Anda di halaman 1dari 14

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2007) 33: 97– 110 ISSN 0125 – 9830

TIPE ESTUARI BINUANGEUN (BANTEN) BERDASARKAN


DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN

oleh
MUHAMMAD FURQON AZIS
Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI

Received 23 March 2006, Accepted 29 March 2007

ABSTRAK

Pengamatan parameter oseanografi fisika yang meliputi suhu dan salinitas telah
dilakukan di Estuari Binuangeun, Banten pada bulan Juni 2005 untuk mengetahui pola
sebaran vertikal horisontal suhu dan salinitas yang digunakan untuk mengidentifikasi
tipe estuari Binuangeun. Pengamatan dilakukan pada 6 stasiun di daerah estuari pada
lapisan permukaan dan lapisan dasar serta 2 stasiun di Sungai Cibaliung. Parameter
suhu dan salinitas diukur dengan menggunakan peralatan sistem sensor CTD SBE 19
yang dapat merekam secara simultan profil dari parameter suhu dan salinitas yang
diturunkan sampai dasar perairan sedangkan posisi stasiun ditentukan dengan
menggunakan GPS. Hasil pengamatan distribusi suhu menunjukkan bahwa diperairan
Estuari Binuangeun tidak terdapat lapisan termoklin. Hal ini disebabkan karena
kedalaman perairan yang diteliti termasuk dangkal sehingga pengaruh angin (dragforce)
masih dominan. Distribusi salinitas di peroleh nilai salinitas yang relatif homogen terhadap
kedalaman. Salinitas yang homogen ini menjadi indikasi adanya proses pengadukan
vertikal yang kuat (well mixed) antara air laut dan air tawar.

Kata Kunci : Estuari, suhu, salinitas, termoklin, pengadukan vertikal.

ABSTRACT

TYPE OF BINUANGEUN ESTUARY BASED ON TEMPERATURE


AND SALINITY DISTRIBUTION. Observation of physical oceanography
parameters, namely water temperature and salinity was carried out in the
Binuangeun Estuary (Banten) on June 2005, to know vertical horizontal
distribution of temperature and salinity. Then the results are used to identify
Binuangeun Estuary type. The observation was done according to distribution at

97
MUHAMMAD FURQON AZIS

6 stations in the surface and near bottom layer of the estuary and 2 stations in
the river. The water temperature and salinity was measured using CTD SBE 19
censor that could be record simultaneously the profile of the oceanography
parameters. Station position determined by using GPS. The results of temperature
observation showed that there is no thermocline layers in Binuangeun Estuary.
This is because the water depth is shallow and dragforce still dominant. From the
results of salinities distribution showed that there are homogeneous layers of
salinity from the upper layer until the bottom layer. This is indicating that strong
vertical mixing happened between sea water and fresh water.
Key Words: Estuary, temperature, salinity, thermocline, vertical mixing.

PENDAHULUAN

Estuari adalah perairan semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut,
sehingga air laut yang bersalinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar yang
bersalinitas rendah. Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar tersebut akan
menghasilkan suatu komunitas yang khas dengan kondisi lingkungan yang bervariasi.
Interaksi antara air laut dan air tawar ini akan berpengaruh pada perairan mengakibatkan
terjadinya perubahan kondisi lingkungan terutama suhu dan salinitasnya (PRITCHARD
1967). Suhu dan salinitas merupakan faktor yang sangat penting bagi distribusi
organisme di estuari.
Suatu ciri dari interaksi antara daratan dan lautan di perairan estuari adalah
adanya percampuran dan penyebaran air tawar dari sungai ke arah laut dan sebaliknya.
Air dari sungai yang bercampur dengan air laut yang asin akan mengakibatkan
peningkatan salinitas dimana nilai salinitas akan bertambah ke laut (DUXBURRY
2002). Variasi salinitas ini selanjutnya akan membentuk variasi tekanan horizontal
yang akan menimbulkan suatu sirkulasi estuari dimana air tawar bergerak di lapisan
permukaan ke arah laut dan air asin bergerak di lapisan dalam ke arah hulu. Dalam
sirkulasi estuari ini terjadi keseimbangan antara tekanan dan gesekan internal yang
disebabkan viskositas air. Perbedaan densitas antara perairan estuari dan air laut
sekitarnya bergantung pada debit air sungai (tawar) dan kekuatan pasang surut di
daerah tersebut (STEWART 2002).
Berdasarkan Interaksi antara aliran air tawar dan sirkulasi pasang surut,
TOMCZAK (2000) mengklasifikasikan estuari sebagai berikut :

