Kediri - Ratusan warga yang tinggal di lereng Gunung Kelud, menggelar ritual larung sesaji.
Berbeda dengan pelaksanaan saat terdapat danau kawah, saat ini kegiatan itu dilakukan
dengan menyebar puluhan tumpeng di puncak Gajah Mungkur, yang masih satu lokasi
dengan Gunung Kelud.
Acara tersebut dimulai dengan seserahan tumpeng dari juru kunci Mbah Ronggo ke
perangkat desa dan Kecamatan Ngancar. Acara larung sesaji diikuti sekitar 300 warga dari
Desa Sugihwaras, Babadan, dan Sempu. Setelah doa bersama, tumpeng-tumpeng tersebut
kemudian diletakkan di sekitar puncak Gajah Mungkur.
Ketua panitia acara, Suprapto mengatakan, warga berharap kepada Tuhan agar dihindarkan
dari kemungkinan terburuk saat Gunung Kelud meletus. Acara tersebut juga sebagai bentuk
pelestarian tradisi leluhur yang digelar sejak puluhan tahun silam.
"Tugas kita sebagai manusia kan berdoa. Terlepas kami selalu tahu kapan harus mengungsi
saat kondisi bahaya, kami tetap berharap mendapatkan keselamatan saat Gunung Kelud
meletus," kata Suprapto kepadadetiksurabaya.com, saat ditemui di sela-sela acara ritual,
Minggu (19/12/2010).
Suprapto mengungkapkan ritual ini juga sebagai rasa syukur atas limpahan nikmat yang
dirasakan warga dengan suburnya lahan pertanian. Dipilihnya puncak Gajah Mungkur
sebagai lokasi larung sesaji, menurutnya tak lepas dari telah hilangnya danau kawah seiring
munculnya kubah lava yang kini bernama Gunung Tunggul Argo.
"Dulu di kawah kami bisa melarung intan juga. Sekarang sebagai gantinya cukup dengan
tumpeng dan kembang tujuh rupa yang kami letakkan disana. Semoga tidak ada apa-apa
dengan adanya pergantian bentuk ini," ungkap Suprato.
Selain ritual warga lereng Gunung Kelud, di lokasi yang sama, umat Hindu yang tergabung
dalam Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kediri melangsungkan upacara Giri Kerti.
Kegiatan yang dilaksanakan di sekitar kubah lava ini dimaksudkan sebagai bentuk syukur
kepada alam atas segala limpahan nikmat yang dirasakan masyarakat.
"Ini agenda yang rutin kami jalankan setiap tahun, dengan lokasi yang selalu sama. Semoga
Tuhan tetap akan melimpahkan nikmatnya kepada kami," tutur Ketua PHDI Kediri, Ni Ketut
Susilawati.
(wln/wln)
"Bangun jam dua (pukul 02.00, Red), masalahnya jam tiga (pukul
03.00, Red) harus berangkat ke sini (Gunung Kelud, Red)," terang
Ringgit.
Hal sama juga dilakukan oleh Patrick. Siswi SMAN 1 Kediri ini juga
memilih langsung didandani. Tentu saja, setelah cuci muka. "Dingin
mbak," ujarnya.
"Datang tiga sore, terus gladi resik," jelas Anik Fitria. Siswa kelas X
SMAN 1 Plosoklaten dan teman-temannya menjadi pengiring putri
kerajaan dan berada di barisan sembilan.
Tetapi, ada alasan lainnya mengapa Anik dan peserta lain tidak
mandi. Ternyata air yang ada di kamar mandi tidak lagi mengalir.
Kalaupun ada, jumlahnya sangat terbatas. Hanya satu ember.
Tidak hanya air yang terbatas, tidak ada ruang ganti baju membuat
para pengisi acara juga ekstra berpikir keras saat harus berganti
baju. Akhirnya, mereka harus rela berganti pakaian di balik
lembaran kain. Bergantian dengan teman-temannya.
Legenda Gunung Kelud
eberadaan gunung itu ada legenda tersendiri yang menceritakan asal muasal terjadinya gunung itu.
Konon gunung itu bukan berasal proses alami, melainkan akibat dari sebuah pengkhianatan
cinta.Hmmm . . .
Adalah Dewi Kilisuci, anak putri Jenggolo Manik yang konon memiliki kecantikan luar biasa. Tidak
sedikit kesatria bertekuk hatinya untuk menjadikan Kilisuci sebagai istrinya.
Ternyata kecantikan itu menyentuh hati dua orang raja meski dilihat dari fisiknya bukanlah raja
manusia biasa. Kedua raja itu berkepala lembu masing-masing bernama Raja Lembu Sura dan
Mahesa Sura.
Mereka dimabuk kepayang karena begitu cintanya terhadap Dewi Kilisuci dan akhirnya menyatakn
keinginannya untuk menyuntingnya untuk dijadikan istrinya.
