datang. Seperti yang penulis kemukakan di atas, bentuk kata itu mengisyaratkan
bahwa mereka terus-menerus akan mengemukakan dalih.
“Dan Allah akan melihat pekerjaan kamu, dan rasul-Nya (juga). Tidak menyatakan
Allah dan rasul-Nya akan melihat pekerjaan kamu.” Ini untuk mengisyaratkan bahwa
pengetahuan Allah berbeda dengan pengetahuan Rasul, penglihatan-Nya pun
berbeda. Pengetahuan Allah secara langsung dan amat terperinci, sedang
pengetahuan Rasul tidak langsung, tetapi melalui pemberitaan Allah swt. dan atau
melalui firasat yang Allah swt. Anugerahkan kepada beliau. Itu pun tidak seterperinci
dan sejelas pengetahuan Allah swt.
wa sayara allâhu ‘amalakum wa rasûluh/dan Allah akan melihat pekerjaan kamu dan
Rasul-Nya dapat dipahami sebagai ajakan bertaubat sebagaimana terbaca dalam
rangkaian penjelasan di atas, dan dapat juga dipahami dalam arti ancaman buat
mereka.
Kalau ayat yang lalu menyebut tujuan sumpah mereka adalah agar tidak dikecam,
kali ini dikemukakan bahwa tujuan mereka adalah agar direstui.
al-a‘râb siapa pun yang tinggal di daerah yang jauh dari perkotaan atau tempat
pemukiman umum, baik orang Arab maupun bukan orang Arab, dan baik yang
tinggal di wilayah Arab atau bukan.
ad-dawâ’ir adalah jamak dari kata (i i) dâ’irah, yakni lingkaran. Kata ini digunakan
untuk peristiwa-peristiwa buruk atau beralihnya sesuatu yang positif menjadi
negatif. Kondisi, situasi, dan peristiwa terjadi silih berganti; hari-hari berputar
bagaikan roda atau lingkaran. Kaum munafikin menantikan datangnya
hari/peristiwa-peristiwa buruk dan beralihnya situasi positif yang dinikmati oleh
kaum muslimin menjadi situasi negatif. Jika kini kaum muslimin berada pada posisi
atas, perputaran lingkaran diharapkan oleh kaum munafikin segera terjadi agar kaum
muslimin berada pada posisi bawah dan mereka pada posisi atas.
qurubât adalah bentuk jamak dari kata (i i) qurbah yang digunakan dalam arti sarana
pendekatan diri kepada Allah
Kata (i i) shalawât adalah bentuk jamak dari kata (i i) shalâh. Kata ini mempunyai
aneka makna sesuai dengan pelakunya. Bila pelaku- Nya Allah swt., ia berarti
curahan rahmat, bila pelakunya malaikat, maknanya adalah memohonkan
maghfirah/pengampunan, sedang bila pelakunya manusia, ia adalah doa kepada
Allah swt.
apakah keterdahuluan yang dimaksud ayat ini menyangkut waktu atau menyangkut
nilai/kualitas keteladanan kepada Rasul saw. Jika
keterdahuluan ini menyangkut “waktu”, itu berarti keutamaan yang hanya diraih
oleh mereka yang hidup pada masa Rasul saw., bahkan itu pun bukan mereka
semua. Mereka hanya dari kelompok al-Muhajirin dan al-Anshar. jika ia tidak
dikaitkan dengan waktu, kedudukan mereka dapat juga
diraih oleh orang-orang beriman yang hidup jauh sesudah waktu atau masa mereka.
Ini jika keterdahuluan yang dimaksud dikaitkan dengan nilai keimanan dan
keteladanan kepada Rasul saw. Hal ini terlihat dengan jelas pada firman-Nya dalam
QS. al-Wâqi‘ah [56]: 10-14. Di sana, dinyatakan wassaiqunas sabiqun.
Thâhir Ibnu ‘Âsyûr tidak memahami kata (i i) marratain/dua kali dalam arti bilangan
yang di atas satu dan di bawah tiga, tetapi dalam arti berkali-kali. Ini menurutnya
serupa dengan kata (i i) karratain dalam QS. al-Mulk [67]: 4. Di sana, ia dipahami
dalam arti berulang-ulang.
Rasa khawatir dan cemas hendaknya selalu menghiasi jiwa manusia karena ia belum
lagi yakin tentang pengampunan Allah swt. terhadap dirinya. ( belum pasti )
Beberapa ulama memahami perintah ayat ini sebagai perintah wajib atas penguasa
untuk memungut zakat. Tetapi, mayoritas ulama memahaminya sebagai perintah
sunnah.
penerima zakat agar mendoakan pemberi zakat Allah swt. tidak menuntut agar
memberi semua harta yang dimiliki. Yang dituntut-Nya hanya sebagian, tetapi
ganjaran yang dianugerahkan-Nya bukan hanya pengampunan dosa yang dinyatakan
dengan kata (i i) tuthahhiruhum, tetapi juga (i i) tuzakkîhim, yakni pelipat gandaan
harta yang disumbangkan itu.
