Anda di halaman 1dari 146

Catatan Dari Penjara Seri 1 (Ust.

Abu Bakar Ba'asyir)


Tuesday, 07 September 2010 10:32 | Written by saveabb.com/red | | |

Catatan Dari Penjara  Seri 1:

Mengamalkan Dinul Islam Menurut AlQur’an dan Sunnah Rosulullah SAW


(Muqoddimah)

Hampir satu bulan penahan ustad Abu Bakar Ba’asyir namun kejelasan tentang dakwaan dan
masa lamanya tahanan yang diulur-ulur oleh mabes polri membuat terhambatnya dakwah yang
dilakukan beliau.namun demikian bukan Ustad Abu Bakar Ba’asyir namanya kalau dakwah
beliau bisa dihentikan oleh jeruji besi, meskipun fisik beliau tidak bisa hadir di tengah umat
islam namun beliau menghadirkan dakwah dengan cara lain,yaitu melalui tulisan dan  buku yang
bisa di baca oleh umat islam  sebagai pedoman.

Salah satu buku / tulisan yang beliau himpun adalah “Cara mengamalkan dinul islam
menurut Al Qur’an dan Sunnah Rosululloh SAW” yang beliau susun sewaktu beliau
menghuni hotel prodeo cipinang 19 Rabii’ul Awal 1426 H bertepatan dengan 28 April 2005 .

Sembari menunggu buku dan tulisan ustad Abu Bakar Ba’asyir berikutnya alangkah baiknya
redaksi menghadirkan kembali tulisan dan pemikiran beliau di halaman saveabb.com dan kami
akan sampaikan secara berseri .semoga menjadi penyemangat kita semua pejuang penegak
syariat Islam

Selamat menyimak (saveabb.com/Red)


MUQODDIMAH

Bahwa sesungguhnya nikmat Allah SWT yang dilimpahkan kepada hamba-Nya baik manusia,
jin dan lainnya, sungguh tiada terhingga banyaknya dan Allah SWT juga mencukup semua
kebutuhan hamba-hambanya, sehingga tidak mungkin manusia maupun jin mampu
menghitungnya meskipun memakai alat yang tercanggih teknologinya.

Allah SWT berfirman:


“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan
kepadaNya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya.
Sesungguhnya manusia itu sangat dzolim dan sangat mengingkari nikmat Allah”. (Ibraahiim :
34).

Maka pada hakekatnya satu detikpun semua hamba Allah tidak pernah ada yang lepas dari
nikmat Nya, karena diantara sifat-sifat Allah yang terpuji adalah sifat Pengasih dan Penyayang
kepada semua hamba-hamba Nya.

Allah SWT berfirman:

 “Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata,
Dialah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (Al Hasyru : 22)

Diantara nikmat Allah SWT yang tiada terhingga ini, ada satu nikmat yang tertinggi nilainya
karena nikmat ini dengan izin Allah SWT akan membawa hamba Nya baik manusia maupun jin,
ke pintu gerbang keselamatan dunia akherat. Nikmat yang tertinggi itu ialah nikmat Dinul Islam.
Ia merupakan satu-satunya nikmat yang mampu menghantarkan hamba-hamba Nya dengan izin
Nya kepada keselamatan, kebahagiaan dan kejayaan yang sebenarnya, baik di dunia maupun di
akherat.

Sumber pokok Dinul Islam adalah Al Quran dan Sunnah Nabi SAW, ia adalah merupakan satu-
satunya kitab suci yang diturunkan dari Allah yang Maha Bijaksana kepada Hamba Nya yang
menunjukkan jalan yang paling lurus di dunia ini, sehingga apabila manusia dan jin berpegang
teguh kepada Al Quran dan Sunnah, berarti hidupnya berada di jalan yang lurus dan mendapat
kemuliaan yang hakiki maka dijamin tidak akan sesat selama-lamanya dan pasti dijamin
keselamatannya dunia akherat.

Allah SWT berfirman:

“Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu.
Sesungguhnya kamu berada diatas jalan yang lurus. Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-
benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta
pertanggungan jawab” (Az Zukhruf : 43-44)

Dan firman-Nya lagi:

“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus dan memberi
kabar gembira kepada orang-orang mukimin yang mengerjakan amal saleh, bahwa bagi mereka
ada pahala yang besar“ (Al Israa : 9).

Rasullah SAW bersabda:

“Aku telah meninggalkan untuk kamu sekalian dua perkara, setelah ada dua perkara tersebut,
kamu sekalian tidak mungkin sesat selama kamu masih berpegang teguh kepada kedua perkara
itu, yakni kitab Allah (Al Quran) dan Sunnahku” (HR Al Hakim).
Disamping itu Al Quran dan Sunnah adalah merupakan satu-satunya obat yang sanggup
menyehatkan hati manusia sehingga berakhlak mulia. Oleh karena itu sudah sepantasnya nikmat
Al Quran dan Sunnah ini disambut dengan perasaan gembira karena ia merupakan nikmat yang
jauh lebih baik dan lebih berharga dari pada harta dan semua nikmat dunia yang dikumpulkan
oleh orang-orang Kafir. 

Allah SWT berfirman:

 “Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyebuh
bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang
yang beriman. Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu
mereka bergembira. Karunia dan rahmatNya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan” (Yuunus : 57, 58)

Oleh karena itu manusia yang menerima nikmat Dinul Islam adalah dinyatakan oleh Allah SWT
sebagai umat yang terbaik nilainya, karena sehat kepercayaannya yakni Tauhid dan Iman kepada
Allah dan Rasul Nya dan terpuji kegiatannya, yaitu Amar Makruf Nahi Mungkar. Allah SWT
berfirman:

 “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah ... “ (Aali’ Imraan : 110).

Ketinggian nilai Dinul Islam dan kebaikan kaum Muslimin ini akan benar-benar menjadi
kenyataan apabila hakekat akidah dan syariatnya benar-benar dipahami sehingga benar
pengamalannya.

Tetapi kenyatannya, sekarang kaum muslimin kecuali mereka yang mendapat rahmat Allah SWT
– hidup nista dan rendah dibawah kekuasaan kaum Kafir dan kaum Sekuler, Syariat Islam
dilecehkan, pengamalannya dipotong-potong, akibatnya ketinggian nilai Dinul Islam dan
kebaikan kaum Muslimin tidak nampak menjadi kenyataan.

Hal ini disebabkan karena kaum Muslimin pada umumnya tidak memahami hakekat Dinul Islam
sehingga pengamalannyapun menjadi amburadul bercampur-aduk antara yang haq (Islam)
dengan yang bathil (ideologi buatan manusia), akidahnya bercampur aduk dengan praktek-
praktek kemusyrikan, ibadah madhlohnya (ritualnya) penuh dengan bid’ah dan muamalahnya
banyak diwarnai cara-cara hidup orang Kafir.

Islam yang diamalkan bercampur aduk dengan ideologi buatan manusia seperti ini akibatnya
menjadi penyakit yang merusak ahlak dan menjerumuskan kepada kehinaan dunia akherat,
laksana air minum yang jernih yang dicampur air longkang berubah fungsinya menjadi minuman
yang membawa penyakit.

Demikian pula jamaah-jamaah kaum Muslimin yang memperjuangkan tegaknya Dinul Islam
makin hari bukan membawa kemajuan Islam tetapi makin melemahkannya - kecuali jamaah-
jamaah yang dirahmati Allah SWT - ini semua karena manhaj perjuangannya tidak murni
menepati panduan Al Quran dan Sunnah tetapi bercampur aduk dengan manhaj jahiliah yang
diciptakan oleh orang-orang Kafir.

Imam Ibnul Qoyyim dalam kitab beliau Ighotsatullahfaan menyatakan bahwa Umat Islam
sedang ditimpa fitnah yang berbahaya yaitu fitnatussubuhat, yakni fitnah kekaburan; kabur
pahamnya tentang Dinul Islam akibatnya kabur pula pengamalannya. Obat untuk
menyembuhkan penyakit ini adalah ilmu. Menyadari kenyataan-kenyataan ini, dengan izin dan
pertolongan Allah SWT, saya menyusun risalah sederhana ini dengan tujuan ingin membantu
meluruskan kembali kebengkokan amalan dan manhaj perjuangan saudara-saudara saya umat
Islam, menurut kemampuan saya, semoga dengan pertolongan Allah SWT mereka akhirnya
diberi kepahaman yang benar tentang hakekat Dinul Islam sehingga mampu mengamalkan dan
menegakkannya sesuai dengan panduan yang diberikan oleh Allah SWT dan Rasul Nya.

Keterangan dalam risalah ini sengaja dibuat secara garis besar dengan tujuan agar mudah
dipahami.

Siapa yang ingin mendapatkan keterangan secara terperinci hendaknya membaca kitab-kitab para
ulama Shalaf antara lain kitab Al Jami’ Fii Tholabil Ilmissyarif yang ditulis oleh seorang alim
mujahid pengikut ulama Shalaf As Shyeikh Abdul Kadir bin Abdul Aziz.

Semoga risalah sederhana ini bermanfaat bagi kita semua dan diterima di sisi Allah SWT sebagai
amal. Amin

LP Cipinang.

19 Rabii’ul Awal 1426 H

28 April 2005

Al-Faqiir Ilallah

Ust. Abubakar Ba’asyir

Catatan dari penjara seri 2


DINUL ISLAM WAJIB DIAMALKAN SECARA BERSIH
( Bab Aqidah Bersih Dari Kemusyrikan )

            Pada  edisi catatan dari penjara seri 2 ini redaksi menghadirkan kembali  tulisan dari
ustad Abu Bakar Ba’asyir, perihal Dinul Islam wajib diamalkan secara bersih bab Aqidah bersih
dari kemusyrikan. Disebabkan cukup panjangnya uraian beliau mengenai hal ini maka pada seri
2 ini , redaksi membatasi uraian sampai materi kemusyrikan karena mempertuhankan binatang /
benda-benda.
Selamat menyimak (saveabb.com/Red)

Pengamalan Dinul Islam tidak boleh dicampur dengan ajaran dan Syariat Dien (agama, ideologi,
undang-undang) lainnya, karena sesungguhnya hanya Dinul Islam saja yang diakui oleh Allah
SWT sebagai satu-satunya Dien yang paling benar dan satu-satunya Dien yang di Ridhoi disisi
Nya, sedang Dien-Dien lainnya semuanya Bathil. Dan semua Dien diluar Dinul Islam ditolak
mutlak oleh Allah SWT.

Allah SWT berfirman:


“Sesungguhnya Dien yang diridhoi di sisi Allah hanyalah Islam .....” (Ali ‘Imraan : 19)

Dan firman-Nya lagi:


“Barang siapa mencari dien selain dinul Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima dien itu
dari padanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang rugi” (Ali ‘Imraan : 85)

Maka Allah SWT memerintahkan semua hamba Nya agar hanya mengikuti jalan Nya (Dien
Nya) saja dan melarang mengikuti jalan-jalan (Dien-Dien) lainnya. Allah SWT menerangkan hal
tersebut dalam firman Nya:

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan Ku yang lurus, maka ikutilah Dia dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu
dari jalan Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa”. (Al
An’aam : 153)

Dan firman Nya lagi:


“kutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran dari pada Nya”.
(Al A’raaf : 3 )

Keterangan:

Dua ayat tersebut diatas jelas dan tegas menerangkan bahwa kaum Muslimin wajib
mengamalkan Syariat Islam secara bersih dari campuran ajaran / ideologi / tatanan hidup yang
bertentangan dengan Islam.

Penjelasannya adalah sebagai berikut:

AQIDAHNYA WAJIB BERSIH DARI BERBAGAI BENTUK KEMUSYRIKAN.

Aqidah Islamiyyah atau Tauhid adalah merupakan inti dan ruhnya Dinul Islam, yang
menentukan diterima dan tidaknya amal seseorang. Peranan aqidah / tauhid dalam Dinul Islam
dapat diumpamakan seperti peranan Ruh di dalam badan. Semua anggota badan dapat hidup dan
bergerak serta bernilai tinggi sehingga tidak dapat dinilai dengan uang.  Itu semua disebabkan
adanya Ruh. Kalau Ruh tersebut tiada lagi maka matilah semua badan dan anggotanya tidak lagi
mampu bergerak dan nilainyapun jatuh tiada berharga lagi.

Demikian pula semua pengamalan Syariat Islam akan hidup dan bernilai tinggi di sisi Allah
SWT dan akan dapat mewujudkan manfaat di dunia dan akhirat apabila didasari Aqidah / Tauhid
yang bersih dari berbagai bentuk kemusyrikan. Tetapi apabila amalan itu semua ditaburi
kemusyrikan sehingga rusaklah Aqidah dan tauhid, maka amalan itu semua tidak ada harganya
lagi di sisi Allah baik di dunia maupun di akhirat, karena amalan itu sudah mati tidak ada ruhnya
lagi dan Allah tidak akan menerima amal yang mati semacam ini.

Maka amal orang Kafir, betapapun baiknya, tidak ada nilainya di sisi Allah SWT sebab ia
merupakan amal mati  yang tidak ada Ruhnya yakni, karena tidak didasari Aqidah dan Tauhid.
Amal semacam ini oleh Allah diumpamakan sebagai debu yang berterbangan, yakni tidak ada
nilainya dan hilang tanpa membawa manfaat baginya.

Sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya:

“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu bagaikan debu
yang berterbangan” (Al Furqaan : 23)

Dalam ayat yang lain, Allah SWT menerangkan bahwa orang Kafir kelak di akhirat tidak
menjumpai hasil amal baiknya di dunia sedikitpun.

Hal ini diumpamakan sebagai orang yang kehausan di bawah teriknya panas matahari mengejar
fatamorgana yang dikira air. Tetapi sampai di tempat yang tadinya ia melihat ada air, ternyata
kosong tiada setetes airpun.

Allah SWT berfirman lagi:

“Dan orang-orang yang Kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang
datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga tetapi bila didatanginya air itu dia
tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya ketetapan Allah disisinya lalu Allah
memberikan kepadanya perhitungan amal-amalnya dengan cukup dan Allah sangat cepat
perhitunganNya” (An Nuur : 39)

Bahkan meskipun yang beramal baik itu seorang Muslim tetapi apabila amal itu tidak didasari
dan didorong oleh aqidah / tauhid yang bersih, sehingga amal tersebut tercampur dengan bid’ah
dan kemusyrikan, maka amal itu tidak akan diterima dan sia-sia di sisi Allah SWT karena
diwarnai kemusyrikan dan bid’ah.

Allah SWT berfirman:

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi yang sebelummu: ‘Jika
kamu mempersekutukan Tuhan, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk
orang-orang yang merugi’” (Az - Zumar : 65)

Maka syarat utama mengamalkan Dinul Islam adalah aqidahnya harus benar-benar dijaga agar
bersih dari berbagai bentuk kemusyrikan.

Adapun bentuk-bentuk kemusyrikan yang wajib dibersihkan dari pengamalan Dinul Islam
meliputi:

Kemusyrikan karena mempertuhankan binatang / benda-benda.


Maksudnya meyakini bahwa ada sementara binatang / benda-benda yang dapat mendatangkan
manfaat dan menolak mudharot, memberi berkah sehingga dikeramatkan dan dijadikan tempat
bergantung untuk mencari berkah, mencapai suatu cita-cita dan mencari keselamatan dari
bahaya.

Binatang-binatang / benda-benda yang biasa dipertuhankan itu antara lain; kerbau, sapi, keris,
besi kuning, batu akik, kuburan-kuburan para Wali, bintang, jimat, pohon beringin dan lain-lain.
Aqidah yang bersih dari kemusyrikan dalam hal ini ialah aqidah yang menanamkan keyakinan
bahwa yang dapat mendatangkan manfaat dan menolak mudharot memberi berkah mencapai
cita-cita, menyelamatkan dari bencana dan mengatur tata cara hidup hanya Allah SWT saja, oleh
karenanya hanya Allah SWT sajalah tempat bergantung dan meminta pertolongan untuk
mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Hal ini diterangkan Allah SWT dalam firman-Nya:

“Jika Allah menimpakan suatu mudharotan kepadamu, maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagimu, maka tak ada
yang dapat menolak karunia Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki
Nya diantara hamba-hamba Nya dan Dia lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
(Yuunus : 107)

Firman Nya lagi:

 “Jika Allah menimpakan suatu ke mudharotan kepadamu, maka tidak ada yang
menghilangkannya selain Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka
Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu” (Al An’aam : 17)

Dan firman Nya lagi:

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa Rahmat, maka tidak ada
seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak ada
seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana” (Faathir : 2)

Maka bila aqidah dan ke-Imanan sudah benar-benar bersih dari kemusyrikan, pasti hidup hanya
bergantung kepada Allah saja, karena hanya Allah lah tempat bergantungnya seluruh mahluk.

Allah SWT berfirman:

“Katakanlah; Dia lah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada Nya
segala urusan” (Al Ikhlas : 1 dan 2 ) Catatan dari penjara seri 3
Dinul Islam wajib diamalkan secara bersih
(Bab Aqidah bersih dari kemusyrikan)

Pada edisi seri ketiga ini redaksi menghadirkan tulisan Ustad Abu Bakar Ba’asyir yang
menguraikan tentang kemusyirikan karena mempertuhankan sesama manusia.
Selamat menyimak (saveabb.com/Red)
B. Kemusyrikan karena mempertuhankan sesama manusia, yang meliputi:
Mempercayai bahwa ada manusia yang dapat mendatangkan manfaat, menolak mudharot,
memberi berkah dan menyembuhkan sakit dan mengetahui perkara-perkara ghaib, sehingga ia
dikeramatkan dan dijadikan tempat bergantung dalam mencari rezeki, keberkatan dan
keselamatan. Perkara semacam ini dengan keras dinafikan / ditiadakan oleh Allah SWT dan oleh
Nabi Muhammad SAW.

Dalam hal ini Allah SWT menerangkan dalam firman Nya:

“Katakanlah; ‘Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudhoratanpun


kepadamu dan tidak pula sesuatu kemanfaatan”.

“Katakanlah; sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorangpun yang dapat melindungiku dari
adzab Allah dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain dari Nya. (Al –
Jin : 21, 22)

Dan firman Nya lagi:

“Dia adalah Tuhan yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada
seorangpun tentang yang ghaib itu kecuali kepada Rasul yang di Ridhoi Nya, maka
sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) dimuka dan di belakang Nya”. (Al
Jin : 26, 27).

Dan firman-Nya lagi:

“Katakanlah aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula menolak
kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya Aku mengetahui yang ghaib,
tentulah Aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku  tidak akan ditimpa
kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi
orang-orang yang ber Iman”. (Al A’raaf : 188)

Dari ayat-ayat tersebut diatas kita telah mendapat keterangan yang jelas bahwa Nabi Muhammad
SAW pada hakekatnya tidak mampu mendatangkan manfaat dan menolak mudhorat baik untuk
dirinya sendiri maupun untuk orang lain kecuali yang dikehendaki oleh Allah. Dan beliau juga
tidak mengetahui barang ghaib kecuali yang diberitahukan Allah SWT. Maka jelaskan apabila
ada manusia biasa mengaku mengetahui barang ghaib atau mengaku dapat mendatangkan
manfaat dan menolak mudharot berarti dia telah menyekutukan dirinya kepada Allah SWT, dan
orang yang mempercayainya telah berbuat syirik dan dia murtad dari Islam.

Termasuk perbuatan memper-Tuhankan manusia ialah: mentaati fatwa orang Alim (Ulama,
Kyai, Ustad dan lain-lain) yang jelas-jelas bertentangan dengan Naas Al Qur’an dan Sunnah
Nabi SAW, yakni: fatwa yang menghalalkan perkara yang diharamkan olah Allah SWT dan atau
mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah SWT. Perbuatan ini berarti musyrik karena
mempertuhankan Ulama. Kesyirikan semacam ini telah diamalkan oleh orang-orang Yahudi dan
Nasrani. Allah SWT berfirman dalam menerangkan hal ini:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah.
Dan juga mempertuhankan Almasih putera Maryam padahal mereka hanya disuruh beribadah
kepada Tuhan yang Maha Esa tidak ada Tuhan yang berhak dibadahi selain Dia. Maha Suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan” (At Taubah : 31)

Keterangan:

Ketika ayat ini dibacakan oleh Nabi SAW dihadapan seorang pengikut Nasrani yang bernama
Adiy bin Hatim, yang akhirnya masuk Islam, setelah mendengar bacaan ayat tersebut, Adiy
membantah dan mengatakan bahwa orang Nasrani tidak pernah menjadikan pendeta-pendeta
mereka sebagai Tuhan yang disembah. Adiy bin Hatim menyangka bahwa maksud menjadikan
pendeta sebagai Tuhan adalah dalam bentuk amalan menyembahnya dengan ruku’ dan sujud
dihadapannya, kemudian Rasulullah SAW menjelaskan maksud ayat tersebut, bahwa yang
dimaksud menjadikan pendeta mereka sebagai Tuhan-Tuhan adalah bukan menyembahnya (ruku
dan sujud) dihadapan mereka, tetapi yang dimaksud adalah sikap mentaati fatwa mereka
meskipun fatwa tersebut jelas-jelas menghalalkan perkara yang diharamkan oleh Allah dalam
kitab sucinya dan atau mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab suci Nya.

Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam riwayat berikut:

Diriwayatkan dari Adiy bin Hatim ia berkata: ‘Saya datang menemui Nabi SAW sedang di
leherku tergantung sebuah salib dari emas’, maka Baginda bersabda; ‘Wahai Adiy buanglah
berhala itu dari lehermu’, dan selanjutnya saya mendengar Baginda membaca ayat dalam surat
Baro’ah (Taubah); ‘Mereka menjadikan  orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka
menjadi Tuhan-Tuhan selain Allah (At Taubah : 31), lalu Baginda bersabda; ‘Bahwa
sesungguhnya kaum Nasrani tidak menyembah mereka (orang-orang alim dan pendeta-
pendetanya), tetapi mereka (orang-orang alim dan pendeta-pendeta) bila menghalalkan sesuatu
(yang haram) untuk mereka (pengikutnya), mereka (pengikutnya) juga ikut menghalalkan dan
mengharamkan perkara yang halal untuk mereka, mereka pun ikut mengharamkan’. (HR
Ahmad)

Maka dari keterangan ayat dan hadist tersebut diatas jelas bahwasanya siapa saja yang mentaati
fatwa para Ulama, Kyai, Mubaligh, Ustadz yang jelas-jelas mengharamkan perkara yang halal
atau sebaliknya berarti dia telah mengangkat yang memberi fatwa tersebut sebagai Tuhan selain
Allah, ini berarti perbuatan syirik yang menjadikan dia murtad.

Termasuk perbuatan mempertuhankan sesama manusia adalah mengamalkan ajaran Demokrasi


ciptaan orang Kafir. Karena ajaran Demokrasi menetapkan bahwa kedaulatan membuat undang-
undang untuk mengatur kehidupan berada penuh di tangan rakyat yang diwakili oleh wakil-
wakilnya dalam parlemen, tanpa merujuk kepada Syariat Allah. Padahal di dalam Islam
kedaulatan penuh membuat undang-undang, menetapkan yang halal dan yang haram,
menetapkan yang baik dan yang buruk, hanya berada ditangan Allah SWT.

Allah SWT berfirman dalam menerangkan persoalan ini:


“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk
mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tidak ada ketetapan yang menentukan dari
Allah tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang dhalim itu akan
memperoleh adzab yang amat pedih” (As Syuuraa : 21)

Keterangan:

Dalam ayat tersebut diatas Alah SWT  mencela keras orang yang berani membuat Syariat
(undang-undang, peraturan) tanpa izin Allah SWT, yakni Syariat yang jelas-jelas bertentangan
dengan Syariat Islam, dan pembuat Syariat itu dianggap sebagai sekutu Allah SWT. Ini berarti
perbuatan Syirik besar.

Dan firman-Nya lagi:

“Katakanlah; ‘Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan oleh Allah kepadamu,
lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal. Katakanlah apakah Allah telah
memberi izin kepadamu tentang hal ini, atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah ?”
(Yunus : 59)

Dan firman-Nya lagi:

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta,
ini ‘halal’ dan ini ‘haram’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya
orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” (An Nahl : 116)

Keterangan:

Dalam kedua ayat tersebut diatas, Allah SWT mencela keras orang yang berani menghalalkan
dan mengharamkan tanpa merujuk kepada Syariat Nya. Sedangkan ajaran demokrasi dalam
membuat undang-undang merujuknya kepada kehendak mayoritas rakyat, tidak peduli apakah
masalah ini dihalalkan atau diharamkan oleh Allah SWT. Contoh secara kongkrit adalah ketika
pelaksanaan Syariat Islam yang tercantum dalam Piagam Jakarta diperjuangkan di MPR, anggota
MPR secara mayoritas tidak setuju, maka gagallah pelaksanaan Syariat Islam itu meskipun Allah
memerintahkan. Dalam hal ini jelas perintah Allah SWT dikalahkan oleh suara mayoritas
anggota MPR. Ini berarti mayoritas anggota MPR yang menentang berlakunya Syariat Islam
yang diperintahkan oleh Allah yang tersebut di dalam Piagam Jakarta adalah merupakan
tandingan Allah SWT, maka jelas mereka termasuk Musyrik karena berani menandingi Allah,
Allah memerintah, sedang mereka menolak. Maka yang menerima keputusan ini berarti
mengangkat wakil rakyat sebagai Robb (Tuhan) selain Allah SWT. Maka tidak diragukan lagi
bahwa wakil rakyat yang menolak berlakunya syariat Islam secara kaffah adalah musyrik dan
demikian pula rakyat yang menerima keputusan mereka juga musyrik. Hati-hati persoalan ini
jangan dipandang remeh. Dengan demikian MPR pada hakekatnya adalah merupakan lembaga
kemusyrikan.

Dan firman-Nya lagi:


“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adaah suatu kefasikan.
Sesungguhnya Syeitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah
kamu; dan jika kamu menuruti mereka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang
Musyrik”. (Al An’aam : 121)

Keterangan:

Dalam ayat tersebut diatas Allah menerangkan bahwa orang Islam yang mentaati ajaran
pemimpin Kafir untuk membantah Syariat / hukum yang telah ditetapkan oleh Allah adalah
dihukum sebagai orang musyrik, meskipun yang dibantah itu hanya satu hukum.

Dan firman-Nya lagi:

“... ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah Tuhan semesta
alam”. (Al A’raaf : 54)

Keterangan:

Ayat tersebut diatas menegaskan bahwa karena hanya Allah SWT yang menciptakan khususnya
manusia dan Jin, maka hanya Allah yang berhak memerintah yakni membuat peraturan untuk
hidupnya.

Dan firman-Nya lagi:

“... ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan Nya dan Dialah pembuat
perhitungan yang paling cepat” (Al An’aam : 62)

Dan firman-Nya lagi:

“... keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
beribadah kepada selain Dia. Itulah Dien yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui” (Yusuf : 40)

Keterangan:

Kedua ayat tersebut diatas menerangkan bahwa menetapkan hukum di dunia maupun di akherat
adalah hak mutlak Allah SWT.

Dan firman Nya lagi:

“Tentang sesuatu apapun yang kamu berselisih, maka putusannya terserah kepada Allah yang
mempunyai sifat-sifat demikian itulah Allah Tuhanmu, kepada Nya lah aku bertawakal dan
kepada Nyalah aku kembali” (Asy Syuuraa : 10)

Dan firman-Nya lagi:


“.... kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. (An Nisaa :
59)

Keterangan:

Ayat-ayat tersebut diatas menerangkan bahwa penyelesaian segala persoalan terutama masalah
perselisihan harus dikembaikan kepada hukum Allah.

Dan firman-Nya lagi:

“... Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu Nya dalam menetapkan keputusan
(hukum)”. (Al Kahfi : 26)

Keterangan:

Ayat tersebut diatas secara tegas menerangkan bahwa manusia tidak boleh membuat hukum dan
undang-undang yang bertentangan dengan hukum Allah karena itu berarti menyekutui-Nya.

Dari ayat-ayat tersebut diatas, kita dapat mengambil pelajaran yang amat berharga bahwa benar-
benar kedaulatan mutlak menetapkan hukum untuk mengatur kehidupan manusia baik individu,
keluarga, masyarakat maupun negara adalah di tangan Allah SWT.

Manusia boleh membuat hukum dan peraturan untuk mengatur beberapa aspek kehidupan yang
belum secara tegas ditetapkan oleh Allah SWT, tetapi tidak boleh keluar dari batas-batas Syariat
Allah. Maka berdasarkan ayat-ayat tersebut jelas bahwa ajaran demokrasi ciptaan orang Kafir
(Barat) yang telah menetapkan bahwa kedaulatan membuat hukum berada di tangan rakyat yang
diwakili oleh wakil-wakilnya dalam parlemen, bahkan sampai mereka berani mengatakan suara
rakyat adalah suara Tuhan, yang benar-benar merupakan tandingan-tandingan Allah atau
perbuatan Syirik besar. Ini berarti mempertuhankan manusia dalam hal ini mempertuhankan
rakyat / wakil-wakilnya dalam parlemen. Maka semua negara yang mengamalkan sistem
demokrasi adalah negara musyrik dan merupakan bentuk thoghut yang pasti menjerumuskan
rakyatnya ke dalam kegelapan dunia dan akherat sebagaimana diterangkan oleh Allah SWT
dalam firmanNya dalam surat Al Baqoroh: 147, maka negara yang demikian itu wajib diingkari
dan dijauhi oleh umat Islam.

Catatan dari Penjara seri 4


Dinul Islam Harus harus diamalkan secara bersih
( Bab Aqidah bersih dari kemusyrikan)

Pada seri ke 4 ini redaksi menghadirkan uraian dari ustadz Abu Bakar Ba’asyir masih mengenai
kemusyrikan karena mempertuhankan sesama manusia terutama masalah kemusyrikan “ Demokrasi”
yang beliau ambil dari tulisan  ulama temporer yakni Syaikh Abdul Qadir bin ‘Abdul Aziz dalam kitab
beliau Al-Jammi Fii Tholabil Ilmissyariif pada Bab: Hukum Demokrasi, Parlemen dan Pemilu.

Selamat menyimak (saveabb.com/red)


Hakekat Demokrasi

Pendahuluan:

Ibnu Taimiyah berkata; Para fuqokhaa (akhli fiqih berkata; nama itu ada tiga macam:

Pertama, nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui syariat, seperti sholat dan dzakat.

Kedua, nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui bahasa, seperti; matahari dan bulan.

Ketiga, adalah nama yang bisa diketahui hakekatnya melalui kebiasaan, seperti; kata ‘segenggam’ dan
kata ‘baik’.

Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:

‘Dan pergaulilah istri-istrimu dengan baik’. (Majmu’ Fatawa XIII / 82). Dan perkataan ini beliau ulang-
ulang dalam beberapa tempat diantaranya pada Majmu’ Fatawa VII / 286 dan jilid IX / 235.

Karena kata Demokrasi ini adalah kata yang tidak dijelaskan dalam Syariat dan juga kata yang tidak
dikenal dalam bahasa Arab, maka untuk mengetahui arti dan hakekatnya harus dikembalikan kepada
pemilik bahasa dan para pencetusnya. Dalam hal ini Ibnul Qoyyim mengatakan dalam Ahkamul Mufti;
Seorang Mufti tidak diperbolehkan berfatwa dalam masalah pengakuan, sumpah, wasiat dan yang
lainnya yang berkaitan dengan kata-kata yang biasa ia gunakan untuk memahami kata-kata tersebut
tanpa mengetahui kebiasaan orang yang mengucapkannya, sehingga kata-kata tersebut dipahami
sebagaimana apa yang biasa mereka gunakan meskipun bertentangan dengan hakekat asalnya. Kalau ia
tidak melakukannya, maka ia akan sesat dan menyesatkan. (A’lamul Muwaqqi’in IV / 228).

Ini semua berkaitan dengan wajibnya kembali kepada orang-orang yang membuat istilah Demokrasi
untuk mengetahui artinya supaya tidak ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud Demokrasi adalah
Syuro, atau yang dimaksud adalah aktivitas politik, atau nama-nama yang lain yang akan mengacaukan
hakekatnya dan kemudian mengacaukan hukumnya.

Hakekat Demokrasi: Karena demokrasi adalah istilah politik Barat, maka berdasarkan Pendahuluan
diatas harus dikembalikan kepada pemilik istilah tersebut untuk mengetahui artinya yang akan
menentukan hukumnya. Arti Demokrasi menurut para penganutnya adalah: kedaulatan rakyat. Dan
bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dan tanpa batas tidak dikendalikan oleh kekuasaan
apapun selainnya. Kekuasaan ini berupa hak untuk penguasa-penguasa mereka dan hak dalam
membuat perundang-undangan semau mereka. Dalam hal ini kadang rakyat mewakilkannya kepada
orang-orang yang mereka pilih sebagai wakil mereka di parlemen dan para wakil tersebut mewakili
mereka dalam menjalankan kekuasaan. Disebutkan dalam Mausu’atus siyasah: semua negara Demokrasi
berdiri di atas satu dasar pemikiran yaitu, bahwa kekuasaan kembali kepada rakyat dan rakyatlah yang
berdaulat. Artinya, pada intinya Demokrasi itu prinsipnya adalah kedaulatan ditangan rakyat.
(Mausu’atus siyasah tulisan DR. Abdul Wahab Al-Kiyali II / 756).

Beliau berkata tentang Demokrasi perwakilan: ‘Yaitu bahwa rakyat sebagai pemegang kekuasaan tidak
melakukan sendiri dalam melaksanakan kekuasaan perundang-undangan, akan tetapi menyerahkannya
kepada wakil-wakil mereka yang mereka pilih selama masa tertentu. Mereka mewakili rakyat dalam
melaksanakan kekuasaan dengan mengatas namakan rakyat. Maka parlemen dalam Demokrasi
perwakilan adalah yang memerankan kekuasaan rakyat dan dialah yang mengungkapkan kemauan
rakyat melalui perundang-undangan yang mereka keluarkan. Dan sistem semacam ini secara sejarah
dari Inggris dan Perancis kemudian berpindah ke negara-negara lain. (Mausu’atus siyasah tulisan DR.
Abdul Wahab Al-Kiyali II / 757).

Dari keterangan diatas jelaslah bahwa Demokrasi itu intinya adalah: kedaulatan rakyat. Dan bahwa
kedaulatan itu inti dasarnya adalah hak mutlak dalam membuat perundang-undangan yang tidak
tunduk kepada kekuasaan apapun selain padanya.

Dan berikut ini beberapa pengertian Kedaulatan:

Abdul Hamid Mutawali, dosen perundang-undangan berkata; Demokrasi adalah perundang-undangan


yang dibangun diatas prinsip kedaulatan rakyat, sedangkan Kedaulatan sesuai dengan pengertiannya
adalah; kekuasaan tertinggi yang tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya. (Andzimatul
Hukmi Fid Dualin Namiyah oleh Dr Mutawali cet. 1985 hal. 625).

Yosef Frankl, seorang politikus Barat berkata, yang dimaksud dengan Kedaulatan adalah kekuasaan
tertinggi yang tidak mengenal kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya atau yang berada dibelakangnya
yang layak untuk mengevaluasi ketetapan-ketetapannya. Dan inilah arti dasar yang tidak pernah
mengalami perubahan selama ini.

Sedangkan definisi Kedaulatan menurut John Bodn, pada tahun 1576 M yang intinya; bahwa Kedaulatan
adalah kekuasaan tertinggi yang berada diatas penduduk dan rakyat yang tidak dibatasi oleh Undang-
Undang. Definisi kedaulatan ini tetap benar meskipun arti Kedaulatan yang dimaksudkan oleh Bodn
adalah pemimpin pada zamannya selanjutnya telah berpindah kepada rakyat. (Al-Alaqot Ad-Dauliyah,
tulisan Yosef Frankin terbitan Tihamah 1984 M / 25).

 
Sejarah Perkembangan Demokrasi Modern

Demokasi bermula dari revolusi Perancis tahun 1789 M meskipun sistem perwakilan parlemen ini telah
bermula di Inggris satu abad persis sebelum itu. Dan secara pemikiran sesungguhnya prinsip kedaulatan
rakyat yang merupakan dasar pemikiran Demokrasi telah tersebar sebelum terjadinya revolusi Perancis
selama beberapa puluh tahun, yaitu dalam tulisan-tulisan John Lock. Mutaskyu, Jan Jack, orang-orang
yang memunculkan pemikiran ikatan sosial yang menjadi dasar kedaulatan rakyat.

Hal itu sebagai reaksi dan perlawanan terhadap pemikiran penyerahan diri kepada Tuhan yang
berkembang di Eropa selama kurang lebih 10 abad. Sebuah pemikiran yang menyatakan bahwa para raja
itu menjalankan hukum atas pilihan dan penyerahan dari Allah. Dengan demikian maka para raja itu
mempunyai kekuasaan mutlak yang diperkuat dengan dukungan dari para Paus. Rakyat Eropa pun
sangat menderita lantaran sistem ini dan kedaulatan rakyat ketika itu menjadi alternatif untuk keluar
dari kekuasaan mutlak para raja dan para Paus yang berkuasa atas dasar perwakilan Tuhan sebagaimana
pengakuan mereka. Dengan demikian pada asalnya Demokrasi itu adalah penentangan terhadap
kekuasaan Allah untuk memberikan segala kekuasaan kepada manusia untuk membuat peraturan hidup
dan perundang-undangannya sendiri tanpa batas apapun

Dan perpindahan dari pemikiran kekuasaan berdasarkan perwakilan Tuhan menuju pemikiran
kedaulatan rakyat tidaklah berjalan dengan damai, akan tetapi melalui revolusi berdarah yang sangat
dahsyat di dunia, yaitu yang dikenal dengan revolusi Perancis pada tahun 1789 M yang mana motto
ketika itu adalah; Gantunglah Raja Terakhir dengan Usus Pendeta Terakhir. DR. Syafar Al-Hawali berkata;
Revolusi itu melahirkan hasil yang sangat penting, yaitu lahirnya pertama kali di dalam sejarah Eropa
Nasrani sebuah negara Republik Sekuler yang berfalsafah kekuasaan atas nama Rakyat dan bukan atas
nama Allah, bebas beragama sebagai ganti doktrin Katolik kebebasan setiap orang sebagai ganti dari
ikatan perilaku keagamaan dan undang-udang positif sebagai ganti dari ketetapan-ketetapan Gereja (Al
Imaniyah, tulisan DR. Staffar Al-Hawali, hal. 178, terbitan Universitas Umul Qurro th 1402 H).

Pemikiran kedaulatan rakyat dan haknya dalam membuat undang-undang ini nampak jelas dalam
prinsip-prinsip revolusi Perancis dan undang-undangnya. Pada pasal ke 6 dari proklamasi hak-hak asasi
manusia pada tahuan 1789 M tertera bahwa; ‘Undang-Undang adalah manisfestasi dari kehendak
rakyat’, artinya bahwa undang-undang itu bukanlah manifestasi dari kehendak Gereja atau kehendak
Allah. Dalam proklamasi hak-hak asasi manusia yang dikeluarkan bersama dengan undang-undang
Perancis pada tahun 1793 M Pasal ke 25 menyatrakan bahwa; ‘Kedaulatan Terpusat pada Rakyat’.
(Dinukil dari Mabadi’ul Qonunid Dusturi tulisan DR. As Sayid Shobri, hal. 25). Oleh karena itu, DR Abdul
Hamid Mutawali mengatakan; ‘Prinsip-prinsip revolusi Perancis tahun 1789 terhitung sebagai dasar
prinsip-prinsip Demokrasi Barat. Andzimatul Hukmi Fid Duwalin Namiyah, tulisan DR Mutawali hal. 30).

Hukum Demokrasi
Yang menjadi patokan hukum Demokrasi adalah adanya kedaulatan di tangan rakyat. Sedangkan yang
dimaksud dengan kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang tidak mengenal kekuasaan yang lebih
tinggi dari padanya sehingga kekuasaannya itu berasal dari rakyat tanpa ada batasan apapun.

Maka rakyat berhak berbuat apa saja dan membuat undang-undang semaunya tanpa ada seorangpun
yang berhak untuk mengkritisinya. Dan hal semacam ini sesungguhnya merupakan sifat Allah
sebagaimana firman Allah SWT:

 “Sesunguhnya Allah menetapkan hukum menurut kehendaknya, tidak ada yang dapat menolak
ketetapan Nya” (Ar Ra’d : 41)

Dan firman-Nya lagi:

“Sesungguhnya Allah menetapkan hukum menurut yang dikehendaki Nya” (Al Maa-idah : 1).

