untuk industri dan rumah tangga hanya 20%. Pada tahun 2020,
diperkirakan akan terjadi kenaikan kebutuhan air untuk rumah tangga
dan industri sebesar 25% - 30%. Selain itu, beberapa daerah aliran
sungai di Pulau Jawa telah mengalami degradasi yang sangat
memprihatinkan, erosi yang berlebihan telah mengakibatkan
terjadinya sedimentasi di beberapa waduk yang telah dibangun di
sungai Citarum, Brantas, Serayu-Bogowonto dan Bengawan Solo.
Sedimentasi tersebut akan mengurangi usia tampung waduk, usia
tampung beberapa waduk tersebut diperkirakan hanya akan mampu
memenuhi kebutuhan air baku hingga tahun 2010 saja. Disisi lain
penambangan pasir yang intensif telah mengakibatkan penurunan
dasar sungai di beberapa tempat yang membahayakan konstruksi
beberapa jembatan dan bangunan pengambilan air untuk irigasi.
Pengambilan air tanah yang berlebihan di beberapa akuifer di kota-
kota besar di Pulau Jawa (Jakarta, Semarang, Surabaya) telah
mengakibatkan terjadi intrusi air laut dan penurunan elevasi muka
tanah. Ketidaktersediaan sistem sanitasi dan pengolah limbah industri
yang baik, juga telah mengakibatkan terjadinya pencemaran air tanah
dan sungai oleh buangan air rumah tangga dan industri, terutama di
musim kemarau. Di saat lain, dimusim hujan, banjir terjadi di mana-
mana, akibat karena semakin kecilnya daerah resapan, turunnya
kapasitas sungai dan rusaknya sistem drainasi internal.
Pengelolaan sumberdaya air yang kompleks ini menjadi
tantangan utama dalam upaya pencapaian tujuan Pembangunan
Milenium yang dicanangkan di tahun 2000, terutama dalam
pencapaian tujuan pertama, memberantas kemiskinan dan kelaparan,
serta tujuan ke tujuh target sepuluh, mengurangi sampai setengah
jumlah penduduk yang tidak memiliki akses kepada air bersih yang
layak minum.
per orang. Peningkatan nilai manfaat air bagi pertanian, baik pada
lahan irigasi maupun lahan tadah hujan, diartikan sebagai peningkatan
jumlah atau nilai produksi pertanian untuk setiap unit air yang
diberikan. Upaya yang penting lainnya adalah upaya mengurangi
kehilangan air baik yang berupa perkolasi, drainasi, resapan.
Pemberian air diusahakan hanya untuk pemenuhan evapotranspirasi
tanaman saja. Di aras lahan petani, upaya peningkatan produktivitas
air, mengharapkan perubahan pola pengelolaan air, tanah dan
tanaman. Salah satu cara budidaya padi hemat air adalah SRI (System
of Rice Intensification) yaitu teknik budidaya padi yang mampu
meningkatkan produktifitas padi dengan cara mengubah pengelolaan
tanaman, tanah, air dan unsur hara. Metode ini pertama kali ditemukan
di Madagaskar antara tahun 1983-1984 oleh biarawan Yesuit asal
Perancis bernama FR. Henri de Laulani, S.J. Uji coba pola SRI
pertama di Indonesia dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Pertanian di Sukamandi, Jawa Barat pada musim
kemarau 1999 dengan hasil 6,2 ton/ha dan musim hujan 1999/2000
dengan hasil rata-rata 8,2 ton/ha. Di Tamil Nadu, India, metoda ini
dapat menghemat air irigasi sebesar 58 % (WWF, 2006)
Dibidang penyediaan air bersih dan sanitasi, WHO pada tahun
2003 melaporkan bahwa dari 6 miliar penduduk dunia, masih ada 1,1
miliar orang yang tidak mempunyai akses terhadap air bersih, dimana
63% - nya berada di Asia. Sedangkan survey WHO yang dilakukan di
Indonesia pada tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 217 juta
penduduk Indonesia, dengan komposisi populasi 44% berada di
perkotaan dan sisanya di pedesaan, sebanyak 78% penduduk memiliki
akses terhadap air (improved water). Namun yang mendapat
pelayanan dari PDAM hanya 17% rumah tangga (ADB, 2006).
