Anda di halaman 1dari 4

Kisah dari Gang Harun

Anak Betawi yang Jadi Pejabat Tinggi

JAKARTA-Kalau Anda pernah melewati jalan di sekitar Ujung Aspal, Pondok


Gede atau sekitar Jalan Raya Hankam, di dekat sana ada Jalan Haji Harun I, II, dan III.
Dahulu, tanah di kawasan tersebut memang milik Haji Harun dan Siti Rohaya.
Salah satu cucu Engkong Haji Harun dan Nyak Siti Rohaya adalah Siti Nurbaya
Bakar, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Tidak banyak putra/putri Betawi yang punya jabatan tinggi. Salah satunya Siti Nurbaya
tadi. Sang engkong mengajarkan falsafah yang masih dipegangnya saat ini, “Cari Lu
dapet, makan Lu kenyang” falsafah hidup yang sederhana tapi mendalam ini artinya,
setiap orang harus berhati-hati dalam berbicara dan berbuat, karena akibatnya akan ke
diri masing-masing.
Falsafah Betawi dari sang engkong dipadu dengan falsafah Jawa, falsafah China,
dan ajaran kepemimpinan serta kekuasaan dari tokoh-tokoh dunia terkemuka yang
didapat dari serangkaian literatur pilihan, menjadikan Siti Nurbaya kosmopolit dalam hal
berpikir dan memimpin.
Bertemu dan berbincang dengan Siti Nurbaya, tidak terbayang kalau mantan
Sekjen Departemen Dalam Negeri (2001-2004) ini adalah Orang Betawai Asli. Dalam
bahasa pergaulan sehari-hari, orang Betawi disebut betokaw. Siti Nurbaya meruntuhkan
gambaran atau stereotipe orang Betawi yang sering diidentikkan dengan sikap tak mau
kerja keras, senang mengobrol ketimbang membaca, pasrah pada nasib, dan tak mau
sekolah tinggi. Apalagi untuk perempuan, ada stereotipe hanya bersandar pada suami.
Perjalanan Siti Nurbaya--baik dari sisi pendidikan maupun pengalaman kerja--
membalikkan semua stereotipe tersebut. Ia menyelesaikan jenjang pendidikan formal
paling tinggi, doktor di Institut Pertanian Bogor (IPB), dan memegang sederet jabatan
penting yang dilaluinya dari bawah di Kantor Pemerintah Daerah Lampung. Satu hal
yang melekat sebagai orang Betawi; ia sangat terbuka dan ramah.
Pegawai Negeri Sipil (PNS) Teladan tingkat Nasional tahun 2004 ini adalah pekerja keras
yang sampai saat ini masih sangat energik. Sepanjang kariernya sebagai PNS dilalui
dengan berbagai pendidikan dan pelatihan, baik di dalam maupun di luar negeri. Tidak
salah bila lembaga baru DPD melirik Siti Nurbaya untuk menjadi Sekjennya. Tugas
Sekjen DPD yang cukup berat dengan ritme yang tinggi, tentulah pas dengan kualifikasi
yang dimiliki anak Betawi ini.
Sejarah

PONDOK GEDE
Pada tahun 1775 seorang Belanda bernama Hooyman membangun sebuah gedung dengan
selera campur aduk antar gaya Eropa dengan corak Jawa. Dituturkan oleh penulis
Belanda bahwa interiornya dibuat dengan selera tinggi, kusen pintu dan jendela diberi
ukiran indah serta langit-langit dan dindingnya diperelok denga pigura artifisial. Karena
rumah ini besar, sekalipun pemiliknya merendah dengan menyebut Pondok, tetapi
masyarakat setempat memanggil langoed tersebut sebagai Pondok Gede. Keberadaan
Hooyman tidak banyak diceritakan dalam sejarah Pondok Gede.

Seperempat abad kemudian kepemilikan langoed Pondok Gede ini jatuh ke tangan
Lendeert Miero. Dan ini orang yang aneh alias kontroversial.

Toean tanah Lendeert Miero alias Juda Leo Ezekiel adalah orang Yahudi asal Polandia
yang ikut mencari nafkah di Betawi. Ia datang ke Betawi dalam keadan lontang-lantung,
dan bisa bangkit menjadi Tuan Tanah kaya raya. Selain langoed Pondog Gede ia juga
memiliki sebuah rumah mewah yang sampai sekarang (2003) masih bisa disaksiken
kehebatannya. Gedung Arsip Nasional di terletak jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat.

Setelah hidup sukses, kerjanya sehari-hari hanya bersenang-senang dan berpesta.


Maklum kalau menurut pitutur Robert "Rich Dad Poor Dad" uang sudah bekerja
untuknya. Salah satu kesenangan Lendeert adalah mengundang ratusan tamu bukan untuk
merayakan hari ulang tahunnya melainkan hari kepedihannya.

Lho kok kepedihan?

Rupanya di masa mudanya ia pernah menjalani hidup susa(h) ia pernah jadi opas jaga
atau centeng. Suatu hari ia terlanggar apes, kedapatan menggeros (tidur nyenyak) waktu
jam kerja sehingga mendapat hukuman sebanyak 50 kali sabetan rotan dipantatnya.
Cambukan ini dianggap pemicu untuk segera lepas landas dari kemiskinan.

Ia berhasil...

Sekalipun memiliki rumah di Betawi, tetapi ia sering mengunjungi istananya di Pondok


Gede. Orang setempat menyebutnya pondok yang gede sehingga kawasan itu terkenal
dengan nama Pondok Gede. Lendeert meninggal dalam usia 79 tahun dan dimakamkan di
samping rumahnya di Pondok Gede. Tetapi makam itu dibongkar dan dijadikan rumah
hunian penduduk. Bahkan nisannyapun dicongkel untuk umpak-umpak rumah. Kalau
soal merusak kita bisa diunggulkan.

Rumahnya yang gede, pada 1992 dirobohkan untuk dijadikan Toserba.

Banyak pihak yang menyayangkan pembongkaran tersebut, tetapi siapa perduli dengan
sejarah. Jadi kalau ada yang bertanya, kenapa namanya Pondok Gede padahal pondoknya
tidak ada. Itulah jawabannya

Anda mungkin juga menyukai