Anda di halaman 1dari 6

Impor Beras: Benarkah Merugikan Petani?

Ditulis oleh  Soekartawi

 ukuran huruf kurangi ukuran huruf tambah ukuran huruf


 Cetak
 E-mail
Beri penilaian

 1
 2
 3
 4
 5
(0 suara)
Begitu kebijakan impor beras diumumkan Presiden 5 Januari 2006 yang lalu, maka meledaklah
pemberitaan soal ini. Banyak koran memberitakannya dengan judul yang dicetak tebal. Pendapat dari
berbagai kalangan pun muncul. Lebih seru lagi sumber berita justru lebih banyak dari Jakarta, apakah
itu politisi, tokoh masyarakat atau lainnya. Saya sebenarnya menunggu komentar teman-teman para
peneliti mikro pedesaan yang barangkali mampu menjembatani perbedaan pendapat antara impor dan
tidak impor beras ini.

Gemuruhnya pemberitaan soal impor beras hampir sama serunya dengan berita soal banjir. Hanya
bedanya, bencana banjir disertai dengan data yang konkrit, sementara soal beras, masing-masing
sumber berita mendasarkan pada datanya atau pendapatnya sendiri-sendiri, yang juga belum tentu
didukung oleh fakta yang konkrit. Tak ayal, terjadilah kesimpangsiuran. Sebenarnya justru di situlah
isu sebenarnya, yaitu simpang siurnya soal data perberasan nasional. Kita (pengamat) dan/atau lembaga
yang terkait dengan beras mempunyai data sendiri-sendiri.

Saya bahkan khawatir, jangan-jangan ibarat buah maka yang diketahui hanya kulit-kulitnya saja,
sedangkan dalamnya buah itu sendiri tidak diketahui secara pasti. Karena itulah, maka dalam beberapa
tulisan saya di Kompas [1],[2],[3], dan Surabaya Post [4] saya sudah menyarankan agar perorangan
atau lembaga terkait yang menangani beras ini, seperti BPS, BULOG, DEPTAN dan DEPPERINDAG
(atau boleh ditambah lagi dengan peneliti masalah-masalah perberasan, HKTI, PERPADI atau lainnya)
agar duduk bersama. Tujuannya adalah untuk mempersatukan persepsi, kemudian tampil di hadapan
mass media secara bersama untuk menjelaskan situasi perberasan nasional. Disamping itu, maksud
yang lain juga agar lembaga pemerintahan tersebut, kredibilitasnya tidak menurun dimata masyakat.

1. Peringatan

Peringatan soal kebijakan buka-tutup impor beras ini sebenarnya sudah banyak diketahui. Begitu pula
untung dan ruginya kalau kita mengimpor. Saya dan teman-teman dari Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya Malang, bekerja sama dengan PERPADI, menyelenggarakan Seminar dan Lokakarya
Nasional tentang ??eran Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (PERPADI)
dalam Mensukseskan Ketahanan Pangan Nasional??di Unibraw Malang, Maret 2003. Dalam makalah
saya pada seminar tersebut telah di singgung panjang lebar isu perberasan nasional sekarang ini, yaitu:
(a) Masalah fluktuasi harga, yaitu adanya jurang perbedaan (gap) antara harga dasar pembelian gabah
pemerintah dengan harga yang ada di tingkat petani yang berpotensi munculnya fluktuasi harga gabah,
(b) Masalah terjadinya impor beras yang bersamaan (atau hampir bersamaan) dengan saat panen raya,
(c) Masalah yang berkaitan dengan kebijakan tarif, kredit dan sistim cadangan beras, dan (d) Adanya
selundupan beras yang hampir tiap tahun terjadi [5].

Lebih lanjut dalam makalah tersebut juga dijelaskan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
mengantisipasi masalah perberasan nasional, yaitu; (a) Produksi dan produktivitas gabah yang
dihasilkan petani, masih relatif rendah. Hal ini bukan saja disebabkan karena rata-rata luas usahatani
sawah yang semakin menyempit, tetapi penggunaan sarana produksi juga tidak efisien ditambah lagi
harga input yang tinggi (mahal). Dengan demikian usatani padi di luasan yang sempit itu kurang
memberikan keuntungan yang tinggi. Selanjutnya, (b) Karena 60% lebih beras diproduksi di Jawa,
maka untuk memenuhi kebutuhan beras nasional, maka masalah distribusi dan pemasaran beras, juga
menjadi masalah perberasan kita.