Kata (i i) tuzakkîhim terambil dari kata (i i) zakât dan (i i) tazkiyah yang dapat berarti
suci dan dapat juga berarti berkembang. Sementara ulama memahami kata (i i)
tuthahhiruhum dalam arti membersihkan dosa mereka dan kata (i i) tuzakkîhim
adalah menghiasi jiwa mereka dengan aneka kebajikan dan atau mengembangkan
harta mereka. Pendahuluan kata tuthahhiruhum dari kata tuzakkihim means
mensucikan batin harus didahulukan dari pengembangan harta.
kaum mukminin yang melihat itu adalah mereka yang akan menjadi syuhadâ (saksi-
saksi amal) serupa dengan firman-Nya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan
kamu umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi-saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
Kata (i i) immâ/boleh jadi mengandung makna keraguan, tetapi tentu saja keraguan
ini bukan dari Allah swt. tetapi keraguan manusia, agar Rasa khawatir dan cemas
hendaknya selalu menghiasi jiwa manusia karena ia belum lagi yakin tentang
pengampunan Allah swt. terhadap dirinya. ( belum pasti )
Ada juga yang memahaminya dalam arti tidak berdiri dan tidak berada di tempat itu
sama sekali dan, karena itu, menurut al-Qurthubi, Rasul saw. tidak pernah lagi
melalui jalan di mana lokasi masjid Dhirâr itu dibangun, bahkan seperti dikemukakan
sebelum ini, beliau memerintahkan untuk menjadikannya tempat pembuangan
bangkai dan sampah
lebih patut shalat di masjid Qubâ’ atau masjid Nabawi, karena masjid itu dibangun
atas dasar takwa, sedang “masjid” kalian dibangun atas dasar kedurhakaan.
senang menyucikan diri” bahwa mereka adalah Banî ‘Amr bin ‘Auf,
Sementara ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil untuk melarang shalat di masjid
yang dibangun atas dasar riya, pamrih, atau tujuan yang bertentangan dengan nilai-
nilai Ilahi
Kata (i i) assasa/mendirikan mengandung makna meletakkan fondasi. Ayat ini
mempersamakan motivasi suatu kegiatan dengan fondasi satu bangunan. Fondasi
haruslah kukuh agar bangunan dapat bertahan menghadapi guncangan. Takwa
adalah motivasi yang amat kukuh. Ketiadaan takwa atau kerapuhan fondasi
mengakibatkan runtuhnya bangunan dan itulah yang menjadikan bangunan orang-
orang munafik itu runtuh dan jatuh menimpa mereka kemudian bersama-sama
masuk ke jurang neraka.
Kata (i i) as-sâ’ihûn, selain dipahami dalam arti pelawat, ada juga yang
mempersempit artinya dengan memahaminya dalam arti berperang di jalan Allah
atau pergi meninggalkan tempat kediaman untuk menuntut ilmu atau meninggalkan
kebiasaan sehari-hari dengan berpuasa, yakni bangun, tidur, dan makan bukan pada
jam-jam biasa.
Istilah (i i) mâ kâna yang secara harfiah berarti tidak pernah ada, dan sering kali juga
diterjemahkan dengan tidak sepatutnya, menurut Thâhir Ibnu ‘Âsyûr, digunakan
untuk menekankan sesuatu dengan sungguhsungguh. Asy-Sya‘râwi berpendapat
bahwa istilah itu bagaikan menafikan adanya kemampuan melakukan sesuatu.
Redaksi itu, menurutnya, berbeda dengan redaksi (i i) mâ yanbaghî yang secara
harfiah berarti tidak sepatutnya karena yang terakhir ini masih menggambarkan
adanya kemampuan, hanya saja tidak sepatutnya dilakukan.
Nabi Ibrâhîm as. mengajukan permohonan itu, di samping disebabkan oleh janji yang
disebut di atas, juga karena beliau memiliki sifat (i i) halîm yakni penyantun, mampu
meredam kemarahan dan sikap buruk orang lain, serta (i i) awwâh, yakni sering kali
mengeluh karena takut kepada Allah swt.
Beberapa riwayat melukiskan “kesulitan” yang dimaksud ayat ini, antara lain bahwa,
ketika itu, makanan dan air sangat kurang, padahal perjalanan jauh dan panas sangat
terik.
Taubat Nabi saw. menyangkut hal-hal yang boleh jadi pada hakikatnya benar dan
baik, bahkan istimewa bila hal tersebut dilakukan oleh selain Nabi Agung. Anda
masih ingat sikap Nabi saw. yang dimaafkan Allah swt. ketika mengizinkan
sementara kaum munafikin untuk tidak ikut dalam perang ke Tabuk. (Baca kembali
ayat 43 surah ini).
(i i) zhannû yang pada mulanya berarti menduga. Yang dimaksud di sini adalah
mengetahui, bahkan tidak keliru dipahami sebagai yakin.
kemudian Allah mempermudah buat mereka taubat agar mereka bertaubat. Ka‘ab
bin Mâlik, Hilâl bin Umayyah, dan Mararah bin Rabî‘ 50 hari boikot
dan tidak patut pula bagi mereka mencintai diri mereka melebihi cinta mereka atas
diri beliau
thâ’ifah dapat berarti satu atau dua orang. Ada juga yang tidak menentukan jumlah
tertentu, namun yang jelas ia lebih kecil dari (i i) firqah yang bermakna sekelompok
manusia yang berbeda dengan kelompok yang lain. Karena itu, satu suku atau
bangsa, masing-masing dapat dinamai firqah.