Dan firman-Nya lagi:

 “Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki” (Al Hajj : 14).

Kami ringkaskan dari penjelasan diatas bahwa Demokrasi itu melepaskan peribadahan (ketundukan) dari
manusia, lalu memberikan hak mutlak kepadanya untuk membuat undang-undang. Dengan demikian
maka Demokrasi menjadikan manusia sebagai Rabb (Tuhan) selain Allah, dan menjadikannya
(manusia) sekutu bagi Allah dalam membuat undang-undang. Dan perbuatan ini adalah Kuffur Akbar
yang tidak ada keragu-raguan lagi padanya. Dengan ungkapan yang lebih detail lagi adalah bahwa Rabb
(Tuhan) baru dalam Demokrasi adalah kemauan manusia, ia membuat undang-undang sesuai dengan
pemikiran dan kemauannya tanpa ada pembatas apapun.

Allah SWT berfirman:

“Terangkanlah kepada Ku, tentang orang yang menjadikan keinginannuya sebagai Illahnya (Tuhannya).
Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa
kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang
ternak bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu” (Al Furqaan : 43-44).

Maka hal ini berarti menjadikan Demokrasi sebagai agama yang berdiri sendiri yang mana pemegang
kedaulatan padanya adalah rakyat, maka jelas ini bertentangan dengan Dinul Islam yang menegaskan
bahwa pemegang kedaulatan adalah Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Penguasa itu Allah tabaroka wata’ala”.


 

Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Kitabul Adab dalam kitab Sunan beliau dengan sanak
shahih.

Ketika menerangkan Penuhanan manusia di dalam Demokrasi Ustadz Abul A’la Al-Maududi berkata:
“Dasar-dasar kebudayaan Barat sesungguhnya kebudayaan modern yang menjadi landasan peraturan
hidup pada masa sekarang ini, dengan berbagai macam cabang-cabangnya baik akidah, akhlak,
perekonomian, politik dan intelektual, berfokus pada tiga pokok yaitu, Prinsip-prinsip pokok berikut:

1. Sekulerisme
2. Nasionalisme, dan
3. Demokrasi

(Sampai beliau berkata) adapun prinsip ketiga adalah Demokrasi atau Penuhanan terhadap manusia.
Dengan menggabungkan dua prinsip sebelumnya maka sempurnalah gambar bencana dan kelelahan-
kelelahan dunia ini. Telah kukatakan tadi bahwa pengertian Demokrasi dalam kebudayaa modern adalah
berkuasanya rakyat, artinya setiap penduduk negara merdeka pada segala hal yang berkaitan dengan
merealisasikan kemaslahatan sosial mereka, dan perundang-undangan negara tersebut haruslah
mengikuti keinginan mereka. (Sampai beliau mengatakan): Jika kita perhatikan prinsip tersebut sekarang
kita dapatkan bahwa Sekulerisme telah melepaskan manusia dari peribadahan, ketaatan dan ketakutan
kepada Allah serta melepaskan dari ikatan-ikatan akhlak yang telah ditetapkan dan melepaskan tali
belenggunya serta menjadikan mereka hamba diri mereka sendiri tanpa pertanggung jawab dihadapan
siapapun.

Kemudian datang Nasionalisme, untuk menuangkan kepada mereka khomer individualis, kesombongan,
kecongkakan dan meremehkan orang lain. Kemudian, terakhir datanglah Demokrasi yang menundukkan
manusia ini - setelah membebaskan dirinya dari belenggu yang mengikatnya lalu menjadi tawanan bagi
hawa nafsunya dan tenggelam dalam individualisme- diatas singgasana Ketuhanan.

Maka tunduklah segala kekuasaan perundang-undangan dan sarana pemerintahan kepadanya untuk
mencapai segala sesuatu yang ia inginkan. (Kemudian Al-Maududi mengatakan) Dan saya katakan
kepada Umat Islam dengan terus terang sesungguhnya Demokrasi, Nasionalisme, dan Sekuler
bertentangan dengan agama dan akidah yang kalian yakini dan jika kalian tunduk kepadanya maka
benar-benar kalian telah meninggalkan Kitabullah dibelakang kalian dan jika kalian ikut serta dalam
menegakkannya atau dalam melanggengkannya (yakni Demokrasi, Nasionalis dan Sekuler) maka
berarti kalian telah mengkhianati Rasul kalian yang telah Allah utus kepada kalian. (Sampai beliau
mengatakan) Maka selama sistem ini masih ada maka kami menganggap bahwa Islam itu tidak ada
dan jika Islam itu ada maka tidak ada tempat bagi sistem ini. (dari buku: AL ISLAM WAL MADANIYATUL
HADITSAH tulisan Al-Maududi yang diterjemahkan oleh Khalil Al-Hamidi).
 

Termasuk perbuatan memperTuhankan manusia ialah mengangkat Nabi (Rasul) menjadi anak Allah
(Maha Suci Allah dari perbuatan ini).

Kemusyrikan ini diamalkan oleh orang Yahudi yang mengangkat Uzair sebagai anak Allah dan orang
Nasrani yang mengangkat Nabi Isa AS menjadi anak Allah SWT.

Hal ini diterangkan oleh Allah dalam firman Nya:

“Orang-orang Yahudi berkata; Uzair itu putera Allah, dan orang orang Nasrani berkata; ‘Almasih itu
putera Allah’, demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-
orang kafir terdahulu. Dilaknati Allah lah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling seperti itu ”. (At
Taubah : 30).

Dan firman Nya lagi:

“Sesungguhnya telah Kafirlah orang-orang yang berkata; ‘Sesungguhnya Allah itu adalah Almasih
putera Maryam’. Katakanlah; ‘Maka siapakah gerangan yang dapat menghalang-halangi kehendak
Allah jika Dia hendak membinasakan Almasih putera Maryam itu beserta ibunya, dan seluruh orang-
orang yang berada di bumi semuanya?’, kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang
diantara keduanya. Dia menciptakan apa yang dikehendaki Nya dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”. (Al Maa’idah : 17)

Dan firman-Nya lagi:

“Sesungguhnya telah Kafirlah, orang-orang yang berkata; ‘Sesungguhnya Allah ialah Almasih putera
Maryam’, padahal Almasih sendiri berkata; ‘hai bani israil beribadahlah kepada Allah Tuhanku dan
Tuhan Mu’. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka pasti Allah
mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu
seorang penolongpun”. (Al Maaidah : 72).

Firman-Nya lagi:

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan; ‘Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga’,
padahal sekali-kali tidak ada Tuhan yang berhak di ibadahi selain Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak
berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang Kafir diantara mereka akan ditimpa
siksaan yang pedih”. (Al Maaidah: 73).
 

Keterangan:

Dari ayat-ayat tersebut diatas jelas bahwa mengangkat seorang Nabi sebagai anak Tuhan atau kederajat
keTuhanan adalah merupakan praktek mempertuhankan Manusia dan hukumnya Syirik besar.

Dan, praktek kemusyrikan ini juga diingkari oleh Nabi Isa a.s. sebagaimana diterangkan oleh Allah SWT
dalam firman-Nya:

“Dan ingatlah ketika Allah berfirman: ‘Hai Isa, putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada
manusia; ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah’. Isa menjawab: ‘Maha suci Engkau,
tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah
mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada
diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha
mengetahui perkara yang ghaib-ghaib”. (Al Maaidah : 116)

Dan firman-Nya lagi:

“Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku
(mengatakannya), yaitu: ‘Beribadahlah kepada Allah, Tuhanku dan Tuhanmu’, dan adalah aku menjadi
saksi terhadap mereka, selama aku berada diantara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat)
aku, Engkaulah yang mengawasai mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu”
(Al Maaidah : 117)

Demikanlah praktek-praktek yang mempertuhankan sesama manusia yang harus diwaspadai agar
supaya aqidah dan tauhid Islam kita benar-benar bersih sehingga semua amal kita diterima oleh Allah
SWT.

Amalan mempertuhankan manusia semacam ini dilarang keras oleh Allah SWT.

Yang tersebut dalam firman-Nya:

“Katakanlah; ‘Hai ahli kitab, marilah berpegang kepada sesuatu kalimat (ketatapan) yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita ibadahi kecuali Allah  dan tidak kita persekutukan
dia dengan sesuatupun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain menjadi Tuhan
selain Allah jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka; ‘Saksikanlah bahwa kami adalah
orang-orang Muslimin (yang berserah diri kepadaAllah)”. (Ali Imraan : 64)
Catatan dari penjara seri 5
Dinul Islam wajib diamalkan secara bersih
(Bab ibadah wajib bersih dari bid’ah)

Catatan dari penjara seri 5 redaksi kembali menampilkan tulisan ustad Abu Bakar Ba’asyir yang
menguraikan tentang dinul islam wajib diamalkan secara bersih bab ibadah wajib bersih dari
bid’ah

Selamat menyimak (saveaabb.com/red)

IBADAH MAHDLOHNYA (RITUALNYA) WAJIB BERSIH DARI BID’AH

Yang dimaksud dengan ibadah mahdloh ialah amalam –amalan yang sifatnya ritual seperti
shalat, saum, dzakat, do’a, dzikir, nazar, kurban, haji dan lain-lainnya. Cara mengamalkan ibadah
mahdloh harus bersih dari bid’ah, maksudnya harus secara mutlak mengikuti arahan dan
tauladan yang diberikan oleh Nabi SAW.

Kewajiban kaum Muslimin dalam mengamalkan ibadah mahdloh hanya taat kepada perintah
Allah dan Rasul Nya serta mengikuti tauladan yang dijelaskan di dalam Sunnah Nabi SAW,
tidak boleh menambah atau mengurangi sedikitpun meskipun penambahan itu kelihatannya baik.
Hal ini karena Allah SWT telah menyempurnakan Dinul Islam tidak ada yang kurang atau yang
lebih.

Allah SWT berfirman:

“ ... pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan
kepadamu nikmat Ku dan telah Ku ridhoi Islam itu jadi agamamu. Maka barang siapa terpaksa
karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”. (Al Maa-idah : 3)

Kita wajib berIman bahwa pada diri dan amalan Rasulullah SAW adalah merupakan tauladan
yang baik termasuk tauladan yang beliau berikan dalam amalan ibadah mahdloh adalah sudah
sempurna dan baik tidak perlu ditambah atau dikurangi atau dikoreksi.

Hal ini sesuai dengan keterangan Allah SWT dalam firman Nya:

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi
orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari Kiamat dan dia banyak menyebut
Allah”. (Al Ahzaab : 21)

Dalam mengamalkan Shalat misalnya, Rasulullah SAW memerintahkan kepada Umat Islam agar
meniru seratus persen seperti yang mereka lihat Rasulullah SAW mengamalkannya.
Dalam hal ini Beliau SAW bersabda:

“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu lihat caraku shalat”. (HR Al-Bukhari)

Demikian pula amalan Haji, Rasulullah SAW juga memerintahkan Umat Islam agar mencontoh
manasik haji yang beliau amalkan.

Rasulullah SAW bersabda:

“Ambillah dariku manasik (tata cara amalan Haji) kamu, karena sesungguhnya saya tidak tahu
barangkali saya tidak lagi dapat menunaikan Haji setelah Hajiku ini”. (HR Hakim dan Ibnu
Huzaimah).

Dan Rasulullah SAW dengan tegas dan jelas memperingatkan Umat Islam agar benar-benar
menjaga kebersihan ibadah mahdloh ini dan menjauhkan diri dari amalan bid’ah, yakni
menambah atau mengurangi.

Hal ini diterangkan dalam riwayat dibawah ini:

“Diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Abdullah r.a. beliau berkata: ‘Adalah Rasululah SAW
bersabda dalam khutbahnya; beliau memuji Allah dan menyanjung Nya karena Dia memang
patut dipuji. Kemudian Baginda bersabda; ‘Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah tiada
siapapun yang sanggup menyesatkannya dan barang siapa yang disesatkan tiada siapapun yang
sanggup memberi petunjuk’. Bahwa sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah kitab Allah dan
sebaik-baik pimpinan adalah pimpinan Muhammad dan sejelek-jelek perkara adalah perkara-
perkara yang baru (yang dibuat tanpa ada contoh dari amalan Nabi atau tanpa ada perintah dari
beliau). Dan setiap perkara baru itu adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah itu adalah
kesesatan dan setiap kesesatan itu di neraka”. (HR. Hakim dan Ibnu Huzaimah)

Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Siapa yang membuat amalan baru dalam urusan kami (Syariat Islam) ini yang bukan dari Nya,
maka ia tertolak. (HR. Bukhari).

Dan dalam riwayat Muslim disebutkan: “Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada
perintah kami padanya, maka ia tertolak”.

Dalam khutbah pada masa Haji wada’ (Haji perpisahan) Baginda SAW memperingatkan Umat
Islam agar berhati-hati terhadap godaan Syeitan yang mendorong mereka mengamalkan bid’ah
yang dianggap kecil, dan Baginda SAW memerintahkan agar berpegang teguh kepada Al Quran
dan Sunnah Nabi SAW yang dijamin pasti menyelamatkan dari kesesatan. Ibnu Abbas r.a
meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW berkhutbah dihadapan manusia pada masa Haji wada’
maka Baginda SAW  bersabda:

“Sesungguhnya Syeitan telah berputus asa (menggoda kamu) untuk agar ia disembah di
negerimu ini, tetapi dia ridho apabila (bisikannya) ditaati selain itu yakni tentang amalan-amalan
yang kamu anggap remeh / kecil maka waspadalah dan berhati-hatilah. Sesunguhnya saya telah
meninggalkan sesuatu padamu yang apabila kamu berpegang teguh padanya, kamu tidak akan
sesat selamanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah Nabi Nya”. (HR Hakim)

Dalam Al-Qur’anul Karim, Allah SWT memerintahkan agar Umat Islam mengamalkan apa saja
yang diperintah oleh Rasulullah SAW dan meninggalkan apa saja yang dilarang, baik dalam
perkara Muamalah atau dalam perkara ibadah Mahdloh.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman Nya:

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah sangat keras
hukumannya”. (Al Hasyr : 7)

Karena kerasnya peringatan dari Baginda Rasulullah SAW mengenai bahaya bid’ah dalam
pengamalan ibadah mahdloh ini, maka para ulama Salaf menetapkan suatu kaidah yang
disimpulkan dari Al Quran dan Hadist Sahih, agar orang Islam tidak mudah terjerumus kedalam
perbuatan bid’ah dan benar-benar memahami mana amalan ibadah mahdloh dan mana amalan
muamalah yang diperbolehkan dan mana yang dilarang.

Kaidah itu adalah sebagai berikut:

“Asal hukum dalam urusan ibadah itu menunggu perintah dan mengikuti”.

Maksudnya, dilarang melakukan apa saja amalan ibadah mahdloh kecuali setelah adanya
perintah dari Allah dan Rasul Nya atau ada contoh dari amalan Rasulullah SAW untuk diikuti.

Kaidah yang lain berbunyi:

“Asal hukum dalam pelaksanaan ibadah (ibadah mahdloh) ialah batal ( tidak boleh diamalkan)
sehingga ada dalil yang memerintahkan untuk itu”.

Maksudnya segala macam amalan ibadah mahloh yang dilaksanakan tanpa adanya dalil yang
memerintahkan dari Allah dan Rasul Nya atau adanya dalil yang menunjukkan adanya contoh
dari amalan Nabi SAW adalah batal (tidak sah).

Kedua kaidah tersebut diatas dirumuskan dari firman Allah SWT:

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk


mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari
Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesunguhnya orang-orang yang dholim itu akan
memperoleh azab yang amat pedih”(As Syuraa : 21)

Keterangan:
Dalam ayat tersebut Allah SWT mencela orang yang membuat-buat Syariat, baik Syariat untuk
amal-amal ibadah mahdloh yang tidak ada perintahnya dari Allah maupun Rasul Nya.

Disamping itu kaidah itu dirumuskan dari sabda Rasulullah SAW:

“Maka bersabdalah Rasulullah SAW: ‘Apabila sesuatu itu dari urusan duniamu maka kamu lebih
tahu keadaannya, sedangkan apabila dari urusan Dien mu maka kembalinya harus kepadaku”.
(HR Ahmad)

Keterangan:

Dalam hadist ini, Nabi SAW menerangkan bahwa urusan Syariat Islam termasuk Syariat cara-
cara mengamalkan ibadah mahdloh harus dikembalikan kepada Nabi SAW, yakni harus
mengikuti perintah dan tauladannya, kita tidak boleh mengoreksi lalu mengadakan perubahan-
perubahan. Adapun dalam urusan dunia (teknologi) kita boleh berfikir mengejar kemajuan dan
kecanggihan meskipun harus belajar kepada orang Kafir.

Catatan dari penjara seri 6

Dinul Islam wajib diamalkan secara bersih

(Bab Muamalah wajib bersih dari muamalah Jahiliyah)

Catatan dari penjara seri 6 ini Redaksi menampilkan tulisan ustad Abu Bakar Ba’asyir yang menguraikan
tentang bagaimana muamalah yang kita lakukan harus bersih dari muamalat Jahiliyah

Selamat Menyimak (saveabb.com/red)

1.       MUAMALAHNYA WAJIB BERSIH DARI SISTEM HIDUP DAN ADAT ISTIADAT JAHILIAH

Yang dimaksud muamalah ialah amalan dan pergaulan sehari-hari dalam bermasyarakat dengan sesama
manusia, seperti: ekonomi, politik, bersosial, perkawinan, bertetangga, bertamu, menerima tamu dan 
lain-lain. Syariat Islam sudah lengkap mengandung semua aspek kehidupan baik yang langsung atau
tidak langsung. Al-Quranulkarim diturunkan benar-benar untuk menjelaskan semua perkara hidup yang
penting.

Allah SWT berfirman:

“ ... dan kami turunkan kepadamu Alkitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta Rahmat bagi orang-orang yang berserah diri”. (An Nahl : 89).
Bahkan semua perkara hidup yang penting tidak ada yang diabaikan oleh Allah SWT dan selalu
mendapat penjelasan seperlunya.

Allah SWT berfirman:

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua
sayapnya, melainkan umat-umat juga seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu apapun di dalam
Alkitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”. (Al An’aam : 38)           

Oleh karena Syariat Islam sudah mencukupi untuk mengatur semua aspek kehidupan yang antara lain
muamalah manusia, dan oleh karena hanya Syariat Islam saja yang benar dan lurus seperti yang
difirmankan oleh Allah SWT:

“Alif laam miim raa. Ini adalah ayat-ayat Alkitab (Al Quran). Dan kitab yang diturunkan kepadamu dari
pada Tuhanmu itu adalah benar, akan tetapi kebanyakan mausia tidak beriman kepadanya”. (Ar Ra’du :
1)

Maka Allah SWT memerintahkan agar manusia hanya mengikuti dan mengamalkan Syariat Dinul Islam
saja dan melarang mengikuti Syariat-Syariat lainnya yang bertentangan dengan Syariat Islam.

Allah SWT berfirman:

“Dan bahwa yang kami perintahkan ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan Nya.
Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa”. (Al An’aam 153)

Ini berarti Umat Islam diperintahkan agar mengamalkan Syariat Islam secara murni dan bersih tidak
tercampur dengan cara-cara dan ajaran-ajaran serta tatanan jahiliah di dalam mengatur Muamalah /
bermasyarakat. Rasulullah SAW memperingatkan bahwa nanti diakhir zaman umat Islam banyak yang
mengikuti Sunnah kaum Yahudi dan Nasrani, yakni antara lain cara muamalahnya sudah tidak murni dan
tidak bersih lagi, tercampur dengan cara-cara hidupnya kaum Yahudi dan Nasrani.

Hal ini diterangkan dalam sabda Beliau SAW:

“Diriwayatkan dari Abi Saih r.a. bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda: ‘Kamu nanti pasti akan
mengikuti sunnah-sunnah (tata cara muamalah dan adat istiadat) orang-orang Kafir sebelummu
sejengkal demi sejengkal dan sedepa demi sedepa, bahkan walaupun mereka melewati liang dzob
(sejenis biawak) kamu pasti ikut melewatinya’. Kami (para sahabat) bertanya; ‘Ya Rasulullah, apakah
kaum Yahudi dan Nasrani?’. Beliau menjawab: ‘Siapa lagi”. (HR Muslim)

Apa yang diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam Hadist tersebut diatas, sekarang sudah banyak
nampak dan kita saksikan, yakni Muamalah Umat Islam sekarang ini banyak yang mengikuti cara-cara
orang Yahudi dan Nasrani. Misalnya: cara berekonomi memakai riba (bank ribawi), cara berpolitik dan
bernegara memakai sistem demokrasi dan asas kebangsaan / nasionalisme meninggalkan sistem
Khilafah dan asas Al Qur’an dan Sunnah, cara berpakaian meniru mereka, cara perkawinan dengan
bersanding dan bercampur baur lelaki dan wanita yang bukan mahromnya meniru upacara perkawinan
orang Kristen, merayakan ulang tahun kelahiran bahkan ada yang disertai dengan meniup lilin seperti
adat orang Kristen, membuat rumah dengan tidak ada pemisahan antara tempat tamu laki-laki dan
wanita, mengurus jenazah dengan menabur bunga dan membuat karangan bunga apabila yang
meninggal seorang militer dengan disertai upacara militer, kuburannya diberi bangunan dan kadang-
kadang dipasang foto si mati, ini semua cara-cara menyelenggarakan jenazah yang diamalkan orang
Kristen dan Yahudi yang sama sekali bertentangan dengan Sunnah Nabi SAW dalam mengurus jenazah
dan lain-lain muamalah yang bertentangan dengan tuntunan syariat dan Sunnah Nabi SAW.

MUAMALAH SESAMA MUKMIN DAN MUAMALAH DENGAN ORANG KAFIR

Allah SWT menciptakan manusia pada hakekatnya hanya terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:

1.             Kelompok orang-orang yang beriman kepada Allah dan kepada seluruh Rasul-Rasul Nya,
termasuk nabi Muhammad SAW. Kelompok ini dinamakan kaum Muslimin / kaum Mukminin.

2.             Kelompok orang-orang:

a.             Yang mengingkari Allah SWT.

b.            Mengimani adanya Allah SWT tetapi menyekutukanNya dengan mahlukNya.

c.             Mengimani adanya Allah SWT dan seluruh Rasul-Rasul Nya kecuali Nabi Muhammad SAW
diingkari dan didustakan sebagai Rasul Allah.

           Kelompok ini semua disebut kaum Kafirin / Musyrikin.

Ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman Nya:

“Dialah yang menciptakan kamu maka diantara kamu ada yang kafir dan diantara kamu ada yang
beriman. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (At Taghaabun : 2)
 

Kaum Muslimin dan kaum Mukminin ditetapkan oleh Allah SWT sebagai Hisbullah, yakni kelompok
pengikut Dinullah.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman Nya:

“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih
sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-
bapak atau anak-anak atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang
yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan
pertolongan yang datang dari pada Nya. Dan dimasukkan Nya mereka kedalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, mereka kekal didalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun
merasa puas terhadap (limpahan rahmat) Nya. MEREKA ITULAH GOLONGAN ALLAH (HISBULLAH).
Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung”. (Al Mujaadilah : 22) .

Dan firman-Nya lagi:

“Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya
(pemimpinnya) maka sesungguhnya PENGIKUT AGAMA ALLAH (HISBULLAH) itulah yang pasti menang”
(Al Maaidah :  56)

Adapun kaum Kafirin (orang-orang Kafir) ditetapkan oleh Allah SWT sebagai: HISBUSYAITAN, yakni
kelompok pengikut syeitan dan juga menjadi musuh Allah dan musuh kaum Muslimin / kaum Mukminin.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman Nya:

“Syeitan telah menguasai mereka (kaum Kafir) lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah mereka
itulah GOLONGAN SYEITAN (HISBUSYEITAN). Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan syeitan itulah
golongan yang merugi”. (Al Mujaadilah : 19)

Dan firman Nya lagi:

“Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikatnya, rasul-rasul Nya, Jibril dan Mikail, maka
sesungguhnya ALLAH ADALAH MUSUH ORANG-ORANG KAFIR” (Al Baqaraah : 98)

 
Dan firman Nya lagi:

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu SYEITAN-SYEITAN (DARI JENIS)
MANUSIA DAN (DARI JENIS) JIN ....” (Al An’aam : 112)

Dan firman-Nya lagi:

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil MUSUHKU DAN MUSUHMU (KAUM
KAFIR) menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad)
karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang
kepadamu, mereka mengusir rasul dan mengusir kamu karena kamu beriman kepada Allah,
Tuhanmu ....” (Al Mumtahanah : 1)

MUAMALAH SESAMA MUKMIN

Orang-orang Mukmin seluruh dunia dinyatakan oleh Allah SWT sebagai satu saudara yang kesatuan dan
persaudaraan mereka diikat oleh dua kalimat Syahadat.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman Nya:

“Bahwa sesunguhnya ORANG-ORANG MUKMIN ADALAH BERSAUDARA karena itu damaikanlah antara
kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat” (Al Hujuraat : 10)

Dan Rasulullah SAW bersabda:

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak boleh mendholimi dan membiarkannya di
dholimi” (HR Muslim)

Maka muamalah sesama orang Mukmin / Kaum Muslimin adalah MUAMALAH PERSAUDARAAN yang
garis besarnya diatur oleh Allah SWT dan Rasul Nya sebagai berikut:

1.             Seorang Mukmin / Muslim wajib bersikap lemah lembut dan berkasih sayang kepada saudara
Mukmin dan saudara Muslim lainnya. Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman Nya:
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia, adalah keras tehadap
orang-orang kafir, TETAPI BERKASIH SAYANG SESAMA MEREKA (sesama mukmin) ... “(Al Fat-h : 29)

Dan firman Nya lagi:

“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa diantara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak
Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Nya,
YANG BERSIKAP LEMAH LEMBUT TERHADAP ORANG MUKMIN, yang bersikap keras terhadap orang-
orang kafir ...” (Al Maa-idah : 54)

2.             Orang Mukmin wajib berwala’ yakni selalu menolong, melindungi, membela saudara Mukmin
lainnya terutama mereka yang berhijrah di negerinya.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman Nya:

“Dan orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan, SEBAHAGIAN MEREKA ADALAH MENJADI
PENOLONG BAGI SEBAHAGIAN YANG LAIN .....” (At Taubah : 71)

Dan firman Nya lagi:

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (kaum ansor) sebelum
kedatangan mereka (kaum Muhajirin), MEREKA MENCINTAI ORANG YANG BERHIJRAH KEPADA MEREKA.
Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada
mereka (orang Muhajirin) DAN MEREKA (KAUM ANSOR) MENGUTAMAKAN ORANG-ORANG MUHAJIRIN
ATAS DIRI MEREKA SENDIRI. Sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu. Dan siapa
yang dipelihara dari kekikiran dirinya mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Al Hasyr : 9)

Dan firman Nya lagi:

“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan ORANG-ORANG
YANG MEMBERI TEMPAT KEDIAMAN DAN MEMBERI PERTOLONGAN (KEPADA ORANG-ORANG
MUHAJIRIN), MEREKA ITULAH ORANG-ORANG YANG BENAR-BENAR BERIMAN. Mereka memperoleh
ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia”. (Al Anfaal : 74)

 
3.             Orang orang beriman wajib mengangkat pemimpin hanya sesama orang beriman, hal ini
diterangkan oleh Allah dalam firman Nya:

“Sesungguhnya penolong kamu (pemimpin-pemimpin kamu) hanyalah Allah, Rasul Nya, DAN ORANG-
ORANG YANG BERIMAN, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk kepada
Allah”. (Al Maa-idah : 55)

Dan firman-Nya lagi:

 “Janganlah orang-orang mukmin MENGAMBIL ORANG-ORANG KAFIR MENJADI WALI (PENOLONG DAN
PEMIMPIN) DENGAN MENINGGALKAN ORANG-ORANG MUKMIN ...” (Ali ‘Imran : 28)

Keterangan:

Dalam ayat surat Ali Imran tersebut diatas menyatakan bahwa orang beriman wajib mengambil sesama
Mukmin menjadi Wali (pemimpinnya).

4.             Orang-orang beriman hendaklah selalu mendoakan dan memintakan ampun dosa-dosa saudara
Mukmin lainnya, baik yang masih hidup maupun sesudah matinya.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman Nya:

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (yakni orang-orang beriman sesudah periode kaum
Muhajirin dan Ansor), MEREKA BERDOA: “YA TUHAN KAMI, BERI AMPUNLAH KAMI DAN SAUDARA-
SAUDARA KAMI YANG TELAH BERIMAN LEBIH DAHULU DARI KAMI, DAN JANGANLAH ENGKAU
MEMBIARKAN KEDENGKIAN DALAM HATI KAMI TERHADAP ORANG-ORANG YANG BERIMAN; YA TUHAN
KAMI SESUNGGUHNYA ENGKAU MAHA PENYANTUN LAGI PENYAYANG”. (Al Hasyr : 10)

Rasululah SAW bersabda:

“Jika salah seorang (Mukmin/Muslim) mendoakan saudaranya (sesama Mukmin/Muslim) yang ghaib
(yakni jauh tempatnya sehingga tidak kelihatan) malaikat berkata; ‘Amin dan bagi kamu juga demikian”.
(HR Abu Daud dari Abu Darda’)

 
Kalau ziarah atau melewati kuburan orang-orang mukmin hendaklah mengucapkan salam dan do’a
sebagai berikut:

َ ُ ‫اب ٌع َو َن ْس أَل‬
‫هللا لَ َن ا َو َل ُك ُم‬ ِ ‫اء هللاُ ِب ُك ْم الَ ِحقُ ْونَ أَ ْن ُت ْم َف َر ُط َن ا َو َن ْحنُ لَ ُك ْم َت‬
َ ‫ش‬ ِ ‫لسالَ ُم َع َل ْي ُك ْم َأهْ ل َ ال دِّ َي‬
َ ْ‫ار مِنَ ا ْل ُم ْؤ ِمنِيْنَ َو ا ْل ُم ْس لِ ِميْنَ َو إِ َّنا إِن‬ َّ َ‫ا‬
)‫ا ْل َعافِ َي َة (رواه أحمد ومسلم‬

Artinya: Semoga kesejahteraan atas kamu sekalian wahai ahli kubur kaum mukmin dan kaum muslim
dan insya Allah kami akan menyusul kamu sekalian, kamu sekalian telah mendahului kami dan kami
akan mengikuti kamu kami mohon kepada Alloh kemaafan untuk kami dan untuk kamu sekalian. (HR.
Ahmad dan Muslim)

5.             Orang-orang beriman dilarang menggunjing, menjelekkan, membuka aib dan rahasia sesama
orang beriman terutama kepada orang Kafir.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh
jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-
wanita mengolok-olok wanita-wanita lain karena boleh jadi wanita (yang diperolok-olok) lebih baik dari
wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri (sesama mukmin) dan
janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah
panggilan yang buruk sesudah iman. Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah
orang-orang yang dhalim”. (Al Hujuraat : 11)

Dan firman-Nya lagi:

“Hai orang-orang yang beriman, JAUHILAH KEBANYAKAN DARI PRASANGKA, sesungguhnya sebagian
prasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan JANGANLAH
SEBAHAGIAN KAMU MENGGUNJING SEBAHAGIAN YANG LAIN ...” (Al Hujuraat : 12)

Dan firman-Nya lagi:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh Ku dan musuhmu menjadi teman-
teman setia YANG KAMU SAMPAIKAN KEPADA MEREKA (BERITA-BERITA MUHAMMAD) ...” (Al
Mumtahanah : 1)

 
6.             Orang beriman wajib merasa ikut sedih dan sakit karena musibah kesusahan yang menimpa
saudara seiman dimana saja, maka dia hendaklah berusaha menolong untuk melepaskannya dari
musibah dan kesusahan yang menimpa saudara seimannya. Paling sedikit menolong dengan doa.

Hal ini diterangkan oleh Rasulullah dalam sabdanya:

“Sesungguhnya hubungan orang Mukmin dengan Mukmin lainnya adalah seperti hubungan kepala
dengan anggota seluruh badan. Seorang Mukmin akan merasa sakit karena sakitnya Mukmin lainnya
sebagaimana badan merasa sakit karena sakit pada kepala”. (HR Ahmad dari Sahal bin Sa’at Asaidi’)

7.             Apabila terjadi perselisihan sesama Mukmin harus segera diadakan Islah.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, MAKA DAMAIKANLAH ANTARA
KEDUANYA ....” (Al Hujuraat : 9)

Demikianlah antara lain Allah dan Rasul-Nya mengatur muamalah sesama Mukmin.

MUAMALAH DENGAN ORANG KAFIR

Oleh karena orang Kafir ditetapkan sebagai musuh Allah SWT dan musuh orang-orang beriman, maka
muamalah antara orang-orang Mukmin dan orang-orang Kafir adalah muamalah permusuhan yang
diatur oleh Allah SWT secara garis besar sebagai berikut:

1.             Orang-orang beriman wajib bersikap keras terhadap orang-orang kafir, maksudnya tegas
menyatakan kebathilan kepercayaan dan Dien orang Kafir dan menyatakan berlepas diri dari
kepercayaan itu dan tidak bersedia melunak sedikitpun serta mengingkari dan tidak meridhoi oleh
karenaya orang beriman tidak boleh mengucapkan selamat atau menghadiri upacara-upacara
ritual mereka.

 
Hal ini diterangkan oleh Allah dalam firman Nya:

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama
dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka (musyrik / kafir); SESUNGGUHNYA KAMI
BERLEPAS DIRI DARI KAMU DAN DARI APA YANG KAMU SEMBAH SELAIN ALLAH, KAMI INGKARI
(KEKAFIRAN) MU DAN TELAH NYATA ANTARA KAMI DAN KAMU PERMUSUHAN DAN KEBENCIAN BUAT
SELAMA-LAMANYA SAMPAI KAMU BERIMAN KEPADA ALLAH SAJA ...” (Al Mumtahanah : 4)

Dan firman-Nya lagi:

“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak
Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Nya
(kaum mukminin), yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang mukmin YANG BERSIKAP
KERAS TERHADAP ORANG-ORANG KAFIR ....” (Al Maa-idah : 54)

Dan firman-Nya lagi:

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia ADALAH KERAS
TERHADAP ORANG-ORANG KAFIR, tetapi berkasih sayang sesama mereka ...” (Al Fath : 29)

2.             Orang-orang beriman wajib membenci dan tidak mengambil orang-orang Kafir sebagai Wali yakni
kawan akrab, pelindung, pemimpin dan orang kepercayaan.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, SALING
BERKASIH SAYANG DENGAN ORANG-ORANG YANG MENENTANG ALLAH DAN RASULNYA, SEKALIPUN
ORANG-ORANG ITU BAPAK-BAPAK, ATAU ANAK-ANAK, ATAU SAUDARA-SAUDARA ATAU KELUARGA
MEREKA ...“ (Al Mujaadilah : 22)

Dan firman-Nya lagi:

“Hai orang-orang yang beriman, JANGANLAH KAMU JADIKAN BAPAK-BAPAK DAN SAUDARA-
SAUDARAMU PEMIMPIN-PEMIMPINMU, JIKA MEREKA LEBIH MENGUTAMAKAN KEKAFIRAN ATAS
KEIMANAN dan siapa diantara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka
itulah orang-orang yang dhalim” (At Taubah : 23).
 

Dan firman-Nya lagi:

“Hai orang-orang yang beriman, JANGANLAH KAMU MENGAMBIL ORANG-ORANG YAHUDI DAN
NASRANI MENJADI PEMIMPIN-PEMIMPINMU; sebahagian mereka adalah pemimpin dari sebahagian
yang lain. BARANG SIAPA DIANTARA KAMU MENGAMBIL MEREKA MENJADI PEMIMPIN, MAKA
SESUNGGUHNYA ORANG ITU TERMASUK GOLONGAN MEREKA. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk keada orang-orang yang dhalim” (Al Maaidah : 51).

Dan firman-Nya lagi:

“JANGANLAH ORANG-ORANG MUKMIN MENGAMBIL ORANG-ORANG KAFIR MENJADI WALI (PEMIMPIN,


PELINDUNG, KAWAN AKRAB, PENOLONG) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa
berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena siasat memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya, dan
hanya kepada Allah kembalimu”. (Ali Imran : 28)

Dan firman-Nya lagi:

“HAI ORANG-ORANG YANG BERIMAN, JANGANLAH KAMU AMBIL MENJADI TEMAN KEPERCAYAANMU
ORANG-ORANG YANG DILUAR KALANGANMU (KAFIR) karena mereka tidak henti-hentinya menimbulkan
kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari
mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami
terangkan kepadamu ayat-ayat Kami, jika kamu memahaminya” (Ali Imran : 118)

3.             Orang beriman boleh berbuat baik dan berbuat adil dan tidak mengganggu harta, kehormatan
dan darah orang-orang Kafir yang tidak memerangi Islam dan kaum Muslimin dalam urusan dunia.
Tetapi dalam urusan kepercayaan dan ritual orang beriman tetap wajib berlepas diri.

Dua hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman Nya:

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang (kafir) yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (Al Mumtahanah : 8)

Rasululah SAW bersabda dalam Hadist Qudsi:


“Wahai hamba-hambaku, sesungguhnya Aku haramkan kedholiman atas diriKu dan Aku jadikan ia haram
diantara kalian, maka janganlah kalian saling mendholimi” (HR Muslim).

Dan sabda Beliau SAW lagi:

“Barang siapa menyakiti orang Kafir Dzimmi maka aku musuhnya dihari kiamat nanti”. (HR Muslim)

Keterangan:

Kafir dzimmi ialah orang Kafir yang tunduk dibawah kekuasaan Islam dan dia mendapat perlindungan
dan perlakuan adil.

Dan orang-orang beriman wajib memutuskan hubungan dan memusuhi orang-orang Kafir yang
memerangi Islam dan kaum Muslimin.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawan-kawanmu orang-orang (kafir)
yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu orang lain
untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan maka mereka itulah orang-
orang yang dhalim”. (Al Mumtahanah : 9)

Dan firman-Nya lagi:

“Dan PERANGILAH DI JALAN ALLAH ORANG-ORANG YANG MEMERANGI KAMU, tetapi jangan kamu
melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (Al
Baqaraah : 190)

4.             Orang Mukmin haram menikahi wanita-wanita musyrik dan haram menikahkan Mukminah
kepada laki-laki Kafir, baik Kafir musyrik maupun Kafir ahli kitab (Yahudi dan Nasrani).

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:


“Dan JANGANLAH KAMU NIKAHI WANITA-WANITA MUSYRIK sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
JANGANLAH KAMU MENIKAHKAN ORANG-ORANG MUSYRIK DENGAN WANITA-WANITA MUKMINAH
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun
dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat Nya (perintah-perintah Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran” (Al Baqaraah : 221)

5.             Orang Mukmin laki-laki boleh menikahi wanita Kafir ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), tetapi masih
ada sebagian ulama’ yang tetap mengharamkan. Di samping itu orang mukmin boleh memakan
sembelihan ahlul kitab bila menyembelihnya menyebut nama Allah.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. MAKANAN (SEMBELIHAN) ORANG-ORANG YANG
DIBERI ALKITAB ITU HALAL BAGIMU, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (DAN DIHALALKAN
MENGAWINI) WANITA-WANITA YANG MENJAGA KEHORMATAN DIANTARA WANITA-WANITA YANG
BERIMAN DAN WANITA-WANITA YANG MENJAGA KEHORMATAN DIANTARA ORANG-ORANG YANG
DIBERI ALKITAB SEBELUM KAMU, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzinah dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa
yang kafir sesudah beriman (yakni tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan
ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi”. (Al Maaidah : 5)

Dan firman-Nya lagi:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan
mereka, MAKA JIKA KAMU TELAH MENGETAHUI BAHWA MEREKA BENAR-BENAR BERIMAN MAKA
JANGANLAH KAMU KEMBALIKAN MEREKA KEPADA SUAMI-SUAMI MEREKA ORANG-ORANG KAFIR.
MEREKA TIADA HALAL BAGI ORANG-ORANG KAFIR ITU, DAN ORANG-ORANG KAFIR ITU TIADA HALAL
PULA BAGI MEREKA. Dan berikanlah kepada suami-suami mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan
tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah
kamu tetap berpegang pada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir, dan hendaklah kamu
minta mahar yang telah kamu bayar, dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar.
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan Nya diantara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”. (Al Mumtahanah : 10).

