunya manusia, ia adalah doa kepada
Allah swt.

Kata (i i) alâ digunakan untuk meminta perhatian pendengar. Karena itu, ia


diterjemahkan dengan ketahuilah.
Syaikh Mutawalli asy-Sya‘râwi antara lain menulis bahwa as-sâbiqûn adalah siapa
yang melakukan sesuatu sebelum selainnya.

apakah keterdahuluan yang dimaksud ayat ini menyangkut waktu atau menyangkut
nilai/kualitas keteladanan kepada Rasul saw. Jika

keterdahuluan ini menyangkut “waktu”, itu berarti keutamaan yang hanya diraih
oleh mereka yang hidup pada masa Rasul saw., bahkan itu pun bukan mereka
semua. Mereka hanya dari kelompok al-Muhajirin dan al-Anshar. jika ia tidak
dikaitkan dengan waktu, kedudukan mereka dapat juga

diraih oleh orang-orang beriman yang hidup jauh sesudah waktu atau masa mereka.
Ini jika keterdahuluan yang dimaksud dikaitkan dengan nilai keimanan dan
keteladanan kepada Rasul saw. Hal ini terlihat dengan jelas pada firman-Nya dalam
QS. al-Wâqi‘ah [56]: 10-14. Di sana, dinyatakan wassaiqunas sabiqun.

wa al-ladzîna at-taba‘ûhum bi’ihsân/ dan orang-orang yang mengikuti mereka


dengan baik dapat juga dipahami bahwa mereka mengikuti kaum Muhajirin dan
Anshar atas dasar sesuatu yang baik, yakni ikut berdasarkan haq dan kebenaran
bukan atas dasar hawa nafsu, atau semacam orang-orang Jahiliyah yang mengikuti
leluhur mereka atas dasar kebatilan atau berdasar taqlid buta.

sanu‘adzdzibuhum marratain/akan Kami siksa dua kali dipahami oleh sementara


ulama dalam arti; siksa pertama adalah terbongkarnya kedok kemunafikan dan
diketahuinya oleh umum keburukan mereka, yang menjadikan mereka sangat malu
dan terhina, dan siksa kedua adalah saat kematian, yakni ketika para malaikat
mencabut nyawa mereka sambil memukul muka dan belakang mereka.

Thâhir Ibnu ‘Âsyûr tidak memahami kata (i i) marratain/dua kali dalam arti bilangan
yang di atas satu dan di bawah tiga, tetapi dalam arti berkali-kali. Ini menurutnya
serupa dengan kata (i i) karratain dalam QS. al-Mulk [67]: 4. Di sana, ia dipahami
dalam arti berulang-ulang.

Kata (i i) khalathû/mencampurbaurkan bukan berarti melakukan amal saleh yang


menyatu dengannya amal buruk, tetapi maknanya adalah melakukan amal saleh
pada satu saat dan pada saat yang lain melakukan amal buruk. Unlike the one on
surah albaqarah.

Kata (i i) ‘asâ pada dasarnya digunakan untuk menunjukkan harapan. Sedang


harapan adalah sesuatu yang belum pasti terjadi. Sementara beberapa ulama
memahami kata ini, bila pelakunya adalah Allah, ia berarti pasti.

Rasa khawatir dan cemas hendaknya selalu menghiasi jiwa manusia karena ia belum
lagi yakin tentang pengampunan Allah swt. terhadap dirinya. ( belum pasti )
Beberapa ulama memahami perintah ayat ini sebagai perintah wajib atas penguasa
untuk memungut zakat. Tetapi, mayoritas ulama memahaminya sebagai perintah
sunnah.

penerima zakat agar mendoakan pemberi zakat Allah swt. tidak menuntut agar
memberi semua harta yang dimiliki. Yang dituntut-Nya hanya sebagian, tetapi
ganjaran yang dianugerahkan-Nya bukan hanya pengampunan dosa yang dinyatakan
dengan kata (i i) tuthahhiruhum, tetapi juga (i i) tuzakkîhim, yakni pelipat gandaan
harta yang disumbangkan itu.

Kata (i i) tuzakkîhim terambil dari kata (i i) zakât dan (i i) tazkiyah yang dapat berarti
suci dan dapat juga berarti berkembang. Sementara ulama memahami kata (i i)
tuthahhiruhum dalam arti membersihkan dosa mereka dan kata (i i) tuzakkîhim
adalah menghiasi jiwa mereka dengan aneka kebajikan dan atau mengembangkan
harta mereka. Pendahuluan kata tuthahhiruhum dari kata tuzakkihim means
mensucikan batin harus didahulukan dari pengembangan harta.

kaum mukminin yang melihat itu adalah mereka yang akan menjadi syuhadâ (saksi-
saksi amal) serupa dengan firman-Nya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan
kamu umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi-saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”

Kata (i i) immâ/boleh jadi mengandung makna keraguan, tetapi tentu saja keraguan
ini bukan dari Allah swt. tetapi keraguan manusia, agar Rasa khawatir dan cemas
hendaknya selalu menghiasi jiwa manusia karena ia belum lagi yakin tentang
pengampunan Allah swt. terhadap dirinya. ( belum pasti )

Ada juga yang memahaminya dalam arti tidak berdiri dan tidak berada di tempat itu
sama sekali dan, karena itu, menurut al-Qurthubi, Rasul saw. tidak pernah lagi
melalui jalan di mana lokasi masjid Dhirâr itu dibangun, bahkan seperti dikemukakan
sebelum ini, beliau memerintahkan untuk menjadikannya tempat pembuangan
bangkai dan sampah

masjid Qubâ’ lebih dahulu dibangun daripada masjid Nabawi

lebih patut shalat di masjid Qubâ’ atau masjid Nabawi, karena masjid itu dibangun
atas dasar takwa, sedang “masjid” kalian dibangun atas dasar kedurhakaan.

senang menyucikan diri” bahwa mereka adalah Banî ‘Amr bin ‘Auf,

Sementara ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil untuk melarang shalat di masjid
yang dibangun atas dasar riya, pamrih, atau tujuan yang bertentangan dengan nilai-
nilai Ilahi
Kata (i i) assasa/mendirikan mengandung makna meletakkan fondasi. Ayat ini
mempersamakan motivasi suatu kegiatan dengan fondasi satu bangunan. Fondasi
haruslah kukuh agar bangunan dapat bertahan menghadapi guncangan. Takwa
adalah motivasi yang amat kukuh. Ketiadaan takwa atau kerapuhan fondasi
mengakibatkan runtuhnya bangunan dan itulah yang menjadikan bangunan orang-
orang munafik itu runtuh dan jatuh menimpa mereka kemudian bersama-sama
masuk ke jurang neraka.