Kata (i i) rijs/kekotoran dapat berarti kekotoran material atau immaterial. Dari sini,
kekufuran atau kemunafikan dilukiskan juga dengan kata tersebut, demikian juga
godaan setan.
Kaum munafikin itu mengukur orang lain seperti diri mereka. Memang, para munafik
tidak akan bertambah keimanannya dengan turunnya ayatayat al-Qur’an. Karena itu,
mereka tidak mengakui adanya penambahan iman dari siapa pun saat mendengar
ayat-ayat al-Qur’an, bahkan memperolokolokkan hal tersebut
setiap ayat dibaca atau didengar dengan tekun, terbuka lebar pula pintu hati dan
akal sang mukmin untuk memeroleh kesan dan pesan baru yang belum diketahui
sebelumnya. Rujuklah ke QS. al-Anfâl [8]: 2 untuk memahami lebih jauh makna
pertambahan iman itu Kata (i i) yuftarûn/diuji yang dimaksud di sini adalah krisis
atau kesulitan yang mereka alami, antara lain seperti penyakit, ketiadaan rasa aman,
bencana alam, paceklik,
“apabila diturunkan satu surah yang membongkar rahasia mereka, sebagian mereka
memandang kepada sebagian yang lain dengan lirikan matanya sambil bertanya-
tanya keheranan bagaimana Nabi saw. dapat mengetahui rahasia mereka. Mereka
bertanya kepada rekan-rekannya sekemunafikan: “Adakah seorang pun yang melihat
kamu saat ketika kamu melakukan kegiatan yang tersembunyi dan
merencanakannya? Ini mereka pertanyakan karena kekufuran menghalangi mereka
percaya bahwa Allah swt. menyampaikan kepada Nabi-Nya rahasiarahasia hati
mereka.
“Aku bagaikan seorang yang menyalakan api, setelah menyala menerangi sekeliling,
laron mengitarinya dan terjerumus ke dalam api itu. Kalian seperti itu, tetapi aku
menghalangi kalian terjerumus ke api, tetapi sebagian kalian terjerumus juga.”
“Aku memegang ikat pinggang kalian, tetapi sebagian kalian terlepas dari
peganganku.”
Kata (i i) jâ’akum rasûl/telah datang kepada kamu memberi kesan bahwa Nabi
Muhammad saw. datang atas kehendak beliau sendiri, bukan diutus atau
didatangkan oleh Allah swt., tetapi penyebutan kata rasul memberi kesan bahwa
kedatangan beliau adalah sebagai utusan Allah. Gabungan dari kedua kata itu pada
akhirnya melahirkan kesan baru bahwa beliau tercipta dengan membawa potensi
keimanan yang menjadikan beliau sangat wajar menjadi rasul pesuruh Allah swt.
sehingga, saat beliau menerima wahyu Ilahi, saat itu juga beliau tampil
melaksanakan tugasnya tanpa harus didorong-dorong, tetapi langsung terdorong
oleh jiwa, oleh potensi yang sangat besar yang memenuhi jiwa beliau, dan karena itu
pula sehingga beliau bukan saja sangat bersungguh-sungguh berdakwah, senang dan
berbahagia melaksanakannya tetapi lebih dari itu, sebagaimana digambarkan oleh
ayat ini.
Kata (i i) anfusikum memberi kesan bahwa beliau adalah sejiwa dengan mitra bicara,
mengetahui detak-detik jantung mereka, merasakan getaran jiwanya, serta
menyukai untuk mereka sebagaimana apa yang disukainya. Demikianlah seharusnya
sifat seorang pemimpin.
ra’fah selalu melimpah ruah bahkan melebihi kebutuhan, sedang rahmat sesuai
dengan kebutuhan
“Siapa yang membaca di waktu pagi dan petang Hasbiya allâhu lâ ilâha illâ huwa
‘alaihi tawakkaltu wa huwa rabbul ‘arsy al-azhîm sebanyak tujuh kali, Allah akan
mencukupkan baginya apa yang meresahkannya.”
Thâhir Ibn ‘Âsyûr memahami kata itu bukan untuk menunjuk ketinggian derajat ayat-
ayat al-Qur’an tetapi untuk mendorong mitra bicara memandang dan
memerhatikannya sehingga mereka dapat sampai pada kesimpulan bahwa ia benar-
benar bersumber dari Allah swt
sehingga sifat tersebut sangat mutlak pada diri seorang muslim. Suatu ketika Nabi
saw. ditanya, “Apakah seorang mukmin dapat menjadi penakut?” Nabi menjawab,
“Ya.” “Apakah dia dapat menjadi kikir?” Nabi saw. menjawab, “Ya.” “Apakah dia
dapat menjadi pembohong?” tanyanya lagi. Nabi saw. kali ini menjawab “Tidak”
qadama shidq diperselisihkan maknanya oleh para ulama. Ada yang memahaminya
dalam kedudukan yang tinggi atau ganjaran besar sebagai imbalan amal-amal
kebajikan yang mereka lakukan.
istawâ dari makna dasarnya, yaitu bersemayam, ke makna majazi (metafor), yaitu
“berkuasa
‘Arsy, yang dari segi bahasa adalah tempat duduk raja/ singgasana, kadang-kadang
dipahami dalam arti kekuasaan
Kata (i i) haqqa berarti sesuatu yang mantap tidak berubah. Ia juga berarti sesuatu
yang sesuai dengan kenyataan
Ini berbeda dengan bulan yang sinarnya dilukiskan dengan kata nûr untuk
mengisyaratkan bahwa sinar bulan bukan dari dirinya tetapi pantulan dari cahaya
matahari.