Sehubungan dengan hal itu, saya sarankan untuk memberlakukan apa yang disebut dengan ??ARAS??
(Paket Agribisnis Perberasan). Uraian tentang PARAS telah dibahas secara rinci di dalam makalah
tersebut [5]. Dalam PARAS diharapkan akan ada keterpaduan antara subsistem sarana produksi,
usahatani, pasca panen (termasuk distribusi dan pemasaran) dan subsistem pendukungnya yang lain.

2. Impor Merugikan Petani?

Hampir semua pemberitaan di koran berbunyi,??..dengan kebijakan impor, maka pemerintah tidak ada
kepemihakan ke petani...?? Harian Kompas, 9/1/2006, bahkan membuat judul berita ??mpor Beras Picu
Konflik?? ??epentingan Masyarakat dan Petani Diabaikan?? Pertanyaan yang perlu dibuktikan adalah
siapa yang berkonflik dan kepentingan petani yang mana.

Sekitar 25-30 tahun lalu, saya bersama teman-teman IPB (Prof. Sayogyo, Prof. Gunawan Wiradi, Prof.
Suntoro, Prof. Rudy Sinaga, dkk), UGM (Prof. Widodo, dkk) UNEJ (Prof. Kabul Santoso, dkk) dan
Unibraw (saya, Prof. Suradi, Prof. Burhan, dkk) terlibat dalam penelitian yang sifatnya mikro (dalam
kurun waktu yang relatif lama) yang disebut ??urvey Agro-Ekonomi (SAE)??kemudian setelah selesai
dilanjutkan dengan penelitian Studi Dinamika Pedesaan (SDP). Penelitian ini sangat menarik, karena
mengamati secara rinci perubahan beberapa desa (dan tingkat kehidupan petani) di Pulau Jawa dari
bulan ke bulan, dari musim ke musim, dan dari tahun ke tahun.

Hasilnya? Terjadi perubahan yang begitu cepat, terutama di daerah penghasil utama padi. Beberapa
bulan lalu, saya sempatkan singgah di satu desa yang saya teliti 25 tahun lalu tersebut. Hasilnya betul-
betul menakjubkan, di mana telah terjadi perubahan dengan amat cepat. Bukan saja rata-rata pemilikan
lahan sawah yang semakin menyempit, tetapi banyak petani sudah ditendang oleh kemajuan jaman.
Petani berubah status menjadi buruh tani atau lari ke kota mencari penghasilan dari sumber lain. Lahan
pertanian berubah fungsi menjadi bangunan. Akibatnya, kepadatan penduduk meningkat tajam, dan
daya dukung pedesaan sudah tidak mampu lagi menyangga penduduk yang mendiaminya.

Coba kita ambil kasus sensus pertanian 1973 yang menunjukkan jumlah petani kecil (gurem) yang rata-
rata penguasaan lahan pertaniannya seluas 0,27 ha berjumlah 45,6% dari total usaha pertanian. Kini (32
thn kemudian), bisa jadi 0,27 ha itu sudah menyempit menjadi 0,10 ha saja atau bahkan kurang dari itu.
Selanjutnya konsukensi terhadap petani padi adalah usahataninya tidak efisien, produksi perhektar
rendah, sehingga pendapatan petani juga kecil sekali. Hasil penelitian SDP (1979) menunjukkan bahwa
pendapatan rumah tangga petani padi gurem (di strata desa dataran rendah persawahan) hanya Rp
153,-/jam kerja atau 7 kali lipat dibawah pendapatan rumah tangga petani yang tidak gurem yang
sebesar Rp1.059,-/jam kerja. Implikasinya adalah begitu setelah panen, maka sebagian besar padi dijual
semuanya oleh petani gurem. Kasus sekarang ini bisa jadi seperti itu, walaupun harga sudah naik Rp
4000/kg padahal harga beli pemerintah adalah Rp 3550/kg; namun yang menikmati bukanlah petani
padi khususnya petani kecil. Lantas siapa?, jawabannya adalah para orang kaya di pedesaan atau para
pedagang padi. Sehingga petani yang semula memproduksi padi lama kelamaan juga akan membeli
beras dipasaran karena padinya sudah dijual. Tentunya dengan harga yang berlaku di pasar yang sudah
membumbung tinggi tersebut.