98
TIPE ESTUARI BINUANGEUN (BANTEN) BERDASARKAN DISTRIBUSI SUHU
DAN SALINITAS PERAIRAN

1. ‘Salt wedge estuary’. Merupakan estuari yang mempunyai percampuran


lemah. Terbentuk oleh aliran sungai yang kuat dari sungai-sungai besar yang
memasuki laut dan arus pasutnya lemah.
2. ‘Well-mixed estuary’. Merupakan estuari yang tercampur sempurna. Perairan
estuari ini terjadi pengadukan vertikal yang kuat disebabkan oleh gerak
pasang surut hingga mengakibatkan perairan menjadi homogen secara vertikal.
Karena berada di bawah kendali pasang surut maka salinitas di semua titik
dapat berubah dengan drastis, bergantung pada kedudukan pasang surut.
Pada saat surut, salinitas didominasi oleh air tawar yang datang dari sungai
sedangkan pada saat pasang salinitas didominasi air laut.
3. ‘Partially-mixed estuary’. Estuari ini terbentuk bila kondisi debit air sungai
kecil dan arus pasutnya kuat. Di permukaan, air cenderung mengalir ke luar
sedangkan air laut mengalir dibawah lapisan campuran. Akibatnya garis
isohaline mempunyai kecenderungan condong ke arah laut.

Setiap perairan mempunyai karakteristik distribusi yang berbeda. Gambaran


percampuran di perairan estuari, antara lain distribusi horisontal dan vertikal suhu
perairan muara telah dilaporkan oleh YANAGI (1984) dan MIYAJI (1979). Di dalam
perairan estuari seringkali didominasi oleh proses percampuran dan penyebaran air
tawar ke arah lepas pantai. Masukan air tawar, selain dari curah hujan juga berasal
dari aliran sungai (HADIKUSUMAH et al. 2001). Kondisi demikian akan
menyebabkan terjadinya interaksi antara air tawar dan air laut. Interaksi antara air
tawar dan air laut di perairan estuari perlu difahami karena dapat memepengaruhi
penyebaran suhu, salinitas, kekeruhan dan sebagainya. Adanya perubahan suhu dapat
menyebabkan terjadinya sirkulasi dan stratifikasi air yang secara langsung maupun
tidak langsung berpengaruh terhadap distribusi air. Sementara variasi harian salinitas
di perairan estuari berpengaruh terhadap keberadaan organisme (BASSINDALE
1973).
Perairan Estuari Binuangeun adalah daerah estuari yang berhadapan langsung
dengan Samudera Hindia dan terletak di pantai selatan Propinsi Banten. Perairan ini
merupakan sistem sungai dan sebagai alur pelayaran bagi kapal-kapal nelayan.
Kedalaman airnya kurang dari 3 meter dan lebar sungai relatif sempit. Karakteristik
distribusi vertikal dan horizontal suhu dan salinitas Estuari Binuangeun, Banten ini
belum diketahui. Dalam tulisan ini, dibahas suatu analisa kuantitatif distribusi suhu dan
salinitas di perairan Estuari Binuangeun dengan menggunakan data suhu dan salinitas
untuk menentukan tipe Estuari Binuangeun.

99
MUHAMMAD FURQON AZIS

BAHAN DAN METODE

Data parameter Oseanografi yang meliputi suhu dan salinitas, diperoleh dari
penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Jakarta, pada
musim peralihan I, Juni 2005. Sebaran suhu air dan salinitas diukur di perairan Estuari
Binuangeun pada 6 stasiun di estuari dan 2 stasiun di Sungai Cibaliung (Gambar 1).
Pengukuran suhu dan salinitas menggunakan peralatan sistem sensor CTD SBE 19
yang dapat merekam secara simultan profil dari parameter suhu, salinitas yang
diturunkan sampai dengan dasar estuari atau muara. Pengukuran parameter dilakukan
pada lapisan permukaan dan dekat dasar laut. Untuk akuisisi data digunakan paket
program yang dikeluarkan oleh Sea-Bird Electronics Inc. Yaitu SEASAVE dan
konversinya menggunakan program DATCNV dan BINAVG ( HADIKUSUMAH et
al. 2001).

