Anda di halaman 1dari 132

i

PEMANFAATAN POTENSI
SUMBER DAYA PERAIRAN
LAUT DAN PESISIR PULAU OAR
KABUPATEN PANDEGLANG
PROVINSI BANTEN

MUJIYANTO
YUSUF ARIEF AFANDY
DESITA ANGGRAENI

ii
PEMANFAATAN POTENSI SUMBER DAYA PERAIRAN LAUT DAN
PESISIR PULAU OAR KABUPATEN PANDEGLANG PROVINSI BANTEN

CV. PENERBIT QIARA MEDIA


131 hlm: 15,5 x 23 cm

Copyright @2020 Mujiyanto, Yusuf Arief Afandy, Desita


Anggraeni
ISBN: 978-623-7365-98-3
Penerbit IKAPI No. 237/JTI/2019

Penulis:
Mujiyanto
Yusuf Arief Afandy
Desita Anggraeni

Editor:
Didik Wahju Hendro Tjahdjo
Tim Qiara Media
Layout: Nur Fahmi Hariyanto
Desainer Sampul: Dema
Gambar diperoleh dari www.google.com dan Y.A. Afandy,
R.A. Budikusuma dan Mujiyanto

Cetakan Pertama, 2020

Diterbitkan oleh:
CV. Penerbit Qiara Media - Pasuruan, Jawa Timur
Email: qiaramediapartner@gmail.com
Web: qiaramedia.wordpress.com
Blog: qiaramediapartner.blogspot.com
Instagram: qiara_media

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang


mengutip dan/atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku tanpa izin tertulis penerbit.

Dicetak Oleh CV. Penerbit Qiara Media


Isi diluar tanggung Jawab Percetakan

iii
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2002
TENTANG HAK CIPTA

PASAL 72
KETENTUAN PIDANA
SANKSI PELANGGARAN

a. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan


tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat
(1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00
(Satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama
7 (tujuh tahun dengan atau denda paling banyak
Rp. 5.000.000.000,00 (Lima miliar rupiah).
b. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan,
memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil
pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai
dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus
juta rupiah).

iv
KATA PENGANTAR

Segala Rahmat dan Puji syukur penulis panjatkan ke-hadirat


Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulisan publikasi
buku dapat terselesaikan. Buku dengan judul “Pemanfaatan
Potensi Sumber Daya Laut dan Pesisir Pulau Oar Kabupaten
Pandeglang Provinsi Banten” diharapkan dapat bermanfaat
dalam mendukung rencana program pengelolaan dan
pemanfaatan berkelanjutan Kawasan Konservasi Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) wilayah Provinsi Banten.

Wilayah perairan di sepanjang daratan, pesisir dan laut bagian


barat dan selatan Kabupaten Pandeglang saat ini telah ramai
aktivitas terutama usaha pemanfaatan wilayah pesisir dan
lautnya sehingga mampu meningkatkan taraf hidup
masyarakatnya. Tingginya usaha pemanfaatan sepanjang
pesisir tentunya tidak luput dari dampak positif serta negatif
terhadap keberlangsungan sumber daya yang ada. Hasil
identifikasi perairan pesisir termasuk keberadaan Pulau Oar
dalam area kajian yang dituangkan dalam bab per bab yang
diharapkan dapat memberikan informasi kondisi terkini terkait
potensi, isu dan permasalahan serta alternatif pengelolaannya.
Salah satu potensi yang menjanjikan adalah tingginya minat
wisata bahari yang sekarang telah berkembang di sepanjang
pesisir pantai barat. Potensi yang terkandung baik di daratan
pulau kecil maupun perairan di wilayah daratannya jika
dimanfaatkan dan dikelola dengan baik akan memberikan
peluang mata pencaharian bagi masyarakat. Pembahasan
secara rinci karakteristik dan potensi yang ada di Pulau Oar
merupakan salah satu dasar pengambilan keputusan bagi
pemanfaatan potensi ruang laut.

v
Akhir kata, kami menyadari bahwa apa yang dibahas dalam
buku ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan
masukan sangat kami harapkan demi menyempurnakannya.

Serang, Juni 2020

Tim Penyusun

vi
SAMBUTAN KEPALA DINAS

Puji syukur kami panjatkan ke-hadirat Allah


SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga proses penulisan dan penerbitan
publikasi dalam bentuk buku dengan judul
“Pemanfaatan Potensi Sumber Daya
Perairan Laut dan Pesisir Pulau Oar
Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten”
dapat diselesaikan dengan baik. Potensi
sumber daya di Pulau Oar selain yang
terkandung di dalam perairannya,
keberadaan hamparan pasir putih sepanjang daratan Pulau
Oar menjadikan pulau ini berpotensi untuk dikembangkan
kedepannya. Saat ini, pemanfaatan Pulau Oar selain sebagai
area tangkap nelayan tradisional juga dimanfaatkan sebagai
destinasi wisata lokal. Informasi yang tersaji dalam bab-bab
buku ini membahas fenomena terkini terkait potensi dan
permasalahan perairan laut dan pesisir Pulau Oar. Selain itu
bahasan tentang alternatif pengelolaan jika secara detail
sebagai bahan bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya Pulau Oar secara lestari.

Saya sampaikan ucapan terima kasih kepada para Tim Penulis,


Editor dan Tim redaksi penerbit yang telah menyelesaikan buku
ini. Tak lupa pula kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam penerbitan buku ini, saya ucapkan terima kasih.

vii
Saya berharap, buku ini dapat bermanfaat bagi para
pengambil kebijakan dan berkontribusi dalam akselerasi
pemanfaatan secara berkelanjutan bagi masyarakat di
wilayah Provinsi Banten.

Serang, Maret 2020


Kepala Dinas,

Ir. H. Suyitno, M.M

viii
UCAPAN TERIMA KASIH

Selama proses analisis dan pembahasan dalam penyusunan


buku ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai
pihak. Oleh karena itu, kami sebagai tim penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten
atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk
melaksanakan program kegiatan;
Dr. Didik Wahju Hendro Tjahdjo sebagai editor yang telah
memberikan saran dan masukan selama penyusunan buku;
Kepala Seksi Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
DKP Provinsi Banten beserta jajarannya atas dukungannya
kepada kami selama melakukan survei serta diskusi yang
membangun dalam pengumpulan data dan informasi di
lapangan;
Kepala Seksi Pengelolaan Ruang Luat dan Konservasi beserta
jajarannya atas dukungannya kepada kami selama
melakukan survei serta diskusi yang membangun dalam
pengumpulan data dan informasi di lapangan;
Camat Sumur beserta jajarannya atas ijin yang diberikan
kepada kami selama melakukan survei lapangan;
Kelompok nelayan Desa Tunggaljaya, Desa Kertamukti, Desa
Kertajaya dan Desa Sumberjaya yang tidak bisa kami
sebutkan satu persatu namanya atas diskusi yang
membangun selama pengumpulan data dan informasi
dilapangan.

Serang, Maret 2020

Tim Penyusun

ix
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... v


SAMBUTAN KEPALA DINAS ............................................................. vii
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................. ix
DAFTAR ISI ........................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ xii
DAFTAR TABEL ................................................................................ xiv

BAB I GAMBARAN UMUM ............................................................... 1


1.1. Pengantar ................................................................................. 2
1.2. Kondisi daratan Pulau Oar ..................................................... 10

BAB II KONDISI HIDRO OSEANOGRAFI .......................................... 15


2.1. Kedalaman perairan ............................................................... 16
2.2. Kualitas lingkungan perairan ................................................. 20

BAB III EKOSISTEM PESISIR ............................................................... 36


3.1. Daratan Pulau Oar .................................................................. 37
3.2. Terumbu karang ...................................................................... 41

BAB IV SUMBERDAYA IKAN ............................................................ 46


4.1. Ikan karang ............................................................................... 47
4.2. Aktifitas perikanan tangkap ................................................... 51

BAB V ISU PERMASALAHAN ............................................................ 60


5.1. Mangrove dan perubahan terumbu karang ...................... 61
5.2. Penangkapan ikan yang merusak ........................................ 63
5.3. Sektor pariwisata ..................................................................... 64

BAB VI ALTERNATIF PENGELOLAAN ............................................... 68

BAB VII PENUTUP ............................................................................... 80

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 85


GLOSARIUM .................................................................................... 101

x
INDEKS SUBJEK ............................................................................... 107
BIODATA PENULIS .......................................................................... 110
BIODATA EDITOR ............................................................................ 114

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Lokasi Pulau Oar Kecamatan Sumur ............................... 5
2. Lokasi Pulau Oar yang berdekatan langsung dengan
daratan Kecamatan Sumur dan Kecamatan Cigeulis.. 6
3. Daratan Pulau Oar ............................................................. 12
4. Sebaran kedalaman (m) di perairan Pulau Oar ............ 17
5. Profil batimetri wilayah Kecamatan Sumur ..................... 18
6. Kondisi permukaan perairan sekeliling Pulau Oar ......... 19
7. Sebaran nilai kecerahan (m) di perairan Pulau Oar ..... 22
8. Sebaran nilai suhu (°C) di perairan Pulau Oar ............... 23
9. Sebaran nilai salinitas (‰) di perairan Pulau Oar .......... 25
10. Sebaran nilai oksigen terlarut (mg/L) di perairan Pulau Oar
................................................................................................ 27
11. Sebaran nilai klorofil-a (mg/m3) di perairan Pulau Oar . 29
12. Sebaran nilai pH (unit) di perairan Pulau Oar ................ 31
13. Sebaran nilai konduktivitas (μS/cm) di perairan Pulau Oar
................................................................................................ 33
14. Sebaran nilai ORP (m/V) di perairan Pulau Oar ............. 34
15. Gambaran umum habitat daratan Pulau Oar .............. 38
16. Foto udara Pulau Oar ........................................................ 38
17. Beberapa vegetasi yang mendominasi daratan Pulau
Oar ........................................................................................ 40
18. Gambaran umum ekosistem terumbu karang di Pulau
Oar ........................................................................................ 43
19. Gambaran umum keberadaan ikan karang di Pulau Oar
................................................................................................ 50
20. Aktifitas perikanan tangkap di sekitar Pulau Oar ........... 55
21. Bagan apung di sekitar Pulau Oar Kecamatan Sumur . 57
22. Kenampakan bagan lampu ............................................. 58
23. Beberapa kerusakan pasca tsunami Desember 2018 .... 62
24. Pemanfaatan usaha wisata bahari oleh masyarakat .. 66

xii
25. Hubungan sumber daya dengan upaya pemanfaatan
................................................................................................ 70
26. Zonasi Pulau Oar sebagai alternatif pengelolaan ........ 77

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Persentase tutupan karang di Pulau Oar......................... 42
2. Famili ikan degan jumlah jenis (spesies) dan jumlah
individu (ekor) yang ditemukan selama pengamatan
bulan Agustus 2019 di Pulau Oar ....................................... 48

xiv
BAB I
GAMBARAN UMUM

1
BAB I
GAMBARAN UMUM

1.1. Pengantar
Aktifitas pemanfaatan yang tergolong tertinggi di
wilayah Provinsi Banten salah satunya adalah pengembangan
kawasan industri. Hal tersebut terlihat di sepanjang pesisir utara
Provinsi Banten. Pengembangan industrialisasi tentunya akan
berpengaruh signifikan terhadap masyarakat baik positif bagi
masyarakat maupun pengaruh negatif bagi lingkungan.
Pengaruh positif yang dirasakan pertumbuhan ekonomi yang
cukup signifikan, akan tetapi disisi lain perkembangan
industrialisasi terutama di wilayah pesisir tentunya berkorelasi
positif terhadap tekanan lingkungan baik di daratan maupun
perairan, yang pada gilirannya nanti dapat mempercepat
terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim.
Perkembangan industrialisasi di pesisir Provinsi Banten yang
terlihat cukup signifikan adalah di sepanjang Pantai Utaranya
sedangkan Pantai Selatan dan Pantai Barat seperti di wilayah
Kabupaten Pandeglang masih rendah, dominasi kegiatan
masyarakat yang ada yaitu perikanan tangkap, perikanan
budidaya serta kegiatannya lainnya yang merupakan usaha
pasca penangkapan dan budidaya. Selain industrialisasi upaya
pengembangan wisata dengan memanfaatkan potensi

2
sumber daya, di wilayah tersebut juga sudah berkembang
kegiatan wisata dalam skala global seperti di kawasan Tanjung
Lesung. Sedangkan di beberapa tempat lain sepanjang Pantai
Selatan dan Pantai Barat masih berada pada skala lokal.
Perkembangan wisata di wilayah pesisir dan laut jika
merujuk pada Peraturan Daerah No. 9 Tahun 2005 tentang
rencana induk pengembangan pariwisata Provinsi Banten,
upaya pengembangan wisata di Banten terbagi menjadi tiga
bagian wilayah pengembangan pariwisata, yaitu:
a. Wilayah pengembangan pariwisata A dengan satuan
kawasan pengembangan pariwisata melingkupi Tangerang,
Pantai Utara dan Serang.
b. Wilayah pengembangan pariwisata B dengan satuan
kawasan pengembangan pariwisata melingkupi Cilegon,
Pantai Barat, dan Ujung Kulon.
c. Wilayah pengembangan pariwisata C dengan satuan
kawasan pengembangan pariwisata melingkupi Banten
Tengah dan Pantai Selatan. Saat ini salah satu yang menjadi
prioritas pengembangan kepariwisataan di Provinsi Banten
terdapat wilayah Kabupaten Serang, yang sebagian besar
berupa pengembangan pariwisata berjenis pariwisata
bahari.
Maraknya pengembangan dalam bentuk
pembangunan bidang maupun pariwisata dalam skala lokal
sudah ditunjukkan di sepanjang pesisir Teluk Paraja wilayah
Pantai Barat Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten.

3
Pemanfaatan dalam bentuk pengembangan dan atau
pembangunan sepanjang wilayah pesisir diperlukan bentuk
pengelolaan yang berkelanjutan. Kebijakan tersebut
dimaksudkan sebagai bentuk penjaminan sumber daya
terhadap kelestarian serta implementasi konsep dasar
pengelolaan yaitu pemanfaatan yang berkelanjutan.
Dijelaskan oleh Wakyudi et al. (2015) pembangunan
berkelanjutan baik di wilayah darat, pesisir maupun di laut
sudah seharusnya memiliki tujuan utama sebagai kawasan
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya, selain itu juga seharusnya berfungsi sebagai
wilayah sistem penyangga kehidupan biota maupun organisme
yang berasosiasi di dalamnya. Kawasan pelestarian alam
adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan
maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Salah satu bentuk pengelolaan pemanfaatan potensi
ekosistem pesisir yang berkelanjutan yang dalam dilakukan
dimana upaya tersebut akan menguntungkan secara ekonomi
serta secara sosial (masyarakat pada umumnya) dapat
diterima adalah pengembangan usaha jasa lingkungan seperti
halnya ekowisata (Wakyudi et al., 2015). Ekowisata merupakan
salah satu mekanisme sistem pembangunan berkelanjutan
yang mampu menyelaraskan antara fungsi-fungsi sumber daya

4
alam dengan aktivitas manusia dan pembangunan melalui
keanekaragaman hayati sebagai objek dan daya tarik wisata.
Pertumbuhan jumlah pengunjung di kawasan konservasi dapat
mempengaruhi integritas ekologi dalam cakupan yang lebih
luas pada ekosistem alaminya. Hal ini juga merupakan umpan
balik dari pengelolaan kawasan konservasi bagi masyarakat
dalam memberikan manfaat optimal berwisata alam (Gurung,
2010) (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi Pulau Oar Kecamatan Sumur Kabupaten


Pandeglang

Kawasan pulau-pulau kecil yang termasuk di dalamnya


keberadaan pantai mempunyai sumber daya alam hayati dan
aset wisata bahari yang sangat potensial. Daratan dan pantai
di pulau-pulau kecil merupakan bagian dari ekosistem pesisir
dengan nilai ekonomisnya yang cukup tinggi karena selain
berfungsi sebagai daerah penyangga juga dapat berfungsi

5
sebagai daerah wisata. Kondisi tersebut dengan kepemilikan
sumber daya alam hayati dan keindahan pantainya terlihat di
Pulau Mangir, Oar, Umang dan Pulau Badul. Kelima pulau
tersebut dengan lokasinya yang dekat dengan daratan
Kecamatan Sumur maupun Kecamatan Cigeulis serta wilayah
Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Lokasi yang cukup strategis
tersebut menjadikan salah satu fungsi utamanya sebagai area
penyangga bagi keberlanjutan sumber daya baik di kawasan
Teluk Paraja maupun area TNUK. Pulau-pulau kecil tersebut
terutama Pulau Oar dan Pulau Mangir secara administrasi Pulau
Oar masuk dalam administrasi Desa Sumberjaya Kec. Sumur
Kab. Pandeglang Provinsi Banten. Dimana Pulau Oar
merupakan salah satu pulau kecil yang mudah diakes dari
daratan Sumur tanpa harus menempuh perjalanan dengan
gelombang yang tinggi. Luas daratan Pulau Oar adalah 3,7 Ha
(0,037 km2) (Gambar 2).

