Anda di halaman 1dari 28

Yang terhormat

Ketua dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah Mada,


Ketua dan Anggota Majelis Guru Besar, Universitas Gadjah Mada,
Rektor dan para Wakil Rektor, Universitas Gadjah Mada,
Ketua dan Anggota Senat Akademik, Universitas Gadjah Mada,
Segenap Sivitas Akademika Universitas Gadjah Mada,
Para tamu undangan dan hadirin yang saya hormati,

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Alhamdulillahirabilalamin, puji syukur kehadirat Allah SWT


yang selalu memberikan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua,
sehingga dapat hadir pada acara hari ini dalam keadaan sehat
wal’afiat.
Pada hari yang berbahagia ini, perkenankanlah saya
menyampaikan Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar di Bidang
Teknik Sipil pada Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, dengan
judul :

Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu dalam Upaya


Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium 2015
Hadirin yang terhormat,
Air adalah salah satu sumberdaya yang mendukung
keberlangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya, yang
merupakan elemen utama kehidupan yang berkelanjutan, seperti yang
tertulis dalam Q.S. Al Anbiyaa (21:30), “Dan dari air Kami jadikan
segala sesuatu yang hidup”. Air merupakan kebutuhan pokok kita
sehari-hari, kita mampu bertahan hidup tanpa makan dalam beberapa
minggu, namun tanpa air kita akan mati dalam beberapa hari saja.
Banyak orang berpikir bahwa air adalah sumberdaya yang tidak
terbatas, walaupun sebenarnya hanya satu persen dari semua air yang
tersedia di bumi ini berupa air segar yang dapat dimanfaatkan oleh
manusia. Dengan siklus hidrologisnya, air dianggap sebagai
sumberdaya yang dapat terbaharukan. Namun dengan semakin ber-
kembangnya jumlah penduduk, meningkatnya perkembangan ekono-
2

mi, semakin intensifnya penggunaan air dan pencemaran air selama


beberapa dekade terakhir ini serta perubahan iklim global, telah terjadi
ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air.
Ketidakseimbangan ini telah memicu terjadinya krisis air di hampir
pelosok dunia. Diperkirakan pada tahun 2025, hampir 3,5 miliar
manusia, akan mengalami kekurangan air dan 2,5 miliar manusia akan
hidup tanpa sanitasi yang layak. Semua orang berharap bahwa
seharusnya air diperlakukan sebagai bahan yang sangat bernilai,
dimanfaatkan secara bijak, dan dijaga terhadap cemaran. Namun
kenyataannya air selalu dihamburkan, dicemari, dan disia-siakan.
Hampir separo penduduk dunia, hampir seluruhnya di negara-negara
berkembang, menderita berbagai penyakit yang diakibatkan oleh
kekurangan air, atau oleh air yang tercemar. Menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), 2 miliar orang kini menyandang risiko
menderita penyakit diare yang disebabkan oleh air dan makanan.
Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian lebih dari 5 juta
anak-anak setiap tahun.
Dalam Country Report for the 3rd World Water Forum Kyoto
– Japan, March 2003, dinyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya air
di Indonesia menghadapi problema yang sangat kompleks, mengingat
air mempunyai beberapa fungsi baik fungsi sosial-budaya, ekonomi
dan lingkungan yang masing dapat saling bertentangan. Dengan
semakin meningkatnya jumlah penduduk dan intensitas kegiatan
ekonomi, telah terjadi perubahan sumberdaya alam yang sangat cepat.
Pembukaan lahan guna keperluan perluasan daerah pertanian,
pemukiman dan industri, yang tidak terkoordinasi dengan baik dalam
suatu kerangka pengembangan tata ruang, telah mengakibatkan
terjadinya degradasi lahan, erosi, tanah longsor, banjir. Di Pulau
Jawa, yang hanya mempunyai 4,5% potensi air tawar nasional, harus
menopang kebutuhan 60% jumlah penduduk Indonesia, hampir 70%
daerah irigasi Indonesia, dan harus melayani 70% kebutuhan air
industri nasional. Hal itu telah mengakibatkan terjadinya peningkatan
konflik antara para pengguna air baik untuk kepentingan rumah
tangga, pertanian dan industri, termasuk penggunaan air permukaan
dan air bawah tanah di perkotaan. Saat ini sektor pertanian
menggunakan hampir 80% kebutuhan air total, sedangkan kebutuhan
3

untuk industri dan rumah tangga hanya 20%. Pada tahun 2020,
diperkirakan akan terjadi kenaikan kebutuhan air untuk rumah tangga
dan industri sebesar 25% - 30%. Selain itu, beberapa daerah aliran
sungai di Pulau Jawa telah mengalami degradasi yang sangat
memprihatinkan, erosi yang berlebihan telah mengakibatkan
terjadinya sedimentasi di beberapa waduk yang telah dibangun di
sungai Citarum, Brantas, Serayu-Bogowonto dan Bengawan Solo.
Sedimentasi tersebut akan mengurangi usia tampung waduk, usia
tampung beberapa waduk tersebut diperkirakan hanya akan mampu
memenuhi kebutuhan air baku hingga tahun 2010 saja. Disisi lain
penambangan pasir yang intensif telah mengakibatkan penurunan
dasar sungai di beberapa tempat yang membahayakan konstruksi
beberapa jembatan dan bangunan pengambilan air untuk irigasi.
Pengambilan air tanah yang berlebihan di beberapa akuifer di kota-
kota besar di Pulau Jawa (Jakarta, Semarang, Surabaya) telah
mengakibatkan terjadi intrusi air laut dan penurunan elevasi muka
tanah. Ketidaktersediaan sistem sanitasi dan pengolah limbah industri
yang baik, juga telah mengakibatkan terjadinya pencemaran air tanah
dan sungai oleh buangan air rumah tangga dan industri, terutama di
musim kemarau. Di saat lain, dimusim hujan, banjir terjadi di mana-
mana, akibat karena semakin kecilnya daerah resapan, turunnya
kapasitas sungai dan rusaknya sistem drainasi internal.
Pengelolaan sumberdaya air yang kompleks ini menjadi
tantangan utama dalam upaya pencapaian tujuan Pembangunan
Milenium yang dicanangkan di tahun 2000, terutama dalam
pencapaian tujuan pertama, memberantas kemiskinan dan kelaparan,
serta tujuan ke tujuh target sepuluh, mengurangi sampai setengah
jumlah penduduk yang tidak memiliki akses kepada air bersih yang
layak minum.

Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals)