6.             Orang-orang Mukmin bila berjumpa orang-orang Kafir tidak boleh mendahului memberi salam.
 

Hal ini diterangkan oleh Rasululah SAW dalam sabda Beliau:

“Janganlah kalian dahului salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani dan jika kalian berpapasan
dengan mereka di jalan sempitkanlah dia”. (HR Abu Daud dan Tirmidhi)

7.             Orang Mukmin tidak boleh menyerupai orang Kafir dalam segala aspek kehidupan sampai
masalah pakaian, cara perkawinan dan lain-lain adat istiadat, dan masalah memelihara jenggot.

Hal ini diterangkan oleh Rasululah SAW dalam sabda Beliau:

“Barang siapa yang bertasyabuh (menyerupai) suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”. (HR Al
Bukhari dan Muslim)

Dan sabda Beliau SAW lagi:

“Selisihilah orang-orang Musyrik dan lebatkanlah jenggot dan potong (rapikanlah) kumis”. (HR Al
Bukhari dan Muslim)

8.             Orang-orang beriman haram memintakan ampun dosa-dosa orang-orang Kafir, baik yang masih
hidup ataupun setelah mati. Tetapi boleh mendoakan mereka agar mendapat hidayah sehingga
masuk Islam.

Hal ini diterangkan Allah SWT dalam firman-Nya:

“TIADA SEPATUTNYA BAGI NABI DAN ORANG YANG BERIMAN MEMINTAKAN AMPUN KEPADA ALLAH
BAGI ORANG-ORANG MUSYRIK, WALAUPUN ORANG-ORANG MUSYRIK ITU ADALAH KAUM
KERABATNYA, sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni
neraka jahannam” (At Taubah : 113)

Dan firman-Nya lagi:

“DAN JANGANLAH KAMU SEKALI-KALI MENYEMBAHYANGKAN JENAZAH SEORANG YANG MATI


DIANTARA MEREKA (KAUM MUNAFIQIN), DAN JANGAN KAMU BERDIRI MENDOAKAN DI KUBURNYA .
Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik”
(At Taubah : 84)

Bahkan orang mukmin kalau melewati kuburan orang kafir diperintah oleh Rasulullah SAW untuk
memberi kabar gembira kepada mereka yang dikubur dengan api neraka yang disediakan untuk mereka
sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW sebagai berikut:

ِّ ‫ َح ْي ُث َما َم َر ْرتَ ِب َق ْب ِر َكاف ٍِر َف َب‬:‫سلَّ َم‬


ِ ‫ش ْرهُ بِال َّن‬
)‫ار (رواه البزار و الطبراني‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫َقال َ َر‬
َ ِ‫س ْول ُ هللا‬

Artinya: Telah bersabda Rasulullah SAW: Setiap kamu melewati kubur seorang kafir maka berilah dia
berita gembira dengan api neraka. (HR. Al Bazzaar dan Ath Thobrooniy)

Demikianlah ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya tentang muamalah antara sesama Mukmin dan
muamalah antara Mukmin dan Kafir. Akan tetapi Syariat yang mengatur muamalah tersebut sekarang ini
porak-poranda banyak yang dilanggar oleh kaum Muslimin sendiri akibat ideologi sesat demokrasi,
nasionalisme, dan kebangsaan yang dicekokkan kepada umat Islam oleh kaum penjajah Kafir Salib, yakni
Belanda, dan dilanjutkan oleh kader-kader mereka kaum Sekuler yang menguasai negeri-negeri umat
Islam, khususnya Indonesia ini sejak merdeka sampai hari ini. Bahkan akhir-akhir ini di Indonesia, Syariat
ini makin terpuruk karena adanya ajaran sesat (PLURALITAS) yang dipopulerkan oleh kaum Murtad
Sekuler dan Liberalis. Maka kewajiban kita Umat Islam harus kembali kepada ketentuan-ketentuan Allah
SWT dan Rasul Nya secara bersih dan tidak bercampur aduk dengan sistem kehidupan orang-orang Kafir.

9.             Orang mukmin dilarang memakai piring periuk dan gelas yang bekas dipakai orang kafir kecuali
terpaksan dan harus dicuci dahulu.

Rosululloh SAW bersabda:

َ ‫ب فِى آنِ َيتِ ِه ْم ؟ َف َق ال‬ ْ ‫ِب أَ َف َن ْط َب ُخ فِى ُق د ُْو ِر ِه ْم َو َن‬


ُ ‫ش َر‬ ٍٍِ ‫ض أَهْ ِل ِك َت ا‬
ِ ‫شنِى أَ َّن ُه َقال َ َيا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم إِ َّنا ِب أ َ ْر‬ َ ‫عَنْ أَ ِبى َث ْعلَ َب َة‬
ْ ‫الخ‬
َ
)‫اط َب ُخ ْوا فِ ْي َها (رواه أحمد‬ ْ ‫ض ْوهَا ِبا ْلمَاءِ َو‬ ْ ‫رسول هللا صلى هللا عليه وسلم إِنَّ َل ْم َت ِجدُوا َغ ْي َرهَا َف‬
ُ ‫ار َح‬

  Artinya: Diriwayatkan dari Abu Tsa’labah Al-Khosyani, dia berkata: Ya Rasulullah, kita sedang berada di
bumi ahli kitab, bolehkah kami menanak memakai belanga mereka dan minum dengan bejana mereka?
Maka Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam menjawab: Kalau kamu sekalian tidak mendaptkan
lainnya maka cucilah dia dengan air dan pakailah menanak. (Hr. Ahmad).

 
‫ ُق د ُْو ُر‬ ‫س أ َ ْل ُت ُه َف ُق ْلتُ َيارس ول هللا ص لى هللا علي ه وس لم‬ َ ‫ش ن ِِّي َق ال َ أَ َت ْيتُ رس ول هللا ص لى هللا علي ه وس لم َف‬ َ ‫َعنْ أَ ِبى َث ْعلَ َب َة ا ْل َخ‬
ْ ‫س ًنا ُث َّم‬
‫اط َب ُخ ْوا َو ُكلُ ْوا (رواه ابن‬ َ ‫ضا َح‬ ُ ‫اح َت ْج َنا إِلَ ْي َها َفلَ ْم َن ِجدْ ِم ْن َها بُدًّ ا َقال َ َفأ َ ْر َح‬
ً ‫ض ْوهَا َر ْح‬ ْ ‫ش ِر ِكيْنَ َن ْظ َب ُخ فِ ْي َها َقال َ الَ َت ْط َب ُخ ْوا فِ ْي َها قُ ْلتُ َفإِ ِن‬
ْ ‫ا ْل ُم‬
)‫ماجة‬

  Artinya: Diriwayatkan dari Abu Tsa’labah Al-Khusyaniyi rodliyallohu ‘anhu dia berkata: Saya menjumpai
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam, lalu saya bertanya: Ya Rasululah bolehkah kami menanak
dalam periuk-periuk orang musyrik? Beliau menjawab: Jangan kalian menanak didalamnya. Maka saya
bertanya lagi: Kami sama sekali tidak menjumpai selain dari itu. Beliau menjawab: Kalau begitu cucilah
baik-baik dan pakailah menanak dan makanlah. (Hr.Ibnu Majah).

Catatan dari penjara seri 7


Dinul Islam wajib diamalkan secara bersih
(Bab Kepemimpinan wajib bersih dari kepemimpinan kafir dan sekuler (1) )

     Catatan dari penjara seri 7 redaksi menghadirkan kembali tulisan ustad Abu Bakar Ba’asyir,yang akan
menguraikan tentang bagaimana kepemimpinan dalam islam wajib bersih dari kepemimpinan kafir dan
sekuler

Selamat menyimak (saveabb.com/red)

PIMPINANNYA WAJIB BERSIH DARI KEPEMIMPINAN KAFIR DAN SEKULER

Kepemimpinan adalah perkara penting yang dapat membawa kejayaan atau menjerumuskan
orang yang dipimpinnya baik di dunia apalagi di akherat nanti. Banyak orang yang menderita di dunia
karena kepemimpinan yang salah dan banyak pula orang yang masuk Neraka karena sewaktu hidupnya
mengikuti pimpinan-pemimpin yang sesat.

Mereka sangat kecewa sehingga mengutuk pemimpin yang telah menjerumuskannya ke Neraka
itu sedang pemimpin berkenaan tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolongnya, bahkan pemimpin-
pemimpin itu menyalahkan pengikutnya mengapa dulu di dunia mau mengikutinya.
Ada pula pengikut yang meminta kepada Allah SWT agar melaknat pimpinannya yang
menyesatkannya itu, padahal waktu di dunia pemimpin tersebut sangat dihormati dan dicintai. Ada
beberapa ayat Al Quran yang mengisahkan penyesalan di akherat orang-orang yang keliru memilih
pemimpin. Ayat-ayat tersebut antara lain:

Firman Allah SWT dalam surat Al Ahzaab ayat 66 – 68:

“Pada hari muka mereka berbolak balik dalam neraka mereka berkata; ‘Hai kiranya kami taat
kepada Allah dan kami taat kepada Rasul’. Dan mereka berkata: ‘Ya Tuhan kami, sesunguhnya kami
telah mengikuti pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka sesatkan kami dari
jalan yang benar. Ya Tuhan kami datangkanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan laknatlah
mereka dengan laknat yang besar”. (Al Ahzaab : 66, 67, 68)

Keterangan:

Ayat-ayat tersebut diatas menerangkan betapa besarnya penyesalan dan kemarahan rakyat
yang disesatkan oleh pemimpin mereka ketika di dunia. Waktu di dunia pemimpin tersebut mereka
hormati dan mereka cintai karena pandainya menjanjikan kekayaan dan kemewahan dunia, tetapi
mereka menyesatkan dari jalan Allah. Maka setelah sama-sama menjumpai siksa di akhirat, ketua-ketua
mereka itu dikutuk dan didoakan agar disiksa dua kali ganda. Inilah akibat orang-orang yang memilih
pemimpin tanpa mengikuti tuntutan Allah dan Rasul Nya.

Firman Allah SWT dalam surat Ibraahiim ayat 21:

“Dan mereka semuanya (di padang mahsyar) akan berkumpul menghadap kehadiran Allah, lalu
berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong: ‘Sesungguhnya kami dahulu
adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan dari pada kami azab Allah
(walaupun) sedikit saja?’ Mereka menjawab: ‘Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya
kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita apakah kita mengeluh atau bersabar,
sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri”. (Ibraahiim : 21)

Keterangan:
Ayat tersebut diatas menerangkan bahwa karena gelisahnya menyaksikan adzab ketika mereka
di himpun di Mahsyar, maka mereka meminta bantuan kepada pemimpin mereka yang sesat itu dan
pemimpin berkenaan tidak dapat berbuat apa-apa sedikitpun untuk meringankan penderitaan barang
sedikit, akhirnya penyesalannnya yang mereka jumpai. Inilah akibat mengikuti pemimpin tanpa ada
dasar dari bimbingan Allah dan Rasul Nya.

(lihat keterangan dalam Tarjamah Tafsir Ibnu Katsir, juz IV dan VI, pustaka Imam Assyafii)

Firman Allah SWT dalam surat Saba’ ayat 31, 32 dan 33:

“Dan orang-orang Kafir berkata: ‘Kami sekali-kali tidak akan beriman kepada Al Quran ini, dan
tidak pula kepada kitab yang sebelumnya. Dan alangkah hebatnya kalau kamu lihat ketika orang-orang

yang zalim itu dihadapkan kepada Tuhannya, sebahagian dari mereka menghadapkan
perkataan kepada sebagian yang lain; orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang
yang menyombongkan diri: ‘Kalau tidaklah karena kamu tentulah kami menjadi orang-orang yang
beriman” (Saba : 31)

Firman-Nya lagi:

“Orang-orang yang meyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah:
“Kamikah yang telah menghalangi kamu dari petunjuk sesudah petunjuk itu datang kepadamu? Tidak,
sebenarnya kamu sendirilah orang-orang yang berdosa” (Saba’ : 32)

Firman-Nya lagi:

“Dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan
diri: ‘Tidak, sebenarnya tipu dayamu di waktu malam dan siang yang menghalangi kami, ketika kamu
menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi Nya’. Kedua belah
pihak menyatakan penyesalan tatkala mereka melihat azab. Dan Kami pasang belenggu dileher orang-
orang yang Kafir. Mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang mereka kerjakan”. (Saba’ : 33)

Keterangan:
Yang dimaksud orang-orang yang dianggap lemah dalam ketiga ayat tersebut adalah para
pengikut / rakyat jelata, adapun yang dimaksusd orang-orang yang menyombongkan diri adalah para
pemimpin dan para pembesar. Dalam ketiga ayat tersebut jelas diceritakan perbantahan antara
pemimpin dan rakyatnya atau pengikutnya karena pengikutnya merasa menyesal setelah menyadari
bahwa selama di dunia mereka disesatkan oleh pembesar dan pemimpin yang mereka ikuti dan mereka
menyalahkan pemimpin yang mereka ikuti itu, tetapi sebaliknya pemimpin yang sesat dan telah
menyesatkan pengikutnya itu berbalik menyalahkan pengikutnya, mengapa mereka mau mengikuti
ajakan dan kepemimpinannya akibatnya kedua-duanya menyesal.

Inilah akibat dari pada memilih pemimpin yang tidak mengikuti petunjuk Allah SWT dan Rasul
Nya.

Firman Allah SWT dalam surat Al Furqaan ayat 27, 28 dan 29:

“Dan ingatlah hari ketika orang yang dholim itu menggigit dua tangannya seraya berkata:
‘Aduhai kiranya dulu aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku kiranya
aku dulu tidak menjadikan si Fulan jadi teman akrabku. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari
Al Quran ketika Al Quran telah datang kepadaku. Dan Syeitan itu tidak akan  menolong manusia” (Al
Furqaan 27, 28 dan 29)

Keterangan:

Ayat ini menerangkan penyesalan yang mendalam dari orang-orang dholim karena menjadikan
teman akrab / pemimpin orang sesat, selain Rasul dan orang-orang ber-Iman. Dan mereka baru merasa
bahwa telah disesatkan oleh teman dan pemimpinnya itu. Tetapi penyesalan itu tiada guna bahkan
merupakan siksa bathin.

Firman Allah SWT dalam surat Huud ayat 96, 97 dan 98:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan tanda-tanda kekuasaan Kami dan
mukzizat yang nyata, kepada Firaun dan pemimpin-pemimpin kaumnya, tetapi mereka mengikuti
perintah Firaun, padahal perintah Firaun sekali-kali bukanlah perintah yang benar. Ia berjalan dimuka
kaumnya dihari Kiamat lalu memasukkan mereka kedalam Neraka. Neraka itu seburuk-buruk pemberian
yang diberikan”. (Huud 96,97 dan 98)
Keterangan:

Ayat tersebut diatas menerangkan bahwa pengikut / rakyat pada umumnya sangat mudah
dipengaruhi dengan ajaran-ajaran sesat, sehingga mengikuti perintah dan ajakan pemimpin sesat yang
akan memasukkannya ke Neraka.

Catatan dari penjara seri 8

Dinul Islam wajib diamalkan secara bersih

(Bab Kepemimpinan wajib bersih dari kepemimpinan kafir dan sekuler (2) )

     Catatan dari penjara seri 8 redaksi menghadirkan kembali tulisan ustad Abu Bakar Ba’asyir,yang akan
menguraikan tentang bagaimana kepemimpinan dalam islam wajib bersih dari kepemimpinan kafir dan
sekuler, khususnya tentang definisi Thogut dan penjabarannya

Selamat menyimak (saveabb.com/red)

THOGHUT

Pemimpin-pemimpin sesat dan menyesatkan orang banyak / pengikut-pengikutnya yang


tersebut dalam Al Quran itu oleh Allah SWT dinamakan Thoghut (yang melampaui batas). Thoghut
adalah pemimpin Kafir dan sekuler yang program kepemimpinannya mengeluarkan rakyatnya /
pengikutnya dari cahaya / keimanan dan menyeret mereka kepada kegelapan jahilliah / kekafiran.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Allah pelindung orang-orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
(Kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah Syeitan
(thoghut), yang mengeluarkan mereka dari cahaya (Iman) kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu
adalah penghuni neraka; mereka kekal didalamnya” (Al Baqaraah : 257)

Adapun perwujudan pemimpin Thoghut yang nampak sehari-hari antara lain adalah:

          Semua pemimpin Kafir terutama dalam negara-negara Kuffar.

          Semua pemimpin yang dhohirnya memeluk Islam yang memimpin negara-negara umat

Islam, tetapi mereka berpaham sekuler (memisahkan antara Syariat dan urusan kenegaraan, sehingga
menolak hukum Islam dijadikan hukum positif di negara yang dipimpinnya). Semua pemimpin-pemimpin
negara yang tersebut di atas adalah sesat dan menyesatkan yang akan menyeret rakyatnya /
pengikutnya ke neraka jahanam. Oleh karena itu Orang-orang Kafir baik ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)
maupun orang Musyrik dan kaum Sekuler dilarang oleh Allah SWT untuk diangkat menjadi pemimpin
umat Islam.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:


“Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali
karena siasat memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu
terhadap diri (siksa) Nya. dan hanya kepada Allah kembalimu” (Aali Imraan : 28)

Firman-Nya lagi:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan nasrani menjadi
pemimpin-pemimpinmu; sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa
diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dholim” (Al
Maa-idah : 51)

Firman-Nya lagi:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil menjadi pemimpinmu, orang-orang yang
membuat agamamu menjadi buah ejekan dan permainan, yaitu diantara orang-orang yang telah diberi
kitab sebelumnya dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertawakallah kepada Allah
jika kamu betul-betul orang yang beriman” (Al Maa-idah : 57)

Keterangan:
Berdasarkan ayat-ayat tersebut diatas, maka sudah jelaslah bahwa haram hukumnya kaum Muslimin
mengangkat orang-orang Kafir sebagai pemimpin mereka terutama dalam urusan pemerintahan.
Demikian pula kaum Sekuler karena pada hakekatnya Kaum Sekuler juga termasuk golongan Kafirin
karena mereka menolak mengatur negara dan rakyat yang dipimpinnya dengan hukum Allah secara
Khaffah. 

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:


“... barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang Kafir”. (Al Maa-idah : 44)

Perwujudan thoghut di samping wujudnya berupa pemimpin / pemerintahan negara juga berupa
undang-undang, ajaran / ideologi buatan manusia yang bertentangan dengan syariat Islam seperti
demokrasi, sosialis, komunis, kapitalis, nasionalis dan semua undang-undang dasar dan falsafah negara
yang diluar Islam.

Semua itu merupakan thoghut yang menjerumuskan umat kegelapan hidup dunia akherat. Itulah
sebabnya Allah SWT memerintahkan agar umat Islam meninggalkan semua itu dan mencukupkan diinul
Islam sebagai satu-satunya asas (asas tunggal) kehidupan mereka baik secara pribadi, masyarakat dan
negara, demikian pula Allah melarang mengikuti jalan-jalan / ideologi-ideologi / falsafah-falsafah
(ajaran-ajaran) hidup buatan manusia sebagai mana yang difirmankan oleh Allah dalam surat Al An’am:
153.

 
 PROGRAM KEPEMIMPINAN ORANG KAFIR / SEKULER
Adapun program kepemimpinan orang Kafir yang diterangkan oleh Allah SWT dalam Al-Quran adalah
sebagai berikut:
 Memperbanyak kerusakan di bumi.

Allah SWT berfirman:


“Dan kaum Firaun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat
sewenang-wenang dalam negerinya, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu”.
(Al Fajr 10,11,12)

Dan firman-Nya lagi:

“Dan adalah di kota itu, sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan
mereka tidak berbuat kebaikan”. (An Naml : 48)

Keterangan:
Di dalam ayat tersebut diatas (An Naml : 48) disebutkan ada sembilan orang lelaki yang membuat
kerusakan di muka bumi, Imam Ibnu Katsir menerangkan bahwa sembilan orang tersebut ialah para
pembesar kaum Tsamud.

Beliau berkata: ”Adapun mereka dapat menguasai kaum Tsamud karena mereka pembesar-pembesar
dan pemimpin-pemimpin mereka” (Mukhtasor tafsir Ibnu Katsir).

Adapun yang dimaksud memperbanyak kerusakan di bumi yang diterangkan dalam ayat tersebut diatas
ialah, program mereka hanya membangun benda-benda untuk tujuan kemewahan dan berbangga-
bangga, dan membangun tempat-tempat maksiat dan perbuatan-perbuatan munkar untuk memuaskan
hawa nafsu dan menghalang amalan-amalan Ma’ruf, sehingga akhlak pengikut / rakyatnya rusak dan
kepercayaan mereka sesat, penuh kemusyrikan. Inilah kerusakan yang sebenarnya hasil dari pada
program kepemimpinan orang-orang Kafir.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:


“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama,
mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka
menggenggamkan tangannya (kikir dalam infaq). Mereka telah lupa kepada Allah maka Allah
melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik” (At Taubah : 67)

 Memurtadkan kaum beriman.

Adalah menjadi rencana orang-orang Kafir terutama apabila menguasai dan memimpin umat
Islam, pasti berusaha memurtadkan kaum Muslimin secara proaktif. Dan menghalangi kaum
Muslimin untuk mengamalkan Syariatnya secara sempurna.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:


“ ... mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka dapat mengembalikan kamu
dari agamamu kepada kekafiran, seandainya mereka sanggup ... “ (Al Baqaarah : 217)

Dan firman-Nya lagi:

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi
Alkitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang Kafir sesudah kamu beriman” (Ali
Imraan :100)

Dan firman-Nya lagi:


“Hai orang-orang yang beriman jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu niscaya mereka
mengembalikan kamu kebelakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi”. (Ali
Imraan : 149)

Firman-Nya lagi:
“Orang-orang yahudi dan nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama
mereka ...” (Al Baqaraah : 120)

Keterangan:
Dari ayat-ayat tersebut di atas jelas bahwa kepemimpinan orang Kafir pasti akan melahirkan kerusakan
yang hebat bagi orang yang beriman, yaitu melipat gandakan kemungkaran, perbuatan maksiat dan
menghalangi perbuatan Ma’ruf. Disamping itu secara proaktif menggerakkan usaha-usaha untuk
memurtadkan orang beriman.

Catatan dari penjara seri 9

Dinul Islam wajib diamalkan secara bersih

(Bab Kepemimpinan wajib bersih dari kepemimpinan kafir dan sekuler (3) )
Catatan dari penjara seri 9 menampilkan tulisan Ustad Abu Bakar Ba’asyir yang akan
menguraikan bagaimana kepemimpinan wajib bersih dari kepemimpinan kafir dan sekuler
khususnya beliau menerangkan tentang haramnya mengangkat wanita menjadi pemimpin kaum
muslimin,konsep kepemimpinan dalam islam dan program kepemimpinan ulama pewaris Nabi.

Selamat menyimak (saveabb.com/red)

WANITA HARAM DIANGKAT MENJADI PEMIMPIN KAUM MUSLIMIN

 
Allah SWT menetapkan bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita.

 Sebagaimana yang diterangkan dalam Firman-Nya:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka ...” (An Nisaa’ : 34)

Disamping itu, Rasulullah SAW juga menerangkan dalam sabdanya yang tercantum dalam riwayat di
bawah ini:

“Diriwayatkan dari Abu Bakrah, ia berkata: ‘Sungguh Allah telah memberiku manfaat dengan kata-kata
yang telah aku dengar dari Rasulullah SAW ketika perang Jamal, setelah aku hampir saja bergabung
dengan kelompok Jamal untuk berperang bersama mereka, ia berkata: ‘Ketika sampai berita kepada
Rasulullah bahwa penduduk negeri Parsi telah mengangkat Putri Kisro menjadi raja mereka, Beliau SAW
bersabda: ‘Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menjadikan seorang perempuan
memimpin urusan mereka” (HR Bukhari)

Keterangan:

Ayat tersebut diatas sebenarnya menerangkan konsep kepemimpinan rumah tangga yakni setiap rumah
tangga Muslim pemimpinnya adalah lelaki (suami). Kalau dalam persoalan rumah tangga saja harus
dipimpin oleh seorang lelaki, maka amat sangat logis kalau urusan masyarakat yang lebih luas /
pemerintahan juga harus dipimpin oleh lelaki. Itulah sebabnya Rasulullah SAW dengan tegas
menyatakan dalam hadist tersebut diatas apabila suatu kaum mengangkat wanita untuk memimpin
mereka, maka mereka tidak akan beruntung. Kita umat Islam wajib beriman dengan apa yang telah
disabdakan oleh Rasulullah SAW, karena setiap sabda beliau tidak pernah berdasarkan fikiran dan hawa
nafsu, tetapi selalu dipimpin oleh Wahyu Allah SWT, maka sabda Beliau SAW pasti benar terselamat dari
kekhilafan dan kesalahan termasuk sabda beliau tentang kepemimpinan wanita tersebut diatas.

KONSEP KEPEMIMPINAN DI DALAM ISLAM

 Agar umat Islam terselamat dari tipu daya pemimpin yang sesat dan menyesatkan itu (orang Kafir dan
Sekuler), maka ia wajib mengikuti konsep kepemimpinan dalam Islam. Allah SWT menetapkan senarai /
urut-urutan pemimpin-pemimpin yang syah memimpin umat Islam dengan keterangan yang jelas dan
tegas serta bersih dari unsur-unsur Thoghut. Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul Nya, dan orang-orang yang beriman yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka tunduk kepada Allah” (Al Maa-idah : 55)

Keterangan:

Ayat tersebut diatas menerangkan bahwa yang berhak memimpin orang yang beriman hanyalah Allah
SWT, Rasul Nya dan orang-orang berIman yang taat kepada hukum Allah dan menerapkan Syarat Islam
secara Khaffah, serta menegakkan Shalat dan menunaikan Zakat baik untuk dirinya, keluarganya
maupun untuk semua rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin umat Islam yang dikonsep oleh Allah dalam
ayat-ayat tersebut dengan izin Allah SWT akan dapat membawa kejayaan umat Islam, di dunia akherat.
Seperti yang diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya,
maka sesungguhnya pengikut-pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang”. (Al Maa-idah : 56)

Adapun perwujudan pemimpin seperti yang diterangkan oleh Allah SWT dalam ayat tersebut diatas
secara ideal adalah harus dipegang oleh para Ulama pewaris Nabi SAW, sebab hanya Ulama pewaris
Nabi SAW sajalah yang benar-benar memahami Al Quran dan Sunnah dan takut kepada Allah SWT,
sebab pemimpin yang memahami Al Quran dan Sunnah dan takut kepada Allah SWT tidak akan
mendholimi dan menyesatkan rakyat dan pengikutnya bahkan selalu bersikap seadil-adilnya dan selalu
membimbing umat yang dipimpinnya kepada jalan Allah SWT.

Allah SWT berfirman:

“... Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambanya hanyalah ulama. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (Faathir : 28)

Disamping itu ulama pewaris Nabi SAW adalah merupakan umat yang paling utama diantara umat-umat
beriman.

Rasulullah SAW bersabda menerangkan hal ini:

“Sesungguhnya keutamaan orang alim (ulama pewaris Nabi) diatas orang abid (orang yang rajin
beribadah, tetapi tidak alim) seperti kelebihan cahaya bulan purnama diatas cahaya bintang-bintang.
Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris Nabi” (HP Abu Dawud)

Keterangan:

Ulama pewaris Nabi maksudnya Ulama yang mewarisi ilmu, akhlak Nabi SAW dan mewarisi
kepemimpinannya kepada umat Islam. Program kepemimpinan Ulama pewaris Nabi adalah program
ma’ruf ia tegakkan Shalat, ia tunaikan zakat, ia sebar luaskan ma’ruf dan ia berantas kemungkaran dan
kemaksiatan yang nampak ditengah-tengah rakyatnya.

PROGRAM KEPEMIMPINAN ULAMA PEWARIS NABI.


Program kepemimpinan ulama’ pewaris Nabi secara garis besar diterangkan oleh Allah SWT dalam
firman-Nya:

“Yaitu orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka
mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan
yang munkar dan kepada Allah lah kembalinya segala urusan” (Al Hajj : 41)

Keterangan:

Yang dimaksud dengan; ‘orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi’ dalam
ayat tersebut diatas, adalah orang-orang yang diberi kekuasaan untuk menguasai dan memimpin umat.

Maka berdasarkan petunjuk Allah SWT dalam ayat tersebut diatas, program utama para Ulama pewaris
Nabi dalam memimpin umat Islam dapat dirumuskan:

a.             Menyebarkan dan menegakkan Dinul Islam dan mengamalkannya secara Kaaffah.

b.            Menegakkan Shalat di kalangan rakyat yang beriman.

c.             Menunaikan zakat di kalangan rakyat yang beriman.

d.            Mengaktifkan amar ma’ruf di kalangan semua rakyatnya.

e.            Mengaktifkan nahyul munkar (mencegah kemungkaran) yang nampak dikalangan semua
rakyatnya.

f.              Melaksanakan hukum kriminal yang ditetapkan oleh Allah SWT dalam Al Quran, yakni hukum
Hudud dan Qishash kepada semua rakyatnya.

g.             Menghukum Muslim yang sengaja melanggar perintah dan larangan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Apabila program tersebut terlaksana dengan baik dalam pemerintahan, maka masyarakat Islam benar-
benar akan tegak Iman dan taqwanya sehingga turunlah barokah dari langit dan bumi sehingga keadaan
ekonomi negara stabil dan membawa kemakmuran serta ketenteraman. Sebagaimana yang diterangkan
oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka
Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (Al A’raaf : 96)

Dan firmanNya lagi:

‫س@@آ َء‬ ِ ‫ت أَ ْر ُجلِ ِهم ِّم ْن ُه ْم أُ َّمةُُ ُم ْقت‬


َ ‫َص @ َدةُُ َو َكثِ@@ي ُُر ِّم ْن ُه ْم‬ ْ َ‫@@و أَنَّ ُه ْم أَقَ@@ا ُموا الت َّْو َراةَ َو ْا ِإلن ِجي@@ َل َو َم@@آأُن ِز َل إِلَ ْي ِهم ِّمن َّربِّ ِه ْم ألَ َكلُ@@وا ِمن ف‬
ِ ‫@@وقِ ِه ْم َو ِمن ت َْح‬ ْ َ‫َول‬
َ‫َمايَ ْع َملُون‬

Artinya: Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (al-Qur'an)
yang diturunkan kepada mereka dari Rabbnya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas
mereka dan dari bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah
buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka. (Al Maidah: 66)

 Disamping itu, kedudukan Dinul Islam menjadi kokoh tidak ada yang berani mengganggu,
mempermainkan dan melecehkan umat Islam, hidup menjadi aman dan tenteram. Mereka dapat
mengamalkan hukum Allah SWT secara Kaffah. Sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah SWT dalam
firman-Nya:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-
amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana
Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa dan Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah di ridhoi Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar keadaan
mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah
kepadaKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang tetap
kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (An Nuur : 55)

Dibawah kepemimpinan Ulama pewaris Nabi, umat Islam akan selamat dari terjerumus kepada berbagai
kegelapan hidup seperti kemusyrikan, kemaksiatan, kemungkaran, keruntuhan akhlak, timbulnya
berbagi macam penyakit, terjadinya bencana alam yang mengerikan, kekacauan dan yang paling penting
adalah terselamat dari api Neraka (Insya Allah).

Disamping itu orang Kafir yang tinggal di dalamnya diperlakukan dengan baik dan adil sehingga mereka
dapat merasakan rahmat dan ketenteraman. Sebagaimana firman Alloh SWT:

َ‫س ِطين‬ ِ ‫ِّين َولَ ْم يُ ْخ ِر ُجو ُكم ِّمن ِديَا ِر ُك ْم أَن تَبَ ُّرو ُه ْم َوتُ ْق‬
ِ ‫سطُوا إِلَ ْي ِه ْم إِنَّ هللاَ يُ ِح ُّب ا ْل ُم ْق‬ ِ ‫الَيَ ْن َها ُك ُم هللاُ َع ِن الَّ ِذينَ لَ ْم يُقَاتِلُو ُك ْم فِي الد‬

Artinya: Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Al Mumtahanah: 8)

Sebaliknya jika umat Islam dipimpin oleh orang Kafir dan kader-kader mereka, yakni kaum Sekuler, pasti
mereka akan terjerumus kepada berbagai kegelapan hidup seperti kemusyrikan, kemaksiatan,
kemungkaran dan bencana alam, serta penyakit yang mengerikan serta ancaman kemurtadan.

Hal itu disebabkan program kepemimpinan mereka didasari fikiran-fikiran dan keinginan-keinginan yang
tidak bersih dari hawa nafsu yang jelas-jelas bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah Nabi SAW,
bahkan mereka menolak pengamalan Syariat Islam secara Kaaffah.

Oleh karena itu kepemimpinan Kafir dan kaum Sekuler pasti akan menyeret rakyatnya ke lembah
kesesatan yang jauh di dunia dan ke neraka di akherat nanti. Hakekat dan peranan kedua macam
kepemimpinan ini yakni kepemimpinan Allah, Rasul Nya, orang beriman dan kepemimpinan Kafir serta
kaum Sekuler (thoghut), dengan jelas masing-masing dampaknya diterangkan oleh Allah SWT di dalam
Al Quran dalam firman-Nya:

“Allah pelindung orang-orang yang beriman, Dia menyelamatkan mereka dari kegelapan (kekafiran)
kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir pelindung-pelindungnya ialah syeitan (thoghut),
yang mengeluarkan mereka dari cahaya (iman) kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (Al Baqarah : 257).

Keterangan:

Dalam ayat tersebut diatas diterangkan bahwa kepemimpinan Allah, Rasul Nya dan orang beriman
berdampak mengeluarkan dan menyelamatkan umat Islam dari berbagai macam kegelapan hidup
kepada cahaya hidup yang terang benderang. Sebaliknya kepemimpinan Thoghut (Kafir, Sekuler)
berdampak mengeluarkan umat Islam dari cahaya hidup yang terang benderang (Iman) dan diseret
kepada kegelapan hidup (Kekafiran).

Maka bagi umat Islam, kalau ingin selamat di dunia dan di akherat dari ancaman Neraka tidak ada jalan
lain kecuali mesti berusaha agar berada di bawah kepemimpinan Allah, Rasul Nya dan Ulama pewaris
Nabi dalam negara yang berlaku syariat Islam dan wajib menjauhi, mengingkari dan menolak
kepemimpinan Thoghut (Kafir dan Sekuler) dan semua falsafah, dasar dan undang-undang negara di luar
syariat Islam.

Rasulullah SAW menerangkan, apabila umat Islam tidak lagi dipimpin oleh Ulama pewaris Nabi
dikarenakan sudah langkanya Ulama pewaris Nabi mereka akan mengangkat pemimpin orang-orang
bodoh (tidak faham Al Quran dan Sunnah) akhirnya pemimpin-pemimpin umat dengan kebodohannya
mereka sesat dan menyesatkan umat yang dipimpinnya. Seperti yang dialami negara-negara umat Islam
sekarang ini, baik di Timur Tengah maupun yang di Asia / Asia Tenggara. Hal ini diterangkan oleh
Rasulullah SAW dalam sabda Beliau:

“Sesungguhnya Allah jika mencabut ilmu tidak mencabut begitu saja dari hamba-hambaNya. Tetapi Dia
mencabutnya dengan mematikan para ulama sehingga tidak disisakan seorang alimpun akhirnya
manusia mengangkat orang-orang bodoh (tidak faham Al Quran dan Sunnah) sebagai pemimpin. Maka
apabila mereka ditanya mereka memberi fatwa tanpa ilmu. Maka akhirnya mereka sesat dan
menyesatkan”. (HR Bukhari dan Muslim).

Catatan dari penjara seri 10

Dinul Islam wajib diamalkan secara bersih

(Bab Kepemimpinan wajib bersih dari kepemimpinan kafir dan sekuler (4) )

Catatan dari penjara seri 10 menampilkan tulisan Ustad Abu Bakar Ba’asyir yang akan menguraikan
bagaimana kepemimpinan wajib bersih dari kepemimpinan kafir dan sekuler khususnya beliau
menerangkan tentang sikap orang beriman bila terpaksa hidup dibawah pemerintahan yang dipimpin
oleh orang kafir atau oleh orang sekuler (Thoghut).  
Selamat menyimak (saveabb.com/red)

SIKAP ORANG BERIMAN BILA TERPAKSA HIDUP DI BAWAH PEMERINTAHAN YANG DIPIMPIN OLEH
ORANG KAFIR ATAU OLEH ORANG SEKULER (THOGHUT)

Apabila orang beriman terpaksa hidup dalam suatu pemerintahan yang dipimpin oleh orang Kafir atau
oleh kaum Sekuler, maka ia harus menentukan sikap seperti yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan
Rasul Nya agar ia selamat dari diseret kepada kegelapan hidup di dunia dan ke neraka di akherat. Sikap
tersebut ialah:

Ia harus menentangnya, bila ada kemampuan menentang dengan tangan, yakni menekannya atau kalau
mampu menurunkannya dan menggantinya dengan pemimpin yang bersedia melaksanakan Syariat
Islam secara Kaaffah.  

Apabila belum mampu menentang dengan tangan, maka ia wajib menentang dengan lisannya. Yakni
yang Kafir didakwahi supaya memeluk Islam dan yang Sekuler dinasehati supaya bertaubat agar menjadi
muslim yang benar dan bersedia melaksanakan Syariat Islam secara Kaffah dalam negara yang
dipimpinnya. Kalau tidak bersedia mereka dihukumi murtad.

Bila belum mampu dengan lisan, ia harus menentang dengan hatinya, yang pelaksanaannya menjauhi
dan tidak membantunya, kalau mampu dengan cara berhijrah ke negara yang telah berlaku syariat Islam
secara kaffah kalau tidak mampu berhijrah agar berusaha uzlah dari masyarakat jahiliyah.

Karena pada kakekatnya pemimpin Kafir dan Sekuler program kepemimpinannya pasti mungkar, maka
harus dilawan meskipun hanya mampu dengan hati.

Ketiga sikap untuk melewan kemungkaran ini diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam  sabdanya:
“Barang siapa diantara kamu yang melihat kemungkaran hendaklah ia merubahnya dengan tanganya,
maka jika ia belum mampu hendaklah ia merubah dengan lisannya, dan jika ia juga masih belum mampu
maka ia harus menentang dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemahnya iman” (HR Muslim).

Apabila tidak ada perlawanan meskipun hanya dengan hati maka berarti tidak ada iman yakni mukmin
yang tidak melawan kemungkaran meskipun hanya dengan hati maka ia murtad. Hal ini diterangkan
dalam riwayat dibawah ini:

“Tidak seorang nabi pun yang dibangkitkan oleh Allah pada suatu umat sebelum aku kecuali beliau
mempunyai pengikut setia dan sahabat-sahabat yang taat dari umatnya. Mereka selalu mengamalkan
sunnahnya dan mengikut perintahnya. Kemudian muncul sesudah mereka suatu generasi yang bercakap
tentang sesuatu tetapi tidak diamalkannya dan mengamalkan sesuatu yang tidak diperintah. Maka
barang siapa melawan mereka dengan tangannya, ia adalah seorang mukmin, dan barang siapa
melawan mereka dengan lisannya ia juga masih seorang mukmin, dan barang siapa melawan mereka
dengan hatinya ia juga seorang mukmin. Dan selain ketiga sikap itu (tidak ada perlawanan meskipun
hanya dengan hati) menunjukkan tidak ada iman sedikitpun dihatinya”. (HR Muslim).

Melawan dengan hati harus ditunjukkan sedapat mungkin dengan sikap: Menjauhinya dan tidak
membantunya. Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

 “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
‘Beribadahlah kepada Allah saja dan jauhilah thoghut itu ... “ (An Nahl : 36)

Keterangan:

Ayat tersebut diatas jelas bahwa setiap Rasul memerintahkan kepada umatnya agar supaya selalu
menjauhi Thoghut (kepemimpinan Kafir dan Sekuler). Mengingkarinya dan tidak mengakui
eksistensinya.