Gambar 2. Lokasi Pulau Oar yang berdekatan langsung


dengan daratan Kecamatan Sumur dan Kecamatan Cigeulis

6
Potensi yang terkandung di Pulau Oar tidak terlepas dari
isu maupun permasalahan lingkungannya. Hal tersebut juga
sudah mulai diantisipasi oleh Pemerintah Provinsi Banten, hal
tersebut tertuang dalam rencana strategis RPJMD dan RPJPN
yang selanjutnya dijadikan sebagai salah satu misi Pemerintah
Provinsi Banten yaitu infrastruktur wilayah/kawasan dan
lingkungan hidup. Dalam rangka mencapai misi tersebut di
atas, oleh Pemerintah Provinsi Banten dibuat strategi dalam
pelaksanaan pembangunan yang berhubungan dengan
lingkungan. Beberapa rencana strategis yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
a. Meningkatkan pengendalian pencemaran air dan udara
dari industri dan domestik;
b. Meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana dan
perubahan iklim;
c. Mengubah daerah rawan bencana menjadi daerah bebas
bencana (banjir, kekeringan, sampah, longsor, dan bencana
lainnya);
d. Meningkatkan peran serta masyarakat desa hutan dalam
pengamanan kawasan hutan;
e. Rehabilitasi dan konservasi sumber daya alam dan
lingkungan hidup melalui gerakan rehabilitasi lahan kritis
(GRLK); dan
f. Meningkatnya pengelolaan kawasan lindung. Dalam
laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Provinsi
Banten ini, berusaha untuk menggambarkan kondisi

7
lingkungan hidup sejak tahun 2014 sampai sekarang serta
adanya upaya yang telah dilakukan oleh seluruh pihak
dalam rangka pengelolaan lingkungan.
Kebijakan pemerintah daerah Provinsi Banten terhadap
pengembangan perikanan tangkap, budidaya dan wisata,
merupakan salah satu bentuk konsekuensinya terhadap upaya
pengelolaan bagi pertumbuhan ekonomi. Strategi
pengelolaan, pemanfaatan dan pelestarian atas keberadaan
pulau-pulau kecilnya sangat memerlukan bentuk rencana
program yang baik dan berkelanjutan. Kebijakan dalam
rencana program tersebut juga diperlukan untuk menjaga
sumber daya dan jasa lingkungan khususnya wilayah pesisir dan
laut serta sumber daya perikanan yang terkandung di
dalamnya serta karakteristik dari sebuah pulau.
Pembangunan sektor perikanan dan wisata bahari
merupakan salah satu konsep pembangunan sektoral yang
memiliki kontribusi pada pembangunan di Provinsi Banten
khususnya dalam pertumbuhan ekonomi regional dan
penyerapan tenaga kerja (Rizal, 2013). Sebagaimana diketahui
bahwa potensi sumber daya perikanan tangkap wilayah pesisir
dan laut Provinsi Banten tersebar di Laut Jawa, Selat Sunda dan
Samudera Hindia, atau pada wilayah perairan seluas 11.134,224
km. Akan tetapi keberadaan potensi tersebut belum
sepenuhnya dikembangkan, seperti halnya potensi perikanan
tangkap yang masih terkonsentrasi di Laut Jawa dan Selat
Sunda, meskipun stok sumber daya ikan di sepanjang laut Jawa

8
sudah mulai menurun. Dalam Rencana Tata Ruang Kelautan
Nasional (RTRKN) DKP tahun 2003 sudah dijelaskan bahwa
aktifitas penangkapan ikan di Laut Jawa sudah harus dibatasi
terkait dengan kecenderungan mengalami upaya tangkap
ikan yang berlebih.
Kabupaten Pandeglang dengan potensi wilayah pesisir
maupun ruang lautnya yang tinggi seperti dijelaskan oleh Rizal
(2013) bahwa tahun 2009 wilayah perairan Kab. Pandeglang
sebesar 58.753,11 ton, di mana potensi tersebut baru
dimanfaatkan sekitar 76,98% dari total potensi lestari yang ada,
yaitu sekitar 92.971 ton. Potensi produksi perikanan tangkap
tersebut belum memperhitungkan potensi lestari wilayah
perairan lainnya. Berbagai bidang seperti halnya bidang
perikanan kelautan maupun bidang perikanan dalam
pembangunan wilayah memegang peranan penting,
mengingat pesisir serta perairan laut Kabupaten Pandeglang
cukup luas. Akan tetapi, pada kenyataannya penerapan di
lapangan masih banyak ditemukan masalah-masalah sebagai
bentuk ancaman terhadap keberadaan dan kelangsungan
potensi sumber daya perairannya.
Kabupaten Pandeglang merupakan daerah yang
berada di wilayah paling ujung bagian Barat Pulau Jawa.
Berada di sebelah barat daya Ibukota Negara Republik
Indonesia, yakni sekitar hampir ± 100 km dari Kota Jakarta. Pusat
perekonomian Kabupaten Pandeglang terletak di dua kota
(kecamatan) yakni Pandeglang dan Labuan. Sebagian besar

9
wilayah Kabupaten Pandeglang merupakan dataran rendah
dan dataran bergelombang, kawasan selatan terdapat
rangkaian pegunungan.
Beberapa pulau-pulau kecil yang berada di wilayah
Kabupaten Pandeglang yang salah satunya adalah Pulau Oar
memberikan nilai tersendiri jika dapat dikembangkan baik dari
sisi sumber daya hayati perairan maupun potensi daratan serta
pantai bagi wisata bahari. Akan tetapi, prinsip dasar dari
pemanfaatan yang nantinya dikembangkan harus tetap
menjaga prinsip pemanfaatan yang berkelanjutan.

1.2. Kondisi daratan Pulau Oar


Kabupaten terletak di ujung barat Pulau Jawa dengan
luas wilayah 2.747 km2 dan memiliki panjang garis pantai 230
km, berpenduduk 1.106.788 jiwa. Wilayah Kabupaten
Pandeglang secara geografis terletak antara 6º21’ - 7º10’
Lintang Selatan dan 104º48’ - 106º11’ Bujur Timur dengan luas
wilayah 2.747 kilometer persegi (km²) atau sebesar 29,98 % dari
luas wilayah Provinsi Banten (BPS Kabupaten Pandeglang,
2018). Kabupaten yang berada di Ujung Barat dari Provinsi
Banten ini mempunyai batas administrasi sebagai berikut:

Utara : Kabupaten Serang


Selatan : Samudra Indonesia
Barat : Selat Sunda
Timur : Kabupaten Lebak

10
Kabupaten Pandeglang dibagi menjadi 35 kecamatan
dengan 13 Kelurahan dan 322 desa, Kecamatan Cikeusik
merupakan kecamatan terluas di Kabupaten Pandeglang
dengan luas 322,76 kilometer persegi sedangkan Labuan
merupakan kecamatan terkecil dengan luas 15,66 kilometer
persegi. Secara ekologi, kriteria yang menjadi bahan
pertimbangan yaitu keberadaan ekosistem sebagai habitat
fauna akuatik serta kondisi fisik yang menunjang keberlanjutan
ekosistemnya. Adapun kondisi sosial ekonomi masyarakatnya
lebih menekankan terhadap kepentingan bagi keberlanjutan
hidup dan upaya untuk membangun sarana prasarana untuk
menunjang upaya pemanfaatan potensi sumber daya laut dan
pesisir. Selain kedua fungsi tersebut, bagi arah kebijakan juga
diperlukan untuk mengontrol segala bentuk upaya
pemanfaatan sumber daya alam yang ada sehingga sumber
daya yang ada tetap lestari.
Daratan Pulau Oar seperti yang terlihat pada Gambar 3
di dominasi oleh vegetasi pantai. Merujuk dari hasil kajian DKP
Provinsi Banten tahun 2018 pada daratan Pulau Oar beberapa
jenis mangrove yang dtemukan adalah jenis Sonneratia alba,
Exoecaria agallocha, Pemphis acidula, Rhizophora mucronata,
Xylocarpus granatum, dan Lumnitzera racemosa. Akan tetapi
pasca tsunami Desember 2018 selama tim melaksanakan survei
di Pulau Oar tidak ditemukan keberadaan mangrove di
sepanjang Pantai Pulau Oar. Seperti terlihat pada Gambar 3
bahwa sampai dengan bulan Agustus 2019 hasil foto udara

11
daratan Pulau Oar terlihat gundul hanya beberapa bagian
yang masih ditemukan tanaman seperti tanaman akasia,
ketapang dan waru laut yang bercampur dengan beberapa
tanaman khas pantai.

Gambar 3. Daratan Pulau Oar di Kabupaten Pandeglang

Wilayah pantai barat Kabupaten Pandeglang memiliki 2


Teluk Besar dengan potensi sumber dayanya yang sangat
tinggi, yaitu Teluk Lada dan Teluk Paraja. Di Teluk Paraja sendiri

12
ada beberapa pulau-pulau kecil yang memiliki potensi
terutama potensi wisata dan perikanan yang cukup
menjanjikan, salah satunya adalah Pulau Oar, selain Pulau
Mangir, Pulau Badul dan Pulau Umang. Pulau-pulau tersebut
dengan lokasinya berdampingan dengan TNUK namun
berperan sebagai kawasan penyangga keanekaragaman
sumber daya ikan. Bentuk kepedulian akan keberlanjutan
sumber daya ikan juga ditunjukkan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Pandeglang dengan dicadangkannya wilayah
tersebut sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) seluas
7.391 ha melalui Keputusan Bupati Nomor: 660/ Kep.369-
Huk/2007 tentang penetapan kawasan konservasi perairan
Kabupaten Pandeglang.
Beberapa pulau kecil di perairan Kecamatan Sumur dan
Cikeusik merupakan pulau dalam gugusan wilayah pantai
barat Kabupaten Pandeglang, yang tepatnya di Teluk Paraja.
Perjalanan di salah satu pulau kecil tersebut seperti ke Pulau Oar
dapat ditempuh dari pelabuhan tradisional di daratan
Kecamatan Sumur menggunakan perahu motor dan
speedboat. Pulau Oar saat ini merupakan salah satu pulau tidak
berpenduduk dan memiliki pantai pasir putih untuk kegiatan
bahari, berjemur dan berolahraga berenang, snorkeling,
menyelam dan memancing. Hasil survei lapangan di Pulau Oar,
sampai dengan September 2019 ditemukan beberapa
wisatawan lokal yang memanfaatkan Pulau Oar sebagai objek
tujuan wisata mereka. Pasca bencana tsunami bulan Desember

13
2019 menurut penutupan beberapa nelayan yang ditemui,
kunjungan ke Pulau Oar mengalami penurunan dibandingkan
sebelum tsunami, kondisi tersebut terbalik dengan jumlah usaha
perikanan tangkap yang setiap tahunnya selalu bertambah.
Potensi daratan dan perairan Pulau Oar jika dilihat dari potensi
yang ditemukan seharusnya Pulau Oar dijadikan sebagai areal
kegiatan bahari populer di bandingkan dengan obyek lainnya.
Pulau Oar menyimpan keindahan taman bawah laut
yang berpotensi dikembangkan menjadi sebuah objek wisata
bahari. Di sekeliling pulau ditemukan karang dengan tipe
pertumbuhan karang tepi atau fringing reef. Terumbu karang
tersebut tumbuh pada kedalaman 1-10 meter. Daerah Pulau
Oar sebelah utara merupakan daerah dengan arus yang besar
sehingga sering digunakan untuk diving dan juga snorkeling,
selain itu pada area timur juga dapat ditemukan clown fish dan
binatang laut lainnya, daerah timur pun memiliki visibility (jarak
pandang) yang cukup baik yaitu sekitar 10 meter. Daerah utara
pulau dihiasi dengan beragam karang dengan visibility sekitar
12 meter pada bagian utara ini belum banyak tersentuh oleh
aktifitas manusia sehingga karangnya pun masih alami.

14
BAB II
KONDISI HIDRO
OSEANOGRAFI

15
BAB II
KONDISI HIDRO
OSEANOGRAFI

2.1. Kedalaman perairan


Berdasarkan hasil analisis dari pengambilan data bulan
Agustus 2019 dihasilkan tingkat kedalaman perairan di sekitar
daratan Pulau Oar dihasilkan nilai kisaran nilai 3,1-25,2 meter.
Kondisi kedalaman di sekitar pulau tersebut dengan jarak 1-3
meter memiliki kedalaman cenderung dangkal di sisi barat dan
utara dengan kisaran kedalaman 3,2-7,7 meter. Sedangkan
kedalaman di sisi selatan ke utara cenderung lebih dangkal
pada jarak 1-3 meter dari daratan pulau, dengan kisaran nilai
kedalaman 3,1-7,7 meter. Sisi utara ke arah timur pulau pada
musim kemarau dan peralihan kemarau ke hujan cenderung
memiliki gelombang dan arus yang cukup kuat. Sehingga
beberapa pemanfaatan baik daratan dan perairan pulau
cenderung pada sisi barat ke arah utara Pulau Oar.

16
Gambar 4. Sebaran kedalaman (batimetri) (m) di perairan
Pulau Oar

Merujuk dari hasil pengamatan Nasution (2008) yang


juga di jelaskan dalam Buku Potensi Pulau Mangir dijelaskan
bahwa pada wilayah survei dengan menggunakan lintasan
survei secara pararel tegak lurus garis pantai seperti pada
diperoleh gambaran mengenai perairan Kecamatan Sumur
dimana merupakan suatu daerah dataran melandai dari 0
meter di tepian pantai hingga rata-rata kedalaman 30 meter
(Gambar 4 dan Gambar 5). Daerah ini memiliki bentuk dasar
perairan yang bergelombang dan memiliki variasi kedalaman
yang berbeda-beda untuk setiap posisi lintang dan bujur.
Selama melakukan proses pemeruman sesuai dengan jalur
yang ditentukan diperoleh rata-rata kedalaman yaitu 11,12 m
dimana kedalaman terendah 1,5 m dan kedalaman tertinggi 30
m yang relatif seragam dari utara ke selatan. Pada gambar juga
terlihat adanya beberapa tonjolan/bukit dan dua buah

17
tanjung. Tonjolan ini merupakan tonjolan dari pulau-pulau kecil
yang terdapat di sekitar perairan tersebut diantaranya Pulau
Umang, Pulau Oar, Pulau Mangir dan Pulau Badul. Perapatan
isodepth terjadi di daerah tanjung-tanjung di dekat Pulau
Umang dan Pulau Oar serta di dekat Pulau Mangir dan Badul di
sisi selatan.

Gambar 5. Profil batimetri wilayah Kecamatan Sumur


Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten (Sumber: Nasution,
2008)

18
Gambar 6. Kondisi permukaan perairan sekeliling Pulau Oar

Gambar 6 menjelaskan bahwa lokasi kondisi daratan,


pantai dan perairan sekitar Pulau Oar yang jaraknya
berdekatan dengan daratan Kecamatan Sumur. Kondisi yang
terlihat memberikan daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk
snorkeling dan diving ataupun hanya sekedar bermain-main di
pantai karena jarak yang dekat dan murah dari sisi pembiayaan
dari pinggir pantai Sumur ke Pulau Oar. Menurut Arifin et al.
(2002); Johan (2016) bahwa kecepatan arus yang relatif lemah,
jarak mudah ditempuh dan memberikan keamanan terhadap
gangguan alam merupakan syarat ideal untuk ekowisata
bahari kategori diving karena ini berkaitan dengan
kenyamanan dan keamanan wisatawan. Saat ini, Pulau Oar
merupakan pulau yang tidak berpenduduk sehingga

19
wisatawan dapat melakukan aktivitas wisata dan camping
secara leluasa. Kekurangan dari pemanfaatan pulau jika
dikembangkan sebagai objek wisata berdasarkan kondisi
kedalaman dan gelombang yang terlihat selama survei di bulan
Agustus 2019 adalah sulitnya kapal untuk bersandar di sekitar
pulau, sehingga wisatawan harus turun dari beberapa meter
daratan pulau untuk mencapai daratan pulaunya.

2.2. Kualitas lingkungan perairan


Kecerahan perairan
Kualitas air suatu perairan dicirikan oleh karakteristik kimia
yang sangat dipengaruhi oleh interaksi antara sumber masukan
dari daratan maupun dari laut sekitarnya. Beberapa masalah
yang berhubungan dengan air adalah banjir, erosi, kekeringan
dan pencemaran lingkungan. Kualitas perairan di pesisir
Kabupaten Pandeglang masih dalam kategori di bawah
ambang batas daya dukung lingkungan walaupun kualitas
perairannya mengalami penurunan sebagai akibat dari
tingginya pemanfaatan di perairan Selat Sunda. Dijelaskan
dalam penelitian Maesaroh (2013) bahwa fungsi ekologis kriteria
kualitas perairan mencakup faktor suhu, salinitas kecerahan
perairan, kecepatan arus dan tinggi gelombang. Konsentrasi
suhu dan salinitas merupakan parameter yang menentukan
biota laut bisa hidup dan berkembang dalam habitat tersebut
Kisaran suhu perairan yang cocok untuk tempat hidup bagi
biota laut berkisar antara 29-30 °C. Pada kisaran suhu tersebut

20
makhluk hidup bisa melakukan proses reproduksi dan
pertumbuhannya dengan optimal. Salinitas perairan lebih
banyak dipengaruhi oleh pencampuran dari massa air laut dan
air tawar. Kisaran salinitas perairan yang layak untuk biota
dapat hidup dan berkembang optimal adalah 30-31 ‰.
Gelombang dan arus merupakan parameter utama dalam
proses erosi, sedimentasi dan abrasi.
Perairan Pulau Oar yang tepatnya berada di wilayah
perairan Teluk Paraja. Perairan Teluk Paraja merupakan perairan
di wilayah Barat Kabupaten Pandeglang teluk yang cukup luas
yang berdekatan dengan Teluk Lada menjadi salah satu pusat
pertumbuhan dan kegiatan ekonomi di Kecamatan Sumur,
Kecamatan Cigeulis dan Kecamatan Cimanggu Kabupaten
Pandeglang, Provinsi Banten. Wilayah teluk memiliki peran
penting dalam kegiatan navigasi, pelabuhan kapal tradisional
dan perekonomian bagi masyarakat seperti penangkapan,
budidaya ikan dan wisata bahari. Berbagai aktifitas yang ada
di Teluk Paraja memberikan nilai keuntungan maupun kerugian
baik di daratan maupun perairannya. Kondisi perairan yang
cenderung dinamis juga berdampak terhadap sumber daya
ikan yang ada didalamnya.
Hasil pengamatan pada bulan Agustus 2019 di lapangan
ditemukan tingkat kecerahan perairan di perairan Pulau Oar
berkisar antara 1,5-7,1 meter. Dijelaskan pada Gambar 7 terlihat
perbedaan nilai kecerahan yang cukup signifikan antara sisi
selatan ke barat dan sisi utara ke timur. Kondisi tersebut diduga

21
karena pada sisi selatan ke barat merupakan perairan yang
berdekatan dan rentan terkena dampak langsung dari aktifitas
di daratan Kecamatan Sumur sedangkan pada sisi utara ke
utara merupakan perairan yang berhubungan langsung
dengan perairan lepas.