Para hadirin yang saya muliakan,

Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan


Bangsa-bangsa (PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara
4

anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan


sepakat untuk mengadopsi Deklarasi Milenium. Deklarasi itu
berdasarkan pendekatan yang inklusif, dan berpijak pada perhatian
bagi pemenuhan hak-hak dasar manusia. Dalam konteks inilah negara-
negara anggota PBB kemudian mengadopsi Tujuan Pembangunan
Milenium atau Millennium Development Goals 2015(MDGs). Setiap
tujuan (goal) memiliki satu atau beberapa target. Target yang tercakup
dalam MDG sangat beragam, mulai dari mengurangi kemiskinan dan
kelaparan, menuntaskan tingkat pendidikan dasar, mempromosikan
kesamaan gender, mengurangi kematian anak dan ibu, mengatasi
HIV/AIDS dan berbagai penyakit lainnya, serta memastikan
kelestarian lingkungan hidup dan membentuk kemitraan dalam
pelaksanaan pembangunan. Bagi pengelola sumberdaya air, maka
tujuan pertama : mengurangi kemiskinan dan kelaparan, serta tujuan
ketujuh target kesepuluh: mengurangi sampai setengah jumlah
penduduk yang tidak memiliki akses kepada air bersih yang layak
minum merupakan tantangan terbesar yang harus dicapai.
Upaya memberantas kemiskinan tidak terlepas pada upaya
penyediaan pangan yang cukup dan terjangkau bagi masyarakat.
Pertanian sebagai usaha penyediaan pangan, saat ini dipandang
sebagai pemakai air terbesar, hampir 70% dari jumlah air dunia
dipakai untuk keperluan pertanian. Delapan puluh persen diantara
lahan pertanian di negara berkembang, yang menghasilkan 60%
jumlah pangan, masih tergantung pada air hujan. Hanya 20% daerah
pertanian yang mempunyai jaringan irigasi, namun dapat
memproduksi 40% pangan dan hampir 60% produksi biji-bijian.
Dengan adanya peningkatan jumlah penduduk sebesar 2 miliar pada
tahun 2030 (FAO, 2003), untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan
dunia, maka diperlukan peningkatan jumlah daerah irigasi sebesar 40
juta hektar (20%), yang tentunya akan semakin meningkatkan
kebutuhan air irigasi. Pada saatnya, pemakaian air untuk kepentingan
pertanian akan berkompetisi dengan pemakaian untuk keperluan
rumah tangga dan industri. Oleh karena itu diperlukan peningkatan
efisiensi pemakaian air untuk irigasi. Dari sebuah hitungan dinyatakan
bahwa peningkatan produktivitas air sebesar 1% dalam memproduksi
pangan akan dapat memberikan kelebihan air sebesar 24 liter per hari
5

per orang. Peningkatan nilai manfaat air bagi pertanian, baik pada
lahan irigasi maupun lahan tadah hujan, diartikan sebagai peningkatan
jumlah atau nilai produksi pertanian untuk setiap unit air yang
diberikan. Upaya yang penting lainnya adalah upaya mengurangi
kehilangan air baik yang berupa perkolasi, drainasi, resapan.
Pemberian air diusahakan hanya untuk pemenuhan evapotranspirasi
tanaman saja. Di aras lahan petani, upaya peningkatan produktivitas
air, mengharapkan perubahan pola pengelolaan air, tanah dan
tanaman. Salah satu cara budidaya padi hemat air adalah SRI (System
of Rice Intensification) yaitu teknik budidaya padi yang mampu
meningkatkan produktifitas padi dengan cara mengubah pengelolaan
tanaman, tanah, air dan unsur hara. Metode ini pertama kali ditemukan
di Madagaskar antara tahun 1983-1984 oleh biarawan Yesuit asal
Perancis bernama FR. Henri de Laulani, S.J. Uji coba pola SRI
pertama di Indonesia dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Pertanian di Sukamandi, Jawa Barat pada musim
kemarau 1999 dengan hasil 6,2 ton/ha dan musim hujan 1999/2000
dengan hasil rata-rata 8,2 ton/ha. Di Tamil Nadu, India, metoda ini
dapat menghemat air irigasi sebesar 58 % (WWF, 2006)
Dibidang penyediaan air bersih dan sanitasi, WHO pada tahun
2003 melaporkan bahwa dari 6 miliar penduduk dunia, masih ada 1,1
miliar orang yang tidak mempunyai akses terhadap air bersih, dimana
63% - nya berada di Asia. Sedangkan survey WHO yang dilakukan di
Indonesia pada tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 217 juta
penduduk Indonesia, dengan komposisi populasi 44% berada di
perkotaan dan sisanya di pedesaan, sebanyak 78% penduduk memiliki
akses terhadap air (improved water). Namun yang mendapat
pelayanan dari PDAM hanya 17% rumah tangga (ADB, 2006).
Menurut Human Development Report UNDP 2006, ketidak
merataan ketersediaan air merupakan masalah utama dalam
penyediaan dan distribusi air. Wilayah America Latin memiliki 31%
ketersediaan air dunia, sehingga penduduknya mendapatkan air 12
kali lebih banyak dari mereka yang berada di Asia Selatan. Beberapa
negara, seperti Brazil dan Kanada, memiliki ketersediaan air jauh
lebih banyak dari yang dibutuhkan, sedangkan negara-negara lain
seperti di Timur Tengah, ketersediaannya jauh lebih kecil dari yang
6

dibutuhkan penduduknya. Negara kekurangan air seperti Yaman


(hanya 198 m3 perorang), tidak bisa mendapatkan kelebihan air
Kanada (90.000 m3 perorang). Juga wilayah Cina dan India yang
kekurangan air, tidak dapat ditolong oleh wilayah Iceland yang
ketersediaan airnya 300 kali lebih banyak dari kebutuhan minimum
perorangnya. Indonesia sebetulnya memiliki tingkat ketersediaan air
yang cukup berlimpah yaitu rata-rata sebesar 15.500 m3 perorang
pertahunnya, sembilan kali dari minimal kebutuhan 1.700 m3
perorang. Akan tetapi masalahnya sama, ada ketidakseimbangan
antara ketersediaan dan distribusi, dan ketersediaannya sangat
tergantung pada musim. Masalah terbesar saat ini adalah di mana
pulau-pulau yang paling padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan
Nusa Tenggara Timur, memiliki ketersediaan air yang jauh lebih kecil
dari permintaan akan air bersih. Air yang tidak cukup itupun sebagian
besar sudah sangat tercemar. Pulau Jawa hanya mempunyai 4,5%
potensi air tawar nasional, tetapi harus menopang 65% jumlah
penduduk Indonesia. Akibatnya Jawa mengalami krisis air, terutama
di musim kemarau. Padahal, permintaan akan air bersih, tiap tahunnya
semakin meningkat. Menurut proyeksi pemerintah, pertambahan
permintaan air bersih di Indonesia dari tahun 1990 sampai 2020
mencapai 220%
Sehubungan dengan krisis air, Kemal Dervis, Administrator
UNDP, pada Peringatan Hari Air Sedunia 22 Maret 2007 menyatakan
bahwa sesungguhnya, tantangan mendasar krisis air adalah
kesenjangan akibat ketidaksetaraan. Walaupun secara harafiah
dunia tidak kehabisan air, kelangkaan air merupakan ancaman nyata
dalam pembangunan manusia di berbagai tempat dan sebagian besar
penduduk dunia. Sekitar 700 juta penduduk di 43 negara hidup di
bawah ambang batas kebutuhan air minimum yaitu 1,700 m3 per
orang per tahun. Dalam 20 tahun, 3 miliar penduduk dunia akan hidup
di bawah ambang batas tersebut. Meningkatnya kebutuhan air akibat
perluasan kota, industri, pertanian, serta tuntutan akan energi semakin
menyulitkan kondisi masyarakat miskin yang sudah rentan terhadap
ketersediaan makanan dan mata pencarian. Laporan Pembangunan
Manusia 2006 menyerukan pengakuan terhadap kebutuhan air bersih
dengan harga yang terjangkau sebagai hak asasi manusia, demikian
7

pula dengan Rencana Aksi Global untuk menanggapi krisis air.