Dan juga diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:


“Tidak ada paksaan untuk masuk Dinul Islam; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan
yang salah. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada thoughut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Al Baqaraah : 256)

Dan firman Nya lagi:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim
kepada thoghut padahal mereka telah diperintah mengingkari thoghut itu dan syeitan bermaksud
menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya” (An Nisaa : 60)

Keterangan:

Dua ayat tersebut jelas menerangkan bahwa Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam agar
mengingkari Thoghut dan tidak berhakim kepadanya, bahkan Iman seseorang kepada Allah SWT tidak
syah kalau dia tidak bersedia mengkafiri dan mengingkari Thoghut (Kafir dan kaum Sekuler).

Mengamalkan Syariat Islam menurut kemampuan terutama dalam menyelesaikan perselisihan dan
menghukum pelanggaran-pelanggaran Syariat dengan cara mengangkat Ulama yang dipercaya untuk
menjadi Hakim dalam mengadili persoalan ini. Untuk lebih jelasnya dalam hal ini saya kutipkan secara
lengkap pembahasan seorang ulama Shyeik Abdul Aziz bin Abdul Kadir dalam kitab beliau: AL - JAMI FI
THOLABIL ‘ILMISY SYARIIF. Dalam judul: Wajib Berhukum Kepada Syariat, beliau berkata sebagai
berikut: ‘Tata cara bertahkim kepada Syariat Islam di dalam negara yang diperintah dengan
menggunakan Undang-Undang Kafir’.

Di dalam negara yang diperintah dengan menggunakan undang-undang ciptaan manusia yang
bertentangan dengan Syariat Islam, kaum Muslimin wajib berhukum kepada Syariat Islam semampunya.
 

Karena Allah SWT berfirman:

 “Maka demi Rabb mu mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan ..... ” (An Nisaa’ : 65)

Dan firman Nya lagi:

 “Maka bertaqwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian ....” (At Taghaabun : 16)

Disini ada empat pembahasan: Siapa yang wajib melaksanakannya? Ciri orang yang dijadikan Hakam?
Masalah apa saja yang diperbolehkan dalam bertahkim? Dan haramnya menolak untuk berhukum pada
Syariat.

 
1. Siapa yang wajib untuk bertahkim?

Tidak samar lagi bahwa hal ini hukumnya adalah fardhu ‘ain, wajib bagi setiap muslim jika ia
menghadapi permasalahan yang mengharuskan untuk berhukum kepada Syariat. Karena sesungguhnya
permasalahan ini merupakan Ashlul Iman (pokok keimann), sebagaimana saya katakan diatas. Akan
tetapi disini saya ingin mengingatkan kewajiban-kewajiban para pemimpin jama’ah-jama’ah atau
organisasi-organisasi Islam yang bermacam-macam tentang permasalahan ini, karena Rasulullah SAW
bersabda:

“Kalian semua adalah pemimpin, dan kalian semua bertanggung jawab terhadap pengikutnya”
(Muttafaq ‘Alaih)

Maka para pemimpin jama’ah-jama’ah tersebut harus mewajibkan kepada para pengikutnya untuk
melaksanakan kewajiban syar’i ini. Dan ikatan (bai’at) jama’ah-jama’ah ini diantara isinya harus ada
pernyataan semacam ini. Dengan demikian kewajiban untuk berhukum bagi anggota jamaah itu ditinjau
dari tiga sisi.

 
Pertama: Wajib secara syar’i, berdasarkan firman Allah SWT:

 “Maka demi rabbmu mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan ........”. (An Nisaa’ : 65)

Kedua: Wajib karena perjanjian berdasarkan firman Allah SWT:

 “ ....... dan penuhilah janji sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabnya” (Al Israa’ : 34)

Ketiga: Wajib karena perintah pimpinan jama’ah, berdasarkan firman Allah SWT:

 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya dan ulil amri diantara kamu ...... .”
(An Nisaa’ : 59)

Kewajiban para pemimpin untuk memerintahkan pengikutnya ini juga menjadi kewajiban bagi setiap
orang yang ditaati, seperti orang yang dituakan dan pemuka di berbagai suku bangsa dan orang-orang
yang semacam ini.

2. Ciri-ciri orang yang dijadikan Hakam (pemutus perkara).

Yang dijadikan sebagai Hakam adalah orang yang terbaik, kemudian orang setelahnya. Pada asalnya
hendaknya hakim itu seorang Mujtahid, berdasarkan Hadist Marfu’ amr bin Al ‘Ash yang bunyinya:

“Jika seorang hakim memutuskan perkara lalu ia berijtihad dan ijtihad itu benar ...” (Muttafak ‘Alaih)

 
Jika tidak terdapat mujtahid, maka bertahkim kepada muqallid atau tholibul ‘ilmi (pelajar), sebagaimana
yang telah lalu dalam perkataan Al Juwaini, Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim, yang penjelasannya telah
kami sebutkan dalam pembahasan tingkatan-tingkatan mufti pada bab V dalam kitab ini (Al Jami’).

Sampai-sampai Al Qodhi Burhanuddin bin Farhun mengatakan: “Al Lakhmi mengatakan; bahwasanya
bertahkim itu diperbolehkan jika orang yang menjadi hakam itu adil (bisa dipercaya) orang yang mampu
berijtihat atau orang awam yang meminta petunjuk kepada ulama. Namun jika orang awam tersebut
tidak meminta petunjuk kepada ulama, maka keputusannya tertolak meskipun keputusannya itu sesuai
dengan perkataan ulama, karena hal itu membahayakan dan penipuan” (Tab Shirotul Hukkam I / 63).

Maka bertahkim itu harus kepada orang yang terbaik, lalu kalau tidak ada maka orang yang setingkat
dibawahnya. Dan tidak boleh meninggalkan kewajiban ini selama masih memungkinkan untuk
melaksanakan. Maka ini adalah tanggung jawab besar yang ditanggung oleh kaum Muslimin secara
umum dan para pemimpin khususnya seperti pimpinan jama’ah dan organisasi Islam untuk mengadakan
sejumlah orang yang mencukupi dan mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara di kalangan
kaum Muslimin. Maka kewajiban orang yang mempunyai kelebihan dalam tholabul ‘ilmi (belajar)
hendaknya ia menekuni pelajaran fiqh dan ilmu-ilmu sarana yang tersedia untuknya, sampai dia
mempunyai kelayakan untuk memutuskan perkara di kalangan kaum Muslimin. Dan saya telah sebutkan
dalam pembahasaan-pembahasan terdahulu, apa-apa yang dapat membantu dalam belajar. Dan para
pemimpin jamaah wajib untuk mengutus orang-orang yang mempunyai ciri-ciri yang seperti ini untuk
tholabul ‘ilmi (belajar) dan menanggungnya secara materi, supaya dia berkonsentrasi dalam masalah ini.

3. Masalah yang diperbolehkan untuk bertahkim.

Pendapat kuat yang berlandaskan dalil adalah bahwasanya tahkim itu diperbolehkan dalam segala
urusan, dan dalilnya adalah:
a. Hadist Abu Syuroih – yang telah disebutkan diatas dalam perkataan Ibnu Qudamah dan Ibnu Dloyyan
– “Bahwsanya dia berkata kepada Nabi SAW: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kaumku jika berselisih
pendapat pada masalah apa saja mereka datang kepadaku, maka saya putuskan permasalahan mereka
dan kedua belah pihak rela dengan keputusanku’. Maka Rasulullah mengatakan :’Alangkah baiknya ini”.
(Al Hadist).

Perkataannya yang berbunyi: ‘... Jika berselisih pendapat pada masalah apa saja ...” adalah sighoh
(bentuk kalimat) yang bersifat umum yang mencakup segala yang diperselisihkan, karena ini adalah kata
benda nakhiroh (Syai’) dalam kalimat syarat (idla).

b. Dalil yang lain adalah bertahkimnya orang Yahudi kepada Nabi SAW dalam hukuman rajam, dan
berlakunya keputusan Beliau atas mereka, sebagaimana yang telah lalu pada perkataan Abu Bakar Ibnul
‘Arabi.

Dengan demikian maka tahkim itu diperbolehkan dalam semua masalah yang terjadi dikalangan kaum
Muslimin yang bertempat tinggal di negara yang diperintah dengan menggunakan hukum Kafir dan tidak
ada pengecualian dalam hal ini kecuali pada apa yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah di akhir
perkataan beliau diatas: ‘Pada dasarnya kewajiban-kewajiban ini dilaksanakan dengan cara yang terbaik.
Jika kewajiban ini memungkinkan untuk dilaksanakan bersama seorang Amir maka tidak membutuhkan
lagi kepada orang lain, dan apabila tidak bisa dilaksanakan kecuali oleh beberapa orang dan tanpa
penguasa maka kewajiban itupun dilaksanakan dan jika dalam pelaksanaannya itu tidak menimbulkan
kerusakan melebihi kerusakan yang ditimbulkan oleh terabaikannya kewajiban itu’. (Majmu’ fatawa
XXXIV / 176).

Jika tidak mampu bertahkim  pada masalah hukum Hudud dan Qishash, atau jika tahkim dalam masalah
Hudud dan Qishash akan menimbulkan kerusakan, maka hendaknya tahkim tetap dilaksanakan dalam
masalah harta, hak, pernikahan dan lain-lain. Dan semua ini masuk kedalam kaidah bertaqwa kepada
Allah SWT sesuai dengan kemampuan seorang hamba dan masuk dalam kaidah yang berbunyi: ‘Sesuatu
yang mudah itu tidak bisa dibatalkan karena sesuatu yang sulit’.

Shyeik Izzudin bin Abdus Salam menjelaskan: “Sesungguhnya orang yang diperintahkan suatu ketaatan,
lalu ia hanya bisa melaksanakan sebagiannya dan tidak mampu melaksanakan sebagian yang lainnya,
maka hendaknya dia melaksanakan yang ia mampu laksanakan dan gugurlah kewajiban yang tidak
mampu ia laksanakan”. (Qowa’idul Ahkam II / 6 – 19).

Kaidah ini disimpulkan dari firman Allah SWT:

 “ Maka bertakwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian ...... ”. (At Thaghaabun: 16)

Dan dari sabda Rasululah SAW:

“Dan apa yang ku perintahkan kepada kalian, maka laksanakanlah sesuai dengan kemampuan kalian”
(Muttafaqun ‘alaih)

Dan diantara yang masuk dalam kemampuan adalah mengeluarkan zakat, meskipun pemerintah
meniadakannya, membayar diyat (denda) pada nyawa dan luka, melaksanakan Khafaroh meskipun hal
itu tidak diputuskan dalam pengadilan Kafir dan keharaman Riba’. Dan termasuk dalam hal ini adalah
memperhatikan nilai tukar uang dalam peminjaman dan jual-beli yang menggunakan tempo karena nilai
tukar uang itu sering berubah-ubah. Dan sering sekali nilai tukar uang itu berkurang. Dalam istilah
perekonomian hal ini disebut sebagai inflasi yang sering dipermainkan oleh pemerintah yang dholim
pada nilai uang logam dan uang kertas, dengan mengurangi nilainya, ini merupakan penipuan yang keji
terhadap rakyat.
Maka seharusnya yang dijadikan landasan dalam berumalah ada dua mata uang yang diakui dalam
Syariat (emas dan perak). Misalnya, kamu pada hari ini pinjam pada seseorang 1000 liroh (di Indonesia
rupiah) sedang harga satu gram emas pada hari ini adalah 100 liroh. Dengan demikian maka kamu
memberikan pinjaman kepadanya 10 gram emas. Jika masa pinjaman itu satu tahun, sedangkan harga
emas setelah satu tahun 200 liroh, dan kamu mengembalikan kepadanya uang 1000 liroh berarti kamu
mengembalikan uang kepadanya 5 gram dan kamu telah mendholiminya dengan kedholiman yang keji.

Seharusnya kamu mengembalikan kepadanya 2000 liroh. Begitu pula sebaliknya jika nilai tukar
bertambah maka kamu mengembalikannya dengan kurang dari 1000 liroh sebagaimana perhitungan
diatas. Ini bukanlah termasuk bagian dari riba’, akan tetapi kembali kepada mata uang yang diakui
secara syar’i.

Dan uang-uang tersebut nilainya tidak diakui secara syar’i kecuali dinilai dengan harga emas atau perak.
Hal ini dilakukan oleh orang Islam ketika ia mau mengeluarkan zakat mal atau zakat barang dagangan
dan perhitungan nishab dalam kasus pencurian. Perhitungan di atas tidak berlaku pada barang titipan,
akan tetapi barang titipan itu dikembalikan sebagaimana ia dititipkan.

Syeikh Ahmad  Az Zarqo telah menyinggung masalah ini dalam kitabnya Al Qowa’id Al Fiqhiyyah dalam
kaidah: “Tidak boleh membahayakan diri dan membahayakan orang lain”.

Dan beliau menisbahkan perkataan ini pada Al Qodli Abu Yusuf (Syarhul Qowa’id Al Fiqiyyah, karangan
Syeikh Ahmad Az Zarqo, halaman 121 cet. Darul Maghrib Al Islami).

4. Haram untuk menolak berhukum pada Syariat

Tidak halal bagi siapapun yang diajak untuk berhukum kepada Syariat lalu ia berpaling darinya.

Sebagaimana firman Allah SWT:


“Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Marilah kamu tunduk kepada hukum yang Allah telah turunkan
dan kepada hukum Rasul’, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi manusia dengan
sekuatnya dari mendekati kamu” (An Nisaa’ : 61)

Firman-Nya lagi:

“Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul Nya agar Rasul mengadili diantara mereka, tiba-
tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk maslahatan mereka,
mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah ketidakdatangan mereka itu karena dalam hati
mereka ada penyakit, atau karena mereka ragu-ragu atau karena takut kalau-kalau Allah dan Rasul Nya
berlaku dzolim kepada mereka, sebenarnya mereka itulah orang-orang yang dholim. Sesungguhnya
jawaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul Nya agar Rasul mengadili
diantara mereka ialah ucapan: ‘Kami mendengar dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung”. (An Nuur 48-51).

Dan inilah yang senantiasa saya nasehatkan kepada saudara-saudaraku kaum Muslimin. Dan saya
berpendapat bahwasanya Allah tidak akan memberikan anugerah kepada kaum Muslimin dengan suatu
hukum Islam, kecuali jika mereka berhukum kepada Syariat sesuai dengan kemampuan pada kondisi
sekarang ini, jika mereka berusha melaksanakan hal ini.

Semoga Allah SWT memberikan janji-Nya sebagaimana firman-Nya:

....... Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri ...... ” (Ar Ra’du : 11)

Ada manfaat lainnya jika kaum Muslimin mau berhukum kepada Syariat yaitu tetap hidupnya Syariat ini
baik secara ilmu maupun secara pengamalan dengan terlaksananya pengadilan Syar’i. Hal ini tidak
sebagaimana yang diinginkan thoghut yang hendak mematikan Syariat dan orang-orang yang
mengembannya. Dan semua ini akan menjadi permulaan bagi hukum Islam atas izin Allah SWT.
 

Sesungguhnya undang-undang thogut ini adalah Khuffur Akbar yang mana orang yang membuatnya
orang yang menjalankanya, dan orang yang berhukum kepadanya dengan rela dan atas keinginannya
mereka keluar dari Islam. Dan ini merupakan kemungkaran yang paling besar. Sedangkan selemah-
lemah Iman adalah mengingkarinya dengan hati yang dalam hal ini mengharuskan untuk memboikot
undang-undang tersebut, pengadilan-pengadilannya dan para hakimnya serta wajib berbarok terhadap
mereka. Dan hendaknya menolak untuk sekolah di fakultas-fakultas hukum yang mempelajari undang-
undang Kafir. Adapun pengingkaran dengan lisan diantaranya adalah dengan cara membahas masalah
ini dan menyebarluaskannya di kalangan kaum Muslimin dan menyeru mereka untuk melaksanakannya.
Adapun pengingkaran dengan tangan terhadap undang-undang Kafir ini dan terhadap pada
pelaksanaannya dan yang mempertahankannya adalah dengan Jihadfisabilillah.

Allah SWT berfirman:

 “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama
dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnnya, kami berlepas diri dari kamu
dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari kekafiranmu dan telah nyata antara kami
dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah
saja ...” (Al Mumtahaanah : 4)

Dan Allah SWT juga berfiman:

 “Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah
...........” (Al Anfaal : 39)

Inilah akhir pembahasan masalah Wujubut Tahaakum Ilasy Syarii’ah (Wajib untuk berhukum kepada
Syariat). Wabillahi taufiq. Diterjemahkan dari kitab: Al Jamii’ fi Tholabil Imisy syariif XIV / 12 – 17) oleh
Sheiyk Abdul Qadir bin Abdul Aziz penterjemah Abu Musa Al Masjun Fakkallahu Asroh.      
LP Cipinang 11 Shafar 1426 H / 27 Maret 2005.

Catatan dari penjara seri 11

Dinul Islam wajib diamalkan sacara Kaaffah / Syumul Keseluruhan (1)

Catatan dari penjara seri 11 redaksi menampilkan tulisan ustad Abu Bakar Ba’asyir yang menguraikan
tentang bagaimana dinul islam wajib diamalkan secara kaaffah / syumul keseluruhan dan ancaman yang
dikenakan kepada orang islam / negara-negara umat islam yang sengaja mengamalkan syariat secara
sepotong-sepotong. 

Selamat Menyimak (saveabb.com/red)

 
DINUL ISLAM HARUS DIAMALKAN SECARA KAFFAH

Disamping Dinul Islam harus diamalkan secara bersih dan murni seperti yang sudah diterangkan
dalam keterangan-keterangan sebelumnya, maka ia juga harus diamalkan secara Kaaffah / Syumul
keseluruhan. Yang dimaksud secara Kaaffah adalah pengamalan Syariatnya wajib diusahakan untuk
diamalkan secara sempurna tidak boleh ada satu Syariatpun yang sengaja ditinggalkan kecuali karena
benar-benar tidak ada kemampuan. Allah SWT memerintahkan orang-orang berIman agar memasuki
Dinul Islam secara Kaaffah, maksudnya agar berusaha mengamalkan semua Syariat dan hukum-
hukumnya secara sempurna tidak satu Syariatpun, meskipun kecil, yang sengaja ditinggalkan /
dibekukan.

Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah
kamu turut langkah-langkah syeitan. Sesungguhnya syeitan itu musuh yang nyata bagimu”. (Al
Baqaraah : 208)

 
Keterangan:

Dalam ayat tersebut di atas Allah SWT menerangkan kepada orang-orang yang berIman agar
mengamalkan semua Syariat dan hukum-hukum Islam, dan jangan sampai ada yang sengaja ditinggalkan
meskipun hanya satu Syariat karena semata-mata pertimbangan untung rugi keduniaan.

Hukum dan Syariat Islam pasti sesuai untuk diamalkan pada setiap tempat dan zaman, ia
sanggup menjawab tuntutan perkembangan zaman, dan sanggup memenuhi tuntutan fitrah murni
manusia dan sanggup memenuhi keperluan kehidupan manusia khususnya di dunia ini, dan sanggup
mengatasi dan menyelesaikan serta memberi jalan keluar setiap musqilah (problem) yang dihadapi
manusia dalam kehidupannya di dunia, baik musqilah pribadi, keluarga, masyarakat, maupun problem
kenegaraan. Syariat Islamlah sebenarnya yang selalu didambakan dan dicari-cari oleh fitrah murni
manusia untuk mengatasi musqilah kehidupannya dimana saja dan kapan saja. Tetapi karena godaan
Syeitan / Iblis manusia banyak yang diselewengkan dari tuntutan fitrah murninya menuju tuntutan hawa
nafsunya.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam Al Quran dalam firman-Nya:

“Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-bnar akan
menghalangi mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka
dan dari belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan
mereka bersyukur (taat)”.

 “Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir sesungguhnya barang siapa
diantara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka jahanam dengan kamu
semuanya”. (Al A’raaf : 16, 17 dan 18)

Dan firman-Nya lagi:

“Iblis menjawab; ‘Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali
hamba-hambaMu yang mukhlas diantara mereka” (Shaad : 82 - 83)
 

Keterangan:

Yang dimaksud “hamba-hamba yang mukhlas” dalam surat Shaad ayat 83 diatas ialah orang-
orang yang telah diberi taufik untuk mentaati segala petunjuk dan perintah Allah SWT. Ayat-ayat
tersebut diatas jelas menerangkan bahwa mayoritas umat manusia menyeleweng dari tuntutan hati
nuraninya yang murni yakni mencari sistem hidup dengan Syariat Islam, kepada tuntutan hawa nafsunya
karena tergoda oleh Iblis / Syeitan.

Disamping itu Syariat Islam adalah mengandung kebenaran murni dan tidak tercampur dengan
kebathilan sedikitpun.

Hal ini diterangkan Allah SWT dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al Quran ketika Al Quran itu datang kepada
mereka, mereka itu pasti akan celaka, dan sesunggunya Al Quran itu adalah kitab yang mulia. Yang
tidak datang kepadanya (Al Quran) kebathilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang
diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”. (Fushshilat : 41 dan 42)

Dan, kebenaran Syariat Islam tetap terjaga hingga akhir zaman tidak seorangpun yang sanggup
mengubahnya, karena Allah SWT menjaga kemurnianya sampai akhir zaman.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar


memeliharanya” (Al Hijr : 9)

 
Disamping Allah SWT memerintahkan semua orang beriman agar mengamalkan semua Syariat
Islam seperti yang diterangkan dalam surat Al Baqaraah ayat 208, Dia juga melarang mengikuti langkah-
langkah Syeitan.

Diantara langkah-langkah Syeitan untuk menyesatkan hamba Allah SWT ialah menghalangi
kaum Muslimin mengamalkan Syariat Islam secara Kaaffah dan mendorong mereka meninggalkan
pengamalan Syariat Islam secara keseluruhan atau mengamalkan Syariat Islam secara sebagian-sebagian
/ sepotong-sepotong saja, dengan dibayangi untung rugi dunia, sebagaimana yang diterapkan oleh
negara-negara umat Islam di Asia tenggara termasuk di Indonesia.

Dengan demikian orang Islam dan negara-negara umat Islam termasuk Indonesia sejak merdeka
sampai hari ini yang sengaja hanya mau mengamalkan sebagian Syariat Islam dan sengaja meninggalkan
sebagian lainnya sebenarnya mereka mentaati langkah-langkah Syeitan dan mendurhakai perintah Allah
SWT.

Sebagaimana yang tersebut dalam surat Al Baqarah ayat 208 diatas karena orientasi hidupnya
hanya mementingkan dunia dan melupakan akherat.

ANCAMAN YANG DIKENAKAN KEPADA ORANG ISLAM / NEGARA-NEGARA UMAT ISLAM YANG
SENGAJA MENGAMALKAN SYARIAT SECARA SEPOTONG-SEPOTONG.

Mengamalkan Syariat Islam secara Kaaffah adalah merupakan perintah Allah SWT dan Sunnah
Nabi SAW. Sebaliknya sengaja mengamalkan Syariat Islam secara sepotong-sepotong seperti yang
pengamalannya dipaksakan oleh penguasa kaum Sekuler yang menguasai negara-negara umat Islam
termasuk Indonesia, padahal ada kemampuan untuk mengamalkan secara Kaaffah, adalah dorongan
Syeitan dan merupakan perbuatan durhaka terhadap perintah Allah SWT.

Maka Allah SWT mengingatkan dengan peringatan yang keras kepada mereka yang sengaja
mengamalkan Syariat Islam sepotong-sepotong.

Mereka oleh Allah SWT dikatakan kaum yang mengImani sebagian Alkitab dan mengkafiri
sebagian lainnya, amalan semacam ini diancam dengan balasan hidup hina dan nista di dunia dan azab
pedih di akherat, karena pada hakekatnya yang bersangkutan telah murtad.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Kemudian kamu (bani israil) membunuh dirimu (suadaramu sebangsa) mengusir segolongan
dari pada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu-membantu terhadap mereka dengan membuat
dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan kamu tebus mereka,
padahal mengusir mereka itu juga terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian dari
alkitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat
demikian dari padamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka
dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”. (Al
Baqarah : 85)

Keterangan:

Sebenarnya ayat tersebut diatas menerangkan tabiat orang Yahudi yang suka melanggar Syariat
Allah SWT karena kepentingan duniawi.

 
Sebagaimana keterangan Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 84:

“Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari kamu yaitu: kamu tidak akan menumpahkan
darahmu (membunuh orang) dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari
kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar akan memenuhi sedang kamu mempersaksikannya”. (Al
Baqarah : 84)

Dalam ayat tersebut diatas, Allah SWT menerangkan bahwa Bani Israil telah berikrar sanggup
memegang teguh janji mereka kepada Allah SWT yang isinya; bahwa mereka tidak akan saling bunuh-
membunuh dan mengusir bangsa sendiri dari kampung halaman. Janji ini adalah merupakan Syariat
Allah yang termaktub dalam kitab Taurat yang mereka akui kebenarannya dan berikrar menepatinya.

Tetapi dalam kenyataannya, mereka selalu melanggar sebagian janji-janji itu karena perhitungan
kepentingan duniawi. Hal ini terjadi ketika mereka tinggal di Madinah, dimana tinggal kaum Yahudi Bani
Quraidah dan Bani Nadzir yang bertetangga dengan bangsa Arab dari Khabilah Aus dan Khadzrat. Di
dalam kehidupan sehari-hari antara kedua Khabilah Arab itu selalu terjadi peperangan. Kaum Yahudi
mengadakan persekutuan dengan para Khabilah itu. Bani Nadzir bersekutu dengan Khabilah Khadzrat
dan Bani Quraidah bersekutu dengan Khabilah Aus, apabila terjadi peperangan antara kedua Khabilah
Arab itu, masing-masing puak Yahudi membela sekutunya dari Khabilah Arab itu. Ini berarti juga terjadi
peperangan atau saling bunuh membunuh antara puak Yahudi itu sendiri.

Perbuatan ini jelas melanggar janji yang telah mereka ikrarkan kepada Allah SWT dalam kitab
Taurat, dan ini berarti melanggar / meninggalkan sebagian Syariat Allah SWT.

Apabila peperangan selesai, masing-masing puak Yahudi menebus bangsanya yang tertawan,
perbuatan tersebut berarti menepati Syariat Allah. Praktek semacam inilah yang Allah SWT nilai sebagai
perbuatan mengImani sebagian Alkitab dan mengkafiri sebagian yang lain.

 
Meskipun ayat tersebut diatas menceritakan keadaan Bani Israil yang suka melanggar Syariat
karena kepentingan duniawi, tetapi maksud diturunkannya di dalam Al Quran adalah untuk memberi
pelajaran kepada umat Muhammad SAW (umat Islam) dan memberi peringatan kepada mereka supaya
jangan meniru tingkah laku orang Yahudi dalam mengamalkan Syariat Allah SWT. Dalam ayat tersebut,
Allah SWT memberi ancaman kepada orang-orang Yahudi yang mengamalkan Syariat Allah secara
sepotong-sepotong ini, bahwa mereka akan ditimpa kehinaan hidup di dunia dan di akherat mereka
akan di adzab dengan siksa yang pedih.

Demikian pula umat Islam apabila dengan sengaja ingin mengambil dan mengamalkan hukum /
Syariat Islam secara sepotong-sepotong saja, yakni sebagian diamalkan dan sebagain lainnya sengaja
ditinggalkan, padahal ada kemampuan untuk mengamalkannya, maka ancaman Allah SWT yang tersebut
diatas juga akan menimpa mereka (umat Islam). Yakni mereka akan ditimpa kehinaan hidup di dunia
yang wujudnya perpecahan, ketakutan, kekacauan, kemsikinan, ditindas musuh, keguncangan dan lain-
lain lagi. Ancaman Allah ini suah mulai kita rasakan terutama di Indonesia. Sedang di akherat nanti,
diancam dengan azab yang pedih, na’udzu billah minzalik.

Mengapa Allah SWT mengancam begitu keras, padahal kenyataannya mereka masih mau
mengamalkan Syariat Nya meskipun hanya sebagian saja?

Jelas hal ini berati karena mereka enggan ta’at kepada Allah SWT secara mutlak karena
kecintaannya kepada kehidupan dunia dan melupakan kehidupan akherat sehingga ketaatannya dibagi
antara taat kepada Allah SWT dan taat kepada langkah-langkah Syeitan, jelas perbuatan ini merupakan
kemurtadan. Allah SWT menerangkan bahwa sebab ketaatan kepada Allah yang setengah-setengah ini
adalah karena pengaruh bisikan Syeitan sehingga orientasi hidupnya kepada dunia dan meninggalkan
akherat.

 
Hal ini diterangkan dalam firman-Nya:

“Mereka itulah (yakni orang-orang yang mengamalkan sebagain kitab dan meninggalkan
sebagian lainnya) adalah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan kehidupan akherat, maka
tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong” (Al Baqarah : 86).

Dalam ayat tersebut diatas Allah SWT menerangkan bahwa mereka yang hanya bersedia
mengamalkan Syariat Allah secara sepotong-sepotong tujuannya adalah semata-mata untuk
kepentingan dunianya dengan melupakan akheratnya. Hal ini oleh Allah SWT disifati sebagai: membeli
kehidupan dunia dengan akherat. Jadi amal mereka jelas tidak ikhlas semata-mata mencari ridho Allah
SWT, semata-mata mentaati Allah tetapi karena mentaati seruan Syeitan karena mencari keuntungan
dunia (kepentingan politik, kedudukan, harta dan lain-lain kepentingan dunia). Akherat sebagai
kampung halaman mereka yang sebenarnya, mereka jual untuk membeli dunia yang pasti akan mereka
tinggalkan sehingga murtad, maka pantaslah dihinakan hidup mereka dunia dan disiksa di akherat.

Adapun orang beriman yang benar-benar Imannya murni pasti lebih mementingkan akherat dari
pada dunia, mereka jual dunianya untuk membeli akherat dengan berusaha melaksanakan perintah
Allah secara sempurna, tidak segan-segan mereka korbankan dunia bahkan kalau perlu nyawa demi
menempuh kesuksesan akherat.

Hal ini dikarenakan orang beriman benar-benar memahami bahwa akherat itulah kampung
halaman yang tidak akan mereka tinggalkan dan mereka tinggal di dalamnya untuk selama-lamanya,
sedang dunia hanya sebagai kampung usaha dan bekerja untuk mencapai kesuksesan akherat dan pasti
kehidupan dunia akan mereka tinggalkan. Mereka beriman dan membenarkan firman Allah SWT sebagai
yang termakhtub di dalam ayat berikut:

“Hai kaumKu, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan sementara dan
sesungguhnya akherat itulah negeri yang kekal”. (Al Mu’min : 39)
 

Maka orang beriman yang benar-benar murni Imannya pasti berusaha keras dan berjuang untuk
dapat mengamalkan Syariat Islam secara Khaffah, mentaati perintah Allah dan Rasul Nya secara
keseluruhan dan berusaha keras menjauhi langkah-langkah Syeitan seperti yang tersebut dalam ayat Al
Quran yang telah dijelaskan tadi. Meskipun usaha dan perjuangan untuk mengamalkan hal ini harus
meminta pengorbanan kepentingan dunianya, bahkan meskipun harus meminta pengorbanan nyawa.
Demikianlah seharusnya sifat (karakterisitk) orang berIman yang murni Imannya. Maka bila dipanggil
untuk melaksanakaan hukum Allah tiada lagi jawabannya kecuali menjawab: “Kami dengar dan kami
taati”, tidak membantah sedikitpun.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul
Nya agar Rasul mengadili diantara mereka ialah ucapan: “kami mendengar dan kami patuh” dan
mereka itulah orang-orang yang beruntung” (An Nuur : 51)

Dan tidak pula mengajukan tawaran mencari pilihan lain, dia puas dan percaya penuh menerima
dengan lapang dada semua ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman menerangkan
persoalan ini:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula perempuan yang mukmin apabila
Allah dan Rasul Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang
urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul Nya, maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata” (Al Ahzaab : 36)

Dalam keterangan yang lalu telah diterangkan bahwa yang mendorong orang yang mengaku
beriman tetapi hanya bersedia mengamalkan Syariat Allah SWT secara sepotong-sepotong saja adalah
karena mengikuti langkah-langkah Syeitan sehingga mementingkan kehidupan duniawi dan melupakan
kehidupan akherat, pandangan hidup semacam ini sebenarnya bukan pandangan hidup orang beriman
tetapi ia merupakan pandangan hidup orang Kafir.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“....... dan celakalah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih. Yaitu orang-
orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari pada kehidupan akherat dan menghalang-halangi dari
jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang
jauh”. (Ibraahiim : 2 dan 3)

Keterangan:

Ayat-ayat diatas menerangkan bahwa watak dan pandangan hidup orang Kafir adalah lebih
mementingkan kehidupan duniawi dari pada kehidupan akherat kelak. Bagi orang Kafir, dunia adalah
Surga maka hidup di dunia harus dipuaskan untuk makan dan bersenang-senang memenuhi kehendak
hawa nafsu dengan cara berlomba-lomba membina kehidupan mewah dan berbuat maksiat untuk
mencari kenikmatan demi memuaskan hawa nafsu.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam fiman-Nya:

“ ... dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang di dunia dan mereka makan seperti
makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka” (Muhammad : 12)

Dan firman-Nya lagi:

“Sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) sebelum itu hidup bermewah-mewah dan mereka
terus menerus mengerjakan dosa yang besar”. (Al Waaqi’ah : 45, 46)
 

Oleh karena itu amalan-amalannya selalu berusaha menghalangi tegaknya Dinullah Islam, yakni
menghalangi orang yang ingin memahami Dinul Islam secara benar dan menghalangi orang yang
berjuang menegakkan Dinul Islam dan orang yang ingin melaksanakan Syariat Islam terutama secara
Khaffah. Disamping itu orang Kafir juga berusaha agar Dinul Islam yang lurus itu menjadi bengkok yakni
ayat-ayat Allah SWT ditafsirkan menurut kemauan hawa nafsu dan pandangan politik serta kepentingan
mereka dan berusaha keras menolak sekeras-kerasnya bimbingan Sunnah para Rasul Allah SWT, karena
semua ini akan menghalangi mereka menikmati kemewahan hidup, menikmati perbuatan maksiat dan
menikmati kemauan hawa nafsu.

Catatan dari penjara seri 12

Dinul Islam wajib diamalkan sacara Kaaffah / Syumul Keseluruhan (2)

Catatan dari penjara seri 12 redaksi menampilkan tulisan ustad Abu Bakar Ba’asyir yang menguraikan
tentang bagaimana dinul islam wajib diamalkan secara kaaffah / syumul keseluruhan khususnya tentang
bentuk pengamalan syariat islam yang tidak kaaffah, dan mengamalkan syariat islam secara kaaffah
adalah merupakan kewajiban syar’i yang tidak boleh ditawar

Selamat Menyimak (saveabb.com/red)

BENTUK PENGAMALAN SYARIAT ISLAM YANG TIDAK KAAFFAH

Bentuk pengamalan Syariat Islam yang tidak Kaaffah dapat terlihat dan tampak jelas dalam
negara umat Islam termasuk Indonesia, yang diperintah oleh Kaum Sekuler. Mereka (kaum Sekuler) yang
memerintah dan menguasai negara umat Islam ini hanya bersedia mengizinkan berlakunya Syariat Islam
secara sepotong-sepotong dan menolak keras memberlakukan Islam secara Kaaffah. Biasanya Syariat
yang mereka izinkan untuk diamalkan adalah Syariat yang berhubungan dengan urusan pribadi dan
sedikit keluarga, seperti shalat, zakat, puasa, nikah, talak, rujuk, kematian, ibadah haji dan lain-lain. Yang
urusannya diserahkan kepada satu departemen yaitu Departemen Agama. Jadi ini berarti Islam hanya
dikurung dalam sangkar Departemen Agama saja. Itupun pengamalannya tidak mereka perhatikan
bahkan kadang-kadang mereka persulit.

Dan mereka menolak pelaksanaan hukum kemasyarakatan, hukum Hudud, Qishas dan lain-lain,
mereka kaum Sekuler menolak keras usaha menjadikan Al Quran dan Sunnah sebagai dasar dan asas
negara, serta sebagai sumber hukum negara, sebaliknya untuk keperluan ini mereka susun falsafah-
falsafah berdasarkan fikiran, misalnya falsafah panca sila, bahkan kadang-kadang tidak segan-segan
meniru falsafah ideologi dan hukum-hukum yang disusun oleh orang-orang Kafir, terutama dari Barat
yang mereka anggap negara maju.

Akibatnya, rakyatnya terutama umat Islam ditimpa kehinaan, kemunduran, perpecahan,


ketakutan, kebodohan, kekacauan dan lain-lain musibah seperti yang terjadi di Indonesia yang sama-
sama kita saksikan. Maka nasib umat Islam hanya akan berjaya seperti pendahulunya apabila mereka
giat berjuang dengan sungguh-sungguh dan bersedia berkorban dengan harta dan nyawa demi agar
Syariat Islam dapat diamalkan secara Kaaffah di negaranya. Perjuangan dalam persoalan ini harga mati
tidak boleh ada kompromi dengan orang-orang Kafir dan kaum Sekuler yang menentangnya dengan
alasan apapun.

Imam Malik r.a. yaitu gurunya Imam Syafi’i berkata: “Umat ini (Umat Islam) tidak akan
menjadi baik, kecuali dengan sebab apa yang dengannya Umat pendahulunya menjadi baik.

Keterangan:

Ucapan Imam Malik diatas maksudnya bahwa umat Islam terdahulu menjadi baik, mulia, aman
dan tenteram disegani orang Kafir, karena pemahaman mereka dan pengamalan mereka terhadap Dinul
Islam benar-benar mengikuti petunjuk Allah SWT dan Rasul Nya, Syariat Islam mereka amalkan secara
Kaaffah, Islam menjadi dasar negara mereka, Al Quran dan Sunnah menjadi sumber hukum negara
mereka.

 
Demikian pula dengan umat Islam sekarang yang keadaannya kurang baik ini tidak akan menjadi
baik seperti pendahulunya, kecuali apabila pemahaman dan pengamalannya tentang Dinul Islam benar
dan lurus, Al Quran dan Sunnah menjadi dasar dan sumber hukum negaranya dan  Syariat Islam menjadi
hukum positif, dan bersedia berjuang untuk mencapai hal tersebut dengan siap berkorban harta dan
nyawa.

MENGAMALKAN SYARIAT ISLAM SECARA KAAFFAH ADALAH MERUPAKAN KEWAJIBAN SYAR’I


YANG TIDAK BOLEH DITAWAR

Mengamalkan  Syariat Islam secara Kaaffah adalah merupakan kewajiban Syar’i karena:

a.                   Mengamalkan Syariat Islam secara Kaaffah merupakan usul (dasar) Dinul Islam, maka kalau ini
tidak diamalkan Dinul Islam runtuh, itulah sebabnya setiap Muslim yang menolaknya adalah murtad.

Hal ini disebabkan:

i.            Allah SWT menurunkan Al Quran agar dijadikan sumber hukum untuk mengatur
kehidupan manusia baik dalam aspek pribadi, keluarga, masyarakat dan negara.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya
kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu dan janganlah
kamu menajdi penantang (orang yang tidak bersalah) karena membela orang-orang yang khianat” (An
Nisaa : 105)

Dan baca surat Al Maidah: 48-49.

Semua hukum ciptaan manusia yang bertentangan dengan syariat Islam adalah hukum jahiliyah,
sesat dan membawa bencana dunia akherat. Allah berfirman:
َ ‫أَفَ ُح ْك َم ا ْل َجا ِهلِيَّ ِة يَ ْب ُغونَ َو َمنْ أَ ْح‬
َ‫سنُ ِمنَ هللاِ ُح ْك ًما لِّقَ ْو ٍم يُوقِنُون‬

Artinya: Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih
daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin? (Al Maidah: 50)

ii.          Allah SWT menetapkan tidak berIman orang-orang yang tidak mau berhukum kepada
Rasululah SAW dalam menyelesaikan perselisihan dan seluruh problem hidup mereka, ini berarti
perintah melaksanakan Syariat secara Kaaffah.