Kata (i i) as-sâ’ihûn, selain dipahami dalam arti pelawat, ada juga yang
mempersempit artinya dengan memahaminya dalam arti berperang di jalan Allah
atau pergi meninggalkan tempat kediaman untuk menuntut ilmu atau meninggalkan
kebiasaan sehari-hari dengan berpuasa, yakni bangun, tidur, dan makan bukan pada
jam-jam biasa.

Istilah (i i) mâ kâna yang secara harfiah berarti tidak pernah ada, dan sering kali juga
diterjemahkan dengan tidak sepatutnya, menurut Thâhir Ibnu ‘Âsyûr, digunakan
untuk menekankan sesuatu dengan sungguhsungguh. Asy-Sya‘râwi berpendapat
bahwa istilah itu bagaikan menafikan adanya kemampuan melakukan sesuatu.
Redaksi itu, menurutnya, berbeda dengan redaksi (i i) mâ yanbaghî yang secara
harfiah berarti tidak sepatutnya karena yang terakhir ini masih menggambarkan
adanya kemampuan, hanya saja tidak sepatutnya dilakukan.

Nabi Ibrâhîm as. mengajukan permohonan itu, di samping disebabkan oleh janji yang
disebut di atas, juga karena beliau memiliki sifat (i i) halîm yakni penyantun, mampu
meredam kemarahan dan sikap buruk orang lain, serta (i i) awwâh, yakni sering kali
mengeluh karena takut kepada Allah swt.

Kata (i i) mau‘idah/janji. Berbeda pendapat ulama tentang siapa yang mengikrarkan


janji itu, apakah Nabi Ibrâhîm as. atau bapaknya. Banyak ulama berpendapat bahwa
yang berjanji adalah Nabi Ibrâhîm as. Ini, menurut mereka, diisyaratkan oleh QS. al-
Mumtahanah [60]: 4: “Kecuali perkataan Ibrâhîm kepada bapaknya: ‘Sesungguhnya
aku akan memohonkan ampunan bagimu,’” atau oleh QS. Maryam [19]: 47: “Berkata
Ibrâhîm: ‘Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun
bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku”.

Thabâthabâ’i berpendapat bahwa (i i) tâballâh ‘alâ an-nabiyy yang diterjemahkan di


atas dengan Allah telah menerima taubat Nabi bermakna Allah telah kembali dengan
rahmat-Nya kepada Nabi saw. Dan juga kepada kelompok al-Muhajirin dan al-Anshar
berkat ketekunan mereka mengikuti Nabi saw. pada saat al-‘usrah ketika Perang
Tabuk itu. Ini, menurut Thabâthabâ’i, karena dalam konteks ayat ini, tidak disebut
adanya dosa atau pelanggaran sehingga kata (i i) tâba lebih tepat dipahami sesuai
pengertian kebahasaan, yaitu kembali.
Thabâthabâ’i yang menyatakan bahwa taubat dari Allah berarti kembali-Nya kepada
hamba dengan mencurahkan rahmat. Adapun taubat manusia, maka ia adalah
permohonan ampun, disertai dengan meninggalkan dosa.

Beberapa riwayat melukiskan “kesulitan” yang dimaksud ayat ini, antara lain bahwa,
ketika itu, makanan dan air sangat kurang, padahal perjalanan jauh dan panas sangat
terik.

Taubat Nabi saw. menyangkut hal-hal yang boleh jadi pada hakikatnya benar dan
baik, bahkan istimewa bila hal tersebut dilakukan oleh selain Nabi Agung. Anda
masih ingat sikap Nabi saw. yang dimaafkan Allah swt. ketika mengizinkan
sementara kaum munafikin untuk tidak ikut dalam perang ke Tabuk. (Baca kembali
ayat 43 surah ini).

(i i) zhannû yang pada mulanya berarti menduga. Yang dimaksud di sini adalah
mengetahui, bahkan tidak keliru dipahami sebagai yakin.

kemudian Allah mempermudah buat mereka taubat agar mereka bertaubat. Ka‘ab
bin Mâlik, Hilâl bin Umayyah, dan Mararah bin Rabî‘ 50 hari boikot

dan tidak patut pula bagi mereka mencintai diri mereka melebihi cinta mereka atas
diri beliau

thâ’ifah dapat berarti satu atau dua orang. Ada juga yang tidak menentukan jumlah
tertentu, namun yang jelas ia lebih kecil dari (i i) firqah yang bermakna sekelompok
manusia yang berbeda dengan kelompok yang lain. Karena itu, satu suku atau
bangsa, masing-masing dapat dinamai firqah.

Kata (i i) liyatafaqqahû terambil dari kata (i i) fiqh, yakni pengetahuan yang


mendalam menyangkut hal-hal yang sulit dan tersembunyi. Bukan sekadar
pengetahuan. Penambahan huruf (i i) tâ’ pada kata tersebut mengandung makna
kesungguhan upaya, yang dengan keberhasilan upaya itu para pelaku menjadi pakar-
pakar dalam bidangnya. Demikian kata tersebut mengundang kaum muslimin untuk
menjadi pakar-pakar pengetahuan.

Kata (i i) rijs/kekotoran dapat berarti kekotoran material atau immaterial. Dari sini,
kekufuran atau kemunafikan dilukiskan juga dengan kata tersebut, demikian juga
godaan setan.

Kaum munafikin itu mengukur orang lain seperti diri mereka. Memang, para munafik
tidak akan bertambah keimanannya dengan turunnya ayatayat al-Qur’an. Karena itu,
mereka tidak mengakui adanya penambahan iman dari siapa pun saat mendengar
ayat-ayat al-Qur’an, bahkan memperolokolokkan hal tersebut
setiap ayat dibaca atau didengar dengan tekun, terbuka lebar pula pintu hati dan
akal sang mukmin untuk memeroleh kesan dan pesan baru yang belum diketahui
sebelumnya. Rujuklah ke QS. al-Anfâl [8]: 2 untuk memahami lebih jauh makna
pertambahan iman itu Kata (i i) yuftarûn/diuji yang dimaksud di sini adalah krisis
atau kesulitan yang mereka alami, antara lain seperti penyakit, ketiadaan rasa aman,
bencana alam, paceklik,

“apabila diturunkan satu surah yang membongkar rahasia mereka, sebagian mereka
memandang kepada sebagian yang lain dengan lirikan matanya sambil bertanya-
tanya keheranan bagaimana Nabi saw. dapat mengetahui rahasia mereka. Mereka
bertanya kepada rekan-rekannya sekemunafikan: “Adakah seorang pun yang melihat
kamu saat ketika kamu melakukan kegiatan yang tersembunyi dan
merencanakannya? Ini mereka pertanyakan karena kekufuran menghalangi mereka
percaya bahwa Allah swt. menyampaikan kepada Nabi-Nya rahasiarahasia hati
mereka.