Kata (i i) qaddarahu manâzila dipahami dalam arti Allah swt. menjadikan bagi bulan
manzilah-manzilah, yakni tempat-tempat dalam perjalanannya mengitari matahari,
setiap malam ada tempatnya dari saat ke saat sehingga terlihat di bumi ia selalu
berbeda sesuai dengan posisinya dengan matahari. Inilah yang menghasilkan
perbedaan-perbedaan bentuk bulan dalam pandangan kita di bumi. Dari sini pula
dimungkinkan untuk menentukan bulan-bulan Qamariyah. Untuk mengelilingi bumi,
bulan menempuhnya selama 29 hari 12 jam 44 menit dan 2,8 detik.
Kata (i i) subhânaka terdiri dari kata subhâna yang disertai dengan huruf kâf yang
menunjuk kepada mitra bicara dalam hal ini adalah Allah swt. Kata subhâna terambil
dari kata (i i) sabaha yang pada mulanya berarti menjauh. Seseorang yang berenang
dilukiskan dengan menggunakan akar kata yang sama, yakni (i i) sabbâh karena,
dengan berenang, seseorang menjauh dari posisinya semula. “Bertasbih” dalam
pengertian agama berarti “menjauhkan Allah dari segala sifat kekurangan dan
kejelekan”. Dengan mengucapkan “Subhâna Allâh”, si pengucap mengakui bahwa
tidak ada sifat atau perbuatan Tuhan yang kurang sempurna
Ada manusia, misalnya, karena marah terhadap anaknya, dia mengutuknya. Kutukan
semacam itu tidak Allah kabulkan, sedang bila mereka memohon hal-hal positif, Dia
mengabulkannya.
Sesungguhnya aku telah tinggal bersama kamu sekian waktu yang lama sebelumnya,
yakni empat puluh tahun lamanya. Ketika itu, aku tidak pernah menyampaikan satu
ayat pun bahkan selama itu aku tidak pernah membaca satu tulisan pun, tidak juga
belajar dari siapa pun.
Rasul saw. tidak dapat menolak kehadiran ayat-ayat al-Qur’an dan tidak dapat pula
menghadirkannya
Sesuatu yang ada pastilah diketahui Allah swt. sehingga, jika Anda berkata “Allah
tidak mengetahuinya”, itu bukti bahwa hal tersebut tidak ada wujudnya.
kalimatun sabaqat min Rabbika/ ketetapan Allah sejak dahulu dipahami oleh
sementara ulama dalam arti ketetapan-Nya yang menyatakan bahwa manusia akan
diadili di hari
Ayat ini mengesankan bahwa mukjizat yang dipaparkan Nabi saw. Berupa al-Qur’an
atau selainnya mereka nilai tidak cukup, bahkan bukan bukti kebenaran. Memang, di
sekian tempat, mereka meminta bukti-bukti indriawi seperti yang dilukiskan dalam
firman-Nya yang mengabadikan usul mereka.“Kami sekali-kali tidak percaya
kepadamu hingga engkau memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau engkau
mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu engkau alirkan sungai-sungai di
celah kebun yang deras alirannya
Ayat ini menunjukkan betapa cepat para pendurhaka itu menunjukkan sifat asli
mereka. Kecepatan tersebut dipahami bukan saja dari kata (i i) idzâ/tiba-tiba tetapi
juga dari kata (i i) adzaqnâ/Kami rasakan. Kata ini biasa digunakan untuk
menggambarkan perolehan sesuatu dalam bentuk sedikit/kecil. Ia biasa juga
diartikan mencicipi, yakni belum memakannya dengan lahap dan banyak.
Kata (i i) min yang diterjemahkan sesaat pada kalimat (i i) min ba‘di juga
mengisyaratkan kecepatan itu. Apalagi itu mereka lakukan walau ketika itu
mudharat/kesulitan baru menyentuh mereka bukan menimpa mereka. Memang, ada
perbedaan antara (i i) mass, yang berarti menyentuh sepintas sehingga boleh jadi
tidak terasa, dengan kata (i i) ashâba/menimpa dengan banyak dan keras
Sementara ulama memahami kata (i i) rahmah pada ayat ini dalam arti hujan dan
kata (i i) dharrâ’ dalam arti kemarau panjang.