-6.832

-6.834

-6.836 Cibaliung
5 River
1
-6.838 6 2
4

-6.84 7
3
-5.6

-5.8

8 -6

-6.842 -6.2

-6.4

-6.6 Banten Province


-6.8

-6.844 -7
Research Location

Indonesian Ocean -7.2

-7.4

105 105.2 105.4 105.6 105.8 106 106.2 106.4 106.6 106.8 107

105.866 105.868 105.87 105.872 105.874 105.876 105.878 105.88 105.882 105.884

Gambar 1. Posisi stasiun oseanografi di Estuari Binuangeun, Juni 2005.


Figure 1. Oceanography station in Binuangeun Estuary, June 2005.

100
TIPE ESTUARI BINUANGEUN (BANTEN) BERDASARKAN DISTRIBUSI SUHU
DAN SALINITAS PERAIRAN

Untuk menggambarkan peta tematik dari kedua parameter oseanografi


tersebut di atas maka data yang direkam oleh CTD SBE 19 kemudian dirata-ratakan
dengan interval satu meter, kemudian dengan software Surfer versi 8 dibuat kontur
sebaran untuk dua lapisan yaitu lapisan permukaan dan lapisan dekat dasar. Prosedur
pengukuran yang dijelaskan di atas dilaksanakan pada saat kondisi pasut surut menuju
pasang (Gambar 2) selama bulan Juni 2005.

Gambar 2. Kondisi pasang surut Estuari Binuangeun, Juni 2005.


Figure 2. Tide condition in Binuangeun Estuary, June 2005.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Secara lengkap hasil pengukuran suhu dan salinitas di lapisan permukaan
dan dasar dari sungai, muara dan ke arah perairan laut disajikan dalam Gambar 3
sampai 8.

Distribusi suhu
Sebaran suhu air laut pada lapisan permukaan dan dasar di perairan Estuari
Binuangeun pada bulan Juni 2005 memperlihatkan adanya stratifikasi horisontal. Hal
ini terlihat dari adanya perbedaan pola distribusi suhu air di setiap stasiun pengamatan.
(Gambar 3, 4 dan 5). Hasil pengukuran suhu di lapisan permukaan pantai sekitar

101
MUHAMMAD FURQON AZIS

Estuari Binuangeun pada permulaan musim timur, Juni 2005 di stasiun sebaran tercatat
cukup tinggi dan berkisar antara 29,81 – 30,23 oC dengan rata-rata 30,03 oC dan
nilai simpangan baku adalah 0,15 oC. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan
nilai suhu di lapisan dasar yang suhunya berkisar antara 29,69 – 29,77 oC dengan
rata-rata sebesar 29,73 oC dan nilai simpangan baku 0,02 oC (Tabel 1). Hasil
pengukuran suhu permukaan di Sungai Cibaliung tercatat pada kisaran 28,33 – 28,56
o
C dengan nilai rata-rata sebesar 28,44 oC dan nilai simpangan baku sebesar
0,16 oC. Untuk hasil pengukuran suhu di lapisan dasar Sungai Binuangeun berkisar
antara 28,33 – 28,57 oC dengan nilai rata-rata sebesar 28,45 oC dan nilai simpangan
baku sebesar 0,16 oC (Tabel 2). Untuk daerah pantai suhu minimum permukaan
tercatat pada Stasiun 4 (29,81 oC) dan suhu maksimum diperoleh di Stasiun 5 (30,23
o
C) sedangkan untuk nilai minimum suhu di lapisan dasar tercatat pada Stasiun 8
(29,69 oC) dan nilai maksimumnya tercatat pada Stasiun 5 (29,77 oC). Fenomena ini
disebabkan oleh adanya tekanan massa air relatif dingin yang berasal dari Samudera
Hindia dan dari air sungai, sehingga massa air yang relatif lebih panas sebesar 1oC
karena sinar matahari tertahan di daerah teluk.