Menurut Human Development Report UNDP 2006, ketidak
merataan ketersediaan air merupakan masalah utama dalam
penyediaan dan distribusi air. Wilayah America Latin memiliki 31%
ketersediaan air dunia, sehingga penduduknya mendapatkan air 12
kali lebih banyak dari mereka yang berada di Asia Selatan. Beberapa
negara, seperti Brazil dan Kanada, memiliki ketersediaan air jauh
lebih banyak dari yang dibutuhkan, sedangkan negara-negara lain
seperti di Timur Tengah, ketersediaannya jauh lebih kecil dari yang
6
hutan dan lahan serta Koservasi sumber daya air; (3) Pengendalian
daya rusak air; (4) Pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran
air; (5) Penghematan penggunaan dan pengelolaan permintaan air; dan
(6) Pendayagunaan sumber daya air secara adil, efisien dan
berkelanjutan. Dengan telah dicanangkannya GN-KPA, diharapkan
urusan air adalah urusan semua pemegang kepentingan baik
masyarakat, pengguna air lainnya dan pemerintah.
Pada bulan Maret 2006, Bank Pembangunan Asia (ADB)
mengenalkan Water Financing Program 2006 – 2010, untuk
membantu memperkenalkan program IWRM di 25 wilayah sungai di
Asia – Pasifik, termasuk 5 wilayah sungai di Indonesia, diantaranya
Wilayah Sungai Citarum, Ciliwung-Cisadane, Ciujung, Progo-Opak-
Oya. ADB mempunyai 25 elemen sebagai indikator kondisi IWRM di
sebuah Wilayah sungai, antara lain keberadaan: Organisasi Pengelola
Wilayah Sungai (RBO), partisipasi para pemegang kepentingan,
perencanaan wilayah sungai, kesadaran publik, alokasi air, hak atas
air, ijin pembuangan limbah, pembiayaan IWRM, nilai/harga air,
peraturan pengelolaan air, infrastruktur yang mempunyai multi-
manfaat, partisipasi sektor swasta lewat CSR (corporate social
responsibility), pendidikan tentang pengelolaan wilayah sungai,
pengelolaan daerah tangkapan air, kebijakan tentang aliran penyangga
kualitas lingkungan, manajemen bencana, peramalan banjir,
rehabilitasi kerusakan akibat banjir, monitoring kualitas air, upaya
perbaikan kualitas air, konservasi lahan basah (rawa), perlindungan
dan peningkatan ikan di sungai, pengelolaan air tanah, konservasi air
dan sistem informasi guna mendukung penentuan kebijakan.
Seperti yang disampaikan oleh Kemal Dervis, Administrator
UNDP, bahwa sesungguhnya, tantangan mendasar krisis air adalah
kesenjangan akibat ketidaksetaraan. Oleh karena itu indikator
kesuksesan IWRM tentang alokasi air, hak atas air dan nilai/harga air
menjadi sangat menarik untuk saya bahas pada kesempatan ini.
Kebijakan alokasi air yang dapat mengatasi kesenjangan akibat
ketidaksetaraan sangat diharapkan oleh petani yang membutuhkan air
dengan “nilai ekonomis” yang rendah. Kebutuhan air untuk irigasi
persawahan paling dominan dan mempunyai nilai ekonomis yang
rendah. Kebutuhan air untuk menjaga kualitas lingkungan hampir
10
tidak mempunyai nilai ekonomis, sehingga saat ini orang hampir tidak
peduli dengan kualitas air di sungai atupun sumber air lainnya.
Kebutuhan air untuk industri tidak banyak namun mempunyai nilai
ekomis yang lebih menarik.