Ironisnya, kita hidup dalam dunia dimana semakin kecil pendapatan
seseorang, semakin besar biaya yang harus dikeluarkan orang tersebut
untuk memenuhi kebutuhannya akan air. Rumah tangga yang
termiskin di Negara berkembang menghabiskan hampir 10% dari
pendapatan mereka untuk memenuhi kebutuhan akan air, sementara di
negara maju, jika pendapatan yang dikeluarkan untuk memenuhi
kebutuhan akan air melebihi 3%, keadaan tersebut akan dipandang
sebagai kesulitan ekonomi. Yang menarik dari pernyataan Kemal
Darvis adalah bahwa “jalan keluar tidak semata terbatas pada
hidrologi dan urusan teknis; peranan yang lebih besar tergantung
pada kekuasaan, politik, dan tata pemerintahan di setiap jajaran,
secara kolektif, kita memiliki perangkat untuk menghadapi krisis air
global; yang kita butuhkan sekarang adalah komitmen, niatan politik
kolektif serta kebijakan yang memadai untuk menghadapi berbagai
tantangan tersebut”. Pernyataan tersebut membuat rasa ingin tahu saya
untuk merenungkan lebih dalam pengaruh sosial dan politis dalam
penentuan kebijakan pengelolaan sumberdaya air, di luar pendekatan
teknis hidrologis dan hidraulis yang sudah biasa saya lakukan selama
ini.

Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu

Para hadirin yang saya hormati,

Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu (Integrated Water


Resources Management, IWRM) merupakan suatu proses koordinasi
dalam pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air dan lahan serta
sumberdaya lainnya dalam suatu wilayah sungai, untuk mendapatkan
manfaat ekonomi dan kesejahteraan sosial yang seimbang tanpa
meninggalkan keberlanjutan ekosistem. Pengelolaan sumberdaya air
terpadu memfokuskan pada pengelolaan terpadu antara kepentingan
bagian hulu dan kepentingan bagian hilir sungai, pengelolaan terpadu
antara kuantitas dan kualitas air, antara air tanah dan air permukaan,
serta antara sumberdaya lahan dan sumberdaya air. Konsep IWRM ini
8

diharapkan dapat mengatasi masalah kelangkaan air, banjir, polusi


hingga distribusi air yang berkeadilan.
Perjalanan konsep IWRM ini sudah sangat panjang, di
Indonesia juga dikenal slogan, One River-One Plan-One
Management. Namun hingga saat ini koordinasi antar sektor yang
menguasai empat hal yang perlu diterpadukan tersebut di atas, belum
dapat berjalan dengan baik. Penebangan hutan terus berlanjut hingga
mengakibatkan bencana banjir serta sedimentasi waduk dan muara
sungai, pengambilan air tanah (blue water) yang lebih sulit
diperbaharui terus berlangsung tanpa memperhatikan kemungkinan
penurunan muka tanah dan intrusi air asin, penggalian pasir tidak
terkendali, sehingga mengakibatkan terjadinya degradasi dasar sungai
yang membahayakan beberapa infrastruktur lainnya.
Upaya untuk koordinasi pengelolaan sumberdaya air pernah
dilakukan oleh pemerintah pada kesempatan memperingati Hari Air
Sedunia XII tahun 2004 pada tanggal 23 April 2004. Pada saat itu
dicanangkan komitmen pemerintah dalam pengelolaan Sumber Daya
Air dengan penandatanganan Deklarasi Nasional Pengelolaan Air
yang Efektif dalam Penanggulangan Bencana oleh 11 Menteri
dalam koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat yang terdiri dari Menko Kesra, Menteri Dalam Negeri,
Menteri Pertanian, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Kesehatan,
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Pekerjaan Umum,
Menteri Kehutanan, Menteri Sosial, Menteri Negara Riset dan
Teknologi, serta Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas dan Menteri
Negara Lingkungan Hidup.
Lagi-lagi, mengingat kondisi Sumberdaya Air di Indonesia
sudah mencapai tingkat krisis yang langsung mempengaruhi:
kemiskinan, kekurangan pangan; menghambat pertumbuhan ekonomi
sosial budaya bangsa dan terganggunya ekosistem, maka Presiden
Susilo Bambang Yudoyono di Jakarta pada tanggal 28 April 2005
mencanangkan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelematan Air (GN-
KPA) guna peningkatan keterpaduan implementasi kebijakan
pengelolaan untuk keberlanjutan fungsi sumberdaya air. GN-KPA
pada intinya memuat 6 komponen strategis, yakni (1) Penataan Ruang,
pembangunan fisik, pertanahan dan kependudukan; (2) Rehabilitasi
9

hutan dan lahan serta Koservasi sumber daya air; (3) Pengendalian
daya rusak air; (4) Pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran
air; (5) Penghematan penggunaan dan pengelolaan permintaan air; dan
(6) Pendayagunaan sumber daya air secara adil, efisien dan
berkelanjutan. Dengan telah dicanangkannya GN-KPA, diharapkan
urusan air adalah urusan semua pemegang kepentingan baik
masyarakat, pengguna air lainnya dan pemerintah.
Pada bulan Maret 2006, Bank Pembangunan Asia (ADB)
mengenalkan Water Financing Program 2006 – 2010, untuk
membantu memperkenalkan program IWRM di 25 wilayah sungai di
Asia – Pasifik, termasuk 5 wilayah sungai di Indonesia, diantaranya
Wilayah Sungai Citarum, Ciliwung-Cisadane, Ciujung, Progo-Opak-
Oya. ADB mempunyai 25 elemen sebagai indikator kondisi IWRM di
sebuah Wilayah sungai, antara lain keberadaan: Organisasi Pengelola
Wilayah Sungai (RBO), partisipasi para pemegang kepentingan,
perencanaan wilayah sungai, kesadaran publik, alokasi air, hak atas
air, ijin pembuangan limbah, pembiayaan IWRM, nilai/harga air,
peraturan pengelolaan air, infrastruktur yang mempunyai multi-
manfaat, partisipasi sektor swasta lewat CSR (corporate social
responsibility), pendidikan tentang pengelolaan wilayah sungai,
pengelolaan daerah tangkapan air, kebijakan tentang aliran penyangga
kualitas lingkungan, manajemen bencana, peramalan banjir,
rehabilitasi kerusakan akibat banjir, monitoring kualitas air, upaya
perbaikan kualitas air, konservasi lahan basah (rawa), perlindungan
dan peningkatan ikan di sungai, pengelolaan air tanah, konservasi air
dan sistem informasi guna mendukung penentuan kebijakan.
Seperti yang disampaikan oleh Kemal Dervis, Administrator
UNDP, bahwa sesungguhnya, tantangan mendasar krisis air adalah
kesenjangan akibat ketidaksetaraan. Oleh karena itu indikator
kesuksesan IWRM tentang alokasi air, hak atas air dan nilai/harga air
menjadi sangat menarik untuk saya bahas pada kesempatan ini.
Kebijakan alokasi air yang dapat mengatasi kesenjangan akibat
ketidaksetaraan sangat diharapkan oleh petani yang membutuhkan air
dengan “nilai ekonomis” yang rendah. Kebutuhan air untuk irigasi
persawahan paling dominan dan mempunyai nilai ekonomis yang
rendah. Kebutuhan air untuk menjaga kualitas lingkungan hampir
10