“Aku bagaikan seorang yang menyalakan api, setelah menyala menerangi sekeliling,
laron mengitarinya dan terjerumus ke dalam api itu. Kalian seperti itu, tetapi aku
menghalangi kalian terjerumus ke api, tetapi sebagian kalian terjerumus juga.”

“Aku memegang ikat pinggang kalian, tetapi sebagian kalian terlepas dari
peganganku.”

Kata (i i) jâ’akum rasûl/telah datang kepada kamu memberi kesan bahwa Nabi
Muhammad saw. datang atas kehendak beliau sendiri, bukan diutus atau
didatangkan oleh Allah swt., tetapi penyebutan kata rasul memberi kesan bahwa
kedatangan beliau adalah sebagai utusan Allah. Gabungan dari kedua kata itu pada
akhirnya melahirkan kesan baru bahwa beliau tercipta dengan membawa potensi
keimanan yang menjadikan beliau sangat wajar menjadi rasul pesuruh Allah swt.
sehingga, saat beliau menerima wahyu Ilahi, saat itu juga beliau tampil
melaksanakan tugasnya tanpa harus didorong-dorong, tetapi langsung terdorong
oleh jiwa, oleh potensi yang sangat besar yang memenuhi jiwa beliau, dan karena itu
pula sehingga beliau bukan saja sangat bersungguh-sungguh berdakwah, senang dan
berbahagia melaksanakannya tetapi lebih dari itu, sebagaimana digambarkan oleh
ayat ini.

Kata (i i) anfusikum memberi kesan bahwa beliau adalah sejiwa dengan mitra bicara,
mengetahui detak-detik jantung mereka, merasakan getaran jiwanya, serta
menyukai untuk mereka sebagaimana apa yang disukainya. Demikianlah seharusnya
sifat seorang pemimpin.
ra’fah selalu melimpah ruah bahkan melebihi kebutuhan, sedang rahmat sesuai
dengan kebutuhan

“Siapa yang membaca di waktu pagi dan petang Hasbiya allâhu lâ ilâha illâ huwa
‘alaihi tawakkaltu wa huwa rabbul ‘arsy al-azhîm sebanyak tujuh kali, Allah akan
mencukupkan baginya apa yang meresahkannya.”

Thâhir Ibn ‘Âsyûr memahami kata itu bukan untuk menunjuk ketinggian derajat ayat-
ayat al-Qur’an tetapi untuk mendorong mitra bicara memandang dan
memerhatikannya sehingga mereka dapat sampai pada kesimpulan bahwa ia benar-
benar bersumber dari Allah swt

sehingga sifat tersebut sangat mutlak pada diri seorang muslim. Suatu ketika Nabi
saw. ditanya, “Apakah seorang mukmin dapat menjadi penakut?” Nabi menjawab,
“Ya.” “Apakah dia dapat menjadi kikir?” Nabi saw. menjawab, “Ya.” “Apakah dia
dapat menjadi pembohong?” tanyanya lagi. Nabi saw. kali ini menjawab “Tidak”

qadama shidq diperselisihkan maknanya oleh para ulama. Ada yang memahaminya
dalam kedudukan yang tinggi atau ganjaran besar sebagai imbalan amal-amal
kebajikan yang mereka lakukan.

sedang al-Qur’an sangat memesona mereka dan menjadikan sebagian anggota


masyarakat meninggalkan agama nenek moyang bagaikan—menurut kaum
musyrikin itu—or ng-orang yang tersihir.

istawâ dari makna dasarnya, yaitu bersemayam, ke makna majazi (metafor), yaitu
“berkuasa

‘Arsy, yang dari segi bahasa adalah tempat duduk raja/ singgasana, kadang-kadang
dipahami dalam arti kekuasaan

Kata (i i) tsumma/kemudian bukan dimaksudkan untuk menunjukkan jarak waktu,


tetapiuntuk menggambarkan betapa jauh tingkat penguasaan

‘Arsy dibanding dengan penciptaan langit dan bumi.

Kata (i i) haqqa berarti sesuatu yang mantap tidak berubah. Ia juga berarti sesuatu
yang sesuai dengan kenyataan

(i i) al-qisth (keadilan) menyangkut balasan untuk orang-orang beriman, padahal


boleh jadi mereka memeroleh ganjaran yang melebihinya berkat anugerah dan
kemurahan Allah swt

al-Qur’an menggunakan kata dhiyâ’ dalam berbagai bentuknya untuk benda-benda


yang cahayanya bersumber dari dirinya sendiri. Al-Qur’an, misalnya, menggunakan
kata tersebut untuk api (QS. al-Baqarah [2]: 17), kilat (QS. al-Baqarah [2]: 20),
demikian juga untuk minyak zaitun (QS. an-Nûr [24]: 35).

Ini berbeda dengan bulan yang sinarnya dilukiskan dengan kata nûr untuk
mengisyaratkan bahwa sinar bulan bukan dari dirinya tetapi pantulan dari cahaya
matahari.

Kata (i i) qaddarahu manâzila dipahami dalam arti Allah swt. menjadikan bagi bulan
manzilah-manzilah, yakni tempat-tempat dalam perjalanannya mengitari matahari,
setiap malam ada tempatnya dari saat ke saat sehingga terlihat di bumi ia selalu
berbeda sesuai dengan posisinya dengan matahari. Inilah yang menghasilkan
perbedaan-perbedaan bentuk bulan dalam pandangan kita di bumi. Dari sini pula
dimungkinkan untuk menentukan bulan-bulan Qamariyah. Untuk mengelilingi bumi,
bulan menempuhnya selama 29 hari 12 jam 44 menit dan 2,8 detik.

Kata (i i) liqâ’anâ/pertemuan dengan Kami, yang dipahami dengan pertemuan


ganjaran dan siksa Kami, menghasilkan kepercayaan tentang adanya ganjaran dan
siksa Allah swt. pada hari Kemudian

yahdîhim rabbuhum bi îmânihim/ Tuhan mereka memberi petunjuk kepada mereka,


yakni memberi mereka petunjuk “kepada Tuhan mereka”. Ini, menurutnya, karena
konteks pembicaraan adalah kesudahan orang-orang yang mengharapkan
pertemuan dengan Allah swt. Di tempat lain Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertaubat
kepada-Nya”

Kata (i i) subhânaka terdiri dari kata subhâna yang disertai dengan huruf kâf yang
menunjuk kepada mitra bicara dalam hal ini adalah Allah swt. Kata subhâna terambil
dari kata (i i) sabaha yang pada mulanya berarti menjauh. Seseorang yang berenang
dilukiskan dengan menggunakan akar kata yang sama, yakni (i i) sabbâh karena,
dengan berenang, seseorang menjauh dari posisinya semula. “Bertasbih” dalam
pengertian agama berarti “menjauhkan Allah dari segala sifat kekurangan dan
kejelekan”. Dengan mengucapkan “Subhâna Allâh”, si pengucap mengakui bahwa
tidak ada sifat atau perbuatan Tuhan yang kurang sempurna

puncak doa mereka adalah pujian kepada Allah

Ada manusia, misalnya, karena marah terhadap anaknya, dia mengutuknya. Kutukan
semacam itu tidak Allah kabulkan, sedang bila mereka memohon hal-hal positif, Dia
mengabulkannya.