Kembali ke berita Kompas 9/1/2006 bahwa ??mpor beras memicu konflik??, siapa yang konflik?, tentu
bukan petani, tetapi pedagang padi atau pedagang beras. Hal ini disebabkan tidak teraturnya
pemasokan beras sehingga menyulitkan pedagang dalam menentukan harga jual alias kesulitan
menaksir keuntungan. Menyulitkan pengusaha beras antar daerah (kecamatan, kabupaten atau propinsi)
atau bahkan pengusaha beras antar pulau. Mereka pasti disibukkan oleh masalah ketidakpastian ini.
Akibatnya, mereka mengambil sikap diam untuk sementara sambil menunggu kembali mapannya
perberasan nasional. Karena itu, bisa dimengerti kalau harga beras sekarang membumbung tinggi. Agar
bisa kembali ke keseimbangan semula, satu-satunya memang harus mengimpor, khususnya untuk iron
stock.

Perlu dicatat, beras tidak sama dengan komoditi yang lain. Volume beras di pasar internasional hanya
sekitar 5 persen saja, sehingga ekspor-impor beras menjadi lebih banyak ditangai ??i>G to G??(antar
pemerintah). Artinya, walaupun kita punya uang, tidak mudah untuk melakukan impor. Kalau 5 Januari
2006 diumumkan mengimpor beras, kemudian terus kita dapat beras dari Vietnam dalam waktu yang
tidak lama, maka itu kemungkinannya sudah ada komitmen sebelumnya.
Juga perlu dicatat bahwa Indonesia adalah produsen beras yang besar dan sekaligus merupakan
konsumen beras yang juga besar. Jadi kalau orang mempermasalahkan mengapa kita melakukan impor
atau tidak, maka perlu dicari alasan yang valid (sahih). Dalam teori perdagangan internasional, angka
patokan yang dipakai apakah suatu negara melakukan impor atau tidak adalah menggunakan patokan
yang biasanya disebut ??ingkat Proteksi Nominal??atau Nominal Protection Rate atau disingkat dengan
akronim NPR. Angka ini dihitung dengan cara membandingkan antara selisih harga di dalam negeri
dengan harga border (harga yang termasuk biaya asuransi dan transport atau sering disebut harga CIF),
dengan harga border dikalikan 100 persen.

Untuk kasus perberasan di Indonesia, maka harga di dalam negeri (yang biasa dipakai dalam
perhitungan) adalah harga di pasar beras Cipinang, sedangkan harga border dipakai harga CIF (cost,
insurance and freight) ditambah lima persen biaya pemasaran yang dihitung dari harga FOB (free on
board) di Bangkok untuk beras 25 persen broken (setara dengan beras kualitas tiga di pasar induk
Cipinang), ditambah dengan 7,5 persen biaya asuransi dan transport. Harga beras di Pasar Cipinang
dijadikan barometer harga perberasan nasional karena banyaknya beras yang diperdagangkan di pasar
itu.

Dengan menggunakan angka patokan NPR seperti itu, dan diasumsikan tarif bea masuk impor adalah
nol, maka diperoleh trend angka NPR yang unik. Kita ambil contoh yang agak ekstrim yaitu data impor
beras dari bulan Januari 1998 sampai dengan September 1998. Dengan melakukan analisis NPR, maka
diketahui bahwa angka NPR-nya adalah negatif berkisar antara angka 15 sampai 62. Ini artinya bahwa
harga beras di luar negeri adalah lebih tinggi sebesar 15-62 persen. Dengan analisa seperti ini, maka
dapat dibuat justifikasi tidak melakukan impor karena harga beras di luar negeri terlalu mahal.
Logikanya, baik pemerintah maupun swasta tentu tidak melakukan impor.