Makar mereka terhadap ayat-ayat Allah swt. antara lain menolak kebenaran ayat-
ayat al-Qur’an serta mendorong dan mengelabui orang lain agar tidak
memercayainya. Bersiul dan berteriak ketika ia dibaca agar orang lain tidak
mendengarnya. Mereka juga meminta ayat-ayat lain sebagai buktibukti kebenaran
Rasul saw., padahal permintaan mereka hanya bertujuan mencemoohkan.
kata rîh juga digunakan untuk makna kekuatan seperti firman-Nya dalam QS. al-Anfâl
[8]: 46: (i i) wa lâ tanâza‘û fatafsyalû wa tadzhaba rîhukum/dan janganlah berbantah-
bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatan kamu.
Dengan demikian, jika kini perkembangan pelayaran telah beralih dari penggunaan
layar, ke uap, kemudian listrik dan komputer, kata rîh dalam arti kekuatan dapat
mencakupnya.
beralih redaksinya dari kata kamu (persona kedua) menjadi mereka (persona ketiga
bahwa para pendurhaka itu tidak wajar mendapat kehormatan berdialog dengan
Allah swt
Kata (i i) min asy-syâkirîn mengandung makna yang lebih dalam dari kata (i i) syâkir,
apalagi (i i) yasykur. Kata terakhir hanya menginformasikan terjadinya kesyukuran
walau hanya sekali. Kata kedua menunjuk adanya sifat dan kesyukuran yang cukup
mantap pada yang bersangkutan
Kata (i i) yabghûn terambil dari kata (i i) baghyu, yaitu pelampauan batas dalam
kezaliman. Ada yang membatasi pengertiannya di sini hanya dalam arti
mempersekutukan Tuhan. Tetapi, dari segi redaksi, kata ini dapat mencakup aneka
kedurhakaan
Air yang diturunkan dari langit merupakan perumpamaan fase kehidupan masa kecil
karena, ketika itu, seseorang dipenuhi oleh aneka harapan indah, tidak ubahnya
dengan harapan petani dari turunnya hujan.
Bercampurnya air itu dengan tanaman bumi mengisyaratkan fase remaja yang
memunculkan aneka cita-cita dan harapan, serupa dengan tumbuhnya tunas.
Firman-Nya: (i i) mimmâ ya’kulu an-nâsu wa alan‘ âmu/ada yang dimakan manusia
dan binatang ternak merupakan perumpamaan bagi perbedaan dan aneka
kenikmatan yang diperoleh dan didambakan manusia dan binatang dalam kehidupan
dunia ini sesuai dengan tingkat masing-masing. Ada yang mencari dan
mendambakan hal-hal yang luhur dan bermanfaat, sebagaimana layaknya manusia
terhormat, dan ada juga yang bagaikan binatang tidak mendambakan kecuali hal-hal
rendah lagi tidak berguna untuk kehidupan yang langgeng.
hattâ idzâ akhadzati al-ardhu zukhrufahâ wa zayyanat/hingga apabila bumi itu telah
sempurna keindahannya dan berhias (pula) dan seterusnya merupakan gambaran
dari akhir yang dapat dimanfaatkan manusia dalam kehidupan dunia ini serta
perlombaan mereka memperebutkannya dengan melupakan kepunahannya.
kamâ’in anzalnâhu min as-samâ’i/ seperti air yang Kami turunkan dari langit bukan
sekadar menyatakan air agar mencakup air yang terdapat di bumi, tetapi agaknya
untuk menggambarkan lebih dalam lagi ketiadaan kemampuan manusia
ziyâdah pada ayat ini. Banyak ulama menafsirkannya dengan pandangan ke wajah
Allah swt. berdasar hadits yang menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda, “Apabila
penghuni surga telah masuk ke surga, Allah Yang Mahasuci berfirman, ‘Apakah kamu
menginginkan sesuatu yang Kutambahkan untuk kamu?’ Mereka menjawab,
‘Bukankah Engkau telah menjadikan wajah kami berseriseri? Bukankah Engkau telah
memasukkan kami ke surga dan menyelamatkan kami dari neraka?’ Lalu, dibukalah
‘tabir’ sehingga tidak ada satu anugerah pun yang lebih menyenangkan mereka
daripada ‘memandang’ kepada Tuhan mereka Azza Wa Jalla Yang Mahamulia lagi
Mahaagung”
ziyâdah dalam arti ridha Ilahi, dengan merujuk kepada firman-Nya: attaubah
Kata (i i) fazayyalnâ terambil dari (i i) az-zayl, yakni pemisahan yang kukuh sehingga
tidak ada hubungan satu dengan yang lain dalam bentuk dan cara apa pun, yakni
bukan saja fisik tetapi juga pendapat.
“Bahkan mereka telah menyembah jin, yakni setan, kebanyakan mereka beriman
kepada jin itu”
Kata (i i) tablû terambil dari kata (i i) balâ yaitu ujian. Dan karena ujian menghasilkan
pengetahuan yang jelas tentang kualitas yang diuji, kata tersebut juga dipahami
dalam arti pengetahuan. Di sanalah diketahui kebenaran secara sangat jelas, masing-
masing menyadari dan melihat sendiri kesalahan dan kebenaran yang telah
dilakukannya.
“Apakah kamu setelah mengakui bahwa Allah swt. yang melakukan semua itu tetap
mempersekutukan-Nya maka jika demikian mengapa kamu tidak bertakwa, yakni
memelihara diri kamu dari murka dan siksa-Nya?”