Kata (i i) marra/berlalu melupakan meremehkan Kata (i i) al-qurûn


Zamakahsyari Kalau beliau mengganti al-Qur’an, itu bukti manusia dapat membuat
semacamnya dan, dengan demikian, gugurtantangan yang selama ini diajukan dan
terbukti dengannya bahwa al-Qur’an bukan bersumber dari Allah swt.

Sesungguhnya aku telah tinggal bersama kamu sekian waktu yang lama sebelumnya,
yakni empat puluh tahun lamanya. Ketika itu, aku tidak pernah menyampaikan satu
ayat pun bahkan selama itu aku tidak pernah membaca satu tulisan pun, tidak juga
belajar dari siapa pun.

Rasul saw. tidak dapat menolak kehadiran ayat-ayat al-Qur’an dan tidak dapat pula
menghadirkannya

Sesuatu yang ada pastilah diketahui Allah swt. sehingga, jika Anda berkata “Allah
tidak mengetahuinya”, itu bukti bahwa hal tersebut tidak ada wujudnya.

kalimatun sabaqat min Rabbika/ ketetapan Allah sejak dahulu dipahami oleh
sementara ulama dalam arti ketetapan-Nya yang menyatakan bahwa manusia akan
diadili di hari

Ayat ini mengesankan bahwa mukjizat yang dipaparkan Nabi saw. Berupa al-Qur’an
atau selainnya mereka nilai tidak cukup, bahkan bukan bukti kebenaran. Memang, di
sekian tempat, mereka meminta bukti-bukti indriawi seperti yang dilukiskan dalam
firman-Nya yang mengabadikan usul mereka.“Kami sekali-kali tidak percaya
kepadamu hingga engkau memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau engkau
mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu engkau alirkan sungai-sungai di
celah kebun yang deras alirannya

Ayat ini menunjukkan betapa cepat para pendurhaka itu menunjukkan sifat asli
mereka. Kecepatan tersebut dipahami bukan saja dari kata (i i) idzâ/tiba-tiba tetapi
juga dari kata (i i) adzaqnâ/Kami rasakan. Kata ini biasa digunakan untuk
menggambarkan perolehan sesuatu dalam bentuk sedikit/kecil. Ia biasa juga
diartikan mencicipi, yakni belum memakannya dengan lahap dan banyak.

Kata (i i) min yang diterjemahkan sesaat pada kalimat (i i) min ba‘di juga
mengisyaratkan kecepatan itu. Apalagi itu mereka lakukan walau ketika itu
mudharat/kesulitan baru menyentuh mereka bukan menimpa mereka. Memang, ada
perbedaan antara (i i) mass, yang berarti menyentuh sepintas sehingga boleh jadi
tidak terasa, dengan kata (i i) ashâba/menimpa dengan banyak dan keras

Sementara ulama memahami kata (i i) rahmah pada ayat ini dalam arti hujan dan
kata (i i) dharrâ’ dalam arti kemarau panjang.

Makar mereka terhadap ayat-ayat Allah swt. antara lain menolak kebenaran ayat-
ayat al-Qur’an serta mendorong dan mengelabui orang lain agar tidak
memercayainya. Bersiul dan berteriak ketika ia dibaca agar orang lain tidak
mendengarnya. Mereka juga meminta ayat-ayat lain sebagai buktibukti kebenaran
Rasul saw., padahal permintaan mereka hanya bertujuan mencemoohkan.

Kata (i i) rîh adalah bentuk tunggal. Biasanya al-Qur’an menggunakan bentuk


jamaknya yakni (i i) riyâh untuk angin yang baik dan menyenangkan, dan yang
bentuk tunggal untuk angin yang membawa bencana. Ayat ini menggunakan bentuk
tunggal, kendati yang dimaksud adalah angin yang menyenangkan dan sesuai. Ini
dipahami dari penyebutan sifat angin itu, yakni (i i) thayyibah, yang maknanya adalah
yang sesuai dengan yang diinginkan.

kata rîh juga digunakan untuk makna kekuatan seperti firman-Nya dalam QS. al-Anfâl
[8]: 46: (i i) wa lâ tanâza‘û fatafsyalû wa tadzhaba rîhukum/dan janganlah berbantah-
bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatan kamu.
Dengan demikian, jika kini perkembangan pelayaran telah beralih dari penggunaan
layar, ke uap, kemudian listrik dan komputer, kata rîh dalam arti kekuatan dapat
mencakupnya.

beralih redaksinya dari kata kamu (persona kedua) menjadi mereka (persona ketiga
bahwa para pendurhaka itu tidak wajar mendapat kehormatan berdialog dengan
Allah swt

Kata (i i) min asy-syâkirîn mengandung makna yang lebih dalam dari kata (i i) syâkir,
apalagi (i i) yasykur. Kata terakhir hanya menginformasikan terjadinya kesyukuran
walau hanya sekali. Kata kedua menunjuk adanya sifat dan kesyukuran yang cukup
mantap pada yang bersangkutan

Kata (i i) yabghûn terambil dari kata (i i) baghyu, yaitu pelampauan batas dalam
kezaliman. Ada yang membatasi pengertiannya di sini hanya dalam arti
mempersekutukan Tuhan. Tetapi, dari segi redaksi, kata ini dapat mencakup aneka
kedurhakaan

Kata (i i) matâ‘/kenikmatan adalah sesuatu yang diperoleh dengan mudah lagi


bersifat sementara dan segera akan punah.

Air yang diturunkan dari langit merupakan perumpamaan fase kehidupan masa kecil
karena, ketika itu, seseorang dipenuhi oleh aneka harapan indah, tidak ubahnya
dengan harapan petani dari turunnya hujan.

