Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ibrahim Almadhani

NIM : 10/305619/SP/24381

Tugas` : Makalah tentang Etnopolitik

A. Kata Pengantar

Etnopolitik atau politik etnis dapat diasumsikan sebagai politik yang memfokuskan
pembedaan sebagai kategori utamanya yang menjanjikan kebebasan dan toleransi walaupun
memunculkan pola-pola intoleransi, kekerasan dan pertentangan etnis. Sedangkan munculnya
politik etnis diawali tumbuhnya kesadaran orang yang mengidentikan diri mereka ke dalam
salah satu kelompok etnis tertentu, yang kesadaran itu memunculkan solidaritas kelompok.
Sejalan dengan demokratisasi di indonesia sering timbul pemikiran-pemikiran yang
mementingkan kelompok dan suku sendiri (sukuisme), adanya kecenderungan untuk
menggunakan nilai-nilai kelompok dalam proses politik. Maraknya proses demokrasi yang
ditandai dengan desentralisasi, dimana pemerintah pusat memberi otonomi kepada
pemerintah daerah untuk memperoleh kebebasan dan pengakuan politik dalam pemilihan
kepala daerah sendiri. Etnisitas yang menjadi ikatan yang sangat emosional dan mengakar
dalam masing-masing individu dalam etnisnya, telah memicu munculnya perjuangan
kelompok-kelompok etnis dari dominasi etnis mayoritas. Etnisitas berkaitan erat dengan
budaya masing-masing kelompok yang memiliki ciri khas kelompok tersebut atau yang
sering disebut dengan primordialisme. Sehingga tidak jarang keterikatan etnis ini sering
dimanfaatkan dan dimanipulasi kelompok elite (aktor-aktor politik) untuk mencapai tujuan
dan mendapatkan kekuasaannya, terutama di daerah yang penduduknya heterogen.
Pengertian etnisitas berasal dari kata Ethnos dalam bahasa Yunani kuno, pengertiannya
adalah sekelompok orang-orang yang memiliki ciri-ciri yang sama dalam hal budaya dan
biologis serta bertindak menurut pola-pola yang sama.
Pada dasarnya suatu kelompok etnis mempunyai enam sifat, sebagai berikut:
1. Memiliki nama yang khas yang mengidentifikasikan hakikat dari suatu masyarakat,
misalnya Mallarangeng dan Mappanyukki yang identik dengan etnis Bugis, Sijaya dan
Rewa yang identik dengan etnis Makassar.
2. Memiliki suatu mitos akan kesatuan nenek moyang, kesamaan akan asal usul dalam waktu
tertentu sehingga kelompok tersebut membentuk suatu kekeluargaan yang fiktif, misalnya
etnis Bugis dan etnis Makassar yang mempercayai mitos La galigo (awal mula dunia di huni)
dan To Manurung (Pemimpin yang turun dari langit).
3. Kelompok tersebut mempunyai ingatan historis yang sama atau mempunyai memori masa
lalu yang sama seperti pahlawan, kejadian-kejadian tertentu, misalnya Arung Pallakka dari
Bugis dan Sultan Hasanuddin dari Makassar yang terlibat dalam Perjanjian Bungaya yang
kemudian menjadi konflik yang berkelanjutan namun terselubung sampai sekarang antara
orang-orang Bugis dengan Makassar.
4. Kelompok tersebut memiliki kesatuan elemen-elemen budaya seperti agama, adat istiadat
dan bahasa, pada dasarnya Bugis-Makassar memiliki kesamaan adat istiadat dan agama yang
dianut namun memiliki perbedaan bahasa walaupun menggunakan aksara yang sama.
5. Kelompok tersebut terikat dengan tumpah darah baik secara fisik maupun hanya sebagai
keterikatan simbolik terhadap tanah leluhurnya seperti pada kelompok-kelompok diaspora
Bugis-Makassar yang tersebar di penjuru Nusantara.
6. Memiliki suatu rasa solidaritas dari penduduknya.