Kata (i i) zhann berarti dugaan, baik yang sangat kuat sehingga mendekati keyakinan
maupun yang rapuh. Namun, pada umumnya, ia digunakan untuk menggambarkan
dugaan pembenaran yang melampaui batas syakk. Kata (i i) syakk/ragu
menggambarkan persamaan antara sisi pembenaran dan penolakan. Ayat-ayat yang
lalu berbicara tentang persoalanpersoalan akidah, yakni keesaan Allah, keniscayaan
hari Kemudian, serta kebenaran wahyu. Atas dasar itu, ayat 36 ini dipahami dalam
konteks akidah.
mâ kâna yang secara harfiah berarti tidak pernah ada atau tidak mungkin akan
ada.20 Kata (i i) rayb/ragu yang ditunjuk oleh ayat ini bukan hanya dalam arti syak,
tetapi syak dan sangka buruk. Kalau sekadar syak atau keraguan yang mendorong
seseorang untuk berpikir positif, al-Qur’an tidak melarangnya betapa Islam tidak
memaksakan nilai-nilainya bagi seseorang pun, tetapi memberikan kebebasan
kepada setiap orang untuk memilih
Al-Biqâ‘i mempunyai pandangan lain. Ulama ini menilai bahwa bentuk jamak pada
kata mendengar disebabkan jumlah mereka banyak, sedang jumlah yang melihat
tidak banyak. Orang-orang musyrikin terkagum-kagum dengan ayat-ayat al-Qur’an
yang demikian memesona susunan redaksinya. Mereka ingin mendengarnya, tetapi
dalam saat yang sama enggan diketahuibahwa mereka mendengarnya. Untuk itu,
mereka bersembunyi-sembunyi sehingga untuk mendengarnya mereka memerlukan
ketekunan dan kesungguhan. Dan itulah yang diisyaratkan oleh penambahan huruf
sîn dan tâ’ pada kata (i i) yastami‘ûn.
Kata (i i) wa‘d digunakan dalam arti janji, terlepas apakah janji itu menggembirakan
atau menakutkan. Namun demikian, biasanya ia digunakan untuk janji yang
menggembirakan. Sedang, ancaman dilukiskan dengan kata (i i) wa‘îd.
kata wa‘d di sini sebagai ejekan dari mereka. Seakan-akan ancaman siksa yang
disampaikan Rasul saw itu akan mereka sambut dengan gembira, bagaikan
menyambut janji yang menggembirakan Didahulukannya kata (i i)
dharran/kemudharatan atas (i i) naf‘an/ kemanfaatan—berbeda dengan sekian ayat
yang lain—karena di sini konteks pembicaraan adalah siksa yang diminta agar
disegerakan datangnya oleh kaum musyrikin sehingga kata mudharat lebih tepat
didahulukan daripada manfaat.
Kata (i i) ajal adalah batas akhir dari sesuatu, usia, atau kegiatan, dan peristiwa apa
pun.
Ayat ini mengecam mereka dari dua sisi. Pertama karena mereka meminta agar siksa
disegerakan, padahal siksa dimaksud adalah siksa yang mendadak yang menjadikan
mereka tidak akan mampu mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Karena, jika
mereka mampu, tentulah siksa itu tidak mendadak lagi. Nah, jika memang ia
mendadak, mengapa kamu meminta disegerakan, padahal kamu adalah para
pendurhaka yang telah membudaya pada diri kalian kedurhakaan? Demikian
kecaman pertama. Kecaman kedua menyangkut penangguhan iman mereka sampai
datangnya siksa, padahal ketika itu iman tidak berguna lagi, baik karena mereka
telah binasa maupun karena saat kebinasaan dan kehadiran maut telah demikian
dekat sehingga iman dan taubat tidak diterima lagi. Dan karena itu, lanjut ayat ini
menyatakan Apakah kemudian apabila ia, yakni siksa itu terjadi dan menimpa kamu,
baru kamu memercayainya, yakni memercayai keesaan Allah swt. Dan kebenaran
Nabi-Nya? Apakah baru sekarang, setelah jatuhnya siksa itu baru kamu percaya,
padahal sebelumnya, yakni sebelum jatuhnya siksa, kamu selalu meminta supaya
disegerakan?
Kata (i i) tsumma/kemudian pada ayat ini, di samping dapat berarti adanya jarak
waktu antara siksa duniawi dan ucapan di atas, dapat juga berarti adanya peringkat
siksa duniawi dibandingkan dengan siksa ukhrawi, yakni peringkat siksa ukhrawi
melebihi siksa duniawi
Benarkah ia, yakni siksa yang dijanjikan Tuhan itu?” Karena pertanyaan mereka
mengandung ejekan, jawaban yang diajarkan menampilkan dua sisi. Katakanlah, “Ya.