Allah SWT berfirman:

“Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam
hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya ”. (An
Nisaa : 65)

iii.        Allah SWT menetapkan orang Islam yang tidak bersedia menghukum dan berhukum
dengan hukum Allah SWT meskipun satu hukum saja yang ditolak adalah sebagai orang Musyrik dan
Kafir.

Allah SWT berfirman:

“ ... Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu
adalah orang-orang yang Kafir” (Al Maaidah : 44)

Dan firman-Nya lagi:


“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada
apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak
berhakim kepada thoghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thoghut itu. Dan syeitan
bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya” (An Nisaa’ : 60)

Dan firman-Nya lagi:

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya. Sesunggunya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya
syeitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu
menuruti mereka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” (Al An’aam :121)

Keterangan:

Firman Allah SWT dalam surat al An’aam ayat 121 yang tersebut diatas jelas menunjukkan
bahwa siapa yang berani membantah hukum Allah meskipun hanya satu hukum (hukum menyembelih
binatang ternak) adalah dinyatakan sebagai orang musyrik.

iv.         Allah SWT menetapkan sebagai orang musyrik; orang Islam yang berani membuat Syariat
(tatanan dan undang-undang) yang bertentangan dengan Syariat Allah, demikian pula orang Islam yang
mentaati Syariat buatan manusia yang tanpa izin dari Allah tersebut.

Allah SWT berfirman:

“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka dien-
dien yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan dari Allah tentulah
mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang dhalim itu akan memperoleh adzab
yang amat pedih”. (Asy Syuraa’ : 21)

b.                  Mengamalkan Syariat Islam secara Kaaffah adalah merupakan hakekat pengamalan ibadah
kepada Allah SWT. Allah SWT menciptakan Jin dan Manusia hanya dengan tujuan agar beribadah kepada
Allah SWT saja.

Allah SWT berfirman:

“Dan Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu”
(Adz`Dzaariyaat : 56)

Beribadah kepada Allah SWT berarti berusaha melaksanakan seluruh Syariat Allah. Maka yang
menolak mengamalkan syariat Islam secara kaffah berarti hidupnya bukan untuk beribadah kepada Allah
tetapi justru durhaka kepadanya meskipun ia mengamalkan solat, puasa haji dan lain-lain.

c.                   Mengamalkan Syariat Allah secara Kaaffah adalah bagian dari rukun Iman. Ta’rif (definisi) Iman
menurut Ulama Ahlul Sunnah Waljama’ah adalah: “Membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan
lidah dan mengamalkan dengan anggota badan”.

Maka Allah SWT menganggap tidak beriman orang yang tidak bersedia mengamalkan Syariat
Islam secara sempurna meskipun hatinya beriman.

Allah SWT berfiman:


“Maka demi Tuhanmu mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An Nisaa’ :
65)

Kesimpulan:

1.             Dinul Islam wajib diamalkan secara Kaaffah tidak boleh sengaja diamalkan secara sepotong-
sepotong kecuali karena belum ada kemampuan.

2.             Sengaja mengamalkan Dinul Islam secara sepotong-sepotong akan terkena musibah murtad dan
kehinaan serta kenistaan hidup di dunia serta adzab yang pedih di akherat.

3.             Sengaja mengamalkan Syariat Islam secara sepotong-sepotong dan tidak ada usaha untuk
mengamalkannya secara Kaaffah adalah berarti mengikuti langkah Syeitan laknatullah dan
mendurhakai perintah dan larangan Allah SWT.

4.             Yang mendorong pengamalan Syarat Islam secara sepotong-sepotong ialah dikarenakan sifat
mementingkan dunia dan mengabaikan akherat. Ini adalah pandangan hidup orang Kafir.

5.             Pengamalan Syariat Islam secara sepotong-sepotong hanya diamalkan oleh kaum yang mengaku
sebagai Muslim, tetapi beraqidah Sekuler.

6.             Umat Islam yang terpaksa hidup di negara yang dikuasai thoghut (Kafir dan Sekuler) wajib
membuat langkah-langkah sebagai berikut:

a.                   Mengingkari dan menjauhi thoghut dengan cara melawan dengan tangan yakni
menurunkannya dan mengangkat pemimpin yang bersedia menerapkan syariat secara
kaffah, bila belum mampu, melawan dengan lidah (jihad bil lisaan). Bila belum mampu
melawan dengan hati yakni berusaha hijrah ke negara yang telah memberlakukan syariat
Islam secara kaffah.
b.                  Mengamalkan Syariat Islam semampunya dan mengangkat Ulama menjadi hakim yang
akan mengadili kasus-kasus mereka menurut kemampuan.

7.             Umat Islam yang rela hidup di dalam negara yang dikuasai oleh kaum Kafir atau kaum Sekuler
(thoghut) akan terkena bencana kehinaan dan kenistaan hidup di dunia dan di akherat diancam
azab yang pedih, kecuali apabila mereka berjuang dan sanggup mengorbankan harta dan nyawa
serta kepentingan dunia untuk memperjuangkan tegak dan diamalkannya Syariat Islam secara
Kaffah tanpa kompromi.

8.             Perjuangan untuk ini tidak ada akhirnya selagi Islam belum tegak sehingga semua Syariatnya
diamalkan.

Catatan dari penjara seri 13

Dinul Islam wajib diamalkan sacara Berjamaah

Dengan kekuasaan politik yang sistemnya Khilafah

Catatan dari penjara seri 13 redaksi menampilkan tulisan ustad Abu Bakar Ba’asyir yang menguraikan
tentang bagaimana dinul islam wajib diamalkan secara berjamaah dengan kekuasaan politik yang
sistemnya Khilafah

Selamat Menyimak (saveabb.com/red)

DINUL ISLAM WAJIB DIAMALKAN SECARA BERJAMAAH / DENGAN KEKUASAAN POLITIK YANG
SISTEMNYA KHILAFAH

Pengamalan Dinul Islam secara bersih dan Kaaffah seperti yang telah diterangkan dalam
pembahasan sebelumnya tidak mungkin dapat menjadi kenyataan apabila tidak ada kekuasan politik
yang berasaskan Al Quran dan Sunnah yang mengawalnya. Kalau tidak dan Dinul Islam hanya diamalkan
secara perorangan atau kelompok, hal ini tidak mungkin bisa mewujudkan cita-cita pengamalan Dinul
Islam secara bersih dan Kaaffah sebab perorangan atau kelompok umat Islam hidupnya kalau tidak
dibawah kekuasaan Khilafah pasti tunduk di bawah kekuasaan lain yang mengusainya baik kekuasaan
Kafir atau kekuasaan kaum Sekuler.

Kedua macam penguasa ini tidak akan mengizinkan Umat Islam mengamalkan Syariat Islam
secara bersih dan Kaaffah. Mereka pasti akan menghalanginya bahkan membelokkannya kearah
kemusyrikan, bid’ah dan kemurtadan.

Kandungan Syariat Islam adalah meliputi seluruh aspek kehidupan, baik aspek pribadi, keluarga
masyarakat dan negara. Syariat Islam semacam ini adalah merupakan konstitusi untuk mengatur
kehidupan yang pengamalannya menuntut adanya kekuasaan (institusi) yang berdasarkan Al Quran dan
Sunnah di tangan umat Islam meskipun rakyatnya terdiri dari berbagai kaum dan kepercayaan
(pluralitas).

Pengamalan Dinul Islam dengan sistem kekuasaan / pemerintahan dalam bentuk Khilafah adalah
telah dicontohkan oleh Rasululah SAW dan diikuti oleh para sahabat terutama Khulafah Rasyidin serta
umat Islam yang hidup sesudahnya hingga tahun 1924.

Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, Baginda SAW memproklamirkan Daulah Islamiyah


berasaskan Al Quran dan Sunnah, hukum positif yang berlaku adalah Syariat Islam secara Kaaffah
meskipun rakyatnya terdiri dari kaum Muslimin, kaum Musyrik, bangsa Arab dan ahli kitab bangsa
Yahudi.

Setelah baginda SAW wafat Daulah Islamiyah yang telah diasaskan oleh Rasulullah SAW
dilanjutkan oleh para sahabatnya dan umat Islam setelahnya. Dan sejak itu berdirilah kekuasaan Islam
dengan kukuh yang dinamakan kekhilafahan, pada saat itu umat Islam menguasai sebagian besar bumi
Allah SWT yang diurus dengan undang-undang Islam secara sempurna, maka tersebarlah keadilan
dimana-mana, kemakmuran, keamanan, dan barokah turun dari langit dan bumi meliputi penduduk
bumi.

Umat Islam hidup dengan penuh kemuliaan, ketenteraman dan kebahagiaan dan orang-orang
kafir yang tunduk dibawah kekuasaan Khilafah juga ikut menikmati keadilan ketenteraman dan
kemakmuran..

Tauhid dan Hukum Islam tegak dengan jayanya dan Dinul Islam bertapak dengan kukuhnya,
sehingga tiada seorangpun yang berani mengganggunya, ini sesuai dengan janji Allah SWT yang
dijanjikan kepada orang-orang berIman dan beramal saleh dalam firman-Nya:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang–orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah di ridhoi Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan
menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka
tetap beribadah kepadaKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang
siapa yang tetap kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (An Nuur : 55)

Karena pentingnya fungsi pemerintahan untuk mengamalkan Dinul Islam secara bersih dan
sempurna, maka Allah SWT dan Rasul Nya memerintahkan agar umat Islam hidup bersatu di bawah satu
pimpinan dan berpegang teguh dengan tali Allah SWT (Al Quran dan Sunnah).

Allah SWT berfirman:

“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai
dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka
Allah mempersatukan hatimu lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara, kamu
telah berada ditepi jurang neraka lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayatnya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (Aali Imraan : 103)

Imam At Thobari dalam tafsirnya menerangkan ayat tersebut diatas dengan katanya:
“Berpeganglah kamu sekalian kepada Dinullah yang kamu telah diperintahkan dengannya dan kepada
perjanjian-Nya kepada kamu dalam kitab Nya, yakni agar kamu bersatu diatas kalimah yang Haq dan
menyerah kepada perintah Allah”. (Tafsir At Thobari : 2/289)

Keterangan Imam At Thobari itu dapat disimpulkan bahwa dalam mengamalkan kalimatul Haq
(Dinul Islam) dan mentaati kalimat Allah SWT, harus dalam keadaan bersatu atau berjamaah di bawah
satu pimpinan bukan dalam keadaan bercerai berai.

Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat: “Walaa Ta faroqu”, (yang artinya janganlah kamu
bercerai berai). Beliau mengatakan, bahwa Allah SWT memerintahkan mereka berjamaah dan melarang
mereka bercerai berai. (Mukhtasor Ibnu Katsir : 1/305).

Dari keterangan kedua ahli tafsir tersebut diatas, kita dapat mengambil pelajaran penting yakni
bahwa pengamalan Dinul Islam secara ideal harus dengan sistem berjamaah bukan sendiri-sendiri atau
berkelompok-kelompok apalagi bercerai berai dan  bukan pula dengan sistem pemerintahan yang
berasas demokrasi dan nasionalisme.

Yang dimaksud dengan berjamaah adalah berdaulah Islamiyah, yakni Khilafah yang membawahi
berbagai bangsa yang disatukan dengan kalimat tauhid bukan dengan kebangsaan, bahasa atau warna
kulit, dan kekuasaan Khilafah itu asasnya Al-Quran dan Sunnah dan hukum positifnya adalah Syariat
Islam secara Kaaffah seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah sampai
Baginda SAW wafat yang selanjutnya di amalkan oleh para sahabatnya dan umat Islam setelahnya.
 

Jadi pengamalan Dinul Islam secara berkhilafah adalah merupakan Sunnah Nabi SAW yang wajib
diusahakan pengamalannya.

Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu adalah lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya” (An Nisaa’ : 59)

Keterangan:

Dalam ayat tersebut diatas Allah SWT memerintahkan agar semua orang yang berIman taat
kepada Allah SWT dan taat kepada Rasulullah SAW serta kepada ulil amri dari kalangan mereka, yakni
dari kalangan orang beriman.

Menurut Imam At Thobari, Ulil Amri dalam ayat tersebut diatas pendapat yang tepat adalah
“pemimpin pemerintahan” (Tafsir At Thobari : 2/49).

Maka ayat itu dengan tegas menyatakan bahwa kaum Mukminin harus hidup di bawah
pimpinan Ulil Amri dari kalangan orang-orang yang berIman. Ini berarti sistem kehidupan umat Islam
dalam mengamalkan diennya harus bersatu di bawah kekuasaan Islam yakni Khilafah bukan di bawah
pemerintahan yang berasas kebangsaan yang dipimpin oleh orang Kafir atau pemerintahan yang
dikuasai kaum Sekuler. Karena Allah SWT memerintahkan mereka hanya taat kepada Allah SWT dan taat
kepada Rasulullah SAW serta kepada Ulil Amri dari kalangan mereka (orang-orang berIman) bukan
pemerintah diluar kalangan orang-orang berIman, ini jelas menunjukkan keharusan wujudnya
pemerintahan Islam / Khilafah. Sistem kehidupan masyarakat Islam semacam ini sajalah yang telah
diamalkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat Baginda.

Bahkan Rasulullah SAW dengan jelas memerintahkan agar umat Islam hidup berjamaah dalam
sabda Baginda SAW:

“ ... dan saya perintahkan kamu sekalian untuk mengamalkan lima perkara yang Allah SWT telah
memerintahkan kepada saya untuk mengamalkannya, yaitu: Berjamaah, mendengar, mentaati,
berhijrah dan berjihad. Dan sesungguhnya barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal
maka benar-benar ia telah melepaskan tali Islam dari lehernya kecuali ia kembali ... “ (HR Ahmad dan
Tirmidzi).

Keterangan:

Yang dimaksud berjamaah dalam hadist tersebut diatas ialah hidup di dalam kekuasaan Khilafah.
Bahkan meskipun belum ada khilafah umat Islam wajib berusaha hidup berjamaah yang dipimpin oleh
seorang amir dan mengamalkan syariat Islam semampunya.

Hidup berjamaah ini telah diamalkan oleh Nabi SAW di Madinah dalam bentuk pemerintahan
Islam (Daulah Islamiyah). Dalam hadist ini Nabi SAW mengancam kepada umat Islam yang keluar dari
jamaah umat Islam (Khilafah) maka berarti dia telah melepaskan tali ikatan Islam dari lehernya. Maka
jelas bahwa hadist ini merupakan salah satu dalil yang tegas menunjukkan bahwa umat Islam wajib
hidup di dalam sistem Khilafah kalau belum mampu wajib berjuang untuk mewujudkannya. Siapa yang
menolak kewajiban ini berarti dia telah menolak perintah Allah SWT dan perintah Nabi SAW. Orang
semacam ini wajib dilawan tidak boleh dibiarkan.
 

Lebih jelas lagi dalam menerangkan hal ini Nabi SAW bersabda:

“Barang siapa yang melepaskan tangan ketaatan maka ketika ia bertemu Allah pada hari kiamat
ia tidak mempunyai Hujjah dan barang siapa yang mati sedang di lehernya tidak ada ikatan bai’ah
(kepada khalifah) ia mati sebagai mati jahiliah” (HR Muslim)

Keterangan:

Hadist tersebut diatas juga dengan jelas dan tegas menerangkan wajibnya mewujudkan Khilafah
dan orang-orang Islam yang lehernya tidak terikat oleh bai’ah kepada Khalifah maka bila keadaan itu
berterusan sampai mati tanpa ada usaha maka ia mati Jahiliah.

Menurut Imam Nawawi (pensyarah kitab Sahih Muslim) mati Jahiliah yang disebut dalam Hadist
ini berarti mati dalam keadaan maksiat bukan mati Kafir. Ancaman Rasulullah SAW ini menunjukkan
betapa pentingnya fungsi Khilafah karena memang harus begitulah pengamalan Dinul Islam secara
sempurna. Maka bila tanpa Khilafah pengamalan Dinul Islam tidak akan sempurna seperti yang
dikehendaki oleh Allah SWT. Maka berjuang menegakkan Dinul Islam berarti keharusan menegakkan
kekuasaan Islam / Khilafah. Dinul Islam tidak akan tegak selamanya tanpa tegaknya Khilafah bahkan
hukum Islam akan pupus satu persatu sampai Shalatpun akhirnya juga terancam.

Hal ini diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam sabda Beliau:

“Ikatan Islam akan dilepas satu persatu, apabila lepas satu ikatan manusia (umat Islam)
bergantung kepada ikatan berikutnya. Ikatan yang pertama kali lepas adalah hukum (Syariat) dan yang
terakhir adalah shalat”. (HR Ahmad)

 
Keterangan:

Hadist tersebut diatas memberikan keterangan lebih jelas lagi bahwa apabila Khilafah Islamiyah
runtuh dari tangan kaum Muslimin, maka akan terkikislah Syariat Islam satu demi satu yang akhirnya
shalatpun akan ikut terkikis sehingga Islam hanya tinggal namanya saja, karena kaum Muslimin hidup di
bawah kekuasaan kafir atau kekuasaan kaum Sekuler.

 Umar bin Khatab r.a. pernah  berkata: “Tidak sempurna Islam kecuali dengan berjamaah dan
tidak ada jamaah kecuali dengan pimpinan dan tidak ada pimpinan kecuali dengan ketaatan”.

Perkataan Umar ini memberikan pengertian bahwa Dinul Islam hanya akan  menjadi sempurna
pengamalan dan peranannya bila diamalkan dengan sistem Jamaah (Khilafah). Dibawah kepemimpinan
yang ditaati.

 Usman bin Afan r.a. berkata: “Sesungguhnya Allah benar-benar telah mencegah pelanggaran
Syariat dengan pemerintahan yang pelanggaran Syariat itu kadang-kadang tidak dapat dicegah dengan
Al Quran”.

Keterangan:

Maksud perkataan Usman r.a. diatas adalah bahwa suatu pelanggaran Syariat akan mudah
dicegah kalau ada kekuasaan yang kadang-kadang pencegahan pelanggaran semacam ini tidak dapat
dilakukan hanya dengan diterangkan dan dinasehati dengan ayat-ayat Al Quran saja. Contohnya:
Kewajiban membayar zakat jika perkara ini hanya didorong dengan menerangkan ayat-ayat Al Quran
saja maka tidak semua orang Islam mentaati membayar zakat, ada saja yang berani melanggar
kewajiban ini. Tetapi apabila ada Khilafah yang mengatur pelaksanaan Syariat ini maka akan lebih
teratur dan orang tidak berani mengabaikan kewajiban ini karena takut akan menerima hukuman dari
penguasa.
 

Maka jelaslah tanpa keraguan sedikitpun bahwa mewujudkan Daulah Islamiyah / Khilafah
adalah merupakan salah satu kewajiban pokok umat Islam. Perkara yang penting ini harus dipahami dan
disadari oleh umat Islam. Apabila perkara yang penting ini tidak dihiraukan umat Islam pasti akan terus
menerus hidup dalam kehinaan ketakutan, perpecahan dan kelemahan.

Catatan dari penjara seri 14


Dinul Islam wajib diamalkan sacara Berjamaah
Dengan kekuasaan politik yang sistemnya Khilafah

Catatan dari penjara seri 14 redaksi menampilkan tulisan ustad Abu Bakar Ba’asyir yang menguraikan
tentang bagaimana dinul islam wajib diamalkan secara berjamaah dengan kekuasaan politik yang
sistemnya Khilafah khususnya tentang bagaimana bahayanya berada dalam negara sekuler dan cara
mendakwahkan dan menegakkan dinul Islam

Selamat Menyimak (saveabb.com/red)

NEGARA SEKULER ADALAH FITNAH YANG SANGAT BERBAHAYA DAN HARAM HUKUMNYA

Negara Sekuler adalah bentuk negara di luar khilafah yang direkayasa oleh kaum Kafir Zionis
Yahudi untuk mengotori Akidah dan hati Umat Islam dan untuk menghancurkan Syariat Islam dari
sumber kebangkitannya, yakni Al Quran dan Sunnah.

Dengan sistem pemerintahan Sekuler yang terkutuk ini musuh-musuh Allah berusaha
menjauhkan Umat Islam sedikit demi sedikit dari Al Quran dan Sunnah dan menghancurkan Akidah dan
Syariah serta memporak-porandakannya sehingga akhirnya dapat dihancurkan sama sekali, inilah
peranan negara Sekuler.

Untuk lebih jelasnya disini saya kutipkan keterangan seorang Ulama dan Ilmuwan Muslim
Kontemporer DR. Safar Al-Hawali dalam kitab beliau yang berjudul: ILMANIYAH beliau menerangkan
sebagai berikut pada halaman 697, “Diantara Syubhatnya adalah susahnya sebagian orang untuk
mengatakan Kafir atau Jahiliah terhadap apa yang Allah nyatakan Kafir dan Jahilliah seperti sistem-
sistem keadaan-keadaan dan personal-personal dengan alasan bahwa sistem-sistem ini (terutama
Sekuler Demokrasi) tidak mengingkari keberadaan Allah, tidak menghalangi untuk melaksanakan
beberapa Syiar-Syiar peribadahan (seperti shalat, puasa, zakat, haji, nikah dan lain-lain), sebagian
personal sistem-sistem tersebut mengucapkan Syahadat, melaksanakan shalat, puasa, haji dan sedekah
serta menghormati orang yang taat beragama dan yayasan keagamaan ... bagaimana kita bisa
mengatakan bahwa Sekulerisme adalah sistem Jahiliyah dan orang-orang yang mempercayainya adalah
orang yang jahiliah?

Dan sangat jelas sekali bahwa orang yang terjerumus kedalam Syubhat ini (yang berkeyakinan
bahwa Sekulerisme dan Demokrasi bukan Jahiliah) tidak mengetahui makna Laa Ilaha Ilallah dan juga
tidak mengakui hakekat Islam dan hal ini jika Husnu dzon (berbaik sangka) terhadap mereka. Padahal
hal semacam ini tidak boleh terjadi pada kebanyakan orang intelek yang beralasan dengan alasan
semacam ini. (Dan beliau juga mengatakan pada halaman 692 dan  693): “Dan kita layak untuk
memperhatikan sejenak terhadap perkataan Syhaikul Islam bahwa murtad dari syariat agama adalah
lebih besar dari keluarnya orang Kafir asli darinya.

Kemudian kita katakan bahwa para pembuat rencana dari kalangan Yahudi Salibis sebagaimana
dalam wasiat Zuimar yang telah lalu, pembuat rencana tersebut telah putus asa untuk mengeluarkan
umat Islam dari pokok agama mereka ke aliran-aliran Atheis dan Materialist. Maka mereka
mengandalkan – setelah berfikir dan merenung – cara yang lebih kotor dan bahaya yaitu mereka
membuat pemerintahan-pemerintahan yang menjalankan hukum dengan selain hukum Allah, dan
dalam waktu yang bersamaan pemerintahan itu mengaku Islam dan menampakkan penghormatannya
terhadap akidah. Maka merekapun membunuh indera rakyat mereka rebut Wala’ nya (kesetiaannya
kepada Allah ) dan mereka kotori hatinya.

Kemudian mereka menghancurkan Syariat-Syariat Allah dari sumber kebangkitannya. Oleh


karena itu mereka tidak berani mengatakan dengan tegas bahwa para pemerintah itu orang-orang
Atheis atau Sekuler ketika mereka menyatakan dan berbangga mengatakan bahwa mereka itu orang-
orang Demokrat misalnya. (Dikutip dari kitab Al Ilmaniyah terbitan Umul Quro’ 1402 H).

Demikianlah keterangan DR. Syheik Safar Hawali yang pada pokoknya menjelaskan bahwa
pemerintahan Sekuler adalah rekayasa musuh Allah, Zionis Salibis, dalam rangka menghancurkan Akidah
dan Syariah kaum Muslimin dengan cara halus dan pura-pura menghormati kemerdekaan agama seperti
umpamanya dengan mendirikan Departemen Agama dalam pemerintahan dan memberi kesempatan
untuk mengamalkan ibadah mahdhoh (ritual) dan mengadakan upacara-upacara peringatan apa yang
mereka sebut hari-hari besar Islam seperti Maulud Nabi, Isra Mi’raj, Nuzulul Qur’an, Tahun Baru Hijriah
dan lain-lain untuk menggambar seolah-olah pemerintah Sekuler itu menghormati dan memberi
kebebasan Syariat Islam padahal hakekat yang sebenarnya itu merupakan bius yang tidak dirasakan oleh
Umat Islam sehingga secara sedikit demi sedikit hancurlah Akidah dan Syariat Dien mereka.

 
Maka sekali lagi kita wajib waspada dan  kita wajib yakin bahwa satu-satunya sistem negara
yang dapat menyelamatkan Islam dan Umat Islam hanyalah sistem Khilafah yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah SAW dan diikuti oleh para sahabatnya terutama Khulafa Urrosyidin. Maka dengan demikian
kita wajib menentukan sikap bahwa persoalan bentuk pemerintahan dan negara bagi kita Umat Islam,
hanyalah Khilafah tidak ada tawar menawar lagi. Apabila kita, Umat Islam, menolak memperjuangkan
berdirinya kembali Khilafah dan masih mau menerima bertoleransi dengan ajaran kafir Demokrasi dan
bentuk negara Kafir Sekuler maka lonceng kematian Islam dan Umat Islam akan segera berbunyi, Na’uzu
bilah mindzalik.

Kesimpulan:

1.             Dinul Islam wajib diamalkan secara berjamaah yakni berkhilafah bukan diamalkan dengan sistem
negara demokrasi dan kebangsaan, dan bukan pula diamalkan secara perorangan atau golongan.

2.             Bila Khilafah tidak diperjuangkan wujudnya oleh umat Islam maka akibatnya :

a.            Syariat dan hukum Islam tidak mungkin dapat diamalkan secara Kaaffah akibatnya umat
Islam akan hidup di dalam kehinaan dan kelemahan.

b.            Aqidah, Syariat dan hukum Islam tidak akan dapat diamalkan secara bersih akibatnya
ibadah dan mu’amalah umat Islam bercampur baur dengan kebathilan.

c.             Syariat dan hukum Islam akan terkikis satu persatu sampai habis.

d.            Berjuang untuk mewujudkan Daulah Islamiyah / Khilafah hukumnya wajib.

e.            Orang Islam apalagi orang Kafir yang menghalangi perjuangan untuk mewujudkan Daulah
Islamiyah / Khilafah boleh diperangi karena dengan sikapnya itu berarti ia menghalangi
tegaknya Dinul Islam.

II.     CARA MENDAKWAHKAN DAN MENEGAKKAN DINUL ISLAM

Mendakwahkan dan menegakkan Dinul Islam adalah diwajibkan atas umat Islam. Allah SWT
memerintahkan Rasul-Nya agar mendakwahkan Dinul Islam dan selanjutnya menegakkannya dengan
cara Dakwah dan Jihad. Adapun perintah berdakwah / bertabligh dapat kita jumpai dalam firman Allah
SWT sebagai berikut:

  

“Hai orang-orang yang berkemul (berselimut), bangunlah lalu berilah peringatan” (Al
Muddatsir : 1 dan 2)

 
Firman-Nya lagi:

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang dekat, rendahkanlah dirimu terhadap
orang-orang yang mengikutimu yaitu orang-orang yang berIman. Jika mereka mendurhakaimu maka
katakanlah; ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan ’. (Asy
Syu’araa : 214, 215, 216)

Dan firman Nya lagi:

“Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia lah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan Nya dan Dia lah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk”. (An Nahl : 125)

Dan firman-Nya lagi:

“Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu
kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat Nya. Allah
memelihara kamu dari gangguan manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunujuk kepada
orang-orang yang kafir”. (Al Maa-idah : 67)

Firman-Nya lagi:

“Maka sampaikanlah secara terang-terangan olehmu segala apa yang diperintahkan kepadamu
dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik”. (Al Hijr : 94)

Itulah beberapa ayat Al Quran yang memerintahkan umat Islam agar mendakwahkan dan
menyebarluaskan Dinul Islam di kalangan umat manusia.

Adapun perintah untuk menegakkan Dinul Islam dan perintah berjihad untuk kepentingan
menegakkannya adalah sebagai berikut:

Firman Allah SWT:

“.....Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya ...” (As Syuuraa : 13)

 
Dan firman-Nya lagi:

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk
Allah. Jika mereka berhenti dari kekafiran, maka sesunguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka
kerjakan” (An Anfaal : 39)

Dan firman-Nya lagi:

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula pada hari kemudian
dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul Nya dan tidak beragama
dengan agama yang benar (agama Allah) yaitu orang-orang yang diberikan alkitab kepada mereka,
sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk” (At Taubah : 29)

Dan firman-Nya lagi:

“Hai nabi perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah
terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka jahanam dan itu adalah seburuk-buruk tempat
kembali” (At Tahriim : 9)

Dan firman-Nya lagi:

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai
sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah Mengetahui sedang kamu tidak mengetahui” (Al Baqaraah
: 216)

1.       Perbedaan antara Mendakwahkan Islam (untuk menyebarluaskannya) dan Menegakkan Islam

Tersebarnya Dinul Islam artinya ialah tersebar luasnya dimana-mana tempat tetapi hanya
diamalkan secara perorangan atau berkelompok-kelompok tidak terpimpin oleh suatu kuasa Daulah
Islamiyah / Khilafah hingga Syariatnya tidak dapat diamalkan secara Khaffah dan bersih sebab musuh-
musuh Islam masih merdeka untuk menggangunya. Dinul Islam dapat tersebar dengan usaha dakwah /
tabligh, pendidikan dan usaha-usaha sosial.

 
Adapun yang dimaksud dengan tegaknya Dinul Islam ialah adanya kekuasaan Daulah Islamiyah /
Khilafah sehingga Syariat Islam dapat diamalkan secara terpimpin rapi secara Khaffah dan bersih. Dinul
Islam dapat ditegakkan dengan usaha-usaha dakwah / tabligh, pendidikan, usaha-usaha sosial dan jihad
fisabilillah untuk memerangi orang-orang yang menghalangi tegaknya kekuasaan Islam / Khilafah.

Sunnah Nabi SAW menunjukkan bahwa perjuangan disamping harus menyebarluaskan Islam
juga harus ditujukan kepada tegaknya Dinul Islam bukan hanya sekedar tersebarnya.

2.       Menegakkan Dinul Islam adalah satu-satunya Perjuangan yang Benar dan Mulia

Menegakkan Dinul Islam adalah merupakan satu-satunya perjuangan yang Haq / benar dan
mulia di sisi Allah SWT, sebab ia merupakan perjuangan untuk menegakkan Al Haq / kebenaran,
keadilan, kebebasan, kemerdekaan, keselamatan dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akherat.

Semua bentuk perjuangan selain untuk menegakkan Dinul Islam adalah perjuangan Bathil dan
mensia-siakan umur, waktu, tenaga, fikiran dan harta.

Memang tidak di nafikan bahwa semua perjuangan menuntut pengorbanan tetapi semua
pengorbanan yang dikeluarkan dan penderitaan yang dirasakan dalam rangka menegakkan Dinul Islam
sangat tinggi nilainya di sisi Allah SWT dan tidak hilang sia-sia begitu saja karena Allah SWT akan
membalas dengan pahala yang sangat memuaskan dan kebaikan yang belipat ganda apabila perjuangan
tersebut diamalkan dengan ikhlas dan mengikuti tuntunan Sunnah.

Sebaliknya pengorbanan dan penderitaan yang dirasakan dalam rangka perjuangan diluar
menegakkan Dinul Islam misalnya pengorbanan untuk memperjuangkan menegakkan faham-faham /
ideologi buatan manusia seperti sosialis, komunis, kapitalism, nasionalis, demokrasi dan lain-lain faham
sama sekali tidak ada nilainya di sisi Allah SWT, oleh karena itu tidak akan dibalas dengan kebaikan
bahkan akan dibalas dengan siksa karena faham-faham ideologi-ideologi itu semua merusak kehidupan
umat manusia dan menghalangi tegaknya Dinul Islam serta merusakkannya cepat atau lambat, sebab
pencipta semua paham itu adalah orang Kafir yang jelas-jelas mengingkari Nabi Muhammad SAW dan
mengingkari Sunnahnya.

Dalam menerangkan perkara ini Allah SWT berfirman:


 

“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita
kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan pula sebagaimana kamu menderitanya
sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana (An Nisaa’ : 104)

Keterangan:

Ayat tersebut diatas menerangkan bahwa pengorbanan dan penderitaan sama-sama akan
dirasakan baik oleh pejuang yang menegakkan Dinul Islam maupun orang-orang yang berjuang untuk
menentang Dinul Islam dan orang-orang yang berjuang untuk menegakkan faham-faham lain. Tetapi
pengorbanan yang ada nilainya di sisi Allah SWT dan dapat diharapkan balasannya dari Allah SWT
hanyalah pengorbanan yang di korbankan untuk menegakkan Dinul Islam, sedang yang lain tidak ada
harapan untuk itu.

Perjuangan menegakkan Dinul Islam selalu mendapat keuntungan sebab apabila menang di
dunia dapat merasakan kehidupan berbahagia dan mulia tenteram penuh berkah karena dengan
kemenangan itu tidak ada lagi manusia Kafir dan kaum Sekuler yang berani menghalang dan menentang,
sehingga hukum Allah dapat di amalan secara Kaaffah dan bersih.

Tetapi apabila mati terbunuh Insya Allah diterima di sisi Allah SWT dengan kemuliaan dan diberi
rezeki oleh Allah SWT. Allah SWT berfirman:

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan
mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki, mereka dalam keadaan gembira disebabkan
karunia Allah yang diberikannya kepada mereka dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang
masih tinggal dibelakang yang menyusul mereka bahwa tidak ada kehawatiran terhadap mereka dan
tidak pula mereka bersedih hati” (Ali Imraan : 169, 170)

Bahkan dengan jelas Allah SWT menamakan menang di dunia atau mati dalam rangka
menegakkan Dinul Islam dengan nama “Husnayaini” (dua kebaikan) yakni menang di dunia juga baik
terbunuh juga baik, karena nilainya mati syahid.

Sebaliknya berjuang untuk menegakkan ideologi selain Dinul Islam apabila menang di dunia ia
akan hidup dalam warna kebathilan, kemaksiatan dan penuh fitnah karena Syariat Allah dihalangi sama
sekali untuk diamalkan sedang yang berlaku undang-undang jahiliah yang memberi kelonggaran kepada
peranan hawa nafsu, maka kemenangan ini penuh dengan fitnah, ini pada hakekatnya merupakan adzab
di dunia.
 

Adapun apabila kalah dan terbunuh ia akan terjerumus kedalam kematian yang hina tidak ada
nilainya sedikitpun dihadapan Allah SWT bahkan akan ditimpa azab pedih di akherat nanti.

Allah SWT menerangkan hal ini dalam firman-Nya:

“Katakanlah tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami kecuali kecuali salah satu dari dua
kebaikan. Dan kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan kepadamu azab yang
besar dari sisinya, atau azab dengan tangan kami. Sebab itu tunggulah sesungguhnya kami menunggu-
nunggu bersamamu”. (At Taubah : 52)

Keterangan:

Ayat tersebut diatas menerangkan bahwa orang yang terjun dalam perjuangan menegakkan
Dinul Islam apabila ikhlas dan benar pasti akan mendapat salah satu dari dua kebaikan, yakni menang di
dunia atau mati syahid. Sedang mereka yang berjuang menegakkan selain Dinul Islam akan ditimpa azab
baik langsung dari Allah atau melalui tangan umat Islam (dikalahkan).

3.      Metode Mendakwahkan dan Menegakkan Dinul Islam menurut Tuntunan Al Quran dan Sunnah

Mendakwahkan dan menegakkan Dinul Islam wajib diamalkan mengikuti tuntunan Al Quran dan
Sunnah tidak boleh mengikuti fikiran semata-mata. Dalam sejarah kehidupan dan perjuangan Nabi SAW,
banyak mengandung contoh tauladan bagaimana cara mendakwahkan dan menegakkan Dinul Islam.
Tauladan ini merupakan Sunnah Nabi SAW yang harus diamalkan dalam rangka mendakwahkan dan
menegakkan Dinul Islam, sebab pada diri Baginda Nabi SAW terdapat tauladan yang baik dan sempurna
dalam semua aspek pengamalan Dinul Islam yang antara lain tauladan bagaimana cara mengamalkan
Dinul Islam dan bagaimana cara mendakwahkan dan menegakkannya.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah SW itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang
yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (Al
Ahzaab : 21)
Catatan dari penjara seri 15
Dinul Islam wajib diamalkan sacara Berjamaah
Dengan kekuasaan politik yang sistemnya Khilafah

Catatan dari penjara seri 15 redaksi menampilkan tulisan ustad Abu Bakar Ba’asyir yang menguraikan
tentang bagaimana dinul islam wajib diamalkan secara berjamaah dengan kekuasaan politik yang
sistemnya Khilafah khususnya tentang sunnah Nabi SAW dalam mendakwahkan dan menegakkan dinul
Islam melalui langkah yang pertama yaitu berdakwah dan bertabligh.

Selamat Menyimak (saveabb.com/red)

SUNNAH NABI SAW DALAM MENDAKWAHKAN DAN MENEGAKKAN DINUL ISLAM

Kalau kita teliti kembali sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW sejak mulai diangkat jadi nabi
sampai wafat Beliau, maka akan kita temui bahwa Rasulullah SAW dalam usahanya untuk
mendakwahkan dan menegakkan Dinul Islam selalu terpimpin oleh wahyu Allah SWT dengan melalui
langkah-langkah seperti yang tersebut dibawah ini:

a.             Langkah Pertama

Berdakwah dan bertabligh dengan bersenjatakan kesabaran dan keteguhan. Setelah turunnya
perintah Allah SWT dalam firman-Nya:  

“Hai orang-orang yang berkemul (berselimut) bangunlah lalu berilah peringatan” (Al
Muddatstsir 1,2)

Maka bangkitlah Baginda SAW memulai menjalankan tugasnya dengan berdakwah dan
bertabligh secara rahasia. Adapun tabiat dakwah dan tabligh beliau adalah:

i.                Materi dakwahnya menegakkan tauhid dan memberantas kemusryikan. Dalam rangka
                   
menunaikan dakwah ini Rasululah SAW sama sekali tidak mau bertoleransi dengan kemusyrikan,
meskipun nampaknya bertoleransi menguntungkan bahwa meskipun situasinya sangat terjepit, karena
Allah SWT mengarahkan Baginda SAW untuk berbuat tegas tanpa kompromi sedikitpun.
 

Dalam hal ini Allah SWT berfirman:

“Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang Kami wahyukan
kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu
tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat hatimu,
niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian benar-benarlah
Kami akan rasakan kepadamu siksaan berlipat ganda di dunia ini dan begitu pula siksaan berlipat
sesudah mati dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami” (Al Israa’ :
73,74,75)

Keterangan:

Ayat tersebut diatas menerangkan dengan jelas bahwasanya Nabi Muhammad SAW ketika
condong untuk menerima ajakan orang musyrik untuk bertoleransi dengan kemusyrikan diingatkan
keras oleh Allah SWT sehingga beliau tetap berada di garis Tauhid.

Bahkan kalau sampai Baginda SAW condong menerima ajakan toleransi orang musryik meskipun
hanya sedikit diancam kesengsaraan berlipat ganda hidup dan setelah mati. Dalam ayat yang lain Allah
SWT menerangkan bahwa strategi orang musryik dalam menghadapi Dakwah Tauhid ialah berusaha
melunakkan dakwah tauhid tersebut sehingga bersedia bertoleransi dan kerjasama dengan
kemusyrikan, kalau sudah demikian mereka akan bersikap lunak juga dan bersedia berkawan akrab.

Hal ini diterangkan Allah SWT dalam firman-Nya:

“Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah. Maka mereka
menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak pula kepadamu” (Al Qalam : 8
dan 9)

Keterangan:

Ayat tersebut diatas menerangkan bahwa Nabi SAW dilarang mentaati ajakan orang-orang
pendusta (Kafir dan Musyrik) dan mereka menghendaki agar Beliau SAW melunak sedikit, dan
merekapun akan melunak. Sikap melunak di dalam menentang kemusyrikan inilah yang dilarang oleh
Allah SWT maka Allah SWT memerintahkan agar Nabi SAW tetap teguh berpegang kepada Tauhid dan
berlepas diri dari kemusyrikan.