Gambar 3. Distribusi vertikal suhu Estuari Binuangeun, Juni 2005.


Figure 3. Vertical distribution of temperature in Binuangeun Estuary, June 2005.

102
TIPE ESTUARI BINUANGEUN (BANTEN) BERDASARKAN DISTRIBUSI SUHU
DAN SALINITAS PERAIRAN

-6.832

30.2 oC
-6.834
30.12 oC

Cibaliung
-6.836 River
30.04 oC

-6.838 29.96 oC
Indonesian
Ocean
29.88 oC
-6.84
-5.6
29.8 oC
-5.8

-6.842 -6

-6.2

-6.4

-6.6 Banten Province

-6.844
-6.8

Research Location
-7

-7.2

-7.4

105 105.2 105.4 105.6 105.8 106 106.2 106.4 106.6 106.8 107

105.866 105.868 105.87 105.872 105.874 105.876 105.878 105.88 105.882 105.884

Gambar 4. Distribusi horisontal suhu permukaan Estuari Binuangeun, Juni 2005.


Figure 4. Horizontal distribution of surface temperature in Binuangeun Estuary, June 2005.

-6.832

29.775 oC

-6.834 29.765 oC

29.755 oC

-6.836 Cibaliung 29.745 oC


River
29.735 oC

-6.838 29.725 oC
Indonesian
Ocean 29.715 oC

-6.84 29.705 oC

-5.6
29.695 oC
-5.8

-6.842 -6

-6.2

-6.4

-6.6 Banten Province

-6.844 -6.8

Research Location
-7

-7.2

-7.4

105 105.2 105.4 105.6 105.8 106 106.2 106.4 106.6 106.8 107

105.866 105.868 105.87 105.872 105.874 105.876 105.878 105.88 105.882 105.884

Gambar 5. Distribusi horisontal suhu lapisan dasar Estuari Binuangeun, Juni 2005.
Figure 5. Horizontal distribution of bottom temperature in Binuangeun Estuary, June 2005.

103
MUHAMMAD FURQON AZIS

Tabel 1. Suhu dan salinitas di perairan Estuari Binuangeun, Juni 2005.


Table 1. Temperature and salinity in Binuangeun Estuary, June 2005.

Temperature (oC) Salinity (o/oo)


Station
Surface Bottom Surface Bottom
3 30.14 29.73 32.62 33.1
4 29.81 29.74 2.33 7.41
5 30.23 29.77 32.52 33.1
6 29.89 29.73 31.63 33.49
7 30.03 29.71 32.12 33.63
8 30.07 29.69 32.91 33.36
Minimum 29.81 29.69 2.33 7.41
Maximum 30.23 29.77 32.91 33.63
Means 30.03 29.73 27.35 29.01
ST DEV 0.15 0.02 12.26 10.58

Tabel 2. Suhu dan salinitas di perairan Sungai Cibaliung, Juni 2005.


Table 2. Temperature and salinity in Cibaliung River, June 2005.

Temperature (oC) Salinity (o/oo)


Station
Surface Bottom Surface Bottom
1 28.33 28.33 0.13 0.13
2 28.56 28.57 0.14 0.14
Means 28.44 28.45 0.135 0.135
ST DEV 0.16 0.16 0.007 0.007

Distribusi vertikal suhu dari lapisan permukaan sampai kedalaman 15 m pada


penampang tegak Stasiun 1-8 (Gambar 3) menunjukkan bahwa nilai terendah pada
lapisan permukaan < 29 oC tercatat di Stasiun 1 dan 2 sebelah dalam muara Sungai
Cibaliung. Hal ini menggambarkan adanya suhu lebih rendah datang dari arah darat
yang diduga berasal dari arah pegunungan yang membawa massa air dingin.
Berdasarkan distribusi vertikal suhu juga didapatkan bahwa pada daerah perairan
estuari tidak terdapat daerah termoklin karena kedalaman perairan yang diteliti
termasuk dangkal sehingga dari lapisan permukaan sampai dasar masih dapat