tidak mempunyai nilai ekonomis, sehingga saat ini orang hampir tidak
peduli dengan kualitas air di sungai atupun sumber air lainnya.
Kebutuhan air untuk industri tidak banyak namun mempunyai nilai
ekomis yang lebih menarik.
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan air dan terjadinya
kelangkaan ketersediaan air, orang mulai terpancing untuk berpikir
dan memandang air sebagai barang ekonomi (economic goods).
Seperti yang tercantum dalam Dublin Priciples (1992) Water has an
economic value in all its competing uses and should be recognized
as an economic good. Kelangkaan air dianggap sebagai peluang
ekonomi. Buat mereka, kelangkaan air harus diatasi dengan efisiensi
pemakaian, yang ditindaklanjuti dengan pembatasan pemakaian air
dengan cara menaikkan nilai ekonomi air sehingga orang akan berhati-
hati memakai air karena mahal. Saat sebagian orang tertarik untuk
menjual air langsung sebagai barang komoditi, beberapa pemakai air
lainnya mulai terganggu, karena bagi budidaya pertanian, ketersediaan
air akan dapat menunjang peningkatan produksi pangan, peningkatan
pendapatan petani, lapangan pekerjaan dan ketahanan pangan.
Kebutuhan air bagi keperluan pertanian di beberapa Negara Asia
hampir mencapai 90% dari tingkat ketersediaan air demikian juga di
Indonesia. Hal ini karena sebagian besar masyarakatnya hidup dari
pertanian dan ketahanan pangan menjadi komponen utama bagi
ketahanan bangsa. Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) tahun 2002 (Subandriyo, 2004), konsumsi beras total
masyarakat Indonesia sebesar 123,52 kg/kapita/tahun. Dengan luas
daerah pertanian sawah sebesar 9,8 juta hektar, usaha tani padi
melibatkan 23,7 juta rumah tangga tani, yang sebagian besar petani
kecil dan buruh tani yang rentan terhadap fluktuasi harga. Menurut
hitungan Chapagain dan Hoekstra, 2004, kebutuhan air irigasi untuk
memproduksi 1 kg beras adalah sebesar 2.800 – 3.200 liter, dan
besaran itu akan semakin meningkat apabila tingkat efisiensi
irigasinya semakin kecil.
Dengan adanya persaingan antara pengguna air, maka
pertimbangan ekonomis sering menjadi pertimbangan pada kebijakan
alokasi air. Saat ini air mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi
saat dijual langsung sebagai barang komoditi. Menurut Perpamsi,
11

2004, rata-rata harga jual air tertinggi mencapai Rp. 2.938/m3 dan
terendah sebesar Rp 750/m3. Dan kalau dijual sebagai air kemasan, 1
liter air kemasan dapat dijual Rp. 500,-. Kalau dilihat dari nilai
ekonominya, maka seseorang yang senang mendapatkan keuntungan
langsung, akan mengatakan bahwa petani telah membuang-buang air
terlalu boros, karena apabila diperbandingkan dengan air PDAM,
Untuk memproduksi 1 kg beras dibutuhkan 2.800 liter air atau setara
dengan Rp 2.100,- kalau harga air PDAM Rp. 750/m3. Apabila harga
air tersebut dibandingkan dengan harga berasnya yang hanya Rp
2.790/kg, maka pemakaian air untuk persawahan (padi) dapat
dikatakan merugi, karena petani masih harus membayar biaya
produksi sebesar 30% dari harga beras tersebut. Apalagi kalau
dikonversikan pada harga air kemasan, harga air untuk memproduksi
1 kg beras setara dengan Rp. 1.400.000,-. Melihat perbandingan nilai
ekonomi tersebut di atas, pemakaian air irigasi akan selalu
mendapatkan tekanan sebagai pemakai air yang sangat boros, tidak
efisien, dan lain-lain. Bahkan beberapa kebijaksanaan pemerintah dan
lembaga donor selalu mendasarkan pada kenyataan bahwa biaya
Operasi dan Pemeliharaan sistem irigasi terlalu mahal dibanding
pendapatan yang diperoleh dari sektor pertanian.
Ancaman terhadap alokasi air akibat ketidaksetaraan ini ini
telah terjadi. Kurnia, Avianto dan Bruns (2000) menunjukkan adanya
beberapa industri tekstil di Jawa Barat yang mendapatkan air dari
saluran irigasi dan air tanah, dengan cara membeli atau menyewa
tanah petani atau mengambil alokasi pergiliran pemberian air irigasi
bagi tanah yang dibeli/disewa tersebut, dan kadang-kadang masih
menambah beberapa pipa pengambilan bahkan dengan pemompaan.
Untuk menambah jumlah air yang dapat diambil, beberapa industri
tersebut juga melakukan pendekatan kepada petani bagian hulu agar
dapat merelakan sebagian airnya dengan imbalan misal dengan
pembangunan saluran drainasi. Yang paling dirugikan pada keadaan
ini adalah petani dibagian hilir yang akan kekurangan air. Proses
realokasi air irigasi untuk kepentingan lain, akan memberikan
pengaruh negatif pada ekonomi di pedesaan, berkurangnya air irigasi,
akan mengurangi luas tanam dan akan mengakibatkan hilangnya mata
12

pencaharian, penurunan produksi pangan dan gangguan sosial lainnya.


(Rosegrant and Ringler, 1998)
Sebetulnya perubahan alokasi seperti di atas tidak
diperbolehkan, berkenaan dengan Undang-Undang No 7/2004, pasal
29 ayat (3) prioritas pemberian air irigasi lebih tinggi dari pada
pemberian air untuk kepentingan industri, namun dengan pendekatan
bahwa alokasi air itu melekat pada lahan pertanian, maka seseorang
yang menyewa atau membeli tanah pertanian tersebut dapat
mengambil air irigasi yang menjadi hak yang melekat atas lahan itu.
Dan hal ini dimungkinkan karena pada ayat (4) dinyatakan bahwa
pemerintah dapat menetapkan urutan prioritas yang berbeda, dan
untuk itu pada ayat (5) pemerintah mengatur kompensasi kepada yang
dirugikan. Cara ini telah menguntungkan sebagian kecil petani yang
mendapat imbal jual air, tetapi telah merugikan sebagian besar petani
lainnya, karena akan mengakibatkan terjadinya penurunan produksi
dan ketidakpastian pemberian air. Akibatnya, beberapa petani dipaksa
untuk menjual lahan pertaniannya, walaupun sebetulnya mereka
mempunyai hak untuk mempertahankannya, namun mereka tidak
mampu berhadapan dengan kekuatan ekonomi dan politik pemilik
industri. Apabila penyalahgunaan alokasi air ini tidak ditindak maka
upaya pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan milennium
dapat terancam, terutama menyangkut target kedua yaitu mengurangi
sampai setengah jumlah penduduk yang kelaparan.

Penyediaan air minum

Para hadirin yang terhormat,

Alokasi air untuk kebutuhan pokok sehari-hari ternyata masih


diragukan, Undang-undang no 7/2004 masih belum dapat meyakinkan
publik pada tujuan pembuatan undang-undang itu sendiri. Dalam
Undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa Negara akan menjamin
hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhan
pokok sehari-hari, seperti yang disampaikan dalam penjelasannya :
Sumberdaya Air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh
13

rakyat Indonesia dalam segala bidang. Sejalan dengan Pasal 33 ayat


(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
undang-undang ini menyatakan bahwa sumber daya air dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
secara adil. Atas penguasaan sumber daya air oleh negara dimaksud,
Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi
pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan melakukan
pengaturan hak atas air. Jaminan itu tertuang dalam pasal 29 dan pasal
80. Pasal 29 ayat (3) menyatakan bahwa penyediaan air untuk
memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi bagi pertanian
rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama
penyediaan sumber daya air di atas semua kebutuhan., ayat (4) Urutan
prioritas penyediaan sumber daya air selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditetapkan pada setiap wilayah sungai oleh Pemerintah
atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Dan ayat (5)
Apabila penetapan urutan prioritas penyediaan sumber daya air
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menimbulkan kerugian bagi
pemakai sumber daya air, Pemerintah atau pemerintah daerah wajib
mengatur kompensasi kepada pemakainya. Pasal 80 ayat (1)
menyatakan bahwa pengguna sumber daya air untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani
biaya jasa pengelolaan sumber daya air. Ayat (2) Pengguna sumber
daya air selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menanggung
biaya jasa pengelolaan sumber daya air. Namun ternyata definisi
kebutuhan pokok sehari-hari dalam undang-undang ini tidak seperti
definisi yang umum dipakai oleh masyarakat. Bagi kita kebutuhan
pokok sehari-hari adalah kebutuhan air untuk minum, memasak dan
mandi, namun dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1) dinyatakan bahwa
yang dimaksud dengan kebutuhan pokok sehari-hari adalah air untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang digunakan pada atau
diambil dari sumber air (bukan dari saluran distribusi) untuk
keperluan sendiri guna mencapai kehidupan yang sehat, bersih dan
produktif, misalnya untuk keperluan ibadah, minum, masak, mandi,
cuci dan, peturasan. Dipertegas lagi pada penjelasan pasal 80 ayat (1)
Pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-
hari yang tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air
14