Allah SWT berfirman:


”Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan
kamu bukan menyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang
kamu sembah. Dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah
agamamu dan untukkulah agamaku” (Al Kaafiruun : 1 – 6)

Dan firman-Nya lagi:

“Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah bagiku amalku dan bagimu amalmu. Kamu
berlepas diri terhadap apa yang aku amalkan dan aku berlepas diri terhadap apa yang kamu amalkan”
(Yuunus :41)

Keterangan:

Inilah ayat-ayat yang menerangkan bahwa di dalam mendakwahkan Tauhid tidak boleh ada
kompromi sedikitpun dengan kemusyrikan.

ii.                Dalam berdakwah dan bertabligh Nabi SAW banyak berdzikir dan mengagungkan Allah
                 
SWT semata-mata dan semua dakwahnya semata-mata ditujukan untuk mencari ridho Allah SWT, dan
beliau selalu membersihkan hati dan akhlaq menjauhi kejahatan dan selalu bersikap dermawan.

Sikap ini membuahkan keberanian dalam menerangkan Aqidah (tauhid), tidak takut ancaman
manusia karena yang dibesarkan hanya Allah SWT, selain Allah SWT semua kecil dan selalu bergantung
kepada Allah karena selain Allah tidak ada yang dapat memberi manfaat atau menolak mudharot.

Allah SWT berfirman:

“Dan Tuhanmu agungkanlah dan pakaianmu bersihkanlah dan perbuatan dosa (menyembah
berhala) tinggalkanlah dan janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih
banyak. Dan untuk memenuhi perintah Tuhanmu bersabarlah” (Al Muddatstsir : 3 – 7)

iii.                Di dalam berdakwah menyampaikan Tauhid, Nabi SAW selalu bersabar menghadapi
               
segala rintangan dan kesulitan yang menimpanya. Karena Allah SWT memang memerintahkan untuk
selalu bersabar.

 
Allah SWT berfiman:

“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang
baik. Dan biarkanlah Aku saja bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang
yang mempunyai kemewahan dan beri tangguhlah mereka barang sebentar”. (Al Muzzammil : 10, 11)

Yang dimaksud sabar ialah mesti memenuhi tiga sikap yaitu:

          Tidak lemah dan menjadi pengecut karena musibah yang menimpanya di jalan Allah
bahkan dia tetap mempunyai keberanian melawan kemusyrikan dengan pertolongan Allah SWT.

          Tidak lesu kehilangan semangat karena musibah itu, sebaliknya ia tetap bersemangat
tinggi meskipun posisinya terjepit, karena harapannya hanya kepada pertolongan Allah SWT.

          Pantang menyerah kepada musuh. Kalau berjihad tidak akan menyerah dengan
menyerahkan senjata pilihannya hanya dua, menang atau terbunuh di jalan Allah. Kalau berdakwah
tidak akan melepaskan kebenaran meskipun dalam posisi terjepit, bahkan kebenaran tetap disampaikan
apa adanya tidak dirubah-rubah maknanya karena mengharapkan belas kasih musuh. Dia berdoa kepada
Allah SWT mohon diampuni segala tindakannya yang berlebih-lebihan mohon ditetapkan pendiriannya
jangan berubah-rubah karena takut kepada manusia atau mengharap dunia dan mohon pertolongan
dalam melawan orang-orang kafir.

Karakterisitk Da’i / Mujahid semacan ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari
pengikutnya yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di
jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak pula menyerah kepada musuh. Allah menyukai orang-orang yang
sabar. Tidak ada doa mereka selain ucapan: ‘Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-
tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urursan kami dan tetapkanlah pendirian kami dan tolonglah
kami terhadap kaum yang kafir” (Ali Imraan : 146 - 147)

Agar ada kemampuan untuk bersabar dan memikul beban dakwah Tauhid ini, maka Nabi SAW
diperintahkan untuk mendirikan shalat Tahajjud.

Perintah tersebut tercantum dalam firman Allah SWT di bawah ini:

“Hai orang-orang yang berselimut (Muhammad SAW), bangunlah untuk shalat di malam hari,
kecuali sedikit dari padanya, yaitu seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari
seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan
kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat untuk
khusu’ dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan
yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadatlah kepada Nya dengan penuh
ketekunan”. (Al Muzzammil : 1 - 8)

Setelah berdakwah secara rahasia beberapa tahun, maka Allah SWT selanjutnya memerintahkan
agar Baginda SAW berdakwah secara terang-terangan dan tetap tidak boleh bertoleransi dengan
kemusyrikan.

Allah SWT berfirman:

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan kepadamu
dan berpalinglah dari orang–orang yang musyrik” (Al Hijr : 94)

Di dalam berdakwah terutama dakwah secara terang-terangan ini, pertama kali yang
diperintahkan oleh Allah SWT adalah agar Beliau mendakwahi sanak-kerabatnya terlebih dahulu.

Allah SWT berfirman:

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” (Asy Syu’araa’ : 214)

Maka untuk melaksanakan perintah tersebut, Baginda Rasulullah SAW mengumpulkan


kerabatnya yang terdekat menyampaikan keRasulan diri Baginda dan memberi peringatan kepada
mereka agar mereka berIman kepada Allah SWT, karena Baginda tidak dapat menolong mereka dari
azab Allah SWT jika mereka tetap durhaka kepada Allah SWT.

Dalam Dakwahnya kepada sanak keluarganya Baginda SAW bersabda: “Wahai kaum Quraisy
belilah / tebuslah dirimu dari Allah dengan beriman dan beramal saleh serta meninggalkan kemusyrikan,
sesungguhnya saya tidak dapat menolong kamu sekalian dari siksa Allah sedikitpun. Wahai Bani Abdul
Mutthalib! Sesungguhnya saya tidak bisa menolong kamu sekalian dari azab Allah sedikitpun. Wahai
Bani Abbas! Saya tidak dapat menolong anda sedikitpun dari azab Allah SWT. Wahai Sofiah! Bibi
Rasulullah! Saya tidak dapat menolong anda sedikitpun dari azab Allah SWT. Wahai Fatimah binti
Muhammad! Mintalah apa yang kamu mau dari hartaku, aku tidak dapat menolongmu sedikitpun dari
sisi Allah”. (HR Riwayat Muslim).

 
Ketika Dakwah ini mulai dilancarkan secara terang-terangan tantanganpun mulai bermunculan,
terutama justru tantangan itu datang dari paman Beliau sendiri yaitu Abu Lahab. Namun demikian
Dakwah terus dilancarkan tanpa mengindahkan tantangan dan bantahan orang-orang Musyrik baik dari
kaumnya sendiri atau dari sanak saudaranya.

Setiap musim Haji, Rasulullah SAW selalu menggunakan kesempatan ini untuk berdakwah
menyeru Kabilah-Kabilah yang datang dari luar kota Mekah.

Oleh karena Dakwah yang dilancarkan oleh Rasululah SAW menyeru Dua Kalimat Syahadat dan
memberantas kemusyrikan yang sudah mendarah-daging di kalangan bangsa Arab sejak ratusan tahun,
maka mereka pada umumnya sangat berat menerima Dakwah Tauhid ini kecuali mereka yang mendapat
rahmat Allah SWT yang mau menjawab seruan Rasulullah SAW ini dan mereka ini amat sedikit.

Beratnya orang Musyrik menerima dakwah Tauhid ini diterangkan oleh Allah SWT dalam
firman Nya:

“... amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah
menarik kepada agama itu orang-orang yang dikehendakinya dan memberi petunjuk kepada agama
Nya orang-orang yang kembali kepadanya”. (Asy Syuuraa : 13)

Adapun diantara bentuk tantangan orang-orang musyrik terhadap dakwah Rasulullah SAW
adalah digambarkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (seorang Rasul)
dari kalangan mereka, dan orang-orang kafir berkata: ‘Ini adalah seorang ahi sihir yang banyak
berdusta. Mengapa ia menjadikan ilah-ilah itu ilah yang satu saja? Sesunguhnya ini benar-benar suatu
hal yang sangat mengherankan’. Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka seraya berkata: ‘Pergilah
kamu dan tetaplah menyembah ilah-ilahmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki.
Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir ini (mengesakan Allah) tidak lain
hanyalah dusta yang diada-adakan”. (Shaad: 4-7)

Namun meskipun tantangan begitu kerasnya Nabi SAW tidak berputus asa dan tidak lemah
semangatnya dan tantangan-tantangan itu dihadapi terus dengan kesabaran, memberi nasehat yang
baik dan bijaksana.

 
Sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT:

“Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesunguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan Nya dan Dia lah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk”. (An Nahl : 125)

Dakwah Rasulullah SAW adalah melanjutkan dakwah para Rasul-Rasul sebelumnya yang intinya
sama, yaitu mengajak manusia agar beribadah hanya kepada Allah SWT saja dan mengajak manusia agar
menjauhi thoghut.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Dan sesungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat utuk menyerukan:
‘Beribadahlah kepada Allah saja dan jauhilah thoghut ...” (An Nahl : 36)

Dalam menghadapi tantangan berat yang datang dari kaum musyrikin, Allah SWT
memerintahkan agar Nabi SAW tetap teguh berpegang kepada tauhid dan berlepas diri dari
kemusyrikan.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan
kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang
kamu sembah. Dan kamu tidak pula pernah menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmulah
agamamu dan untukkulah agamaku”. (Al Kaafiruun : 1-6)

Dan firman-Nya lagi:

“Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah: ‘Bagiku amalanku dan bagimu amalanmu.
Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku amalkan dan aku berlepas diri terhadap apa yang kamu
amalkan”. (Yuunus : 41)

Dan firman-Nya lagi:


“Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu.
Sesungguhnya kamu berada diatas jalan yang lurus. Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar adalah
suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta pertangggungan
jawab”. (Az Zukhruf : 43-44)

Dampak dari dakwah Tauhid yang pantang bertoleransi dengan kemusyrikan ini Baginda SAW
dan para pengikutnya menghadapi rintangan dan tekanan berat dari kaum Musyrikin baik dalam bentuk
ucapan kotor yakni, dituduh gila, tukang sihir, pembohong, atau dalam bentuk perbuatan keji, yakni
Baginda SAW dilempar kotoran unta, diwaktu sedang menunaikan Shalat dicekik lehernya, dipencilkan
(diembargo sampai kelaparan) dan lain-lain perbuatan keji. Para pengikutnya juga tidak lepas dari ujian
dakwah ini terutama mereka yang lemah kedudukan sosialnya (para hamba sahaya) disiksa diluar batas
kemanusiaan seperti Bilal bin Robah r.a., Amar bin Yasir r.a., bahkan ada diantara mereka yang disiksa
sampai mati seperti ayah dan ibu Amar bin Yasir. r.a.

Gangguan ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Dan ingatlah ketika orang-orang kafir Qiraisy memikirkan daya upaya terhadapmu untuk
menangkap dan memenjarakanmu, atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu
daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya”. (Al Anfaal : 30)

Dalam menghadapi tantangan dan tekanan berat kaum Musyrikin ini Allah SWT hanya
memerintahkan kepada Rasulullah SAW dan pengikutnya agar tetap bersabar, berlapang dada,
memaafkan dan menahan tangan jangan sampai membalas dengan fisik.

Allah SWT berfirman:

“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang
baik. Dan biarkanlah Aku saja bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang
yang mempunyai kemewahan dan beri tangguhlah mereka barang sebentar” (Al Muzzammil : 10-11)

Dan firman-Nya lagi:

“Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik. Sesungguhnya mereka memandang siksaan
itu jauh (mustahil) sedang kami memandangnya dekat (pasti terjadi)”. (Al Ma’arij: 5,6,7)

 
Dan firman-Nya lagi:

 “..... tahanlah tanganmu (dari berperang) dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat .....  ”. (An
Nisaa’ : 77)

Keterangan:

Itulah beberapa ayat Al Quran yang memerintahkan Rasulullah SAW dan para pengikutnya agar
tetap sabar dan berlapang dada dalam menghadapi tekanan dan tantangan dan tekanan kaum
Musyrikin dalam dakwah Beliau di Mekah.

Maka berkat bimbingan Allah SWT ini para Rasul termasuk Rasulullah SAW mampu bersikap
sabar dan tawakal.

Seperti yang diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Mengapa kami tidak akan bertawakal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan
kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu
lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja, orang-orang yang bertawakal itu berserah diri”.
(Ibraahim : 12)

Bentuk-bentuk kemusyrikan yang harus diberantas di dalam melaksanakan dakah menegakkan


tauhid ialah:

a)          Kemusyrikan yang berupa benda-benda mati yang disembah: patung, kuburan yang
dikeramatkan, benda-benda yang dianggap keramat seperti keris, batu akik, besi kuning dan lain-lain.

b)          Kemusyrikan yang berupa makhluq hidup yang disembah seperti dukun-dukun yang
mengaku mengakui barang ghaib, para normal, ulama’-ulama’ yang berfatwa manghalalkan hal yang
diharamkan oleh Allah dan sebaliknya dan lain-lain.

c)           Kemusyrikan ideologi / ajaran buatan manusia yang jelas-jelas bertentangan dengan
syariat Islam seperti demokrasi, nasionalis, sosialis, sekuler, liberal dan lain-lain.

d)          Kemusyrikan yang berupa pemerintahan / negara yang menolak Islam sebagai dasar
negara dan menolak syariat Islam sebagai hukum positifnya.

Catatan dari penjara seri 16


Dinul Islam wajib diamalkan sacara Berjamaah
Dengan kekuasaan politik yang sistemnya Khilafah

 
Catatan dari penjara seri 16 redaksi menampilkan tulisan ustad Abu Bakar Ba’asyir yang menguraikan
tentang bagaimana dinul islam wajib diamalkan secara berjamaah dengan kekuasaan politik yang
sistemnya Khilafah khususnya tentang sunnah Nabi SAW dalam mendakwahkan dan menegakkan dinul
Islam melalui langkah yang kedua dan ketiga yaitu berhijrah dan menyusun kekuatan dan berdakwah
dan berjihad dijalan Allah SWT .

Selamat Menyimak (saveabb.com/red)

b.             Langkah Kedua

Berhijrah dan menyusun kekuatan.

Tekanan dan gangguan kaum Musyrikin dalam menghadapi Dakwah Tauhid ini semakin hari semakin
menjadi-jadi, bukannya berkurang, namun meskipun demikian Rasulullah SAW sama sekali tidak
mengendurkan dan melemahkan dakwahnya, bahkan Baginda SAW tetap bersemangat di dalam
berdakwah dan memberantas kesyirikan tanpa bertoleransi sedikitpun. Sehingga pernah ditawarkan
kepada Rasulullah SAW kedudukan dan kekayaan asal Beliau bersedia menghentikan Dakwah Tauhid ini,
tawaran itu ditolaknya dengan tegas dan Baginda Rasulullah SAW bertekad terus melancarkan Dakwah
dan menyerang kemusyrikan, maka makin keraslah tekanan terhadap Beliau dan para pengikutnya.
Ketika tantangan dan tekanan makin kuat, sedang pengikutnya masih lemah maka Baginda SAW
memerintahkan sebagian sahabatnya untuk berhijrah ke negeri Habash sedang Beliau SAW dan
beberapa sahabatnya yang masih kuat terus giat melancarkan Dakwah tanpa sedikitpun bertoleransi
dengan kemusyrikan.

Ketika tantangan dan tekanan mencapai puncaknya, yakni sampai kepada usaha untuk membunuh Nabi
SAW, maka Allah SWT memerintahkan Baginda SAW untuk berhijrah ke Madinah dan Bagindapun
melaksanakan perintah itu dengan baik. Disamping itu juga Rasulullah SAW memerintahkan sahabatnya
agar semuanya berhijrah ke Madinah kecuali yang lemah dan tidak ada kemampuan.

Hijrah ke Madinah ini hukumnya wajib, karena ia dapat menyatukan tenaga dan menyusun kekuatan
fisik untuk bergabung dalam pasukan Mujahidin dalam rangka menghadapi tekanan kaum Musyrikin
apabila sudah ada izin dari Allah nanti.
Mereka yang tidak bersedia berhijrah bukan karena lemah tetapi hanya karena pertimbangan kekayaan
dunia, akhirnya benar-benar dipaksa untuk bergabung kedalam pasukan kaum Musyrikin untuk
memerangi kaum Muslimin di perang Badar dan diantara mereka ada yang terbunuh dan dinyatakan
oleh Allah SWT sebagai orang yang menganiaya dirinya dan tempatnya kelak di neraka.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:


“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri (kepada
mereka) malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’. Mereka menjawab: ‘Adalah kami
orang-orang yang tertindas di negeri Mekah’. Para malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas,
sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’. Orang-orang itu tempatnya neraka jahanam dan jahanam
itu seburuk-buruknya tempat kembali” (An Nisaa’ : 97)

Setelah Rasulullah SAW sampai di Madinah, langkah-langkah yang dilakukan ialah:

 Mendirikan masjid sebagai tempat ibadah dan markas pentakbiran / pengurusan iqomatudin
(perjuangan menegakkan Islam).

 Memperkuat Ukhuwah Islamiyah antara kaum Muhajirin dan Anshor.

 Mendirikan Daulah Islamiyah meskipun rakyatnya terdiri dari berbagai kaum dan kepercayaan
(pluralitas). Baginda SAW memegang pimpinan negara tertinggi sedang Syariat Islam sebagai
hukum positifnya.

 Menyusun kekuatan senjata sesuai dengan perintah Allah SWT dalam firman-Nya:

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari
kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh
Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya sedang Allah
mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup
kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”. (Al Anfaal : 60)

Dalam pelaksanaan Iqomatun Dien ini, kaum Muhajirin dan kaum Ansor adalah merupakan kader inti
yang banyak berkorban. Kaum Muhajirin telah berkorban dengan berhijrah meninggalkan kampung
halaman dan harta mereka, sedang kaum Ansor penduduk asli Madinah telah berkorban pula
menyediakan tempat tinggal dan memberi pertolongan kepada saudara mereka kaum Muhajirin.
Mereka inilah soko gurunya kaum Muslimin yang amat berjasa menegakkan Dinul Islam dengan
melaksanakan Dakwah dan Jihad di jalan Allah dengan penuh semangat dan keihlasan dan penuh
pengorbanan. Oleh karena itu Allah menyatakan bahwa mereka benar-benar Mukmin sejati dan sebagai
penolong Dinullah.

Allah SWT berfirman:


“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dan orang-orang yang
memberi tempat kediaman dan memberi petolongan (kepada orang orang muhajirin) mereka itulah
orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang
mulia”. (Al Anfaal : 74).

Dan fiman-Nya lagi:


“Bagi para Fuqoroh yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka
karena mencari karunia dari Allah dan keridhoan Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul Nya,
mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan
telah beriman (yakni kaum ansor) sebelum kedatangan mereka (yakni kaum muhajirin), mereka
mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati
mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (yakni kaum muhajirin) dan mereka (yakni
kaum ansor) mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka
memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang diperlihara dari kekikiran dirinya mereka
itulah orang-orang yang beruntung”. (Al Hasyru : 8 dan 9)

Oleh karena itu Allah SWT meridhoi kaum Muhajirin dan kaum Ansor dan orang-orang berIman setelah
mereka yang mengikuti jejak langkah mereka. Allah SWT menerangkan hal ini dalam firman-Nya:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam diantara orang-orang muhajirin dan
ansor dan orang-orang yang mengikut mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (At Taubah : 100)

 
c.              Langkah Ketiga

Berdakwah dan berjihad di jalan Allah

Setelah kekuatan senjata tersusun maka Allah SWT membolehkan berjihad untuk membela diri karena
di dholimi.

Allah SWT berfirman:


“Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah
dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. Yaitu orang-orang
yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka
berkata: ‘Tuhan kami hanyalah Allah’. Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian
manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah di robohkan biara-biara nasrani, gereja-gereja,
rumah-rumah ibadat orang yahudi dan masjid-masjid yang didalamnya banyak disebut nama Allah.
Sesunguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong agamanya. Sesungguhnya Allah benar-benar
Maha Kuat lagi Maha Perkasa’. (Al Hajj: 39, 40)

Selanjutnya setelah kaum Muslimin makin kokoh kedudukannya, Allah SWT mengizinkan memerangi
orang Kafir secara mutlak sampai mereka menyerah tidak berani lagi menghalangi Dakwah Islamiyah
dan membayar jisiyah atau masuk Islam.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:


“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula pada hari kemudian dan
mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul Nya dan tidak beragama
dengan agama yang benar (agama Allah), yaitu orang-orang yang diberikan alkitab kepada mereka,
sampai mereka membayar jisyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk” (At Taubah : 29)

Firman-Nya lagi:
“Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika
mereka berhenti dari kekafiran, maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan ” (Al
Anfaal : 39)
Selama Baginda SAW di Madinah selama sepuluh tahun Baginda SAW mengobarkan semangat Jihad dan
mengamalkan Jihad lebih kurang 80 kali dan yang Baginda SAW pimpin sendiri lebih kurang 27 kali.

Hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT dalam firman-Nya:


“Hai nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang
sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus
orang yang sabar diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu dari pada orang-orang kafir,
disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti”. (Al Anfaal : 65)

Dan firman-Nya lagi:


“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu
sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Mudah-mudahan Allah menolak
serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksa Nya”. (An Nisaa’ :
84)

Sejak itu perkembangan Dinul Islam mengalami kemajuan yang amat pesat, bahkan akhirnya markas
pusat kaum Musyrikin yakni kota Mekah dapat ditaklukkan dan berhala-berhala sesembahan kaum
Musyrikin berhasil ditumbangkan dan dibersihkan dari Ka’bah dan dari seluruh kota, maka tegaklah
bendera Tauhid dan hancurlah Kemusyrikan. Kebenaran berdiri tegak kebathilan hancur musnah.

Allah SWT berfirman:


“Dan katakanlah yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap. Sesungguhnya yang bathil itu
adalah sesuatu yang pasti lenyap” (Al Israa’ : 81)

Dan firman Nya lagi:


“Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang bathil lalu yang haq itu menghancurkannya,
maka dengan serta merta yang bathil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati
(Allah dengan sifat-sifat yang tak layak bagi Nya)” (Al Anbiyaa’ : 18)

Maka kenyatan ini menunjukkan bahwa benar-benar Allah SWT telah menjadikan kalimat orang kafir
rendah dan kalimat Allah SWT tinggi tiada yang berani mengatasi, Allahu Akbar.
Allah SWT berfirman:
“ ... dan Allah menjadikan seruan-seruan orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang
tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (At Taubah : 40)

Ketika Nabi SAW wafat, hampir seluruh jazirah Arab takluk dibawah kekuasaan Islam yang dipimpin oleh
Nabi SAW. Selanjutnya Sunnah Nabi SAW dalam mengembangkan dan menegakkan Dinul Islam ini
diikuti oleh para sahabatnya yang meneruskan Risalah Nabi, yakni Dakwah dan Jihad, sehingga Islam
berjaya menjadi penguasa dunia yang besar dan tersebar luaslah keadilan, kemakmuran dan
ketenteraman selama berabad-abad lamanya, maka terbuktilah bahwa diutusnya Nabi Muhammad SAW
adalah merupakan rahmat bagi alam semesta.

Allah SWT berfirman:


“Dan tiadalah kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” (Al Ambiyaa’ :
107)

Maka dari sirah Nabi SAW yang telah diterangkan secara ringkas itu tadi, kita dapat mengambil pelajaran
penting bagaimana cara untuk memperjuangkan Dinul Islam yang garis besarnya adalah sebagai berikut:

 i.              Bahwa dalam medakwahkan dan menegakkan Dinul Islam Rasulullah SAW tidak bertindak
mengikuti kemauannya sendiri tetapi selalu menunggu bimbingan wahyu dari Allah SWT dan
wahyu tersebut benar-benar ditaati dengan sempurna.

ii.              Bimbingan wahyu itu ialah:

         Perintah berdakwah baik secara rahasia maupun secara terang-terangan.

         Perintah terus berdakwah menegakkan Tauhid memberantas kemusryikan dan tidak
boleh toleransi dengan kemusyrikan meskipun dalam posisi yang sempit dan sulit.

         Perintah bersabar dalam menghadapi tantangan dan tekanan kaum Musyrikin dan tidak
boleh melawan mereka dengan fisik.
         Perintah berhijrah ke Madinah ketika tekanan sudah mencapai taraf memuncak yakni
usaha pembunuhan sedang pendukung di Mahjar (tempat berhijrah ) sudah cukup.

         Perintah berI’dat (membuat persiapan) untuk menyusun kekuatan senjata.

         Perintah berjihad untuk menghadapi tekanan kaum Musyrikin apabila kekuatan senjata
sudah dianggap cukup dan selanjutnya perintah mengobarkan Jihad untuk melawan
orang-orang Kafir sampai mereka masuk Islam atau tunduk menyerah sehingga tidak
berani mengganggu Dakwah dan membayar jisyah.

Inilah petunjuk dan bimbingan Allah SWT kepada Nabi SAW di dalam usaha berjuang menyebarluaskan
dan menegakkan Islam, amalan nabi ini adalah menjadi Sunnahnya yang harus diikuti oleh umat Islam
yang ingin berjuang menyebarluaskan dan menegakkan Islam.

Catatan dari penjara seri 16


Dinul Islam wajib diamalkan sacara Berjamaah
Dengan kekuasaan politik yang sistemnya Khilafah

Catatan dari penjara seri 16 redaksi menampilkan tulisan ustad Abu Bakar Ba’asyir yang menguraikan
tentang bagaimana dinul islam wajib diamalkan secara berjamaah dengan kekuasaan politik yang
sistemnya Khilafah khususnya tentang sunnah Nabi SAW dalam mendakwahkan dan menegakkan dinul
Islam melalui langkah yang kedua dan ketiga yaitu berhijrah dan menyusun kekuatan dan berdakwah
dan berjihad dijalan Allah SWT .

Selamat Menyimak (saveabb.com/red)

b.             Langkah Kedua

Berhijrah dan menyusun kekuatan.


Tekanan dan gangguan kaum Musyrikin dalam menghadapi Dakwah Tauhid ini semakin hari semakin
menjadi-jadi, bukannya berkurang, namun meskipun demikian Rasulullah SAW sama sekali tidak
mengendurkan dan melemahkan dakwahnya, bahkan Baginda SAW tetap bersemangat di dalam
berdakwah dan memberantas kesyirikan tanpa bertoleransi sedikitpun. Sehingga pernah ditawarkan
kepada Rasulullah SAW kedudukan dan kekayaan asal Beliau bersedia menghentikan Dakwah Tauhid ini,
tawaran itu ditolaknya dengan tegas dan Baginda Rasulullah SAW bertekad terus melancarkan Dakwah
dan menyerang kemusyrikan, maka makin keraslah tekanan terhadap Beliau dan para pengikutnya.
Ketika tantangan dan tekanan makin kuat, sedang pengikutnya masih lemah maka Baginda SAW
memerintahkan sebagian sahabatnya untuk berhijrah ke negeri Habash sedang Beliau SAW dan
beberapa sahabatnya yang masih kuat terus giat melancarkan Dakwah tanpa sedikitpun bertoleransi
dengan kemusyrikan.

Ketika tantangan dan tekanan mencapai puncaknya, yakni sampai kepada usaha untuk membunuh Nabi
SAW, maka Allah SWT memerintahkan Baginda SAW untuk berhijrah ke Madinah dan Bagindapun
melaksanakan perintah itu dengan baik. Disamping itu juga Rasulullah SAW memerintahkan sahabatnya
agar semuanya berhijrah ke Madinah kecuali yang lemah dan tidak ada kemampuan.

Hijrah ke Madinah ini hukumnya wajib, karena ia dapat menyatukan tenaga dan menyusun kekuatan
fisik untuk bergabung dalam pasukan Mujahidin dalam rangka menghadapi tekanan kaum Musyrikin
apabila sudah ada izin dari Allah nanti.

Mereka yang tidak bersedia berhijrah bukan karena lemah tetapi hanya karena pertimbangan kekayaan
dunia, akhirnya benar-benar dipaksa untuk bergabung kedalam pasukan kaum Musyrikin untuk
memerangi kaum Muslimin di perang Badar dan diantara mereka ada yang terbunuh dan dinyatakan
oleh Allah SWT sebagai orang yang menganiaya dirinya dan tempatnya kelak di neraka.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:


“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri (kepada
mereka) malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’. Mereka menjawab: ‘Adalah kami
orang-orang yang tertindas di negeri Mekah’. Para malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas,
sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’. Orang-orang itu tempatnya neraka jahanam dan jahanam
itu seburuk-buruknya tempat kembali” (An Nisaa’ : 97)

Setelah Rasulullah SAW sampai di Madinah, langkah-langkah yang dilakukan ialah:

 Mendirikan masjid sebagai tempat ibadah dan markas pentakbiran / pengurusan iqomatudin
(perjuangan menegakkan Islam).

 Memperkuat Ukhuwah Islamiyah antara kaum Muhajirin dan Anshor.

 Mendirikan Daulah Islamiyah meskipun rakyatnya terdiri dari berbagai kaum dan kepercayaan
(pluralitas). Baginda SAW memegang pimpinan negara tertinggi sedang Syariat Islam sebagai
hukum positifnya.

 Menyusun kekuatan senjata sesuai dengan perintah Allah SWT dalam firman-Nya:

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari
kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh
Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya sedang Allah
mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup
kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”. (Al Anfaal : 60)

Dalam pelaksanaan Iqomatun Dien ini, kaum Muhajirin dan kaum Ansor adalah merupakan kader inti
yang banyak berkorban. Kaum Muhajirin telah berkorban dengan berhijrah meninggalkan kampung
halaman dan harta mereka, sedang kaum Ansor penduduk asli Madinah telah berkorban pula
menyediakan tempat tinggal dan memberi pertolongan kepada saudara mereka kaum Muhajirin.
Mereka inilah soko gurunya kaum Muslimin yang amat berjasa menegakkan Dinul Islam dengan
melaksanakan Dakwah dan Jihad di jalan Allah dengan penuh semangat dan keihlasan dan penuh
pengorbanan. Oleh karena itu Allah menyatakan bahwa mereka benar-benar Mukmin sejati dan sebagai
penolong Dinullah.

Allah SWT berfirman:


“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dan orang-orang yang
memberi tempat kediaman dan memberi petolongan (kepada orang orang muhajirin) mereka itulah
orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang
mulia”. (Al Anfaal : 74).

Dan fiman-Nya lagi:


“Bagi para Fuqoroh yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka
karena mencari karunia dari Allah dan keridhoan Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul Nya,
mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan
telah beriman (yakni kaum ansor) sebelum kedatangan mereka (yakni kaum muhajirin), mereka
mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati
mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (yakni kaum muhajirin) dan mereka (yakni
kaum ansor) mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka
memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang diperlihara dari kekikiran dirinya mereka
itulah orang-orang yang beruntung”. (Al Hasyru : 8 dan 9)

Oleh karena itu Allah SWT meridhoi kaum Muhajirin dan kaum Ansor dan orang-orang berIman setelah
mereka yang mengikuti jejak langkah mereka. Allah SWT menerangkan hal ini dalam firman-Nya:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam diantara orang-orang muhajirin dan
ansor dan orang-orang yang mengikut mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (At Taubah : 100)

c.              Langkah Ketiga

Berdakwah dan berjihad di jalan Allah

Setelah kekuatan senjata tersusun maka Allah SWT membolehkan berjihad untuk membela diri karena
di dholimi.

Allah SWT berfirman:


“Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah
dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. Yaitu orang-orang
yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka
berkata: ‘Tuhan kami hanyalah Allah’. Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian
manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah di robohkan biara-biara nasrani, gereja-gereja,
rumah-rumah ibadat orang yahudi dan masjid-masjid yang didalamnya banyak disebut nama Allah.
Sesunguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong agamanya. Sesungguhnya Allah benar-benar
Maha Kuat lagi Maha Perkasa’. (Al Hajj: 39, 40)

Selanjutnya setelah kaum Muslimin makin kokoh kedudukannya, Allah SWT mengizinkan memerangi
orang Kafir secara mutlak sampai mereka menyerah tidak berani lagi menghalangi Dakwah Islamiyah
dan membayar jisiyah atau masuk Islam.

Hal ini diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:


“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula pada hari kemudian dan
mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul Nya dan tidak beragama
dengan agama yang benar (agama Allah), yaitu orang-orang yang diberikan alkitab kepada mereka,
sampai mereka membayar jisyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk” (At Taubah : 29)

Firman-Nya lagi:
“Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika
mereka berhenti dari kekafiran, maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan ” (Al
Anfaal : 39)

Selama Baginda SAW di Madinah selama sepuluh tahun Baginda SAW mengobarkan semangat Jihad dan
mengamalkan Jihad lebih kurang 80 kali dan yang Baginda SAW pimpin sendiri lebih kurang 27 kali.

Hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT dalam firman-Nya:


“Hai nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang
sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus
orang yang sabar diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu dari pada orang-orang kafir,
disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti”. (Al Anfaal : 65)
Dan firman-Nya lagi:
“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu
sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Mudah-mudahan Allah menolak
serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksa Nya”. (An Nisaa’ :
84)

Sejak itu perkembangan Dinul Islam mengalami kemajuan yang amat pesat, bahkan akhirnya markas
pusat kaum Musyrikin yakni kota Mekah dapat ditaklukkan dan berhala-berhala sesembahan kaum
Musyrikin berhasil ditumbangkan dan dibersihkan dari Ka’bah dan dari seluruh kota, maka tegaklah
bendera Tauhid dan hancurlah Kemusyrikan. Kebenaran berdiri tegak kebathilan hancur musnah.

Allah SWT berfirman:


“Dan katakanlah yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap. Sesungguhnya yang bathil itu
adalah sesuatu yang pasti lenyap” (Al Israa’ : 81)

Dan firman Nya lagi:


“Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang bathil lalu yang haq itu menghancurkannya,
maka dengan serta merta yang bathil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati
(Allah dengan sifat-sifat yang tak layak bagi Nya)” (Al Anbiyaa’ : 18)

Maka kenyatan ini menunjukkan bahwa benar-benar Allah SWT telah menjadikan kalimat orang kafir
rendah dan kalimat Allah SWT tinggi tiada yang berani mengatasi, Allahu Akbar.

Allah SWT berfirman:


“ ... dan Allah menjadikan seruan-seruan orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang
tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (At Taubah : 40)

Ketika Nabi SAW wafat, hampir seluruh jazirah Arab takluk dibawah kekuasaan Islam yang dipimpin oleh
Nabi SAW. Selanjutnya Sunnah Nabi SAW dalam mengembangkan dan menegakkan Dinul Islam ini
diikuti oleh para sahabatnya yang meneruskan Risalah Nabi, yakni Dakwah dan Jihad, sehingga Islam
berjaya menjadi penguasa dunia yang besar dan tersebar luaslah keadilan, kemakmuran dan
ketenteraman selama berabad-abad lamanya, maka terbuktilah bahwa diutusnya Nabi Muhammad SAW
adalah merupakan rahmat bagi alam semesta.

Allah SWT berfirman:


“Dan tiadalah kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” (Al Ambiyaa’ :
107)

Maka dari sirah Nabi SAW yang telah diterangkan secara ringkas itu tadi, kita dapat mengambil pelajaran
penting bagaimana cara untuk memperjuangkan Dinul Islam yang garis besarnya adalah sebagai berikut:

 i.              Bahwa dalam medakwahkan dan menegakkan Dinul Islam Rasulullah SAW tidak bertindak
mengikuti kemauannya sendiri tetapi selalu menunggu bimbingan wahyu dari Allah SWT dan
wahyu tersebut benar-benar ditaati dengan sempurna.

ii.              Bimbingan wahyu itu ialah:

         Perintah berdakwah baik secara rahasia maupun secara terang-terangan.

         Perintah terus berdakwah menegakkan Tauhid memberantas kemusryikan dan tidak
boleh toleransi dengan kemusyrikan meskipun dalam posisi yang sempit dan sulit.

         Perintah bersabar dalam menghadapi tantangan dan tekanan kaum Musyrikin dan tidak
boleh melawan mereka dengan fisik.

         Perintah berhijrah ke Madinah ketika tekanan sudah mencapai taraf memuncak yakni
usaha pembunuhan sedang pendukung di Mahjar (tempat berhijrah ) sudah cukup.

         Perintah berI’dat (membuat persiapan) untuk menyusun kekuatan senjata.

         Perintah berjihad untuk menghadapi tekanan kaum Musyrikin apabila kekuatan senjata
sudah dianggap cukup dan selanjutnya perintah mengobarkan Jihad untuk melawan
orang-orang Kafir sampai mereka masuk Islam atau tunduk menyerah sehingga tidak
berani mengganggu Dakwah dan membayar jisyah.

 
Inilah petunjuk dan bimbingan Allah SWT kepada Nabi SAW di dalam usaha berjuang menyebarluaskan
dan menegakkan Islam, amalan nabi ini adalah menjadi Sunnahnya yang harus diikuti oleh umat Islam
yang ingin berjuang menyebarluaskan dan menegakkan Islam.

Catatan dari penjara seri 17

Dinul Islam wajib diamalkan sacara Berjamaah

Dengan kekuasaan politik yang sistemnya Khilafah

Catatan dari penjara seri 17 redaksi menampilkan tulisan ustad Abu Bakar Ba’asyir yang menguraikan
tentang bagaimana dinul islam wajib diamalkan secara berjamaah dengan kekuasaan politik yang
sistemnya Khilafah khususnya tentang Iman,Hijrah dan Jihad dan cara mengamalkan dan menegakkan
Dinul Islam pada Zaman Sekarang

Selamat Menyimak (saveabb.com/red)

Setelah kita telaah sirah Nabi SAW dan kita ambil pelajaran darinya, maka kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa secara garis besar bimbingan yang diberikan oleh Allah SWT kepada Nabi SAW
didalam menyebarluaskan dan menegakkan Dinul Islam yang akhirnya merupakan Sunnah Nabi SAW
dalam perjuangan iqomatudien ialah dapat kita simpulkan menjadi 3 langkah saja

IMAN    HIJRAH JIHAD

Keterangan:

1.             Yang dimaksud Iman ialah berdakwah untuk membina Tauhid dan Iman ini diamalkan oleh
Rasulullah SAW`selama di Mekah selama 13 tahun dan dilanjutkan terus sampai Baginda wafat
selanjutnya diteruskan oleh para sahabat dan umat Islam setelah sahabat.

2.             Yang dimaksud dengan Hijrah ialah pindah ketempat yang lebih aman untuk menghindarkan diri
dari tekanan kaum Musyrikin bagi mereka yang lemah dan pindah secara total kepada tempat
yang lebih aman yang kuat pendukungnya yang sudah dipersiapkan untuk dapat terus
melaksanakan Ibadah, Dakwah dan pembinaan Iman, sehingga bebas dari penindasan kaum
Musyrikin dan dapat meningkatkan perjuangan dengan pembinaan kekuatan senjata. Ini
diamalkan oleh sahabat Nabi dengan hijrah ke negeri Habasah atas perintah Nabi bagi sahabat
yang dianggap lemah dan diamalkan oleh Nabi SAW dengan seluruh sahabatnya berhijrah ke
Madinah atas perintah Allah SWT. Yang selanjutnya disusul oleh semua sahabat-sahabat yang
mampu dan baik imannya.

3.            Menegakkan Daulah Islamiyah sehingga semua hukum Allah SWT dapat dilaksanakan secara
sempurna dan murni.

4.             Yang dimaksud dengan Jihad Fisabilillah ialah perjuangan menegakkan Islam dengan cara
memerangi orang kafir yang memerangi umat Islam dan dengan cara memerangi orang kafir
secara mutlak, sehingga tidak menghalangi Dakwah Islam lagi sehingga orang-orang yang ingin
belajar Islam dengan benar dan ingin masuk Islam benar-benar bebas dari halangan, dan dakwah
dapat digencarkan dengan bebas. Ini diamalkan oleh Rasulullah SAW setelah berhijrah di Madinah
sampai Baginda SAW wafat dan dilanjutkan oleh para sahabatnya dan orang-orang Islam yang
hidup sesudah sahabat sehingga Dinul Islam mengalami kejayaan yang menakjubkan berabad-
abad.