Sebaliknya kalau menggunakan data setelah itu (Oktober 1998 sampai Mei 1999), angka NPR adalah
justru positif berkisar antara 5-53 persen. Artinya harga beras di pasar luar negeri memang lebih
rendah. Dengan angka patokan ini dapat diketahui, harga di pasar luar negeri, Bangkok, adalah lebih
rendah sekitar 5-53 persen. Logikanya, baik pemerintah maupun swasta dapat melakukan impor beras
karena mereka tugasnya memang mencari untung.
Dari uraian singkat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap kali ada pemikiran mengimpor beras,
maka diperlukan analisa yang komplit, memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhinya
termasuk faktor atau perhitungan angka NPR, FOB dan CIF.

3. Penutup

Sekali lagi saya mohon lembaga yang terkait dengan perberasan termasuk mereka yang
mempermasalahkannya seperti DPR, HKTI atau LSM lainnya ini agar dapat duduk bersama dan
berdiskusi untuk memecahkan masalah ini. Selain itu juga diharapkan teman-teman yang mempunyai
penelitian mikro soal beras ini terutama yang pengamatannya dalam waktu yang relatif lama, ikut pula
bergabung. Kemudian hasilnya diumumkan secara terbuka melalui televisi atau media cetak.

Dalam diskusi, jangan hanya membahas masalah kuantitas beras (impor sekian ribu ton, misalnya),
tetapi juga analisa NPR (Nominal Protection Rate), di mana dalam menghitung NPR biasanya sudah
menggunakan harga di tingkat FOB (Free On Board) dan harga CIF (Cost, Insurance & Freight).
Sebab pengalaman masa lalu (thn 1998), impor yang dilakukan bulan-bulan Januari s/d September
1998, justru angka NPR-nya negatif sekitar 15-62. Ini artinya harga beras impor lebih tinggi sebesar
15-62 persen dari pada harga di dalam negeri.
Impor Beras di Negeri Lumbung Padi
Oleh: Ardiansyah Ashri Husein
Kebijakan Pemerintah Indonesia untuk mengimpor beras dari negara tetangga
(Vietnam) terus menuai pro-kontra. Bermula dari database yang dimiliki Bulog dan Badan
Pusat Statistik (BPS) tentang kekurangan persediaan beras Indonesia, Pemerintah
memutuskan untuk mengimpor beras, setelah batas waktu untuk mencukupi stok nasional
dari beras dalam negeri berakhir. Saat ini beras-beras Vietnam (jumlahnya kurang lebih
85.000 ton dari rencana semula 110.000 ton) sudah berdatangan di beberapa pelabuhan
daerah. Menurut Menteri Perdagangan jalur masuk beras import adalah wilayah yang
minus, walaupun pada kenyataannya pelabuhan Belawan (Sumatera Utara) juga menjadi
pintu masuk beras. Padahal berdasarkan Kepala Humas Bulog Regional I Sumut Haris
Fadillah Lubis, mereka memiliki stok 31. 200 ton beras per 16 Januari 2005. stok ini akan
mampu mencukupi kebutuhan beras hingga 4 bulan ke depan (Bisnis Indonesia, 19
Januari 2006).
Dalam batasan tertentu, impor beras memang sangat membantu, terlebih jika
dilihat dari aspek harga yang relatif lebih murah dari harga beras lokal. Namun dari sisi
yang lain, kehadiran beras impor yang berlebihan justru berpotensi menjadi ancaman bagi
kesinambungan produk beras petani dalam negeri, sekaligus akan menjadi kerikil tajam
yang akan mengganggu masa depan pembangunan sektor pertanian, khususnya di
subsektor tanaman pangan. Oleh karena itu, pemerintah harus mampu mengambil
kebijakan yang elastis dan dewasa menyangkut pengadaan beras. Membuka kesempatan
untuk impor beras pada saat paceklik atau kekurangan stok akibat produksi yang kurang
memenuhi target tentu merupakan tindakan bijaksana. Namun jika tetap bersikukuh
melakukan impor, sementara produksi beras petani dalam negeri sedang melimpah tentu
saja akan menyakiti dan membawa dampak buruk bagi kesejahteraan masyarakat petani
kita.
 