adalah pengguna sumber daya air yang menggunakan air pada


atau mengambil air untuk keperluan sendiri dari sumber air yang
bukan saluran distribusi. Dari penjelasan tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa alokasi air baku bagi penduduk perkotaan yang
memenuhi kebutuhan air sehari-harinya lewat pipa PDAM tidak
mendapatkan prioritas utama, termasuk Jakarta tidak mendapatkan
prioritas utama suplai air baku dari Jatiluhur. Kalau jaminan prioritas
alokasi air untuk kebutuhan pokok sehari-hari ini tidak ada,
bagaimana kita akan menggapai target kesepuluh pembangunan
milennium: Mengurangi sampai setengah jumlah penduduk yang tidak
memiliki akses kepada air bersih yang layak minum.
Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 2003 merencanakan
peningkatan sambungan rumah tangga dari 17% pada tahun 2004
menjadi 62% pada tahun 2015. Selain itu, sesuai dengan PP 16/2005
tentang Air Minum, pada tahun 2008, seluruh PDAM sudah harus
dapat mengalirkan air yang langsung dapat diminum (potable water)
dan bukan hanya air bersih (clean water). Target tersebut di atas
merupakan tantangan besar, mengingat data dari Departemen
Pekerjaan Umum menunjukkan bahwa sejak tahun 2000, rata-rata
jumlah sambungan baru yang terpasang tiap tahunnya hanya 300.000
sambungan rumah tangga. Padahal, untuk dapat mencapai target
diatas, perlu ada peningkatan sebanyak dua juta sambungan tiap
tahunnya. Dari sekian banyak PDAM, sebagian besar diantaranya
(173 PDAM) hanya melayani 20% populasi didaerahnya. Hanya 5
PDAM yang jangkauan pelayanan mencapai lebih dari 80% populasi.
Sedangkan jika dilihat dari tingkat kesehatan perusahaan, hanya 9%
PDAM yang masuk dalam kategori sehat. Dan yang lainnya masuk
dalam kategori kurang sehat, tidak sehat, dan bahkan 28% PDAM
masuk dalam kategori kritis. Sebagian besar dari PDAM tersebut juga
menanggung beban hutang yang besar. Menurut laporan Bank Dunia,
sampai pada tahun 2004, 440 Pemerintah Daerah belum bisa
membayar hutangnya kepada Departemen Keuangan, dan sebagian
besar dari hutang tersebut adalah hutang PDAM. Karena akumulasi
denda dan bunga, hutang PDAM meningkat dari yang tadinya Rp 1,66
trilyun pada Desember 2003 menjadi Rp 2,75 trilyun pada Desember
2004. Kenaikan hampir 65% hanya dalam setahun. Bahkan dalam
15

acara rapat kerja dengan Panitia Adhoc IV DPD Republik Indonesia di


Jakarta, Juli 2007, Menteri PU Djoko Kirmanto menyatakan hampir
80 persen kondisi PDAM tidak sehat karena beban hutang, walaupun
harus diakui bahwa hingga saat ini sudah banyak PDAM yang
menunjukkan kinerja yang semakin membaik, hutang Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM) hingga hingga akhir 2007 diperkirakan
akan mencapai Rp 6 triliun.
Saat ini, pengembangan air minum, air baku dan tol sangat
kurang peminat baik investor dalam maupun luar negeri, sedangkan
infrastruktur tersebut sangat dibutuhkan dan sangat mendesak untuk
dikembangkan, sementara pendanaan dari pemerintah sangat kurang
karena keterbatasan APBN dan APBD. Investasi dibidang
infrastruktur publik dapat dikatakan tidak berkembang baik, selama
periode April 2006-April 2007, kredit ke sektor listrik, gas dan air
hanya tumbuh 4,65 % menjadi Rp 5,74 triliun (Kompas, 7 Juli 2007).
Yang menjadi masalah saat ini adalah bahwa 61 % konsumen belum
mampu membayar harga untuk cost recovery. Sebelumnya,
perhitungan tarif Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) berdasarkan
pada Permendagri No.2 tahun 1998. Melalui revisi Permendagri ini
penetapan tarif akan didasarkan pada prinsip keterjangkauan &
keadilan, mutu pelayanan, pemulihan biaya (full cost recovery),
efisiensi pemakaian, transparansi & akuntabilitas, serta perlindungan
dan pelestarian fungsi sumber air. Dengan prinsip ini, PDAM harus
dapat menutup seluruh biaya operasi yang ada, dengan beban tingkat
kebocoran yang tinggi 30% – 50%, jaringan distribusi yang kompleks
dan tingkat konsumsi yang rendah. Tentunya hal ini dapat
meningkatkan besaran tarif, padahal tidak semua masyarakat di daerah
memiliki penghasilan yang dapat mencukupi untuk membeli air
bersih. Besarnya tarif full cost recovery di suatu daerah dapat
mencapai Rp 3000/m3.
Pada saat ini pemerintah juga berencana meluncurkan Program
Nasional Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat
(PAMSIMAS), seperti yang dinyatakan oleh Dirjen Cipta Karya Dep
PU, Agoes Widjanarko di Jakarta, Juni 2007. Guna mendukung
program air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin di pedesaan
dan pinggiran kota yang rentan penyakit dan belum terakses fasilitas
16

tersebut, pemerintah kembali mendapat kuncuran dana pinjaman dari


Bank Dunia senilai Rp.1,3 triliun. Untuk tahap pertama, program
PAMSIMAS akan dilaksanakan pada 5.000 desa sebagai percontohan
yang akan dilakukan tahun ini. Semoga program ini dapat mengatasi
problema tersebut di atas dan akan berhasil mendukung pencapaian
tujuan MDG.
Pembangunan jaringan air minum dan penyediaan air baku
yang berlimpah, juga mendapat ancaman dengan semakin
berkembangnya industri air kemasan. Beberapa produsen air kemasan
memanfaatkan air tanah di daerah resapan air. Konflik antara petani
dan produsen air minum kemasan telah terjadi, salah satunya di Klaten
Jawa Tengah. Pada tahun 2004, Indonesia merupakan Negara ke 8
terbesar dunia yang mengkonsumsi air kemasan sebesar 7,62 juta
m3/tahun (Rodwan, 2004), bandingkan dengan China merupakan
Negara ke 3 dunia dengan konsumsi 11,89 juta m3/tahun. Konsumsi
air kemasan ini telah menjadi trend baru gaya hidup hampir semua
lapisan masyarakat Indonesia dan dunia. Dengan harga yang hampir
200 kali lebih mahal dibanding dengan air PDAM, konsumsi air
kemasan bagi masyarakat miskin akan mengurangi kemampuannya
untuk mensejahterakan dirinya. Salah satu produsen air kemasan
adalah Aqua Danone. Sejak 1996 perusahaan makanan asal Prancis
Danone menguasai saham mayoritas Aqua Danone sebesar 74%, yang
kemudian telah terjadi perubahan besar dalam manajemen Aqua.
Dalam produksi, Aqua juga melonjak tajam, dari 1 miliar liter
sebelum bergabung dengan Danone, pada tahun 2005 mampu
mencapai 3,5 miliar liter (Willy Sidharta, Sinar Harapan, 2005). Aqua
menguasai 40 % pangsa pasar air mineral di dalam negeri.
Pertumbuhan industri air mineral di dalam negeri sangat besar.
Konsumsi per kapita per tahun di Indonesia baru sekitar 40 liter,
masih lebih rendah bila dibandingkan dengan Thailand konsumsi per
kapita per tahunnya 75 liter. Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan
Indonesia (Aspadin) yang beranggotakan sekitar 140 perusahaan air
minum dalam kemasan memproyeksikan, pada tahun 2010, kebutuhan
air minum dalam kemasan akan menjadi sekitar 17 miliar liter. Dalam
usaha mengejar ‘ketertinggalan’ dari negara lain, ketersediaan sumber
daya air merupakan problema bagi pelaku usaha di Indonesia, dan
17