Susah Menolak
Bagi putri Jenggolo Manik itu tentu susah untuk menolaknya, namun untuk menyatakan secara
langsung ketidaksukaannya, dia tidak punya cara. Akhirnya muncul ide sebagai upaya untuk menolak
cinta keduanya.
Dibuatlah sayembara yang kalau dipikir tidak masuk akal, karena permintaan sang dewi itu tidak
mungkin dikerjakan oleh manusia biasa.
Yakni, membuat dua sumur di atas puncak Gunung Kelud, yang satu harus berbau amis dan satu lagi
wangi. Kedua sumur itu harus diselesaikan hanya dalam waktu satu malam, selesai sebelum ayam
berkokok.
Namun karena Lembu Sura dan Mahesa Sura sangat sakti, permintaan Dewi Kilisuci itu bisa
diselesaikan dengan baik dan cepat.
Belum puas atas hasil itu, Dewi Kilisuci kembali membuat sayembara. Kedua raja itu harus
membuktikan dahulu bahwa kedua sumur tersebut benar-benar berbau wangi dan amis dengan cara
mereka berdua harus masuk ke dalam sumur.
Karena keduanya dimabuk kepayang, tanpa memperdulikan risikonya maka permintaan itu pun
dilaksanakan juga meski sumur yang dibuat itu sangat dalam.
Tidak disangka, di saat keduanya sudah berada di dalam sumurnya masing-masing, Dewi Kilisuci
memerintahkan pada perajurit-perajurit Jenggala untuk menimbun keduanya dengan batu agar
keduanya mati. (Wiharjono-77)
Legenda Gunung Kelud (2)
Menolak Sial dengan Larung Sesaji
NAMUN sebelum Lembu Sura meninggal, dia melontarkan sumpahnya yang isinya merupakan
luapan sakit hati dan balas dendam yang ditujukan pada masyarakat Kediri. “Yoh, wong Kediri
mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping yaiku Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar,
Tulungagung bakal dadi Kedung”.
(Wahai orang-orang Kediri, suatu saat akan mendapatkan balasanku yang sangat besar. Kediri bakal
jadi sungai, Blitar akan jadi daratan dan Tulungagung menjadi daerah perairan dalam).
Akhirnya untuk menangkal sumpah itu hingga kini masyarakat Kediri secara rutin menyelenggarakan
selamatan berupa “larung sesaji” sebagai upaya menolak sial agar warga Kediri selalu selamat.
Hingga kini acara selamatan Larung Sesaji masih terus berjalan yang digelar setahun sekali setiap
tanggal 23 bulan Sura, yang diselenggarakn oleh masyarakat Desa Sugih Waras.
Termasuk adanya terowongan Ampera sepanjang hampir 1 kilometer yang dibangun untuk
mengurangi volume air kawah agar tidak meluap. Terowongan yang menembus Puncak Gajah
Mungkur itu ada yang menyebut dibangun pada tahun 1940 oleh Jepang, tapi ada yang mengatakan
baru pada tahun 1951, dengan fungsinya sebagai jalan pembuangan lahar.
Lorong ini menjadi semakin menarik karena di saat acara ritual itu berlangsung di sepanjang
terowongan dipasang lilin dan petromaks.
Bangun Tangga
Untuk menunjang objek wisata itu, Pemerintah Kabupaten Kediri melalui Dinas Permukiman dan
Prasarana Wilayah membangun tangga yang menghubungkan terowongan bagi pejalan kaki hingga
bibir kawah yang panjangnya diperkirakan mencapai 500 meter.
Keberadaan air hangat itu untuk melengkapi keindahan kawah yang bentuknya mirip danau dengan
kedalaman air antara 20 sampai 40 meter.
Bahkan sudah dibangun jalan hot mix dari Ngancar hingga perkebunan daerah Margomulyo yang
sudah selesai akhir tahun 2002 lalu.
Yang menarik perjalanan menuju kawah Gunung Kelud, setelah beberapa saat melewati hutan yang
lembab akhirnya lepas ke alam terbuka.
Sejauh mata memandang terlihat hamparan hijau dari perkebunan, mendekati kawah, setelah melapor
ke petugas kendaraan akan melewati terowongan yang cukup untuk satu mobil saja yang tidak
mungkin bisa untuk berpapasan. Tidak perlu khawatir dengan kegelapan karena sepanjang
terowongan tersebut sudah dipasang lampu di dindingnya.
Gunung Kelud hingga kini telah mengalami 28 kali letusan, mulai tahun 1000 sampai 1990. Gunung
ini secara kontinu dalam pengawasan Direktorat Vulkanologi dan Metigasi Bencana Geologi Bandung
yang bermarkas di Desa Sugih Waras. (Wiharjono-77)
Sumber : http://gunungkelud.multiply.com/journal/item/1/Legenda_Gunung_Kelud_