Keputusan Impor Beras; Menuai Kontroversi
           
            Memang sulit memahami logika pemerintah dengan mengambil kebijakan Impor
Beras, selain karena database kekurangan beras yang tidak jelas (kalau tidak ingin
dikatakan cenderung menutupi), jelas-jelas masyarakat petani kita tengah melaksanakan
Panen Raya di beberapa daerah, bahkan menurut beberapa sumber dalam negeri
diperkirakan akan mengalami surplus yang sangat besar seperti tahun lalu. Jadi tidak
berlebihan kalau banyak kalangan yang menentang impor beras. Pemerintah yang
seyogyanya harus membantu kesejahteraan para petani Indonesia dengan membeli beras
dalam negeri justru latah melakukan impor.
Ketua Komisi IV DPR Fahri Andi Laluasa, yang membidangi stok pangan nasional di
Temanggung, Jawa Tengah, kemarin, mengemukakan, perbedaan pendapat di DPR terkait
kebijakan impor beras ini disebabkan perbedaan data stok beras dari Departemen
Pertanian dan BPS. ”Deptan menyebutkan, akan terjadi surplus 1,6 juta ton hingga
Desember 2005, sedangkan BPS yang kami jadikan acuan dalam menyusun APBN
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), menyatakan, Indonesia kekurangan beras
sebanyak 614.000 ton,” ujarnya.
Peneliti masalah pangan dari Soegeng Sarjadi Syndicated, Jusuf Suroso
mengatakan, polemik mengenai perlu tidaknya impor beras harus didasarkan pada data
Badan Pusat Statistik (BPS). Dengan demikian, kesimpangsiuran dalam masalah beras
bisa diakhiri. "Kalau banyak orang yang meributkan data mana yang benar maka
selayaknya yang menjadi acuan adalah data BPS. Apabila BPS menyajikan data yang salah
maka lembaga tersebut akan terkena sanksinya," ungkapnya dalam diskusi di Jakarta,
Rabu (30/11). Karena itu, dia berharap untuk tidak mengonflikkan antara surplus produksi
beras kemudian tidak boleh impor atau defisit produksinya dengan harus impor beras.
"Kalaupun defisit namun stoknya Bulog banyak, maka tidak perlu impor. Dengan
demikian hal itu merupakan permasalahan yang terpisah, jangan dikait-kaitkan karena ini
penting dan merupakan kunci masalah yang sebenarnya," katanya. Beliau menambahkan,
kesimpangsiuran itu dipicu oleh munculnya data dari Bulog, padahal BUMN tersebut sama
sekali tidak menerbitkan data, selain menggunakan data BPS. "Data BPS adalah satu-
satunya data dari institusi yang ditunjuk oleh negara untuk melakukan survei yang
dilindungi oleh undang-undang statistik di mana BPS berkewajiban untuk menyediakan
data sehingga tidak boleh ada data yang lain."
 
Pembatalan Hak Angket; Kebijakan atau Dagelan Politik?
 
Untuk menyelesaikan polemik ini, masyarakat menaruh harapan beras melalui
wakil-wakil rakyat yang duduk di kursi parlemen. Sayangnya, rakyat harus "mengurut
dada" untuk kesekian kalinya. Harapan pada para anggota dewan kandas lewat suatu
dagelan politik yang dipertontonkan secara "cerdas". Awalnya, mayoritas anggota dewan
tampil begitu memukau dalam membela rakyat dengan menolak kebijakan impor beras.
Rapat paripurna DPR tanggal 17 Januari 2006 memutuskan untuk mengajukan hak angket
mengenai impor beras ini. Melalui mekanisme voting, hak angket impor beras didukung
207 anggota DPR dari 374 anggota yang hadir. Akan tetapi, seminggu berselang, DPR
mengubah keputusannya. Dalam rapat paripurnanya tanggal 24 Januari 2006 lalu, DPR
mengurungkan niatnya untuk menggunakan hak angket.
Presiden sebagai Ketua Dewan Ketahanan Pangan harus bertanggung jawab
terhadap kebijakan impor beras yang tidak transparan dan argumentatif, bahkan
cenderung konspiratif dengan pihak korporat dan kekuatan-kekuatan di baliknya.
Padahal, Presiden pernah berjanji akan melakukan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan (RPPK).
Beberapa fakta menunjukkan bahwa impor beras tidak berpihak kepada rakyat.
Pertama, impor dilakukan pada saat beberapa daerah tengah melaksanakan panen raya.
Kedua, produksi tahun ini diperkirakan akan baik, bahkan diperkirakan akan surplus.
Ketiga, kondisi sulit dalam negeri saat ini menuntut pemerintah menghemat devisa dan
anggaran belanja yang tidak perlu. Impor beras pada saat nilai tukar rupiah memburuk
akan menguras devisa. Keempat, meskipun pemerintah menjanjikan beras impor tidak
akan mengalami kebocoran, tidak ada mekanisme yang bisa menjamin hal itu bisa
diterapkan. Selama ini, hampir tidak pernah ada yang tidak bocor di negari ini. Bocornya
beras impor ke pasar akan semakin menekan harga beras petani. (Sri Hartadi, Menggugat
Kebijakan Absurd Impor Beras).
 