untuk itu Aqua melakukan penelitian sumber air yang intensif di


daerah resapan. Rata-rata setiap tahun diadakan penelitian sumber air
di dua atau tiga wilayah. Tahun 2005, misalnya Aqua mempunyai
program penelitian di Gunung Merapi dan Gunung Salak.

Pengaturan Kualitas Sumberdaya Air

Para hadirin yang saya hormati,

Konflik yang terjadi dalam suatu wilayah sungai juga dapat


mencakup konflik antara hulu dan hilir dalam pengaturan kualitas air.
Ada dua kelompok utama yang menggunakan air sungai. Kelompok
pertama adalah konsumen air yaitu industri, petani dan rumah tangga,
yang mengambil air dari sungai untuk pemenuhan kebutuhannya lewat
sistem distribusi air publik, kelompok ini biasanya tinggal dibagian
hilir sungai. Kelompok kedua adalah kelompok pencemar air sungai,
termasuk industri, peternakan dan rumah tangga, memanfaatkan badan
air untuk tempat pembuangan limbah, memakai air sebagai pengencer
limbah, guna memaksimalkan keuntungan individu atau perusahaan
tanpa memperhatikan pengaruhnya pada ekosistem. Peningkatan
konsumsi dan peningkatan pencemaran akan juga menjadi penyebab
kelangkaan air. Seperti kita ketahui, saat ini hampir semua industri
dan pemukiman membuang limbahnya ke sungai tanpa pengolahan
terlebih dahulu. Di negara berkembang, hampir 90%-95% buangan
rumah tangga dan 75% limbah industri dibuang ke sungai tanpa
pengolahan terlebih dahulu (UNEP, 2004). Dengan semakin
banyaknya limbah yang masuk ke badan air akan semakin banyak
volume air segar yang harus mengalir di sungai agar dapat mencapai
suatu standar kualitas air tertentu bagi kehidupan di bagian hilir.
Tingkat pencemaran tidak hanya tergantung pada jumlah limbah yang
dibuang tetapi juga pada volume air yang mengalir di sungai, di mana
pada saat musim hujan tingkat pencemaran akan lebih rendah
dibanding pada saat musim kemarau. Di beberapa negara, dalam
kerangka IWRM, telah dilakukan pengaturan kualitas air dalam
beberapa ruas sungai. Pengaturan ini ditentukan dengan
mempertimbangkan volume air segar yang ada dan standar
18

pencemaran pada badan air yang dibutuhkan untuk pemenuhan


kebutuhan air baku bagi suatu daerah di ruas sungai tersebut. Suatu
daerah pertanian akan membutuhkan kualitas air baku yang lebih
rendah dibanding daerah pemukiman. Dengan tingkat pencemaran
yang ditentukan tersebut, maka pengelola wilayah sungai menerbitkan
ijin pembuangan limbah bagi suatu industri atau pemukiman di setiap
segmen/ruas sungai terkait. Dengan adanya fluktuasi aliran di suatu
sungai, maka peraturan tersebut akan mengganggu operasional
industri, karena saat terjadi penurunan kuantitas air di sungai, industri
tersebut harus juga menurunkan kuantitas limbahnya ataupun
melakukan pengolahan limbah tambahan sebelum dibuang ke sungai.
Untuk mengatasi hal ini, di beberapa maju dikenal water quality
trading system, dimana ijin pembuangan limbah yang telah ditetapkan
dapat diperjualbelikan di pasar.
Di Australia, jual-beli ijin ini dipakai sebagai alat untuk
mengendalikan kualitas lingkungan di suatu wilayah sungai, dan
sudah diterapkan sejak tahun 1990, salah satu contohnya adalah di
wilayah sungai Murray-Darling. Sistem imbal-beli tersebut
merupakan bagian dari Murray-Darling Basin Salinity and Drainage
Strategy yang dikelola oleh 3 negara bagian: New South Wales,
Victoria, and South Australia. Ijin pembuangan limbah, yang diukur
berdasar kadar salinitas air, dapat dipertukarkan di antara Negara
Bagian, tidak di antara perseorangan. ‘Salt credits’ dapat diperoleh
dengan cara menurunkan jumlah limbah yang dibuang ke sungai atau
menaikkan jumlah air yang mengalir di sungai. (Keudel, 2007).
Pengaturan limbah seperti ini belum dapat berjalan dengan
baik di Indonesia. Kementrian Lingkungan Hidup pernah
memperkenalkan Program for Pollution Control Evaluation and
Rating (PROPER). PROPER mulai dikenalkan sejak tahun 1995 di
negara berkembang, dengan target industri pembuang limbah yang
banyak mencemari lingkungan dan selama 3 tahun pelaksanaan,
dilaporkan dapat menurunkan BOD dan COD sebanyak 32%, (Lopez
et al., 2004). Pelaksanaan PROPER di Indonesia pernah dinyatakan
sebagai program skala besar yang dilaksanakan di negara-negara
berkembang. Prinsip dasar pelaksanaan PROPER adalah mendorong
penataan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan melalui instrumen
19

insentif reputasi bagi perusahaan dimana baik buruk reputasi


perusahaan tersebut ikut ditentukan warna PROPER apa yang dimiliki
oleh perusahaan. Namun program ini kelihatannya sudah mulai pudar
sejak tidak di danai oleh bank Dunia, sehingga pada tahun 2007 ini
Kementrian Lingkungan Hidup merasa perlu untuk merevitalisasikan
kembali PROPER tersebut (Media Indonesia, 4 Juli 2007)

Para hadirin yang saya hormati,

Dari beberapa renungan saya selama 5 tahun terakhir ini, saya


merasakan bahwa pendekatan teknis semata dalam pengembangan dan
pengelolaan sumberdaya air, ternyata tidak cukup. Banyak faktor
sosial dan politik yang berpengaruh, mengingat air merupakan
sumberdaya utama makhluk hidup yang dapat mempengaruhi segala
aspek kehidupan, baik aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Dengan
semakin meningkatnya jumlah penduduk, pertanian dan industri telah
terjadi peningkatan kebutuhan air guna menunjang penyediaan pangan
dan kesehatan, serta media produksi. Karena ketidak-seimbangan
antara ketersediaan air dan kebutuhan air ini, konflik antar para
pemakai semakin sering ditemukan. Untuk mengatasi konflik ini,
terutama akibat kesetidak-setaraan, diperlukan kebijakan alokasi air
yang mengedepankan pendekatan kemanusiaan dibanding
pendekatan ekonomi semata. Hak untuk mendapatkan akses
terhadap air bersih dengan harga yang terjangkau juga disampaikan
dalam Dublin Principles (1992) demikian pula pada tahun 2002, The
United Nation Committee on Economic, Cultural and Social Rights
menyampaikan General Comment 15 yang menyatakan bahwa air
tidak hanya sebagai komoditas ekonomi, dan akses terhadap air (right
to water) adalah hak asasi manusia ”The human right to water entitles
everyone to sufficient, affordable, physically accessible, safe and
acceptable water for personal and domestic uses.”
Upaya untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air
memerlukan usaha keras setiap pemangku kepentingan dalam suatu
wilayah sungai, untuk bekerjasama, berkoordinasi dan menjalankan
komitmen secara konsisten. Hal ini juga diamanatkan dalam beberapa
pasal UUD 1945 yang sudah diamandemen hingga 4 kali, yaitu seperti
20

yang tertulis di Pasal 28A Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, Pasal 28C Ayat
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia, Pasal 28D Ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum. Pasal 33 Ayat (2) Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara. Ayat (3) Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan pasal 34
ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Para hadirin yang saya hormati,