Gambar 7. Sebaran nilai kecerahan (m) di perairan Pulau Oar

Tingkat kecerahan pada sisi utara ke arah timur


merupakan tingkat kecerahan yang baik yaitu hampir
mendekati tingkat kedalaman perairan. Kecerahan yang
mencapai 100 % umumnya pada kedalaman < 5 m, sedangkan
perairan yang lebih dalam (>10 m) tingkat kecerahannya lebih
kecil yakni <70% yang disebabkan oleh kemampuan tingkat
intensitas cahaya matahari yang menembus perairan rata-rata
<10 m (Salim et al., 2017). Rendahnya tingkat kecerahan disisi
selatan ke barat Pulau Oar disebabkan oleh wilayah ini
merupakan daerah selat antara daratan Pulau Oar dan

22
daratan Kecamatan Sumur. Hal ini terbukti dari substrat dasar
perairan yang didominasi lumpur dan pasir halus. Selain itu,
secara pengamatan visual yang dilakukan terhadap substrat
dasar daerah lokasi studi menunjukkan bahwa batu karang
mati dan pasir merupakan substrat dasar yang dominan.

Suhu perairan
Hasil pengukuran suhu di sekitar perairan Pulau Oar
menunjukkan nilai berkisar 29,4 - 30,5 °C dengan rata-rata 29,1
°C (Gambar 8). Suhu dengan kisaran yang berbeda ini diduga
karena faktor perbedaan waktu pada saat pengamatan
seperti yang dijelaskan dalam Effendi (2003) yakni suhu perairan
juga dipengaruhi musim, posisi lintang serta kondisi ketinggian
permukaan laut dan kedalaman perairan.

Gambar 8. Sebaran nilai suhu (°C) di perairan Pulau Oar

23
Perbedaan suhu antara sisi selatan dan utara perairan
Pulau Oar mampu berpengaruh terhadap proses kimia, fisika
dan biologi air. Patty (2013) menyatakan pola arus yang
berubah secara mendadak dapat menurunkan nilai suhu pada
air. Kisaran suhu di perairan dangkal lebih besar daripada
perairan laut dalam, karena mengalami banyak pergolakan
yang disebabkan oleh angin dan dinamika oseanografi fisika
lainnya (Odum, 1994).

Salinitas perairan
Salinitas merupakan parameter perairan yang
menunjukkan derajat konsentrasi garam yang terlarut di
perairan. Salinitas juga merupakan peubah penting dalam
perairan pantai dan estuari. Perubahan salinitas dapat
menyebabkan perubahan kualitas ekosistem akuatik, terutama
ditinjau dari tipe-tipe dan kelimpahan organisme. Salinitas harus
digunakan sebagai parameter pendugaan dampak untuk
pengembangan sumber daya air yang berhubungan dengan
perairan pantai dan estuari. Dijelaskan oleh Nontji (2002) bahwa
konsentrasi salinitas perairan laut dipengaruhi pola sirkulasi air,
terjadinya proses penguapan, serta pasokan aliran sungai.
Sebaran dari nilai konsentrasi mampu menginformasikan kondisi
perairan karena pengaruhnya oleh berbagai faktor yang terjadi
di alam.

24
Gambar 9. Nilai sebaran konsentrasi salinitas (‰) di perairan
Pulau Oar

Berdasarkan Gambar 9 konsentrasi perairan Pulau Oar


berkisar antara 29 – 35 ‰ dengan rata-rata 30,1 ‰. Berdasarkan
kisaran tersebut menunjukkan bahwa salinitas cukup tinggi.
Salinitas menggambarkan padatan total di air setelah semua
karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida
digantikan dengan klorida dan semua bahan organik telah
dioksidasi (Effendi, 2003). Salinitas air laut bebas bersifat ultra-
haline yaitu memiliki kisaran salinitas antara 30-36 ‰
(Brotowidjoyo et al., 1995). Sedangkan daerah pantai
mempunyai variasi salinitas yang lebih besar. Rata-rata
organisme yang hidup di suatu badan air memiliki tingkat
sensititifas terhadap perubahan konsentrasi salinitas (Hutabarat
& Evans, 1984).

25
Berdasarkan distribusi konsentrasi salinitas yang
ditunjukkan Gambar 9, konsentrasi salinitas semakin tinggi pada
perairan yang berdekatan dan berhubungan langsung dengan
daratan Kecamatan Sumur. Sedangkan konsentrasi salinitas
pada perairan yang mendekati Pulau Oar cenderung
mendekati nilai 32 ‰. Distribusi salinitas secara spasial dan
secara gradien dapat terjadi baik secara vertikal maupun
horizontal, sedangkan secara temporal bergantung pada
musim dan siklus pasang surut (Higgins & Thiel 1988; Giere, 1993).
Dijelaskan oleh Wetzel (1975) distribusi salinitas akan meningkat
seiring dengan meningkatnya kedalaman. Kondisi tersebut
karena kandungan salinitas perairan dengan konsentrasi
rendah disebabkan karena terjadinya curah hujan yang tinggi,
selain itu konsentrasi salinitas juga disebabkan karena proses
penguapan dan pasokan air tawar.

Oksigen Terlarut (DO) perairan


Analisis sebaran kandungan oksigen terlarut (DO) di
perairan Pulau Oar berkisar antara 7,3 - 8,9 mg/L dengan rata-
rata konsentrasinya DO-nya sebesar 7,9 mg/L. Jika mengacu
pada Kep. Men. LH No. 51/2004 maka nilai DO di perairan ini
cukup baik atau memenuhi baku mutu. Hal ini menunjukkan
bahwa pengaruh perairan sekitarnya terutama gelombang
sangat berpengaruh sebagai oksigen di perairan laut. Hasil
penelitian ini tidak jauh beda dengan hasil yang didapatkan
pada penelitian sebelumnya di mana rata-rata DO yang

26
didapatkan di perairan Pulau Oar sebesar 7,2 mg/L. Hasil
penelitian Kristanto (2004); Suparjo (2009) dijelaskan bahwa
kehidupan biota di air rata-rata pada konsentrasi nilai oksigen
terlarut minimal 5 mg/L, selain itu tergantung dari ketahanan
biota tersebut terhadap derajat keaktifan dan fluktuasi suhu
perairan yang ada.

Gambar 10. Sebaran nilai oksigen terlarut (DO) (mg/L) di


perairan Pulau Oar

Gambar 10 memberikan penjelasan bahwa dengan


bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar
oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin berkurang
dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk
pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik.
Oksigen di perairan adalah sebagai salah satu gas yang terlarut,
dinyatakan oleh Effendi (2003) bahwa oksigen yang terlarut
memiliki variasi serta memiliki ketergantungan terhadap suhu
perairannya. Dijelaskan juga oleh Mainassy (2017) jika suhu

27
perairan tinggi maka konsentrasi oksigen terlarut semakin
rendah. Di perairan konsentrasi oksigen memiliki fluktuasi harian
dan musiman, di mana kondisi tersebut dipengaruhi oleh
adanya percampuran dan pergerakan massa air, proses
fotosintesa dan aktifitas respirasi yang terjadi pada suatu badan
air, selain itu keberadaan limbah pada suatu perairan juga
memberikan pengaruh yang signifikan. Konsentrasi oksigen
terlarut yang biasa dikenal dengan DO akan mengalami
penurunan jika tercampur dengan limbah yang masuk ke
perairan (Mukhtasor, 2007).
Dari persebaran nilai konsentrasi DO terlihat konsentrasi
tertinggi berada pada perairan yang mendekati daratan Pulau
Jawa. Jika mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup No. 51 Tahun 2004 maka nilai DO di perairan ini cukup baik
atau memenuhi baku mutu. Konsentrasi oksigen terlarut erat
kaitannya dengan konsentrasi TSS, BOD dan COD. Semakin
tinggi konsentrasi TSS perairan semakin keruh dan akan
mengganggu proses fotosintesis, akibatnya kandungan oksigen
terlarut dalam kolom air juga berkurang.

Klorofil-a perairan
Hasil pengamatan konsentrasi klorofil-a di perairan Pulau
Oar ditemukan konsentrasi nilai klorofil-a berkisar antara 0.461 –
0.679 mg/m3. Sebaran klorofil-a ditunjukkan bahwa dengan
kondisi perairan dari arah laut ke pesisir cenderung mempunyai
konsentrasi klorofil-a yang semakin tinggi. Kondisi tersebut

28
diduga konsentrasi klorofil-a meningkat karena pengaruh
aktifitas di daratan. Akumulasi unsur hara yang terbawa melalui
partikel dari darat ke perairan. Konsentrasi klorofil-a di suatu
perairan sangat tergantung pada keberadaan zat hara dan
intensitas cahaya matahari. Jika konsentrasi unsur hara dan
intensitas cahaya matahari tinggi maka konsentrasi klorofil-a
akan tinggi, begitu pula sebaliknya (Aryawaty et al., 2014).
Klorofil-a merupakan pigmen yang selalu ditemukan dalam
fitoplankton serta semua organisme autotrof dan merupakan
pigmen yang terlibat langsung (pigmen aktif) dalam proses
fotosintesis. Jumlah klorofil-a pada setiap individu fitoplankton
tergantung pada jenis fitoplankton, oleh karena itu komposisi
jenis fitoplankton sangat berpengaruh terhadap kandungan
klorofil-a di perairan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Aryawati & Thoha (2011) menyatakan bahwa kelimpahan
fitoplankton mempengaruhi kandungan klorofil-a.

Gambar 11. Sebaran nilai klorofil-a (mg/m3) di perairan Pulau


Oar

29
Persebaran kandungan klorofil-a pada kisaran 0,461-
0,579 mg/m3 disebabkan perbedaan pengaruh antara lokasi
yang berdekatan dengan daratan dan sisi pulau lainnya yang
berhadapan langsung dengan perairan lepas (Gambar 11).
Distribusi konsentrasi klorofil-a di Selat Sunda mulai tinggi pada
musim Peralihan Pertama sedangkan pada musim Timur
sebaran klorofil-a mencapai puncak-puncaknya. Distribusi
konsentrasi klorofil tinggi pada musim Timur diduga akibat
tingginya konsentrasi klorofil-a di perairan bagian selatan dan
barat dan bergerak ke arah Selat Sunda.

Derajat keasaman (pH) perairan


Derajat keasaman (pH) merupakan logaritma negatif
dari konsentrasi ion-ion hidrogen yang terlepas dalam suatu
cairan dan merupakan indikator baik buruknya suatu perairan.
pH perairan merupakan salah satu parameter kimia yang cukup
penting dalam memantau kestabilan perairan (Simanjuntak,
2009). Variasi nilai pH perairan sangat mempengaruhi biota di
suatu perairan. Selain itu, tingginya nilai pH sangat menentukan
dominasi fitoplankton yang mempengaruhi tingkat produktivitas
primer suatu perairan dimana keberadaan fitoplankton
didukung oleh ketersediaan nutrien di perairan laut (Megawati
et al., 2014).

30
Gambar 12. Sebaran nilai pH (unit) di perairan Pulau Oar

Hasil pengukuran pH, menunjukkan kisaran antara 7,1 –


8,1 (Gambar 12). Kondisi ini menunjukkan bahwa perairan Pulau
Oar memenuhi baku mutu air laut sesuai Kep. Men. LH No.
51/2004 bagi kelangsungan hidup biota laut. Sebaran pH di
setiap stasiun pengamatan tersebar merata. Selain itu, menurut
Odum (1971) bahwa nilai pH antara 6,5 – 8,0 sebagai batas
aman pH perairan untuk kehidupan biota di dalamnya.
Tinggi rendahnya pH suatu perairan sangat dipengaruhi
oleh kadar CO2 yang terlarut dalam perairan tersebut. Aktivitas
fotosintesa merupakan proses yang sangat menentukan kadar
CO2 dalam suatu perairan. Sehubungan dengan gambaran
tersebut maka dapat diduga bahwa perairan Pulau Oar masih
ditunjang baik oleh produktivitas oksigen yang memadai. Suhu
air, buangan industri dan limbah rumah tangga merupakan

31
faktor lain yang dapat menyebabkan pH suatu perairan
berfluktuasi.

Konduktivitas perairan
Nilai konduktivitas menunjukkan kemampuan air untuk
menghantarkan listrik. Semakin besar kemampuan air untuk
menghantarkan listrik memperlihatkan semakin banyaknya
garam-garam yang terkandung di air sehingga
mengindikasikan terjadinya intrusi air laut (Edwin et al., 2016).
Konsentrasi nilai konduktivitas perairan Pulau Oar terlihat
perbedaan kisaran antara sisi utara dan sisi selatan pulau,
dimana konsentrasi sisi barat cenderung lebih rendah
dibandingkan konsentrasi nilai konduktivitas di sisi timur. Kisaran
nilai konduktivitas di sisi utara berkisar antara 24,9-25,0 μS/cm
sedangkan di sisi selatan ke arah timur dan utara berkisar antara
24,5-24,8 μS/cm (Gambar 13). Untuk mengetahui daerah yang
terindikasi intrusi air laut, maka nilai konduktivitas yang terukur
dibandingkan dengan klasifikasi air menurut Pahiaa (1986);
Edwin et al. (2016). Klasifikasi ini menjelaskan tentang sifat air
yang mana jika nilai konduktivitas melewati rentang <1500
μS/cm air akan bersifat agak payau, payau dan asin. Jika air
tidak lagi bersifat tawar, maka terjadi indikasi intrusi air laut.

32
Gambar 13. Sebaran nilai konduktivitas (μS/cm) di perairan
Pulau Oar

Berdasarkan Gambar 13 padat dijelaskan bahwa intrusi


air laut pada sisi selatan ke arah barat disebabkan oleh
peningkatan pemukiman dan pembangunan di daratan
Kecamatan Sumur. Peningkatan pemukiman mengakibatkan
kebutuhan air bersih bertambah sehingga menimbulkan
pengambilan air tanah yang tidak terkendali. Peningkatan
pembangunan mengakibatkan pemadatan tanah sehingga
tanah yang kedap air tidak lagi kedap (Kodoatie, 1996).
Penyebab intrusi ini sesuai dengan keadaan Kecamatan Sumur
yang merupakan kawasan padat penduduk. Di sepanjang
pesisir pantai Kecamatan Sumur terdapat pembangunan
pemukiman penduduk yang merupakan daerah rawan
terjadinya intrusi air laut.

33
Oksidasi Reduksi Potensial (ORP) perairan
Konsentrasi nilai oksidasi reduksi potensial (ORP) yang
ditunjukkan pada degradasi sebaran mengindikasikan semakin
mendekati daratan pulau konsentrasi ORP semakin rendah.
Kisaran nilai yang ditunjukkan berkisar antara 154,3-186,5 mV
(Gambar 14).

Gambar 14. Distribusi nilai konsentrasi Oksidari Reduksi Potensial


(ORP) (m/V) di perairan Pulau Oar Kabupaten Pandeglang

Hasil pengukuran nilai ORP (Urbasa et al., 2015) dengan


menggunakan alat HORIBA pada semua titik sampling di areal
jaring tancap Desa Toulimembet berkisar antara 166-200 mV.
Perairan yang sehat nilai ORP antara 300 dan 500 mV, dimana
perairan tersebut banyak kandungan oksigen (Horne &
Goldman, 1994). Hal ini menunjukkan bahwa daerah jaring
tancap di lokasi penelitian berdasarkan nilai ORP, mendekati
kriteria perairan yang sehat apabila dibandingkan dengan nilai

34
ORP 300 mV. Menurut Effendi (2003), potensi redoks (reduksi dan
oksidasi) menggambarkan aktivitas elektron di perairan. ORP
adalah potensi larutan untuk mentransfer elektron dari oksidan
kepada reduktan, sehingga mempengaruhi proses kimia yang
terjadi di perairan. Selanjutnya menurut Horne & Goldman
(1994), ORP dapat mengukur kemampuan danau atau sungai
untuk membersihkan diri atau memecah produk-produk limbah,
seperti kontaminan, tanaman dan hewan yang mati. ORP
diukur selain DO karena ORP dapat memberikan informasi
tambahan kepada para peneliti mengenai kualitas air dan
tingkat polusi pada perairan.
Oxidation Reduction Potential (ORP) merupakan
tegangan ketika oksidasi terjadi pada anoda (positif) dan
reduksi terjadi pada katoda (negatif) pada sel elektrokimia. ORP
diukur dengan satuan volt (V) atau mili volt (mV) (Aditya et al.,
2013). Reaksi oksidasi menggambarkan elektron meninggalkan
membran sel pada mikroorganisme, hal ini menyebabkan sel
menjadi tidak stabil dan rusak sehingga membran sel akan mati.
Suslow (2004) menemukan ORP merupakan cara yang
dikembangkan untuk memonitor kandungan mikroorganisme
yang ada dalam air.