CARA MENDAKWAHKAN DAN MENEGAKKAN DINUL ISLAM PADA ZAMAN SEKARANG

Dinul Islam pada masa sekarang ini sudah lengkap semua panduan dan bimbingan yang terkandung di
dalam Al Quranul karim telah sempurna dan Dinul Islam telah diridhoi Allah SWT sebagai satu-satunya
Dien bagi manusia.

Sebagaimana yang diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

 “... pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu dan Ku cukupkan kepadamu nikmatKu,
dan telah Ku ridhoi Islam itu jadi agama bagimu ...” (Al Maa-idah : 3)
 

Disamping itu keutuhan dan kemurnian Syariat Islam dijaga oleh Allah SWT sehingga bertahan sampai
hari kiamat. Tidak akan berubah karena perubahan zaman dan tempat.

Seperti yang diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

“Kami lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (Al Hijr : 9)

Demikian pula panduan dan bimbingan untuk mendakwah dan menegakkan Dinul Islam juga masih
segar sempurna tidak lapuk, maka kewajiban kita adalah memahami perkara itu yang selanjutnya
mengamalkan apa yang sudah pernah diamalkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya menurut
kemampuan yang ada, sebab Allah SWT memerintahkan agar kita umat Islam mengamalkan semua
perintah dan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya SAW menurut kemampuan.

Dalam firman-Nya:

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kemampuanmu ......”. (At Taghaabun : 16)

Dan Rasulullah SAW juga bersabda dalam riwayat dibawah ini:

Diriwayatkan dari Abu Huroiroh r.a., beliau berkata: “Telah bersabda Rasulullah SAW: ‘Apabila aku
perintahkan kepadamu suatu perintah, laksanakanlah menurut kemampuanmu” (HR Ibnu Majah).

 
Maka kewajiaban kita sekarang harus mengamalkan semua perintah Allah SWT dan meneladani semua
Sunnah Nabi SAW dalam persoalan mendakwahkan dan menegakkan Dinul Islam ini menurut
kemampuan yang ada, tidak boleh ada yang sengaja ditinggalkan.

Maka perintah berdakwah dan bertabligh untuk menerangkan Islam yang murni dan Kaaffah dan
memberantas berbagai kemusyrikan harus kita amalkan menurut kemampuan yang ada. Perintah
bersabar menghadapi tantangan dan tekanan musuh Islam dikala masih lemah harus kita amalkan
menurut kemampuan yang ada, sehingga tidak melawan tekanan musuh dakwah dengan fisik karena
emosi.

Perintah berjihad di jalan Allah untuk membela diri dan memerangi orang Kafir harus kita usahakan
apabila belum mampu, harus kita amalkan i’dat (menyusun kekuatan senjata) menurut kemampuan
yang ada.

Maka setiap Harakah Islamiyah (gerakan Islam / Ormas Islam) yang bercita-cita mendakwahkan dan
menegakkan Dinul Islam harus menyusun program yang meliputi semua perintah Allah tersebut diatas
jangan ada yang sengaja ditinggalkan. Yakni jangan sampai hanya menyusun Dakwah dan Tabligh saja
sedang I’dat dan Jihad tidak diprogramkan sama sekali. Sebaliknya jangan pula hanya menyusun
program I’dat dan Jihad saja sedang Dakwah dan Tabligh tidak diprogramkan sama sekali. Langkah-
langkah semacam ini adalah bertentangan dengan Sunnah Nabi SAW dalam menegakkan Dinul Islam.
Maka secara lebih ringkas Sunnah Nabi dalam iqomatudin kita rumuskan menjadi:

DAHWAH DAN JIHAD

Amalan dakwah dimaksudkan untuk pembinaan Tauhid dan Iman dengan menerangkan aqidah dan
Syariat Islam secara murni dan Kaaffah. Sedang amalan Jihad yang melalui proses hijrah dan I’dat
dimaksudkan untuk melawan serangan musuh dan menegakkan kembali kekuasaan Islam (Daulah /
Khilafah).

Maka DAKWAH  dan JIHAD  harus menjadi program setiap Harakah Islamiyah / Ormas Islam yang ingin
menegakkan Dinul Islam pada zaman sekarang. Apabila salah satu dari dua hal tersebut diatas sengaja
ditinggalkan tidak diusahakan secara proaktif dan diamalkan menurut kemampuan, maka Allah SWT
tidak meridhoi dan tidak menerima perjuangan yang tidak sempurna memprogramkan Sunnah Nabi
tersebut dan tidak berkenan menolong untuk memberi kemenangan karena langkah ini menyalahi
Sunnah Nabi SAW.

Termasuk langkah memperjuangkan Islam yang tidak diterima oleh Allah SWT karena menyalahi Sunnah
Nabi SAW adalah memperjuangkan Islam dengan sistem Demokrasi. Karena semua itu adalah sistem
hidup dan perjuangan yang mennetang kadaulatan Allah SWT untuk menetapkan tatanan dan undang-
undang untuk mengatur kehidupan manusia. Oleh karenanya sistem demokrasi adalah bertentangan
dengan sunnah nabi SAW.

Nabi SAW`bersabda:

“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak bersumber dari ajaran kami maka perbuatan itu tertolak
(tidak sah)” (HR Muslim).

Bahkan banyak para ulama terkini pengikut ulama shalat yang antara lain ulama Mujahid, Syeikh Abdul
Qadir bin Abdul Aziz dalam kitab beliau “Al Jami’ Fii Tholabil Ilmii Syarif” menegaskan bahwa
memperjuangkan Islam dengan sistem Demokrasi adalah membawa kemurtadan karena demokrasi
adalah ajaran syirik karena ia merampas kadaulatan Allah dalam menetapkan undang-undang dan
diberikan kepada rakyat, maka siapa yang mengamalkannya menjadi musyrik. Hati-hati.
 

Untuk lebih jelasnya, disini saya kutipkan kesimpulan uraian yang ditulis oleh Syeikh Abdul Qadir bin
Abdul Aziz dalam kitabnya “Al Jami’ Fii Tholabil Ilmii Syarif juz ke XII halaman 211 – 221” tentang Metode
Perjuangan Islam, beliau menyimpulkan sebagai berikut:

“Saya simpulkan apa yang telah dibahas sebelumnya, saya katakan; ‘Sesungguhnya cara kaum Muslimin
dalam merubah pemerintahan Kafir adalah dengan Dakwah dengan berbagai macam bentuknya, setelah
memiliki manhaj yang benar dan akidah yang lurus, dibarengi dengan menyatakan kebenaran dengan
terang-terangan dan berlepas diri dari orang-orang Kafir dan kekafiran mereka, bukan dengan cara
mengikuti kekafiran mereka seperti menyertai mereka dalam pemerintahan Sekuler atau parlemen
Syirik, akan tetapi berlepas diri dan memisahkan diri sehingga terjadi pemisahan barisan, dengan
bersabar diatas siksaan orang-orang Kafir dan mencari pertolongan dari orang-orang Mukmin sampai
terbentuk suatu jamaah yang kuat yang mampu untuk melakukan perubahan dan mampu menjalankan
hukum Islam apabila Allah SWT memenangkannya. Dan ini merupakan kewajiban seluruh umat Islam,
sedang kewajiban bagi tiap-tiap individu adalah berusaha untuk merealisasikan hal itu sesuai dengan
kemampuannya”.

Allah SWT berfirman:

“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarroh pun niscaya dia akan melihat (balasan) Nya.
dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarroh pun niscaya dia akan melihat (balasan)
Nya pula”. (Az Zalzalah : 7 -8)

Dan wajib untuk menjadikan kekhususan setiap negara dan kekhususan penduduknya sebagai bahan
pertimbangan dan hendaknya setiap permasalahan itu diserahkan kepada ahlinya.

Pemerintah Mencuri Start Mengadili Ustadz Ba’asyir


Saturday, 05 February 2011 08:08 | Written by saveabb.com/AF | | |

Jum’at (4/2)- Redaksi saveabb.com menerima SMS dari pengurus Jamaah anshorut tauhid (JAT)
Wilayah Jakarta yang mengabarkan bahwa ustadz Abu Ba’kar Ba’asyir akan segera disidang
pada hari kamis tanggal 10 Februari 2011 di pengadilan negeri Jakarta Selatan. Kabar yang
senada juga di sampaikan oleh Tim Pembela muslim (TPM) melalui Ahmad Michdan selaku
kuasa hukum ustadz Abu melalui sms dan di lansir juga di beberapa media.

Agenda persidangan ustad Abu ini terasa begitu aneh dan ganjil karena selain begitu mendadak,
kabar terakhir yang kami terima bahwa jaksa penuntut umum (JPU) tidak siap untuk mendakwa
ustad Abu di karenakan kekurangan bukti  dan saksi dan kehabisan dana yang dikucurkan
melalui tangan densus 88 anti teror

Persidangan yang semestinya diagendakan akhir bulan Februari atau awal bulan Maret ini
mendadak di agendakan lebih cepat dari jadwal yang di perkirakan.setidaknya terlihat  aneh dan
kental sekali  muatan politis dibalik pemajuan jadwal  persidangan ini.

Suhu politik negara – negara timur tengah dan di benua afrika yang tengah bergejolak seperti
tunisia,mesir dan yaman  setidaknya menyedot perhatian kaum muslimin dibelahan dunia
termasuk Indonesia, semua mata dan perhatian kaum muslimin tertuju menyimak dan seolah
tidak mau lepas dari perkembangan negara – negara tersebut.Belum lagi explorasi besar –
besaran oleh media seolah menguatkan pemberitaan tersebut.

Maka tidak berlebihan kalau kami menilai pemajuan sidang ustad Abu Bakar Ba’asyir adalah
memanfaatkan momen ketika umat islam di Indonesia perhatiannya tertuju ke arah gejolak timur
tengah dengan harapan perhatian terhadap ustad Abu sedang melemah sehingga ketika sidang di
gelar maka akan sedikit umat islam yang memberikan support terhadap beliau.

Sungguh Licik pemerintah dan aparat negara di negeri ini

Mereka hendak berbuat makar kepada Allah SWT melalui ulamanya maka Allah SWT akan
membalas Cash terhadap makar yang mereka perbuat tersebut.
Manhaj Ustadz Abu Bakar Ba’asyir
Monday, 30 August 2010 10:23 | Written by saveabb.com/red | | |

Bismillaahirrohmaanirrohiim

Sebuhungan dengan munculnya berbagai tuduhan miring yang dilontarkan oleh sebagian da’i
dan Ustadz, kepada Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang merebak seiring dengan gencarnya isue
terorisme yang dilancarkan oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya pada akhir-akhir ini,
saya, Luthfi Haidaroh melakukan tabayyun langsung kepada Ustadz Abu Bakar Ba’asyir
mengenai hal ini.

Saya: As Salaamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokaatuh.

Ustadz ABB: Wa ‘Alaikumus Salaam Warohmatullohi Wabarokaatuh.

Saya: Sebelumnya bisakah Ustadz memnceritakan sekilas tentang biografi Ustadz?

Ustadz ABB: Saya dilahirkan di desa Pekunden, kecamatan Mojo Agung kabupaten Jombang,
pada tanggal 12 Dzul Hijjah 1389 H. Hal ini saya ketahui berdasarkan catatan yang ditulis oleh
ayah saya yang kira-kira bertepatan dengan tahun 1938 M. Ayah saya adalah seorang Yaman
dari wilayah Hadlramaut yang bernama ‘Abuud bin Ahmad dan marganya Ba’muallim Ba’asyir.
Sedang ibu saya namanya Haliimah lahir di Indonesia tetapi ayahnya adalah juga orang Yaman
yang marganya Bazargan. Sedang ibunya (nenek saya perempuan dari fihak ibu) adalah orang
jawa asli.

Saya ditinggal wafat oleh ayah saya ketika saya masih berumur tujuh tahun. Jadi ketika itu saya
sebagai anak yatim di bawah asuhan ibu. Ibu saya seorang buta huruf, tidak bisa baca tulis, tetapi
pandai membaca Al Qur’an dan taat beragama. Saya bersaudara ada 7 orang, 4 orang wanita dan
3 orang laki-laki. Semua saudara saya sudah wafat.

Adapun pendidikan yang saya tempuh adalah pertama saya masuk sekolah Islam ibtida’iyyah
tetapi saya tidak melanjutkan karena situasi revolusi melawan Belanda pada waktu itu. Setelah
kemerdekaan dan situasi aman saya dimasukkan sekolah dasar negeri yang waktu itu bernama
SR (Sekolah Rakyat). Dan kalau malam saya belajar mengaji dan agama di surau-surau di desa
saya, di samping dididik oleh ibu saya. Setelah tamat dari sekolah dasar saya melanjutkan ke
SMP negeri di kota Jombang yang jaraknya 13 KM dari rumah saya dan saya tempuh dengan
mengendarai sepeda ontel.
Setelah saya tamat dari SMP saya melanjutkan sekolah dan di terima di SMA negeri di Surabaya.
Tetapi belum sampai satu tahun terpaksa saya tidak dapat melanjutkan sekolah karena tidak ada
biaya. Lalu ketika itu saya ikut membantu kerja kakak saya di perusahaannya sarung tenun. Pada
tahun 1959 M saya dimasukkan oleh kakak saya, yakni Salim Ba’asyir dan Ahmad Ba’asyir ke
pondok pesantren Daarus Salaam Gontor dan dibiayai oleh kedua kakak saya itu. Pada tahun
1963 saya berhasil menamatkan di pondok jurusan Mu’allimiin, lalu saya melanjutkan sekolah
ke Universitas Al Irsyad di Solo, jurusan Dakwah Wal Irsyad selama tiga tahun. Pada waktu itu
saya berusaha untuk melanjutkan sekolah ke Sudan tetapi tidak berhasil. Sampai di sinilah
riwayat pendidikan saya.

Adapun gerakan yang saya pernah aktif di dalamnya adalah Pandu Islam Indonesia, Gerakan
Pemuda Islam Indonesia ranting, Pelajar Islam Indonesia dan Gerakan Pramuka ketika di
Pondok. Selama saya di Universitas Al Irsyad saya aktif dalam gerakan Pemuda Al Irsyad Solo
dan HMI Solo. Pada waktu itu saya sebagai ketua LDMI (Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam)
cabang Solo.

Adapun gerakan dakwah yang saya terjuni ialah saya berdakwah untuk mengamalkan ilmu saya
bersama beberapa da’i yang terkenal di Solo pada waktu itu, yaitu Al Marhum Ustadz Abdulloh
Sungkar, Al Marhum Abdulloh Thufail dan Al Marhum Ustadz Hasan Basri. Dalam rangka
meningkatkan usaha dakwah, kami mendirikan radio dakwah ABC di gedung Al Irsyad Solo
yang sampai hari ini masih ada. Karena perselisihan faham akhirnya saya keluar meninggalkan
radio ABC. Lalu bersama-sama Ustadz Abdulloh Sungkar, Ustadz Hasan Basri dan para
pendukung lainnya kami mendirikan Radio Dakwah Islamiyyah Surakarta (RADIS). Al
Hamdulillah radio ini sangat digemari dan disambut oleh umat Islam karena siarannya penuh
dengan dakwah yang tegas dan menghindari lagu-lagu maksiat. Karena siarannya yang tegas
menerangkan Islam akhirnya radio ini ditutup oleh thoghut orde baru. Setelah itu kami mulai
memusatkan pendidikan disamping melanjutkan dakwah.

Yakni pertama kali kami mendirikan Madrasah Diniyyah di komplek masjid Al Mukmin Gading
Kidul. Madrasah ini masuk sore dan kurikulumnya hanya terbatas mengajarkan bahasa Arab dan
syariat Islam. Setelah lima tahun madrasah ini kami tingkatkan menjadi pondok pesantren yang
didirikan oleh terutama enam muballigh dan ustadz yakni Al Marhum Ustadz Abdulloh Sungkar,
saya sendiri, Al Marhum Ustadz Hasan Basri, Al Marhum bapak Abdulloh Baraja’ (kakak ipar
saya), Al Marhum Ustadz Yoyok Rasywadi dan Ustadz Abdul Qohhar Haji Daeng Matase.
Pondok yang kami dirikan ini didukung oleh anggota-anggota pengajian yang kami asuh,
terutama pengajian kuliah dhuhur di masjid Agung Surakarta. Di antara pendukung yang
menonjol adalah Al Marhum bapak Abdul Lathif yang tempat tinggalnya berdampingan dengan
Masjid Al Mukmin.

Di samping kami aktif mengurus pendidikan kami juga tetap istiqomah melanjutkan dakwah
dengan tujuan meluruskan Indonesia ini agar benar-benar menjadi negara yang berdasarkan
Islam dan diatur seratus persen oleh hukum Alloh Ta’ala sehingga diharapkan menjadi baldatun
thoyyibatun warobbun ghofuur. Di samping itu dakwah kami, kami tujukan untuk memberantas
kemungkaran terutama kemungkaran yang sampai kepada nilai kemusyrikan yaitu asas tunggal
pancasila yang diciptakan oleh thoghut orde baru. Karena tujuan dakwah ini akhirnya kami yakni
Ustadz Al Marhum Abdulloh Sungkar, saya sendiri dan Ustadz Al Marhum Hasan Basri
ditangkap dan dipenjarakan oleh thoghut orde baru dan setelah empat tahun baru diajukan ke
sidang pengadilan thoghut. Akhirnya Al Marhum Ustadz Abdulloh Sungkar dan saya divonis
hukuman sembilan tahun penjara. Setelah kami naik banding, oleh pengadilan tinggi thoghut
semarang diturunkan hukumannya menjadi empat tahun sesuai dengan masa tahanan yang telah
kami jalani.

Tetapi jaksa kasasi ke mahkamah agung akhirnya mahkamah agung membebaskan kami sambil
menunggu keputusan kasasi jaksa. Setelah kami dengan ijin Alloh dibebaskan kami tetap
melanjutkan pendidikan dan dakwah dan tidak bergeser dari tujuan semula. Akhirnya thoghut
menekan mahkamah agung agar hukuman yang dikenakan kepada kami dinaikkan lagi menjadi
sembilan tahun. Ketika kami mendapat panggilan dari pengadilan negeri Sukoharjo untuk
mendengarkan keputusan mahkamah agung, kami mendapat fatwa dari ulama’ yang menganjar
di lembaga bahasa Arab di Jakarta agar tidak mendatangi panggilan tersebut karena hukumnya
dosa. Kami diberi pilihan berhijroh atau tetap di rumah sampai ditangkap oleh polisi.

Akhirnya kami memilih hijroh. Dan Al Hamdulillah berkat pertolongan Alloh Ta’alakami


berhasil berhijroh ke negara jiran Malaysia. Setelah dua tahun kami di Malaysia, Alloh berkenan
mendatangkan keluarga, yakni istri dan anak. Dan kami tinggal di Malaysia selama 15 tahun dan
selama di Malaysia kegiatan kami adalah mencari rizki dan tetap berdakwah untuk melanjutkan
menuju cita-cita yang telah digariskan. Pada tahun 1999 setelah thoghut orde baru dihinakan dan
diruntuhkan oleh Alloh Ta’ala saya kembali ke Indonesia. Sedang Ustadz Abdulloh Sungkar
wafat di Indonesia pada tahun kurang lebih 2000. Setelah saya kembali ke Indonesia, saya
kembali ke pondok untuk melanjutkan mengurus pendidikan di samping itu saya terus terjun
melanjutkan dakwah menuju cita-cita yang telah digariskan. Dalam rangka meningkatkan
dakwah saya mengikuti kongres mujahidin yang menelorkan Majlis Mujahidin Indonesia (MMI)
dan saya dipilih mejadi amir MMI.

Lagi-lagi karena tujuan dakwah inilah pada tahun 2003, saya ditangkap dan difitnah oleh thoghut
pemerintahan Megawati dan dijebloskan ke dalam penjara lagi. Satu setengah tahun saya
menjalani hukuman, tetapi setelah bebas ketika saya keluar dari pintu penjara langsung disambut
lagi oleh polisi pemerintahan thoghut Megawati dan dijebloskan lagi ke dalam penjara karena
tekanan dan perintah aparat Dajjal Amerika. Sampai hari ini saya masih menjalani hukuman
yang dipaksakan oleh pemerintah thoghut Susilo Bambang Yudoyono selama 30 bulan karena
semata-mata untuk memenuhi kemauan aparat dajjal Amerika, dan insya Alloh dengan ijin
Alloh Ta’ala pada bulan juni 2006 saya bebas.

Adapun keluarga saya adalah istri bernama ‘Aisyah binti Abdur Rohman Baraja’. Dia adalah
adik Al Marhum bapak Abdulloh Baraja’, salah satu pendiri pondok Al Mukmin. Istri saya
sangat setia kepada saya dan sabar menanggung berbagai musibah yang menimpa kami dalam
perjuangan. Saya dikarunia oleh Alloh tiga orang anak. Yang paling besar kami beri nama
Zulfah. Dan Al Hamdulillah sekarang sudah berumah tangga dan dikaruniai 8 orang anak. Yang
nomer dua adalah Abdur Rosyid, yang pernah juga belajar di pondok Gontor tetapi hanya sampai
kelas lima lalu saya pindahkan ke Ma’had Salmaan Al Faarisiy di Komplek Muhajirin
Afghanistan di Pakistan selama dua tahun. Lalu saya kirim ke Saudi Arabia dan masuk Ma’had
Daarul Hadiits. Al Hamdulillah dapat menamatkan selama 10 tahun. Dan sekarang dia sudah
berkeluarga mempunyai anak tiga.
Dan kegiatannya mengajar di pondok Al Mukmin dan berdakwah di masyarakat. Adapun anak
saya yang ketiga adalah laki-laki yang bernama Abdur Rohim. Setelah dia memasuki pendidikan
setingkat tsanawiyyah di Malaysia, dia saya kirim masuk Ma’had Salmaan Al Faarisiy bersama
kakak dia Abdur Rosyid. Lalu dia melanjutkan lagi di perguruan Sunnah di dekat Islamabad
jurusan Mustholahul Hadits. Tetapi karena situasi keamanan sehingga tidak dapat
menyempurnakan pendidikannya. Akhirnya saya kirin ke Shan’a Yaman, untuk melanjutkan
pendidikan di Jami’ah Al Iman di Shan’a. hanya dua tahun, dia kurang sesuai lalu dia kembali ke
Indonesia dan sekarang mengajar di pondok Al Mukmin, dan mengajar di masyarakat.

Inilah sekilas tentang riwayat hidup saya.

Saya: Akhir-akhir ini banyak tersebar tuduhan terhadap Ustadz, bahwasanya Ustadz adalah
Khowaarij, Takfiiriy, Teroris dan lain-lain. Sebenarnya apa inti dari ajaran Ustadz sehingga
Ustadz sering mendapatkan tudingan seperti itu?

Ustadz ABB: Di sini saya perlu luruskan bahwasanya yang saya imani dan saya amalkan selama
ini bukanlah, ajaran saya pribadi, akan tetapi apa yang saya imani dan saya amalkan serta yang
saya dakwahkan adalah ajaran seluruh Nabi dan Rosul, yakni Al Qur’an dan Sunnah.

Saya: Bisakah secara ringkas Ustadz memberikan gambaran global dari ajaran para Nabi dan
Rosul yang Ustadz dakwahkan?

Ustadz ABB: Baiklah, secara ringkas ajaran yang saya amalkan dan yang saya dakwahkan
adalah tauhid yang dirumuskan dalam dua kalimat syahadat dan diwujudkan dalam amalan
ibadah hanya kepada Alloh dan menjauhi thoghut seperti yang diperintahkan oleh Alloh Ta’aladi
dalam surat An Nahl ayat 36 yang berbunyi:

َ‫أَ ِن ا ْعبُدُوا هللاَ َواجْ تَنِبُوا الطَّا ُغوت‬

“Beribadahlah kalian kepada Alloh dan jauhilah thoghut.”

Dan ini merupakan arti yang terkandung di dalam kalimat tauhid laa ilaaha illallooh (tidak ada
ilaah kecuali Alloh). Oleh karena itu di dalam surat Al Ambiyaa’ ayat 25 Alloh Ta’ala berfirman:

‫ك ِمن َّرسُو ٍل إِالَّنُو ِحي ِإلَ ْي ِه أَنَّهُ آل إِلَهَ إِآل أَنَا فَا ْعبُدُو ِن‬
َ ِ‫َو َمآأَرْ َس ْلنَا ِمن قَ ْبل‬

“Dan tidaklah Kami utus seorang Rosulpun sebelum kamu kecuali Kami wahyukan kepadanya
bahwasanya tidak ada ilaah kecuali Aku maka beribadahlah kepadaKu.”

Dan kalimat tauhid yang membuahkan amalan ibadah hanya kepada Alloh dan menjauhi thoghut
inilah yang membuahkan al ‘urwatul wutsqo yang Alloh sebutkan di dalam surat Al Baqoroh
ayat 256:

َ ِ‫ك بِ ْالعُرْ َو ِة ْال ُو ْثقَى الَ ا ْنف‬


‫صا َم لَهَا‬ ِ ‫فَ َمن يَ ْكفُرْ بِالطَّا ُغو‬
َ ‫ت َوي ُْؤ ِمن بِاهللِ فَقَ ِد ا ْستَ ْم َس‬
“..maka barang siapa yang kufur terhadap thoghut dan beriman kepada Alloh, ia telah
berpegang tegung dengan tali yang kuat yang tidak akan terputus ..”

Kalimat tauhid laa ilaaha illallooh itu mempunyai dua rukun penting yang harus difahami, yakni:

Pertama: An nafyu yang terkandung dalam kalimat laa ilaaha, dan ini sesuai dengan apa yang
diterangkan di dalam surat An Nahl yang berbunyi:

َ‫َواجْ تَنِبُوا الطَّا ُغوت‬

“Dan jauhilah thoghut.”

Dan di dalam surat Al Baqoroh yang berbunyi:

ِ ‫فَ َمن يَ ْكفُرْ بِالطَّا ُغو‬


‫ت‬

“… maka barang siapa yang kufur terhadap thoghut.”

Hal ini dikarenakan banyaknya manusia sesat sehingga thoghut dijadikan ilaah yang diibadahi
maka hal ini harus dinafikan dalam bentuk menjauhi dan menkafirinya.

Yang kedua: Al Itsbaat yang terkandung di dalam kalimat yang berbunyi: illallooh, seperti yang
diterangkan di dalam surat An Nahl yang berbunyi:

َ‫أَ ِن ا ْعبُدُوا هللا‬

“.. beribadahlah kalian kepada Alloh ..”

Dan di dalam surat Al Baqoroh yang berbunyi:

ِ‫َوي ُْؤ ِمن بِاهلل‬

“.. dan beriman kepada Alloh ..”

Jadi yang benar adalah menetapkan bahwa ilaah yang wajib diibadahi secara benar itu hanya
Alloh Ta’ala saja bukan yang lainnya. Keyakinan ini harus diwujudkan dalam amalan beribadah
dan beriman kepada Alloh saja sesuai dengan keterangan ayat-ayat tersebut di atas.

Saya: Apa yang Ustadz maksud dengan thoghut?

Ustadz ABB: yang dimaksud dengan thoghut adalah segala sesutu yang diibadahi, yakni ditaati
secara mutlak selain Alloh dan dia rela untuk diibadahi, sebagai mana yang disebutkan di dalam
firman Alloh di dalam surat Az Zumar ayat 17 yang berbunyi:

‫َوالَّ ِذينَ اجْ تَنَبُوا الطَّا ُغوتَ أَ ْن يَ ْعبُدُوهَا‬


“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut dengan tidak beribadah kepadanya…”

Selain itu thoghut juga mencakup semua orang yang memutuskan perkara dengan hukum yang
bertentangan dengan hukum Alloh, sebagaimana yang disebutkan oleh Alloh di dalam surat An
Nisaa’ ayat 60 yang berbunyi:

ِ ‫ي ُِري ُدونَ أَ ْن يَت ََحا َك ُموا إِلَى الطَّا ُغو‬


‫ت‬

“…mereka hendak memutuskan perkara kepada thaghut…”

Dalam ayat ini diterangkan bahwa ada orang yang berhukum kepada thoghut, maka ini berarti
ada thoghut yang memutuskan perkara.

Saya: Contohnya pada zaman sekarang apa Ustadz?

Ustadz ABB: Pada hari ini thoghut itu banyak sekali bentuknya, bisa berupa benda mati, seperti
barang-barang yang dikeramatkan seperti kuburan wali-wali yang dikeramatkan, batu bertuah,
pohon yang dianggap angker, patung yang disembah, kitab atau buku selain Al Qur’an dan
Sunnah yang dijadikan pegangan hidup dan sebagai sumber hukum, dan lain-lain.

Selain itu ada juga thoghut yang berupa makhluq hidup seperti orang-orang yang membuat
hukum yang bertentangan dengan hukum Alloh karena rujukannya hawa nafsu atau kemauan
mayoritas rakyat bukan Al Qur’an dan Sunnah, seperti anggota parlemen menurut konsep
demokrasi, dan orang-orang yang memutuskan perkara dengan berdasarkan hukum buatan
tersebut, yaitu para penguasa pemerintah dan hakim negara demokrasi / sekuler yang
menjalankan kekuasaan dan hukum berdasarkan hukum yang dibuat oleh parlemen tersebut. Dan
thohut yang berupa makhluq hidup ini adalah lebih berbahaya dari pada thoghut yang berupa
benda mati, meskipun semua bentuk thoghut itu berbahaya.

Saya: Kenapa orang-orang yang duduk di parlemen, pemerintah dan hakim itu disebut sebagai
thoghut?

Ustadz ABB: Adapun orang-orang yang duduk diparlemen, mereka disebut thoghut karena
mereka adalah orang-orang yang diibadahi selain Alloh dan mereka rela. Adapun bentuk ibadah
kepada mereka adalah berupa ketaatan terhadap hukum-hukum yang mereka buat yang jelas
bertentangan dengan hukum Alloh. Maka pengamalan ibadah itu tidak terbatas hanya berupa
sujud, ruku’ dan ibadah-ibadah ritual yang lainnya. Akan tetapi ketaatan terhadap ketetapan
hukum yang mereka buat yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum Alloh juga merupakan
amalan ibadah. Masalah ini nampak jelas dalam firman Alloh Ta’ala yang menyatakan bahwa
orang nasrani menjadikan pendeta mereka sebagai tuhan seperti yang tersebut di dalam ayat
berikut:

ِ‫ارهُ ْم َو ُر ْهبَانَهُ ْم أَرْ بَابًا ِم ْن ُدوْ ِن هللا‬


َ َ‫اِتَّ َخ ُذوْ ا أَحْ ب‬

“Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai robb-robb (tuhan-tuhan)


selain Alloh.” (At Taubah: 31)
Alloh menyatakan bahwasanya orang-orang Nasrani telah menjadikan pendeta-pendeta mereka
sebagai robb (tuhan), padahal mereka tidak sujud atau ruku’ kepada pendeta-pendeta mereka,
akan tetapi orang-orang nasrani itu mentaati pendeta-pendeta mereka dalam menghalalkan
sesuatu yang haram dan dalam mengharamkan sesuatu yang halal, dan mereka semua sepakat
bersama pendeta-pendeta tersebut dalam hal itu, maka dengan perbuatan mereka ini Alloh
tetapkan bahwa mereka telah menjadikan pendeta-pendeta tersebut sebagai robb-robb, karena
sesungguhnya taat terhadap ketetapan hukum itu adalah salah satu bentuk ibadah yang tidak
boleh dilakukan kepada selain Alloh.

Itulah sebabnya pemerintah atau hakim yang menjalankan hukum yang ditetapkan oleh parlemen
yang jelas-jelas menyalahi hukum Alloh mereka adalah termasuk thoghut sebagaimana yang
Alloh terangkan di dalam firmanNya di dalam surat An Nisaa’ ayat 60 yang berbunyi:

ِ ‫ي ُِري ُدونَ أَ ْن يَت ََحا َك ُموا إِلَى الطَّا ُغو‬


‫ت‬

“…Mereka hendak memutuskan perkara kepada thaghut…”

Saya: Lalu praktek dari menjauhi atau mengkufuri thoghut itu bagaimana Ustadz?

Ustadz ABB: Menjauhi atau mengkufuri thoghut itu ada tingkatan-tingkatannya, masing-masing
beramal sesuai dengan kemampuannya. Adapun tingkatan yang paling tinggi adalah dengan
melaksnakan dzirwatu sanaamil Islaam yaitu jihad melawan para thoghut, melawan pendukung-
pendukungnya dan melawan pengikut-pengikutnya yang di laksanakan sesuai aturan syar’i,
untuk menghancurkannya sehingga dapat membebaskan manusia dari beribadah kepadanya lalu
diluruskan agar beribadah hanya kepada Alloh ta’aalaa semata. Alloh Ta’ala berfirman:

ِ‫َوقَاتِلُوهُ ْم َحتَّى الَتَ ُكونَ فِ ْتنَةٌ َويَ ُكونَ الدِّينُ ُكلُّهُ هلل‬

“Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan sampai seluruh diin itu hanya milik
Alloh…”

Yang dimaksud fitnah dalam ayat ini adalah kekafiran dan kesyirikan, yang bentuknya antara
lain praktek beribadah kepada thoghut.

Disamping itu harus pro aktif mengamalkan millah Ibrohim, yakni berlepas diri dari thoghut
secara terang-terangan. Sebagaimana yang diamalkan oleh Nabi Ibrohim dan umat beliau dan
diikuti oleh para Nabi dan Rosul, termasuk Nabi kita Muhammad Shalallah ‘alahi wa sallam
sebagaimana yang diterangkan oleh Alloh Ta’ala  dalam firmannya:

”َ ‫َت لَ ُك ْم أُس َْوةٌ َح َسنَةٌ فِي إِ ْب َرا ِهي َم َوالَّ ِذينَ َم َعهُ ِإ ْذ قَالُوا لِقَوْ ِم ِه ْم إِنَّا بُ َر َءآؤُا ِمن ُك ْم َو ِم َّما تَ ْعبُد‬
‫ُون ِمن دُو ِن هللاِ َكفَرْ نَا بِ ُك ْم َوبَدَا بَ ْينَنَا‬ ْ ‫قَ ْد َكان‬
ُ ُ َّ
ُ‫ضآ ُء أبَدًا َحتى ت ْؤ ِمنوا بِاهللِ َوحْ َده‬ َ ْ ْ ُ ْ ُ
َ ‫َوبَ ْينَك ُم ال َعدَا َوة َوالبَغ‬

“Sungguh telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian pada Ibrohim dan orang-orang yang
bersamanya ketika mereka mengatakan kepada kaum mereka: Sesungguhnya kami baroo’
(berlepas diri dan memusuhi) kepada kalian dan kepada apa yang kalian ibadahi selain Alloh.
Kami kufur terhadap kalian dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kalian
selama-lamanya sampai kalian beriman hanya kepada Alloh semata.” (Al Mumtahanah: 4)

Ayat ini menegaskan bahwa Nabi Ibrohim dan umatnya berlepas diri, memusuhi dan membenci
thoghut dan sikap Nabi Ibrohim dan umatnya ini dinyatakan oleh Alloh sebagai uswatun hasanah
bagi kita umat Islam.

FirmanNya yang berbunyi ( ‫ ) بدا‬artinya adalah ( ‫“ ) ظهر‬nampak” dan ( ‫“ ) بان‬jelas”. Di dalam


ayat ini lebih didahulukan permusuhan sebelum kebencian, karena hal ini menunjukkan bahwa
permusuhan itu lebih penting dari pada kebencian, sebab terkadang manusia itu membenci
pengikut-pengikut thoghut namun ia tidak memusuhi mereka sehingga ia tidak dikatakan telah
melaksanakan millah Ibrohim sampai ia melaksanakan permusuhan dan kebencian.

Namun jika jihad melawan thoghut belum mampu, maka yang wajib dilakukan adalah i’daadul
quwwah baik secara maaddiy, yakni i’daad untuk menyusun kekuatan fisik dan senjata maupun
secara ma’nawiy, yakni i’daad untuk membentuk kekuatan aqidah, kekuatan iman,
kesempurnaan ukhuwwah dan menumbuhkan semangat jihad serta cinta mati syahid sampai
kewajiban jihad dapat dilaksanakan. I’daad seperti yang diterangkan di atas hukumnya wajib
karena diperintahkan oleh Alloh Ta’ala dalam surat Al Anfal yang berbunyi:

‫َوأَ ِع ُّدوا لَهُم َّماا ْستَطَ ْعتُم ِّمن قُ َّو ٍة‬

“Dan persiapkanlah segala kekuatan yang kalian sanggupi untuk menghadapi mereka …”

Dan firman Alloh Ta’ala di dalam surat At Taubah yang berbunyi:

ً‫َولَوْ أَ َرادُوا ْال ُخرُو َج ألَ َع ُّدوا لَهُ ُع َّدة‬

“Dan seandainya mereka memang ingin keluar untuk berjihad tentu mereka melakukan
persiapan…”

Dan jika i’daad juga belum mampu maka ia harus berusaha hijroh ke negara yang bisa diamalkan
jihad atau i’daad. Hijroh ini hukumnya wajib bila ada kemampuan. Apabila sampai tidak
diamalkan maka ada ancaman Alloh Ta’ala seperti yang disebutkan di dalam firmanNya yang
berbunyi:

ِ ‫ض قَالُوا أَلَ ْم تَ ُك ْن أَرْ ضُ هللاِ َو‬


ِ َ‫اس َعةً فَتُه‬
‫اجرُوا‬ ِ ْ‫ظالِ ِمي أَنفُ ِس ِه ْم قَالُوا فِي َم ُكنتُ ْم قَالُوا ُكنَّا ُم ْستَضْ َعفِينَ فِي ْاألَر‬
َ ُ‫إِ َّن الَّ ِذينَ تَ َوفَّاهُ ُم ْال َمالَئِ َكة‬
‫صيرًا‬
ِ ‫ت َم‬ْ ‫ك َمأْ َواهُ ْم َجهَنَّ ُم َو َسآ َء‬
َ ِ‫فِيهَا فَأُوْ الَئ‬

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri mereka
sendiri, kepada mereka malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini”. Mereka
menjawab: “Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri kami”. Para malaikat berkata:
“Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu”. Orang-orang itu
tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.”
Dan jika hijroh pun dia juga tidak mampu, lantaran tidak bisa meloloskan diri dari kekuasaan
orang-orang kafir atau lantaran tidak tahu jalan hijroh, maka hendaknya dia ‘uzlah, yakni
menghindar diri dari masyarakat pendukung thoghut. Sebagaimana yang difirmankan oleh
Alloh Ta’ala di dalam surat ayat-ayat berikut:

‫وأعتزلكم وما تدعون من دون هللا‬

“Dan aku tinggalkan kalian dan apa-apa yang kalian ibadahi selain Alloh…” (Maryam: 48)

Dan di dalam surat Al Kahfi yang berbunyi:

َ ‫َوإِ ِذ ا ْعتَ َز ْلتُ ُموهُ ْم َو َما يَ ْعبُ ُدونَ إِاَّل هَّللا‬

“Dan ingatlah ketika kalian meninggalkan mereka dan apa yang mereka ibadahi selain Alloh.”

Dan demikian pula firman Alloh ta’aalaa dalam surat Maryam yang berbunyi:

ِ ‫فَلَ َّما ا ْعتَزَ لَهُ ْم َو َما يَ ْعبُ ُدونَ ِم ْن دُو ِن هَّللا‬

“Maka ketika ia meninggalkan mereka dan apa yang mereka ibadahi selain Alloh… “

Dan ditempat ‘uzlah hendaklah ia banyak membaca doa orang-orang mustadl’afiin seperti yang
Alloh sebutkan di dalam surat An Nisaa’ yang berbunyi:

‫َصيًرا‬ َ ‫َربَّنَآأَ ْخ ِرجْ نَا ِم ْن هَ ِذ ِه ْالقَرْ يَ ِة الظَّالِ ِم أَ ْهلُهَا َواجْ َعل لَّنَا ِمن لَّ ُدنكَ َولًِي¦”ًّا َواجْ َعل لَّنَا ِمن لَّدُن‬
ِ ‫كن‬

Wahai robb kami, keluarkanlah kami dari negeri kami yang penduduknya dholim, dan berikanlah
pelindung kepada kami dari sisi Mu, dan berikanlah kepada kami penolong dari sisiMu.