Sebelum saya akhiri pidato ini, perkenankan saya sampaikan
ucapan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia yang telah
memberikan kehormatan jabatan akademis Guru Besar Teknik Sipil
di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, semoga jabatan
akademis ini akan lebih memacu saya untuk mengabdikan diri pada
Universitas Gadjah Mada dan pada bangsa Indonesia dalam
pendidikan bidang sumberdaya air dan lingkungan.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada pada para
guru saya sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi yang telah
memberikan bekal ilmu yang sangat berguna bagi kemajuan
pengembangan ilmu saya selama ini, antara lain Profesor Hardjoso
Prodjopangarso yang telah memberikan dasar-dasar ilmu lingkungan
dan rawa pasang-surut, Profesor Pragnyono Mardjikoen almarhum
yang telah membuka wawasan tentang ilmu hidraulika, Profesor
Mostertman di IHE-Delft, Belanda, Profesor Jean A. Cunge, Profesor
Phillipe Belleudy, Profesor Andre Temperville di Institut Mecanique
de Grenoble, INPG Perancis, Profesor Forrest Holly di Iowa Institute
of Hydraulic Research, University of Iowa USA, yang telah
memberikan bekal yang sangat bermanfaat dalam profesi hidraulika
21

dan model matematik. Tak lupa saya ucapkan terima kasih juga pada
teman-teman di Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia,
Bappenas, HATHI, PII, AMRTA Institute, KRUHA, Walhi, INFID,
SETAM, INFOG, FIELD yang telah memberikan ’ruang’ untuk
belajar bersama dalam pengembangan daerah rawa dan
pengembangan sumberdaya air pada umumnya. Kepada civitas
akademika di Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik
UGM, terutama teman-teman sejawat di laboratorium hidraulika, saya
ingin mengucapkan terima kasih atas kerjasamanya selama ini dalam
bahu-membahu mengembangkan ilmu hidraulika dalam pendidikan,
penelitian dan pengabdian masyarakat.
Sesuatu yang sangat sulit dilukiskan adalah rasa bangga saya
sebagai anak yang dapat mewujudkan cita-cita kedua orang tua saya
menjadi guru di Universitas Gadjah Mada, tempat dimana almarhum
ayah saya juga telah membaktikan tenaganya. Kepada keluarga besar
saya, kedua orang tua saya Bapak Ngadjiman Wignyosukarto
(almarhum) dan Ibu Suwarni, yang telah memberikan bekal hidup
yang tiada terkira, kedua mertua saya Bapak dan Ibu Susilo Pramono
(almarhum), serta kakak-kakak dan adik-adik saya, saya ingin
mengucapkan rasa terima kasih atas doa dan restunya, yang telah
menghantarkan saya mencapai cita-cita ini.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga juga saya sampaikan
kepada isteri saya, Susi Daryanti dan kedua anak saya Aska Primardi
dan Marinda Amitia, yang selalu mendampingi saya dalam
mengarungi kehidupan menempuh cita-cita bersama. Marilah kita
syukuri bersama nikmat Allah SWT ini.

Demikianlah pidato saya, atas nama pribadi dan keluarga, saya


mengucapkan terima kasih atas kesabarannya mendengarkan pidato
saya ini, tidak lupa mohon maaf apabila terdapat hal-hal yang kurang
berkenan. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan taufik dan hidayah
Nya kepada kita semua.

Amin, ya rabbal alamin.


Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.
22

DAFTAR PUSTAKA

Agudelo, JI., 2001, The Economic Valuation of Water, Value of Water


Research Report Series No. 5, IHE Delft, The Netherland.
Chapagain, AK., Hoekstra, AY, 2004, Water Foortprints of Nations,
Research Report No 16, UNESCO – IHE.
Clark, E.H., 2007, Water Prices Rising Worldwide, Earth Policy
Institute, March, 2007.
Ferrier, C., 2001, Bottled Water:Understanding of Social Pheno-
menon, WWF
Hall, D. and Lobina, E., 2006, Pipe dreams, The failure of the private
sector to invest in water services in developing countries, Public
Services International Research Unit, Business School,
University of Greenwich Park Row, London, SE10 9LS, United
Kingdom
Haryadi, T., 2007, Sosialisasi PROPER Harus Lebih Intensif, Harian
Media Indonesia, 4 Juli 2007
Kataoka, Y., 2002, Overview Paper on Water for Sustainable
Development in Asia and the Pacific, Asia-Pasifik Forum for
Environment and Development First Substantive Meeting,
January 12-13, 2002, Bangkok, Thailand
Keudel, M., 2007, Water Quality Trading Systems: An Integrated
Economic Analysis of Theoretical and Practical Approaches,
Doctorgrade Dissertation, University of Koln.
Kurnia, G., T. W. Avianto and B. R. Bruns.,2000, Farmers, factories
and the dynamics of water allocation in West Java. In B. R.
Bruns and R. S. Meinzen-Dick (eds.) Negotiating Water Rights,
pp. 292-314. London: Intermediate Technology Publications.
López, J.G., Sterner, T., and Afsah, S., 2004, Public Disclosure of
Industrial Pollution: The PROPER Approach for Indonesia?.
http://www.rff.org/documents/RFF-DP-04-34.pdf
Meinzen-Dick, D., Ringler, C., 2006, Water Reallocation: Challenges,
Threats, and Solutions for the Poor, Occasional Paper,
HumanDevelopmen Report 2006, UNDP
23

Min, B.S. 2004, A Water Surcharge Policy for River Basin


Management in Korea: A means of resolving environmental
conflict?, Water Policy 6 (2004), pp 365–380
Rodwan, J.G.,Jr., 2004, Bottled Water 2004: U.S. and International
Statistics and Developments, the International Bottled Water
Association (www.bottledwater.org)
Rogers, P., Bhatia R.,Huber,A.,1998, Water as a Social and Economic
Good:How to Put the Principle into Practice, Global Water
Partnership/Swedish International Development Cooperation
Agency, Stockholm, Sweden
Rosegrant, MW., Cai, X.,Cline, SA., 2002, World Water and Food to
2025: Dealing with Water Scarcity, International Food Policy
Research Institute, Washington, D.C.
Rosegrant, MW., Ringler, C, 1998, Impact on Food Security and
Rural Development of Reallocating Water from Agriculture for
Other Uses, International Food Policy Research Institute,
Background Paper, United Nations Commission on Sustainable
Development
Savenije, H.H.G.,Van der Zaag, P., 2001, “Demand Management”
and “Water as an Economic Good”, Paradigms with Pitfalls,
Value of Water , Research Report Series No. 8, IHE Delft The
Netherlands
Subandriyo, T., 2004, Produksi Padi yang Mengkhawatirkan, Suara
Merdeka, Sabtu 24 Juli 2004.
UNEP, 2004, Challenges of Water Scarcity, A Business Case for
Financial Institutions, Stockholm International Water Institute
(SIWI)
UNDP, 2006, Human Development Report 2006, Beyond scarcity:
Power, poverty and the global water crisis. Palgrave Macmillan.
Houndmills, New York, NY 10010
Sidharta. W.,2005, Mengolah Air Menjadi Duit, Sinar Harapan, 24
Januari 2005.
WHO, 2003, Right to water, Health and human rights publication
series; no. 3, World Health Organization
WWF, 2006, Dialogue on Water, Food and Environment, Dialogue
Buletin, Issue No 18, January 2006.
24