Mengapa pemerintah tetap melakukan impor beras?
 
Pertama, Menurut Rizal Ramli adalah kepentingan sektoral. Bulog pada prakteknya
di masa Orde Baru, setiap kali ada impor beras, pejabatnya akan mendapat komisi sekitar
20-30 dollar AS per ton. Kedua, motif perburuan rente. Dengan rente sekitar 20-30 Dolar
perton, apabila dilakukan impor beras sebesar 110.000 ton pertahun, akan memberikan
rente ekonomi yang cukup besar, yakni sekitar 2,2–3,3 juta. Keempat, dominasi "Partai
IMF" yang saat ini menjadi penguasa, mereka sangat aktif mengkampanyekan bahwa
impor beras harus dilakukan demi menekan laju inflasi. Meski sebenarnya partai IMF
mengetahui benar bahwa impor beras sangat terkait dengan penyelewengan dan
perburuan rente. Padahal inflasi setinggi 18 % terjadi akibat overdosis kenaikan harga
BBM. Adalah sangat tidak adil bila untuk menekan iinflasi, kepentingan petani
dikorbankan.
Belum lagi tentang indikasi yang membenarkan keberadaan sejumlah "mafia-mafia
beras" yang bermain di balik polemik ini. sebagaimana yang diakui oleh Menteri Pertanian
Anton Apriyanto. Beliau mengatakan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang memiliki
kekuatan untuk mengendalikan beras. (Pikiran Rakyat, 14/01/2006). Para pelaku tidak
hanya melakukan penimbunan beras yang menyebabkan kelangkaan beras di sejumlah
daerah, mereka bahkan menjual beras-beras impor secara ilegal di pasar-pasar rakyat.
Disinyalir para penjahat beras ini tidak bekerja sendiri, mereka justru dibantu oleh banyak
pejabat pemerintah (?). Salah satu indikasinya adalah dalam APBN, selalu saja ada celah
yang dibuat, yang memungkinkan terjadinya impor beras. Sebabnya adalah swasembada
pangan yang kita tetapkan hanya 90%, sehingga ada celah untuk melakukan impor 10 %
atau 3,2 juta ton. Selain itu setiap musim tanam, para petani dihadapkan dengan dilema
kelangkaan pupuk sehingga setiap panen harganya turun drastis.
 
Database Perberasan; semoga menjadi solusi
 
Meski sebagai penghasil dan konsumen beras terbesar di dunia, Indonesia belum
punya database perberasan. Padahal dengan database perberasan, pemerintah bisa
mengendalikan perdagangan dan distribusi komoditas ini hingga harga gabah stabil.
Volume stok beras nasional dan siapa yang menguasainya juga akan ketahuan. Data ini
mestinya dimiliki Departemen Pertanian dan Perdagangan. Dan jika terjadi juga defisit
neraca beras, sebaiknya impor dilakukan oleh swasta, bukan oleh Bulog. Bulog
seharusnya melakukan pembelian beras dari petani dalam negeri, bukan menyubsidi
petani di Vietnam atau Thailand. Wallâhu a'la wa a'lam.

Anda mungkin juga menyukai