35
BAB III
EKOSISTEM PESISIR

36
BAB III
EKOSISTEM PESISIR

3.1. Daratan Pulau Oar


Ekosistem mangrove di Pulau Oar tidak jauh berbeda
dengan pulau yang lain yang berlokasi di sekitar Pulau Oar
memiliki tipe pulaunya memiliki ekosistem terumbu karang
(Gambar 15). Ciri-ciri pulau yang terbentuk oleh karang adalah
substrat pantai lebih didominasi oleh pasir kasar. Keberadaan
pasir yang bercampur dengan patahan karang disebabkan
karena gerusan batu karang dan patahan karang tersebut
terbawa oleh gelombang tsunami Desember 2018. Adapun
vegetasi di daratan pulau, komposisi jenis mangrove yang
ditemukan adalah jenis Sonneratia alba, Exoecaria agallocha,
Pemphis acidula, Rhizophora mucronata, Xylocarpus granatum,
dan Lumnitzera racemosa. Jenis mangrove Sonneratia alba
dapat ditemukan di seluruh stasiun pengamatan, maka dari itu
jenis ini cukup mendominasi (Data dan Informasi hasil Kajian DKP
Banten Tahun 2018).

37
Gambar 15. Gambaran umum habitat daratan Pulau Oar

Gambar 16. Foto udara Pulau Oar

Komposisi vegetasi di Pulau Mangir pasca tsunami


(Desember 2018) selama tim melaksanakan survei lapangan
tidak ditemukan adanya vegetasi mangrove di sepanjang
pantai Pulau Oar, kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar

38
16 kondisi daratan Pulau Oar seperti terlihat sebagian besar
vegetasi daratannya terlihat tumbang.
Vegetasi di daratan di Pulau Oar selama pengamatan
bulan September 2018 ditemukan sebanyak vegetasi di
daratan di Pulau Oar yang ditemukan sebanyak 8 jenis:
1. Akasia milenia (Acacia auriculiformis).
2. Cantigi (Vaccinium varingiaufolium).
3. Cincin laut (Attalea sp).
4. Gebang (Corypha utan).
5. Kanyere laut (Desmodium sp).
6. Ketapang (Terminalia catappa).
7. Kiara (Filicium decipiens).
8. Waru laut (Thespesia populnea).
Beberapa jenis tanaman yang ditemukan di daratan
Pulau Oar seperti disajikan pada Gambar 17. Penggunaan
lahan darat di Pulau Oar sampai dengan saat ini sebagai
tempat istirahat nelayan, wisata lokal dan beberapa waktu
berdasarkan penuturan nelayan setempat sering digunakan
sebagai camping ground. Fungsi keberadaan Pulau Oar
tersebut merupakan salah satu aspek penting yang
dipertimbangkan dalam kegiatan perencanaan bagi
pengembangan kedepannya.

39
Gambar 17. Beberapa vegetasi yang mendominasi daratan
Pulau Oar

Fungsi utama keberadaan vegetasi pantai adalah


sebagai pencegah abrasi, karena vegetasi pantai memiliki akar
yang panjang dan kuat sehingga mampu menahan substrat
dari hempasan gelombang (Desai, 2000). Demikian pula saat
timbulnya tsunami, vegetasi pantai memiliki kemampuan untuk
meredam energi gelombang yang sangat besar. Kerapatan

40
vegetasi, ketebalan vegetasi dari pantai ke arah darat,
topografi pantai, karakteristik substrat serta kondisi ekosistem
terumbu karang dan lamun sangat menentukan efektifitas
penataan vegetasi pantai dalam meredam gelombang.
Dijelaskan juga bahwa vegetasi pantai yang utuh memiliki
peran secara tidak langsung dalam mencegah abrasi. Selain
sebagai peredam abrasi, vegetasi pantai juga memiliki fungsi
sebagai penahan intrusi air laut, penjebak zat hara, mereduksi
energi angin dan badai.

3.2. Terumbu karang


Hasil penelitian menunjukkan bahwa tutupan terumbu
karang di Pulau Oar memiliki kategori sangat rusak ke sedang.
Persentase tutupan karang hidup tertinggi terdapat pada
bagian sisi Barat pulau dengan tutupan kategori karang sehat
sedang mencapai 48,9 % yang berarti tutupan karang hidup
pada stasiun ini termasuk pada kategori baik sekali. Menurut
Kep. Men. LH No. 4/2001 persentase tutupan karang hidup yang
berkisar antara 25-49,9 % termasuk dalam kondisi sedang.
Persentase tutupan karang terendah terdapat pada bagian sisi
timur pulau dengan persentase tutupan 3,7 % persentase
tutupan masuk kedalam kategori tutupan karang buruk, pada
bagian sisi selatan persentase tutupan karang sebesar 7,3 %,
kategori tutupan buruk (Tabel 1). Menurut Kep. Men. LH No.
4/2001 persentase tutupan karang hidup yang berkisar antara

41
0-24.9 %, nilai yang ditunjukkan masuk dalam kategori
kesehatan buruk.

Tabel 1. Persentase tutupan karang di Pulau Oar Kabupaten


Pendeglang
Pulau Oar (%)
No Kategori Life Form
Barat Selatan Timur Utara
1. Fungia (FU) 0,00 0,00 0,00 0,00
2. Dead Coral (DCOR) 0,00 0,00 0,00 0,00
3. Coral (C) 42,87 4,67 2,67 47,84
4. Gorgonians (G) 0,00 0,00 0,00 0,00
5. Sponges (S) 0,00 0,00 0,00 0,00
6. Zoanthids (Z) 0,00 0,00 0,00 0,00
7. Macroalgae (MA) 0,37 2,67 1,00 0,00
8. Other Live (OL) 0,00 0,00 0,00 0,00
Dead Coral with Algae
9. 44,11 20,00 0,00 44,49
(DCA)
10. Coralline Algae (CA) 5,22 0,00 0,00 0,00
11. Diseased Corals (DC) 0,74 0,00 0,00 0,00
Sand, Pavement,
12. 6,68 72,67 96,33 7,67
Rubble (SPR)
13. Unknowns (U) 0,00 0,00 0,00 0,00
Tape, Wand, Shadow
14. 0,37 0,00 0,00 0,33
(TWS)
Sum (excluding
100 100 100 100
tape+shadow+wand)
Health Category (% of
48,84 7,33 3,67 48,17
transect)

42
Persentase tutupan karang mati terdiri sesuai dengan
hasil analisis CPCe dari kategori Dead Coral (DCOR), Dead
Coral with Algae (DCA), Deseased Corals (DC), Sand,
Pavement, Rubble (SPR) serta kategori Tape, Wand, Shadow
(TWS). Persentase tutupan karang mati pada daerah
pengamatan berkisar antara 51,6 % sampai dengan 96,3 %.
Persentase tutupan karang mati tertinggi terdapat pada sisi
timur pulau dengan persentase tutupan 96,3 %. Persentase
tutupan karang mati terendah terdapat pada sisi barat dengan
persentase tutupan karang mati 51,6 % (Tabel 1).

bagian barat bagian selatan

bagian timur bagian utara

Gambar 18. Gambaran umum habitat ekosistem terumbu


karang di Pulau Oar

43
Gambaran umum habitat dasar di perairan Pulau Oar
yang tersaji pada Gambar 18 diduga merupakan dampak
yang berkepanjangan dari aktifitas penangkapan dibeberapa
tahun yang lalu, yaitu penggunaan bom dan cara tangkap
dengan perangkap dasar (seperti jaring muroami maupun
bubu dasar). Gambaran dari kondisi habitat dasar perairan
Pulau Oar tersebut terlihat dari beberapa patahan-patahan
karang serta keberadaan pasir halus yang menyelimuti karang-
karang massive dan patahan-patahan karang di beberapa
lokasi yang teramati selama pengamatan di lapangan
(Gambar 18). Penggunaan potassium di wilayah ini cukup
rendah dibandingkan dengan penggunaan bom ataupun jenis
alat tangkap dasar lainnya (komunikasi langsung dengan
nelayan setempat). Selama pengamatan dominasi habitat
yang ditemukan lebih kepada patahan-patahan karang
(rubble) serta posisi karang-karang massive yang tidak sesuai
pada lokasi pertumbuhannya dan posisinya diduga selain
akibat dari destructive fishing juga karena bencana tsunami
akhir tahun 2018. Keberadaan karang bercabang (branching)
terlihat patah di beberapa area di sekitarnya dan tidak terlihat
kondisi karang bercabang yang berasosiasi dengan turf algae.
Degradasi habitat terumbu karang bukan saja terjadi di
wilayah Pandeglang, akan tetapi kondisi tersebut hampir terjadi
di pulau kecil terutama pulau yang berpenduduk. Dijelaskan
oleh Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI (Ambari, 2018
dalam www.mongabay.co.id, 2019) bahwa kekayaan terumbu

44
karang di Indonesia harusnya dapat dijaga dengan baik.
Karena, terumbu karang Indonesia merupakan yang terbaik di
dunia. Sebagian besar, kerusakan terumbu karang karena ulah
manusia. Biasanya, perusakan dilakukan dengan sengaja
ataupun tidak melalui penangkapan ikan dengan racun dan
bom, pengambilan karang dan sedimentasi. Dijelaskan dalam
buku status terumbu karang 2017 oleh Giyanto et al. (2017)
kondisi terumbu karang rusak dari waktu akibat faktor tersebut,
tercatat, sejak penelitian pertama dilakukan pada 1993 hingga
2007 di 73 daerah dengan 841 stasiun dari Sabang ke
Kepulauan Padaido, Papua, diperoleh hasil yang cukup
mengejutkan. Dijelaskan juga bahwa pada 2006 ditemukan 5,2
% terumbu karang yang kondisinya sangat baik; 24,2 % dalam
kondisi baik; 37,3 % dalam kondisi sedang; dan 33,1 % dalam
kondisi buruk.

45
BAB IV
SUMBER DAYA IKAN

46
BAB IV
SUMBER DAYA IKAN

4.1. Ikan karang


Ekosistem terumbu karang merupakan habitat bagi ikan
karang yang pada umumnya dikelompokkan menjadi tiga
kelompok yaitu ikan mayor, ikan indikator dan ikan target. Ikan
mayor merupakan komposisi jenis-jenis ikan yang mendominasi
di ekosistem terumbu karang. Sedangkan komposisi jenis ikan
yang dijadikan sebagai indikator kesehatan lingkungan dan
habitat terumbu karang disebut sebagai kelompok ikan
indikator. Ikan target adalah ikan yang memiliki nilai ekonomis
penting bagi masyarakat sehingga menjadi target tangkapan
nelayan untuk konsumsi. Ikan karang masuk dalam kelompok
taksa ikan yang kehidupannya berasosiasi dengan lingkungan
ekosistem terumbu karang (Hallacher, 2003). Komposisi ikan
yang berasosiasi dengan ekosistem terumbu karang sebanyak
113 famili ikan merupakan penghuni karang dan sebagian
besar dari ordo Perciformis (Allen & Adrim, 2003). Beberapa
famili ikan karang yang mendominasi dalam rantai
makanannya di ekosistem terumbu karang adalah Gobiidae,
Labridae, Pomacentridae, Apogonidae, Bleniidae, Serranidae,
Murraenidae, Syngnathidae, Chaetodontidae dan Lutjanidae.

47
Komposisi ikan karang yang ditemukan selama
pengamatan di Pulau Oar sebanyak 103 spesies, dengan jenis
ikan kelompok major gruop yang termasuk dalam 52 spesies dari
10 famili. Ikan yang dominan adalah Apogon compressus,
Aulostoma chenensis, Hemigymnus melapterus dan Amphiprion
sandracinos. Kelompok ikan target sebanyak 27 spesies dari 8
famili, sedangkan ikan indikator sebanyak 22 spesies dari 6 famili.
Secara umum ikan target yang tercatat selama penelitian
merupakan ikan-ikan dewasa, hanya sebagian kecil
merupakan ikan-ikan muda. Famili Acanthuridae, Caesionidae,
Carangidae, Haemulidae, Nemipteridae, Serranidae dan
Siganidae (Tabel 2). Jenis ikan target yang dominan Zebrasoma
scopas, Caranx bajad (30 cm), Scolopsis ciliatus dan
Cephalopholis boenack (10 cm).

Tabel 2. Famili ikan dengan jumlah jenis (spesies) dan jumlah


individu (ekor) yang ditemukan pada pengamatan
bulan Agustus 2019 di Pulau Oar

Jumlah jenis (spesies) Jumlah individu (ekor)


Kelompok dan
Famili ikan karang
Barat Selatan Timur Utara Barat Selatan Timur Utara
A. Spesies mayor
I. Apogonidae 4 4 3 3 13 14 14 8

II. Aulostomidae 1 0 0 0 6 0 0 0

III. Blennidae 0 1 1 2 0 6 4 8
IV
Centriscidae 1 1 1 1 3 6 4 3
.
V. Grammistidae 0 1 0 1 0 6 0 1

48
Jumlah jenis (spesies) Jumlah individu (ekor)
Kelompok dan
Famili ikan karang
Barat Selatan Timur Utara Barat Selatan Timur Utara
VI
Holocentridae 0 1 0 2 0 4 0 8
.
VI
Labridae 7 12 9 10 20 42 25 34
I.
VI
Pinguipedidae 0 1 0 0 0 2 0 0
II.
IX
Pomacentrida 7 10 12 11 24 34 39 45
.
e
X. 0 0 1 0 0 0 2 0
Tetraodontidae
B. Spesies target
I. Acanthuridae 4 4 2 3 10 13 9 14

II. Caesionidae 4 1 1 3 16 2 2 14

III. Carangidae 1 1 1 1 1 3 4 5
IV
Haemulidae 1 0 1 1 2 0 2 3
.
V. Lutjanidae 2 0 0 2 5 0 0 5
VI
Nemipteridae 3 2 3 3 5 5 8 8
.
VI
Serranidae 1 1 1 2 2 6 4 16
I.
VI
Siganidae 2 0 0 2 5 0 0 5
II.
C. Spesies indikator
I. Balistidae 1 0 1 1 2 0 2 2

II. Chaetodontida 6 3 3 5 18 12 11 32
e

Pomacanthida 1 1 0 2 7 2 0 16
III.
e

IV Scaridae 6 2 3 5 18 5 8 15
.
Scorpaenidae 1 1 1 0 1 3 4 0
V.

VI Zanclidae 1 0 1 1 2 0 2 2
.

49
Gambar 19. Gambaran umum keberadaan ikan karang di
Pulau Oar

Terlihat pada Gambar 19 bahwa Pulau Oar menyimpan


keindahan taman bawah laut yang berpotensi dikembangkan
menjadi sebuah objek wisata bahari. Di sekeliling pulau
ditemukan karang dengan tipe pertumbuhan karang tepi atau
fringing reef. Terumbu karang tersebut tumbuh pada
kedalaman 1-10 meter. Daerah Pulau Oar sebelah utara
merupakan daerah dengan arus yang besar sehingga sering
digunakan untuk diving dan juga snorkeling, selain itu pada
area timur juga dapat ditemukan clown fish dan binatang laut
lainnya, daerah timur pun memiliki jarak pandang yang cukup
baik yaitu sekitar 10 meter. Daerah utara pulau dihiasi dengan
beragam karang dengan jarak pandang sekitar 12 meter pada
bagian utara ini belum banyak tersentuh oleh aktifitas
masyarakat sehingga karangnya pun masih alami. Beberapa
jenis ikan yang dapat ditemukan di pulau ini adalah ikan nemo
merah yang juga disebut maroon clown fish, ikan nemo badut
atau false percula atau common clown fish (Amphiprion

50
ocellaris), ikan nemo kuning (yellow atau orange skunk clown
fish atau Amphiprion sandaracinos), ikan remora (sucker fish),
butterfly fish, damself fish, sergeant fish, bat fish, dan crinoid atau
lily laut.
Kondisi ekosistem terumbu karang yang memberikan
relung dan ruang bagi kehidupan ikan dan biota biota lainnya.
Hubungan yang positif antara biota dan ikan karang mampu
memberikan sumber mata pencaharian bagi masyarakat,
selama upaya tangkap yang dilakukan tetap berdasarkan
pada prinsip sumber daya perikanan yang berkelanjutan. Hasil
penelitian Utomo (2013) menjelaskan komposisi jenis ikan karang
dalam perkembangannya berhubungan erat dengan
kesehatan terumbu karang. Di mana koloni ikan pada area
yang terlindung akan berbeda dengan komposisi jenis ikan di
perairan terbuka. Diperkirakan lebih dari 12.000 spesies ikan laut
atau sekitar 58,3% ikan memanfaatkan keberadaan terumbu
karang untuk hidup dan berkembang-biak (Allen et al., 2003).