104
TIPE ESTUARI BINUANGEUN (BANTEN) BERDASARKAN DISTRIBUSI SUHU
DAN SALINITAS PERAIRAN

dipengaruhi oleh angin (dragforce) dan adanya proses pencampuran vertikal antara
air laut dan air tawar.
Suhu air laut pada lapisan permukaan lebih hangat daripada suhu di lapisan
dasar, namun variasi suhu pada perairan estuari lebih rendah dari pada perairan laut.
Umumnya suhu tinggi pada estuari terjadi pada siang hari. Hal ini bisa terjadi karena
daerah dangkal mudah menjadi hangat oleh pasokan aliran panas permukaan laut
(DOUGLAS 2001). Di samping itu, distribusi suhu air laut di estuari dipengaruhi oleh
kedalaman, klimatologi, pasang surut dan morfologi perairan (PICKARD 1990).
Perairan estuari yang relatif dangkal dan pemanasan air laut yang tidak homogen
menyebabkan adanya perbedaan suhu laut secara vertikal dan horizontal
(NURHAYATI 1999).
Menurut OFFICER (1976), distribusi suhu di perairan estuari terutama
dipengaruhi oleh penyinaran matahari. Di beberapa estuari seringkali suhu air sungai
lebih rendah daripada air laut. Hal ini terjadi karena besarnya kapasitas panas dari
laut dan lambatnya respon air laut terhadap proses pemanasan dan pendinginan. Suhu
air laut tertinggi di perairan Estuari Binuangeun bulan Juni 2005, ternyata terjadi pada
lapisan permukaan pada bagian tengah daerah penelitian yaitu akibat dari adanya
tekanan suhu rendah dari sungai dan Samudera Indonesia.
Distribusi salinitas
Distribusi salinitas di perairan estuari sangat dipengaruhi oleh kedalaman, arus
pasut, aliran permukaan, penguapan dan sumbangan jumlah air tawar yang masuk
ke perairan laut (STEWART 2002). Hasil pengamatan salinitas di perairan Estuari
Binuangeun, Banten disajikan dalam Gambar 6, 7 dan 8. Nilai salinitas di permukaan
Estuari Binuangeun berkisar dari nilai minimum sebesar 2,33 ‰ sampai dengan nilai
maksimum 32,91 ‰ dengan rata-rata sebesar 27,35 ‰ dan nilai simpangan bakunya
12,26 ‰. Nilai salinitas tersebut lebih rendah dibandingkan di lapisan dasar yang
berkisar dari nilai minimum sebesar 7,41 ‰ sampai dengan nilai maksimum 33,63 ‰
dengan rata-rata sebesar 29,01 ‰ dan nilai simpangan baku 10,58 ‰ (Tabel 1).
Hasil pengukuran salinitas permukaan dan lapisan dasar di Sungai Cibaliung memiliki
nilai sama yang berkisar 0,13 – 0,14 ‰ dengan rata-rata sebesar 0,135 ‰ dan nilai
simpangan baku 0,007 ‰ (Tabel 2). Nilai salinitas yang sangat kecil dan relatif sama
disetiap kedalaman di Sungai Cibaliung ini menunjukan tidak adanya pengaruh dari
air laut/intrusi air laut ke sungai dan kedalaman sungai yang dangkal (SVERDRUP
2003). Nilai salinitas minimum di permukaan estuari tercatat pada Stasiun 4 (2,33 ‰
dan nilai maksimumnya tercatat pada Stasiun 8 (32,91 ‰). Sedangkan untuk nilai
minimum di lapisan dasar tercatat pada Stasiun 4 (7,41 ‰) dan nilai maksimumnya
tercatat pada Stasiun 7 (33,63 ‰). Rendahnya nilai salinitas didaerah estuari depan
muara Sungai Cibaliung ini disebabkan karena adanya pengaruh air tawar ke laut
yang berasal dari darat (SVERDRUP 2003).

105
MUHAMMAD FURQON AZIS

Gambar 6. Distribusi vertikal salinitas Estuari Binuangeun, Juni 2005.


Figure 6. Vertical distribution of salinity in Binuangeun Estuary, June 2005.

Gambar 7. Distribusi horisontal salinitas permukaan Estuari Binuangeun, Juni 2005.


Figure 7. Horizontal distribution of surface salinity in Binuangeun Estuary, June 2005.