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan air dan terjadinya
kelangkaan ketersediaan air, orang mulai terpancing untuk berpikir
dan memandang air sebagai barang ekonomi (economic goods).
Seperti yang tercantum dalam Dublin Priciples (1992) Water has an
economic value in all its competing uses and should be recognized
as an economic good. Kelangkaan air dianggap sebagai peluang
ekonomi. Buat mereka, kelangkaan air harus diatasi dengan efisiensi
pemakaian, yang ditindaklanjuti dengan pembatasan pemakaian air
dengan cara menaikkan nilai ekonomi air sehingga orang akan berhati-
hati memakai air karena mahal. Saat sebagian orang tertarik untuk
menjual air langsung sebagai barang komoditi, beberapa pemakai air
lainnya mulai terganggu, karena bagi budidaya pertanian, ketersediaan
air akan dapat menunjang peningkatan produksi pangan, peningkatan
pendapatan petani, lapangan pekerjaan dan ketahanan pangan.
Kebutuhan air bagi keperluan pertanian di beberapa Negara Asia
hampir mencapai 90% dari tingkat ketersediaan air demikian juga di
Indonesia. Hal ini karena sebagian besar masyarakatnya hidup dari
pertanian dan ketahanan pangan menjadi komponen utama bagi
ketahanan bangsa. Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) tahun 2002 (Subandriyo, 2004), konsumsi beras total
masyarakat Indonesia sebesar 123,52 kg/kapita/tahun. Dengan luas
daerah pertanian sawah sebesar 9,8 juta hektar, usaha tani padi
melibatkan 23,7 juta rumah tangga tani, yang sebagian besar petani
kecil dan buruh tani yang rentan terhadap fluktuasi harga. Menurut
hitungan Chapagain dan Hoekstra, 2004, kebutuhan air irigasi untuk
memproduksi 1 kg beras adalah sebesar 2.800 – 3.200 liter, dan
besaran itu akan semakin meningkat apabila tingkat efisiensi
irigasinya semakin kecil.
Dengan adanya persaingan antara pengguna air, maka
pertimbangan ekonomis sering menjadi pertimbangan pada kebijakan
alokasi air. Saat ini air mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi
saat dijual langsung sebagai barang komoditi. Menurut Perpamsi,
11
2004, rata-rata harga jual air tertinggi mencapai Rp. 2.938/m3 dan
terendah sebesar Rp 750/m3. Dan kalau dijual sebagai air kemasan, 1
liter air kemasan dapat dijual Rp. 500,-. Kalau dilihat dari nilai
ekonominya, maka seseorang yang senang mendapatkan keuntungan
langsung, akan mengatakan bahwa petani telah membuang-buang air
terlalu boros, karena apabila diperbandingkan dengan air PDAM,
Untuk memproduksi 1 kg beras dibutuhkan 2.800 liter air atau setara
dengan Rp 2.100,- kalau harga air PDAM Rp. 750/m3. Apabila harga
air tersebut dibandingkan dengan harga berasnya yang hanya Rp
2.790/kg, maka pemakaian air untuk persawahan (padi) dapat
dikatakan merugi, karena petani masih harus membayar biaya
produksi sebesar 30% dari harga beras tersebut. Apalagi kalau
dikonversikan pada harga air kemasan, harga air untuk memproduksi
1 kg beras setara dengan Rp. 1.400.000,-. Melihat perbandingan nilai
ekonomi tersebut di atas, pemakaian air irigasi akan selalu
mendapatkan tekanan sebagai pemakai air yang sangat boros, tidak
efisien, dan lain-lain. Bahkan beberapa kebijaksanaan pemerintah dan
lembaga donor selalu mendasarkan pada kenyataan bahwa biaya
Operasi dan Pemeliharaan sistem irigasi terlalu mahal dibanding
pendapatan yang diperoleh dari sektor pertanian.