4.2. Aktifitas perikanan tangkap


Sumber daya ikan dipandang sebagai sumber daya
yang dapat pulih kembali (renewable resources), maka
pengelolaan untuk menjamin keberlanjutan sumber daya
tersebut harus diartikan sebagai upaya pemanfaatan sumber
daya yang laju ekstraksinya tidak boleh melampaui laju
kemampuan daya pulihnya. Oleh karena itu rezim
pemanfaatan secara terbuka, sebagaimana yang umumnya

51
dianut di Indonesia saat ini, sudah seharusnya tidak digunakan
untuk mengusahakan sumber daya ini. Dalam kaitan itu perlu
dilakukan perubahan paradigma pengelolaan menuju
pemanfaatan berbasis unit stok dan kawasan dengan
menerapkan opsi-opsi pengelolaan yang sesuai dengan hal
tersebut. Untuk menentukan opsi-opsi pengelolaan yang tepat
tersebut, maka harus didasarkan pada hasil-hasil penelitian
terutama kajian potensi dan tingkat pemanfaatan.
Beragamnya jenis alat tangkap yang dipergunakan dan
karakter sumber daya ikan tropis yang multy spesies
menyebabkan pengelolaan sumber daya ikan menjadi tidak
mudah untuk dilaksanakan. Namun demikian beberapa opsi
masih mungkin dapat dipilih untuk mengelola sumber daya ikan
di Indonesia, diantaranya: penutupan musim dan daerah
penangkapan, pembatasan ukuran ikan terkecil, pengaturan
ukuran mata jaring, pembatasan upaya penangkapan dan
kuota penangkapan (Gulland, 1972). Dari berbagai opsi ini, hal
yang mendesak untuk dilakukan adalah opsi pembatasan
upaya penangkapan. Hal ini mengingat tingkat pemanfaatan
sumber daya ikan di 11 WPP sekitar 49 % sudah menunjukkan
gejala over fishing. Apabila kondisi ini dibiarkan, maka stok
sumber daya ikan akan mengarah kepada degradasi stok dan
dalam jangka panjang akan mengalami kepunahan. Dengan
demikian opsi pembatasan upaya penangkapan yang harus
diimplementasikan, pada WPP 572 (Suman et al., 2016b)
adalah upaya optimal (f-opt), yaitu: 2.589 unit purse seine untuk

52
ikan pelagis kecil; 3.460 unit purse seine untuk ikan pelagis besar;
10.340 unit dogol untuk ikan demersal; 16.821 unit pancing rawai
untuk ikan karang; 3.433 unit dogol untuk udang penaeid; 8.662
unit jaring insang untuk lobster; 62.133 unit jaring insang untuk
kepiting; 12.617 unit jaring insang untuk rajungan dan 8.483 unit
pancing cumi untuk cumi-cumi (Suman, 2016a). Pengurangan
upaya yang harus dilakukan adalah 997 unit purse seine bagi
pengusahaan ikan pelagis besar; 2.049 unit jaring dogol untuk
udang penaeid; 890 unit jaring insang untuk lobster dan 794 unit
jaring insang untuk rajungan. Sementara penambahan upaya
bisa dilakukan untuk pengusahaan ikan pelagis kecil sebanyak
994 unit; purse seine untuk ikan pelagis kecil, 4.898 unit jaring
dogol untuk ikan demersal; untuk ikan karang sebanyak 11.696
unit pancing rawai untuk ikan karang; 18.327 unit jaring insang
untuk kepiting dan 5.175 unit pancing cumi untuk cumi-cumi.
Kabupaten Pandeglang termasuk daerah yang memiliki
sumber daya ikan yang cukup tinggi. Potensi besar itu berada
di sebelah barat dan selatan Pandeglang yakni di Perairan Selat
Sunda dan Samudera Hindia. Berdasarkan data Maximum
Sustainable Yield (MSY) atau batas maksimum penangkapan
ikan laut, potensi produksi kandungan hayati ikan laut di wilayah
ini mencapai 26.403,6 ton/tahun (BKPM Banten, 2013). Potensi
sumber daya perikanan ikan laut masih sangat terbuka untuk
dilakukan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi
(pengembangan) produksi, mengingat Kabupaten
Pandeglang memiliki panjang pantai ± 307 km yang

53
membentang sepanjang pesisir barat dan selatan Kabupaten
Pandeglang (BKPM Banten, 2013).
Mayoritas nelayan tangkap di Pesisir Ujung Kulon (Kec.
Sumur) menggunakan alat tangkap bagan dan jaring. Alat
tangkap bagan (perahu dan apung) digunakan nelayan
bagan untuk menangkap jenis ikan kecil (teri) yang merupakan
bahan baku usaha pengolahan ikan rebus kering yang menjadi
andalan wilayah ini. Alat tangkap jaring/pancing digunakan
nelayan jaring/pancing untuk menangkap ikan-ikan berukuran
kecil dan sedang (kembung, tongkol, tenggiri, belida, udang,
cumi dan lain-lain). Jika dilihat dari status para nelayan dalam
usaha penangkapan ikan dapat dibedakan dalam beberapa
kriteria, yaitu:
a. Nelayan pemodal (juragan), yaitu nelayan yang menguasai
modal, baik berupa uang, kapal dan peralatan tangkap. Di
wilayah pesisir pantai Kec. Sumur, status nelayan tersebut
biasanya melekat pada pemilik bagan, sekaligus pemilik
sobong karena untuk membuat 1 unit bagan apung
dibutuhkan biaya sekitar Rp. 10.000.000,- dan 1 unit tersebut
sekitar Rp. 5.000.000,-. Rata-rata juragan bagan di wilayah
Kec. Sumur memiliki 10 unit bagan dengan pekerja (anak
bagan) sekitar 20 orang.
b. Nelayan yang memiliki alat tangkap sendiri, yaitu nelayan
yang melakukan usaha penangkapan dengan modal
sendiri. Di Wilayah pesisir Ujung Kulon, sebagian besar
nelayan yang memiliki alat tangkap sendiri adalah nelayan

54
jaring rampus, payang dan pancing. Alat tangkap
jaring/pancing digunakan nelayan jaring/pancing untuk
menangkap ikan-ikan berukuran kecil dan sedang.

Sedangkan kategori lainnya adalah sebagai buruh


nelayan, yaitu nelayan yang tidak mempunyai modal dan
menjadi pekerja pada pemilik modal yang bersifat kasar, seperti
buruh angkut, perebusan ikan dan penjemuran ikan. nelayan ini
sangat tergantung pada pemilik modal, segala kebutuhan
hidupnya dipenuhi oleh juragan sehingga menimbulkan
hubungan patronase yang sangat kuat di antara keduanya.

Gambar 20. Aktifitas perikanan tangkap di sekitar Pulau Oar

Usaha penangkapan ikan di sekitar Pulau Oar bersifat


tradisional dan belum menggunakan armada tangkap yang

55
modern. Sebagian besar nelayan tangkap menggunakan
perahu mesin tempel dengan kekuatan mesin < 13 PK. Alat
tangkap yang dominan yang beroperasi di wilayah Pulau Oar
adalah sebagai Bagan Apung (Gambar 20). Bagan yang
beroperasi di pesisir pantai Pandeglang mempunyai
karakteristik tersendiri dibanding daerah penangkapan lainnya,
yaitu bagan apung. Bagan apung yang beroperasi di wilayah
ini bisa berpindah-pindah mengikuti kebiasaan ikan target, yaitu
teri. Penempatannya tidak bersifat permanen (ditancap)
namun dengan menggunakan jangkar sehingga dalam jangka
waktu tertentu bisa dipindahkan.

56
Gambar 21. Bagan apung di sekitar Pulau Oar Kec. Sumur

Kerangka bangunnya berbentuk bujur sangkar dengan


luasan 10 m2 sampai 12 m2, beroperasi di kedalaman laut < 50
m dan mendekati wilayah pesisir. Fauziyah et al. (2010)
menyatakan bahwa sebaran ikan pelagis kecil umumnya
berada pada kedalaman yang dangkal dan ditemukan
melimpah pada kisaran kedalaman 5-15 m. Ikan pelagis kecil
umumnya akan bergerombol dan bergerak dengan
kepadatan bervariasi sesuai dengan tujuan migrasinya dan
umumnya akan mendekati wilayah pantai untuk mencari
makan dan memijah serta berlindung di perairan yang tenang
dari gelombang yang besar. Tingkah laku ikan pelagis yang
demikian menyebabkan sebaran daerah penangkapan bagan
apung lebih terkonsentrasi pada perairan yang dangkal dan
terlindung mulai dari perairan Sumur hingga Selat Panaitan.
Alat tangkap ini beroperasi pada malam hari dengan
dibantu lampu dengan bantuan genset sebagai daya tarik ikan
untuk masuk ke dalam jaring. Bagan perahu (boat lift net)

57
merupakan alat tangkap pasif yang operasinya dilakukan pada
malam hari dengan menggunakan cahaya lampu sebagai
atraktor untuk menarik ikan (Nuraga et al., 2018). Sasaran utama
dari bagan perahu adalah ikan pelagis kecil dan ikan bersifat
fototaksis positif seperti ikan Teri (Stolephorus sp) dan Cumi-cumi
(Loligo sp). Bagan perahu juga sering mendapatkan hasil
tangkapan sampingan seperti ikan Layur (Trichulus sp),
Tembang (Sardinella sp), Pepetek (Leiognathus sp) dan ikan
lainnya. Menurut Bahri (2008), hasil tangkapan bagan perahu
dodiminasi jenis ikan-ikan pelagis kecil seperti ikan Tembang
(Clupea sp), ikan Teri (Stolephorus sp), ikan Japuh (Dussumiera
sp), ikan Selar (Charanx sp), ikan Pepetek (Leiognathus sp), ikan
Kerotkerot (Therapon sp), Cumi-cumi (Loligo sp), Sotong (Sepia
sp), ikan Layur (Trichiurus sp) dan ikan Kembung (Rastrelliger sp).

Gambar 22. Kenampakan bagan lampu yang beroperasi di


wilayah sekitar pulau-pulau kecil di Teluk Paraja Kabupaten
Pandeglang

58
Hasil penelitian Nuraga et al. (2018) terkait penggunaan
bagan lampu di wilayah Teluk Banten bahwa permasalahan
yang sering dialami nelayan tentang aplikasi teknologi lampu
karena pembiasan cahaya dari penggunaan lampu
permukaan. Pencahayaan lampu permukaan tidak seluruhnya
masuk dalam air namun dipantulkan lagi oleh permukaan air,
oleh karena itu dimanfaatkannya teknologi lampu bawah air
untuk mengurangi buruknya efek penyinaran lampu
permukaan. Kondisi perairan seperti gelombang dan tingkat
kejernihan menentukan baik buruknya efek penyinaran Yulianto
et al. (2014). Penggunaan lampu bawah air diharapkan cahaya
masuk seluruhnya dalam air sehingga cahaya yang dihasilkan
lebih optimal dan hasil tangkapan akan bertambah.

59
BAB V
ISU PERMASALAHAN

60
BAB V
ISU PERMASALAHAN

5.1. Mangrove dan perubahan kondisi terumbu karang


Kawasan pesisir dan laut yang masuk dalam wilayah
Teluk Paraja di Kabupaten Pandeglang setelah tsunami cukup
mengalami kerusakan, baik daratan maupun di dasar perairan.
Kondisi vegetasi pantai sebagai pelindung daratan dan wilayah
pesisirnya sebagian besar mati karena gelombang tsunami.
Vegetasi yang sebagian hilang meliputi hutan mangrove,
vegetasi pantai dan dan beberapa tanaman hutan hujan
tropis. Akibatnya, vegetasi di daratan pantai yang rusak
tersebut memberikan pekerjaan rumah tersendiri untuk
dipulihkan. Hilangnya sebagian vegetasi pantai di beberapa
pulau kecilnya akibat gelombang tsunami mampu memberikan
perubahan bagi habitat bagi sumber daya ikan yang selama ini
memanfaatkan keberadaan ekosistem sebagai tempat
tinggalnya. Selain hilangnya sebagian vegetasi pantai,
bencana tsunami juga berdampak terhadap perubahan
struktur habitat dasar perairan (Gambar 23).
Keberadaan ekosistem mangrove dan terumbu karang
sebagaimana diketahui selain sebagai kawasan asuhan
tempat mencari makan dan spawning area bagi sumber daya
ikan juga berfungsi sebagai penahan gelombang dan abrasi

61
pantai. Surayan (2007) menjelaskan bahwa secara fisik
mangrove yang bercampur dengan vegetasi yang tumbuh di
sepanjang pantai mampu meredam ombak maupun
gelombang. Vegetasi pantai memiliki sistem perakarannya
yang cukup kuat sehingga mampu berperan untuk
mempertahankan sedimen. Fungsi utama tersebut dapat
terjaga apabila didukung oleh formasi komponen ekosistem
pantai yang tidak mengalami gangguan. Mempertahankan
tingkat kerapatan vegetasi maupun keberadaan mangrove
sepanjang pesisir dan pantai (Tjardhana & Purwanto, 1995).

Gambar 23. Kerusakan habitat perairan karena gelombang


tsunami

62
Hempasan gelombang dan arus di sepanjang pantai
dapat menyebabkan abrasi dan perubahan struktur hutan
pantai di kawasan pesisir (Davie & Sumardja, 1997). Upaya untuk
mempertahankan kestabilan pantai dapat dilakukan dengan
penanaman kembali mangrove. Kondisi tersebut juga
dijelaskan oleh Gilman et al. (2006) bahwa keberadaan
vegetasi pantai seperti halnya ekosistem mangrove mampu
menjaga kestabilan garis pantai, sehingga pantai tidak mudah
erosi karena proses alamiah yaitu pasang, surut dan gelombang
air laut.
Kondisi perubahan ekosistem baik di terumbu karang
maupun hutan mangrove di wilayah Pulau Oar dan pulau-pulau
kecil memerlukan penataan kembali sebagai upaya pemulihan
sumber daya ikan yang ada di perairan. Kondisi tersebut jika
tidak dilakukan upaya pemulihan akan menjadi permasalahan
bagi daratan pulaunya sendiri maupun keberadaan sumber
daya ikan. Dimana sebagian besar masyarakat di wilayah
Kecamatan Sumur memiliki mata pencaharian bidang
perikanan, pertanian dan peternakan (BPS Kecamatan Sumur,
2018).

5.2. Kegiatan penangkapan ikan yang merusak


Kegiatan nelayan di perairan Pulau Oar masih ditemukan
cara tangkap dengan menggunakan jaring arad dan pukat.
Penggunaan jaring arad dan pukat ketika kapal dari luar masuk
ke perairan Teluk Paraja. Nelayan-nelayan dari sekitar Lampung

63
tersebut tidak hanya melakukan eksploitasi sumber daya
perikanan, tetapi juga merintis kerjasama dengan nelayan-
nelayan tempatan melalui alih pengetahuan dan teknologi
penangkapan. Pada mulanya, ikan-ikan yang menjadi target
tangkapan adalah jenis-jenis ikan yang hidup di sekitar terumbu
karang dan tidak tergolong perenang cepat (kelompok ikan-ikan
pelagis). Akan tetapi seiring dengan terjadinya pola konsumsi dari
konsumen yang menggemari jenis ikan yang memiliki cita rasa
khas dan diyakini memiliki beragam khasiat, seperti ikan kerapu,
sunu dan lobster maka nelayan-nelayan pun memfokuskan target
tangkapan ke jenis ikan tersebut. Kondisi inilah yang memicu
tingginya volume penangkapan terhadap jenis-jenis ikan tersebut
dan kondisi ini masih berlangsung sampai sekarang di beberapa
lokasi dengan jumlah yang semakin menurun.

5.3. Sektor pariwisata


Pariwisata merupakan sektor penting dalam
peningkatan pendapatan nasional maupun daerah. Pariwisata
dapat menjadi sektor utama dalam meningkatkan sektor-sektor
lainnya dalam penyelenggaraan pemerintah, seperti sektor
ekonomi, budaya maupun sosial. Setiap daerah memiliki potensi
wisata yang berbeda-beda, tergantung bagaimana
pemerintah daerah dan masyarakat membangun potensi
tersebut menjadi destinasi wisata yang menarik dan
mengundang banyak wisatawan yang berkunjung. Pemerintah
baik pusat, provinsi dan kabupaten perlu menerapkan good

64
tourism governance yaitu tata kelola kepariwisataan yang baik
dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan bidang
pariwisata secara aktif, seperti halnya pengembangan wisata
pantai di Kabupaten Pandeglang. Agar jumlah kunjungan
wisatawan yang datang ke wilayah Kecamatan Sumur, Cigeulis
dan Cimanggu semakin bertambah sehingga berdampak
pada pendapatan asli daerah Kabupaten Pandeglang yang
semakin meningkat dari sektor pariwisata maupun
perekonomian masyarakat yang dapat memberikan dampak
kesejahteraan yang tinggi. Karena pemerintah tidak akan bisa
melakukan pengembangan pariwisata tanpa adanya
dukungan dari seluruh stakeholders yang ada. Keberadaan
obyek wisata, daya tarik, sarana prasarana, serta fasilitas
pariwisata di sepanjang pesisir ketiga kecamatan tersebut
dapat dikatakan belum memadai jika dibandingkan dengan
daerah Tanjung Lesung.
Wilayah pesisir Kecamatan Sumur memiliki pantai dengan
panorama yang indah, sehingga dapat dikembangkan sebagai
salah satu tujuan wisata. Isu dan permasalahan mengenai
pariwisata yang ada antara lain: masih terbatasnya sarana dan
prasarana pendukung wisata bahari, kurangnya promosi wisata
bahari, belum dikembangkannya makanan dan cinderamata
khas Kabupaten Pandeglang, akses menuju lokasi yang tergolong
masih susah dan belum optimalnya pembinaan dalam
pengembangan pariwisata terhadap pelaku bisnis wisata dan
masyarakat.

65
Gambar 24. Pemanfaatan usaha wisata bahari oleh masyarakat
lokal

Perairan dan daratan Pulau Oar dengan potensi pantai


serta panorama yang indah memberikan peluang
dikembangkan sebagai salah satu tujuan wisata terutama di
wawasan perairan Kec. Sumur. Akan tetapi jika pemanfaatan
tidak sejalan dengan program pengembangan kedepannya
dikhawatirkan akan muncul beberapa permasalahan. Saat ini,
permasalahan yang terlihat di Pulau Oar terkait hubungannya
dengan upaya pengembangan sektor pariwisata antara lain:
masih terbatasnya sarana dan prasarana pendukung wisata
bahari, kurangnya promosi wisata bahari, belum
dikembangkannya makanan dan cinderamata khas Kabupaten
Pandeglang, aksesibilitas yang masih susah, dan belum

66
optimalnya pembinaan dalam pengembangan pariwisata
terhadap pelaku bisnis wisata dan masyarakat. Riski et al. (2016)
menyatakan bahwa pengembangan wisata bahari akan
memberikan dampak multiplier effect terhadap perekonomian
masyarakat lokal. Hal ini didorong dengan kemajuan media
sosial yang sudah menjadi kebutuhan masyarakat.