Bercampurnya air itu dengan tanaman bumi mengisyaratkan fase remaja yang
memunculkan aneka cita-cita dan harapan, serupa dengan tumbuhnya tunas.
Firman-Nya: (i i) mimmâ ya’kulu an-nâsu wa alan‘ âmu/ada yang dimakan manusia
dan binatang ternak merupakan perumpamaan bagi perbedaan dan aneka
kenikmatan yang diperoleh dan didambakan manusia dan binatang dalam kehidupan
dunia ini sesuai dengan tingkat masing-masing. Ada yang mencari dan
mendambakan hal-hal yang luhur dan bermanfaat, sebagaimana layaknya manusia
terhormat, dan ada juga yang bagaikan binatang tidak mendambakan kecuali hal-hal
rendah lagi tidak berguna untuk kehidupan yang langgeng.

hattâ idzâ akhadzati al-ardhu zukhrufahâ wa zayyanat/hingga apabila bumi itu telah
sempurna keindahannya dan berhias (pula) dan seterusnya merupakan gambaran
dari akhir yang dapat dimanfaatkan manusia dalam kehidupan dunia ini serta
perlombaan mereka memperebutkannya dengan melupakan kepunahannya.

kamâ’in anzalnâhu min as-samâ’i/ seperti air yang Kami turunkan dari langit bukan
sekadar menyatakan air agar mencakup air yang terdapat di bumi, tetapi agaknya
untuk menggambarkan lebih dalam lagi ketiadaan kemampuan manusia

zukhrufaha Yaitu bahwa manusia mampu menggunakan ilmu pengetahuan untuk


kepentingannya dan dengannya dia mampu mewujudkan tujuannya

ziyâdah pada ayat ini. Banyak ulama menafsirkannya dengan pandangan ke wajah
Allah swt. berdasar hadits yang menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda, “Apabila
penghuni surga telah masuk ke surga, Allah Yang Mahasuci berfirman, ‘Apakah kamu
menginginkan sesuatu yang Kutambahkan untuk kamu?’ Mereka menjawab,
‘Bukankah Engkau telah menjadikan wajah kami berseriseri? Bukankah Engkau telah
memasukkan kami ke surga dan menyelamatkan kami dari neraka?’ Lalu, dibukalah
‘tabir’ sehingga tidak ada satu anugerah pun yang lebih menyenangkan mereka
daripada ‘memandang’ kepada Tuhan mereka Azza Wa Jalla Yang Mahamulia lagi
Mahaagung”

ziyâdah dalam arti ridha Ilahi, dengan merujuk kepada firman-Nya: attaubah

Kata (i i) fazayyalnâ terambil dari (i i) az-zayl, yakni pemisahan yang kukuh sehingga
tidak ada hubungan satu dengan yang lain dalam bentuk dan cara apa pun, yakni
bukan saja fisik tetapi juga pendapat.

“Bahkan mereka telah menyembah jin, yakni setan, kebanyakan mereka beriman
kepada jin itu”

Kata (i i) tablû terambil dari kata (i i) balâ yaitu ujian. Dan karena ujian menghasilkan
pengetahuan yang jelas tentang kualitas yang diuji, kata tersebut juga dipahami
dalam arti pengetahuan. Di sanalah diketahui kebenaran secara sangat jelas, masing-
masing menyadari dan melihat sendiri kesalahan dan kebenaran yang telah
dilakukannya.

Ayat di atas menggunakan bentuk tunggal bagi (i i) as-sam‘a/ pendengaran dan


bentuk jamak bagi (i i) al-abshâr/penglihatan. Ini karena biasanya para pendengar
tidak berbeda menyangkut objek pendengarannya, betapapun mereka berbeda
arah. Adapun penglihatan, objeknya berbedabeda sesuai perbedaan arah siapa yang
memandang.

“Apakah kamu setelah mengakui bahwa Allah swt. yang melakukan semua itu tetap
mempersekutukan-Nya maka jika demikian mengapa kamu tidak bertakwa, yakni
memelihara diri kamu dari murka dan siksa-Nya?”

Al-Biqâ‘i membedakannya. Menurutnya, kata li al-haqq mengisyaratkan kuasa Allah


swt. melimpahkan hidayah dengan cepat berbeda dengan ilâ al-haqq yang tidak
mengisyaratkan hal tersebut

Kata (i i) zhann berarti dugaan, baik yang sangat kuat sehingga mendekati keyakinan
maupun yang rapuh. Namun, pada umumnya, ia digunakan untuk menggambarkan
dugaan pembenaran yang melampaui batas syakk. Kata (i i) syakk/ragu
menggambarkan persamaan antara sisi pembenaran dan penolakan. Ayat-ayat yang
lalu berbicara tentang persoalanpersoalan akidah, yakni keesaan Allah, keniscayaan
hari Kemudian, serta kebenaran wahyu. Atas dasar itu, ayat 36 ini dipahami dalam
konteks akidah.

mâ kâna yang secara harfiah berarti tidak pernah ada atau tidak mungkin akan
ada.20 Kata (i i) rayb/ragu yang ditunjuk oleh ayat ini bukan hanya dalam arti syak,
tetapi syak dan sangka buruk. Kalau sekadar syak atau keraguan yang mendorong
seseorang untuk berpikir positif, al-Qur’an tidak melarangnya betapa Islam tidak
memaksakan nilai-nilainya bagi seseorang pun, tetapi memberikan kebebasan
kepada setiap orang untuk memilih

Al-Biqâ‘i mempunyai pandangan lain. Ulama ini menilai bahwa bentuk jamak pada
kata mendengar disebabkan jumlah mereka banyak, sedang jumlah yang melihat
tidak banyak. Orang-orang musyrikin terkagum-kagum dengan ayat-ayat al-Qur’an
yang demikian memesona susunan redaksinya. Mereka ingin mendengarnya, tetapi
dalam saat yang sama enggan diketahuibahwa mereka mendengarnya. Untuk itu,
mereka bersembunyi-sembunyi sehingga untuk mendengarnya mereka memerlukan
ketekunan dan kesungguhan. Dan itulah yang diisyaratkan oleh penambahan huruf
sîn dan tâ’ pada kata (i i) yastami‘ûn.

Selanjutnya, tulis al-Biqâ‘i, kesungguhan mendengar dapat disembunyikan, berbeda


dengan melihat. Karena itu, banyak di antara kaum musyrikin yang memilih
mendengar daripada melihat. Demikian lebih kurang uraian al-Biqâ‘i.

bagaikan hanya menggunakan waktunya untuk sekadar salingberkenalan, tetapi


sesudahnya mereka sudah tidak memerhatikan kecuali diri mereka masing-masing,
Hemat penulis, kata rasûl di sini tidak harus dipahami sebagai rasul Allah yang oleh
sementara ulama dibatasi jumlahnya sebanyak 313 orang. Bisa saja rasul dimaksud
adalah utusan yang mewakili para rasul Allah. Mereka tidak harus membawa syariat
baru apalagi kitab suci. Tetapi, mereka menyampaikan tuntunan-tuntunan dan
peringatan-peringatan Allah karena tidak mungkin Allah swt. menjatuhkan sanksi
sebelum datang dan diketahui perintah dan larangan-Nya oleh yang terancam siksa-
Nya. Dengan demikian, penggalan awal ayat ini sejalan dengan firman-Nya:

“Sesungguhnya Kami mengutusmu (dengan membawa) kebenaran sebagai


pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umat
pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan” (QS.Fâthir [35]: 24).