Demi Tuhanku, sesungguhnya ia, yakni siksa itu adalah pasti benar Tetapi karena
tujuan mereka mengejek, jawaban di atas dilanjutkan dengan sisi kedua yang
merupakan ancaman, yakni “dan kamu sekali-kali tidak dapat luput dari siksa itu
disebabkan kamu termasuk orangorang yang durhaka lagi memperolok-olokkan
ajaran Ilahi
Diriwayatkan bahwa ketika harta benda yang amat banyak tiba di Madinah dari Irak
pada masa pemerintahan Umar Ibn al-Khaththâb ra., seorang yang bersama
Sayyidina Umar ra. berkata, “Demi Allah, ini adalah karunia dan rahmat Allah.”
Sayyidina Umar berkomentar, “Anda berbohong/ keliru. Bukan ini yang dimaksud
Allah “Dengan karunia Allah dan dengan rahmat-Nya. Maka, disebabkan itu
hendaklah mereka bergembira. Ia lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.”
Demikian diriwayatkan oleh Ibn Katsîr.
kata yang digunakan menunjuk aktivitas beliau adalah (i i) sya’n yang mengandung
makna kegiatan penting lagi agung. Sedang, ketika menguraikan tentang selain
beliau, kata yang digunakan adalah (i i) ‘amal/pekerjaan yang dapat mencakup aneka
pekerjaan yang baik atau buruk, agung atau hina.
boleh jadi ia menduga bahwa yang lebihkecil dari kepala semut tidak diketahui Allah
swt. Mahasuci Allah dari dugaan itu.
Kata (i i) awliyâ’ adalah bentuk jamak dari kata (i i) waliyy. Kata ini terdiri dari huruf-
huruf waw, lâm, dan yâ’ yang makna dasarnya adalah dekat. Dari sini kemudian
berkembang makna-makna baru seperti pendukung, pembela, pelindung, yang
mencintai, lebih utama, dan lain-lain yang semuanya diikat oleh benang merah
kedekatan.
Imam Ghazâli mendefinisikan makna al-Waliyy sebagai, “Dia yang mencintai dan
yang membela. Karena itu, Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah, tidak ada
kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. Yûnus [10]:
62). Dan karena itu pula, Siapa yang memusuhi wali- Ku maka Aku telah
mengumumkan perang terhadapnya. Demikian firman Allah dalam sebuah hadits
Qudsi.
Imam Syâfi‘i menegaskan, “Kalau bukan para ulama/cendekiawan yang menjadi wali-
wali Allah
Ayat di atas menggunakan bentuk kata kerja masa lampau ketika menggambarkan
keimanan para awliyâ’ (i i) âmanû dan bentuk kata kerja masa kini yang mengandung
makna kesinambungan untuk melukiskan ketakwaan mereka (i i) yattaqûn. Ini untuk
mengisyaratkan bahwa keimanan mereka demikian mantap sehingga, walau telah
berlalu sedemikian lama, keimanan itu masih terus menghiasi jiwa mereka dengan
mantap.
Adapun penggunaan bentuk kata kerja pada kata yattaqûn, itu agaknya untuk
mengisyaratkan kesinambungan takwa dan amal-amal kebajikan mereka.
Kata (i i) sulthân terambil dari kata (i i) sulthah yaitu kekuasaan. Penambahan huruf
alif dan nûn pada akhir kata itu menunjukkan kesempurnaan. Yang dimaksud di sini
adalah dalil yang jelas. Itu dinamai sulthân karena siapa yang dapat
menampilkannya, ia menguasai lawannya sehingga sang lawan tidak dapat berkutik
untuk mempertahankan pendapatnya.
Kata (i i) matâ‘ telah beberapa kali dijelaskan, yaitu kenikmatan yang bersifat
sementara dan mudah diperoleh serta segera hilang kemudian janganlah keputusan
kamu itu menjadi rahasia tetapi lakukanlah secara terang-terangan supaya kamu
tidak bersusah-payah menyembunyikannya karena, kendati kamu sembunyikan,
Allah swt. pasti mengetahuinya
Kata (i i) ghummah/rahasia terambil dari akar kata yang berarti tertutup. Sesuatu
yang ditutupi berarti dirahasiakan. Dari sini, kata tersebut dipahami dalam arti
rahasia. Ada juga yang memahaminya dalam arti keresahan hati karena hati yang
resah sempit bagaikan tertutup sehingga tidak memiliki ruang pelampiasan. Bila
makna kedua ini yang dimaksud, Nabi Nûh as. seakan-akan berkata, “Binasakanlah
aku dengan berbagai cara dan upaya yang dapat kamu lakukan agar supaya
keberadaanku tidak menjadi sumber keresahan hati bagi kamu semua.”