67
BAB VI
ALTERNATIF PENGELOLAAN

68
BAB VI
ALTERNATIF PENGELOLAAN

Pengelolaan kawasan pesisir dan laut di pulau-pulau


kecil saat ini merupakan permasalahan yang krusial. Secara
umum pulau-pulau kecil sangat berpotensi mengalami
kerusakan habitat, perubahan pada proses alami ekosistem
dan pencemaran (Marambessy et al., 2018). Secara khusus,
pulau-pulau kecil juga rentan terhadap bencana alam dan
aktivitas manusia, seperti; penambangan pasir dan praktik
destructive fishing (penangkapan ikan dengan racun dan bom
ikan) (Adrianto & Matsuda, 2002; MEA, 2005; Barrientos, 2010).
Keberadaan Pulau Oar merupakan salah satu pulau kecil
dengan luas sekitar 3,7 ha, berada di antara Pulau Mangir dan
Pulau Umang, tidak berpenduduk, hanya sebagai lokasi
berteduh dan beristirahat nelayan sekitar. Pulau Oar memiliki
keunikan yang mampu menjadi modal pengembangan wisata
bahari, seperti halnya Pulau Oar berlokasi yang cukup
terlindung, memiliki komponen vegetasi pantai yang dengan
dedaunan yang rindang serta keberadaan terumbu karang
yang mengelilingi daratan pulau (Ayal, 2009).
Pengembangan industrialisasi di daratan Kecamatan
Sumur jika tidak direncanakan dengan baik akan berdampak
signifikan bagi kelangsungan Pulau Oar karena lokasinya yang

69
berdekatan. Aktifitas pemanfaatan dan pengembangan
wilayah seperti halnya pengembangan industri, pemanfaatan
sumber daya dan penyediaan pemukiman atas pemanfaatan
dan pengembangan tersebut akan berdampak terhadap
kompleksitas habitat di perairan. Tinggi rendahnya kompleksitas
habitat berkorelasi positif dengan ketersediaan sumber daya
ikan yang ada di dalamnya. Sudah seharusnya upaya
pemanfaatan dan pengembangan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil seperti halnya Pulau Oar dan beberapa pulau-pulau
kecil di sekitarnya didasarkan pada prinsip kehati-hatian
sebagaimana diagram hubungan sumber daya dengan upaya
pemanfaatan.

Gambar 25. Hubungan sumber daya dengan upaya


pemanfaatan (Sumber: Mujiyanto et al., 2019)

70
Berdasarkan Gambar 25 dapat dijelaskan upaya
pengembangan wilayah pesisir dan pulau kecil yang berada di
sekitarnya dapat dilakukan dengan sistem pengelolaan
dengan melibatkan setiap unsur stakeholders (pemangku
kepentingan). Para pemangku kepentingan khususnya dari
unsur masyarakat harus mengetahui benar tujuan dan manfaat
dari upaya pengembangan dan pengelolaan wisata pulau-
pulau kecil. Pengelolaan sumber daya selain itu juga tidak
terlepas dari pengembangan kelembagaan masyarakat.
Bengen (2001) menyatakan jika dipandang dari sudut individu,
kelembagaan merupakan gugus kesempatan bagi individu
dan kelompok individu dalam membuat keputusan dan
pelaksanaan aktivitas.
Potensi dari sumber daya pulau kecil merupakan
indikator utama bagi daya dukung suatu kawasan untuk
menopang seluruh aktivitas masyarakat sebagai pemanfaat.
Kondisi tersebut sejalan dengan pendapat Dahuri et al. (2008)
di mana konsep daya dukung wilayah pesisir menjadi salah satu
dasar pendekatan bagi pengelolaan kedepannya. Akan tetapi
harus memperhatikan beberapa aspek sumber daya dengan
jumlah populasinya. Sehingga kedepan dapat menjamin
kesinambungan sumber daya yang ada di dalamnya.
Kabupaten Pandeglang merupakan salah satu daerah
yang cukup subur dan memiliki kekayaan alam yang sangat
potensial seperti pegunungan, pantai, kebudayaan dan
peninggalan sejarah yang dapat dikembangkan menjadi objek

71
pariwisata. Pemerintah Kabupaten Pandeglang menjadikan
pariwisata sebagai andalan untuk meningkatkan
perekonomian daerah, selain pertanian, karena itu semua objek
yang ada terus dipromosikan. Pengembangan pariwisata
diarahkan pada peningkatan destinasi wisata berupa kawasan
wisata, obyek wisata, akomodasi yang mendukungnya serta
pemasaran wisata yang akhirnya ukuran keberhasilan
pembangunan pariwisata tercermin melalui jumlah kunjungan
wisata. Bupati Pandeglang mengatakan akan berkomitmen
mengembangkan potensi wisata di Pandeglang, salah satunya
pariwisata Tanjung Lesung untuk dijadikan Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) yang nantinya dapat menjadi peluang besar bagi
potensi objek wisata lain yang ada di Pandeglang.
Keberadaan pulau-pulau kecil seperti Pulau Mangir,
Pulau Oar dan Pulau Umang yang berdekatan langsung
dengan daratan Kecamatan Sumur menjadi bagian dari fokus
dalam kegiatan pariwisata yakni Kelompok Sadar Pariwisata
(POKDARWIS) dengan anggota dari perwakilan pemuda
setempat. Namun, berdasarkan observasi yang dilakukan,
terdapat permasalahan yang dialami oleh POKDARWIS dalam
pengelolaan pariwisata yakni minimnya kapasitas SDM.
Berdasarkan interviu yang dilakukan kepada salah satu
pengurus, disebutkan bahwa kemunculan POKDARWIS pada
awalnya juga bukan karena inisiatif masyarakat, melainkan
karena adanya kebutuhan pembentukan untuk dapat
mengakses bantuan dari Dinas Sosial. Minimnya kapasitas SDM

72
karena latar belakang dan pengalaman pemuda di daerah ini
tidak semuanya menempuh pendidikan tinggi. Selain itu
orientasi setelah sekolah adalah bekerja. Oleh karena itu
motivasi untuk kegiatan pengembangan wisata masih minim.
Tidak lepas hal itu saja, banyaknya potensi wisata tidak dapat
dikembangkan secara maksimal karena minimnya
pengetahuan tentang pengelolaan aset wisata. Mengingat
masih belum bisa terakomodasinya segala potensi pariwisata
dan kesulitan untuk memetakan beberapa hal menjadi sebuah
produk wisata, maka beberapa potensi wisata tidak terkelola
dengan baik.
Lokasi Pulau Oar meskipun masuk dalam wilayah
Kabupaten Pandeglang namun dalam pengelolaannya sesuai
otonomi daerah dengan mengacu pada UU Nomor 23 tahun
2014 dimana Pemerintah Pusat dengan kewenangan
pengelolaan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah yang
dalam hal ini adalah DKP Provinsi Banten untuk melakukan
pemberdayaan Pulau Oar.
Alternatif pengelolaan Pulau Oar dan beberapa pulau
kecil di sekitarnya untuk berbagai kegiatan berdasarkan
kesesuaian perairan dan daya dukung kawasan dapat
ditetapkan dengan skala prioritas dan dilaksanakan
berdasarkan aspek kepentingan pengelolaan. Dalam proses
pengelolaan gugusan pulau-pulau kecil, khususnya di Pulau
Oar, peran pemerintah lebih penting dibanding ketiga aktor
lainnya karena: (1) Pemerintah merupakan institusi negara yang

73
berkewajiban menjaga, mengelola dan melindungi seluruh
sumber daya alam, membuat dan menyelenggarakan
kebijakan maritim secara nasional maupun regional di Banten.
(2) Pelaksana amanat UU No.1 tahun 2014 dan UU Nomor 23
tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; dan (3) Keberadaan
Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang di dalam struktur
organisasinya terdapat Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang
Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, merupakan institusi
yang paling berkompeten untuk melakukan pengelolaan,
pemanfaatan, pembangunan dan pengembangan pulau-
pulau kecil di seluruh Indonesia secara berkelanjutan. Kebijakan
terhadap upaya pengelolaan merupakan prinsip utama dalam
rumusan kebijakan pemanfaatan wilayah pulau kecil
menyangkut kebijakan perencanaan dan pemanfaatan
sumber daya alam, pembangunan untuk meningkatkan nilai
perekonomian serta pengembangan sumber daya manusia
(Samudra, 2010; Marambessy et al., 2018).
Pemerintah Provinsi Banten beserta masyarakat lokal
sepanjang Teluk Paraja dan sekitarnya diharapkan mampu
bertanggung jawab mengendalikan pengelolaan sumber daya
ikan yang ada di dalamnya sehingga kelestarian sumber daya
terus terjaga. Pemanfaatan potensi yang terkadang baik di
daratan maupun perairan Pulau Oar ditetapkan berdasarkan
pada tingkat kepentingan serta kriteria yang telah disusun
dalam konteks pengelolaan secara berkelanjutan.
Sebagaimana diketahui bahwa wilayah pulau-pulau kecil

74
memiliki fungsi selain sebagai penyedia berbagai sumber
penghidupan masyarakat, juga berfungsi sebagai penyedia
jasa ekosistem (ecosystem services), fungsi lingkungan
(ecological value) yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat
terutama yang hidup di wilayah pulau-pulau kecil dan terpencil.
Salah satu prioritas pengelolaan wisata bahari dengan
pendekatan konservasi merupakan salah satu prioritas
dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
masyarakat lokal dengan membuka peluang usaha alternatif
wisata bahari, tetapi tetap menjaga keberlanjutan ekosistem
dalam kawasan Pulau Oar. Pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan adalah pengelolaan pulau-pulau kecil yang
harus memenuhi segenap kriteria secara ekonomi efisien dan
optimal, secara sosial-budaya berkeadilan dan dapat diterima,
dan secara ekologis tidak melampaui daya dukung lingkungan
(Retraubun, 2003).
Langkah pendekatan pengelolaan kawasan Pulau Oar
berikutnya adalah pemanfaatan sumber daya kelautan,
perikanan, dan jasa-jasa lingkungan yang ada berdasarkan
karakteristik kesatuan ekologis secara terpadu untuk aktivitas
yang ada di Pulau Oar. Hal ini dilakukan dengan suatu
penataan ruang yang diatur berdasarkan fungsi kawasan untuk
menjamin keutuhan ekosistem yang mengacu pada
kesesuaian perairan dan daya dukung kawasan dengan
melakukan pembagian zonasi. Menurut Priemus et al. (2007)
dalam pemahaman perencanaan spasial, zonasi penggunaan

75
lahan sering diartikan sebagai penataan ulang guna lahan.
Kebijakan penataan ruang dalam bentuk zonasi di perairan
Pulau Oar perlu dilakukan mengingat pemanfaatan sumber
daya pada kawasan ini cukup tinggi dan beragam
kepentingan, sehingga dapat mencegah konflik pemanfaatan
ruang di dalam kawasan tersebut, khususnya mencegah
pemanfaatan sumber daya yang berlebihan bahkan dengan
cara-cara yang merusak.
Sumber daya alam pada suatu kawasan tertentu akan
lebih efektif dan efisien, jika di arahkan secara tepat dalam
meningkatkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lokal
suatu kawasan (Hermes, 2017). Lebih lanjut penjelasan
(Retraubun, 2005; Samudra, 2010) pemanfaatan potensi dan
ruang dalam implementasinya dalam bentuk zonasi di
dasarkan aspek ekologis, sosial-budaya dan integrasi sosio-
ecology. Pulau Oar sebagai pulau kecil tidak berpenduduk
yang memiliki sumber daya alam potensial di pesisir dan laut,
serta jarak pulau yang relatif dekat dengan daratan
Kecamatan Sumur, sehingga memberi dampak secara
langsung terhadap pemanfaatan kedua pulau ini. Untuk itu,
perlu dibuat suatu konsep pengelolaan ruang pada kawasan
kedua pulau yang dapat memberi manfaat ekonomi bagi
masyarakat dan tetap menjamin kelestarian sumber daya alam
dalam kawasan. Strategi pengelolaan pesisir dan laut di Pulau
Oar dapat dilihat pada Gambar 26.

76
Gambar 26. Zonasi Pulau Oar sebagai bentuk alternatif
pengelolaan

Kebijakan sebagai alternatif pengelolaan Pulau Oar


dilakukan dengan mengintegrasikan pembangunan antara
wilayah daratan Kecamatan Sumur dan kecamatan di
sekitarnya. Konsep dasar pengelolaan Pulau Oar adalah
bahwa pemanfaatan sumber daya alam disesuaikan dengan
daya dukung kawasan (carrying capacity of the area)
(Retraubun, 2005; Samudra, 2010; Yulianda, 2010). Dalam
konteks ini adalah perubahan mindset serta tindakan dari
kegiatan yang merusak menjadi ke arah yang lebih positif.
Pendekatan yang dapat dilakukan yaitu: pendekatan
pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable turism
approach) yaitu, area wisata ditetapkan berdasarkan
kesesuaian perairan dan daya dukung kawasan. Wisatawan
murni hanya melakukan aktivitas berwisata saja selama ada di

77
pulau, sedangkan fasilitas tempat tinggal, makan dan hiburan
lainnya dilakukan pada maindland, sehingga dapat menjamin
pemenuhan kebutuhan masyarakat serta wisatawan yang
berkunjung dengan baik dan tetap menjaga kelestarian
daerah tujuan wisata yang dikunjungi. Gladstone et al. (2013);
Marambessy et al. (2018) menjelaskan, pembangunan
infrastruktur pendukung ekowisata yang di bangun pada
kawasan pesisir dan pulau kecil secara tidak langsung dapat
memberikan pengaruh terhadap lingkungan dan ekosistem
pesisir dan laut.
Implementasi sebagai nyata realisasi alternatif
pengelolaan Pulau Oar diperlukan beberapa langkat strategis
sebagai berikut:
1. Penyiapan kelembagaan masyarakat setempat untuk
mengembangkan wisata, sehingga perlu dibentuk
kelembagaan tersebut, dimana tugasnya antara lain:
a. Memberikan informasi dasar tentang keanekaragaman
dan keindahannya (membuat brosur atau leaflet).
b. Membersihkan pulau dan menjaga kebersihan pulau,
sehingga kelihatan menarik (yang ditampilkan dalam
foto masih sangat kotor).
c. Membuat sarana prasarana, seperti perahu antar
jemput, minimal rumah-rumah tempat berteduh dari
hujan dan panas.
d. Membangun kantor di daratan (sebagai base camp
informasi dan pemberangkatan ke pulau), dan kantor

78
pengelola di pulau (sebagai tempat pengawasan
keselamatan dan kesehatan wisatawan, serta
mengelola wisatawan agar menjaga kebersihan dan
kelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati,
menyediakan perlengkapan/sewa sarana dan
prasarana pengamatan keindahan dan
keanekaragaman hayati perairan).
2. Membuat tata ruang pengembangan wisata dan sumber
daya (tata ruang bagi pengembangan wisata dan
pemanfaatan sumber daya ikan, serta waktu penutupan
bagi semua aktifitas pemanfaatan (digunakan untuk
pemulihan kerusakan lingkungan tersebut untuk setiap
tahunnya)
3. Membuat aturan atau perda hak pengelolaan tersebut
oleh kelompok masyarakat dan perda pengelolaan wisata
dan sumber daya ikannya.

79
BAB VII
PENUTUP

80
BAB VII
PENUTUP

Kabupaten Pandeglang dengan potensi sumber


dayanya yang cukup subur serta memiliki kekayaan alam laut
yang sangat potensial seperti pegunungan, pantai,
kebudayaan dan peninggalan sejarah yang dapat
dikembangkan menjadi objek pariwisata. Pemerintah
Kabupaten Pandeglang menjadikan pariwisata sebagai
andalan untuk meningkatkan perekonomian daerah, selain
pertanian, karena itu semua objek yang ada terus
dipromosikan. Pengembangan pariwisata diarahkan pada
peningkatan destinasi wisata berupa kawasan wisata, obyek
wisata, akomodasi yang mendukungnya serta pemasaran
wisata yang akhirnya ukuran keberhasilan pembangunan
pariwisata tercermin melalui jumlah kunjungan wisata.
Alternatif pengelolaan Pulau Oar untuk berbagai
kegiatan berdasarkan kesesuaian perairan dan daya dukung
kawasan dapat ditetapkan dengan skala prioritas dan
dilaksanakan berdasarkan aspek kepentingan pengelolaan.
Dalam proses pengelolaan gugusan pulau-pulau kecil,
khususnya di Pulau Oar, peran pemerintah lebih penting
dibanding ketiga aktor lainnya karena:

81
1. Pemerintah merupakan institusi negara yang berkewajiban
menjaga, mengelola dan melindungi seluruh sumber daya
alam, membuat dan menyelenggarakan kebijakan maritim
secara nasional maupun regional di Banten;
2. Pelaksana amanat Undang-Undang terkait pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan pemerintahan
daerah;
3. Keberadaan Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang di
dalam struktur organisasinya terdapat Direktorat Jenderal
Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan
Perikanan, merupakan institusi yang paling berkompeten
untuk melakukan pengelolaan, pemanfaatan,
pembangunan dan pengembangan pulau-pulau kecil di
seluruh Indonesia termasuk Pulau Oar secara berkelanjutan.