Kata (i i) wa‘d digunakan dalam arti janji, terlepas apakah janji itu menggembirakan
atau menakutkan. Namun demikian, biasanya ia digunakan untuk janji yang
menggembirakan. Sedang, ancaman dilukiskan dengan kata (i i) wa‘îd.

kata wa‘d di sini sebagai ejekan dari mereka. Seakan-akan ancaman siksa yang
disampaikan Rasul saw itu akan mereka sambut dengan gembira, bagaikan
menyambut janji yang menggembirakan Didahulukannya kata (i i)
dharran/kemudharatan atas (i i) naf‘an/ kemanfaatan—berbeda dengan sekian ayat
yang lain—karena di sini konteks pembicaraan adalah siksa yang diminta agar
disegerakan datangnya oleh kaum musyrikin sehingga kata mudharat lebih tepat
didahulukan daripada manfaat.

Huruf sîn dan tâ’ pada kata (i i) yasta’khirûn/mengundurkan dan (i i)


yastaqdimûn/mendahulukan dapat dipahami dalam arti tidak ada kemampuan
mereka untuk melakukannya, dan dapat juga dalam arti kesungguhan, yakni mereka
tidak akan mampu walaupun mereka bersungguhsungguh untuk melakukan
pengajuan atau pengunduran.

Kata (i i) ajal adalah batas akhir dari sesuatu, usia, atau kegiatan, dan peristiwa apa
pun.

Ayat ini mengecam mereka dari dua sisi. Pertama karena mereka meminta agar siksa
disegerakan, padahal siksa dimaksud adalah siksa yang mendadak yang menjadikan
mereka tidak akan mampu mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Karena, jika
mereka mampu, tentulah siksa itu tidak mendadak lagi. Nah, jika memang ia
mendadak, mengapa kamu meminta disegerakan, padahal kamu adalah para
pendurhaka yang telah membudaya pada diri kalian kedurhakaan? Demikian
kecaman pertama. Kecaman kedua menyangkut penangguhan iman mereka sampai
datangnya siksa, padahal ketika itu iman tidak berguna lagi, baik karena mereka
telah binasa maupun karena saat kebinasaan dan kehadiran maut telah demikian
dekat sehingga iman dan taubat tidak diterima lagi. Dan karena itu, lanjut ayat ini
menyatakan Apakah kemudian apabila ia, yakni siksa itu terjadi dan menimpa kamu,
baru kamu memercayainya, yakni memercayai keesaan Allah swt. Dan kebenaran
Nabi-Nya? Apakah baru sekarang, setelah jatuhnya siksa itu baru kamu percaya,
padahal sebelumnya, yakni sebelum jatuhnya siksa, kamu selalu meminta supaya
disegerakan?

Kata (i i) atsumma/apakah kemudian pada awal ayat 51 di atas menunjukkan bahwa


keimanan mereka setelah jatuhnya siksa itu merupakan sesuatu yang lebih aneh
daripada permintaan mereka disegerakannya siksa. Keanehan itu setelah melihat
betapa mereka dengan segala cara enggan percaya, tetapi begitu siksa menimpa
mereka keadaan berbalik 180 derajat

Kata (i i) tsumma/kemudian pada ayat ini, di samping dapat berarti adanya jarak
waktu antara siksa duniawi dan ucapan di atas, dapat juga berarti adanya peringkat
siksa duniawi dibandingkan dengan siksa ukhrawi, yakni peringkat siksa ukhrawi
melebihi siksa duniawi

Benarkah ia, yakni siksa yang dijanjikan Tuhan itu?” Karena pertanyaan mereka
mengandung ejekan, jawaban yang diajarkan menampilkan dua sisi. Katakanlah, “Ya.
Demi Tuhanku, sesungguhnya ia, yakni siksa itu adalah pasti benar Tetapi karena
tujuan mereka mengejek, jawaban di atas dilanjutkan dengan sisi kedua yang
merupakan ancaman, yakni “dan kamu sekali-kali tidak dapat luput dari siksa itu
disebabkan kamu termasuk orangorang yang durhaka lagi memperolok-olokkan
ajaran Ilahi

Kata (i i) mau‘izhah terambil dari kata (i i) wa‘zh yaitu “peringatan menyangkut


kebaikan yang menggugah hati serta menimbulkan rasa takut Sementara ulama
memahami bahwa ayat-ayat al-Qur’an juga dapat menyembuhkan penyakit-penyakit
jasmani

Diriwayatkan bahwa ketika harta benda yang amat banyak tiba di Madinah dari Irak
pada masa pemerintahan Umar Ibn al-Khaththâb ra., seorang yang bersama
Sayyidina Umar ra. berkata, “Demi Allah, ini adalah karunia dan rahmat Allah.”
Sayyidina Umar berkomentar, “Anda berbohong/ keliru. Bukan ini yang dimaksud
Allah “Dengan karunia Allah dan dengan rahmat-Nya. Maka, disebabkan itu
hendaklah mereka bergembira. Ia lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.”
Demikian diriwayatkan oleh Ibn Katsîr.

kata yang digunakan menunjuk aktivitas beliau adalah (i i) sya’n yang mengandung
makna kegiatan penting lagi agung. Sedang, ketika menguraikan tentang selain
beliau, kata yang digunakan adalah (i i) ‘amal/pekerjaan yang dapat mencakup aneka
pekerjaan yang baik atau buruk, agung atau hina.

boleh jadi ia menduga bahwa yang lebihkecil dari kepala semut tidak diketahui Allah
swt. Mahasuci Allah dari dugaan itu.
Kata (i i) awliyâ’ adalah bentuk jamak dari kata (i i) waliyy. Kata ini terdiri dari huruf-
huruf waw, lâm, dan yâ’ yang makna dasarnya adalah dekat. Dari sini kemudian
berkembang makna-makna baru seperti pendukung, pembela, pelindung, yang
mencintai, lebih utama, dan lain-lain yang semuanya diikat oleh benang merah
kedekatan.

Imam Ghazâli mendefinisikan makna al-Waliyy sebagai, “Dia yang mencintai dan
yang membela. Karena itu, Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah, tidak ada
kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. Yûnus [10]:
62). Dan karena itu pula, Siapa yang memusuhi wali- Ku maka Aku telah
mengumumkan perang terhadapnya. Demikian firman Allah dalam sebuah hadits
Qudsi.