106
TIPE ESTUARI BINUANGEUN (BANTEN) BERDASARKAN DISTRIBUSI SUHU
DAN SALINITAS PERAIRAN

-6.832

35 o/oo
-6.834
31 o/oo

27 o/oo
Sungai
-6.836 Cibaliung
23 o/oo

19 o/oo
-6.838
Samudera 15 o/oo
Indonesia
-6.84 11 o/oo
-5.6

-5.8
7 o/oo
-6

-6.842
-6.2

-6.4

-6.6 Propinsi Banten

-6.844 -6.8

Lokasi Penelitian
-7

-7.2

-7.4

105 105.2 105.4 105.6 105.8 106 106.2 106.4 106.6 106.8 107

105.866 105.868 105.87 105.872 105.874 105.876 105.878 105.88 105.882 105.884

Gambar 8. Distribusi horisontal salinitas lapisan dasar Estuari Binuangeun, Juni 2005.
Figure 8. Horizontal distribution of bottom salinity in Binuangeun Estuary, june 2005.

Distribusi vertikal salinitas dari permukaan sampai dekat dasar pada


penampang tegak Stasiun 1-8 (Gambar 6) diperoleh nilai minimum salinitas < 30 ‰
di Stasiun 1 dan 2 sebelah dalam muara sampai Stasiun 4 sebelah luar muara Sungai
Cibaliung. Ini membuktikan salinitas rendah dari massa air sungai yang telah
mengalami percampuran dengan air laut bersalinitas tinggi bergerak ke arah laut
lepas.
WYRTKI et al. (1971) menyatakan bahwa salinitas permukaan di selatan
pantai Jawa untuk bulan Mei sampai Juni berkisar antara 34 – 34,5 ‰. Dibandingkan
dengan estuari Binuangeun pada Juni 2005 diperoleh nilai yang lebih rendah (di
Binuangeun). Distribusi horisontal salinitas di perairan estuari Binuangeun di lapisan
permukaan menunjukkan bahwa salinitas rendah (2,33 ‰) di depan muara Sungai
Cibaliung bergerak ke luar menuju ke samudera. Massa air dengan salinitas rendah
tersebut selanjutnya akan bercampur dengan massa air bersalinitas tinggi yang datang
dari arah samudera Hindia dengan nilai > 34 ‰, dengan demikian akan terjadi
percampuran salinitas yaitu air tawar yang bersalinitas rendah dari sungai dan air laut
dari samudera yang bersalinitas tinggi di depan muara yang digambarkan oleh alur
yang makin tinggi (Gambar 7). Begitu juga untuk distribusi horisontal salinitas di
perairan Estuari Binuangeun di lapisan dasar menunjukkan bahwa air yang
bersalinitas rendah (7,41 ‰) di depan muara Sungai Cibaliung bergerak ke luar
menuju ke

107
MUHAMMAD FURQON AZIS

samudera sehingga bercampur dengan massa air bersalinitas tinggi dari Samudera
Hindia.
Secara keseluruhan salinitas di Estuari Binuangeun memperlihatkan nilai salinitas
yang relatif tidak berubah di setiap kedalaman. Salinitas yang homogen disetiap lapisan
kedalaman menjadi indikasi adanya proses pengadukan vertikal yang kuat (well
mixed) antara air laut dan air tawar (TOMCZAK 2000). Distribusi nilai salinitas dari
sungai, muara hingga ke laut lepas menunjukkan kecenderungan salinitasnya terus
bertambah.
Perairan Estuari Binuangeun berhubungan langsung dengan Samudera Hindia.
Kondisi ini memungkinkan sifat massa air, yaitu suhu dan salinitas disekitar daerah
penelitian mempunyai potensi untuk terjadinya pertukaran massa air dengan Samudera
Hindia. Nilai salinitas yang berkisar antara 31,62 – 33,63 ‰ menunjukkan adanya
percampuran antara massa air dari Samudera Hindia dengan Sungai Cibaliung.