Pengelolaan dan pengembangan pesisir dan laut di


Pulau Oar sebagai kawasan wisata bahari (sub zona wisata
bahari) harus dilihat sebagai salah satu gerakan untuk
“mengubah perilaku” semua pihak, baik masyarakat, pelaku
usaha/swasta (pemilik resort atau villa dan biro perjalanan) dan
pemerintah daerah. Dalam konteks ini adalah perubahan pola
pikir serta tindakan dari kegiatan yang merusak menjadi ke arah
yang lebih positif. Kebijakan yang dapat dilakukan yaitu model
pendekatan pembangunan pariwisata berkelanjutan, dimana
penataan areal perairan sebagai area wisata ditetapkan
berdasarkan kesesuaian perairan dan daya dukung kawasan.

82
Sedangkan wisatawan murni hanya melakukan aktivitas
berwisata saja selama ada di pulau, fasilitas tempat tinggal,
makan dan hiburan lainnya dilakukan pada maindland,
sehingga dapat menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat
serta wisatawan yang berkunjung dengan baik dan tetap
menjaga kelestarian daerah tujuan wisata yang dikunjungi.
Gladstone et al. (2013), menjelaskan, pembangunan
infrastruktur pendukung ekowisata yang di bangun pada
kawasan pesisir dan pulau kecil secara tidak langsung dapat
memberikan pengaruh terhadap lingkungan dan ekosistem
pesisir dan laut.
Pengembangan wilayah Kabupaten Pandeglang yang
didukung dengan percepatan pembangunan infrastruktur,
diharapkan akan menjadikan Pandeglang menjadi daerah
yang tumbuh dan berkembang serta lepas dari predikat salah
satu Daerah Tertinggal. Untuk mendukung hal tersebut perlu
adanya kerjasama dan partisipasi dari berbagai pihak, baik
Pemerintah, Masyarakat, maupun swasta. Pemerintah
diharapkan melakukan upaya-upaya sosialisasi dan
pendekatan kepada masyarakat terkait dengan rencana
pengembangan wilayah Pandeglang dan Pembangunan
Infrastruktur, yang akan memberikan dampak positif bagi
pembangunan Kabupaten Pandeglang. Sehingga masyarakat
akan lebih mendukung dan menerima pembangunan
Infrastruktur yang dibutuhkan untuk Pengembangan Wilayah

83
Kabupaten Pandeglang untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya.

84
DAFTAR
PUSTAKA

85
DAFTAR PUSTAKA

Adhitya, S.W., Bayu, S.A.N., Nurjanah, S. & Syakur, A. (2013).


Peningkatan kualitas air pantai menjadi air bersih dengan
penerapan teknologi plasma non-thermal dan multi-step
filter. DIPA IPTEKS. Vol. I (1). 6 p.

Adrianto. L., & Matsuda, Y. (2002). Developing economic


vulnerability indices of environmental disasters in small
island regions. Journal Envir. Vol. 22 (4). 393-414 pp.

Aeni, N. (2012). Analisis suhu permukaan laut dan klorofil-a dari


citra aqua modis serta hubungannya dengan hasil
tangkapan ikan pelagis di Selat Sunda. Skripsi.
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 47 p.

Ambari, (2018). Terumbu karang di nusantara membaik


namun?. Retrieved
fromhttps://www.mongabay.co.id/2017/07/17/terumbu-
karang-di-nusantara-membaik-namun/diakses tanggal 31
Oktober 2019.

86
Allen, G. & M. Adrim. (2003). Coral reef fishes of Indonesia.
Zoological Studies. Vol. 42 (1). 1-72 pp.

Arifin, T., D. G. Bengen, & J. Pariwono. (2002). Evaluasi kesesuaian


kawasan pesisir Teluk Palu bagi pengembangan
ekowisata bahari. Jurnal Pesisir dan Lautan. Vol. 4 (2). 25-
35 pp.

Aryawati, R. & Thoha, H. (2011). Hubungan kandungan klorofil-a


dan kelimpahan fitoplankton di perairan Berau kalimantan
Timur. Maspari Journal. No. 02. 89-94 pp.

Aryawaty, R., Isnaini & Surbakti, H. (2014). Hubungan konsentrasi


khlorofil-a dan kandungan hara di perairan Selat Bangka.
Prosiding Seminar Nasional MIPA 2014. Palembang. 7 p.

Ayal, F.W. (2009). Kajian perairan pesisir Desa Sawai Kabupaten


Maluku Tengah bagi pengembangan ekowisata. Tesis.
Institut Pertanian Bogor.

Barrientos, A. (2010). Vulnerability and social protection in small


island states: The case of Brenada Soc. Econ. Stud. Vol. 59
(1 & 2). 3-30 pp.

87
Bengen, D.G. (2001). Ekosistem dan sumber daya alam pesisir
dan laut: sinopsis. Bogor: Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir
dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.

[Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah,


Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pandeglang
Tahun 2011-2031, 2011, Kabupaten Pandeglang

[Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah,


Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten Tahun 2010-
2030, 2011, Provinsi Banten

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Republik


Indonesia. (2013). Peluang Investasi Di Kabupaten
Pandeglang: Pengembangan Objek Wisata One Stop
Tourism.

BPS Kabupaten Pandeglang. 2018. Kabupaten Pandeglang


Dalam Angka 2018. Badan Pusat Statistik Kabupaten
Pandeglang. Pandeglang: Percetakan Rajawali.

BPS Kab. Pandeglang Kec. Sumur dalam Angka 2018. Katalog


BPS: 1102001.3601010.

88
Brotowidjoyo, M.D., Mubyarto, E. & Tribowo, D. (1995). Pengantar
lingkungan perairan dan budidaya air. Yogyakarta:
Liberty. 259 p.

Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P. & Sitepu, M.J. (2008). Pengelolaan
sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu. Pradnya
Paramitha Press. 278 p.

Davie, J. & E. Sumardja. (1997). The mangrove of East Java: an


analysis of impact of pond aquaculture on biodiversity and
coastal ecological. Tropical Biodiversity. Vol. 4 (1). 1-33 pp.

Damanhuri, H. (2003). Terumbu karang kita. Pusat Kajian


Mangrove dan Kawasan Pesisir. Vol. 3 (2). 33-38 pp.

Desai, K.N. (2000). Dune vegetation: need for reappraisal.


Coast.in. A Coastal Policy Research Newsletter. No. 3
September: 2000.

Edwin, T., Regia, R. A., & Dibba, F. (2016). Indikasi intrusi air laut
dari konduktivitas air tanah dangkal di Kecamatan
Padang Utara. Seminar Nasional Sains Dan Teknologi
Lingkungan II. 152–156 pp.

89
Effendi, H. (2003). Telaah kualitas air bagi pengelolaan
sumberdaya dan lingkungan perairan. Penebit Kanisius.
Yogyakarta.

Fauziyah, E.N. Ningsih & Wijopriono. (2010). Densitas schooling


ikan pelagis pada musim timur menggunakan metode
hidroakustik di perairan Selat Bangka. Jurnal Penelitian
Sains. No. 13. 49-52 pp.
Giere, O. (1993). Meiobenthology: the microscopic fauna in
aquatic sediments. Springer. 328 p.

Gilman, E, J. Ellison, & R. Coleman. (2006). Pacific island


mangroves in a changing climate and rising sea. United
Nation Environment Program and Secretariat of the Pacific
Regional Environment Program. Regional Seas Reports and
Studies No. 179. 1-58 pp.

Giyanto, Abrar, M., Hadi, T.A., Budiyanto, A., Ha zt, H., Salatalohy,
A. & Iswari, M.Y. (2017). Status terumbu karang Indonesia.
Jakarta, Puslit Oseanografi – LIPI. 30 p.

Gladstone, W., Curley, B., & Shorki, M.R. (2013). Enviromental


impacts of tourism in the Gulf and the Red Sea. Marine
Pollution Bulletin. Vol. 9 (17). 375-388 pp.

90
Gulland, J.A. (1972). Some introductory guidelines to
management of shrimp fisheries. FAO, IOFC/DEV/72/74: 12
p.

Gurung, H. B. (2010). Trends in protected areas. CRC for


sustainable tourism. Pty Ltd. Gold Coast, Queensland,
Australia. 28 p.

Hallacher, L.E. (2003). The ecology of coral reef fishes. University


of Hawai

Hermes. N., Smid, P., & Yao, L. (2007). Capital budgeting


practices: A comparative study of the Netherlands and
China. International Business Review, Vol. 16 (5). 630-654
pp.

Higgins, R.P. & Thiel, H. (1988). Introduction to the study of


meiofauna. Washigton DC: Smithsonia Institution Press. 488
p.

Horne, A.J. & Goldman, C.R. (1984). Limnology. Mc. Graw Hill.
International Book Company, Tokyo. 576 pp.

Hutabarat, S. & Evans, S.M. (1984). Pengantar oseanografi.


Jakarta: Universitas Indonesia Press. 159 p.

91
Johan, Y. (2016). Analisis kesesuaian dan daya dukung
ekowisata bahari Pulau Sebesi, Provinsi Lampung. Depik.
Vol. 5 (2): 41-47 pp.
http://dx.doi.org/10.13170/depik.5.2.4165

Kodoatie, R.J. (1996). Pengantar hidrogeologi. Yogyakarta.


Penerbit: Andi Offset. 266 p.

Kristanto, P. (2004). Ekologi industri. Yogyakarta: Penerbit Andi.


422 p.

Maesaroh, S. (2013). Analisa pemanfaatan ruang wilayah pesisir


di perairan Selat Sunda Kabupaten Pandeglang, Banten.
Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Maesaroh, S. B. Barus & L. Saymsul Iman. (2013). Analisis


pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten
Pandeglang, Provinsi Banten. J. Tanah Lingk. Vol. 15 (2). 45-
51 pp.

Mainassy, M.C. (2017). Pengaruh parameter fisika dan kimia


terhadap kehadiran Ikan Lompa (Thryssa baelama
Forsskal) di perairan Pantai Apui Kabupaten Maluku
Tengah. Jurnal Perikanan Universitas Gadjah Mada. Vol. 19
(2). 61-66 pp.

92
Marambessy, I. Fachrudin, A., Imran, Z. & Agus, S.B. (2018).
Strategi pengelolaan berkelanjutan pesisir dan laut Pulau
Nusa Manu dan Pulau Nusa Leun di Kabupaten Maluku
Tengah. Journal of Regional and Rural Development
Planning. Vol. 2 (1). 1-22 pp. DOI:
http://dx.doi.org/10.29244/jp2wd.2018.2.1.1-22

MEA. (2005). Millennium Ecosystem Assessment (MEA).


Ecosystems and Human Well-Being: Synthesis. Washington:
Island Press.

Megawati, C., Yusuf, M. & Maslukah, L. (2014). Sebaran kualitas


perairan ditinjau dari zat hara, oksigen terlarut dan pH di
perairan selatan Bali Bagian Selatan. Jurnal Oseanografi.
Vol. 3 (2). 142-150 pp.

Mujiyanto, Y.A. Afandy & D. Anggraeni. (2019). Pemanfaatan


potensi sumer daya laut dan pesisir Pulau Semu Kab.
Serang Provinsi Banten. Penerbit AMAFRAD Press. 56 pp.

Mukhtasor, (2007). Pencemaran pesisir dan laut. PT. Pradnya


Paramita. Jakarta. 159 p.

93
Nasution, A.P. (2008). Deteksi sebaran ikan pada kolom perairan
dengan menggunakan metode hidroakustik integrasi
kumulatif di Kecamatan Sumur, Pandeglang Banten.
Skripsi. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 72 p.

Nontji, A. (2002). Laut nusantara - cet. 3. Jakarta: Djambatan,


351 p.

Nuraga, A., Jayanto, B.B. & Setiyanto, I. (2018). Pengaruh


penggunaan lampu bawah air (underwater lamp)
terhadap hasil tangkapan bagan perahu (boat lift net) di
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangantu Kota
Serang. Saintek Perikanan. Vol.14 (1). 36-42 p.

Odum, E.P. (1971). Fundamental of ecology. Philadelphia: W.B.


Sounders Company Ltd. 546 p.

PAHIAA (Panitia Ad Hoc Intrusi Air Asin). (1986). Direkrorat


Geologi Tata Lingkungan, Jakarta. 6 p.

Patty, W. (2010). Karakteristik tipe dasar dan pemanfaatan


perairan di sekitar Pulau Gangga, Kabupaten Minut. Jurnal
Perikanan dan Kelautan. Vol. VI (2). 108-113 pp.

94
Premius, H., Button, K., & Nijkamp, P. (2007). Classic in planning
and land use planning. England. (UK): Edward Elgar
Publishing. 519 p.

Retraubun, A.S.W. (2003). Kebijakan dan strategi


pemberdayaan pulau-pulau kecil. makalah disampaikan
pada rapat koordinasi penanganan terpadu program
pembangunan. Jakarta. 17-18 Desember 2003.31 hlm.

Riski, T.R., Azman, H.A. & Rahmi, F. (2016). Strategi


pengembangan wisata bahari di Kota Padang. Jurnal
Manajemen dan Kewirausahaan. Vol. 7 (1). 1-10 pp.

Rizal, A. (2013). Kinerja sektor perikanan Provinsi Banten. Jurnal


Akuatika. Vol. IV (1). 21-34 pp.

Salim, D., Yuliyanto & Baharuddin. (2017). Karakteristik parameter


oseanografi fisika-kimia perairan Pulau Kerumputan
Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan. Jurnal Enggano.
Vol. 2 (2). 218-228 pp.

Samudra, K. (2010). Pola pengelolaan gugusan pulau-pulau


kecil di kawasan Kapoposan yang berkelanjutan. Disertasi.
Institut Pertanian Bogor.

95
Simanjuntak, M. (2009). Hubungan faktor lingkungan kimia, fisika
terhadap distribusi plankton di perairan Belitung Timur,
Bangka Belitung. Jurnal Perikanan (Journal of Fisheries
Sciences). Vol. XI (1). 41-59 pp.

Suman, A. (2016a). Potensi dan tingkat pemanfaatan sumber


daya ikan di WPP-NRI 2015. Makalah disampaikan pada
sidang tahunan Komnas Kajiskan. Balai Penelitian
Perikanan Laut, Puslitbangkan, Balitbang KP.

Suman, A. Irianto, H.E., Satria, F. & Amri, K. (2016b). Potensi dan


tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP
NRI) Tahun 2015 Serta Opsi Pengelolaannya. J. Kebijak.
Perikan. Ind. Vol. 8 (2). 97-110 pp.

Suparjo, M.N. (2009). Kondisi pencemaran perairan Sungai


Babon Semarang. Jurnal Saintek Perikanan. No. 4. 38-45
pp.

Suslow, T. 2004. Oxidation-Reduction Potential (ORP) for water


disinfection monitoring, control, and documentation. ANR
Publication. 8149 p.

Tjardhana & E. Purwanto. (1995). Hutan mangrove Indonesia.


Duta Rimba. No. 21. 2-17 pp.

96
Urbasa, P.A., Undap, S.L. & Rompas, R.J. (2015). Dampak kualitas
air pada budi daya ikan dengan jaring tancap di Desa
Toulimembet Danau Tondano. Jurnal Budidaya Perairan.
Vol. 3 (1). 59-67 pp.

Utomo, S.P.R., Ain C. & Supriharyono. (2013). Keanekaragaman


jenis ikan karang di daerah rataan dan tubir pada
ekosistem terumbu karang di Legon Boyo, Taman Nasional
Karimunjawa, Jepara. Diponegoro Journal of Maquares
Management of Aquatic Resources. Vol. 2 (4). 81-90 pp.

Wakyudi, Hadi, S. & Rusdiana, O. (2015). Analisis potensi lanskap


ekowisata di daerah penyangga Kawasan Taman
Nasional Ujung Kulon Provinsi Banten. Majalah Ilmiah
Globë. Vol. 17 (2). 135-144 pp.

Wetzel, R.G. (1975). Lymnology. W.B. Saunders Co. Philadelphia,


Pennsylvania. 743 p.

Yulianda, F., Fachrudin, A., Ambrosius A.H., Sri H. & Kusharjani, Ho


S.K. (2010), Pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu.
PUSDIKLAT KEHUTANAN-SECEM-KOICA. Bogor.

97
Yulianto, E.S., Pubayanto, A., Wisudo, S.H. & Mawardi, W. (2014).
Lampu LED bawah air sebagai alat bantu pemikat ikan
pada bagan apung. Jurnal Teknologi Perikanan dan
Kelautan. Vol. 5 (1). 83-93 pp.

98
Pustaka terkait peraturan dan perundang-undangan:

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001 tentang


Kriteria baku kerusakan terumbu karang.

Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri


Lingkungan Hidup Nomor 51 tentang baku mutu air laut
lampiran i sampai dengan iii.

Keputusan Bupati Nomor: 660/ Kep.369-Huk/2007 tentang


penetapan kawasan konservasi perairan Pandeglang.

Keputusan Bupati Nomor: 660/ Kep.369-Huk/2007 tentang


penetapan kawasan konservasi perairan Kabupaten
Pandeglang.

Peraturan Daerah No. 9 Tahun 2005 tentang rencana induk


pengembangan pariwisata Provinsi Banten.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pengelolaan


wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan


ruang. Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4725.
Sekretariat Negara.

99
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tambahan
Lembaran Negara RI Nomor 4739. Sekretariat Negara.

Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah.


Lembaran Negara RI Nomor 125. Sekretariat Negara.