Imam Syâfi‘i menegaskan, “Kalau bukan para ulama/cendekiawan yang menjadi wali-
wali Allah

Kata (i i) khauf/takut adalah keguncangan hati menyangkut sesuatu yang negatif di


masa akan datang, dan sedih adalah kegelisahan menyangkut sesuatu yang negatif
yang pernah terjadi

Ayat di atas menggunakan bentuk kata kerja masa lampau ketika menggambarkan
keimanan para awliyâ’ (i i) âmanû dan bentuk kata kerja masa kini yang mengandung
makna kesinambungan untuk melukiskan ketakwaan mereka (i i) yattaqûn. Ini untuk
mengisyaratkan bahwa keimanan mereka demikian mantap sehingga, walau telah
berlalu sedemikian lama, keimanan itu masih terus menghiasi jiwa mereka dengan
mantap.

Adapun penggunaan bentuk kata kerja pada kata yattaqûn, itu agaknya untuk
mengisyaratkan kesinambungan takwa dan amal-amal kebajikan mereka.

Sementara ulama memahami kata (i i) al-busyrâ fî alhayâti ad-dunyâ dalam arti


mimpi-mimpi yang benar. Ini berdasar hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzî, ad-
Dârami, dan lain-lain melalui ‘Ubâdah Ibn ash-Shâmit bahwa dia bertanya kepada
Rasul saw. tentang makna kata itu. Maka, Nabi saw. menjawab bahwa itu adalah
mimpi yang benar yang dilihat oleh seorang mukmin atau diperlihatkan kepadanya

Sementara ulama memahami kata (i i) al-busyrâ fî alhayâti ad-dunyâ dalam arti


mimpi-mimpi yang benar. Ini berdasar hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzî, ad-
Dârami, dan lain-lain melalui ‘Ubâdah Ibn ash-Shâmit bahwa dia bertanya kepada
Rasul saw. tentang makna kata itu. Maka, Nabi saw. menjawab bahwa itu adalah
mimpi yang benar yang dilihat oleh seorang mukmin atau diperlihatkan kepadanya
Siapa yang menghendaki kemuliaan, maka sekali-kali jangan dia meraihnya melalui
kemuliaan yang tidak langgeng. Jika Anda menginginkan kemuliaan yang langgeng,
maka andalkanlah pemilik kemuliaan yang kekal langgeng. Demikian sufi besar, Ibn
‘Athâ’illâh as-Sakandarî.

Kata (i i) sulthân terambil dari kata (i i) sulthah yaitu kekuasaan. Penambahan huruf
alif dan nûn pada akhir kata itu menunjukkan kesempurnaan. Yang dimaksud di sini
adalah dalil yang jelas. Itu dinamai sulthân karena siapa yang dapat
menampilkannya, ia menguasai lawannya sehingga sang lawan tidak dapat berkutik
untuk mempertahankan pendapatnya.

Kata (i i) matâ‘ telah beberapa kali dijelaskan, yaitu kenikmatan yang bersifat
sementara dan mudah diperoleh serta segera hilang kemudian janganlah keputusan
kamu itu menjadi rahasia tetapi lakukanlah secara terang-terangan supaya kamu
tidak bersusah-payah menyembunyikannya karena, kendati kamu sembunyikan,
Allah swt. pasti mengetahuinya

Kata (i i) ghummah/rahasia terambil dari akar kata yang berarti tertutup. Sesuatu
yang ditutupi berarti dirahasiakan. Dari sini, kata tersebut dipahami dalam arti
rahasia. Ada juga yang memahaminya dalam arti keresahan hati karena hati yang
resah sempit bagaikan tertutup sehingga tidak memiliki ruang pelampiasan. Bila
makna kedua ini yang dimaksud, Nabi Nûh as. seakan-akan berkata, “Binasakanlah
aku dengan berbagai cara dan upaya yang dapat kamu lakukan agar supaya
keberadaanku tidak menjadi sumber keresahan hati bagi kamu semua.”

bimâ kadzdzabû bihi min qabl/sebagaimana mereka dahulu telah mendustakannya.


Kata mereka, seperti dalam penjelasan di atas, tertuju kepada umat rasul-rasul itu
masing-masing. Ayat ini melukiskan keadaan mereka pada awal kehadiran rasul
hingga akhir masa kehadiran utusan Allah itu. Pendapat ini antara lain dikemukakan
oleh Ibn Katsîr yang mempersamakan makna penggalan ini dengan firman-Nya:

“Dan Kami memalingkan hati mereka dan penglihatan mereka seperti mereka belum
beriman kepadanya (al-Qur’an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka dalam
pelampauan batas mereka terus-menerus bingung” (QS. al- An‘âm

Kata (i i) tsumma/kemudian pada awal ayat 75 di atas dipahami oleh Ibn ‘Âsyûr
sebagai isyarat tentang ketinggian dan kemuliaan ajaran yang disampaikan oleh Nabi
Mûsâ as. jika dibandingkan dengan rasul-rasul sebelum beliau.merupakan
perkembangan baru dan langkah maju yang luar biasa menyangkut sejarah agama
dan sistem peradaban manusia

al-haqq dapat berarti adil dan bermanfaat atau lawan kata (i i) al-bâthil, yakni yang
salah dan sesat. Ia juga digunakan untuk menunjuk sesuatu yang mantap lagi tidak
mengalami perubahan dan atau diragukan.
lammâ jâ’ahum/tatkala telah datang kepada mereka mengisyaratkan betapa buruk
sikap mereka karena kebenaran/ petunjuk itu yang datang kepada mereka sehingga
mereka tidak perlu bersusah-payah mencarinya. Namun demikian, mereka tidak
menyambut, bahkan menolaknya dengan kasar

Kata (i i) sihr/sihir terambil dari kata (i i) sahar yaitu akhir waktu malam dan awal
terbitnya fajar. Saat itu, bercampur antara gelap dan terang sehingga segala sesuatu
menjadi tidak jelas atau tidak sepenuhnya jelas. Demikian itulah sihir. Terbayang
sesuatu oleh seseorang padahal sesungguhnya ia tidak demikian atau belum tentu
demikian. Matanya melihat sesuatu, tetapi sebenarnya hanya matanya yang melihat
demikian, kenyataannya tidak demikian atau belum tentu demikian.

“Maka, tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka terbayang kepada Mûsâ


seakan-akan ia merayap cepat lantaran sihir mereka” (QS. Thâhâ [20]: 66). Kata-kata
terbayang dan seakan-akan menunjukkan bahwa apa yang terjadi ketika itu bukanlah
hal yang sebenarnya.

Thâhir Ibn ‘Âsyûr ketika menafsirkan ayat ini menulis bahwa sihir menampakkan
sesuatu yang bertentangan dengan hakikatnya. Fir‘aun dan pemuka-pemuka
masyarakatnya menuduh bahwa bukti-bukti kebenaran yang dipaparkan Nabi Mûsâ
as. itu adalah penampakan sesuatu yang bertentangan dengan hakikatnya.