“Dan Kami memalingkan hati mereka dan penglihatan mereka seperti mereka belum
beriman kepadanya (al-Qur’an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka dalam
pelampauan batas mereka terus-menerus bingung” (QS. al- An‘âm
Kata (i i) tsumma/kemudian pada awal ayat 75 di atas dipahami oleh Ibn ‘Âsyûr
sebagai isyarat tentang ketinggian dan kemuliaan ajaran yang disampaikan oleh Nabi
Mûsâ as. jika dibandingkan dengan rasul-rasul sebelum beliau.merupakan
perkembangan baru dan langkah maju yang luar biasa menyangkut sejarah agama
dan sistem peradaban manusia
al-haqq dapat berarti adil dan bermanfaat atau lawan kata (i i) al-bâthil, yakni yang
salah dan sesat. Ia juga digunakan untuk menunjuk sesuatu yang mantap lagi tidak
mengalami perubahan dan atau diragukan.
lammâ jâ’ahum/tatkala telah datang kepada mereka mengisyaratkan betapa buruk
sikap mereka karena kebenaran/ petunjuk itu yang datang kepada mereka sehingga
mereka tidak perlu bersusah-payah mencarinya. Namun demikian, mereka tidak
menyambut, bahkan menolaknya dengan kasar
Kata (i i) sihr/sihir terambil dari kata (i i) sahar yaitu akhir waktu malam dan awal
terbitnya fajar. Saat itu, bercampur antara gelap dan terang sehingga segala sesuatu
menjadi tidak jelas atau tidak sepenuhnya jelas. Demikian itulah sihir. Terbayang
sesuatu oleh seseorang padahal sesungguhnya ia tidak demikian atau belum tentu
demikian. Matanya melihat sesuatu, tetapi sebenarnya hanya matanya yang melihat
demikian, kenyataannya tidak demikian atau belum tentu demikian.
Thâhir Ibn ‘Âsyûr ketika menafsirkan ayat ini menulis bahwa sihir menampakkan
sesuatu yang bertentangan dengan hakikatnya. Fir‘aun dan pemuka-pemuka
masyarakatnya menuduh bahwa bukti-bukti kebenaran yang dipaparkan Nabi Mûsâ
as. itu adalah penampakan sesuatu yang bertentangan dengan hakikatnya.
Kata (i i) yuflihu terambil dari kata (i i) al-falâh. Kata ini mengandung makna
perolehan apa yang diharapkan atau keterhindaran dari kesulitan. Firman-Nya:
“Padahal ahli-ahli sihir tidaklah mendapat kemenangan”
dia tidak menggunakan akalnya. Dia sekadar melakukan apa yang telah dilakukan
pendahulunya atau seperti seseorang yang hidup di tengah-tengah generasi lalu. Dia
bagaikan manusia yang terlambat lahir.
Allah tidak akan memperbaiki, yakni membiarkan terus berlangsung, lagi tidak
merestui sehingga pada akhirnya akan gagal mencapai tujuan pekerjaan para
pembuat kerusakan.
Kata (i i) ithmis terambil dari kata (i i) thamasa, yakni perubahan menuju kehancuran
dan kepunahan. Sedang, kata (i i) usydud terambil dari kata (i i) syadd, yakni menarik
dan mengikat, dalam arti ikatlah hati mereka sehingga tidak terbuka untuk
menerima keimanan dan tidak juga keluar kebejatan yang memenuhinya. Dengan
demikian, redaksi ini sama dengan mengunci mati hati mereka
Sekali lagi, pada masa turunnya al-Qur’an lima belas abad yang lalu tidak seorang
pun yang mengetahui di mana sebenarnya Fir‘aun/penguasa Mesir yang tenggelam
itu berada dan bagaimana kesudahan yang dialaminya. Namun, pada 1896 M,
purbakalawan Loret menemukan jenazah tokoh tersebut dalam bentuk mumi di
Wâdi al-Mulûk (Lembah para Raja) yang terletak di daerah Thâba, Luxor, di seberang
sungai Nil, Mesir. Kemudian pada 8 Juli 1907, M Elliot Smith membuka pembalut
mumi itu dan ternyata badan Fir‘aun masih dalam keadaaan tetap utuh
Penyifatan sesuatu dengan kata (i i) shidq yang biasa diartikan benar atau sesuai
dengan kenyataan mengandung makna terpenuhinya segala macam kebutuhan dan
kesempurnaan sesuatu itu. Seakan-akan apa yang diharapkan darinya benar-benar
ada dan sesuai sehingga sama kata dengan kenyataan.
Jika Anda berkata (i i) wa‘d ash-shidq/janji yang benar, itu mengandung makna
terpenuhinya
Dengan demikian, (i i) mubawwa’ shidq berarti tempat tinggal yang terpenuhi di sana
segala kebutuhan dan kesempurnaan hidup, seperti tanah yang subur, lingkungan
yang sehat, udara yang segar. Bahkan, dapat juga mencakup ketersediaan sandang,
pangan, dan papan.
objek pertanyaan dimaksud adalah kisahkisah yang dipaparkan dalam surah ini dan
juga tentang kebangkitan setelah kematian dan keniscayaan hari Kemudian. Semua
itu tidak dapat didustakan oleh Ahl al-Kitâb.
Kata (i i) laulâ yang diterjemahkan di atas dengan mengapa adalah kata yang
digunakan untuk mendorong tetapi di sini ia dipahami sebagai tanda tanya dan atau
gambaran tentang kecaman dan penyesalan atas perbuatan yang tidak dilakukan
dan yang seharusnya mereka lakukan pada masa lalu
“Apakah engkau, engkau memaksa manusia” ditujukan kepada Nabi Muhammad
saw. yang berupaya dengan sungguh-sungguh melebihi kemampuan beliau—
sehingga hampir mencelakakan diri sendiri—guna mengajak manusia beriman
kepada Allah swt.