Ancaman terhadap alokasi air akibat ketidaksetaraan ini ini
telah terjadi. Kurnia, Avianto dan Bruns (2000) menunjukkan adanya
beberapa industri tekstil di Jawa Barat yang mendapatkan air dari
saluran irigasi dan air tanah, dengan cara membeli atau menyewa
tanah petani atau mengambil alokasi pergiliran pemberian air irigasi
bagi tanah yang dibeli/disewa tersebut, dan kadang-kadang masih
menambah beberapa pipa pengambilan bahkan dengan pemompaan.
Untuk menambah jumlah air yang dapat diambil, beberapa industri
tersebut juga melakukan pendekatan kepada petani bagian hulu agar
dapat merelakan sebagian airnya dengan imbalan misal dengan
pembangunan saluran drainasi. Yang paling dirugikan pada keadaan
ini adalah petani dibagian hilir yang akan kekurangan air. Proses
realokasi air irigasi untuk kepentingan lain, akan memberikan
pengaruh negatif pada ekonomi di pedesaan, berkurangnya air irigasi,
akan mengurangi luas tanam dan akan mengakibatkan hilangnya mata
12
yang tertulis di Pasal 28A Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, Pasal 28C Ayat
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia, Pasal 28D Ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum. Pasal 33 Ayat (2) Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara. Ayat (3) Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan pasal 34
ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
dan model matematik. Tak lupa saya ucapkan terima kasih juga pada
teman-teman di Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia,
Bappenas, HATHI, PII, AMRTA Institute, KRUHA, Walhi, INFID,
SETAM, INFOG, FIELD yang telah memberikan ’ruang’ untuk
belajar bersama dalam pengembangan daerah rawa dan
pengembangan sumberdaya air pada umumnya. Kepada civitas
akademika di Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik
UGM, terutama teman-teman sejawat di laboratorium hidraulika, saya
ingin mengucapkan terima kasih atas kerjasamanya selama ini dalam
bahu-membahu mengembangkan ilmu hidraulika dalam pendidikan,
penelitian dan pengabdian masyarakat.
Sesuatu yang sangat sulit dilukiskan adalah rasa bangga saya
sebagai anak yang dapat mewujudkan cita-cita kedua orang tua saya
menjadi guru di Universitas Gadjah Mada, tempat dimana almarhum
ayah saya juga telah membaktikan tenaganya. Kepada keluarga besar
saya, kedua orang tua saya Bapak Ngadjiman Wignyosukarto
(almarhum) dan Ibu Suwarni, yang telah memberikan bekal hidup
yang tiada terkira, kedua mertua saya Bapak dan Ibu Susilo Pramono
(almarhum), serta kakak-kakak dan adik-adik saya, saya ingin
mengucapkan rasa terima kasih atas doa dan restunya, yang telah
menghantarkan saya mencapai cita-cita ini.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga juga saya sampaikan
kepada isteri saya, Susi Daryanti dan kedua anak saya Aska Primardi
dan Marinda Amitia, yang selalu mendampingi saya dalam
mengarungi kehidupan menempuh cita-cita bersama. Marilah kita
syukuri bersama nikmat Allah SWT ini.
DAFTAR PUSTAKA
BIODATA
Riwayat Pekerjaan
1. 1979 – sekarang Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil dan
Lingkungan, FT – UGM, Program Studi Teknik Sipil Program
Pasca Sarjana UGM, Magister Pengelolaan Sumberdaya Air
dan Magister Pengelolaan Bencana Alam Program Pasca
Sarjana UGM.
25
Keanggotaan Organisasi/Profesi/Asosiasi
1. Ketua HATHI Cabang Yogyakarta 2001 – 2003.
2. Ketua HATHI Pusat 2000 - 2004
3. Sekretaris Umum Pengurus Pusat KAGAMA 2001 - 2005
4. Ketua KATGAMA 2000 – 2003
5. Anggota Sidang Dewan Insinyur PII 2004 – 2006
6. Anggota Dewan Pengarah Kemitraan Air Indonesia 2007 -
2011
7. Anggota Dewan Pengarah AMRTA Institute
8. Anggota Dewan Pengarah KRUHA
9. Profesional Utama – Sumberdaya Air.