Kata (i i) yuflihu terambil dari kata (i i) al-falâh. Kata ini mengandung makna
perolehan apa yang diharapkan atau keterhindaran dari kesulitan. Firman-Nya:
“Padahal ahli-ahli sihir tidaklah mendapat kemenangan”

wajadnâ ‘alaihi âbâ’anâ mengisyaratkan kemantapan mereka mengikuti tradisi

dia tidak menggunakan akalnya. Dia sekadar melakukan apa yang telah dilakukan
pendahulunya atau seperti seseorang yang hidup di tengah-tengah generasi lalu. Dia
bagaikan manusia yang terlambat lahir.

Allah tidak akan memperbaiki, yakni membiarkan terus berlangsung, lagi tidak
merestui sehingga pada akhirnya akan gagal mencapai tujuan pekerjaan para
pembuat kerusakan.

Kata (i i) bikalimâtih dipahami dalam arti kekuasaan-Nya mewujudkan sesuatu sesuai


dengan kehendak dan pengetahuan-Nya. Alhasil, kata ini bermakna ketetapan-
ketetapan-Nya

liyudhillû dalam arti mengakibatkan atau sehingga kesudahannya.

Kata (i i) ithmis terambil dari kata (i i) thamasa, yakni perubahan menuju kehancuran
dan kepunahan. Sedang, kata (i i) usydud terambil dari kata (i i) syadd, yakni menarik
dan mengikat, dalam arti ikatlah hati mereka sehingga tidak terbuka untuk
menerima keimanan dan tidak juga keluar kebejatan yang memenuhinya. Dengan
demikian, redaksi ini sama dengan mengunci mati hati mereka

Sekali lagi, pada masa turunnya al-Qur’an lima belas abad yang lalu tidak seorang
pun yang mengetahui di mana sebenarnya Fir‘aun/penguasa Mesir yang tenggelam
itu berada dan bagaimana kesudahan yang dialaminya. Namun, pada 1896 M,
purbakalawan Loret menemukan jenazah tokoh tersebut dalam bentuk mumi di
Wâdi al-Mulûk (Lembah para Raja) yang terletak di daerah Thâba, Luxor, di seberang
sungai Nil, Mesir. Kemudian pada 8 Juli 1907, M Elliot Smith membuka pembalut
mumi itu dan ternyata badan Fir‘aun masih dalam keadaaan tetap utuh

Wa ‘innahu lamina al-musrifîn/sesungguhnya dia (Fir‘aun) termasuk orang-orang


yang melampaui batas dan, di tempat lain, Allah swt. menegaskan bahwa (i i) wa
anna al-musrifîna hum ashhâbu an-nâr/orangorang yang melampaui batas adalah
penghuni-penghuni neraka

Penyifatan sesuatu dengan kata (i i) shidq yang biasa diartikan benar atau sesuai
dengan kenyataan mengandung makna terpenuhinya segala macam kebutuhan dan
kesempurnaan sesuatu itu. Seakan-akan apa yang diharapkan darinya benar-benar
ada dan sesuai sehingga sama kata dengan kenyataan.

Jika Anda berkata (i i) wa‘d ash-shidq/janji yang benar, itu mengandung makna
terpenuhinya

Dengan demikian, (i i) mubawwa’ shidq berarti tempat tinggal yang terpenuhi di sana
segala kebutuhan dan kesempurnaan hidup, seperti tanah yang subur, lingkungan
yang sehat, udara yang segar. Bahkan, dapat juga mencakup ketersediaan sandang,
pangan, dan papan.

famâ ikhtalafû/mereka tidak berselisih dan seterusnya mengisyaratkan bahwa


sebelum perselisihan itu mereka sepakat bersatu dalam melaksanakan petunjuk
Allah swt. serta mensyukuri nikmat- Nya. Tetapi, setelah itu, yakni setelah datangnya
pengetahuan, mereka berselisih, akhirnya Allah swt. mencabut nikmat-Nya. mereka
terusir dari sana atau, walau tetap berdiam di sana, mereka hidup dalam ketakutan
dan kesengsaraan

objek pertanyaan dimaksud adalah kisahkisah yang dipaparkan dalam surah ini dan
juga tentang kebangkitan setelah kematian dan keniscayaan hari Kemudian. Semua
itu tidak dapat didustakan oleh Ahl al-Kitâb.

Kata (i i) laulâ yang diterjemahkan di atas dengan mengapa adalah kata yang
digunakan untuk mendorong tetapi di sini ia dipahami sebagai tanda tanya dan atau
gambaran tentang kecaman dan penyesalan atas perbuatan yang tidak dilakukan
dan yang seharusnya mereka lakukan pada masa lalu
“Apakah engkau, engkau memaksa manusia” ditujukan kepada Nabi Muhammad
saw. yang berupaya dengan sungguh-sungguh melebihi kemampuan beliau—
sehingga hampir mencelakakan diri sendiri—guna mengajak manusia beriman
kepada Allah swt.

Kata (i i) mâ pada firman-Nya: (i i) wa mâ tughnî al-âyât di samping dapat berarti


tidak—sehingga penggalan ayat di atas diterjemahkan tidaklah bermanfaat ayat-ayat
—juga dapat berfungsi sebagai pertanyaan sehingga maknanya: “Apakah bermanfaat
ayat-ayat?”

Kata (i i) tsumma/kemudian pada ayat di atas, di samping mengisyaratkan lamanya


waktu penantian sebelum datangnya siksa, juga tinggi dan agungnya penyelamatan
yang dianugerahkan Allah itu. Demikian al-Biqâ‘i.

wa umirtu/dan aku telah diperintah merupakan penegasan bahwa apa yang


disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Adalah wahyu Allah swt.

Kata (i i) hanîf biasa diartikan lurus atau cenderung kepada sesuatu.

ketika menguraikan tentang doa kepada berhala-berhala, ayat 106 menggunakan


kata (i i) mâ pada firman-Nya: (i i) mâ lâ yanfa‘uka/apa-apa yang tidak memberi
manfaat kepadamu. Seperti diketahui, kata mâ/apa digunakan untuk menunjuk
sesuatu yang tidak berakal.

Keempat, ayat di atas menggunakan kata menyentuhkan ketika berbicara tentang


sesuatu kemudharatan. Sedang, ketika berbicara tentang kebaikan, kata yang dipilih
adalah menghendaki. Ini mengisyaratkan bahwa Allah swt. selalu menghendaki
kebaikan buat Nabi Muhammad saw., sedang bila ada kemudharatan, itu hanya
sekadar menyentuh beliau, tidak menimpa.

Anda mungkin juga menyukai