Dalam praktek politik di Indonesia terkadang muncul kekerasan dalam interaksi antar-
etnis, apalagi menyangkut aspek kepemimpinan, perebutan sumber-sumber kekuasaan, dan
sumber-sumber alam serta keegoan masing-masing identitas etnis. Sebagai contoh adalah
ketika terjadinya perubahan oleh reformasi politik yang kemudian memunculkan ketegangan
etnis baik dalam pemilihan kepala daerah maupun dalam perebutan lahan kekuasaan dan
ekonomi dengan munculnya pemekaran wilayah, seperti yang dipaparkan dalam tulisan
Lorraine V. Aragon mengenai persaingan elite yang berubah menjadi politik identitas
keagamaan dan berkembang menjadi politik identitas etnis di Sulawesi Tengah, pemekaran
Kepulauan Mentawai sebagai hasil aktivitas elite lokal dengan segala macam kemewahan
berdasarkan sensitifitas etnis, dan perebutan provinsi di daerah Luwu-Tana Toraja di
Sulawesi Selatan sebagai akibat elite-elite lokal yang terpinggirkan di tingkat provinsi
Sulawesi Selatan sehingga mengangkat isu pemekaran provinsi sebagai simbol identitas etnis
Luwu dan agama. Munculnya politik identitas atau biopolitik sebagai akibat runtuhnya
masyarakat yang terkontrol dan direncanakan secara ilmiah yang memaksakan identitas
nasional dan membangkitkan kekuatan pada kekuasaan tertentu, sehingga kemudian
memunculkan perjuangan kelompok minoritas yang merasa identitasnya terpinggirkan.
B. Kasus Politik Etnis
Di sini saya mengambil contoh kemenangan Syarul Yasin Limpo dalam Pemilihan
Gubernur Sulawesi Selatan pada tahun 2007. Dia sebagai figur dari etnis makassar pada
Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2003 mampu meraih dukungan dari berbagai
pihak selain dari dukungan partai Golkar, dukungan tersebut berdasarkan ikatan
kekeluargaan, ikatan suku/kewilayahan, ikatan organisasi partai politik dan di luar partai
politik.
Dari ikatan keluarga, dia didukung oleh kedudukan ayahnya, H.Yasin Limpo
purnawirawan tentara, mantan pejabat, tokoh Muhammadiyah; ibunya Nurhayati Yasin
Limpo mantan anggota DPRD Sulawesi Selatan periode 1994-1999, dan sekarang menjabat
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Persatuan Perempuan Kosgoro (GPPK) Sulawesi
Selatan, kakaknya Tenri Olle Yasin Limpo sebagai Ketua Partai Golkar Gowa, adiknya
Ichsan Yasin Limpo sebagai Bupati Gowa dan Wakil Bendahara Partai Golkar, Haris Yasin
Limpo sebagai Wakil Ketua Golkar Makassar, Dewie Yasin Limpo sekarang Ketua DPD
Partai Hanura, Irman Yasin Limpo yang merupakan salah satu pejabat eselon di lingkup
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Kepala Badan Promosi dan Penanaman Modal), dua
orang kakaknya memilih mengelola bisnisnya di Jakarta dan istrinya Drg. Ayunsri Harahap,
dokter/pengelola Rumah Sakit Dadi Makassar serta iparnya Susilo MT Harahap yang
merupakan fungsionaris Partai Golkar Sulawesi Selatan.
Ikatan kesukuan/kewilayahan didapat dari dukungan elite-elite etnis Makassar yang
menduduki posisi strategis diantaranya dukungan dari Malingkai Maknun (Wakil Ketua
Golkar Gowa) serta tokoh-tokoh di luar Partai Golkar. Namun dukungan yang didapatkan
tersebut tidak lepas dari kecerdasan intelektual dan kemampuan Syahrul untuk meyakinkan
segenap komponen masyarakat. Pencalonan Syahrul sebagai calon satu-satunya dari etnis
Makassar waktu itu sangat mempunyai nilai tawar terhadap calon-calon berasal dari etnis
Bugis untuk berpasangan dengan Syahrul, karena hampir dipastikan dukungan etnis
Makassar secara bulat kepada Syahrul. Pada pemilihan gubernur sebelumnya, keputusan
Syahrul menerima tawaran berpasangan dengan Amin Syam membuahkan kemenangan bagi
pasangan Amin Syam-Syahrul Yasin Limpo dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan
tahun 2003 yang lalu.
Kemudian pada Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2007 kemarin, Syahrul
muncul sebagai kandidat gubernur dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan yang untuk
pertama kalinya diadakan pemilihan langsung yang membawa kebebasan berpartisipasi bagi
etnis Makassar yang selama pemerintahan orde baru tidak mendapatkan kesempatan untuk
menduduki posisi bergengsi tersebut yang disebabkan sistem pemilihan yang tertutup.
Sekaligus merupakan kesempatan bagi etnis Makassar untuk berkompetisi secara fair dengan
wakil dari etnis Bugis. Syahrul yang muncul sebagai representasi etnis Makassar tidak lepas
dari kesuksesannya memimpin Kabupaten Gowa selama dua periode yang kemudian
mengantarkannya menjadi Wakil Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2003. Hasil perolehan
suara yang diterima KPU Provinsi Sulawesi Selatan, perolehan suara pasangan Syahrul-Agus
adalah 1.432.572 suara atau unggul 27.662 suara dari pasangan Amin-Mansyur yang
memperoleh 1.404.910 suara.
- Henk Schulte Nordholt & Gerry Van Klinken. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
- http://eprints.undip.ac.id/18023/1/SUGIPRAWATY.pdf
- http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/2010/10/konflik-etnis-atau-konflik-politik.html

Anda mungkin juga menyukai