BIODATA

Nama : Budi Santosa Wignyosukarto,


Tempat/Tgl lahir : Yogyakarta, 17 Agustus 1952
NIP : 130 779 564
Jabatan : Guru Besar /IVc
Alamat kantor : Jurusan Teknik Sipil
Fakultas Teknik UGM,
Jl. Grafika 2 Yogyakarta
Telp/Fax: 0274-519788
Email : budiws@ugm.ac.id

Alamat Rumah : Pesona Merapi B 43 Jl. Kaliurang Km 9


Yogyakarta,
Nama Isteri : Dra. Susi Daryanti MSc.
Nama Anak : Aska Primardi S.Psi
Marinda Amitia
Riwayat Pendidikan
1. 1958-1964 SD BOPKRI Gondolayu Yogyakarta
2. 1964-1967 SMP Negeri V Yogyakarta
3. 1967-1970 SMA Negeri III Yogyakarta
4. 1971-1978 Sarjana Teknik Sipil UGM Yogyakarta,
5. 1979-1980 Diploma in Hydraulic Engineering, (IHE, Delft,
Nederland)
6. 1982-1983 Diplome D'Etudes Approfondies, (INPG, Grenoble,
France)
7. 1983-1985 Docteur Ingenieur Fluid Mechanics (INPG,
Grenoble, France)

Riwayat Pekerjaan
1. 1979 – sekarang Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil dan
Lingkungan, FT – UGM, Program Studi Teknik Sipil Program
Pasca Sarjana UGM, Magister Pengelolaan Sumberdaya Air
dan Magister Pengelolaan Bencana Alam Program Pasca
Sarjana UGM.
25

2. 1989 – 1996 Pengelola S2 Program Studi Teknik Sipil PPS


UGM
3. 1987 – 1994 Kepala Laboratorium Hidraulika Jurusan Teknik
Sipil FT – UGM
4. 1995 – 1999 Kepala Laboratorium Komputasi Jurusan Teknik
Sipil FT – UGM
5. 1999 – 2001 Wakil Pengelola Program Magister Pengelolaan
Sumberdaya Air Program Studi Teknik Sipil PPS UGM
6. 2001 – 2003 Koordinator Program Pengembangan dan
Pertumbuhan Wilayah Terpadu LPM – UGM.
7. 2005 – sekarang Koordinator Kopertis Wilayah V Daerah
Istimewa Yogyakarta.
8. Guru Besar pada Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan,
Fakultas Teknik UGM, sejak 1 April 2006

Keanggotaan Organisasi/Profesi/Asosiasi
1. Ketua HATHI Cabang Yogyakarta 2001 – 2003.
2. Ketua HATHI Pusat 2000 - 2004
3. Sekretaris Umum Pengurus Pusat KAGAMA 2001 - 2005
4. Ketua KATGAMA 2000 – 2003
5. Anggota Sidang Dewan Insinyur PII 2004 – 2006
6. Anggota Dewan Pengarah Kemitraan Air Indonesia 2007 -
2011
7. Anggota Dewan Pengarah AMRTA Institute
8. Anggota Dewan Pengarah KRUHA
9. Profesional Utama – Sumberdaya Air.

Publikasi Ilmiah (terseleksi)


1. Belleudy, Ph., Wignyosukarto, B, 1986, Mathematical
Modelling of Pollutant Transport in Water Conveyance System
for Agriculture, International Symposium on Water
Management for Agriculture Development, Athenes, Grece,
April 1986
2. Holly, F.M.Jr., Cunge, J.A., Wignyosukarto, B. and R.
Einhellig, R. 1987, Coupled Implicit Simulation of Mobile-Bed
26

Rivers, Hydraulic Engineering ASCE Conference Proceeding


Williamsburg, USA.
3. Wignyosukarto, B.S., 1985, Etude de la dilution de produits de
lessivage du soil d’un reseau d’irrigation sousmis a la maree,
These Docteur Ingenieur, L’Institut National Polytechnique de
Grenoble, France.
4. Wignyosukarto, B, Belleudy, Ph., Delclaux, F., 1984,
Discharge release in reach of canal de provence-comparative
study of real life observation and mathematical modelling
results, Intenational Conference in Hydraulic Engineering
Software (HIDROSOFT) Portoroz, Yougoslavia
5. Wignyosukarto, B.S., 1997, Dasar Pemikiran Perencanaan
Sistem Tata Air Pemanfaatan Lahan Basah dan Lahan
Gambut di Kalimantan Tengah, Forum Teknik Sipil No. VI/I-
Agustus 1997, ISSN 0854-1116.
6. Wignyosukarto, B.S., 1998, Kendala Peningkatan Budidaya
Tambak Udang di Pantai Utara Jawa Kasus Randusanga
Kulon Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah, MEDIA
TEKNIK No. 2 Tahun XX Edisi Mei 1998 No. ISSN 0216-
3012.
7. Wignyosukarto, B.S., Rahardjo, A.P., 1998, The solutions of
thermal water dispersion from steam power plants using the
convection-diffusion equation of the SMS software package,
11th Congress of the IAHR-APD, September 8-10, 1998,
Yogyakarta Indonesia.
8. Wignyosukarto, B.S., 1999, Training Material on Sustainable
Development of Waterlogged Lowland, Demontration of Low
Cost Irrigation, FAO-TCP/KEN/6716 A.
9. Wignyosukarto, B.S., 2000, Review Konsep Pengembangan
Pola Tata Air Lamunti, Dadahup dan Palangkau, Proyek
Pengembangan Lahan Gambut Kalimantan Tengah, FORUM
TEKNIK Jilid 24, No. 3, November 2000.
10. Wignyosukarto, B.S., 2001, Low Cost Irrigation, Farm-Level
water Management in Waterlogged Lowland, Nyamthoi,
Kisumu, Nyanza, Kenya, MEDIA TEKNIK No.1 Tahun XXIII
Edisi Februari 2001 No. ISSN 0216-3012
27

11. Wignyosukarto, B.S., 2000, Analisis Hidraulik Loncat Air


pada Lantai Pemecah Energi dengan Endsill, FORUM
TEKNIK Jilid 26, No. 3 November 2002
12. Wignyosukarto, B.S.,2004, Analisis Hidraulik Sistem Drainasi
di Lahan Gambut Lapangan Minyak Duri Riau, Forum
Teknik, Vol 28, No 3, September 2004
13. Wignyosukarto, B.S., 2004, Reliabilitas Rehabilitas Kolam
Pasang pada Jaringan Irigasi Pasang Surut Unit Tabunganen
Kalimantan Selatan, Forum Teknik, Vol 29, No 4, Desember
2004
14. Wignyosukarto, B.S., 2006, The Hidraulic Performance of
Tidal Irrigation System in The Reclamation of Acid Sulphate
Soil, Proceeding of The Second International Conference on
Estuaries & Coast 2006,November 2006, Guangzhou, China.
28

Anda mungkin juga menyukai