100
GLOSARIUM

101
GLOSARIUM

Abrasi : Proses pengikisan pantai oleh tenaga


gelombang laut dan arus laut yang
bersifat merusak.
Ekosistem : Keseluruhan sistem komunitas biotik
dan lingkungan non biotik yang saling
berinteraksi.
Ekosistem terdiri atas empat sistem,
yaitu: substansi abiotik, produsen,
konsumen dan pengurai.
Elemen : Sub kriteria yang digunakan untuk
kerentanan membantu memudahkan dalam
mengukur tingkat kerentanan suatu
kriteria yang menjadi komponen
penyusun variabel kapasitas adaptif.
Eutrofikasi : Peristiwa meningkatnya aktifitas dalam
sistem perairan yang diakibatkan oleh
beban bahan buangan yang
ditampung dan membawa akibat
merugikan bagi kehidupan akuatik.
Feeding ground : Daerah atau tempat untuk mencari
makan bagi suatu organisme perairan.
Fitoplankton : Tumbuhan yang hidup dengan cara
melayang-layang di dalam air
sehingga pergerakannya dan
penyebarannya terbatas karena
tergantung dari gerakan air.
Fotosintesis : Suatu proses mensintesa zat makanan
(bahan organik) dengan mendapat
energi dari cahaya matahari. Air (H2O)

102
dari tanah beserta asam arang (CO 2)
dari udara, diubah jadi glukosa
(C6H12O6) di daun. Untuk mengikat
energi cahaya matahari perlu
kehadiran klorofil (zat hijau daun)
Grazer : (1) Hewan pemangsa tumbuhan,
disebut juga herbivora. (2) Tipe hewan
yang menempel
Greenbelt : Ruang terbuka hijau yang memiliki
tujuan utama untuk membatasi
perkembangan suatu penggunaan
lahan atau membatasi aktivitas satu
dengan aktivitas lainnya agar tidak
saling mengganggu. Pada konteks
ekosistem pesisir merujuk pada
kawasan vegetasi mangrove yang
terbentuk sepanjang pesisir.
Habitat : Tempat hidup organisme tertentu;
tempat hidup yang alami (bagi
tumbuhan dan hewan); lingkungan
kehidupan asli
Indikator : Kriteria atau variabel yang digunakan
sensitifitas sebagai acuan untuk mengukur
beragam perubahan baik secara tidak
langsung maupun secara langsung
yang berkaitan dengan parameter-
parameter yang rentan terkena
dampak dari perubahan kondisi bio-
fisik lingkungan.
Interaksi sosial : Suatu hubungan yang ada di antara
dua atau bahkan lebih dari individu
manusia. Interaksi sosial juga tidak
sekedar berbicara mengenai tindakan

103
tapi tindakanlah yang bisa
mempengaruhi individu yang lainnya.
Intrusi air laut : Masuk atau menyusupnya air laut ke
dalam pori-pori batuan dan
mencemari air tanah (air tawar) yang
terkandung di dalamnya.
Karang : Hewan tak bertulang belakang yang
termasuk dalam Filum Coelenterata
(hewan berongga) atau Cnidaria
Kearifan lokal : (1) Ide dan gagasan atau
pengetahuan yang lahir dari
masyarakat setempat dalam
menjalankan kehidupan di lingkungan
sekitar. (2) Gagasan-gagasan, nilai-nilai
atau pandangan dari suatu tempat
yang memiliki sifat bijaksana dan
bernilai baik yang diikuti dan
dipercayai oleh masyarakat di suatu
tempat tersebut dan sudah diikuti
secara turun temurun
Makrobenthos : Bentos yang berukuran lebih dari 1
(satu) mm, disebut juga makrofauna.
Mangrove : (1) Tumbuhan daratan berbunga yang
hidup di pinggiran pantai yang mampu
mentolerir salinitas tertentu. (2) Nama
umum untuk hutan yang didominasi
oleh beberapa jenis pohon atau semak
pantai tropik, yang mendominasi
mangal. (3) Bakau.
Migrasi : Perpindahan secara periodik hewan-
hewan dari suatu tempat ke tempat
lainnya.
Nelayan : Penangkap ikan yang secara aktif
melakukan kegiatan menangkap ikan,

104
baik secara langsung (penebar dan
penarik jaring) maupun secara tidak
langsung (juru mudi, nakhoda, ahli
mesin, ahli masak dan ahli listrik).
Nursery ground : (1) Daerah asuhan. (2) Bagian suatu
tempat yang sering digunakan oleh
organisme ikan maupun udang
sebagai tempat mencari makan dan
berlindung.
Pasang surut : Naik turunnya permukaan air laut
secara teratur karena pengaruh gaya
tarik-menarik matahari dengan bulan
dan rotasi bumi.
Pesisir : Areal yang merupakan pertemuan
antara daratan dengan perairan laut.
Planktonik : Bersifat seperti plankton, yaitu
melayang-layang di dalam air dan
tidak mempunyai gerakan.
Plasma nutfah : Bagian tubuh dari tumbuhan, hewan,
atau mikroorganisme yang mempunyai
fungsi dan kemampuan mewariskan
sifat. Plasma nutfah (sumber daya
genetik) adalah bagian tubuh
tumbuhan, hewan, atau
mikroorganisme yang mempunyai
fungsi dan kemampuan mewariskan
sifat.
Pulau : (1) lahan daratan, (2) terbentuk secara
alamiah, (3) dikelilingi oleh air/lautan,
(4) selalu di atas permukaan pada saat
pasang, dan (5) memiliki kemampuan
ekonomi untuk menghidupi
penduduknya.

105
Sempadan : Daratan sepanjang tepian yang
pantai lebarnya proporsional dengan bentuk
dan kondisi fisik pantai, minimal 100
(seratus) meter dari titik pasang
tertinggi ke arah darat.
Sensitifitas : Parameter-parameter yang rentan
terkena dampak akibat perubahan
kondisi bio-fisik lingkungan yang
mempengaruhi kinerja dan kerentanan
sistem lingkungan tersebut.
Sero (trap) : Salah satu alat tangkap ikan yang
berupa jebakan dan bersifat menetap
(pasif).
Spawning ground : Daerah atau tempat di alam bagi ikan
untuk melakukan pemijahan.
Terumbu : Struktur kerangka kapur khas perairan
laut dangkal tropis, terutama terbentuk
oleh hewan atau organisme laut yang
berfotosintesis.

Topografi : Konfigurasi permukaan bumi. Dalam


oseanografi, topografi menunjukkan
permukaan dasar lautan, permukaan
air laut ataupun permukaan massa air.
Vegetasi : Bentuk kehidupan yang tersusun atas
kumpulan tanaman yang menempati
suatu ekosistem
Zonasi : Adalah pembagian wilayah perairan
yang didasarkan pada keadaan fisik
lingkungan serta sifat kehidupan dan
penyebaran populasi ikan dalam
usaha mengatur pengelolaan
perekonomiannya secara pasif agar
sesuai dengan prioritas fungsi perairan.

106
INDEKS SUBJEK

107
INDEKS SUBJEK

A K
Abrasi; 13, 26, 40, 41. Karang; 9, 15, 24, 27, 28, 29,
Asuhan; 40. 30, 31, 32, 33, 34, 35, 40, 41,
42, 45.
B Konservasi; 3, 4, 8, 49.
Biota; 2,13, 17, 20, 32.
L
D Lamun; 26
Dominasi: 1, 7, 14, 20, 24, 26, Lingkungan; 1, 2, 4, 5, 13, 18,
29, 30. 30, 40, 51, 52, 54.

E M
Ekosistem; 2, 3, 7, 16, 24, 26, Mangrove; 7, 24, 25, 40, 41.
28, 30, 32, 40, 41, 45, 49, 51, Migrasi; 37. N
54. Nelayan; 9, 25, 29, 30, 34, 35,
Estuari; 15,16. 36, 38, 42, 45.

F P
Fitoplankton; 19, 20. Pantai; 1, 2, 3, 6, 8, 9, 10, 11,
12, 15, 22, 24, 25, 26, 34, 35,
H 36, 37, 40, 41, 43, 45, 47, 53.
Habitat; 7, 13, 24, 28, 29, 30, Pengelolaan; 2, 3, 5, 33, 45,
40, 41, 45. 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53,
54.
I Pesisir: 1, 2, 3, 5, 6, 7, 13, 18,
Ikan; 5, 8, 13, 14, 29,30, 31, 32, 22, 24, 34, 35, 36, 37, 37, 40,
33, 34, 35, 36, 37, 38, 40, 41, 41, 43, 46, 50, 51, 53, 54.
42, 45, 49, 52.
Industri; 1, 4, 21, 45.

108
S
Spawning; 40. W
Wisata; 1, 3, 5, 6, 8, 9, 12, 13,
T 25, 32, 42, 43, 44, 45, 46, 47,
Terumbu; 9, 24, 26, 27, 28, 29, 48, 49, 51, 52, 53, 54.
30, 31, 32, 33, 40, 42, 45.
Z
V Zonasi; 49, 50.
Vegetasi; 7, 24, 25, 26, 40, 41,
45.

107
BIODATA
PENULIS

108
BIODATA PENULIS

Mujiyanto, S.St.Pi, M.Si dilahirkan di Pati, 26


Juni 1980. Gelar Sarjana Sains Terapan
diperoleh dari Program Studi Teknologi
Pengelolaan Sumberdaya Perairan,
Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta tahun
2003. Kemudian tahun 2009
menyelesaikan Magister Sains (S2) dengan
konsentrasi Manajemen dan Konservasi
Sumberdaya Ikan pada Program Studi
Manajemen Sumberdaya Pantai, Universitas Dipenegoro. Saat
ini, selain aktif sebagai peneliti pada jenjang Peneliti Ahli Madya
bidang kepakaran Sumberdaya dan Lingkungan di Balai Riset
Pemulihan Sumber Daya Ikan, BRDSMKP - KKP, penulis juga aktif
sebagai Tenaga Ahli dan Tenaga Professional Instruktur Selam
(SCUBA diving) di afiliasi selam internasional POSSI-CMAS
(Num.Reg.INA.F00.B1.0298) dan Organisasi selam internasional
The Rebreather Association of International Diver (RAID) South
East Asia sebagai Instructor Specialty (Num.ID.9461). Penulis
merupakan anggota aktif The Marine Mammals Observer
Association (MMOA) and Passive Acoustic Monitoring (PAM)
dengan Member ID S518-1659-1. Hingga saat ini telah
menghasilkan berbagai karya tulis ilmiah baik dalam bentuk
buku, jurnal, prosiding dan makalah ilimiah lainnya. Selama
berkarier menjadi peneliti penulis telah menghasilkan Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) berupa paten tidak kurang 5 invensi
bidang kelautan dan perikanan. Penulis dapat dihubungi
melalui e-mail: antomj18@gmail.com.

109
Yusuf Arief Afandy, ST, M.Sc Lahir di di
Bojonegoro, Jawa Timur pada tanggal 24
Februari 1980. Penulis merupakan salah
satu Ahli Muda fungsional Pengelola
Ekosistem Laut dan Pesisir (PELP) di
Direktorat Konservasi dan
Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL),
Ditjen PRL - KKP. Gelar Sarjana Teknik
dengan nilai Sangat Memuaskan
diperolehnya pada Tahun 2004 dengan
fokus tugas akhir Permodelan Pola Arus dan Sedimentasi Akibat
Bangunan Pelindung Pantai di Pantai Kedung-Semat, Jepara.
Gelar Magister Sains diperoleh penulis dari program
pascasarjana pada Program Studi SPL, Institut Pertanian Bogor
(IPB) Bogor pada tahun 2016. Saat ini penulis aktif dalam
penyusunan perencanaan dan pengelolaan ruang laut serta
kajian kebijakan yang berkaitan dengan bidang konservasi
kawasan dan ekosistem pesisir dan laut. Memegang lisensi
sebagai professional underwater photographer dan
underwater videographer dari Scuba Schools International (SSI)
dan Professional Association of Diving Instructor (PADI), penulis
juga aktif di bidang investigasi dan penilaian kondisi kerusakan
ekosistem bawah air. Hingga saat ini telah menghasilkan
beberapa karya tulis ilmiah baik dalam bentuk buku, jurnal,
prosiding dan makalah ilmiah serta beberapa film dokumenter.
Beberapa publikasi yang telah penulis terbitkan adalah Habitat
Suitability and Zoning Analysis for Green Turtle (Chelonia midas)
in the Marine Conservation Area of Pangumbahan Turtle Park,
Sukabumi dan Habitat Characteristics of Green Turtle (Chelonia
mydas) in The Conservation Areas of Pangumbahan Turtle Park,
Sukabumi pada jurnal Biodiversity. Penulis dapat dihubungi
melalui y.arief98@gmail.com

110
Desita Anggraeni, adalah Sarjana Sains
jurusan Sistem Informasi Geografi dan
Pengembangan Wilayah, Program Studi
Pembangunan Wilayah di UGM
Yogyakarta tahun 2013. Lahir di
Trenggalek, 10 Desember 1990 dan mulai
meniti karier sebagai asisten peneliti di
Pusat Studi Perencanaan Pembangunan
Regional di UGM, selanjutnya bekerja di
WWF-Indonesia mulai tahun 2015-2018 tergabung dalam tim
science sebagai Marine GIS Spesialis yang berperan melakukan
analisa spasial terkait pembentukan dan pengelolaan Kawasan
Konservasi Indonesia. 2015-2017 Desita berkantor di Direktorat
Kawasan Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut
sebagai tim pendukung tenaga GIS. Sampai dengan saat ini,
Desita menghasilkan beberapa karya ilmiah, makalah,
prossiding dan tergabung dalam tim penyusunan buku terkait
biota laut, pembentukan kawasan konservasi menggunakan
software marxan, penelitian ekosistem pesisir serta penerapan
pengindraan jauh dalam bidang pesisir dan kelautan. Desita
dapat dihubungi melalui email: deanggraeni10@gmail.com

111
BIODATA
EDITOR

112
BIODATA EDITOR

Dr. Didik Wahju Hendro Tjahjo, dilahirkan di


Kediri, Jawa Timur pada tanggal 29
September 1958, anak kedua dari bapak
Muchammad Sulchan Sujono (alm.) dan
ibu RA. Sri Kamsatun (alm). Menikah
dengan Sri Endah Purnamaningtyas A.Pi.,
S.Pi. dan mendapat karunia dua orang putri
dan satu orang putra, yaitu. Estiningtyas
Retnaning Putri, SE., Mutiara Anita
Prabawaningrum, S.E. dan Imam Teguh Samudra Prakoso, S.T.
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
37/M tahun 2012 tanggal 14 Maret 2012 diangkat sebagai
Peneliti Utama Bidang Pemulihan Stok dan Konservasi Ikan
Tangkap di Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan (BRPSDI)
Jatiluhur, Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya
Manusia Kelautan dan Perikanan.
Pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas penulis tempuh di kota Kediri, Jawa Timur.
Pendidikan Formal Sekolah Dasar lulus tahun 1972, Sekolah
Menengah Pertama lulus tahun 1975 dan Selokah Menegah
Atas lulus tahun 1979. Pendidik Sarjana (S1) ditempuh pada
jurusan Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan-
IPB, lulus pada tahun 1984. Jenjang Strata 2 (S2) ditempuh pada
Bidang Studi Ilmu Perairan, Program Pascasarjana, IPB, lulus
tahun 1993. Jenjang Strata 3 (S3) ditempuh pada Bidang Ilmu
Perairan, Program Pascasarjana IPB, lulus tahun 2004.
Jabatan yang pernah editor jabat adalah menjadi
Pemimpin Bagian Proyek di Sub Balai Penelitian Perikanan Air
Tawar di Jatiluhur periode tahun 1987-1991. Pernah menduduki

113
jabatan struktural sebagai Kepala Sub Seksi Kerjasama pada
Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Sukamandi (1997-2001),
Kepala Loka Riset Pemacuan Stok Ikan Jatiluhur (2003-2009),
Kepala Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan (2009-2010) dan
Kepala Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya
Ikan (2011).
Karier sebagai peneliti sumber daya ikan perairan waduk
dan danau dimulai sejak tahun 1984, pada Sub Balai Penelitian
Perikanan Air Tawar Jatiluhur pada Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan, Balitbang Pertanian, Departemen
Pertanian. Selanjutnya, pada tahun 2000 penulis menjadi
peneliti di Loka Riset Pemacuan Stok Ikan (LRPSI) di Jatiluhur
pada PRPT-BRKP; kemudian nama kantor berubah menjadi
Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan (BRPSI) (2009);
selanjutnya berubah menjadi Balai Penelitian Pemulihan dan
Konservasi Sumber Daya Ikan (BP2KSI) (2011); dan akhirnya
berubah Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan (BRPSDI)
hingga sekarang.
Jenjang fungsional peneliti sebagai Asisten Peneliti
Madya dalam bidang Biologi Perikanan tahun 1988 dan Peneliti
Utama golongan IV/e di Bidang Pemulihan Stok dan Konservasi
Ikan Tangkap tahun 2015. Pada periode tahun 2008-2009
sebagai Ketua Kelompok Peneliti Model dan Simulasi
pemacuan Stok Ikan pada Loka Pemacuan Stok Ikan Jatiluhur.
Pada periode 2009-2016 sebagai Ketua Peneliti Konservasi Jenis
Ikan dan Genetika pada Balai Penelitian Pemulihan dan
Konservasi Sumber Daya Ikan. Pada periode 2017-sekarang
sebagai Ketua Kelompok Peneliti Pemulihan Sumber Daya Ikan
pada Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan. Seratus dua
puluh Sembilan (129) karya tulis dan publikasi ilmiah yang telah
dihasilkan, baik yang ditulis sendiri maupun yang ditulis dengan
penulis lainnya dalam bentuk buku, jurnal, prossiding dan karya
tulis pemasyarakatan ilmu.

114
Ikut serta dalam pembinaan kader ilmiah, sebagai
penguji luar komisi kandidat doktor pada program Pengelolaan
Sumber Daya Perikanan, SPS-IPB. Pada tahun 2008 memberikan
kuliah umum pada Departemen MSP, IPB. Organisasi yang
diikuti, anggota Masyarakat Iktiologi Indonesia. Penghargaan
yang pernah diterima adalah Satyalencana Karya Satya XX
tahun (2007) dan XXX tahun (2016) dari Presiden Republik
Indonesia.

115

Anda mungkin juga menyukai