Meskipun dalam keadaan lemah dan uzlah ia tetap tidak boleh menunjukkan sikap ridlo atau
setuju terhadap para thoghut. Alloh berfirman:

َ‫َولَقَ ْد بَ َع ْثنَا فِي ُك ِّل أَ َّم ٍة َّرسُوالً أَ ِن ا ْعبُدُوا هللاَ َواجْ تَنِبُوا الطَّا ُغوت‬

“Dan telah Aku utus pada setiap umat seorang Rosul (yang berseru): Beribadahlah kalian
kepada Alloh dan jauhilah thoghut.”

Dan Alloh ta’aalaa berfirman:

‫س ِمنَ ْاألَوْ ثَا ِن‬


َ ْ‫فَاجْ تَنِبُوا ال ِّرج‬

“Dan jauhilah kotoran yang berupa berhala-berhala.”

Berhala seperti yang tersebut di dalam ayat di atas adalah merupakan salah satu bentuk thoghut.

Dan Alloh berfirman tentang doa yang diucapkan oleh Ibrohim:


‫ي أَن نَّ ْعبُ َ”د ْاألَصْ نَا َم‬
َّ ِ‫َواجْ نُ ْبنِي َوبَن‬

“Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari beribadah kepada patung-patung. “

Apabila sikap berlepas diri, memusuhi dan membenci thoghut menurut kemampuan tidak
diamalkan, maka dia di akherat akan termasuk orang-orang yang rugi, dan sama sekali tidak akan
berguna dan bermanfaat seberapapun waktu yang ia habiskan dalam mengamalkan ajaran Islam.

Kecuali jika dia mukroh, yakni karena dipaksa dan tidak mampu melawan, ketika itu boleh pura-
pura melunak sedang hatinya harus tetap membenci thoghut dan tenang dengan iman, sebagaina
yang diterangkan di dalam firman Alloh Ta’ala di dalam surat An Nahl:

ٌ‫َضبٌ ِّمنَ هللاِ َولَهُ ْم َع َذاب‬


َ ‫ص ْدرًا فَ َعلَ ْي ِه ْم غ‬ ْ ‫َمن َكفَ َر بِاهللِ ِمن بَ ْع ِد إِي َمانِ ِه إِالَّ َم ْن أُ ْك ِرهَ َوقَ ْلبُهُ ُم‬
َ ‫ط َمئِ ٌّن بِاْ ِإلي َما ِن َولَ ِكن َّمن َش َر َح بِ ْال ُك ْف ِر‬
‫َع ِظي ُُم‬

“Barang siapa kafir kepada Alloh setelah ia beriman kecuali orang yang mukroh (dipaksa)
sedangkan hatinya tetap beriman, akan tetapi orang yang dadanya lapang terhadap kekafiran
tersebut, maka baginya adalah murka dari Alloh dan siksa yang besar.” (QS. An Nahl: 106)

Sedangkan ikrooh ada dua macam:

Pertama : Ikrooh Mulji’ (paksaan yang sempurna): yaitu dengan cara mengancam untuk
membunuh atau memotong atau memukul yang dikhawatirkan akan menghilangkan nyawa atau
anggota tubuh.

Kedua: Ikrooh ghoiru mulji’ (paksaan yang kurang): Yaitu selain kurungan dan ikatan dan
pukulan yang tidak dikhawatirkan akan membikin cacat.

Menurut pendapat jumhuur ulama bahwa yang diberi rukhshoh (keringanan) untuk melakukan
kekafiran itu hanya ketika terjadi Ikrooh mulji’. Namun para ulama’ sepakat bahwa orang yang
dipaksa itu jika dia memilih dibunuh dari pada melakukan perbuatan kafir itu lebih baik dari
pada orang yang memilih rukhshoh.

Saya: Mengenai tuduhan terhadap Ustadz yang banyak muncul pada akhir-akhir ini, bagaimana
tanggapan Ustadz?

Ustadz ABB: Tuduhan apa itu?

Saya: Tuduhan bahwa Ustadz adalah takfiiriy, khowaarij, teroris dan lain-lain, yang berasal dari
beberapa aktifis dakwah terutama dari kalangan orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai
Salafiyyuun?

Ustadz ABB: Tuduhan tersebut sama sekali tidak beralasan dan saya kira hanya berdasarkan
hawa nafsu dan menyenangkan thoghut saja atau karena gangguan syubhat dalam pemahaman
aqidah. Karena saya tidak pernah mudah-mudah mengkafirkan orang seperti kaum Khowaarij,
kecuali orang-orang yang dikafirkan oleh Alloh dan Rosulnya atau oleh ijma’ sahabat maka
wajib saya kafirkan. Sedangkan orang-orang Khowaarij adalah orang-orang yang mengkafirkan
para pelaku dosa besar. Saya tidak mengkafirkan kecuali orang-orang yang dikafirkan oleh Alloh
dan Rosulnya atau oleh ijma’ sahabat berdasarkan nash yang shoriih dan sesuai dengan
pemahaman para ulama’ salaf. Sebagaimana para sahabat, yang ketika itu dipimpin oleh Abu
Bakar Ash Shiddiiq juga mengkafirkan orang-orang Islam yang mengaku sebagai Nabi beserta
para pemngikutnya, dan juga mengkafirkan orang-orang yang menolak membayar zakat,
meskipun mereka masih syahadat, sholat dan melakukan amalan-amalan Islam yang lain

Di dalam Majmu’ Fatawa juz 28 hal. 519 Ibnu Taimiyah berkata:

‫ َوهَ ُؤالَ ِء لَ ْم يَ ُك ْن‬، َ‫ضان‬


َ ‫س َويَصُوْ ُموْ نَ َشه َْر َر َم‬ َ ‫صلُّوْ نَ ْال َخ ْم‬
َ ُ‫ص َحابَةُ َو ْاألَئِ َّمةُ بَ ْع َدهُ ْم َعلَى قِتَا ِل َمانِ ِعي ال َّز َكا ِة َوإِ ْن َكاُنُوْ ا ي‬ َ َ‫َوقَد اتَّف‬
َّ ‫ق ال‬
‫ب‬
ِ ‫ج‬
ْ‫ُو‬ ‫و‬ ْ
‫ال‬
ُ ِ ‫ب‬ ‫ا‬ ْ‫و‬ ُّ‫ر‬َ ‫ق‬َ ‫أ‬ ْ
‫ن‬ ‫إ‬ ‫و‬ ‫ا‬ ‫ه‬‫ع‬
َِ َ ِ َ ْ
‫ن‬ ‫م‬ ‫ى‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬
َ َ‫ن‬ ْ‫و‬ُ ‫ل‬َ ‫ت‬‫ا‬َ ‫ق‬ُ ‫ي‬ ‫م‬ُ
ْ َ‫ه‬ ‫و‬ ، َ‫ن‬ ْ
‫ي‬ ِّ
‫د‬ َ ‫ت‬ ْ‫ر‬ ‫م‬
ُ ‫ا‬ ْ‫و‬ُ ‫ن‬‫ا‬ َ
‫ك‬ ‫ا‬ َ
‫ذ‬ ‫ه‬ ‫ل‬َ ‫ف‬ ٌ
َ ِ ِِ َ َ‫ة‬ ‫غ‬‫ئ‬‫ا‬‫س‬ ٌ ‫ة‬ ‫ه‬‫ب‬ْ ُ
‫ش‬ ‫م‬
ْ ُ ‫ه‬َ ‫ل‬

“Para shahabat dan para ulama sesudah mereka telah bersepakat untuk memerangi orang-
orang yang menolak membayar zakat, sekalipun mereka mengerjakan sholat dan shoum
Ramadlon. Mereka tidak mempunyai syubhat yang dapat diterima, oleh karena itu mereka telah
murtad. Mereka diperangi lantaran mereka menolak untuk membayar zakat meskipun mereka
masih mengakui wajibnya membayar zakat.”

Saya: Secara lebih rincinya bagaimana Ustadz?

Ustadz ABB: Yang saya kafirkan adalah orang-orang yang dikafirkan oleh Alloh dan Rosulnya
atau oleh ijma’ sahabat. Seperti orang-orang yang beribadah kepada selain Alloh atau melakukan
perbuatan yang menjadi pembatal Iman. Di antara bentuk ibadah batil yang saya perangi sejak
dahulu sampai hari ini antara lain adalah ibadah yang berupa amalan berhukum kepada selain
hukum Alloh dan membuat hukum untuk mengganti hukum Alloh. Karena menetapkan hukum
untuk mengatur kehidupan manusia adalah hak mutlak Alloh Ta’ala sebagaimana diterangkan
oleh Alloh di dalam surat Yusuf ayat 40:

َ ِ‫إِ ِن ْال ُح ْك ُم إِالَّ هللِ أَ َم َر أَالَّتَ ْعبُدُوا إًِآل”ًّ¦إِيَّاهُ َذل‬


ِ َّ‫ك الدِّينُ ْالقَيِّ ُم َولَ ِك َّن أَ ْكثَ َر الن‬
َ‫اس الَيَ ْعلَ ُمون‬

“Sesungguhnya hukum itu hanyalah hak Alloh, IA memerintahkan agar kalian tidah beribadah
kecuali kepadaN ya. Itulah diin yang lurus akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

Dan di dalam menetapkan hukum, Alloh Ta’ala tidak mau disekutui. Dia tetapkan hukum
menurut kehendakNya yang Maha Bijaksana, makhluqNya tidak boleh turut campur. Hal ini
ditegaskan di dalam firmanNya di dalam Surat Al Kahfi ayat 26:

‫ك فِي ُح ْك ِم ِه أَ َحدًا‬
ُ ‫َواَل يُ ْش ِر‬

“…dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.”

Atas dasar ini maka semua pemerintahan yang menjalankan hukum selain hukum Alloh adalah
kafir, kufur akbar yakni berarti telah keluar dari Islam, karena amalan ini berarti menyekutui
Alloh dalam menetapkan hukum.
Begitu pula hakim yang memutuskan perkara dengan hukum yang bertentangan dengan hukum
Alloh juga kafir kufur akbar, maka haram hukumnya bekerja menjadi hakim seperti ini. Dan dalil
atas kafirnya para penguasa dan hakim yang menjalankan hukum selain hukum Alloh tersebut
adalah firman Alloh Ta’aalaa:

‫ومن لم يحكم بما أنزل هللا فأولئك هم الكافرون‬

“Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum yang diturunkan Alloh, maka
mereka adalah orang-orang kafir. “

Oleh karena itu tidak boleh berhukum atau menyelesaikan perkara kepada pengadilan-pengadilan
seperti ini dan tidak boleh juga melaksanakan keputusan-keputusannya, dan barang siapa yang
berhukum kepada undang-undang mereka dengan sukarela maka dia juga kafir, karena ini berarti
berhukum kepada thoghut.

Oleh karena itu amalan semacam ini disalahkan oleh Alloh Ta’ala dan pengakuan imannya
dinafikan seperti disebut dalam surat An Nisaa’ yang berbunyi:

‫ت َوقَ ْد أُ ِمرُوا أَن يَ ْكفُرُوا بِ ِه‬


ِ ‫ك ي ُِري ُدونَ أَن يَتَحا َ َك ُموا إِلَى الطَّا ُغو‬ َ ِ‫نز َل ِمن قَ ْبل‬ُ
ِ ‫ك َو َمآأ‬
ُ
ِ ‫أَلَ ْم ت ََرإلِ َى الَّ ِذينَ يَ ْز ُع ُمونَ أَنَّهُ ْم َءا َمنُوا بِ َمآأ‬
َ ‫نز َل إِلَ ْي‬
َ ‫ُضلَّهُ ْم‬
‫ضالَالً بَ ِعيدًا‬ َ
ِ ‫َوي ُِري ُد ال َّش ْيطَانُ أن ي‬

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada
apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak
berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu.
Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.”

Sedang orang beriman hanya berhukum kepada hukum Alloh saja, kalau tidak bersedia berarti
dia tidak beriman sebagaimana dijelaskan dalam firman Alloh yang berbunyi:

َ َ‫ُوا فِي أَنفُ ِس ِه ْم َح َرجًا ِّم َّما ق‬


‫ضيْتَ َويُ َسلِّ ُموا تَ ْسلِي ًما‬ ْ ‫ك الَي ُْؤ ِمنُونَ َحتَّى يُ َح ِّك ُموكَ فِي َما َش َج َر بَ ْينَهُ ْم ثُ َّم الَ يَ ِجد‬
َ ِّ‫فَالَ َو َرب‬

“Maka demi Robbmu, mereka pada hakekatnya tidaklah beriman sampai mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.”

Maka berdasarkan ayat-ayat itu sesungguhnya para anggota parlemen di negara-negara


demokrasi / sekuler adalah juga kafir kufur akbar. Karena merekalah yang membuat dan
mengesahkan berlakunya undang-undang yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum Alloh. Ini
berarti mereka menyekutui Alloh di dalam membuat hukum. Hal ini jika tidak terdapat mawani’
pada diri mereka.

Dan lebih jelas lagi ditegaskan dalam surat Asy Syuro yang berbunyi:

‫أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين مالم يأذن به هللا‬


Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang membuat syariat diin yang tidak diijinkan oleh
Alloh.

Demikian pula orang-orang yang memilih mereka sebagai wakil mereka di parlemen tersebut
juga kafir kufur akbar. Karena dengan memilih mereka sebagai wakil mereka di parlemen
tersebut berarti mereka telah menjadikan para anggota parlemen yang mereka pilih sebagai
Robb-Robb / tuhan-tuhan yang membuat undang-undang selain hukum Alloh. Dan semua orang
yang mengajak atau menganjurkan orang lain untuk mengikuti pemilihan itu juga kafir.

Dalilnya adalah firman Alloh Ta’aalaa di dalam surat At Taubah yang berbunyi:

‫اتخذوا أحبارهم ورهبانهم أربابا من دون هللا‬

“Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai robb-robb (tuhan-tuhan)


selain Alloh.”

Dan para tentara / polisi yang menjadi pembela negara kafir tersebut adalah juga kafir kufur
akbar, karena mereka itu berperang di jalan thoghut. Alloh Ta’aalaa berfirman:

‫والذين كفروا يقاتلون في سبيل الطاغوت‬

“Dan orang-orang kafir berperang di jalan thoghut.” (QS. An Nisaa’: 76).

Dan thoghut yang dia berperang dijalannya di sini adalah thoghut dalam bidang hukum, yaitu
yang berupa undang-undang dan hukum buatan manusia, dan berupa pemerintah yang
menjalankan undang-undang tersebut. Karena mereka yang menjalankan hukum dengan selain
hukum Allohitu adalah thoghut sebagaimana firman Alloh Ta’aalaa yang berbunyi:

‫يريدون أن يتحاكموا إلى الطاغوت‬

“Mereka hendak berhukum kepada thoghut.”

Dengan demikan maka kaum muslimin tidak mempunyai kewajiban untuk taat kepada para
penguasa thoghut. Dan juga tidak mempunyai kewajiban untuk mematuhi undang-undang negara
tersebut. Akan tetapi ia bebas untuk melanggarnya asal memenuhi 2 syarat: pertama, tidak
melakukan perbuatan yang dilarang secara syar’iy, dan yang kedua tidak mengganggu atau
mendholimi orang Islam.

Dan sesungguhnya negara yang menggunakan undang-undang kafir adalah Daarul Kufri (negara
kafir), dan jika sebelumnya negara tersebut Daarul Islam, artinya sebelumnya negara tersebut
diatur berdasarkan syariat Islam lalu diganti dengan undang-undang kafir, sedangkan
penduduknya masih Islam, maka negara tersebut adalah Daaru Kufrin Thoori’ yaitu negara kafir
yang tidak asli, dan ada juga yang menyebut sebagai Daarul Mustabdil karena ia mengganti
hukum Islam dengan hukum jahiliyyah / kafir.
Namun perlu diingat bahwasanya menghukumi kafir yang saya sebut kan di sini adalah hukum
yang dikenal di kalangan para ulama’ dengan Takfiirul Mutlaq. Adapun untuk Takfiirul
Mu’ayyan, yaitu mengkafirkan orang-orang tertentu yang telah melakukan perbuatan-perbuatan
yang saya sebutkan tadi, maka harus melalui kaidah-kaidah yang telah disebutkan oleh para
ulama’ yaitu dengan mengecek syarat-syarat dan penghalang-penghalang vonis kafir pada diri
orang yang mau dikafirkan tersebut. Ini semua dijelaskan oleh para ulama’ di dalam kitab-kitab
fikih dalam pembahasan ar riddah atau kemurtadan, al qodloo’ atau pengadilan, ad da’awaat atau
tuduhan dan al bayyinaat atau pembuktian. Silahkan kaji di sana.

Adapun status umat Islam yang tinggal di negara yang menjalankan hukum kafir tersebut adalah
harus melawan menurut kemampuan sebagaimana yang disabdakan oleh Rosululloh Shalallah
‘alahi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim:

‫فمن جاهدهم بيده فهو مؤمن ومن جاهدهم بلسانه فهو مؤمن ومن جاهدهم بقلبه فهو مؤمن وليس وراء ذلك من اإليمان حبة‬
‫خرذل‬

“Barang siapa berjihad melawan mereka dengan tangannya maka dia beriman dan barang
siapa berjihad melawan mereka dengan lisannya maka dia beriman dan barang siapa berjihad
melawan mereka dengan hatinya maka dia beriman, dan setelah itu tidak ada iman lagi
walaupun sebesar biji sawi.”

Jadi mereka yang memerangi thoghut dengan senjata maka mereka adalah orang beriman, dan
mereka yang memerangi thoghut dengan lisannya maka mereka adalah orang yang beriman, dan
yang memerangi dengan hati juga orang beriman.

Karena hanya Alloh yang tahu isi hati seseorang maka orang yang bersikap diam, tidak
memerangi thoghut baik dengan senjata maupun dengan lisan hukumnya adalah dianggap
sebagai orang Islam jika secara dhohir dia mengamalkan Islam, seperti mengucapkan syahadat,
sholat dan amalan-amalan lain yang menjadi ciri khas Islam. Karena ada kemungkinan dia
masuk dalam katagori orang yang memerangi thoghut tersebut dengan hatinya lantaran dia tidak
mampu memerangi dengan tangan dan lidahnya. Penilaian ini juga didasarkan atas sabda
Nabi Shalallah ‘alahi wa sallam:

‫من صلى صالتنا و استقبل قبلتنا وأكل ذبيحتنا فذلك المسلم‬

“Barangsiapa yang sholat sebagaimana kami sholat, menghadap ke kiblat kami dan memakan
sembelihan kami maka ia muslim.“ (Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhooriy no. 391).

Sedangkan orang-orang Khowaarij dalam menyikapi golongan ini berselisih pendapat. Sebagian
berpendapat mereka juga kafir karena diam itu menunjukan ia ridlo. Adapun sebagian yang lain
menyikapinya dengan tawaqquf, tidak menghukumi mereka sebagai orang Islam dan juga tidak
menghukumi mereka sebagai orang kafir.

Sedangkan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menganggap mereka sebagai orang Islam sebagaimana
saya katakan tadi.
Adapun penduduk negara tersebut yang jelas-jelas melakukan kekafiran seperti orang yang
berwala’ kepada thoghut, atau melakukan kekafiran lainnya seperti meninggalkan sholat,
menghina Islam dan amalan-amalan yang membatalkan Islam lainnya, maka dia dihukumi
sebagai orang kafir. Sebagaimana firman Alloh:

‫َو َمن يَت ََولَّهُم ِّمن ُك ْم فَإِنَّهُ ِم ْنهُ ْم‬

“Dan barangsiapa berwala’ kepada mereka maka dia termasuk golongan mereka.”

Dan sebagaimana sabda Nabi:

‫بين الرجل وبين الكفر ترك الصالة‬

“(Batas) antara seseorang dan antara kekafiran adalah meninggalkan sholat. “

Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim.

Adapun penduduk negara tersebut yang tidak menunjukkan tanda-tanda apapun baik sebagai
orang Islam maupun orang kafir, maka kita tawaqquf dalam menyikapinya. Tidak kita anggap
sebagai orang Islam dan tidak kita anggap sebagai orang kafir, kecuali dalam-keadaan-keadaan
tertentu yang menuntut kita untuk menentukan statusnya maka kita lakukan tabayyun.

Saya: Tadi Ustadz terangkan bahwsanya kita tidak boleh memutuskan perkara kepada
pengadilan thoghut dan tidak boleh juga melaksanakan keputusan-keputusannya, dan barang
siapa yang berhukum kepada undang-undang mereka dengan sukarela maka dia juga kafir. Lalu
bagaimana dengan proses pengadilan yang selama ini Ustadz jalani di dalam pengadilan taghut
Ustadz?

Ustadz ABB: Pertama perlu diingat bahwasanya saya diseret ke sidang pengadilan thoghut
bukan atas kemauan saya, akan tetapi saya ditahan setelah melalui perlawanan yang dilakukan
oleh umat Islam. Pada penahan pertama saya diciduk ketika saya di rumah sakit PKU dan ketika
itu sempat terjadi bentrok fisik antara umat Islam dengan aparat thoghut, sedangkan pada
penahanan yang kedua saya diciduk ketika saya baru keluar dari pintu penjara salemba dan
ketika itu juga sempat terjadi perlawanan yang dilakukan oleh umat Islam.

Kedua: karena saya ditangkap oleh pemerintah thoghut secara tidak syah maka, dan hal itu juga
sempat terjadi perlawanan yang dilakukan umat Islam, maka sebenarnya status saya selama
penangkapan sampai menjalani hukuman yang mereka putuskan itu tidaklah sebabagaimana
yang mereka katakan, yaitu sebagai tersangkan kemudian sebagai terpidana. Akan tetapi di
dalam syariat Islam saya ini statusnya adalah tawanan.

Atas dasar itu maka yang saya jalani selama ini bukanlah memutuskan perkara kepada
pengadilan toghut atau menjalankan putusan thoghut. Akan tetapi saya adalah tawanan yang
dipaksakan untuk menjalani proses persidangan rekayasa yang mereka buat.
Oleh karena itu saya di dalam sidang saya senantiasa ingin membuktikan kepada umat bahwa ini
adalah persidangan rekayasa yang mana jika ditimbang sesuai dengan undang-undang thoghut
merekpun sebenarnya saya tidak dapat dijerat oleh hukum. Hal ini saya lakukan dalam berbagai
kesempatan yang mereka atur di dalam undang-undang mereka, yaitu eksepsi, pledoi, banding,
kasasi sampai peninjauan kembali. Itu semua saya lakukan bukan karena tunduk kepada undang-
undang mereka, akan tetapi saya ingin jelaskan kepada umat bahwasanya ini adalah pengadilan
rekayasa yang bertujuan untuk menyenangkan aparat Dajjal Amerika. Karena jelas menurut fakta
dipersidangan thoghutpun sebenarnya perkara yang mereka tuduhkan kepada saya itu sangat
lemah dan tidak dapat dijadikan landasan hukum.

Saya: Mereka yang menuduh Ustadz sebagai orang yang berfaham Khowaarij atau Takfiiriy
mengatakan bahwa dalil yang Ustaz sebutkan dalam surat Al Maa-idah ayat 44 tadi adalah sama
dengan dalil yang sering didengung-dengungkan oleh orang-orang Khowaarij jaman dahulu.
Dari sini bisakah Ustatz menjelaskan perbedaan antara paham yang Ustadz terangkan tadi ini
dengan pemikiran orang-orang Khowaarij jaman dahulu?

Ustadz ABB: Dalam tafsirnya, Al Fakhrur Rooziy menerangkan tentang pendapat orang-orang
Khowaarij dalam memahami ayat ini: Ayat ini merupakan nash yang menunjukkan bahwa setiap
orang yang memutuskan perkara dengan selain hukum yang diturunkan Alloh dia kafir, dan
setiap orang yang melakukan dosa apa saja berarti dia telah memutuskan perkara dengan selain
hukum yang diturunkan Alloh, maka dia pasti menjadi kafir. Begitulah penafsiran kaum
Khowaarij tentang ayat ini.

Penafsiran semacam ini jelas batal dan menyeleweng. Sebab meskipun nash ini bersifat umum,
namun ia khusus untuk masalah memutuskan perkara dan persengketaan di antara manusia, dan
tidak mencakup seluruh perbuatan pribadi manusia sebagaimana yang difahami oleh Khowaarij.

Karena nash ini meskipun menggunakan shighoh yang bersifat umum, namun ayat ini khusus
mengenai para hakim yang memutuskan perkara di antara manusia dan menyelesaikan
persengketaan dan perselisihan. Maka ayat ini bersifat umum dalam permasalahannya atau ia
bersifat umum dalam permasalahan tertentu, yaitu masalah memutuskan perkara dan
persengketaan. Dan sesungguhnya apabila terdapat kata-kata al hukmu di dalam Al Qur’an dan
Sunnah maka yang dimaksud tidak lain adalah memutuskan persengketaan dan bukan mencakup
semua perbuatan manusia. Karena sesungguhnya Alloh Ta’aalaa berfirman:

ُ‫َو َمن لَّ ْم يَحْ ُكم بِ َمآأَن َز َل هللا‬

“Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh….”

Dan tidak berfirman :

ُ‫َو َمن لَّ ْم يعمل بِ َمآأَن َز َل هللا‬

“Dan barangsiapa tidak beramal dengan apa yang diturunkan Alloh….”


Maka menggunakan kata (‫ )الحكم‬secara umum mencakup seluruh perbuatan manusia sehingga
setiap orang yang berbuat dosa berarti dia berhukum dengan selain apa yang diturunkan Alloh,
merupakan penyelewengan kata-kata dari makna yang sebenarnya. Dan ini merupakan ciri-ciri
Khowaarij sebagaimana, sabda Rosululloh Shalallah ‘alahi wa sallam : dalam hadits-hadits yang
mutawatir bahwasanya beliau mengatakan bahwa mereka itu:

‫يقرؤون القرآن ال يجاوز حناجرهم‬

“Mereka membaca Al Qur’an tapi bacaan mereka tidak melebihi kerongkongan mereka”

Artinya mereka mengulang-ulang bacaan Al Qur’an dengan kerongkongan mereka tapi tidak
melebihinya sampai hati yang mana hati itu merupakan tempat pemahaman. Maksudnya mereka
tidak memahami maksud dari Al Qur’an yang mereka baca.

Di antaranya yang memperkuat apa yang saya katakan tersebut adalah firman Alloh Ta’aalaa :

َ ِ‫َو َمن لَّ ْم يَحْ ُكم بِ َمآأَن َز َل هللاُ فَأُوْ لَئ‬


َ‫ك هُ ُم ْال َكافِرُون‬

“Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan Alloh maka mereka
adalah orang-orang kafir”

Ayat ini turun berkenaan dengan memutuskan perkara manusia dan hal itu diperkuat dengan
firman Alloh Ta’aalaa sebelumnya :

‫وإن حكمت فاحكم بينهم بالقسط‬

“Dan jika engkua putuskan perkara mereka maka putuskan lah dengan adil”

Dan yat tersebut turun berkenaan dengan Rosul yang memutuskan perkara 2 orang yahudi yang
berzina.

Dan firman Alloh Ta’aalaa :

ِّ ‫اس بِ ْال َح‬


‫ق‬ ِ ْ‫ك َخلِيفَةً فِي ْاألَر‬
ِ َّ‫ض فَاحْ ُكم بَ ْينَ الن‬ َ ‫ق — إلى قوله — يَادَاو ُد إِنَّا َج َع ْلنَا‬
ِّ ‫ْض فَاحْ ُكم بَ ْينَنَا بِ ْال َح‬
ٍ ‫ضنَا َعلَى بَع‬
ُ ‫خَصْ َما ِن بَغَى بَ ْع‬

“Kami adalah dua oran yang bersengketa yang salah seorang di antara kami berklaku aniaya
terhadap yang lain maka putuskanlah perkara kami dengan benar —- sampai firman Nya —
Wahai Daud sesungguhnyan Kami menjadikanmu sebagai kholifah di muka bumi maka
putuskanlah perkara di antara manusia dengan benar.” QS. Shood : 22-26)

Ini merupakan nash yang nyata yang menunjukkan bahwa (‫ )الحكم‬itu maksudnya adalah
memutuskan perkata antara dua orang yang bersengketa. Dan bahwa para penguasa, dan juga
para hakim adalah orang-orang yang masuk dalam katagori ini, karena Daud as yang dikisahkan
dalam surat Shood 22-26 tersebut hakekatnya adalah seorang raja, sebagaimana diterangkan
dalam firman Alloh Ta’aalaa :
َ‫ك َو ْال ِح ْك َمة‬
َ ‫َوقَتَ َل دَا ُو ُد َجالُوتَ َو َءاتَاهُ هللاُ ْال ُم ْل‬

“Dan Daud membunuh Jalut dan Alloh memberikan kepadanya kerajaan dan hikmah
(pemahaman).” (QS. Al Baqarah : 251)

Dan disini saya sebutkan lagi arti-arti dari kata (‫ )الحكم‬yang terdapat dalam Al Qur’an dan
Sunnah, seperti firman Alloh Ta’aalaa :

‫اس أَ ْن تَحْ ُك ُموا بِ ْال َع ْد ِل‬


ِ َّ‫َوإِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ الن‬

“Dan apabila kalian memutuskan perkara di antara manusia maka hendaklah kalian
memutuskan nya dengan adil.” (QS. An-Nisa’ : 58)

Dan Alloh berfirman :

ُ‫فَاحْ ُكم بَ ْينَهُ ْم بِ َمآأَنزَ َل هللا‬

“Maka putuskanlah perkara mereka dengan apa yang diturunkan Alloh.” (QS. Al Maa-idah :
48)

Dan Alloh Ta’aalaa berfirman :

َ ‫اس بِ َمآأَ َرا‬


ُ‫ك هللا‬ ِ َّ‫لِتَحْ ُك َم بَ ْينَ الن‬

“Supaya kamu memutuskan perkara di antara manusia dengan apa yang Alloh tunjukkan
kepadamu.” (QS. An Nisa’ : 105)

Dan Alloh Ta’aalaa berfirman :

َ ‫َحتَّى يُ َح ِّك ُمو‬


‫ك فِي َما َش َج َر بَ ْينَهُ ْم‬

“Sehingga mereka menjadikanmu sebagai pemutus perkara terhadap apa yang mereka
perselisihkan.” (QS. An Nisa’ : 65)

Ini semua menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan al hukmu di sini adalah memutuskan
perkara orang yang saling bersengketa atau berselisih, bukan mencakup semua amal perbuatan
manusia, seperti yang dikatakan kaum Khowaarij. Maka faham saya tentang ayat ini adalah
seperti faham Ahlus Sunnah dan bertentangan dengan faham kaum Khowaarij.

Selain itu, khowarij adalah orang-orang yang memberotak terhadap penguasa yang syah secara
syar’i sedang kalau yang memberontak pemerintah yang tidak syar’i maka tidak bisa di
kategorikan sebagai khowarij.

Saya: Tadi Ustadz juga menerangkan bahwa pemerintah yang menjalankan hukum buatan
manusia itu adalah termasuk thoghut yang harus diperangi dan diingkari. Dan pemahaman
seperti ini sering dijadikan alasan untuk menuduh Ustadz sebagai orang yang berpaham
Khowaarij. Bagaimana tanggapan Ustadz?

Ustadz ABB: Dalam hal ini harus dibedakan antara orang-orang yang memberontak kepada
penguasa, baik dengan alasan duniawi maupun dengan alasan diin, dengan orang-orang yang
berpaham Khowaarij yang aqidah mereka dinyatakan sesat oleh para ulama’. Karena orang-
orang Khowaarij itu bukan hanya memerangi penguasa thoghut saja akan tetapi mereka itu
memerangi orang-orang Islam yang telah mereka kafirkan secara umum dengan tidak
membedakan antara orang yang baik dengan orang yang jahat dan antara anak-anak, perempuan
dan orang tua.

Sedangkan orang-orang yang memerangi penguasa itu ada dua macam:

Pertama: orang-orang yang memerangi penguasa lantaran penguasa tersebut adalah thoghut atau
lantaran marah terhadap penyelewengan para penguasa dari ajaran Islam. Mereka ini adalah
Ahlul Haqq, dan dalam golongan ini para ulama’ memasukkan nama-nama di antaranya adalah
Al Husain Bin ‘Aliy ra, penduduk Madinah pada peristiwa Al Hurroh, para Qurroo’ yang
memerangi Al Hajjaaj bersama ‘Abdur Rohman bin Al Asy’ats dan lain-lain.

Sedangkan yang kedua adalah orang-orang yang memerangi penguasa untuk mencari kekuasaan,
baik berdasarkan syubhat maupun tidak, dan mereka itu disebut sebagai Bughoot.

Atas dasar ini maka saya menyatakan bahwa orang-orang yang memerangi penguasa thoghut dan
penguasa dholim dengan tujuan untuk menentang kekafiran dan kemungkaran mereka, sama
sekali tidak disamakan atau dikatakan oleh para ulama’ sebagai orang-orang Khowaarij,
meskipun mayoritas Ahlus Sunnah berpendapat untuk bersabar menghadapi penguasa yang
berbuat lalim, selama mereka tidak berbuat kekafiran. Maka jelas tidak sama antara orang-orang
yang memerangi penguasa yang jelas-jelas melakukan kekafiran yang nyata, dengan orang-orang
Khowaarij yang memerangi semua penguasa di luar golongannya.

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang justru membantu para penguasa yang jelas-jelas
melakukan kekafiran tersebut dalam memerangi para mujahidin yang berjuang untuk
menegakkan tauhid?

Namun perlu diketahui bahwa perang bersama orang-orang Khowaarij untuk melawan thoghut
dapat dibenarkan sebagai mana para ulama’ memerangi Bani ‘Ubaid Al Qodaah, di bawah
pimpinan Abu Yaziid yang berpaham Khowaarij, dan ketika ada orang yang mencela mereka,
mereka menjawab: “Kami berperang bersama orang-orang yang bermaksiat kepada Alloh untuk
melawan orang-orang yang kafir kepada Alloh.”

Saya: Sebelum kita akhiri mungkin ada pesan Ustadz yang ingin disampaikan?

Ustadz ABB: Al Hamdulillaah dengan ijin Alloh Ta’ala saya nasehatkan kepada seluruh umat
Islam untuk terus bersungguh dalam berjihad menghadapi para thoghut, baik dengan tangan,
dengan lisan maupun dengan hati. Sebagai mana sabda Rosululloh Shalallah ‘alahi wa sallam
yang berbunyi:
‫جاهدوا المشركين بأموالكم وأنفسكم وألسنتكم‬

“Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan harta kalian, dengan, jiwa kalian dan
dengan lidah kalian.”

Dan juga dalam sabda beliau Shalallah ‘alahi wa sallam:

‫فمن جاهدهم بيده فهو مؤمن ومن جاهدهم بلسانه فهو مؤمن ومن جاهدهم بقلبه فهو مؤمن وليس وراء ذلك من اإليمان حبة‬
‫خرذل‬

“Barang siapa berjihad melawan mereka dengan tangannya maka dia beriman dan barang
siapa berjihad melawan mereka dengan lisannya maka dia beriman dan barang siapa berjihad
melawan mereka dengan hatinya maka dia beriman, dan setelah itu tidak ada iman lagi
walaupun sebesar biji sawi.”

Maka bagi para mujahidin yang mempunyai kemampuan hendaklah berjihad memerangi thoghut
dengan tangan dan jiwanya.

Bagi para ulama’ dan da’i yang tidak mampu memerangi thoghut dengan tangan dan jiwanya
hendaklah melawan thoghut dengan lisannya.

Dan bagi para hartawan hendaklah secara minimal berjihad dengan hartanya.

Saya juga ingin ingatkan di sini bahwasanya ketika Ibnu Taimiyyah menghadapi kondisi sebagai
mana yang kita hadapi sekarang ini, yaitu tatkala menghadapi Tartar, beliau mengatakan bahwa
kondisi yang semacam ini membagi manusia menjadi tiga golongan:

Pertama adalah golongan Ath Thoo-ifah Al Manshuuroh, yaitu mereka-mereka yang berjihad
melawan orang-orang kafir.

Kedua adalah Ath Thoo-ifah Al Mukhoolifah, yaitu orang-orang Islam yang bergabung dan
bekerja sama dengan orang-orang kafir tersebut.

Dan yang ketiga adalah Ath Thoo-ifah Al Mukhoodzilah, yaitu orang-orang yang enggan untuk
berjihad meskipun mereka adalah orang-orang yang menganut ajaran Islam dengan benar.

Dan beliau juga mengatakan bahwasanya seandainya salaf, dari kalangan Muhaajiriin dan
Anshoor, seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Aliy dan lainnya hidup pada jaman ini, tentu
amalan mereka yang paling utama adalah berjihad melawan orang-orang kafir tersebut.

Berdasarkan penjelasan Ibnu Taimiyyah ini maka saya nasehatkan kepada umat Islam agar
berusaha untuk menjadi golongan pertama, yaitu Ath Thoo-ifah Al Manshuuroh yang senantiasa
berjihad. Jangan sampai kita menjadi golongan Ath Thoo-ifah Al Mukhoodzilah yang enggan
untuk berjihad meskipun pada hakekatnya mampu dengan lisan. Apalagi menjadi golongan Ath
Thoo-ifah Al Mukhoolifah dengan cara bekerjasama dengan thoghut dalam memerangi
mujahidin. Golongan ini adalah golongan yang rugi dunia akherat. Na’uudzubillaahi min dzaalik.
Saya: Jazaakumulloh Khoiron Ustadz atas kesediaan Ustadz untuk memberikan klarifikasi
mengenai berbagai tuduhan yang selama ini dilontarkan kepada Ustadz, semoga Ustadz selalu
mendapatkan bimbingan dan perlindungan dari Alloh Ta’ala. As Salaamu ‘Alaikum
Warohmatullohi Wabarokaatuh.

Ustadz Abu Bakar Ba’asyir: Amiin. Wa ‘Alaikumus Salaam Warohmatullohi Wabarokaatuh.

 Achmad Michdan (TPM ) : Beda Terorisme dan Korupsi


Tuesday, 18 January 2011 21:35 | Written by saveabb.com/AF | | |

Sebulan yang lalu bangka pos menurunkan berita yang mengangkat tema korupsi sama dengan
terorisme. Achmad Michdan koordinator TPM (Tim Pembela Muslim) selaku kuasa hukum para
terpidana kasus terorisme berusaha menguraikan tentang beda antara terorsisme dan korupsi,
berikut uraian beliau tentang beda terorisme dan korupsi yang di terima redaksi saveabb.com
melalui sms :

1.         Korupsi nyawa sistem demokrasi sedang terorisme isu yang di hembuskan demokrasi
terhadap musuh politiknya . ( Red : Korupsi merupakan nyawanya demokrasi tanpa adanya
korupsi mustahil demokrasi bisa di pertahankan dan bisa makmur sedangkan terorisme
adalah isu yang di hembuskan oleh pelaku – pelaku yang terlibat dalam sistem demokrasi
terhadap musuh politiknya khususnya di sini adalah orang yang berusaha menegakkan
syariah Islam dan khilafah.

2.         Korupsi adalah fakta nyata sedangkan terorisme fiktif (fakta yang di rekayasa). (Red :
Korupsi merupakan  fakta yang tidak terbantahkan dan bisa kita lihat dengan mata telanjang
mulai dari kantor kelurahan sampai kantor kejaksaan mulai dari kepala desa sampai hakim
agung semuanya nampak sedangkan terorisme adalah fiktif (rekayasa) para penguasa dan
penegak hukum lihat saja persidangan kasus-kasus terorisme hampir kita pastikan bahwa
semuanya rekayasa di mulai rekayasa barang bukti dan  rekayasa saksi semuanya rekayasa

3.         Koruptor beraksi secara sistematis dan profesional sedang teroris difitnah secara sistematis
dan profesional
4.         Terpidana korupsi bebas keluar masuk penjara tanpa pengadilan (Red: Ingat kasus gayus?
Yang bebas pelesiran ke bali dan keluar negeri) sedang teroris masuk penjara tanpa
pengadilan

5.         Koruptor bisa merangkap jadi penegak hukum ( red: Edmond Ilyas ) sedangkan teroris tidak
bisa

6.         Penangkapan koruptor bisa di selesaikan dengan bayar di tempat sedangkan teroris tembak
di tempat

Korupsi lebih berbahaya bagi bangsa dan negara, selamatkan Indonesia dengan Syariat Islam
(saveabb.com/AF)

Anda mungkin juga menyukai