KESIMPULAN
Berdasarkan pengamatan suhu dan salinitas di perairan Estuari Binuangeun
(Banten), dapat ditarik kesimpulan:
Variabilitas suhu di Estuari Binuangeun ini menunjukan bahwa perairan ini
termasuk kedalam perairan homogen dan tidak terdapat lapisan termoklin. Hal ini
terjadi karena kedalaman perairan yang diteliti termasuk dangkal sehingga dari lapisan
permukaan sampai dasar masih dapat dipengaruhi oleh angin (dragforce) dan adanya
proses pencampuran vertikal antara air laut dan air tawar.
Berdasarkan interaksi air tawar dan sirkulasi pasang surut, maka perairan
Estuari Binuangeun termasuk ke dalam klasifikasi well-mixed estuary, yaitu perairan
dengan pengadukan vertikal yang kuat disebabkan oleh gerak pasang surut hingga
mengakibatkan perairan menjadi homogen secara vertikal.
Salinitas rata-rata di bagian permukaan lebih rendah jika dibandingkan dengan
salinitas rata-rata di bagian dasar pada kondisi pasut menuju pasang. Rendahnya
salinitas tersebut disebabkan karena adanya pengaruh dari daratan dan intrusi air
tawar dari sungai Binuangeun yang menuju laut.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Hagi Yulia Sugeha
yang telah memberikan semangat dan kesempatan untuk ikut dalam melakukan
program penelitian Biodiversitas, Distribusi dan Kelimpahan Ikan Sidat (Anguilla
spp) di Perairan Indonesia serta Asosiasinya dengan faktor-faktor lingkungan.

108
TIPE ESTUARI BINUANGEUN (BANTEN) BERDASARKAN DISTRIBUSI SUHU
DAN SALINITAS PERAIRAN

DAFTAR PUSTAKA

BASSINDALE, R. 1973. Summary of tees estuary investigation. Journ. Mar. Biol.


Assoc. 20: 717-724.
DOUGLAS, R. M . 2001. Physical oceanography. Department of Geophysical
Science, University of Chicago, Illinois : 157 pp.
DUXBURY, ALISON B. 2002. Fundamentals of oceanography-4th eds. McGraw-
Hill Companies, inc., New York: 344 pp.
HADIKUSUMAH, NURHAYATI dan L.F. WENNO 2001. Variasi suhu dan
salinitas di Perairan Mamberamo Irian Jaya, Agustus 2000. Dalam: A.
AZIZ, dan M. MUCHTAR (eds). Perairan Indonesia : Oseanografi,
Biologi dan Lingkungan. Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI, Jakarta
: 9-19.
MIYAJI, K. 1979. Seasonal variation of the surface water temperature of Osaka
Bay. Bulletin on Coastal Oceanography 17: 61- 67.
NURHAYATI 1999. Distribusi suhu, salinitas dan arus di perairan Muara Ciracab
dan Muara Mati pada bulan Agustus 1998. Dalam: D.P. PRASENO, W.S.
ATMADJA, I. SUPANGAT, RUYITNO, B.S. SUDIBYO (eds). Pesisir
dan Pantai Indonesia I. Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI, Jakarta :
27-36.
OFFICER, C. 1976. Physical Oceanography of estuaries and associated coastal
waters. John Willey and Sons. New York : 465 pp.
PICKARD, G.L. 1990. Descriptive physical oceanography, An Introduction.
Pergamon Press, New York, 1990 : 320 pp.
PRITCHARD, D. 1967. Observations of circulation in coastal plain estuaries. In: G.
LAUFF (ed.), Estuaries. American Association for the Advancement
of Science. Publ. No.83, Washington, D. C. : 37-44.
STEWART, R.H. 2002. Introduction to physical oceanography. Department of
Oceanography, Texas University, Texas : 341 pp.

109
MUHAMMAD FURQON AZIS

SVERDRUP, H. U. 2003. The oceans, their physics, chemistry, and general


biology. Prentice-Hall, New York : 1049 pp.
TOMCZAK, M. 2000. An Introduction to physical oceanography. Flinders
University, South Australia : 362 pp.
WYRTKI, K., E. B. BENNET and D.J. ROCHFORD 1971. Oceanographic atlas
of the international Indian Ocean expedition. The National Sciences
Foundation, Washington D.C.: 531 pp.
YANAGI, T. 1984. Seasonal variation of water temperature in the Seto Island Sea.
Journal Oceanography Soc. Japan 40., 445 – 450.

110

Anda mungkin juga menyukai